Topik: produk impor

  • Tuntutan Kenaikan Upah dan Ketidakpastian Ekonomi

    Tuntutan Kenaikan Upah dan Ketidakpastian Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA – Bagi buruh, setiap tahun di bulan November adalah masa krusial. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di masa-masa akhir tahun seperti sekaang ini, tensi buruh dan pengusaha niscaya naik.

    Di bulan ini kalangan pengusaha maupun kaum buruh umumnya menanti kepastian besaran kenaikan upah untuk tahun yang akan datang. Saat ini, pembahasan tentang besaran upah minimum tahun 2026 tengah digodok Dewan Pengupahan Nasional (DPN) yang diberi tenggat waktu hingga November 2025. Pada upah minimum buruh tahun 2025, kita tahu besarannya mengalami kenaikan sebesar 6,5%. Di tahun 2026 nanti, serikat buruh menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8,5% hingga 10,5%.

    Tuntutan ini diajukan berdasarkan pada hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) di berbagai kota industri di Indonesia, serta mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2024. Apakah tuntutan kenaikan upah buruh akan dipenuhi, tentu waktu yang akan menjawabnya.

    Meski serikat buruh telah menggelar aksi unjuk rasa di berbagai kota, tuntutan kenaikan upah buruh 8,5% hingga 10,5% niscaya sulit dipenuhi. Bisa dipastikan para pengusaha akan menolak usulan kenaikan upah buruh ka rena berdalih tuntutan itu tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi perusahaan dan pasar. Sementara itu, da ri pihak serikat buruh, mereka tentu tidak akan mudah menyerah begitu saja. Walau pun mereka menyadari bahwa tuntutan mereka akan ditolak pengusaha, tetapi buruh tentu akan tetap bersikeras untuk meminta kenaikan upah sesuai penghitungannya.

    MENOLAK

    Saat ini, berapa persen kenaikan upah buruh di tahun 2026 masih belum jelas. Pemerintah dilaporkan sedang melakukan diskusi dan dialog sosial dengan pihak terkait dari serikat pekerja, para pengusaha hingga Dewan Pengupahan Nasional (Depenas). Dari pihak pengusaha sendiri, mereka umumnya berkeinginan upah buruh naik minimal. Untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, banyak perusahaan biasanya lebih memilih melakukan PHK dan mengurangi kapasitas produksinya. Bagi para pengusaha, kenaikan upah yang terlalu tinggi dikhawatirkan membuat posisi mereka makin tertekan. Jika bisa memilih, para pengusaha tentu berharap besaran upah buruh tahun depan tidak naik.

    Tekanan pasar yang sedang lesu, niscaya menjadi alasan utama para pengusaha yang menolak kenaikan upah buruh. Secara lebih terperinci, se -jum lah faktor yang menjadi alasan perusahaan menolak kenaikan upah buruh. Pertama, perusahaan biasanya enggan menaikkan upah buruh karena dianggap akan menaikkan biaya produksi perusahaan, yang ujung-ujungnya dapat berdampak pada harga jual produk atau jasa.

    Bagi perusahaan, upah dipersepsi merupakan biaya terbesar yang memengaruhi profitabilitas jangka panjang. Kenaikan upah buruh yang berarti kenaikan biaya produksi tentu akan menyebabkan produk yang dihasilkan kurang kompetitif di pasar.Pengalaman selama ini, ketika upah naik, maka perusahaan terpaksa harus menaikkan harga produk, yang secara kalkulasi ekonomi bisa memicu inflasi lebih lanjut dan mengurangi daya beli konsumen. Hal ini pada akhirnya bisa berdampak negatif pada penjualan dan keuntungan yang diperoleh perusahaan.

    Kedua, bagi industri padat karya, kenaikan upah buruh jelas menjadi beban yang tidak ringan karena mereka mempekerjakan buruh dalam jumlah besar. Kenaikan upah secara signifikan dikhawa-tirkan dapat memangkas mar gin keuntungan dan me ngurangi kemampuan perusahaan untuk berinves-tasi atau bersaing di pasar. Kenaikan sekitar 10% dari upah, misalnya, jika dikalikan dengan jumlah puluhan ribu buruh tentu angkanya menjadi miliaran rupiah. Ini tentu menjadi beban tersen-diri bagi perusahaan yang sekarang dalam kondisi kembang-kempis karena kelesuan permintaan pasar.

    Tidak sedikit perusahaan, saat ini sedang dihadapkan pada kelesuan pasar yang membuat mereka harus mengurangi produksi, dan berhemat, sehingga tidak memiliki cukup dana untuk menaikkan upah sesuai dengan tuntutan buruh. Banyak perusahaan khawatir jika suatu saat kondisi bisnis terus memburuk, maka peluang untuk menurunkan upah buruh menjadi tidak mungkin dilakukan.

    Ketiga, tidak sedikit perusahaan berdalih enggan menaikkan upah buruh karena khawatir membuat mereka menjadi kurang kompetitif bila dibanding perusahaan lain yang tidak menaikkan upah buruh. Dengan menaikkan upah buruh, tentu perusahaan harus mengalo-kasikan cukup besar dana perusahaan untuk membayar upah buruh. Dengan dana yang cekak, tentu ruang gerak perusahaan untuk berkompetisi dengan pengusaha lain menjadi lebih berat.

    Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi, perusahaan umumnya cenderung mena-han diri dan lebih berhati-hati untuk tidak menambah biaya produksi. Ketika nilai tukar rupiah melemah, sek-tor industri manufaktur yang bahan bakunya banyak tergantung pada produk impor, mereka umumnya super ber hati-hati. Biaya produksi yang naik karena harus dibeli dengan uang dolar AS, tentu menambah tekanan yang sedang dihadapi perusahaan. Pada titik inilah, bisa dipahami jika pengusaha lebih memilih tidak menaik-kan upah buruh.

    SENSE OF BELONGING

    Daripada menaikkan upah buruh, para pengusaha umum nya lebih memilih mengalokasikan keuntungan untuk investasi lain yang dianggap lebih menjanjikan, seperti pengembangan produk atau ekspansi pasar. Di masa ketika kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja, memang kebanyakan pengusaha akan memilih menunda kenaikan upah buruh dari-pada memenuhi tuntutan buruh. Di mata perusahaan, mereka umumnya merasa tidak perlu mengalokasikan insentif finansial untuk menaikkan upah buruh, karena berdasar pengalaman toh banyak pekerja yang bersedia menerima upah yang ada. Cara pikir pengusaha seperti ini, meski secara aktual realistis. Tetapi, bagi buruh tentu menyakitkan dan wajar jika buruh berpikir merasa posisi mereka tidak diapresiasi. Alih-alih ditempatkan sebagai aset perusahaan, sikap pengusaha yang menempatkan buruh sebagai beban perusahaan jangan heran jika kemudian melahirkan munculnya resistensi buruh.

