Topik: produk impor

  • Airlangga Sebut Kinerja Perekonomian Tangguh Didorong Insentif Pemerintah dan Hilirisasi Industri – Halaman all

    Airlangga Sebut Kinerja Perekonomian Tangguh Didorong Insentif Pemerintah dan Hilirisasi Industri – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Memasuki awal tahun 2025, kinerja perekonomian nasional terus menghadirkan optimisme.

    Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Desember 2024 berhasil rebound dan kembali mencatatkan level ekspansif di angka 51,2, setelah sebelumnya sempat berada di level kontraktif.

    Peningkatan ini didorong oleh kenaikan pesanan baru, baik domestik maupun ekspor, serta peningkatan aktivitas pembelian bahan baku oleh perusahaan.

    Selain itu, tingkat inflasi Indonesia bulan Desember 2024 tetap terkendali dalam rentang target sasaran nasional 2,5 persen±1 persen. Inflasi Desember 2024 tercatat sebesar 1,57 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan inflasi Desember 2023 (2,61%).

    Inflasi yang terkendali dan PMI yang ekspansif menunjukkan dunia usaha tetap optimis dengan kondisi perekonomian nasional ke depan.

    Hal ini juga tercermin dari outlook World Bank bulan Desember 2024 yang memproyeksikan perekonomian Indonesia akan tumbuh 5,1% pada tahun 2024 dan 5,2% pada tahun 2025.

    “Kondisi ini sekaligus mencerminkan prospek positif sektor manufaktur, dengan banyak perusahaan yang bersiap menghadapi peningkatan permintaan di tahun 2025,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Kamis (2/1/2025).

    Lebih lanjut, Pemerintah terus berupaya meningkatkan sektor manufaktur nasional melalui penggunaan bahan baku lokal, pemberian insentif, perlindungan industri dalam negeri, dan kerja sama ekonomi di tingkat internasional.

    Pemerintah mendorong penggunaan bahan baku lokal dibanding impor bagi yang telah tersedia di dalam negeri untuk mengurangi beban biaya produksi akibat melemahnya nilai tukar Rupiah.

    Hal ini dilakukan antara lain melalui akselerasi hilirisasi industri berbasis sumber daya alam.

    Terkait, pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan, peningkatan kualitas SDM, serta penguatan riset dan inovasi merupakan upaya lebih lanjut dari Pemerintah untuk mendorong industri nasional.

    Pemerintah juga telah memberikan insentif PPN DTP untuk sektor otomotif dan menyediakan pembiayaan Industri Padat Karya diantaranya sektor pakaian jadi, tekstil, furnitur, kulit, barang dari kulit, alas kaki, mainan anak, serta makanan dan minuman untuk revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas, dengan skema subsidi bunga.

    Lebih jauh, Pemerintah terus berupaya memberikan akses pasar yang lebih baik bagi produk ekspor nasional melalui berbagai kerja sama perdagangan.

    Menurutnya, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk bergabung di kesepakatan CP-TPP dan mempercepat perundingan Indonesia-EU CEPA untuk meningkatkan penetrasi produk ekspor nasional di Amerika Latin dan Uni Eropa.

    “Pemerintah juga mengakselerasi penerapan kebijakan perlindungan industri dalam negeri dari banjirnya produk impor melalui safeguards dan praktik impor yang tidak fair (dumping) melalui Anti Dumping,” kata Menko Airlangga.

    Namun demikian, sejumlah tantangan masih tetap muncul. Kenaikan harga komoditas global seperti emas, kopi, dan minyak sawit mentah (CPO) terus memberikan tekanan pada biaya produksi dalam negeri.

    Fluktuasi harga minyak mentah global dan penguatan nilai tukar dolar AS juga menyebabkan kenaikan harga impor bahan baku.

    Terkait dengan capaian inflasi sepanjang tahun 2024, tidak terlepas dari berbagai faktor baik dari eksternal maupun domestik, serta keberhasilan kebijakan pengendalian inflasi yang dikoordinasikan oleh Tim Pengendalian Inflasi Nasional.

    Eksternal fluktuasi harga komoditas global, seperti emas, kopi, CPO dan minyak mentah, mendorong kenaikan harga komoditas dalam negeri.

    Dari dalam negeri, penyesuaian tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), tingginya curah hujan serta momen Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) menjadi driver utama pergerakan inflasi.

    Inflasi komponen harga bergejolak (volatile food/VF) pada Desember 2024 tercatat sebesar 2,04% (mtm) dan 0,12% (yoy).

    Hal ini menunjukkan upaya Pemerintah dan Bank Indonesia melalui TPIP dan TPID dalam pengendalian harga pangan tetap di bawah 5% sebagaimana hasil kesepakatan HLM TPIP 2024.

    Untuk inflasi komponen harga diatur Pemerintah (administered price/AP) masih tetap stabil yakni 0,03% (mtm) dan 0,56% (yoy).

    Secara keseluruhan, inflasi ini masih terjaga dalam rentang target 2,5%±1% didukung kenaikan pada komponen inti yakni 0,17% (mtm) dan 2,26 (yoy).

    Inflasi VF secara tahunan mengalami penurunan, meskipun beberapa komoditas tetap mengalami peningkatan seperti beras, bawang merah, bawang putih dan daging ayam ras.

    Terjadi pergeresan puncak panen dari Maret 2023 menjadi April 2024 serta perkiraan luas panen yang menurun sebesar 1,54% pada 2024 telah menyebabkan kenaikan harga beras pada awal tahun 2024.

    Sementara harga bawang putih mengalami kenaikan didorong melonjaknya harga bawang putih di China yang merupakan negara impor utama.

