Topik: produk impor

  • Momentum Reformasi Industri Nasional

    Momentum Reformasi Industri Nasional

    Jakarta

    Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel yang meletus pada pertengahan Juni lalu menyulut kekhawatiran global terhadap stabilitas pasokan energi dan kelancaran rantai logistik internasional. Selat Hormuz, yang menjadi jalur pengangkutan hampir sepertiga minyak dunia, terancam menjadi medan konflik.

    Rute dagang strategis seperti Terusan Suez juga mengalami tekanan akibat meningkatnya aksi kelompok bersenjata. Bagi Indonesia, yang selama ini masih bergantung besar pada energi dan bahan baku impor, kondisi ini menjadi pengingat keras bahwa kemandirian industri bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

    Dampaknya sudah terasa. Harga minyak Brent naik signifikan, bergerak di kisaran USD 73–92 per barel sepanjang Juni 2025. Analis memperingatkan kemungkinan harga menembus USD 100 jika konflik bereskalasi dan Selat Hormuz benar-benar ditutup.

    Ketegangan ini mendorong volatilitas tajam pasar energi dan bahan baku industri, memicu lonjakan biaya logistik hingga 200 persen, serta memperpanjang waktu pengiriman Asia–Eropa hingga dua pekan lebih lama dari biasanya.

    Di tengah kondisi ini, data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan tren yang memprihatinkan. Pada April 2025, PMI turun ke level 46,7 — kontraksi paling dalam dalam hampir empat tahun terakhir. Sempat membaik ke 47,4 pada Mei 2025, namun pada bulan Juni PMI Indonesia kembali anjlok di angka 46,9. PMI di bawah 50 menunjukkan aktivitas di bawah ambang batas kontraksi.

    Sinyal ini bukanlah alarm biasa. Ini adalah panggilan untuk melakukan evaluasi mendasar atas arah pembangunan industri nasional. Sudah terlalu lama sektor industri kita berjalan tanpa arsitektur kebijakan yang tangguh.

    Di saat negara-negara besar menggunakan krisis sebagai pendorong reformasi, kita justru masih menunggu “the new normal” untuk bergerak. Padahal, dunia telah berubah, dan kita harus berubah bersamanya.

    Amerika Serikat telah menggelontorkan lebih dari USD 300 miliar melalui Inflation Reduction Act (IRA) dan CHIPS Act hanya dalam dua tahun untuk memperkuat basis industrinya, termasuk kendaraan listrik dan semikonduktor. India lewat program Atmanirbhar Bharat berhasil menarik gelombang relokasi industri global dengan pendekatan insentif produksi dan perlindungan pasar domestik. Sementara itu, Indonesia masih mengandalkan pasar ekspor komoditas mentah dan struktur impor bahan baku yang rapuh terhadap gangguan eksternal.

    Krisis ini semestinya menjadi “momentum reformasi”. Seyogyanya Pemerintah membentuk sistem cadangan darurat industri nasional, semacam “BNPB untuk sektor industri”, yang memiliki fungsi monitoring, mitigasi, dan respons cepat terhadap gangguan rantai pasok, fluktuasi nilai tukar, maupun lonjakan biaya logistik. Sistem ini bisa berupa pusat pemantauan logistik nasional, gudang cadangan bahan baku seperti semikonduktor, pupuk, dan baja, serta dana tanggap industri yang bisa digunakan secara fleksibel di masa krisis.

    Selain itu, arah hilirisasi nasional perlu diperluas. Hilirisasi selama ini lebih difokuskan pada sektor mineral dan tambang, padahal jantung industri Indonesia ada di manufaktur padat karya seperti tekstil, makanan dan minuman, furnitur, alas kaki, dan otomotif ringan. Sektor-sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja dan menopang konsumsi rumah tangga nasional. Namun saat ini, mereka menghadapi tekanan berat.

    Sektor otomotif dan elektronik, yang 65 persen produksinya bergantung pada impor komponen, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Potensi kerugian ekspor diperkirakan mencapai USD 500 juta.

    Di sisi lain, sektor tekstil dan alas kaki menghadapi penyusutan margin laba hingga 7 persen akibat kenaikan tajam biaya logistik dan asuransi. Situasi ini diperparah oleh membanjirnya produk impor murah dari negara produsen besar seperti Tiongkok, di tengah lemahnya proteksi pasar domestik.

    Sementara itu, industri petrokimia nasional menghadapi beban ganda. Di satu sisi, kapasitas produksi dalam negeri baru mencapai 3,5 juta ton dari kebutuhan 8 juta ton plastik per tahun. Di sisi lain, bahan baku utama seperti nafta masih 100 persen impor, dengan volume mendekati 3 juta ton per tahun. Ketika harga minyak mentah melonjak dan jalur distribusi terganggu, industri dalam negeri menghadapi tekanan luar biasa.

