Topik: produk impor

  • Komisi VII DPR: Pemerintah harus cepat atasi penurunan PMI manufaktur

    Komisi VII DPR: Pemerintah harus cepat atasi penurunan PMI manufaktur

    Pelemahan aktivitas manufaktur ini sudah terlalu dalam, mencapai level terendah sejak COVID-19 harus dijadikan peringatan untuk segera bertindak demi menjaga ketahanan industri nasional dan melindungi tenaga kerja Indonesia

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengatakan bahwa pemerintah dan sektor industri harus bergerak cepat untuk menangani masalah penurunan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur.

    Dalam beberapa bulan terakhir, menurut dia, penurunan PMI bahkan sudah memasuki zona kontraksi sejak April 2025 dengan angka 46,7 atau di bawah 50. Hal itu menjadi sinyal kuat bahwa sektor industri manufaktur nasional sedang mengalami tekanan serius.

    “Pelemahan aktivitas manufaktur ini sudah terlalu dalam, mencapai level terendah sejak COVID-19 harus dijadikan peringatan untuk segera bertindak demi menjaga ketahanan industri nasional dan melindungi tenaga kerja Indonesia,” kata Evita dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin.

    Menurut dia, penurunan PMI manufaktur tidak hanya berdampak pada penurunan produksi, tetapi juga mendorong adanya PHK karena perusahaan cenderung melakukan efisiensi. Hal itu akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan.

    “Jika ini terus berlanjut maka akan berdampak pada masalah-masalah sosial. Kita tidak ingin ini terjadi,” kata dia.

    PMI yang rendah, menurut dia, mengindikasikan iklim bisnis yang lesu karena investor cenderung menahan ekspansi bahkan menarik investasi.

    Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, PMI yang terus turun bisa memicu sentimen negatif di pasar keuangan, bahkan dunia usaha menjadi lebih pesimis, memperlambat keputusan ekspansi, perekrutan, dan inovasi.

    Menurut dia, ada beberapa solusi yang bisa dijalankan, di antaranya dengan memperluas pasar ekspor melalui optimalisasi perjanjian perdagangan internasional dan peningkatan daya saing produk dalam negeri.

    Kemudian iklim investasi asing juga perlu ditata agar banyak masuk ke Indonesia. Pemberian stimulus fiskal yang tepat sasaran juga diperlukan bagi sektor manufaktur, dalam bentuk insentif pajak, subsidi energi, dan keringanan logistik, hingga fasilitasi pembiayaan.

    Selain itu, dia mengatakan bahwa pasar dalam negeri juga perlu diperluas karena permintaan yang kuat dapat menjadi penyangga saat ekspor melemah atau ketidakpastian global meningkat.

    Perluasan pasar dalam negeri juga perlu didorong dengan substitusi produk impor yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri dengan memaksimalkan konsumsi produk dalam negeri.

    Termasuk, kata dia, penyerapan produk lokal oleh pemerintah, serta mendorong integrasi industri hulu-hilir dengan membangun ekosistem industri lokal dari bahan baku, pengolahan, hingga distribusi.

    “Karena itu kami di Komisi VII sebagai mitra Kementerian Perindustrian mengawal dan mendukung pemerintah untuk mencari solusi paling baik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini,” kata dia.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • OPINI : Menanti Insentif Pajak UMKM

    OPINI : Menanti Insentif Pajak UMKM

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah, khu­­­susnya Direktorat Jenderal Pa­­­jak se­­­­­­­dang meng­­­go­­­­dok be­­­­leid pajak UMKM (Usaha Mikro Kecil Me­­­ne­­­­­ngah) secara lebih me­­­­nyeluruh.

    Upaya ini ber­­­tu­­­ju­­­an untuk mendorong ekstensifikasi peningkatan pajak ke kalangan UMKM. Dalam aspek perpajakan yang termasuk dalam peng­­usa­ha yang digolongkan UMKM adalah mereka yang memiliki omzet (peredaran bruto) sebesar Rp4,8 miliar per tahun.

    Sudah menjadi viral di me­­­dia online secara terbu­ka Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa pada Senin, (16/12/2024) akan diumumkan perpanjangan periode pemanfaatan Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% bagi UMKM.

    Kebijakan ini akan diumumkan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pereko­nomian, Jakarta, pukul 10.00 WIB. Namun, sampai saat ini belum ada kepastian hukum soal perpanjangan pajak UMKM yang dihitung dengan PPh Final tarif 0,5% dari omset (peredaran bruto).

    Fungsi UMKM

    Sejatinya perkembangan perekonomian di Indonesia dijiwai konsep pembangunan yang meletakkan akumulasi kapital sebagai determinan penting.