    Di sisi lain, komoditas yang memberikan andil deflasi secara tahunan yaitu cabai merah dan cabai rawit.

    Komponen inti yang mencerminkan daya beli masyarakat mengalami inflasi sebesar 0,17% (mtm) atau 2,26% (yoy).

    Peningkatan tersebut utamanya dipengaruhi oleh kenaikan harga emas perhiasan.

    Sementara rata-rata harga emas tahun 2024 naik sebesar 22,88% dibandingkan ratarata tahun 2023 atau sebesar 0,35% (yoy).

    Harga emas global masih dapat berfluktuasi di tengah konflik geopolitik yang masih berlangsung.

    Selain itu, harga kopi juga mengalami peningkatan yakni 67,45% yang mengakibatkan kopi bubuk domestik juga meningkat sebesar 0,10% (yoy).

    Sementara itu, AP mengalami inflasi sebesar 0,03% (mtm) atau 0,56% (yoy).

    Terkendalinya inflasi AP dipengaruhi oleh tarif angkutan udara yang mengalami deflasi dengan andil sebesar 0,01% (mtm) karena Pemerintah menurunkan harga tiket pesawat selama 16 haripada periode HBKN Natal dan Tahun Baru yaitu pada 19 Desember 2024 sampai 3 Januari 2025.

    Inflasi AP relatif terjaga sejalan dengan upaya Pemerintah menyediakan tiket pesawat yang terjangkau sehingga mobilitas masyarakat dapat meningkat pada periode libur Nataru.

    “Sinergi antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui TPIP dan TPID telah berhasil menjaga stabilitas harga dan memberikan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah juga akan terus memastikan pasokan pangan yang cukup, menjaga kestabilan harga, dan mendorong pemulihan sektor-sektor vital seperti industri manufaktur, konstruksi dan pertanian,” ujar Airlangga. (*)

  • Ekonom: Alarm Bahaya Manufaktur Masih Berdering Meski PMI Kembali Ekspansif

    Ekonom: Alarm Bahaya Manufaktur Masih Berdering Meski PMI Kembali Ekspansif

    Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai kondisi manufaktur nasional masih perlu diwaspadai meskipun Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia berhasil masuk kembali ke zona ekspansi pada Desember 2024 setelah 5 bulan sebelumnya kontraksi berturut-turut. 

    Berdasarkan laporan S&P Global, Kamis (2/1/2025), PMI manufaktur Indonesia menguat ke posisi 51,2 pada Desember 2024, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi di level 49,6. Angka indeks ini juga tertinggi sejak Mei 2024. 

    Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan, industri pengolahan nonmigas masih mengkhawatirkan dengan masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri yang tertekan. 

    “PHK periode Januari-November ini kalau dibandingkan periode yang sama tahun lalu kurang lebih menurut saya sudah ada kenaikan 12%, ini angka yang besar dan menurut saya sudah harus pemerintah cari jalan untuk menguatkan industri manufaktur,” kata Andry kepada Bisnis, Kamis (2/1/2025). 

    Sementara itu, jika merujuk pada Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, pekerja yang menjadi korban PHK periode Januari-Desember 2023 sebanyak 64.885 orang. Sementara itu, data sementara periode Januari-Desember 2024, sebanyak 80.000 pekerja ter-PHK. 

    Melihat kondisi tersebut, Andry menyebutkan pentingnya paket kebijakan stimulus yang terarah dan tepat sasaran. Dalam hal ini, kebijakan insentif fokus untuk penurunan biaya produksi melalui insentif fiskal maupun nonfiskal yang terstruktur dalam jangka waktu 1-2 tahun ke depan. 

    “Yang kita tekankan dua hal, dari sisi supply dan demand. Dari sisi supply itu produksi, bagaimana kita bisa menurunkan biaya produksi, energi dan bahan baku, kita juga bicara untuk menurunkan biaya distribusi, biaya yang pada akhirnya memberikan tekanan kepada industri itu juga harus diperhatikan,” ujarnya. 

    Tak hanya itu, dia melihat adanya beberapa shadow cost atau biaya yang tak terlihat lantaran banyaknya oknum yang bermain di lapangan usaha industri sehingga memberatkan kondisi tersebut. 

    Sedangkan dari sisi permintaan, Andry menyoroti kebijakan proteksi pasar yang mesti diperkuat karena saat ini produk impor legal dan ilegal telah menekan daya saing produk industri lokal karena terlampau murah. 

    “Kedua hal ini butuh intervensi pemerintah, pertama bagaimana pemerintah bisa melindungi pasar dalam negeri dari gempuran produk murah yang pada akhirnya terindikasi dumping, kedua produk murah karena masuk secara ilegal, dua hal ini harus segera diberantas,” tuturnya. 

    Oleh karena itu, perlindungan larangan dan pembatasa (lartas) impor serta instrumen trade remedies masih diperlukan bagi pelaku usaha agar produk yang dihasilkan dapat berkompetisi dengan level playing field yang adil dan sehat. 

    Di samping itu, pihaknya juga melihat penting untuk memberikan insentif tambahan berupa diskon atau subsidi bagi perusahaan asing yang mau berinvestasi di Indonesia dengan menggandeng industri lokal. 

    “Tanpa ada paket kebijakan stimulus, pemerintah segaja mematikan idnustri dalam negeri, jika tidak ada paket kebijakan yang tidak komprehensif maka menurut saya omong kosong pertumbuhan ekonomi 8%,” pungkasnya. 

