Topik: produk impor

  • Bocoran Spesifikasi Suzuki Access 125 yang Kabarnya Mau Meluncur di RI

    Bocoran Spesifikasi Suzuki Access 125 yang Kabarnya Mau Meluncur di RI

    Jakarta

    Suzuki Access 125 digadang-gadang akan meluncur di pameran Indonesia Motorcycle Show atau IMOS 2025. Skuter matik (skutik) tersebut akan menyasar konsumen dari kalangan pemula atau entry level. Lantas, bagaimana bocoran spesifikasinya?

    Kabar kemunculan Suzuki Access 125 naik ke permukaan setelah akun Instagram resmi Suzuki Indonesia mengunggah video teaser atau bocoran produk. Pada tayangan berdurasi singkat itu, mereka menampilkan sejumlah detail kendaraan, mulai dari bagian muka, lampu utama, jok hingga panel instrumen.

    Motor matik baru Suzuki Foto: Doc. Suzuki Indonesia

    “Ride the classic commuter. Datang dan lihat langsung di Indonesia Motorcycle Show (IMOS 2025) tanggal 24-28 September 2025. See ya!” demikian tulis akun Instagram @suzukiindonesiamotor, dikutip Senin (22/9).

    Jika diperhatikan melalui bocoran gambar yang ditampilkan, tak salah lagi, motor tersebut merupakan Suzuki Access 125 yang sebelumnya telah dipasarkan di India. Skuter matik (skutik) entry level tersebut punya tampilan retro dengan sentuhan Tanah Bharata yang kuat.

    Hingga kini, belum diketahui pasti, apakah Suzuki Access 125 yang kelak meluncur di Indonesia berstatus CBU dari India atau rakitan lokal. Jika benar didatangkan utuh dari Tanah Bharata, maka spesifikasinya akan sama dengan produk yang dijual di sana.

    Berkaca dari produk yang dipasarkan di India, berikut kami rangkum bocoran spesifikasi Suzuki Access 125 yang konon mau meluncur di Indonesia, pekan ini.

    Bocoran Spesifikasi Suzuki Access 125

    Suzuki Access 125 yang dipasarkan di India punya tubuh gemuk dengan ukuran roda yang mungil. Sayangnya, belum diketahui pasti, apakah unit yang meluncur di Indonesia merupakan produk impor dari Negeri Hindustan atau rakitan lokal. Jika benar impor, maka tampilannya akan benar-benar sama.

    Suzuki Access 125 terbaru di India. Foto: Doc. Suzuki India.

    Meski tampangnya agak aneh untuk sebagian orang Indonesia, namun desain tersebut cukup populer di India. Selain itu, Suzuki Access 125 sejak awal memang dibuat nyaman untuk penggunaan atau mobilitas harian.

    Di India, Suzuki Access 125 dibekali mesin dengan standar OBD-2B yang ramah lingkungan. Sementara kapasitasnya 125cc bersilinder tunggal dengan pendingin udara. Pembekalan tersebut membuat motor mampu menghasilkan tenaga 8,3 dk dan torsi 10,2 Nm.

    Sementara untuk fitur, kemungkinan ada sedikit perbedaan dengan yang ada di India. Jika di sana menggunakan panel instrumen full digital yang bisa dikoneksikan ke ponsel, maka unit yang dijual di Indonesia kabarnya hanya menggunakan panel instrumen analog.

    Berstatus sebagai skutik entry level, Suzuki Access 125 dijual 116.200 rupee atau Rp 21 jutaan di India. Hingga kini, belum diketahui pasti, berapa banderolnya saat masuk Indonesia.

    (sfn/din)

  • Terkuak! Ini Motor Baru Suzuki yang Meluncur di Indonesia Pekan Ini

    Terkuak! Ini Motor Baru Suzuki yang Meluncur di Indonesia Pekan Ini

    Jakarta

    PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) akan meluncurkan produk baru di pameran Indonesia Motorcycle Show atau IMOS 2025, pekan ini. Kendaraan tersebut kemungkinan besar merupakan Suzuki Access 125.