    Buruh niscaya tidak akan memiliki dan mengembangkan sense of belonging atas tempat kerja mereka. Ketika buruh diposisikan sebagai beban perusahaan, maka persoalan kelangsungan perusahaan dan apakah perusahaan tempat mereka bekerja kolaps atau tidak, buruh biasanya tidak akan peduli. Bagi buruh sebagai manusia, mereka sesunguhnya tidak hanya membutuhkan gaji yang cukup, melainkan juga berharap diperlakukan secara manusiawi.

    Hanya dengan memperlakukan buruh sebagai aset perusahaan lah, maka keterbukaan dan dialog yang sehat antara pengusaha dan buruh akan dapat tercapai. Buruh yang hanya dipandang sebagai beban bagi perusa-haan, niscaya mereka tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk dihargai dan diakui jasanya oleh para pengusaha. Di era ketika buruh makin kritis, sikap pengusaha yang memperlakukan buruh sebagai beban, niscaya akan menuai aksi unjuk rasa dan resistensi buruh yang tak berkesudahan. Bagaimana pendapat Anda?

  • Lagi! BPOM Amankan 23 Kosmetik Berbahaya-Bisa Picu Kanker, Ini Daftarnya

    Lagi! BPOM Amankan 23 Kosmetik Berbahaya-Bisa Picu Kanker, Ini Daftarnya

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kembali mengungkap temuan mengejutkan, 23 produk kosmetik beredar di pasaran terbukti mengandung bahan berbahaya atau terlarang, sebab dapat menimbulkan risiko serius termasuk kerusakan organ dan kanker.

    Temuan ini menjadi hasil intensifikasi pengawasan selama Triwulan III yakni perioe Juli-September 2025. Dari hasil sampling dan uji laboratorium, seluruh produk positif mengandung zat berbahaya seperti merkuri, asam retinoat, hidrokuinon, pewarna merah K3 dan K10, serta pewarna acid orange 7, bahan yang telah lama dilarang penggunaannya dalam kosmetik.

    “BPOM telah menindak tegas seluruh produk yang terbukti mengandung bahan berbahaya ini. Izin edar dicabut, kegiatan produksi dan peredaran dihentikan, serta pelaku usaha diwajibkan menarik dan memusnahkan produknya,” tegas Kepala BPOM, Taruna Ikrar, dalam keterangan resminya, dikutip Senin (3/11/2025).

    Bahaya Efek Putih Instan

    BPOM mengingatkan efek bahan-bahan yang dipakai dalam kosmetik dengan hasil pencerah instan, tidak bisa dianggap sepele.

    Merkuri dapat menyebabkan iritasi kulit, alergi, sakit kepala, muntah, diare, hingga kerusakan ginjal. Asam retinoat bersifat teratogenik, artinya bisa mengganggu pertumbuhan dan fungsi organ janin pada ibu hamil.

    Hidrokuinon menyebabkan hiperpigmentasi, perubahan warna kulit dan kornea, serta ochronosis (bintik hitam permanen). Sementara pewarna merah K3, K10, dan acid orange 7 dikenal bersifat karsinogenik (pemicu kanker), serta dapat menyebabkan kerusakan hati dan sistem saraf.

    Dari total 23 produk berbahaya yang ditemukan, 15 di antaranya diproduksi berdasarkan kontrak produksi, 5 merupakan produk impor, 2 produk lokal, dan 1 tanpa izin edar.

    Sebagian besar produk menggunakan klaim pencerah, glowing, atau pemutih”yang justru mengandung zat berbahaya di baliknya.

    BPOM menyebut pihaknya melalui 76 unit pelaksana teknis (UPT) di seluruh Indonesia telah melakukan penertiban di fasilitas produksi, distribusi, hingga ritel. Bagi pelaku usaha yang terbukti melanggar, PPNS BPOM akan menindaklanjuti secara pro-justitia jika ada indikasi tindak pidana.

    “Pelaku usaha yang memproduksi atau mengedarkan kosmetik berbahaya dapat dijerat Pasal 435 jo. Pasal 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dengan ancaman pidana penjara hingga 12 tahun atau denda maksimal Rp5 miliar,” tegas Taruna Ikrar.

    Simak Video “Video: 14 Produk Pengencang Payudara dan Organ Intim Kena Banned BPOM”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Purbaya dan BI Tebar Likuiditas, Bisa Berdampak ke Inflasi?

    Purbaya dan BI Tebar Likuiditas, Bisa Berdampak ke Inflasi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif sejak kuartal III/2025 diperkirakan bisa memberikan sumbangsih terhadap inflasi. Selain kebijakan suku bunga yang longgar dari Bank Indonesia (BI), Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menginjeksi himbara dengan likuiditas murah Rp200 triliun pada September 2025 dan menyalurkan berbagai stimulus ekonomi. 

    Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada September 2025 sebesar 0,21% secara bulanan (month-to-month/mtm), dan secara tahunan sebesar 2,65% (year on year/YoY). Kemudian, inflasi tahun berjalan dari Januari-September 2025 yakni 1,82% (year-to-date/ytd). 

    Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan PT Bank Permata Tbk. Faisal Rachman memperkirakan pada Oktober 2025 terjadi  deflasi bulanan sebesar 0,05% (month to month/MtM) dan inflasi yang melandai secara tahunan dari September 2025 yakni menjadi 2,65% (year-on-year/yoy). 

    Situasi tersebut, terang Faisal, membuat pihaknya mempertahankan perkiraan inflasi pada akhir 2025 berada di kisaran antara 2% sampai dengan 2,5%. Perkiraan itu masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia (BI) yakni 1,5% dan 3,5%, yang sejak akhir 2024 lalu telah menempuh kebijakan moneter longgar dan pro-pertumbuhan. 

    Menurut Faisal, kebijakan ekspansif BI ditambah dengan yang dilakukan oleh Menkeu Purbaya dari sisi fiskal bisa memberikan sumbangsih kepada inflasi. Sebab, suplai uang menjadi lebih banyak. 