    Di sinilah pentingnya mengembangkan bio-nafta berbasis CPO (crude palm oil), di mana Indonesia memiliki keunggulan sebagai produsen sawit terbesar dunia. Hilirisasi CPO bukan hanya soal ekspor, tetapi juga solusi strategis untuk menggantikan bahan baku fosil dalam industri petrokimia.

    Hanya saja, semua ini tidak akan berjalan tanpa reformasi kebijakan energi yang menyeluruh. Pemerintah mengalokasikan subsidi energi dalam RAPBN 2025 sebesar Rp 394,3 triliun. Namun, menurut kajian Bank Dunia, sekitar 72 persen subsidi BBM justru dinikmati kelompok masyarakat 40 persen teratas.

    Subsidi yang tidak tepat sasaran ini tidak memperkuat fondasi industri. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan sudah lama memiliki cadangan strategis energi setara konsumsi 200–240 hari. Indonesia? Masih nihil.

    Kita perlu merumuskan ulang kebijakan industri dan energi dalam satu ekosistem terintegrasi. Kementerian Perindustrian harus diberi mandat lebih kuat sebagai “arsitek industrialisasi nasional”, didukung oleh koordinasi lintas sektor: fiskal (Kemenkeu), investasi (BKPM), BUMN, dan perdagangan. Roadmap industri harus terintegrasi dari hulu ke hilir, dari bahan baku hingga produk jadi, dari pasar lokal hingga ekspor.

    Investasi baru yang masuk harus dipastikan membawa teknologi, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat rantai pasok dalam negeri. Infrastruktur yang dibangun pun harus mendukung kawasan industri, pusat logistik, dan pelabuhan produksi. Kita tidak hanya butuh investasi yang besar, tetapi investasi yang bermakna dan berkelanjutan.

    Terakhir, kita perlu memahami bahwa industri bukan lagi sekadar sektor ekonomi. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, industri adalah alat pertahanan nasional.

    Di Amerika Serikat, kebijakan industri ditautkan langsung dengan strategi keamanan nasional. India memosisikan sektor manufakturnya sebagai pengungkit kekuatan geopolitik. Maka Indonesia pun harus menjadikan industri sebagai bagian dari sistem pertahanan non-militer — karena siapa yang menguasai pasokan energi dan pangannya sendiri, akan bertahan.

    Sejarah membuktikan hal ini. Saat industri nasional tumbang pada krisis 1998, tekanan sosial dan politik meningkat tajam. Namun saat industri bangkit pada era pasca-2004, stabilitas dan pertumbuhan berjalan beriringan. Maka menjaga industri bukan hanya menjaga ekonomi, tapi menjaga masa depan bangsa.

    Penurunan PMI selama dua bulan terakhir bukanlah kebetulan statistik. Ini adalah panggilan untuk bertindak. Pemerintah, DPR, pelaku industri, dan masyarakat harus duduk bersama membangun arah baru: sebuah peta jalan industrialisasi yang bukan hanya berorientasi ekonomi, tetapi berlandaskan pada kemandirian, keberlanjutan, dan ketahanan nasional.

    Indonesia punya segalanya: pasar domestik yang besar, tenaga kerja muda (bonus demografi), sumber daya alam yang melimpah, dan posisi geografis yang strategis. Dengan kepemimpinan nasional yang kuat di bahwa Presiden Prabowo, Indonesia seharusnya optimis bisa menjadi jangkar stabilitas kawasan lewat kekuatan industrinya. Semoga..

    Ilham Permana. Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Partai Golkar

    (imk/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Pemerintah Atur Pelabuhan Khusus Impor Tekstil, Untungkan Pengusaha?

    Pemerintah Atur Pelabuhan Khusus Impor Tekstil, Untungkan Pengusaha?

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai kebijakan pelabuhan impor khusus untuk masuknya produk impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dapat berdampak baik dan buruh bagi pelaku usaha industri nasional. 

    Wakil Ketua API David Leonardi mengatakan pemerintah akan mengatur tempat pemasukan barang impor TPT. Adapun, kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 17/2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor TPT. 

    “Aturan ini dapat memusatkan pengawasan di pelabuhan tertentu sehingga lebih mudah diawasi Bea Cukai,” kata David kepada Bisnis, Minggu (6/7/2025). 

    Adapun, aturan yang dimaksud tercantum pada Bab IV tentang Tempat Pemasukan Barang Impor ayat (1-3). 