    Kabar kemunculan Suzuki Access 125 naik ke permukaan setelah akun Instagram resmi Suzuki Indonesia mengunggah video teaser atau bocoran awal. Pada tayangan berdurasi singkat itu, mereka menampilkan sejumlah detail kendaraan, mulai dari bagian muka, lampu utama, jok hingga panel instrumen.

    “Ride the classic commuter. Datang dan lihat langsung di Indonesia Motorcycle Show (IMOS 2025) tanggal 24-28 September 2025. See ya!” demikian tulis akun Instagram @suzukiindonesiamotor, dikutip Senin (22/9).

    Jika diperhatikan melalui bocoran gambar yang ditampilkan, tak salah lagi, motor tersebut merupakan Suzuki Access 125 yang sebelumnya telah dipasarkan di India. Skuter matik (skutik) entry level tersebut punya tampilan retro dengan sentuhan Tanah Bharata yang kuat.

    Suzuki Access 125 yang dipasarkan di India punya tubuh gemuk dengan ukuran roda yang mungil. Sayangnya, belum diketahui pasti, apakah unit yang meluncur di Indonesia merupakan produk impor dari Negeri Hindustan atau rakitan lokal. Jika benar impor, maka tampilannya akan benar-benar sama.

    Meski tampangnya agak aneh untuk sebagian orang Indonesia, namun desain tersebut cukup populer di India. Selain itu, Suzuki Access 125 sejak awal memang dibuat nyaman untuk penggunaan atau mobilitas harian.

    Di India, Suzuki Access 125 dibekali mesin dengan standar OBD-2B yang ramah lingkungan. Sementara kapasitasnya 125cc bersilinder tunggal dengan pendingin udara. Pembekalan tersebut membuat motor mampu menghasilkan tenaga 8,3 dk dan torsi 10,2 Nm.

    Berstatus sebagai skutik entry level, Suzuki Access 125 dijual 116.200 rupee atau Rp 21 jutaan di India. Hingga kini, belum diketahui pasti, berapa banderolnya saat masuk Indonesia.

    Suzuki Access 125 terbaru di India. Foto: Doc. Suzuki India.

    Diberitakan sebelumnya, Teuku Agha selaku 2W Sales & Marketing Department Head PT SIS membenarkan, pihaknya akan meluncurkan produk baru di IMOS 2025. Bahkan, bukan hanya satu, melainkan dua motor baru sekaligus!

    “Iya, benar. Suzuki akan ikut pameran IMOS 2025 untuk launching dua produk baru,” kata Agha kepada detikOto.

    (sfn/din)

  • Modi Minta Warga India Singkirkan Produk Asing

    Modi Minta Warga India Singkirkan Produk Asing

    Jakarta

    Perdana Menteri India, Narendra Modi, menyerukan warga untuk berhenti menggunakan produk asing dan beralih ke barang lokal. Ajakan ini disampaikan dalam pidato publik pada Minggu, di tengah memburuknya hubungan dagang dengan Amerika Serikat (AS).

    Ketegangan meningkat setelah Presiden AS, Donald Trump, memberlakukan tarif 50% atas produk impor asal India. Sebagai respons, Modi semakin gencar mengampanyekan penggunaan produk Swadeshi, yakni barang buatan dalam negeri.

    Para pendukung Modi bahkan memulai kampanye boikot terhadap sejumlah merek Amerika seperti McDonald’s, Pepsi, dan Apple, yang selama ini populer di India.

    “Banyak produk yang kita gunakan sehari-hari ternyata buatan luar negeri. Meski sering tidak sadar, kita harus menyingkirkannya,” kata Modi, dikutip dari Reuters, Senin (22/9/2025).

    Meski tidak menyebut negara secara spesifik, Modi menyoroti ketergantungan India pada barang impor. Dengan populasi 1,4 miliar jiwa, India merupakan pasar besar bagi produk konsumsi asal AS, yang banyak dibeli lewat platform daring seperti Amazon.

    Selama bertahun-tahun, jangkauan merek-merek Amerika telah merambah hingga kota-kota kecil. Modi juga mendorong para pedagang agar lebih fokus menjual produk lokal, demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.