    Semangat ini telah menyebabkan terputusnya diskursus ekonomi berbasis kerakyatan atau UMKM, padahal seharusnya pemerintah memperhatikan sektor UMKM. Mengingat saat ini berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, sektor UMKM menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional. UMKM memiliki peran yang sangat signifikan dalam perekono­mian Indonesia. Dengan jum­­lah unit usaha yang mencapai sekitar 66 juta, UMKM menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

    Jika 66 juta UMKM dirata-ratakan mendapatkan om­­­zet atau peredaran bruto Rp100.000 per UMKM dikali­kan dengan jumlah UMKM maka akan diperoleh Rp6,6 triliun per hari dan Rp2.376 triliun per tahun. Produk Do­­mestik Bruto (PDB) di Indonesia tahun 2025 yang sekitar Rp24.479 triliun maka dari estimasi ini omzet UMKM menyumbang 9,7% ke PDB, angka yang cukup siginifikan.

    Perhitungan ter­­­se­­­but adalah analisa pe­­nu­­­lis semata sedangkan ber­­­dasarkan penelitian yang yang lebih akurat yang diteliti oleh dua ekonom senior kelahiran Jerman, Enste dan Scheneider, persentase ekonomi UMKM di negara maju bisa mencapai 14%—16% da­­ri PDB.

    UMKM juga merupakan sa­­­lah satu pilar kekuatan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan bukan sekadar omong kosong. Pada saat kemelut ekonomi di kurun waktu 1997—1999, keberadaan UMKM yang membuat pereko­nomian Indonesia tetap berjalan. Pada saat itu denyut perekonomian terus berdetak karena adanya andil besar kalangan UMKM.

    Dari data ini, seharusnya pe­­merintah memberikan per­hatian khusus dan membayar lunas kesetiaan para pengusaha UMKM yang telah membantu perekonomian In­­­do­nesia, salah satu nya de­­­ngan memberikan insentif perpajakan dengan tarif rendah sehingga mereka bisa bertahan dalam menjalankan praktek bisnis yang penuh persaingan ketat.

    Beleid Pajak UMKM

    Sebenarnya pemerintah telah memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak (WP) yang menjalankan usaha dengan peredaran bruto tertentu atau untuk UMKM. Sehingga UMKM memungkinkan WP hanya perlu melakukan pencatatan atas omzet yang diterima setiap bulannya tanpa harus membuat pembukuan yang rumit dan memakan biaya adminstrasi. Tarif 0,5% yang diberlakukan untuk UMKM dapat dinilai adil, sehingga dapat diterapkan dalam semua sektor UMKM tanpa mengganggu.

    Sejatinya beleid pemberian tarif PPh Final 0,5% bagi UMKM merupakan manifestasi pemerintah mendukung masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi nonformal. Kebijakan tersebut direalisasikan melalui upaya pemberian kemudahan dan keadilan untuk wajib pajak yang memiliki omzet tertentu selama jangka waktu tertentu.

    Sejarah pada mulanya tarif UMKM adalah sebesar 1% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 46/2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Setelah itu diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 23/2018 (PP 23/2018), tarif tersebut disesuaikan menjadi 0,5%.

    Dilanjutkan PP 55/2022 yang memberikan fasilitas pajak tambahan untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP) yang melakukan pekerjaan bebas (pengusaha) dibebaskannya pembayaran PPh atas omzet sampai dengan Rp500 juta pertahun. Guna menerapkan petunjuk pelaksanaan (Jutlak) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menjadi perubahan keenam atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

    Mengapa beleid insentif pajak UMKM perlu diperpanjang? Karena berdasarkan Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 55/2022, WP OP mendapatkan fasilitas pemanfaatan PPh Final diberi waktu selama 7 tahun. Apabila orang pribadi telah terdaftar sejak 2018 atau sebelum diberlakukan PP 23/2018 maka WP OP hanya dapat memanfaatkan tarif 0,5% hingga 2024.

    Dampaknya setelah tahun 2024 WP OP tersebut harus menggunakan pembukuan atau menggunakan pencatatan omzet dan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN). Sehingga menyebabkan UMKM membayar pajak lebih tinggi atau menggunakan tarif normal, jika menggunakan pembukuan harus menggunakan Undang-Undang PPh pasal 31 E dengan tarif 11 % dari laba dan jika menggunakan NPPN harus dikenakan tarif progresif sesuai UUN PPh pasal 17 sebesar 5%, 15%, 25%, 30% dan 35 % sesuai dari jumlah laba yang didapati. Bukankah hal ini akan memberatkan wajib pajak UMKM.