    “Dampak terhadap inflasi dari ekspansi likuiditas ini diestimasi berada dalam kisaran 0,3 sampai dengan 0,5 percentage point,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (31/10/2025). 

    Kendati demikian, Faisal memperkirakan dampak dari likuiditas yang melimpah di sistem perekonomian itu terbatas terhadap kenaikan inflasi. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh perekonomian Indonesia yang masih berjalan di bawah output gap yang negatif, tekanan terhadap permintaan yang masih terkedali, serta potensi normalisasi harga emas di tengah membaiknya sentimen risiko. 

    “Kami tidak mengantisipasi inflasi bisa meningkat hingga di atas level 3%,” terang pria dengan dua gelar Master berbeda dari National University of Singapore dan University of Edinburgh itu. 

    Untuk itu, pihaknya pun memperkirakan inflasi pada akhir 2025 sekitar 2,33% atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yakni hanya 1,57%. Perkiraan itu turut didasari oleh kebijakan pemerintah yang dapat mengendalikan inflasi akhir tahun, dengan menawarkan diskon tiket transportasi pada libur Natal dan tahun baru. 

    Kendati demikian, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA, David Sumual menilai ekspansi likuiditas oleh BI maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum terindikasi berdampak ke inflasi. 

    David menilai momentum perbaikan aktivitas belanja masyarakat sejalan dengan periode musiman Natal dan tahun baru. Akan tetapi, dia melihat kebijakan suku bunga yang longgar hingga injeksi Rp200 triliun ke himbara serta berbagai program stimulus belum akan berpegaruh ke kenaikan harga. 

    “Belum ada indikasi dampak ke inflasi. Harga pangan stabil sementara berbagai produk impor yang deras masuk ke dalam negeri justru harganya relatif stabil turun,” terang David kepada Bisnis. 

    Menurut David, kebijakan fiskal yang ekspansif dari Kemenkeu secara khusus bisa menstabilkan ekonomi serta mencegah penurunan lebih lanjut. Namun, dia menyebut kebijakan itu hanya bersifat sementara.

    Dia menilai kebijakan ekspansif dari sisi fiskal bisa membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (yoy), sebagaimana yang disampaikan Purbaya dan jajarannya. Namun, David melihat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 masih akan sekitar 5%. 

    “Kebijakan-kebijakan ini sifatnya masih ’emergency’ ibarat cafeine yang dampaknya hanya temporer. Perlu dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan yang bisa dorong pertumbuhan lebih sustain dalam jangka menengah panjang,” tuturnya. 

    Tertahan Pertumbuhan Ekonomi

    Pada acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Selasa (28/10/2025), Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa telah menjelaskan bahwa pengaruh suplai uang berlebih terhadap inflasi masih menjadi perdebatan di kalangan ekonom. Dia menilai tidak berarti cetak uang maka akan selalu mendorong inflasi. 

    Purbaya menilai fenomena dimaksud, yang dinamakan demand-pull inflation, tidak akan terjadi apabila laju pertumbuhan ekonomi suatu negara berada di bawah potensialnya. Dalam hal ini, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyebut rata-rata pertumbuhan ekonomi 5% di Indonesia belum menyentuh level potensial. 

    Menurutnya, Indonesia dalam jangka pendek harus mencapai pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%. Hal ini sejalan dengan target pertumbuhan 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. 

    Pertumbuhan ekonomi sekitar 7% itu dibutuhkan, terang Purbaya untuk bisa menyerap tenaga kerja di usia kerja di sektor formal. “Nanti kalau pertumbuhan ekonomi di atas [6%-7%] dalam beberapa tahun baru timbul apa yang disebut demand-pull inflation. Kalau sekarang terlalu dini,” ujarnya. 

  • Gawat! RI Kebanjiran Baju Bekas Impor

    Gawat! RI Kebanjiran Baju Bekas Impor

    Jakarta

    Indonesia masih kebanjiran baju bekas impor. Selama satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, penindakan pakaian bekas impor tembus Rp 120,65 miliar. Penindakan ini dilakukan bersamaan dengan impor ilegal barang lainnya hingga penindakan barang yang tidak sesuai dengan standar Indonesia.

    Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Ditjen PKTN) menyatakan pengawasan terhadap barang beredar dan jasa, kegiatan perdagangan, serta metrologi sebagai upaya pengamanan pasar dalam negeri dan perlindungan konsumen.

    “Kemendag terus berkomitmen menjaga pasar dalam negeri agar tetap sehat dan adil. Setiap langkah pengawasan dan penindakan yang dilakukan merupakan bagian dari upaya melindungi konsumen serta memastikan barang yang beredar memenuhi ketentuan,” ujar Direktur Jenderal PKTN Kemendag Moga Simatupang, dikutip dari keterangannya, Kamis (30/10/2025).

    Penindakan terhadap produk pakaian bekas selama setahun pemerintahan Prabowo-Gibran dalam karung (balpres) sebanyak 21.054 bal dengan nilai mencapai Rp 120,65 miliar.

    Moga menjelaskan, kegiatan impor pakaian bekas merupakan hal yang dilarang. Hal ini ditegaskan kembali oleh Kemendag dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

    “Sebagai upaya implementasi atas kebijakan tersebut, Kementerian Perdagangan secara konsisten bersinergi dengan berbagai instansi terkait dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap importasi pakaian bekas,” tegasnya.

    TV-Mainan Ilegal

    Selain itu, Kemendag mengamankan berbagai produk impor ilegal lainnya dengan nilai mencapai Rp 15 miliar. Barang-barang tersebut mencakup 297.781 unit produk elektronik yang terdiri atas 3.506 unit penanak nasi (rice cooker), 4.518 unit perangkat audio video seperti pengeras suara (speaker) aktif dan televisi, 60.366 unit kipas angin, dan 210.040 unit fitting lampu.

    Berikutnya, 480 unit luminer, 1.140 unit ketel listrik, 1.894 unit penggorengan udara (air fryer), 87 rol kabel listrik, 15.250 unit baterai primer, dan 500 unit gerinda listrik.

    “Kategori produk lainnya yang juga ditindak yaitu mainan anak sejumlah 297.522 unit, alas kaki sejumlah 1.277 unit, seprai sejumlah 100 unit, serta pelek kendaraan bermotor sejumlah 905 unit,” tuturnya.