    Dalam beberapa pekan terakhir, banyak perusahaan meningkatkan promosi produk dalam negeri. Sementara itu, Menteri Perdagangan India, Piyush Goyal, dijadwalkan berkunjung ke Washington untuk membahas isu perdagangan-lawatan yang dilakukan di tengah upaya meredakan ketegangan bilateral.

    Tonton juga video “Peluncuran iPhone 17 Disambut Antrean Panjang di India” di sini:

    (ily/rrd)

  • Efek Insentif Pajak Penghasilan: Daya Beli Naik, Pengusaha Lokal Masih Gigit Jari

    Efek Insentif Pajak Penghasilan: Daya Beli Naik, Pengusaha Lokal Masih Gigit Jari

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menilai perpanjangan insentif pajak penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) untuk buruh sektor padat karya dapat mendorong daya beli masyarakat. Namun, pengusaha lokal belum mendapat manfaat sepenuhnya. 

    Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menyebut manfaat dari pemotongan beban pajak tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk pembelian produk tekstil lokal.  

    “Itu lumayan dorong daya beli, tapi sepertinya benefitnya lebih pada produk impor, karena dorongan daya beli ini tidak dirasakan oleh produk lokal,” kata Redma kepada Bisnis, Minggu (21/9/2025). 

    Dia menduga pemulihan daya beli justru dimanfaatkan konsumen untuk membeli produk pakaian jadi yang impor dan lebih murah. Kondisi ini yang membuat produsen lokal masih stagnan kinerjanya. 

    Apalagi, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) impor pakaian bekas yang merupakan praktik ilegal ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Nilai impor pakaian bekas (HS 63090000) tercatat senilai US$1,31 juta dengan volume 1,09 juta kg pada Januari-Juli 2025.  

    Angka tersebut nyaris mendekati nilai dan volume impor pakaian bekas pada 2024 lalu yang mencapai US$1,5 juta dengan volume 3,86 juta kg sepanjang tahun lalu. 

    Di sisi lain, pihaknya justru mengharapkan insentif yang menyasar ke industri. Sebab, pelaku usaha juga mulai kesulitan bertahan karena ongkos produksi yang mahal sehingga harga jual tidak mampu bersaing dengan produk impor murah. 

    “Terlebih PPh 21 DTP ini kan sama sekali tidak berpengaruh pada penurunan beban biaya di industri,” ujarnya. 

    Dalam hal ini, dia menyoroti kebutuhan efisiensi ongkos produksi dari sisi beban energi, pajak dan beban bunga. Sementara dari segi upah perlu dijaga untuk mengungkit daya beli. 

    “Tapi kalau pemerintah maunya kita bertarung bebas dengan barang impor dumping dan ilegal, pemerintah harus kasih insentif yang bisa langsung menurunkan biaya produksi setara 40%, jadi persaingannya equal [setara],” pungkasnya. 

    Untuk diketahui, pemerintah akan memperpanjang pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) untuk pekerja industri padat karya hingga tahun depan, khususnya bagi pekerja dengan penghasilan maksimal Rp10 juta per bulan. 

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, insentif khusus industri padat karya yang mulai berlaku pada awal tahun ini itu akan kembali menyasar pekerja sektor alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit. 

    “Ini juga dilanjutkan yang [pekerja dengan gaji maksimal] Rp10 juta itu ditanggung pemerintah ini targetnya 1,7 juta pekerja,” ujar Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Presiden RI, Senin (15/9/2025). 

    Adapun, Airlangga menuturkan bahwa alokasi anggaran untuk insentif padat karya tahun ini senilai Rp800 miliar. Dia pun memastikan kebijakan ini akan berlanjut untuk tahun depan.

  • Pemerintah Bidik Kontribusi Manufaktur ke PDB 20%, Impor Tekstil Mesti Dijegal

    Pemerintah Bidik Kontribusi Manufaktur ke PDB 20%, Impor Tekstil Mesti Dijegal

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menilai target kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 20% dapat dicapai tahun ini jika pemerintah serius mengurangi porsi impor tekstil dan produk tekstil (TPT). 

    Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan selama ini masalah utama industri manufaktur, khususnya TPT yakni persaingan adil di pasar domestik. Pasalnya, produk impor murah banyak mengambil peluang pasar produsen lokal. 

    “Kotribusi manufaktur terhadap PDB hanya 20% itu sangat mudah kalau pemerintah secara serius menghentikan importasi ilegal dan mengurangi kuota impornya,” kata Redma kepada Bisnis.com, Minggu (21/9/2025). 

    Dia menuturkan bahwa ketersediaan pasar domestik makin menipis potensinya karena lebih banyak diambil importir ilegal maupun legal tetapi dengan harga murah. 

    Hal ini pun terlihat dari data BPS yang juga menunjukkan impor benang dan kain terus meningkat. Pada 2016, impor komoditas tersebut hanya berkisar 230.000 ton untuk benang dan 724.000 ton untuk kain. 

    Namun, pada 2024, impor benang tercatat mencapai 462.000 ton dan impor kain mencapai 939.000 ton. Kondisi ini mencerminkan adanya indikasi disintegrasi industri, utamanya sektor TPT dalam negeri. 

    Menurut Redma, tantangan perang dagang dan geopolitik global yang menekan kinerja ekspor bisa dengan mudah diantisipasi jika pasar domestik bisa menjadi jaminan. 

    “Tapi kalau pemerintah maunya kita bertarung bebas dengan barang impor dumping dan ilegal, pemerintah harus kasih insentif yang bisa langsung menurunkan biaya produksi setara 40%, jadi persaingannya equal [setara],” ujarnya.

    Dalam hal ini, dia menyoroti kebutuhan efisiensi ongkos produksi dari sisi beban energi, pajak dan beban bunga. Sementara dari segi upah perlu dijaga untuk mengungkit daya beli. 

    Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo Subianto menargetkan kontribusi manufaktur terhadap PDB mencapai 20,8% pada 2025. Angka tersebut naik dibanding baseline 2024 yang sebesar 18,98%. 

    Adapun, peningkatan target tersebut sebagaimana tertuang dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025. 

    Dokumen ini menjadi pedoman pembangunan nasional di tahun pertama Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

    Data BPS menunjukkan kontribusi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 18,67% (year on year/YoY) pada kuartal II/2025. Namun, angka tersebut turun dari kuartal sebelumnya yakni 19,25% yoy.  

    Sementara itu, jika dibandingkan dengan kuartal II/2024 yang mencapai 18,52% yoy, kontribusi periode kuartal kedua tahun ini masih lebih tinggi. 

  • Industri Tekstil Terus Dibayang-bayangi PHK Massal, Tertekan Produk Impor Murah

    Industri Tekstil Terus Dibayang-bayangi PHK Massal, Tertekan Produk Impor Murah

    JAKARTA – Ikatan Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA Tekstil) menyuarakan keresahannya terkait tren pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

    Ketua Umum IKA Tekstil Riady Madyadinata mengatakan, PHK kali ini tidak hanya menimpa pekerja level operator, tetapi juga tenaga ahli hingga manajemen menengah.

    “Karyawan kami yang merupakan profesional juga ikut terdampak. Kami tengah menganalisa akar masalah penutupan pabrik melalui masukan dari koordinator wilayah di DKI–Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah–DIY hingga Jawa Timur,” ujar Riady dalam keterangan resmi yang diterima VOI, Jumat, 19 September.

    Menurut Riady, masalah utama terletak pada sulitnya penjualan produk dalam negeri akibat banjir barang impor, baik legal maupun ilegal. Harga produk lokal dinilai sulit bersaing karena biaya produksi di Indonesia lebih tinggi sekitar 35-40 persen dibanding barang impor.

    IKA Tekstil juga mencatat sejumlah faktor lain yang menekan daya saing industri, seperti biaya energi, sumber daya manusia, logistik hingga budaya kerja di internal perusahaan. Ironisnya, banyak alumni justru berkarier di luar negeri karena industri TPT di negara lain tengah berkembang.