    Dari analisa di atas sudah seyogianya beleid insentif pajak UMKM dengan tarif 0,5% segera diperpanjang agar sektor UMKM dapat menarik napas lega dalam membayar pajak tanpa menganggu cash flow dan UMKM dapat menjual produk dengan harga yang terjangkau dan dapat bersaing dengan produk impor. Semoga cepat terealisasi.

  • Sat Nusapersada (PTSN) Khawatir Tarif Trump & Relaksasi TKDN Pukul Penjualan

    Sat Nusapersada (PTSN) Khawatir Tarif Trump & Relaksasi TKDN Pukul Penjualan

    Bisnis.com, BATAM – Emiten bidang elektronika, PT Sat Nusapersada Tbk (PTSN) mengkhawatirkan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) atas produk impor asal Indonesia sebesar 32% serta rencana pelonggaran tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dapat berdampak pada kinerja perusahaan. 

    Asst. General Manager PTSN Stanley Rocky mengatakan, saat ini pangsa pasar produk elektronika mencakup 50% kebutuhan domestik dan 50% untuk ekspor ke berbagai negara, termasuk didominasi AS dan Eropa. 

    “Jadi TKDN kalau dicabut, 50% sales kita hilang, tarif resiprokal kalau enggak dicabut 50% sales kita hilang, kalau dua-duanya dihilangkan, hilanglah semua,” kata Stanley saat ditemui di pabrik Sat Nusa, Batam, Kamis (8/5/2025). 

    Dia menerangkan bahwa sejak 2019, saat perang dagang jilid I AS-China, ada banyak perusahaan China yang memindahkan mesin-mesin produksi elektroniknya ke Indonesia, termasuk ke Batam untuk memproduksi permintaan produk dari AS. 

    Dengan adanya perang dagang jilid II lewat pengenaan tarif resiprokal AS saat ini, pihaknya khawatir efek rambatannya juga akan signifikan terhadap perusahaan di Indonesia yang berorientasi ekspor ke AS. 

    Namun, karena saat ini penundaan tarif resiprokal masih berlangsung dan pemerintah masih bernegosiasi, Sat Nusapersada berharap agar ada kabar baik untuk tarif tinggi tersebut dibatalkan. 

    “China tetep barangnya walaupun tablet, HP, segala macem masih kena 20% yang tarif jilid pertama, jadi kita yang tarif jilid kedua ini tetep di nol kan untuk sementara, kita masih beruntung,” terangnya. 

    Adapun, saat ini Sat Nusapersada memiliki 15 gedung termasuk fasilitas manufaktur elektronik di Batam. Pihaknya tengah berencana menambah gedung karena saat ini 15 gedung tersebut telah penuh untuk lini produksi yang memasok berbagai brand produk. 

    Perusahaan elektronik ini memproduksi berbagai komponen seperti surface mount technology, metal stamping, plastic injection, dan final assembly. Selain itu, perseroan juga dapat memberikan berbagai pilihan finishing seperti powder coating, anodizing, dan pelapisan elektroplatin. 

    Selain menawarkan proses produksi yang efisien, Sat Nusapersada juga mendapatkan fasilitas insentif pajak dari pemerintah untuk manufaktur yang dibangun di Batam berupa pembebasan pajak impor. 

  • Jakarta harus antisipasi banjir produk Tiongkok imbas tarif Trump 

    Jakarta harus antisipasi banjir produk Tiongkok imbas tarif Trump 

    Karena tidak bisa ekspor ke Amerika, kemungkinan akan mengalihkan barang-barangnya itu ke negara lain termasuk Indonesia

    Jakarta (ANTARA) – Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta mengingatkan agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera mengambil langkah-langkah antisipasi membanjirnya produk asal Tiongkok sebagai imbas pemberlakuan tarif impor ke Amerika Serikat oleh Presiden Donald Trump.

    “Karena tidak bisa ekspor ke Amerika, kemungkinan akan mengalihkan barang-barangnya itu ke negara lain termasuk Indonesia. Karena Indonesia merupakan salah satu pasar yang sangat menjanjikan,” ujar Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta, Arlyana Abubakar di Jakarta, Kamis.

    Dia mengatakan, salah satu yang harus dilakukan yakni memberikan perlindungan pada pegiat Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

    Perlindungan ini termasuk dengan penguatan kampanye Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI).

    “Kita juga punya program Jawara, kemudian kampanye Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri, sertifikasi dan juga insentif terhadap usaha lokal,” kata Arlyana.

    Adapun pengenaan tarif resiprokal Trump pada produk impor yang masuk Amerika Serikat (AS) dari Tiongkok mencapai 245 persen.