    Produk Tak Sesuai Standar

    Penindakan juga dilakukan terhadap lebih dari 1,6 juta produk teknik dan baja nonstandar. Produk tersebut antara lain pemutus sirkuit miniatur (miniature circuit breaker/MCB) tanpa Sertifikat Produk Penggunaan Tanda Standar (SPPT-SNI) dan Nomor Pendaftaran Barang (NPB) sebanyak 68.256 unit, gergaji listrik, bor listrik, gerinda listrik, dan mesin serut tanpa Nomor Registrasi Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup (K3L) sebanyak 9.763 unit, serta penghisap debu tanpa Tanda Daftar Manual dan Kartu Garansi (MKG) sebanyak 26 unit.

    Lebih lanjut, Kemendag juga mengamankan 600 sarung tangan yang melanggar kewajiban label Bahasa Indonesia. Turut diamankan 578 penggaris besi, 997.269 mur baut berbagai ukuran, dan 4.215 shackle yang tidak memiliki dokumen asal barang. Tidak sampai di situ, sejumlah 66 kapak dan 77 gunting dua tangan ditemukan melanggar ketentuan barang dilarang impor. Nilai produk teknik dan baja nonstandar tersebut mencapai Rp 18,85 miliar.

    Berdasarkan hasil pengawasan rutin yang dilakukan, Kemendag turut mengamankan 83.306 lembar produk baja lembaran lapis seng (BjLS) serta 1.251 ton bahan baku BjLS berupa 290 koil baja galvanis (galvanized steel coil) berbagai merek senilai Rp23,76 miliar. Selain itu, Kemendag mengamankan 16 ribu karton keramik lantai dan 610 ribu produk alat makan dan minum (tableware) senilai Rp 9,8 miliar.

    Komitmen pemerintah dalam melindungi industri dan pasar dalam negeri juga diwujudkan melalui sinergi pengawasan bersama Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Barang Tertentu yang Diberlakukan Tata Niaga Impor, khususnya untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT). Hasil pengawasan di berbagai lokasi tersebut mengungkap produk TPT tanpa Persetujuan Impor (PI), Laporan Surveyor (LS), dan registrasi K3L dengan nilai mencapai Rp 90 miliar.

    Komitmen tersebut juga ditunjukkan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengawasan Tertib Niaga (BPTN) di empat wilayah, yaitu Medan, Bekasi, Surabaya, dan Makassar. Hasil pengawasan BPTN di empat wilayah tersebut telah menemukan sejumlah komoditas impor tidak sesuai ketentuan dengan nilai pabean sebesar Rp 26,48 miliar.

    Halaman 2 dari 2

    (ada/acd)

  • BRIN Telah Kembangkan Monitor Radiasi Selama 10 Tahun, Siap Dipakai Massal

    BRIN Telah Kembangkan Monitor Radiasi Selama 10 Tahun, Siap Dipakai Massal

    Bisnis.com, JAKARTA —  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengaku telah mengembangkan teknologi Radiation Portal Monitor (RPM) atau Teknologi Monitor Radiasi (TMR) selama 10 tahun. Alat ini dipastikan sudah siap digunakan secara luas.

    TMR berfungsi untuk mendeteksi potensi kontaminasi bahan radioaktif di berbagai sektor, termasuk kawasan industri, pelabuhan, dan ekspor komoditas seperti udang dan rempah-rempah. 

    Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri BRIN, Mulyadi Sinung Harjono, menjelaskan perangkat tersebut telah dikembangkan selama lebih dari satu dekade dan siap untuk diimplementasikan secara luas.

    Menurut Sinung, BRIN tidak akan memproduksi alat ini secara massal, melainkan membuka peluang bagi industri untuk mengambil lisensi dan melakukan produksi lokal.

    “Kami menemukan sesuatu, menginovasikan sesuatu. Tapi nanti yang membuat mass production harapannya muncul orang, perusahaan-perusahaan yang bisa membantu kami untuk mass production dari produk tadi,” jelasnya, Rabu (29/10/2025).

    Dia menambahkan, skema kerja sama lisensi bersifat non-eksklusif, sehingga semakin banyak industri yang terlibat akan semakin baik. Adapun nilai investasi yang dibutuhkan akan bergantung pada skala produksi dan target pasar masing-masing perusahaan.

    Lebih jauh, RPM merupakan perangkat deteksi pasif yang digunakan untuk menyaring pejalan kaki, kendaraan, atau objek lain yang membawa bahan nuklir dan radioaktif. 

    Perangkat ini terdiri dari beberapa tipe, termasuk RPM kendaraan, RPM pedestrian, dan RPM portable, yang dapat dipasang di pelabuhan, bandar udara, perbatasan, dan kawasan industri. BRIN menilai pengembangan dan produksi RPM secara lokal penting untuk menjamin keberlanjutan operasi, perawatan, serta mendukung keamanan nasional. 

    Selain itu, lisensi produk RPM akan dikoordinasikan melalui Direktorat Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri, di bawah Kedeputian Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, dengan melibatkan BAPETEN, KKP, serta kementerian dan otoritas terkait lainnya.

    Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Syaiful Bakhri menuturkan kebutuhan perangkat pemantauan radiasi di Indonesia sangat mendesak, terlebih setelah munculnya beberapa kasus kontaminasi radioaktif seperti yang terjadi di Cikande, Serang, Banten.

    “Kita butuh radiation portal monitoring, hampir di semua tempat, di semua kawasan industri,” kata Syaiful.

    Syaiful menjelaskan, alat tersebut bukan hanya dibutuhkan di kawasan industri, tetapi juga di sektor ekspor, khususnya setelah Amerika Serikat memperketat batas ambang radioaktif untuk produk impor. 

    Menurutnya, penerapan portal monitoring radiasi akan membantu memastikan produk ekspor seperti udang dan cengkeh terbebas dari kontaminasi sebelum dikirim ke luar negeri. Dia menambahkan penerapan teknologi tersebut dapat menjadi peluang besar untuk melindungi ekspor nasional sekaligus mendorong kolaborasi lintas sektor.

    “Harapannya ke depannya [industri/pelaku bisnis] bisa mengembangkan ini lebih lanjut. Untuk apa? Untuk pertumbuhan ekonomi kita bersama dan keselamatan kita bersama,” ujar Syaiful. 

    Sebelumnya, temuan zat radioaktif Cs-137 di Indonesia telah menjadi perhatian serius. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat mendeteksi paparan Cs-137 pada cengkeh asal Indonesia yang dikirimkan oleh PT Natural Java Spice ke California. FDA kemudian memblokir impor seluruh rempah dari perusahaan tersebut.