    Riady menambahkan, masuknya investasi asing, terutama dari China belum cukup mampu menahan laju PHK dan penutupan pabrik di dalam negeri.

    Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman meminta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) transparan dalam mengumumkan perusahaan penerima kuota impor beserta besarannya.

    “Kalau tidak transparan, kejadian sama seperti di sektor benang dan kain akan terulang. Data BPS menunjukkan impor benang dan kain terus naik lima tahun terakhir, sementara produsen dalam negeri justru gulung tikar,” katanya.

    Meski begitu, Nandi menyambut baik terbitnya Permendag Nomor 17 Tahun 2025 yang mewajibkan importir umum diverifikasi untuk memperoleh kuota impor. 

    Dia menilai, aturan tersebut bisa menjadi peluang bagi industri kecil, terutama konveksi pakaian jadi.

    Nandi pun mengusulkan agar kuota impor pakaian jadi dan produk tekstil lainnya (HS 61, 62 dan 63) dibatasi maksimal 50.000 ton per tahun.

    “Produksi dalam negeri sudah mencapai 2,8 juta ton per tahun, dengan kapasitas ekspor sekitar 500.000 ton dan konsumsi domestik 2 juta ton. Artinya, kapasitas nasional sebetulnya sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri,” imbuhnya.

  • Industri Elektronik Minta Perlindungan Pasar di Tengah Aturan Baru TKDN

    Industri Elektronik Minta Perlindungan Pasar di Tengah Aturan Baru TKDN

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Perusahaan Industri Elektronik dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga (Gabel) menilai aturan baru tingkat komponen dalam negeri (TKDN) belum serta merta menjawab tantangan utama industri yakni masih lemahnya permintaan pasar domestik dan ekspor.

    Aturan baru TKDN yang dimaksud yaitu Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 35 Tahun 2025 yang mengatur mekanisme baru perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). 

    Sekjen Gabel Daniel Suhardiman mengatakan, pemulihan permintaan global belum sepenuhnya terjadi, sementara permintaan dalam negeri menurun imbas masifnya produk elektronik impor yang lebih murah. 

    Di satu sisi, dia melihat Permenperin baru terkait TKDN itu memberi opsi fleksibilitas bagi pengusaha dalam metode perhitungan. Namun, menurut pemahamannya, aturan ini juga menghadirkan persoalan baru. 

    “Metode baru lebih mudah. Namun, juga membuat masalah baru di mana layer kedua yaitu supporting industry juga harus ber-TKDN,” ujar Daniel kepada Bisnis, Rabu (17/9/2025). 

    Dia juga menegaskan bahwa penerapan TKDN harus dibarengi dengan kriteria penilaian yang objektif. Transparansi dalam proses asesmen mutlak diperlukan agar pelaku industri merasa diperlakukan adil. 

    Selain itu, keberadaan riset dan pengembangan (litbang) juga sangat penting untuk mendukung pencapaian target TKDN di sektor elektronik.

    Terkait fleksibilitas TKDN yang diatur dalam Permenperin No. 35/2025, Daniel menilai kebijakan ini berpotensi membuka peluang dominasi pemain asing yang memiliki modal besar dan dianggap lebih cepat beradaptasi dengan regulasi baru. 

    “Yang penting, investasi yang masuk haruslah investasi yang membawa pertumbuhan ekonomi riil,” tegas Daniel.

    Sebagai perbandingan, Daniel menyebut, pengalaman Thailand yang menghadapi fenomena ‘zero-dollar factory’, yakni kondisi di mana investasi asing berdiri di dalam negeri tetapi tidak memberi nilai tambah signifikan bagi ekonomi lokal. 

    Menurut dia, mestinya Indonesia harus belajar dari kasus tersebut agar tidak terjebak dalam jebakan investasi semu.

    Di sisi lain, dengan kondisi pasar yang masih lesu, Daniel menilai produsen dalam negeri justru tengah berusaha untuk menekan biaya produksi seminimal mungkin. 