    Di satu sisi, ini dapat menjadi peluang ekspor bagi Jakarta untuk produk alas kaki.

    Apalagi Indonesia termasuk Jakarta memiliki peluang karena tarif Trump yang dikenakan jauh lebih rendah dibandingkan Tiongkok dan Vietnam.

    Adapun pengenaan tarif impor ke AS untuk Vietnam kini 46 persen, sementara Indonesia 32 persen (sebelum pemberlakuan negosiasi 90 hari).

    “Mereka (AS) banyak impor dari Vietnam dan Tiongkok. Sementara Vietnam dan Tiongkok sekarang kena tarif yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Artinya Indonesia, terutama Jakarta memiliki peluang ekspor,” kata Arlyana.

    Jakarta, sambung dia, diharapkan dapat menyambut peluang ekspor tersebut antara lain dengan meningkatkan efektivitas dari tenaga kerja, serta meningkatkan efisiensi dari modal dan investasi.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Ganet Dirgantara
    Copyright © ANTARA 2025

  • Tarif Trump bisa jadi peluang ekspor Jakarta terutama alas kaki

    Tarif Trump bisa jadi peluang ekspor Jakarta terutama alas kaki

    Artinya ini menjadi peluang bagi Indonesia, terutama Jakarta

    Jakarta (ANTARA) – Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta berpendapat penerapan tarif resiprokal Presiden Donald Trump pada produk impor yang masuk ke Amerika Serikat (AS) termasuk dari Tiongkok dapat menjadi peluang ekspor bagi Jakarta terutama untuk produk alas kaki.

    Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta, Arlyana Abubakar di Jakarta, Kamis mengatakan penerapan tarif Trump pada Indonesia justru menciptakan peluang karena lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Tiongkok dan Vietnam.

    “Komoditas yang kita (Jakarta) ekspor (ke AS) kebanyakan alas kaki. Ini adalah pangsa impor dari negara-negara yang selama ini mendominasi ekspor ke Amerika. Kebanyakan Amerika mengimpor alas kaki itu dari Vietnam dan Tiongkok,” kata dia.

    Analisa BI mencatat pangsa impor alas kaki dari Vietnam ke AS sebesar 20 persen, Tiongkok 30 persen, sementara Indonesia 4 persen.

    Adapun pengenaan tarif impor ke AS untuk Vietnam kini 46 persen, Tiongkok 145 persen, sementara Indonesia 32 persen (sebelum pemberlakuan negosiasi 90 hari).

    “Mereka (AS) banyak impor dari Vietnam dan Tiongkok. Sementara Vietnam dan Tiongkok sekarang kena tarif yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Artinya ini menjadi peluang bagi Indonesia, terutama Jakarta,” kata Arlyana.

    Jakarta, sambung dia, diharapkan dapat menyambut peluang ekspor tersebut antara lain dengan meningkatkan efektivitas dari tenaga kerja, serta meningkatkan efisiensi dari modal dan investasi.

    Sementara itu, AS tercatat menjadi salah satu negara tujuan ekspor Jakarta pada komoditas alas kaki. Tahun 2021, AS berada di urutan keempat sebagai negara tujuan ekspor Jakarta.

    Lalu pada 2022 menjadi urutan kelima, pada 2023 AS berada di urutan ketujuh dan tahun 2024 pada urutan kedua.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Ganet Dirgantara
    Copyright © ANTARA 2025

  • UE Siapkan Serangan Balasan Tarif Impor Trump, Nilainya Fantastis – Page 3

    UE Siapkan Serangan Balasan Tarif Impor Trump, Nilainya Fantastis – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Uni Eropa menyiapkan sejumlah langkah balasan atas penerapan tarif impor yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Bahkan kumpulan negara-negara Eropa tersebut sedang menyiapkan tarif impor tambahan senilai 95 miliar euro (Rp 1.770 triliun) sebagai tindakan balasan.

    Badan Eksekutif Uni Eropa mengatakan akan memulai dispute menuntut kepada Organisasi Perdagangan Dunia atas kebijakan tarif impor “timbal balik” AS dan bea masuk bagi produk mobil dan suku cadangnya.

    Melansir laman CNBC, Kamis (8/5/2025), Komisi Eropa juga mengatakan telah menggelar konsultasi publik mengenai daftar barang impor AS yang berpotensi menjadi sasaran tindakan balasan, jika kesepakatan perdagangan tidak tercapai dengan Washington.

    Daftar tersebut mencakup produk impor AS senilai 95 miliar euro (USD 107,4 miliar), di berbagai produk industri dan pertanian. Daftar tersebut mencakup ratusan barang seperti unggas, biji-bijian, dan logam.