  • PMI Manufaktur RI Kembali Bergairah di Desember 2024, Capai Angka 51,2

    PMI Manufaktur RI Kembali Bergairah di Desember 2024, Capai Angka 51,2

    Jakarta

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan kinerja perekonomian RI tetap tangguh di awal tahun 2025. Dia menjelaskan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Desember 2024 berhasil rebound dan kembali mencatatkan level ekspansif di angka 51,2, setelah sebelumnya sempat berada di level kontraktif.

    Adapun peningkatan ini didorong oleh kenaikan pesanan baru, baik domestik maupun ekspor, serta peningkatan aktivitas pembelian bahan baku oleh perusahaan. Selain itu, tingkat inflasi Indonesia bulan Desember 2024 tetap terkendali dalam rentang target sasaran nasional 2,5%±1%.

    Inflasi Desember 2024 tercatat sebesar 1,57% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 2,61%. Airlangga menyebut tingkat inflasi yang terkendali dan PMI yang ekspansif menunjukkan dunia usaha tetap optimistis dengan kondisi perekonomian nasional ke depan. Hal ini juga tercermin dari outlook World Bank bulan Desember 2024 yang memproyeksikan perekonomian Indonesia akan tumbuh 5,1% pada tahun 2024 dan 5,2% pada tahun 2025.

    “Kondisi ini sekaligus mencerminkan prospek positif sektor manufaktur, dengan banyak perusahaan yang bersiap menghadapi peningkatan permintaan di tahun 2025,” kata Airlangga dalam keterangan tertulis, Kamis (2/1/2025).

    Pemerintah, kata dia, terus berupaya meningkatkan sektor manufaktur nasional melalui penggunaan bahan baku lokal, pemberian insentif, perlindungan industri dalam negeri, dan kerja sama ekonomi di tingkat internasional. Pemerintah mendorong penggunaan bahan baku lokal dibanding impor bagi yang telah tersedia di dalam negeri untuk mengurangi beban biaya produksi akibat melemahnya nilai tukar Rupiah, antara lain melalui akselerasi hilirisasi industri berbasis sumber daya alam.

    Sementara itu, pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan, peningkatan kualitas SDM, serta penguatan riset dan inovasi merupakan upaya lebih lanjut dari Pemerintah untuk mendorong industri nasional.

    “Pemerintah juga telah memberikan insentif PPN DTP untuk sektor otomotif dan menyediakan pembiayaan Industri Padat Karya diantaranya sektor pakaian jadi, tekstil, furnitur, kulit, barang dari kulit, alas kaki, mainan anak, serta makanan dan minuman untuk revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas, dengan skema subsidi bunga,” jelasnya.

    Lebih jauh, Pemerintah terus berupaya memberikan akses pasar yang lebih baik bagi produk ekspor nasional melalui berbagai kerja sama perdagangan. Pemerintah saat ini tengah berupaya untuk bergabung di kesepakatan CP-TPP dan mempercepat perundingan Indonesia-EU CEPA untuk meningkatkan penetrasi produk ekspor nasional di Amerika Latin dan Uni Eropa.

    “Pemerintah juga mengakselerasi penerapan kebijakan perlindungan industri dalam negeri dari banjirnya produk impor melalui safeguards dan praktik impor yang tidak fair (dumping) melalui Anti Dumping,” ungkap Airlangga.

    Kendati demikian, Airlangga menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi. Salah satunya terkait kenaikan harga komoditas global seperti emas, kopi, dan minyak sawit mentah (CPO) yang memberikan tekanan pada biaya produksi dalam negeri. Fluktuasi harga minyak mentah global dan penguatan nilai tukar dolar AS juga menyebabkan kenaikan harga impor bahan baku.

    Terkait dengan capaian inflasi sepanjang tahun 2024, tidak terlepas dari berbagai faktor baik dari eksternal maupun domestik, serta keberhasilan kebijakan pengendalian inflasi yang dikoordinasikan oleh Tim Pengendalian Inflasi Nasional. Dari eksternal fluktuasi harga komoditas global, seperti emas, kopi, CPO dan minyak mentah, mendorong kenaikan harga komoditas dalam negeri. Sementara dari dalam negeri, penyesuaian tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), tingginya curah hujan serta momen Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) menjadi driver utama pergerakan inflasi.

    Inflasi komponen harga bergejolak (volatile food/VF) pada Desember 2024 tercatat sebesar 2,04% (mtm) dan 0,12% (yoy). Hal ini menunjukkan upaya Pemerintah dan Bank Indonesia melalui TPIP dan TPID dalam pengendalian harga pangan tetap di bawah 5% sebagaimana hasil kesepakatan HLM TPIP 2024.

    Sementara itu, inflasi komponen harga diatur Pemerintah (administered price/AP) masih tetap stabil yakni 0,03% (mtm) dan 0,56% (yoy). Secara keseluruhan, inflasi ini masih terjaga dalam rentang target 2,5%±1% didukung kenaikan pada komponen inti yakni 0,17% (mtm) dan 2,26 (yoy).

    Inflasi VF secara tahunan mengalami penurunan, meskipun beberapa komoditas tetap mengalami peningkatan seperti beras, bawang merah, bawang putih dan daging ayam ras. Terjadi pergeseran puncak panen dari Maret 2023 menjadi April 2024 serta perkiraan luas panen yang menurun sebesar 1,54% pada 2024 telah menyebabkan kenaikan harga beras pada awal tahun 2024.

    Sementara harga bawang putih mengalami kenaikan didorong melonjaknya harga bawang putih di China yang merupakan negara impor utama. Di sisi lain, komoditas yang memberikan andil deflasi secara tahunan yaitu cabai merah dan cabai rawit.