    Namun, strategi efisiensi itu tidak akan berarti jika pemerintah tidak menjaga pasar domestik dari serbuan produk impor, yang seringkali masuk dengan harga lebih kompetitif.

    Daniel mengingatkan bahwa konsistensi pengawasan impor adalah kunci agar industri lokal bisa tumbuh. Tanpa perlindungan yang memadai, produk asing dapat dengan mudah menguasai pasar Indonesia, apalagi di tengah lemahnya daya beli masyarakat.

    “Ini akan sia-sia kalau pemerintah tidak menjaga pasar kita dari gempuran barang-barang impor secara konsisten,” pungkasnya. 

  • 5 Keuntungan Beli Brand Lokal, Harga Kompetitif-Kualitas Bersaing

    5 Keuntungan Beli Brand Lokal, Harga Kompetitif-Kualitas Bersaing

    Jakarta

    Tren belanja produk lokal semakin meningkat di kalangan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data GoodStats, hasil Survei Jakpat yang digelar pada 24-25 Juli 2025 menyebut dari 1.326 responden, 95% menyatakan lebih memilih membeli produk lokal.

    Lantas, apa alasan mereka memilih produk lokal?

    1. Harga Kompetitif

    Harga memang kerap menjadi faktor penentu seseorang membeli suatu produk. Tak jarang konsumen tergiur harga terjangkau saat berbelanja. Faktor harga juga menjadi daya tarik utama konsumen Indonesia. Dari hasil survei, sebanyak 72% responden menyebut produk lokal terasa lebih ramah di kantong dibanding barang impor.

    Harga produk lokal umumnya memang lebih terjangkau karena tidak dibebani biaya impor atau distribusi jarak jauh. Faktor inilah yang juga menjadi keuntungan utama jika membeli produk lokal.

    2. Bangga Produk Lokal

    Selain harga, rasa bangga akan produk dalam negeri ternyata menjadi alasan lain konsumen memilih produk lokal. Sebanyak 56% responden merasa bangga menggunakan produk buatan anak bangsa. Tak hanya itu, tren ‘local pride’ yang banyak bermunculan di media sosial juga menjadi faktor lainnya.

    Hal ini terlihat dari survei GoodStats pada Oktober-November 2024, di mana sebanyak 69,3% anak muda Indonesia mengaku mengikuti influencer yang sering mempromosikan produk lokal di media sosial. Survei ini melibatkan 212 responden berusia 14-25 tahun. Peran influencer dalam memberikan rekomendasi menjadi konten media sosial yang paling menarik perhatian anak muda untuk membeli produk lokal.

    Secara tak langsung, membeli produk lokal juga mendukung pelestarian budaya lokal. Saat memakai produk lokal-baik itu fesyen, kuliner, kesehatan, kecantikan atau kerajinan tangan, Anda ikut mengangkat budaya atau potensi daerah tersebut.

    3. Dukung UMKM & Penciptaan Lapangan Kerja

    UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Dengan membeli produk lokal, Anda ikut mendorong pertumbuhan bisnis lokal, membantu para pelaku UMKM berkembang, serta membuka lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat daerahnya.

    Hal ini juga yang menjadi alasan kuat bagi 50% responden, di mana mereka ingin belanja produk lokal agar UMKM bisa terus hidup. Di sisi lain, 37% responden lainnya menilai membeli produk lokal dapat membuka lebih banyak lapangan kerja.

    4. Kualitas Bersaing

    Meski diproduksi di dalam negeri, kualitas produk lokal juga tak kalah bersaing. Bahkan, 35% responden menilai produk lokal cukup mampu bersaing dengan barang impor. Saat ini, memang telah banyak produk lokal hadir dengan kualitas tinggi dan desain modern. Bahkan, tak sedikit produk lokal yang telah menembus pasar internasional.

    5. Penawaran Lokal Unik

    Produk lokal seringkali memiliki ciri khas budaya yang tidak dimiliki produk impor. Misalnya, batik dengan motif tradisional, makanan lokal dengan resep turun-temurun, atau kerajinan tangan dengan bahan baku alami. Nilai-nilai budaya dan cerita di balik inilah yang menjadi alasan 21% responden memilih produk lokal.