    Pada ayat pertama disebutkan bahwa impor atas TPT untuk pos tarif/harmonized system dan uraian Barang tertentu, Menteri dapat menentukan tempat pemasukan Barang Impor. Tempat pemasukan Barang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pelabuhan tujuan.

    Dalam lampiran Permendag 17/2025, impor produk tekstil sudah jadi yang diimpor oleh produsen ataupun importir umum hanya dapat dilakukan melalui pelabuhan tujuan Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, New Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Soekarno Hatta di Makassar, Bitung di Bitung, Krueng Geukuh di Aceh Utara, dan Merak Mas di Cilegon. 

    Kemudian, produk pakaian jadi hanya dapat diimpor lewat pelabuhan darat seperti Cikarang Dry Port (Jababeka) di Bekasi, serta pelabuhan udara yaitu Kualanamu di Deli Serdang, Soekarno Hatta di Tangerang, Ahmad Yani di Semarang, Juanda di Surabaya, dan Sultan Hasanuddin di Makassar.

    Meskipun pengawasan disebut dapat lebih ketat, pengusaha melihat ada potensi kelemahan dari aturan ini, lantaran pilihan pelabuhan terbatas.

    “Artinya importir di daerah tanpa pelabuhan yang ditunjuk harus trans-shipment sehingga ongkos logistik naik,” tuturnya. 

    Kendati demikian, pihaknya tetap mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengevaluasi aturan pengaturan impor terbaru ini sebagai revisi dari aturan relaksasi impor sebelumnya dalam Permendag 8/2024 yang kini resmi dicabut. 

    Sebagaimana diketahui, peraturan impor terbaru ini menambah persyaratan importasi TPT dengan mewajibkan penggunaan Pertimbangan Teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian. 

  • Video: Indonesia Siap Kurangi Impor Bahan Baku Obat

    Video: Indonesia Siap Kurangi Impor Bahan Baku Obat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktur PT Kimia Farma Tbk (KAEF), Jasmine Karsono, menyatakan bahwa Indonesia kini semakin siap untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku obat impor. Selain karena faktor efisiensi waktu dan biaya, kesiapan ini juga didukung penuh oleh kebijakan pemerintah yang mendorong substitusi impor ke produksi lokal.

    Menurut Jasmine, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas dan insentif untuk mempercepat substitusi impor. Dukungan tersebut mencakup pengembangan teknologi, proses uji laboratorium, hingga percepatan registrasi produk.

    Terkait kualitas, Jasmine memastikan bahwa bahan baku lokal tidak kalah dibandingkan produk impor. Hal ini dibuktikan melalui uji bioekuivalensi untuk memastikan bahwa obat lokal memiliki efektivitas dan keamanan yang setara dengan obat dari luar negeri. Namun dari sisi harga, Jasmine mengakui bahwa produk lokal masih menghadapi tantangan skala ekonomi. Karena kapasitas produksinya masih terbatas, harga bahan baku lokal belum sepenuhnya kompetitif dibandingkan produk impor.

    Saksikan dialog Shafinaz Nachiar bersama Direktur PT Kimia Farma Tbk (KAEF) Jasmine Karsono di Program Closing Bell CNBC Indonesia, Jumat (04/07/2025).

  • Inovasi Perwira Pertamina Sukseskan Injeksi Perdana Surfaktan, Dukung Produksi Migas

    Inovasi Perwira Pertamina Sukseskan Injeksi Perdana Surfaktan, Dukung Produksi Migas

    Jakarta, Beritasatu.com – Pertamina melalui PT Pertamina Lubricants (PTPL) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sukses injeksi perdana Surfactant PHR 24 untuk mendukung produksi minyak dan gas bumi (migas) di lapangan Balam South #353, Bangko, Kabupaten Rokan Hilir, pada Rabu, (2/7/2025).

    Direktur Utama PTPL, Werry Prayogi menyampaikan hal ini merupakan pembuktian bagi PTPL untuk mendukung aktivitas di sektor hulu Migas, khususnya di wilayah operasional PHR dalam menyediakan Chemical untuk kegiatan Enhanced Oil Recovery (EOR).

    “Ini menjadikan sebuah tonggak sejarah bahwa produksi dalam negeri tidak kalah kualitasnya dengan produk-produk impor. Hal ini sebagai pembuktian PTPL juga bisa mengembangkan bisnis chemical,” ujar Werry.

    Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso mengatakan, Pertamina mendorong Perwira (pekerja) untuk berinovasi mendukung ketahanan energi. Diantaranya melalui komitmen pengembangan teknologi EOR untuk meningkatkan produksi migas nasional.