    Meski kadar radioaktif yang terdeteksi masih di bawah ambang batas perlindungan kesehatan, FDA menilai temuan tersebut tidak bisa diabaikan karena paparan jangka panjang tetap berpotensi membahayakan kesehatan

    FDA juga menyoroti paparan zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada komoditas udang dari Indonesia. Pemeriksaan pihak FDA serta Bea Cukai AS mendeteksi kandungan radiasi pada kontainer udang pada Agustus 2025. Penemuan ini menjadi titik balik yang menunjukkan sumber paparan radiasi bukan berasal dari tambak atau laut, melainkan berakar pada aktivitas industri logam di daratan.

  • BRIN Kenalkan Teknologi Monitor Radiasi, Belajar dari Kasus Kontaminasi Cikande

    BRIN Kenalkan Teknologi Monitor Radiasi, Belajar dari Kasus Kontaminasi Cikande

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkenalkan teknologi Radiation Portal Monitor (RPM) atau Teknologi Monitor Radiasi (TMR) yang berfungsi untuk mendeteksi potensi kontaminasi bahan radioaktif di berbagai sektor, termasuk kawasan industri, pelabuhan, dan ekspor komoditas seperti udang dan rempah-rempah. 

    Teknologi ini dinilai penting untuk memperkuat keamanan nuklir nasional sekaligus menjaga keberlanjutan ekspor produk Indonesia.

    Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Syaiful Bakhri menuturkan kebutuhan perangkat pemantauan radiasi di Indonesia sangat mendesak, terlebih setelah munculnya beberapa kasus kontaminasi radioaktif seperti yang terjadi di Cikande, Serang, Banten.

    “Kita butuh radiation portal monitoring, hampir di semua tempat, di semua kawasan industri,” kata Syaiful dalam acara Temu Bisnis Pemanfaatan Riset dan Inovasi di Bidang Teknologi Monitor Radiasi (TMR), Indonesia Research and Innovation Expo (INARI Expo 2025) di Jiexpo Kemayoran pada Rabu (29/10/2025). 

    Syaiful menjelaskan, alat tersebut bukan hanya dibutuhkan di kawasan industri, tetapi juga di sektor ekspor, khususnya setelah Amerika Serikat memperketat batas ambang radioaktif untuk produk impor. 

    Menurutnya, penerapan portal monitoring radiasi akan membantu memastikan produk ekspor seperti udang dan cengkeh terbebas dari kontaminasi sebelum dikirim ke luar negeri. Dia menambahkan penerapan teknologi tersebut dapat menjadi peluang besar untuk melindungi ekspor nasional sekaligus mendorong kolaborasi lintas sektor.

    “Harapannya ke depannya [industri/pelaku bisnis] bisa mengembangkan ini lebih lanjut. Untuk apa? Untuk pertumbuhan ekonomi kita bersama dan keselamatan kita bersama,” ujar Syaiful. 

    Sementara itu, Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri BRIN, Mulyadi Sinung Harjono, menjelaskan perangkat tersebut telah dikembangkan selama lebih dari satu dekade dan siap untuk diimplementasikan secara luas.

    Menurut Sinung, BRIN tidak akan memproduksi alat ini secara massal, melainkan membuka peluang bagi industri untuk mengambil lisensi dan melakukan produksi lokal.

    “Kami menemukan sesuatu, menginovasikan sesuatu. Tapi nanti yang membuat mass production harapannya muncul orang, perusahaan-perusahaan yang bisa membantu kami untuk mass production dari produk tadi,” jelasnya.

    Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri BRIN, Mulyadi Sinung Harjono,

    Dia menambahkan, skema kerja sama lisensi bersifat non-eksklusif, sehingga semakin banyak industri yang terlibat akan semakin baik. Adapun nilai investasi yang dibutuhkan akan bergantung pada skala produksi dan target pasar masing-masing perusahaan.

    Lebih jauh, RPM merupakan perangkat deteksi pasif yang digunakan untuk menyaring pejalan kaki, kendaraan, atau objek lain yang membawa bahan nuklir dan radioaktif. 

    Perangkat ini terdiri dari beberapa tipe, termasuk RPM kendaraan, RPM pedestrian, dan RPM portable, yang dapat dipasang di pelabuhan, bandar udara, perbatasan, dan kawasan industri. BRIN menilai pengembangan dan produksi RPM secara lokal penting untuk menjamin keberlanjutan operasi, perawatan, serta mendukung keamanan nasional. 

    Selain itu, lisensi produk RPM akan dikoordinasikan melalui Direktorat Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri, di bawah Kedeputian Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, dengan melibatkan BAPETEN, KKP, serta kementerian dan otoritas terkait lainnya.

    Sebelumnya, temuan zat radioaktif Cs-137 di Indonesia telah menjadi perhatian serius. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat mendeteksi paparan Cs-137 pada cengkeh asal Indonesia yang dikirimkan oleh PT Natural Java Spice ke California. FDA kemudian memblokir impor seluruh rempah dari perusahaan tersebut.

    Meski kadar radioaktif yang terdeteksi masih di bawah ambang batas perlindungan kesehatan, FDA menilai temuan tersebut tidak bisa diabaikan karena paparan jangka panjang tetap berpotensi membahayakan kesehatan

    FDA juga menyoroti paparan zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada komoditas udang dari Indonesia. Pemeriksaan pihak FDA serta Bea Cukai AS mendeteksi kandungan radiasi pada kontainer udang pada Agustus 2025. Penemuan ini menjadi titik balik yang menunjukkan sumber paparan radiasi bukan berasal dari tambak atau laut, melainkan berakar pada aktivitas industri logam di daratan.

  • Produsen Baja Lokal Resah Diserbu Barang Impor China dan Vietnam

    Produsen Baja Lokal Resah Diserbu Barang Impor China dan Vietnam

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri baja konstruksi nasional semakin resah menghadapi derasnya arus produk impor dari China dan Vietnam yang membanjiri pasar domestik.

    Kondisi ini dinilai telah menekan kinerja industri baja dalam negeri yang tengah berjuang menjaga keberlanjutan produksi di tengah harga baja global yang fluktuatif.

    Ketua Umum Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) Budi Harta Winata mengatakan, masifnya impor baja dari kedua negara tersebut telah menciptakan distorsi pasar dan menurunkan daya saing produsen lokal.

    Menurutnya, produk baja impor dijual dengan harga yang tidak mencerminkan biaya produksi wajar sehingga memicu praktik predatory pricing di pasar domestik.