    Selain alasan-alasan di atas, konsumen juga kerap memilih produk lokal karena mudah didapat, ramah lingkungan dan mampu mengurangi ketergantungan produk impor. Selain itu, membeli produk lokal sebenarnya juga lebih menguntungkan karena banyak promo menarik yang bisa dinikmati.

    Buat para pencinta produk lokal, kini Anda bisa membeli berbagai brand lokal pilihan melalui program BCA Bangga Lokal. Seluruh brand yang dihadirkan pada program ini telah terkurasi sehingga terjamin kualitasnya. Nikmati promo eksklusif untuk pembelian produk dari brand-brand lokal hits mulai dari produk makanan dan minuman, fesyen, perawatan diri, hobi dan lainnya.

    Adapun beberapa produk Kolaberaksi yang masih berlangsung di antaranya Agung Ngoro, Dippolar, Denimitup, Dua Coffee, mackandphil, HMNS, MAXIMALL, dan OZA Tea. Lewat program BCA Bangga Lokal, Anda dapat menikmati promo potongan harga serta diskon hingga 50%. Ada juga bonus hadiah untuk pembelian di brand-brand tertentu.

    Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, jadi bagian dari gerakan bangga buatan lokal. Info terkait merchant dan promo BCA Bangga Lokal dapat dilihat melalui link ini.

    (akd/akd)

  • Meksiko Naikkan Tarif, Arus Investasi China Terancam Mandek

    Meksiko Naikkan Tarif, Arus Investasi China Terancam Mandek

    Bisnis.com, JAKARTA – Kamar Dagang Meksiko-China memperingatkan rencana Meksiko untuk menaikkan tarif impor produk asal China berisiko menghentikan arus investasi Negeri Panda ke negara tersebut.

    Presiden sekaligus Ketua Dewan Kamar Dagang Meksiko-China, Amapola Grijalva, mengatakan pendanaan dari China diperkirakan melambat di sektor otomotif, suku cadang kendaraan, serta industri metalurgi di Meksiko.

    “Seluruh isu tarif ini telah menimbulkan ketidakpastian yang luar biasa,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, Selasa (16/9/2025). 

    Dia menuturkan, beberapa perusahaan besar asal China disebut sudah menghentikan rencana investasinya. Perusahaan tersebut termasuk produsen mainan global asal China yang kini mempertimbangkan Vietnam sebagai lokasi produksi, serta produsen papan sirkuit (PC boards) milik China yang memasok sejumlah pabrik peralatan rumah tangga di Meksiko.

    Adapun, dia tidak menyebut nama perusahaan-perusahaan tersebut  karena belum diumumkan ke publik.

    Grijalva menuturkan, dengan sebagian komponen PC boards masuk dalam daftar barang yang dikenai tarif, model bisnis perusahaan serta skema pendanaan untuk mendirikan pabrik di Meksiko menjadi sepenuhnya rusak. 

    Awal bulan ini, Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum mengumumkan serangkaian langkah untuk melindungi industri dalam negeri, termasuk tarif 50% untuk sejumlah produk impor dari China, seperti mobil, suku cadang, dan baja. 

    Kebijakan tersebut langsung mendapat penolakan dari Beijing yang mendesak Meksiko mempertimbangkan ulang.

    Rencana tersebut, yang menunggu persetujuan Kongres, mencakup lebih dari 1.400 kategori produk dari negara-negara yang tidak memiliki perjanjian dagang dengan Meksiko, termasuk China, Korea Selatan, dan India. Tarif impor akan bervariasi antara 10% hingga 50% tergantung kategori produk.

    RUU ini diperkirakan akan lolos, mengingat partai berkuasa memiliki dukungan mayoritas di kedua majelis. Tarif baru akan berlaku 30 hari setelah diterbitkan dalam lembaran resmi pemerintah.

    Kamar Dagang Meksiko-China menegaskan bahwa kebijakan ini akan merugikan konsumen karena berpotensi menimbulkan dampak inflasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

    Selain itu, rencana tersebut juga dapat menghambat transisi energi Meksiko dari bahan bakar fosil, mengingat tarif turut menyasar mobil listrik yang tidak diproduksi di dalam negeri.