    Komponen inti yang mencerminkan daya beli masyarakat mengalami inflasi sebesar 0,17% (mtm) atau 2,26% (yoy). Peningkatan tersebut utamanya dipengaruhi oleh kenaikan harga emas perhiasan. Rata-rata harga emas tahun 2024 naik sebesar 22,88% dibandingkan rata rata tahun 2023 atau sebesar 0,35% (yoy).

    Harga emas global masih dapat berfluktuasi di tengah konflik geopolitik yang masih berlangsung. Selain itu, harga kopi juga mengalami peningkatan yakni 67,45% yang mengakibatkan kopi bubuk domestik juga meningkat sebesar 0,10% (yoy).

    Sementara itu, AP mengalami inflasi sebesar 0,03% (mtm) atau 0,56% (yoy). Terkendalinya inflasi AP dipengaruhi oleh tarif angkutan udara yang mengalami deflasi dengan andil sebesar 0,01% (mtm) karena Pemerintah menurunkan harga tiket pesawat selama 16 hari pada periode HBKN Natal dan Tahun Baru yaitu pada 19 Desember 2024 – 3 Januari 2025. Inflasi AP relatif terjaga sejalan dengan upaya Pemerintah menyediakan tiket pesawat yang terjangkau sehingga mobilitas masyarakat dapat meningkat pada periode libur Nataru.

    “Sinergi antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui TPIP dan TPID telah berhasil menjaga stabilitas harga dan memberikan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah juga akan terus memastikan pasokan pangan yang cukup, menjaga kestabilan harga, dan mendorong pemulihan sektor-sektor vital seperti industri manufaktur, konstruksi dan pertanian,” ujar Airlangga.

    (akn/ega)

  • Ini 6 Tantangan dan Peluang Ekonomi Indonesia pada 2025

    Ini 6 Tantangan dan Peluang Ekonomi Indonesia pada 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengatakan, Indonesia akan menghadapi ekonomi 2025 dengan penuh optimistis. Pasalnya, seluruh proyeksi lembaga kredibel terhadap ekonomi makro Indonesia pada 2025, tampak tidak berbeda jauh dengan target target APBN 2025.

    Hanya saja, kata Said, Indonesia perlu mengantisipasi sejumlah tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada agar perubahan-perubahan proyeksi ekonomi 2025 tidak terlalu berdampak signifikan, tetapi justru menjadi peluang untuk melompat lebih maju lagi.

    “Mari kita menghitung tantangan ke depan, agar lebih dini mempersiapkan diri, sekaligus membuat langkah yang memberikan lompatan penting bagi perekonomian nasional. Tujuannya agar hitungan kita realistis, tetapi memberikan capaian yang optimistik,” ujar Said kepada wartawan, Kamis (2/1/2024).

    Said kemudian membeberkan enam tantangan dan peluang Indonesia pada 2025. Pertama, kata dia, Indonesia akan menghadapi perang tarif antara Tiongkok berhadapan dengan Amerika Serikat (AS) dan dan Uni Eropa. Uni Eropa bahkan telah memberlakukan bea masuk 43% mobil listrik dari Tiongkok dan AS juga akan mengenakan tarif ekspor dari negara-negara yang melakukan dedolarisasi, seperti Tiongkok dan negara negara BRICS.

    Menurut Said, jika perang tarif tersebut makin tajam, maka Indonesia akan terkena spillover effect yang bisa berdampak negatif namun juga positif.

    “Negatifnya, ketidakpastian bisnis global makin tinggi, biaya ekspor bisa berpotensi semakin tinggi. Namun, apabila Indonesia bisa menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka peluang ekspor Indonesia akan besar. Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi ini sebagai peluang emas ke depan,” tandas Said.

    Kedua, perekonomian Tiongkok yang menjadi mitra dagang terbesar Indonesia mengalami penurunan. Menurut Said, jika perekonomian Tiongkok makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke Tiongkok.

    “Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi risiko atas menurunnya perekonomian Tiongkok, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke Tiongkok yang menurun,” imbuh dia.

    Ketiga, perang tarif bisa berdampak pada depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Belajar dari perang tarif Tiongkok dan AS pada 2018 lalu, kata Said, banyak pelaku pasar lebih menyalakan tombol risk on, artinya menggenggam dolar AS lebih low risk ketimbang mata uang lainnya.

    “Jika situasi ini terulang, maka kita harus bersiap sejak dini untuk memperkuat sistem moneter kita. Saya mengapresiasi Bank Indonesia atas upayanya menggunakan triple intervention di pasar spot, swap, dan DNDF untuk memperkuat rupiah, termasuk penggunaan underlying pembelian dolar AS dan rencana kebijakan debt switch/reprofiling,” kata dia.

    Keempat, kata Said, di dalam negeri, Indonesia menghadapi penurunan kelas menengah dan konsumsi rumah tangga. Menurut dia, menurunnya kelas menengah akan menjadi ancaman bagi upaya Indonesia atas posisinya saat ini di upper middle income country. Sementara menurunnya daya beli akan menjadi sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Kelima, data BPS memperlihatkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB pada 2014 sebesar 21,28% dan pada 2023 kontribusinya menyusut 18,67% atau Rp 3.900 triliun dari total PDB atas harga berlaku mencapai Rp 20.892 triliun. Said mengatakan, merujuk pada data BPS tersebut, banyak pihak menilai Indonesia mengalami deindustrialisasi.