    “UE memiliki pandangan tegas bahwa tarif [AS] ini secara terang-terangan melanggar aturan dasar WTO,” kata Komisi Eropa dalam sebuah pernyataan.

    Adapun dispute yang diajukan akan berbentuk pengajuan permintaan konsultasi secara resmi. “Tujuan UE adalah untuk menegaskan kembali bahwa aturan yang disepakati secara internasional itu penting, dan aturan ini tidak dapat diabaikan secara sepihak oleh anggota WTO mana pun, termasuk AS.”

     

     

  • Industri Nasional Digempur Produk Impor, Kemenperin Ungkap Pintu Masuk RI Tak Ketat Dibanding China – Halaman all

    Industri Nasional Digempur Produk Impor, Kemenperin Ungkap Pintu Masuk RI Tak Ketat Dibanding China – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, pemerintah Indonesia wajib memberikan perlindungan dari gempuran impor.

    Sayangnya, Indonesia tercatat memiliki jumlah Non Tariff Barrier (NTB) dan Non-Tariff Measure (NTM) paling sedikit dibandingkan dengan negara lain di dunia.

    Tentu saja ini menjadi faktor penghambat dalam upaya peningkatan daya saing industri di dalam negeri.

    NTB dan NTM menjadi kebijakan penting yang digunakan oleh banyak negara maju untuk melindungi industri nasional mereka dari serbuan produk impor.

    “Data menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 370 NTB dan NTM yang berlaku saat ini. Bandingkan dengan Tiongkok yang memiliki lebih dari 2.800 kebijakan tersebut, kemudian India ada 2.500 lebih, Uni Eropa sekitar 2.300, bahkan Malaysia dan Thailand masing-masing memiliki lebih dari 1.000 NTB dan NTM,” tutur Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief di Jakarta, Kamis (8/5/2025).

    Febri menilai, ketimpangan jumlah instrumen proteksi tersebut menyebabkan industri nasional sering kalah bersaing di pasar domestik maupun global.

    Minimnya penghambat ini juga membuat produk asing mudah masuk ke pasar domestik Indonesia, sebaliknya produk Indonesia kesulitan tembus ekspor ke negara lain karena banyaknya hambatan dagang.

    “Hal ini sangat terasa ketika manufaktur kita melakukan ekspor memasuki pasar domestik mereka. Negara tersebut yang mensyaratkan berbagai NTB dan NTM seperti standar, hasil pengujian, rekomendasi dan lain sebagainya yang harus dipenuhi produk manufaktur Indonesia agar bisa dijual di pasar domestik mereka,” ungkapnya.

    Oleh karena itu, Kemenperin terus mendorong penguatan instrumen perlindungan industri melalui regulasi yang tepat, tanpa melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

    “Kita harus dapat memanfaatkan NTB dan NTM secara optimal agar industri dalam negeri mampu tumbuh dan bersaing secara sehat,” kata Febri.

    Kemenperin juga tengah mengkaji sektor-sektor strategis yang membutuhkan perlindungan lebih kuat melalui penerapan NTB dan NTM, seperti industri tekstil, kimia, baja, elektronik dan otomotif.

    “Tujuannya agar kita tidak hanya menjadi pasar bagi produk luar, tetapi juga memperkuat dan memperdalam struktur industri nasional,” ujarnya. 

    Febri menambahkan, di tengah kondisi pasar kerja yang sedang menghadapi masalah, pemerintah akan lebih fokus memperhatikan perlindungan terhadap industri dalam negeri, terutama dari gempuran impor murah.

    “Dengan semangat kolaborasi dan sinergi yang kuat di antara stakeholders dan didukung dengan koordinasi yang tepat, kami optimistis kinerja industri bisa bangkit, karena melindungi industri dalam negeri, berarti melindungi juga tenaga kerja kita,” terangnya.
     

     

  • Tarif Trump Bikin Industri Padat Karya Menjerit, Pemerintah Godok Insentif

    Tarif Trump Bikin Industri Padat Karya Menjerit, Pemerintah Godok Insentif

    Bisnis.com, JAKARTA – Ancaman tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) membawa posisi industri padat karya RI semakin terjepit. Pemerintah pun mengaku sedang mengodok insentif baru, demi mengantisipasi agar sektor riil tak makin lesu.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menjelaskan kebijakan Presiden AS Donald Trump itu akan memberikan dampak nyata buat geliat industri padat karya nasional dari sisi pelemahan permintaan ekspor maupun domestik. 