    “Penetapan tarif yang terlalu tinggi untuk sektor seperti tekstil, sepatu, dan barang konsumsi lainnya dapat memicu masuknya produk ilegal ke pasar gelap, yang justru menekan penerimaan pajak,” kata Grijalva. 

    Dia menambahkan, hal ini juga akan mengurangi perlindungan bagi pekerja maupun konsumen karena produk berasal dari sumber yang tidak jelas.

    Grijalva melanjutkan, lonjakan penyelundupan juga pernah terjadi pada 1994, ketika kuota impor diberlakukan secara menyeluruh terhadap ribuan produk China, termasuk yang sebenarnya tidak diproduksi di Meksiko. Kondisi tersebut melahirkan jaringan penyelundup yang masih aktif hingga kini.

    “Kita semua dirugikan. Itulah sebabnya kita harus sangat berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini,” tegas Grijalva.

  • Bos Krakatau Steel (KRAS) Curhat Pangsa Pasar Baja RI Direbut Produk China

    Bos Krakatau Steel (KRAS) Curhat Pangsa Pasar Baja RI Direbut Produk China

    Bisnis.com, JAKARTA — Emiten produsen baja, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. (KRAS) mengungkap pangsa pasar domestik perlahan diambil alih sebagian oleh produk-produk impor asal China. Alhasil, kinerja perusahaan pelat merah ini tertekan.

    Direktur Utama KRAS Muhamad Akbar Djohan mengatakan, lonjakan impor baja dari China, khususnya produk baja canai panas (hot rolled coil/HRC) menekan kinerja penjualan baja perusahaannya. 

    “Bagi Krakatau Steel, dumping dari China berarti produksi tidak bisa optimal karena penjualan domestik tertekan, sementara biaya tetap produksi tetap harus ditanggung,” kata Akbar kepada Bisnis, Kamis (11/9/2025). 

    Akbar menerangkan bahwa sebagian kebutuhan pasar domestik yang mestinya dapat dipenuhi oleh produk lokal kini justru direbut oleh produk impor dengan harga dumping atau terlampau murah di bawah harga pasar. 

    Merujuk data Komite Antidumping Indonesia (KADI), pangsa impor baja HRC naik signifikan dari 23,5% pada 2023 menjadi 31,6% pada 2024. 

    Dalam laporan keuangan KRAS, pendapatan perseroan mengalami pertumbuhan 3,63% (year-on-year/yoy) sebesar US$460,82 juta pada semester I/2025. 

    Kendati pertumbuhan pendapatan itu diiringi dengan meningkatnya beban pokok pendapatan 7,67% yoy senilai US$426,85 juta. Alhasil, laba bruto KRAS menjadi US$33,96 juta atau terkontraksi 29,58% yoy. 

    Pada saat yang sama, kerugian operasional KRAS membengkak dari US$4,83 juta menjadi US$22,39 juta. Angka tersebut bisa didapat karena pemasukan dari segmen produk baja tidak sebanding dengan beban yang ada. Rugi operasi dari sektor tersebut sebesar US$64,03 juta.

    Adapun, kerugian KRAS salah satunya berasal dari kinerja negatif beberapa anak usaha dan ventura bersama (joint ventures) yakni PT Krakatau Posco yang mengalami kerugian terbesar yakni US$28,22 juta. 

    Seiring dengan kerugian tersebut, baru-baru ini PT Krakatau Posco dan sejumlah produsen baja lainnya mengajukan permohonan penyelidikan antidumping ke KADI. Pada 1 September lalu, KADI juga telah mengumumkan dimulainya penyelidikan antidumping terhadap impor HRC non-paduan asal China dengan fokus pada Wuhan Iron & Steel Co atau WISCO. 

    Pasalnya, KADI telah menilai terdapat indikasi kuat adanya kerugian material yang dialami industri baja domestik serta hubungan kausal antara lonjakan impor HRC dengan kondisi kerugian industri.