    “Meskipun angka statistik menunjukkan penurunan, tetapi peluang industri manufaktur kita bangkit sangat besar sekali. Sebab jika industri manufaktur tumbuh, saya berkeyakinan, kelas menengah juga akan tumbuh sejalan dengan program industrialisasi, sebab kelas menengah bisa menjadi tenaga kerja yang adaptif untuk menopang kebutuhan industri,” ungkap Said.

    Menurut Said, perluasan hilirisasi bisa menjadi peluang bagi pemerintah untuk membangkitkan industri manufaktur dan mendorong kembali tumbuhnya kelas menengah. Karena itu, kata dia, hilirisasi tidak hanya di sektor nikel seperti saat ini, tetapi hilirisasi bisa merambah ke bahan tambang selain nikel, seperti perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok global.

    Terakhir, kata Said, Indonesia perlu menurunkan angka angka incremental output ratio (ICOR) yang dalam 2 tahun terakhir berturut-turut berada di angka 6. Penyebabnya adalah masih tingginya praktik korupsi dan problem struktural seperti ketidakefisienan birokrasi serta perizinan.

    “Indonesia memiliki peluang menurunkan ICOR jika berhasil membereskan hambatan ekonomi, seperti korupsi, dan memberikan pesan yang jelas kepada investor dan pelaku pasar tentang arah kebijakan ekonomi 2025. Dengan ICOR yang rendah maka produk ekspor Indonesia bisa berdaya saing di pasar global, menurunnya tingkat korupsi juga menguatkan kepercayaan kepada pemerintah,” pungkas Said.

  • Demi Ekonomi Tumbuh Menjulang, Ini Sederet Tantangan yang Kudu Diwaspadai

    Demi Ekonomi Tumbuh Menjulang, Ini Sederet Tantangan yang Kudu Diwaspadai

    Jakarta: Indonesia bisa memaksimalkan peluang guna membuat ekonomi menjulang tinggi di 2025. Proyeksi atas pertumbuhan ekonomi RI juga bisa saja melesat ke atas, jika pemerintah siap dan waspada terhadap sejumlah tantangan, baik dari domestik maupun internasional.
     
    Adapun, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5,1 persen. Sementara Bank Dunia atau World Bank, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 sebesar 5,1 persen.
     
    Sedangkan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 sebesar 5,2 persen.
    “Proyeksi ini sesungguhnya tidak terlalu berbeda jauh dengan target pertumbuhan ekonomi pada APBN 2025 sebesar 5,2 persen,” kata Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 2 Januari 2025.
     
    Menurut Said, Indonesia berpotensi masih menghadapi pelemahan konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama pertumbuhan perekonomian. Merosotnya daya beli berdampak pada rendahnya tingkat permintaan. “Gejala ini sesungguhnya sudah nampak sejak pasca pandemi,” tutur dia.
     
    Ia pun membeberkan sederet tantangan yang harus dihadapi agar pemerintah siap dan mawas diri. Hal ini juga agar Indonesia bisa memanfaatkan peluang ekonomi sehingga bisa melambung tinggi.
     
    1. Perang tarif

    Tiongkok dihadapkan perang ekonomi secara multifront, perang tarif dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Uni Eropa bahkan telah memberlakukan bea masuk 43 persen mobil listrik dari Tiongkok.
     
    AS juga akan memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas barang ekspor untuk meredam imigran, dan peredaran narkotika. AS juga akan mengenakan tarif ekspor dari negara negara yang melakukan dedolarisasi, seperti Tiongkok dan negara negara BRICS.
     
    “Jika perang tarif ini semakin menajam di tahun ini, maka Indonesia akan terkena spillover effect, bisa negatif namun juga positif,” terang Said.
     
    Negatifnya, ungkap dia, ketidakpastian bisnis global semakin tinggi, biaya ekspor bisa berpotensi semakin tinggi. Namun bila Indonesia bisa menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka peluang ekspor Indonesia akan besar.
     
    “Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi ini sebagai peluang emas kedepan,” tuturnya.
     
    2. Perekonomian Tiongkok melempem

    Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2025 berada di kisaran 4,5 persen, perkiraan ini lebih rendah dari prediksi pertumbuhan Tiongkok di tahun 2024 sebesar 4,8 persen.
     
    Jika perekonomian Tiongkok makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke Tiongkok.
     
    “Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi resiko atas menurunnya perekonomian Tiongkok, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke Tiongkok yang menurun,” tutur Said.
     
    3. Dolar AS makin kuat

    Said menuturkan, perang tarif bisa berdampak pada depresiasi dolar AS (USD) terhadap rupiah. Belajar perang tarif Tiongkok dan AS pada 2018 lalu, banyak pelaku pasar lebih menyalakan tombol ‘risk on’, artinya menggenggam USD lebih low risk ketimbang mata uang lainnya.
     
    “Jika situasi ini terulang, maka kita harus bersiap sejak dini untuk memperkuat sistem moneter kita,” urai dia.
     
    Said mengungkapkan efek penguatan USD akan berlangsung lama jika perang tarif berkepanjangan. Indonesia harus memanfaatkan diplomasi perdagangan internasional untuk membuat tata perdagangan dunia lebih adil, setidaknya tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
     
    “Sedangkan di dalam negeri, BI, OJK, dan pemerintah perlu mengatur lebih ketat lagi atas devisa hasil ekspor untuk kepentingan nasional,” jelas Said.
     