    Terlebih, sektor seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), furnitur, hingga produk olahan daging dan ikan, betul-betul mengandalkan pasar AS sebagai tujuan ekspor utama.

    “Jadi kebanyakan yang kena adalah industri padat karya, dan memang yang saat ini terbilang sedang susah karena mengalami pelemahan daya saing,” ujarnya dalam diskusi Bisnis Indonesia Forum di Wisma Bisnis Indonesia, Rabu (7/5/2025).

    Sebagai contoh, produk pakaian dan aksesori pakaian rajutan mengapalkan sampai 61% dari total ekspornya buat pasar Negeri Paman Sam. Begitu juga dengan produk furnitur, lampu, dan lain-lain (59%); olahan daging, ikan, krustasea, dan mollusca (56%); barang-barang dari kulit (56%), tercatat mengirim lebih dari separuh porsi ekspornya buat AS.

    Di samping itu, produk lain yang mengandalkan porsi ekspor ke pasar AS secara signifikan, antara lain pakaian dan aksesori pakaian bukan rajutan (49%); mainan, permainan, dan perlengkapan olahraga (45%); alas kaki (33%); produk dari bahan anyaman (33%); karet dan barang dari karet (30%); serta barang dari batu, semen, asbes, dan mika, dll (30%).

    Berikutnya, di samping potensi penurunan permintaan ekspor, melemahnya permintaan domestik juga menjadi ancaman. Terlebih, karena pasar lokal dibanjiri produk impor dari negara-negara kompetitor.

    “Pemerintah harus melindungi industri dalam negeri. Jangan sampai justru Indonesia menjadi tempat buangan produk-produk negara kompetitor yang tak bisa lagi ke AS, karena mereka melihat pasar di sini sangat besar,” ungkapnya.

    Dampak-dampak itu pun belum ditambah peningkatan beban produksi akibat volatilitas nilai tukar, turunnya minat investasi dan ekspansi bisnis sektor padat karya, hingga pelemahan ekonomi akibat minimnya penyerapan tenaga kerja.

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengungkap bahwa pemerintah tengah berupaya menjawab berbagai tantangan tarif Trump tersebut lewat guyuran insentif, demi mendukung dunia usaha menjadi semakin kompetitif.

    “Kemarin, baru saja kami evaluasi skema insentif untuk industri padat karya kita. Mulai dari TPT, furnitur, alas kaki, dan sebagainya, dari skema insentif fiskal yang sebelumnya kita berikan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

    Sebagai pengingat, beberapa insentif tersebut, antara lain pajak penghasilan (PPh 21) ditanggung pemerintah, subsidi kredit modal kerja untuk revitalisasi mesin industri, juga bantuan iuran jaminan kecelakaan kerja di BPJS Ketenagakerjaan.

    “Ada empat sampai lima jenis insentif fiskal yang kita dedikasikan untuk industri padat karya, kemarin kita evaluasi kembali dan kita gulirkan di kuartal II/2025,” tambahnya.

    Pelaku Industri Waswas

    Sisi lain, pelaku industri RI kompak ketar-ketir dengan kondisi ketidakpastian global terkini, terutama mereka yang terdampak langsung oleh potensi pelemahan ekspor ke AS, maupun efek tak langsung dari fenomena perang dagang AS-China.

    Mewakili sektor TPT, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menekankan kepastian hukum dari pemerintah merupakan kunci, terutama dalam rangka membendung impor ilegal.

    “Pasar TPT domestik Indonesia sangat besar, sehingga penguatan market buat industri dalam negeri sangat penting. Kepastian sangat ditunggu dunia usaha. Terlebih, negara lain produsen TPT dan pakaian jadi pun akan terus membidik market domestik Indonesia,” ungkapnya.

  • Industri Kimia Masih Prospektif Meski Digempur Perang Dagang & Banjir Impor

    Industri Kimia Masih Prospektif Meski Digempur Perang Dagang & Banjir Impor

    Bisnis.com, JAKARTA – Investasi asing di sektor kimia mengalami perlambatan pada awal tahun ini. Biang keroknya disinyalir polemik pasar domestik yang dibanjiri produk impor serta konflik panas perang dagang.

    Tak heran, jika merujuk pada realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) sektor industri kimia dan farmasi, nilainya turun 15,11% menjadi US$913,72 juta (year on year/yoy). Sementara itu, pada kuartal I/2024, realisasi investasi sektor tersebut tercatat mencapai US$1,08 miliar.

    Kendati demikian, secara kuartal realisasi PMA di sektor kimia dan farmasi naik 1,46% dibanding periode sebelumnya (quarter to quarter/qtq). Pada kuartal IV/2024, PMA di sektor itu senilai US$900,6 juta.

    Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (Akida) tak memungkiri kondisi industri tertekan imbas kebijakan relaksasi impor yang memicu produk impor mudah masuk ke pasar dalam negeri. Dinamika global seperti pengenaan tarif impor oleh Amerika Serikat juga memperparah kondisi usaha. 

    Ketua Umum Akida Halim Chandra mengatakan, meski dihadapkan tantangan tersebut, pihaknya masih melihat peluang pertumbuhan, utamanya lewat penguatan program hilirisasi dan peningkatan daya saing produk lokal. 

    “Indonesia memiliki sumber daya alam yang besar sebagai bahan baku industri kimia dan ini adalah potensi yang perlu dioptimalkan,” kata Halim kepada Bisnis, dikutip Rabu (7/6/2025). 

    Potensi industri kimia sebagai basis bahan baku untuk berbagai industri pengguna dinilai masih prospektif. Akida, yang menaungi industri kimia anorganik untuk bahan penolong bagi industri primer, seperti pupuk, sabun, makanan dan lainnya, berperan krusial. 

    Tak terkecuali pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik (EV) sebagai pasar yang tak kalah menarik. Halim meyakini investasi kimia akan terus menggeliat mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk yg besar, sumber alam yang melimpah, dan letak geografis yang strategis.

    “Ini membuat Indonesia menjadi alternatif negara untuk berinvestasi saat ini. Khususnya, sumber baterai EV, untuk kendaraan masa depan yang bebas CO2,” tuturnya. 

    Di sisi lain, dia juga menyorot pengenaan tarif oleh AS terhadap produk China dan negara lain yang menciptakan disrupsi rantai pasok global. Namun, bagi Indonesia, hal ini juga membuka peluang bagi industri kimia untuk mengisi kekosongan di pasar ekspor tertentu.  

    “Tantangan tetap besar jika kita tidak memperkuat struktur industri nasional, terutama dari sisi teknologi, efisiensi energi, dan kapasitas produksi. Jadi, tarif ini bisa menjadi peluang, asalkan kita cepat merespons dan melakukan pembenahan struktural,” jelasnya.

    Namun, Halim menegaskan berbagai peluang tersebut perlu didukung kebijakan yang konsisten dan proindustri agar investasi ini dapat direalisasikan optimal. Menurut halim, Indonesia perlu menentukan industri strategis yang perlu dikembangkan secara konsisten.  

    Hal ini untuk memberikan arah yang jelas bagi investor. Sebab, para investor dan fund manager, pasti mempunyai perhitungan sendiri dalam berinvestasi. Pengalaman membuktikan bahwa pasar domestik, selalu sebagai anchor business dibandingkan dengan pasar ekspor. 

    Beberapa langkah untk mendorong kembali potensi investasi kimia dalam negeri yaitu perlindungan pasar dalam negeri melalui pengawasan ketat atas relaksasi impor dan penegakan SNI.

    Selain itu, insentif investasi untuk pembangunan pabrik bahan baku kimia dasar dan menengah yang terarah, penguatan infrastruktur industri, termasuk pasokan energi dan logistik, serta peningkatan SDM melalui pelatihan vokasi dan riset industri.

    Tak kalah penting, kolaborasi riset dan teknologi antara industri dan lembaga pendidikan untuk mendorong inovasi produk kimia bernilai tambah tinggi.

    “Pekerjaan pemerintah adalah mencegah barang impor ilegal, pengawasan kualitas yang masuk harus sesuai dengan SNI yang ada, insentif bagi dunia usaha lokal yang melakukan ekspansi, mempunyai fasilitas logistik dalam negeri milik Indonesia, seperti kapal antarpulau, kontainer yang cukup karena 85% kapal dan kontainer yang beredar di Indonesia adalah milik asing,” jelasnya. 

    Lebih lanjut, dia juga meminta pemerintah melibatkan asosiasi industri terkait untuk setiap investasi dari luar negeri di Indonesia melalui BKPM dan Kementerian Perindustrian, atas kebutuhan bahan baku dan bahan jadi investor, agar potensi kebutuhan bahan baku dari dalam negeri bisa dioptimalkan.

  • Menperin: Perpres 46 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Jadi Angin Segar untuk Industri – Halaman all

    Menperin: Perpres 46 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Jadi Angin Segar untuk Industri – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, menjadi angin segar bagi industri.

    Pepres baru ini mengatur tentang urutan prioritas belanja pemerintah dan BUMN/BUMD. Dimana pemerintah wajib memprioritaskan membeli produk yang memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) atau Produk Dalam Negeri (PDN) dibandingkan produk impor. 

    Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pihaknya dan perusahaan industri sangat mengapresiasi Presiden RI Prabowo Subianto yang telah menandatangani Perpres No 46 Tahun 2025 dan menerbitkannya.

    “Regulasi ini menjadi angin segar bagi industri ditengah tekanan demand domestik saat ini, terutama bagi industri yang menghasilkan produk yang dibeli oleh pemerintah dan BUMN/BUMD,” ungkap Agus dalam keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).

    Regulasi baru ini memperbaiki regulasi sebelumnya, yaitu Perpres No 16 Tahun 2018 tentang PBJ Pemerintah. Pada Perpres tersebut, pemerintah bisa langsung membeli produk impor ketika industri dalam negeri belum mampu menyediakan produk yang penjumlahan skor TKDN dan BMP (Bobot Manfaat Perusahaan) di atas 40 persen.

    Regulasi baru ini juga mengatur urutan prioritas belanja pemerintah atas produk ber-TKDN dan PDN yang belum diatur dalam regulasi lama.  

    “Regulasi baru ini sejalan arahan Presiden dalam Sarasehan Ekonomi di gedung Mandiri pada pertengahan bulan April lalu. Presiden meminta agar kebijakan TKDN direlaksasi dan diubah menjadi insentif. Regulasi PBJ ini telah sesuai dengan arahan Presiden tersebut,” ucap Menperin. 

    Urutan prioritas belanja pemerintah atas produk ber-TKDN dan PDN sesuai dengan pasal 66 Perpres No 46 Tahun 2025 adalah sebagai berikut: 

    1. Jika ada produk yang penjumlahan skor TKDN dan BMP (Bobot Manfaat Perusahaan) nya lebih dari 40 persen, maka yang bisa dibeli pemerintah melalui PBJ adalah produk yang ber-TKDN di atas 25 persen.

    2. Jika tidak ada produk yang penjumlahan skor TKDN dan BMP nya di atas 40 persen, tapi ada produk yang memiliki skor TKDN di atas 25 persen, maka produk yang memiliki skor TKDN di atas 25 persen bisa dibeli pemerintah melalui PBJ Pemerintah.

    3. Jika tidak ada produk yang ber-TKDN di atas 25 persen, maka pemerintah bisa membeli produk yang ber-TKDN lebih rendah dari 25 persen. 

    4. Jika tidak ada produk yang bersertifikat TKDN, maka pemerintah bisa membeli PDN yang terdata dalam Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS).
     
    Reformasi TKDN

    Kementerian Perindustrian berkomitmen untuk mempermudah iklim industri dalam negeri dengan mereformasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

    Reformasi diutamakan pada kebijakan terkait Tata Cara Perhitungan TKDN agar lebih sederhana, waktu singkat dan berbiaya murah.

    Langkah tersebut bertujuan agar semakin banyak produk industri dalam negeri yang memiliki sertifikat TKDN dan dibeli oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD. 

    Kemenperin telah memulai reformasi kebijakan TKDN jauh sebelum Presiden Trump mengumumkan kenaikan tarif masuk impor ke Amerika Serikat pada awal April 2025.

    Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bersama jajaran Kemenperin telah memulai pembahasan reformasi Tata Cara Perhitungan TKDN sejak Januari 2025.

    “Jadi, reformasi kebijakan TKDN tidak disebabkan karena kebijakan tarif resiprokal Presiden Trump atau tekanan akibat perang dagang global akan tetapi berdasarkan kebutuhan industri dalam negeri Indonesia. Kami senantiasa selalu mengikuti kebijakan dan arahan Presiden Prabowo dalam membangun industri manufaktur Indonesia ke depan,” ucap Agus.

    Agus menyatakan, Kemenperin selalu memiliki misi dan semangat untuk membuka kesempatan sebesar-besarnya pada penciptaan usaha baru dan peningkatan iklim investasi yang kondusif.

    “Jauh hari sebelum langkah deregulasi diambil pemerintah merespon kebijakan tarif Amerika Serikat, kami telah memulai upaya mereformasi kebijakan TKDN, baik dari sisi formulasi penghitungan komponen dalam negeri yang lebih berkeadilan maupun penyederhanaan proses bisnis penerbitan Sertifikat TKDN,” ungkap Menperin.

    Rumusan kebijakan reformasi TKDN tersebut telah dilakukan uji publik dan saat ini tengah dalam tahap finalisasi.

    “Saya berharap reformasi TKDN kedepan semakin meningkatkan minat usaha dan investasi di tanah air, serta meningkatkan kontribusi sektor manufaktur pada perekonomian nasional,” jelasnya.