    “Praktik ini telah menyebabkan distorsi pasar, menekan utilisasi pabrik domestik, mengganggu rantai nilai industri baja nasional, dan berpotensi menghapus kapasitas produksi strategis dalam negeri,” ujar Budi dalam keterangan resminya, Kamis (23/10/2025).

    Banjir Impor Baja Asal China dan Vietnam

    Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor besi dan baja dari China mencapai US$2,39 miliar dengan volume 3,81 juta ton sepanjang Januari–Agustus 2025. Angka tersebut meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$2,16 miliar dengan volume 2,85 juta ton. Tren ini terus menanjak sejak 2023 ketika volume impor dari China masih berada di level 2,31 juta ton dengan nilai US$2 miliar.

    Sementara itu, impor baja dari Vietnam tercatat mencapai US$246,75 juta dengan volume 404,34 ribu ton pada periode yang sama tahun ini. Meski nilainya sedikit turun dibandingkan tahun sebelumnya, Vietnam tetap menjadi salah satu negara dengan suplai baja konstruksi terbesar ke Indonesia.

    Budi menegaskan, persoalan ini bukan disebabkan oleh kurangnya kapasitas produksi baja nasional, melainkan oleh perbedaan regulasi, lemahnya pengawasan jalur impor, dan praktik dumping dari negara eksportir. Jika situasi ini dibiarkan, ia menilai Indonesia berisiko kehilangan fondasi industrinya dan hanya menjadi pasar bagi kelebihan produksi negara lain.

    “Industri baja adalah tulang punggung kemandirian konstruksi nasional. Negara yang kehilangan industrinya, kehilangan kendali atas masa depannya,” tegasnya.

    Lima Tuntutan Industri Baja Nasional

    Sebagai langkah antisipatif, ISSC mengajukan lima usulan kebijakan kepada pemerintah. Pertama, moratorium sementara impor baja konstruksi dari China dan Vietnam pada pos tarif tertentu yang terbukti mendistorsi pasar. Kedua, penerapan kebijakan anti-dumping dan safeguard sesuai dengan PP No. 34/2011 serta aturan World Trade Organization (WTO).

    Selain itu, ISSC meminta pemerintah memperketat mekanisme perizinan impor seperti Pertek, PI, SNI, dan LS agar tidak disalahgunakan.

    Pemerintah juga diminta memprioritaskan produk baja nasional untuk memenuhi kebutuhan proyek strategis nasional serta memastikan Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan kelebihan pasokan baja asing.

    Menurut Budi, usulan tersebut bukan bentuk proteksionisme, melainkan langkah pertahanan industri yang sah secara hukum dan konstitusional.

    “Tanpa kebijakan korektif, Indonesia hanya akan memiliki pasar baja, bukan industri baja. Dan pasar tidak pernah memiliki kedaulatan,” ujarnya.

    Demonstrasi di Kantor Bea Cukai

    Minimnya respons pemerintah atas berbagai usulan tersebut membuat ISSC turun ke jalan. Pada Selasa (28/10/2025), ratusan pelaku industri baja menggelar aksi demonstrasi damai di Kantor Bea Cukai, Kementerian Keuangan, Jakarta Timur. Massa hadir sejak pagi mengenakan seragam khas kontraktor lengkap dengan helm proyek dan rompi oranye.

    Dalam aksi tersebut, ISSC menuntut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk segera membatasi dan menghentikan impor baja konstruksi yang merugikan industri dalam negeri. Mereka juga meminta pemerintah menindak tegas praktik mafia impor yang dinilai mempermainkan pasar dengan memanfaatkan celah regulasi.

    “Kami sampaikan kepada Bea Cukai bahwa impor konstruksi baja ini sangat merugikan profesi kami sebagai pengusaha baja dan pekerja konstruksi. Sudah saatnya pemerintah menertibkan semua produk baja yang masuk tanpa pengawasan ketat,” kata Budi kepada Bisnis.

    Ia menuturkan, serbuan baja impor telah membuat banyak pabrik dan kontraktor lokal kehilangan proyek, bahkan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah daerah industri seperti Karawang, Cikarang, Subang, dan Batang.

    “Dulu mal, pabrik, dan gudang dikerjakan oleh bangsa sendiri. Sekarang, proyek-proyek itu dengan mudahnya menggunakan baja impor,” ujarnya.

    Dalam catatan ISSC, impor baja konstruksi dari China dan Vietnam telah terjadi sejak 2017 dengan volume mencapai 600.000 ton per tahun. Padahal, industri dalam negeri memiliki kapasitas produksi hingga 1 juta ton per tahun. Namun, tekanan harga murah dari luar negeri membuat produk lokal sulit terserap pasar.

    ISSC pun menegaskan kembali perlunya tindakan cepat dan tegas dari pemerintah agar industri baja nasional tetap bertahan. Tanpa perlindungan yang memadai, Indonesia dikhawatirkan hanya akan menjadi pasar bagi baja murah dari luar negeri, sementara industri strategis nasional kehilangan daya hidupnya.

  • Trump-Xi Jinping Bertemu di Korsel Pekan Ini, Ini Sederet Isu yang Akan Dibahas

    Trump-Xi Jinping Bertemu di Korsel Pekan Ini, Ini Sederet Isu yang Akan Dibahas

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan bertemu di Korea Selatan pekan ini untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan perang dagang yang kembali mencuat.

    Selama beberapa bulan terakhir, Washington dan Beijing saling menaikkan tarif terhadap ekspor masing-masing serta mengancam akan menghentikan perdagangan di sektor mineral penting dan teknologi strategis.

    Meski demikian, kedua pihak tidak menargetkan adanya terobosan besar yang dapat mengembalikan kondisi perdagangan seperti sebelum pelantikan Trump pada Januari lalu. 

    Negosiasi pra-pertemuan berfokus pada upaya mengelola perbedaan dan mencari peningkatan terbatas menjelang kunjungan resmi Trump ke China yang dijadwalkan awal tahun depan.

    Berikut adalah sejumlah topik yang diperkirakan akan dibicarakan kedua pemimpin tersebut dilansir Reuters, Senin (27/10/2025)

    Kendali Ekspor Logam Tanah Jarang 

    China telah memperluas pengendalian ekspor logam tanah jarang (rare earths) dengan menambah lima elemen baru, memperketat pengawasan terhadap pengguna semikonduktor, serta mewajibkan kepatuhan bagi produsen asing yang menggunakan bahan asal China.