     

    4. Turunnya kelas menengah

    Di dalam negeri, sambung Said, Indonesia menghadapi penurunan kelas menengah dan konsumsi rumah tangga. Menurunnya kelas menengah akan menjadi ancaman bagi upaya Indonesia atas posisinya saat ini di upper middle income country. Sementara menurunnya daya beli akan menjadi sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
     
    Said bilang, pemerintah bisa mengombinasikan program makan siang bergizi gratis untuk siswa guna meningkatkan gizi anak, sekaligus menggerakan ekonomi UMKM. Libatkan para pelaku UMKM dalam rantai pasok makan bergizi gratis.
     
    “Langkah ini akan berdampak multiplier ekonomi, sebab sektor UMKM akan menyerap produk produk petani dan peternak. Apalagi sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia,” tutur dia.
     
    5. Industri nonmigas susut

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2014 sebesar 21,28 persen dan pada 2023 kontribusinya menyusut 18,67 persen atau Rp3.900 triliun dari total PDB atas harga berlaku mencapai Rp20.892 triliun.
     
    “Banyak pihak menilai kita mengalami deindustrialisasi. Meskipun angka statistik menunjukkan penurunan, namun peluang industri manufaktur kita bangkit sangat besar sekali. Sebab jika industri manufaktur tumbuh, saya berkeyakinan, kelas menengah juga akan tumbuh sejalan dengan program industrialisasi, sebab kelas menengah bisa menjadi tenaga kerja yang adaptif untuk menopang kebutuhan industri,” ucap Said.
     
    Menjawab tantangan tersebut, kata Said, peluang yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk membangkitkan industri manufaktur dan mendorong kembali tumbuhnya kelas menengah hanya dengan perluasan program hilirisasi, yang saat ini masih di sektor nikel.
     
    “Perluasan hilirisasi bisa merambah ke bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok global,” jelasnya.
     
    6. Pecut investasi

    Said menuturkan, Indonesia memiliki peluang menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR), perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan, jika berhasil membereskan hambatan ekonomi, seperti korupsi, dan memberikan pesan yang jelas kepada investor dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun kedepan.
     
    “Dengan ICOR yang rendah, maka produk ekspor Indonesia bisa berdaya saing di pasar global. Menurunnya tingkat korupsi juga menguatkan kepercayaan kepada pemerintah,” terang Said.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Said Abdullah Beberkan Peluang dan Tantangan Ekonomi Indonesia di 2025, Apa Saja? – Page 3

    Said Abdullah Beberkan Peluang dan Tantangan Ekonomi Indonesia di 2025, Apa Saja? – Page 3

     

    Said membeberkan, terdapat tantangan ekonomi yang harus dihadapi dan dilalui Indonesia sepanjang tahun 2025. Ia menyebut, mulai dari perang tarif hingga turunnya kelas menengah menjadi tantangan.

    “Besar kemungkinan dunia akan dihadapkan perang tarif, China dihadapkan perang ekonomi secara multifront, perang tarif dengan AS dan Uni Eropa,” bebernya.

    “Uni Eropa memberlakukan bea masuk 43 persen mobil listrik dari Tiongkok, AS juga akan memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas barang ekspor untuk meredam imigran, dan peredaran narkotika, serta AS juga akan mengenakan tarif ekspor dari negara negara yang melakukan dedolarisasi, seperti Tiongkok dan negara negara BRICS,” jelas Said.

    Menurutnya, jika perang tarif semakin menajam, maka Indonesia akan terkena spillover effect yang bisa berdampak negatif dan positif.

    “Negatifnya, ketidakpastian bisnis global makin tinggi, biaya ekspor bisa berpotensi semakin tinggi, namun bila Indonesia bisa menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka peluang ekspor Indonesia akan besar,” ucap Said.

    Ia juga mengungkapkan, ekonomi China sedang mengalami penurunan yang berdampak pada Indonesia. Pasalnya, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi China di 2025 di level 4,5 persen atau lebih rendah dari prediksi pertumbuhan di tahun 2024 sebesar 4,8 persen.

    “Jika perekonomian China makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke China,” ungkap Said.

    “Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi risiko atas menurunnnya perekonomian China, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke China yang menurun,” imbuhnya.

     

  • Industri Tekstil akan Lakukan PHK Lagi: Pemerintah Sadar Ada Kelesuan Tapi Ogah Selesaikan Masalah – Halaman all

    Industri Tekstil akan Lakukan PHK Lagi: Pemerintah Sadar Ada Kelesuan Tapi Ogah Selesaikan Masalah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil bakal berlanjut pada tahun ini, jika pemerintah tidak menekan maraknya produk impor ilegal dan membuat kebijakan yang tepat.

    Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta, mengatakan, sebenarnya pelemahan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah dirasakan sejak kuartal III 2022 yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) di tahun 2023. 

    Menurutnya, sejak awal pemerintah sudah menyadari ada pelemahan di industri TPT, namun tidak kunjung mengambil keputusan yang melindungi industri ini. 

    “Proyeksi bisnis tahun 2025 sangat tergantung dari tindakan Pemerintah. Pemerintah sudah aware dengan kelesuan industri TPT namun tetap tidak mau selesaikan masalah dan berputar mencari alasan. Pada 2024, banyak pabrik sudah menutup kerjanya dan PHK terjadi di mana-mana,” ujar Redma dikutip dari Kontan, Kamis (2/1/2025).

    Ia menyebut, jika pemerintah tidak mengendalikan serbuan barang impor dan memberantas importasi ilegal, industri TPT masih akan melanjutkan tren PHK dan penutupan pabrik di tahun 2025.

    Redma menyampaikan, beban yang ditopang oleh industri TPT akan semakin berat dengan kenaikan PPN 12 persen, lalu kondisi geopolitik yang berimbas pada perang dagang yang mengakibatkan banjir produk China memenuhi pasar dalam negeri. 