    “Pertamina berharap kontribusi hulu migas melalui inovasi Perwira dan kolaborasi antar entitas di Pertamina Group dapat mendukung akselerasi swasembada energi,” jelas Fadjar.

    Sementara itu, Vice President S-EOR Region I PHR, Syaiful Ma’arif menambahkan, injeksi perdana PHR 24 di lapangan Balam South ini merupakan langkah awal menuju pada pengembangan komersial yang lebih besar.

    “Perwira Pertamina berhasil menemukan formula yang sangat efisien dan memungkinkan pengembangan komersial dalam skala besar,” ungkap Syaiful.

    Menurut Syaiful, penggunaan chemical ini tentunya bisa direplikasikan di lapangan migas lainnya. Keberhasilan pengaplikasian PHR 24 untuk kebutuhan teknologi EOR di lapangan eksisting tentunya diharapkan dapat meningkatkan tambahan produksi yang signifikan.

    “Melalui ekspansi ini, selain meningkatkan produksi lifting, diharapkan ke depan dapat menekan impor bahan dari PHR 24 dan komponen bisa diproduksi di dalam negeri,” terang Syaiful.

    Surfactant PHR 24 merupakan salah satu komponen penting dalam proses EOR yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi pengangkatan minyak dari sumur tua. Kehadiran produk ini menjadi dukungan nyata perusahaan terhadap kebutuhan industri hulu migas dalam negeri, khususnya di wilayah operasional Pertamina.

  • Menko Airlangga Berharap RI Dapat Tarif Lebih Rendah daripada Vietnam

    Menko Airlangga Berharap RI Dapat Tarif Lebih Rendah daripada Vietnam

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berharap Indonesia mendapatkan tarif yang lebih rendah dari yang Vietnam sepakati dengan Trump, yaitu pada rentang 20%—40%.

    Airlangga menyampaikan hal tersebut dalam rangka menanggapi terkait kabar Vietnam yang telah mencapai kesepakatan dengan AS tersebut, di tengah Indonesia masih dalam proses perundingan. “Vietnam kan 20%-40%, kami berharap [dapat tarif] lebih baik dari Vietnam,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (3/7/2025). 

    Tarif 40% tersebut diperuntukkan bagi barang yang dianggap sebagai hasil transshipment­, produk yang berasal dari negara ketiga, seperti China, yang hanya melalui proses perakitan ringan di Vietnam sebelum diekspor ke AS. 

    Sementara di Indonesia, Airlangga menekankan bahwa Indonesia tidak melakukan transshipment, sehingga tidak membahas hal tersebut dalam negosiasi. 

    Airlangga turut menanggapi pertanyaan apakah Indonesia akan memberikan pembebasan bea masuk selayaknya Vietnam, dirinya menjawab bahwa pemerintah telah memberikan tarif yang cukup rendah kepada AS. 

    “Terkait tarif Amerika yang kebanyakan impor ke Indonesia, tarifnya di bawah 10%, bahkan ada yang 0% dan 5%. Jadi, itu adalah top komunitas yang Indonesia impor dari Amerika,” tutur Airlangga. 

    Dalam rangka negosiasi, pemerintah mempersiapkan US$34 miliar, setara Rp551,1 triliun dengan kurs JISDOR per 3 Juli 2025 Rp16.209 per dolar AS, untuk peningkatan impor dari AS dan investasi di AS. 

    Salah satunya, yakni pembelian energi dari AS yang totalnya akan mencapai US$15,5 miliar atau setara Rp251,24 triliun serta rencana pembelian komoditas dari sektor agrikultur untuk menyeimbangkan surplus neraca perdagangan AS dengan Indonesia. 

    Meski demikian, Airlangga enggan menyampaikan rincian pembelian energi, apakah dalam bentuk minyak mentah, BBM, atau produk energi lainnya. 

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan dagang dengan Vietnam, menyusul serangkaian diplomasi intensif dalam beberapa pekan terakhir.  

    Pengumuman tersebut datang menjelang tenggat waktu 9 Juli, di mana tarif impor dari Vietnam ke AS dijadwalkan mengalami kenaikan signifikan. Melalui unggahan di media sosial pada Rabu (2/7/2025), Trump menyatakan tarif sebesar 20% akan dikenakan terhadap ekspor Vietnam ke AS.

    Sementara itu, tarif sebesar 40% akan diberlakukan untuk barang-barang yang dianggap sebagai hasil transshipment. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Vietnam sepakat untuk menghapus seluruh tarif terhadap produk-produk impor dari AS.