    Langkah itu mengguncang rantai pasok global, mengingat China memproduksi lebih dari 90% pasokan logam langka olahan dunia yang digunakan untuk berbagai teknologi modern mulai dari ponsel pintar hingga jet tempur.

    AS mendesak Beijing mencabut pembatasan tersebut. Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut, setelah pembicaraan di Malaysia akhir pekan lalu, China setuju menunda penerapan rezim lisensi ekspor yang diperluas selama satu tahun dan akan meninjau ulang kebijakan tersebut. 

    Namun, Beijing belum menjelaskan langkah konkret yang akan diambil.

    Tarif Terkait Fentanyl

    Trump memberlakukan tarif 20% terhadap produk impor China karena menilai Beijing gagal menekan peredaran bahan kimia prekursor fentanyl — obat sintetis yang telah menyebabkan hampir 450.000 kematian akibat overdosis di AS. Tarif itu tetap berlaku meski kedua negara sempat mencapai gencatan dagang rapuh.

    China membela catatan pengendalian narkotikanya dan menuduh Washington menggunakan isu fentanyl untuk “memeras” Beijing. Kebuntuan ini telah berlangsung selama berbulan-bulan, dan kembali dibahas dalam pertemuan di Kuala Lumpur.

    Biaya Pelabuhan

    AS juga mengenakan biaya pelabuhan terhadap kapal yang dimiliki, dioperasikan, atau dibangun oleh entitas China. Trump menyatakan langkah ini bertujuan membantu pendanaan kebangkitan industri galangan kapal AS dan diperkirakan menambah beban biaya bagi 10 operator kapal terbesar hingga US$3,2 miliar tahun depan.

    Sebagai balasan, China menerapkan biaya serupa terhadap kapal berbendera, dimiliki, atau dibangun oleh AS, serta menjatuhkan sanksi terhadap lima anak usaha galangan kapal Korea Selatan yang berafiliasi dengan perusahaan AS. Langkah timbal balik ini mulai mengganggu arus logistik dan menaikkan tarif pengiriman.

    Sektor Pertanian

    Bessent mengatakan China akan kembali melakukan pembelian besar-besaran kedelai asal AS dalam kerangka kesepakatan dagang baru, setelah sebelumnya menghentikan impor karena perang dagang.

    Pemboikotan tersebut membuat petani AS kehilangan pasar ekspor terbesar mereka dan menunggu bantuan kompensasi dari pemerintahan Trump. 

    Analis menilai Beijing memahami hal ini sebagai titik lemah politik bagi Trump, mengingat basis dukungannya di wilayah pedesaan berpotensi terdampak menjelang pemilu paruh waktu 2026.

    China sebelumnya membeli lebih dari separuh produksi kedelai AS pada 2023–2024, dengan nilai ekspor tertinggi tercatat US$17,92 miliar pada 2022.

    Bessent juga mengungkap bahwa kedua negara telah mencapai kesepakatan final terkait aplikasi TikTok, setelah sebelumnya hanya menyepakati kerangka divestasi mayoritas saham kepada investor AS. 

    Kesepakatan ini menjadi satu-satunya hasil nyata dari pembicaraan perdagangan di Madrid bulan lalu, meski sempat tertunda implementasinya.

    Trump dan Xi dijadwalkan meresmikan kesepakatan tersebut dalam pertemuan di Korea Selatan, meski belum jelas apakah terdapat perubahan dari kerangka awal.

    Tarif dan Investigasi Baru

    Kedua pihak turut membahas perpanjangan penangguhan tarif timbal balik AS terhadap China yang saat ini dibatasi 30% dan akan berakhir pada 10 November. Sebelumnya Trump sempat mengancam menaikkan tarif hingga 100% mulai 1 November sebagai balasan atas perluasan kendali ekspor logam langka China. 

    Namun, Bessent menyebut rencana itu kini “tidak lagi menjadi opsi” setelah pertemuan akhir pekan lalu.

    Selain itu, Washington menyiapkan langkah baru yang menargetkan Beijing, termasuk pengendalian ekspor berbasis perangkat lunak dan tarif sektoral untuk industri semikonduktor, farmasi, dan sektor strategis lainnya. 

    Pemerintah AS juga meluncurkan penyelidikan baru atas dugaan kegagalan China mematuhi kesepakatan dagang “Phase One” yang ditandatangani pada 2020.

  • Kemenkes Ungkap Alasan Masih Banyak Pasien RI Berobat ke Luar Negeri

    Kemenkes Ungkap Alasan Masih Banyak Pasien RI Berobat ke Luar Negeri

    Jakarta

    Meski industri alat kesehatan (alkes) dalam negeri meningkat signifikan, masih banyak pasien Indonesia yang lebih memilih berobat ke luar negeri. Direktur Jenderal Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Lucia Rizka Andalusia, mengungkapkan salah satu penyebabnya adalah akses terhadap teknologi kesehatan inovatif yang masih terbatas di Tanah Air.

    “Kalau untuk mendapatkan akses teknologi kesehatan inovatif, apakah itu alat kesehatan atau obat-obatan, masih sulit di Indonesia, ya pasti orang akan berobat ke luar negeri karena di sana lebih mudah,” ujar Rizka dalam konferensi pers Minggu (26/10/2025).

    Menurutnya, persoalan ini bukan sekadar preferensi pasien, melainkan akibat dari lambatnya ketersediaan teknologi kesehatan mutakhir di rumah sakit dalam negeri, yang berdampak ke layanan pasien.

    “Misalnya untuk radioterapi, di Indonesia harus antre berminggu-minggu, bahkan berbulan. Sementara di negara tetangga bisa cepat. Itu yang membuat orang akhirnya memilih berobat ke luar negeri,” lanjutnya.

    Rizka menegaskan, dari sisi produksi alkes dalam negeri, kemajuan Indonesia sebenarnya dinilai tajam.
    Sebelum pandemi COVID-19, hanya ada sekitar 400 industri alkes di Indonesia, yang sebagian besar masih bergantung pada impor. Kini, jumlahnya melonjak dua kali lipat menjadi sekitar 815 industri.

    Tidak hanya itu, belanja alat kesehatan dalam negeri dalam tiga tahun terakhir meningkat 3,4 kali lipat dibandingkan 2019.

    “Dulu belanja alkes dalam negeri itu sangat rendah. Tapi sekarang sudah jauh meningkat karena berbagai upaya kita lakukan,” jelasnya.