    Melihat hal ini, Redma juga memproyeksi bahwa daya beli masyarakat masih belum bangkit. Sebaliknya, berpotensi akan semakin melemah. 

    “Dengan adanya kenaikan PPN 12% plus devisa outflow yang semakin deras dari transaksi impor ilegal, daya beli masyarakat akan terus melemah (tahun 2025),” imbuhnya. 

    Redma berkata, jika pemerintah memang serius untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, sebaiknya perlu memberikan kekuatan untuk industri manufaktur dan pertanian, sebab kedua industri ini menghadapi persaingan dengan barang impor ilegal. 

    “Daya ungkit sektor industri manufaktur padat karya dan pertanian sangat besar, selain bagi pertumbuhan juga bagi penyerapan tenaga kerja. Jika pemerintah mau mengendalikan impor dan memberantas importasi ilegal, maka industri TPT pun ikut terkatrol. Kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh konsumsi barang impor ilegal, hanya akan mencatat pertumbuhan ekonomi palsu,” pungkasnya. (Amalia Nur Fitri/Kontan)

  • Tak Semua Penerima Makan Bergizi Gratis Dapat Susu, Diganti Daun Kelor

    Tak Semua Penerima Makan Bergizi Gratis Dapat Susu, Diganti Daun Kelor

    Jakarta, CNN Indonesia

    Badan Gizi Nasional menyebut tidak semua penerima Makan Bergizi Gratis akan mendapatkan susu dalam menu mereka. Daun kelor dan telur ayam akan menjadi menu pengganti susu.

    Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana mengatakan telur dan daun kelor bisa menggantikan kebutuhan gizi yang terkandung dalam susu.

    Ia menjelaskan telur ayam dapat memenuhi kebutuhan protein, sementara daun kelor menyediakan kalsium bagi anak-anak peserta program.

    “(Menu susu) cukup bisa diganti dengan telur. Kalsiumnya bisa dengan (daun) kelor. Yang jauh dari susu dan logistiknya susah, ya tidak usah dipaksakan. Bisa ada telur, bisa kelor,” ujar Dadan usai Rakortas CPP 2025 di Jakarta, Senin lalu (23/12).

    Menurutnya, penyaluran susu akan diprioritaskan ke daerah-daerah sentra sapi perah. Sementara keberadaan menu di daerah-daerah non peternakan sapi perah tidak akan dipaksakan.

    “Susu itu akan diberikan di daerah-daerah yang memang di situ daerah peternakan. Kalau bukan di daerah peternakan, tidak usah dipaksakan,” imbuhnya.

    Namun, Dadan memastikan susu tetap akan menjadi bagian dari menu di daerah dengan peternakan sapi perah yang mencukupi.

    “Di daerah-daerah dengan peternakan sapi perah yang cukup, itu akan menjadi bagian dari makanan mereka,” tegas dia.

    Ia juga mengungkapkan program makan bergizi gratis ini direncanakan menjangkau sekitar 3 juta penerima manfaat. Pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap, mulai 6 Januari 2025.

    “Pokoknya 3 juta penerima manfaat. Kita mulai bertahap lah, 6 Januari (2025) kan pembukaan,” pungkasnya.

    Selama ini, pasokan susu lokal memang belum mampu memenuhi kebutuhan susu nasional. Sebanyak 80 persen susu yang diminum masyarakat merupakan produk impor, sisa 20 persennya baru dipasok peternak lokal. Dengan adanya program Makan Bergizi Gratis, kebutuhan susu nasional kian besar.

    Karena itu, Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan Indonesia perlu mengimpor 1 juta ekor sapi perah untuk kebutuhan susu program Makan Bergizi Gratis dan kebutuhan susu regular. Jumlah itu merupakan akumulasi impor sapi pada 2025 -2029.

    Hal itu diketahui dari paparan Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Selasa (5/11).

    “Impor 1 juta ekor (2025-2029). Pelaksana: perusahaan swasta 55 perusahaan,” demikian bunyi paparan Amran.

    Dalam paparan tersebut juga dijelaskan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan 8,5 juta ton susu pada 2029. Jumlah itu terbagi atas kebutuhan susu reguler sebanyak 4,9 juta ton dan kebutuhan untuk program Makan Bergizi Gratis sebanyak 3,6 juta ton.

    “Sumber (impor): Australia, Brazil, New Zealand, Amerika Serikat, dan Meksiko,” bunyi paparan Amran.

    (pta/agt)

  • BPOM Sita Kosmetik Impor Ilegal Bernilai Rp8,91 M, Produknya Dijual Online, Apa Saja Mereknya? – Halaman all

    BPOM Sita Kosmetik Impor Ilegal Bernilai Rp8,91 M, Produknya Dijual Online, Apa Saja Mereknya? – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Badan POM RI) kembali menemukan kosmetik impor ilegal yang mengandung bahan berbahaya.

    Adapun total nilai temuan periode Oktober–November tahun 2024 ini sebesar Rp8,91 miliar.

    “Temuan kosmetik  ilegal dan/atau mengandung bahan berbahaya ini berjumlah 235 item (205.400 pieces),” ujar Kepala BPOM Taruna Ikrar dalam konferensi pers, Senin (30/12/2024).

    Berdasarkan wilayah temuan, ada 4 wilayah di Indonesia dengan nilai keekonomian temuan yang signifikan.

    Jawa Barat merupakan wilayah dengan temuan terbanyak hingga mencapai lebih dari Rp4,59 miliar.

    Lalu, di Jawa Timur yang mencapai lebih dari Rp1,88 miliar, Jawa Tengah yang mencapai lebih dari Rp1,43 miliar, dan Banten yang mencapai lebih dari Rp1,01 miliar.

    Sebagian besar kosmetik impor ilegal dan/atau mengandung bahan berbahaya tersebut didistribusikan dan dipromosikan secara online, terutama melalui e-commerce.

    Beberapa merek dari 69 merek yang ditemukan antara lain Lameila, Aichun Beauty, Wnp’l, Mila Color, 2099, Xixi, Jiopoian, SVMY, Tanako, dan Anylady.

    Kosmetik ilegal hasil selundupan dari China dan Korea senilai 10 miliar rupiah hasil tangkapan BPOM dan polisi di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan Jawa Barat, selama satu bulan terakhir ditunjukkan ke media, Selasa (22/12/2020). (TRIBUNNEWS/RINA AYU PANCARINI)

    “Mayoritas temuan produk kosmetik ilegal merupakan produk impor yang berasal dari Tiongkok, namun ada juga beberapa produk yang berasal dari Korea, Malaysia, Thailand, Filipina, dan India. Untuk kandungan bahan berbahaya, hasil pengujian dari sebagian besar temuan produk kosmetik ilegal diketahui mengandung bahan dilarang, yaitu merkuri dan pewarna rhodamin B (merah K10),” lanjut dia.

    Taruna menegaskan bahwa BPOM telah memberikan sanksi administratif terhadap 2 kasus yang terjadi di Banten dan Jawa Timur, yaitu berupa perintah penarikan dan pemusnahan produk.

    Sementara untuk 2 temuan lainnya di wilayah provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah ditindaklanjuti secara pro-justitia oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM. Sesuai dengan Pasal 435 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, pelaku yang memproduksi dan mengedarkan kosmetik yang tidak memenuhi standar dapat dikenakan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar.

    Dari hasil pengawasan BPOM hingga saat ini, 40 persen daerah rawan kejahatan obat dan makanan berkaitan dengan kosmetik.

  • Industri Lebih Takut Relaksasi Impor dari PPN 12 Persen

    Industri Lebih Takut Relaksasi Impor dari PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap pelaku industri lebih takut terhadap kebijakan relaksasi impor ketimbang kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.

    Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mulanya menyatakan pelaku industri manufaktur Indonesia berpandangan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen bisa diterima di industri.

    Terlebih, ada paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah berupa berbagai insentif, di antaranya menggratiskan pajak penghasilan (PPh) pekerja industri padat karya di bawah Rp10 juta.

    “Kami baca dari hasil penilaian optimisme pelaku usaha industri, namun demikian kami masih menerima laporan bahwa yang lebih ditakutkan oleh industri adalah kebijakan relaksasi impor dan pembatasan impor yang mengakibatkan pasar domestik banjir produk impor murah,” ujar Febri dalam konferensi pers di Kemenperin, Jakarta Selatan, Senin (30/12).

    “Ini lebih ditakutkan oleh industri dibandingkan dengan kenaikan PPN 12 persen,” imbuhnya.

    Febri mengatakan meski kenaikan tarif PPN itu bisa menaikkan harga bahan baku, industri bisa menyesuaikan tarif dengan cara menurunkan utilisasi dan menaikkan harga jual produk manufakturnya.

    Ia tak menampik kenaikan tarif PPN bakal berdampak pada penurunan utilisasi sekitar 2 persen-3 persen. Namun, menurutnya, dampak tersebut tak seberat imbas yang diterima industri akibat kebijakan relaksasi impor.

    “Kalau kita bandingkan dengan kebijakan relaksasi impor atau pembatasan impor yang berakibat pada banjirnya pasar domestik karena produk impor, dampaknya itu lebih berat dibandingkan dengan kebijakan kenaikan PPN 12 persen,” tuturnya.

    Ia mencontohkan misalnya ada produk manufaktur yang diproduksi dengan harga pokok penjualan (HPP) Rp50 ribu. Jika dikenakan PPN 12 persen dengan harga naik menjadi Rp56 ribu, hal itu diklaim masih bisa diantisipasi oleh pelaku industri.

    Sementara, dengan minimnya kebijakan pembatasan impor, misalnya dengan harga produk yang hanya Rp30 ribu, industri akan kesulitan menurunkan harga untuk menjual produknya.

    “Jadi kami melihat bahwa penurunan IKI (Indeks Kepercayaan Industri) pada bulan Desember masih disebabkan oleh adanya pemberlakuan kebijakan relaksasi impor, dan ini masih membayangi kinerja industri ke depan,” kata Febri.

    “Jadi intinya bagi industri, lebih menakutkan kebijakan relaksasi impor dibandingkan dengan kenaikan PPN 12 persen. Apalagi kenaikan PPN 12 persen sudah ada paket kebijakan ekonomi yang mengantisipasi,” tegasnya lebih lanjut.

    Lebih lanjut, Febri pun mengungkap revisi kebijakan relaksasi impor sedang dalam proses pembahasan.

    “Sedang dalam proses, kebijakan relaksasi impor lagi dalam proses pembahasan,” ucapnya.

    Adapun relaksasi kebijakan impor diatur pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Aturan ini awalnya bertujuan untuk memperlancar arus barang di pelabuhan dan mengatasi penumpukan kontainer.

    Namun, implementasinya menimbulkan berbagai dampak signifikan bagi industri tekstil nasional. Data menunjukkan adanya lonjakan impor produk tekstil usai regulasi ini diberlakukan. Hal ini menyebabkan persaingan yang semakin ketat bagi produsen lokal.

    (del/sfr)