    Salah satu strategi utama Kemenkes adalah penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kebijakan freeze-unfreeze terhadap produk impor.

    “Kalau kita sudah bisa membuat produk dalam negeri dan jumlahnya mencukupi, maka kita akan ‘freeze’ produk impornya. Ini sangat efektif, sehingga rumah sakit pemerintah, termasuk RS vertikal, akan memilih produk dalam negeri,” ujar Rizka.

    Kemenkes juga menggelar business matching antara industri alkes lokal dan fasilitas kesehatan (faskes). Langkah ini terbukti penting agar produk dalam negeri dikenal dan digunakan oleh rumah sakit di Indonesia.

    “Kalau tidak ada business matching, industri dan rumah sakit tidak saling tahu. Misalnya ada yang bikin hospital bed elektrik otomatis di dalam negeri, tapi rumah sakit tidak tahu, akhirnya tetap beli impor,” katanya.

    Rizka memastikan peluang produk alkes seperti linet dan dv medika yang wacananya akan membantu memproduksi bed dengan teknologi advanced di Indonesia terbuka, selama mematuhi mekanisme pengadaan yang berlaku.

    “Yang penting harganya kompetitif dan spesifikasinya sesuai kebutuhan rumah sakit,” tandas dia.

    Meski capaian industri alkes dalam negeri sudah menggembirakan, Rizka menilai tantangan terbesar Indonesia justru terletak pada akses terhadap teknologi kesehatan inovatif.

    Tanpa perbaikan di sisi ini, pasien akan terus mencari pengobatan di luar negeri.

    “Pemerintah berupaya keras agar masyarakat bisa mendapatkan akses terhadap teknologi inovatif secepat mungkin, supaya mereka bisa berobat di Indonesia dengan kualitas yang sama seperti di negara lain,” tegasnya.

    Pertumbuhan pesat industri alkes lokal menunjukkan Indonesia punya kapasitas besar untuk mandiri. Namun, persoalan akses, efisiensi layanan, dan kecepatan adopsi teknologi menjadi titik lemah yang masih membuat pasien memilih pengobatan di luar negeri.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video Kemenkes Spill Alasan Banyak Warga RI Berobat ke Luar Negeri!”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Kemenkes Ungkap Alasan Masih Banyak Pasien RI Berobat ke Luar Negeri

    Kemenkes Ungkap Alasan Masih Banyak Pasien RI Berobat ke Luar Negeri

    Jakarta

    Meski industri alat kesehatan (alkes) dalam negeri meningkat signifikan, masih banyak pasien Indonesia yang lebih memilih berobat ke luar negeri. Direktur Jenderal Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Lucia Rizka Andalusia, mengungkapkan salah satu penyebabnya adalah akses terhadap teknologi kesehatan inovatif yang masih terbatas di Tanah Air.

    “Kalau untuk mendapatkan akses teknologi kesehatan inovatif, apakah itu alat kesehatan atau obat-obatan, masih sulit di Indonesia, ya pasti orang akan berobat ke luar negeri karena di sana lebih mudah,” ujar Rizka dalam konferensi pers Minggu (26/10/2025).

    Menurutnya, persoalan ini bukan sekadar preferensi pasien, melainkan akibat dari lambatnya ketersediaan teknologi kesehatan mutakhir di rumah sakit dalam negeri, yang berdampak ke layanan pasien.

    “Misalnya untuk radioterapi, di Indonesia harus antre berminggu-minggu, bahkan berbulan. Sementara di negara tetangga bisa cepat. Itu yang membuat orang akhirnya memilih berobat ke luar negeri,” lanjutnya.

    Rizka menegaskan, dari sisi produksi alkes dalam negeri, kemajuan Indonesia sebenarnya dinilai tajam.
    Sebelum pandemi COVID-19, hanya ada sekitar 400 industri alkes di Indonesia, yang sebagian besar masih bergantung pada impor. Kini, jumlahnya melonjak dua kali lipat menjadi sekitar 815 industri.

    Tidak hanya itu, belanja alat kesehatan dalam negeri dalam tiga tahun terakhir meningkat 3,4 kali lipat dibandingkan 2019.

    “Dulu belanja alkes dalam negeri itu sangat rendah. Tapi sekarang sudah jauh meningkat karena berbagai upaya kita lakukan,” jelasnya.

    Salah satu strategi utama Kemenkes adalah penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kebijakan freeze-unfreeze terhadap produk impor.

    “Kalau kita sudah bisa membuat produk dalam negeri dan jumlahnya mencukupi, maka kita akan ‘freeze’ produk impornya. Ini sangat efektif, sehingga rumah sakit pemerintah, termasuk RS vertikal, akan memilih produk dalam negeri,” ujar Rizka.

    Kemenkes juga menggelar business matching antara industri alkes lokal dan fasilitas kesehatan (faskes). Langkah ini terbukti penting agar produk dalam negeri dikenal dan digunakan oleh rumah sakit di Indonesia.

    “Kalau tidak ada business matching, industri dan rumah sakit tidak saling tahu. Misalnya ada yang bikin hospital bed elektrik otomatis di dalam negeri, tapi rumah sakit tidak tahu, akhirnya tetap beli impor,” katanya.

    Rizka memastikan peluang produk alkes seperti linet dan dv medika yang wacananya akan membantu memproduksi bed dengan teknologi advanced di Indonesia terbuka, selama mematuhi mekanisme pengadaan yang berlaku.

    “Yang penting harganya kompetitif dan spesifikasinya sesuai kebutuhan rumah sakit,” tandas dia.

    Meski capaian industri alkes dalam negeri sudah menggembirakan, Rizka menilai tantangan terbesar Indonesia justru terletak pada akses terhadap teknologi kesehatan inovatif.

    Tanpa perbaikan di sisi ini, pasien akan terus mencari pengobatan di luar negeri.

    “Pemerintah berupaya keras agar masyarakat bisa mendapatkan akses terhadap teknologi inovatif secepat mungkin, supaya mereka bisa berobat di Indonesia dengan kualitas yang sama seperti di negara lain,” tegasnya.

    Pertumbuhan pesat industri alkes lokal menunjukkan Indonesia punya kapasitas besar untuk mandiri. Namun, persoalan akses, efisiensi layanan, dan kecepatan adopsi teknologi menjadi titik lemah yang masih membuat pasien memilih pengobatan di luar negeri.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video Kemenkes Spill Alasan Banyak Warga RI Berobat ke Luar Negeri!”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)