  • Industri RI di Ujung Tanduk Dilibas Produk China

    Industri RI di Ujung Tanduk Dilibas Produk China

    Jakarta

    Produk impor asal China membanjiri pasar Tanah Air. Kondisi ini terjadi di tengah pecahnya perang dagang usai Presiden Amerika Serikat (AS) mengumumkan tarif impor baru ke sejumlah negara.

    Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menilai gejolak perang dagang itu membuat China kehilangan pasar besarnya di Negeri Paman Sam. Barang-barang itu lalu dialihkan ke negara lain, salah satunya Indonesia.

    “Tanpa kebijakan protektif yang tepat, produk dalam negeri terdesak oleh barang-barang impor Tiongkok yang hari ini kehilangan akses, kurang mendapatkan akses ke pasar besar mereka di Amerika Serikat,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (12/6/2025).

    Indonesia juga menghadapi tantangan penurunan permintaan dari luar negeri yang mempengaruhi turunnya Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia. PMI Indonesia bulan Juni tercatat berada di level 46,9.

    “Hal ini tercermin dari PMI kita pada bulan Juni 2025, ini tercatat sebesar 46,9, dimana sektor manufaktur kita masih berada dalam fase kontraksi, dikarenakan masih lemahnya permintaan baru dari pasar ekspor, sentimen pasar global dan tingginya ketidakpastian kebijakan dagang,” jelas Faisol.

    Secara umum berbagai tantangan yang berasal dari global turut mengancam kelangsungan industri nasional. Faisol mencatat beberapa sektor seperti tekstil hingga kompeten otomotif terancam menghadapi penurunan permintaan ekspor.

    “Kondisi inilah yang mengancam juga kelangsungan industri nasional kita, seperti industri padat karya, tekstil, elektronik rumah tangga, hingga komponen otomotif yang saat ini sedang menghadapi penurunan permintaan ekspor,” tuturnya.

    Belum lagi hubungan Iran dan Israel yang sempat meningkat juga mengganggu stabilitas ekonomi global. Konflik kedua negara dikhawatirkan mengganggu pasokan energi yang dapat mengganggu rantai pasok global.

    Faisol juga mengungkap adanya lonjakan signifikan impor produk agro dari China. Hal itu berbarengan dengan turunnya jumlah ekspor produk serupa dari China ke AS.

    “Di saat yang sama Indonesia justru mencatat lonjakan impor produk agro dari China sebesar US$ 477 ribu (sekitar Rp 7,72 miliar) atau meningkat 30%,” kata Faisol dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/6/2025).

    Data yang dihimpun menunjukkan ekspor produk agro China ke AS turun US$ 1,17 miliar atau sekitar Rp 18,95 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun justru ke Indonesia, tren ekspornya meningkat.

    7 Komoditas China yang Impornya Melonjak ke RI:

    HS 23 (limbah industri makanan dan pakan ternak olahan) naik 11,17%
    HS 03 (ikan dan krustasea) naik lebih dari 100%
    HS 18 (produk kakao dan olahannya) naik lebih dari 100%
    HS 09 (kopi, teh, mate, dan rempah-rempah) naik 53,42%
    HS 48 (kertas dan karton) naik 28,52%
    HS 19 (sereal, tepung, pati, susu, dan pastry) naik 24,91%
    HS 44 (produk kayu dan arang kayu) naik 22,46%

    “Kondisi ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah Indonesia untuk mencermati dampak dari trade diversion terhadap struktur impor nasional, sekaligus peluang untuk memetakan potensi dan tantangan industri agro di dalam negeri,” jelas Faisol.

    Tak hanya sektor agro, Faisol juga mengaku khawatir terhadap ketergantungan tinggi Indonesia terhadap impor baja dan aluminium dari China yang dinilainya bisa menjadi masalah struktural di tengah ketidakpastian global. Pemerintah diharapkan segera merumuskan kebijakan penguatan industri dalam negeri agar tidak terjebak dalam ketergantungan jangka panjang

    Tonton juga “APINDO Sebut UMKM RI Masih Keterbatasan Akses Modal” di sini:

    (ily/hns)

  • Kemenperin waspadai lonjakan impor baja hingga TPT akibat perang tarif

    Kemenperin waspadai lonjakan impor baja hingga TPT akibat perang tarif

    Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza. ANTARA/HO-Kemenperin

    Kemenperin waspadai lonjakan impor baja hingga TPT akibat perang tarif
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Rabu, 02 Juli 2025 – 16:15 WIB

    Elshinta.com – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mewaspadai potensi lonjakan produk impor di industri baja dan aluminium, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki, industri agro, serta industri aneka akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

    Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Rabu, menyampaikan potensi lonjakan produk tersebut akibat adanya trade diversion atau dumping dari China.

    “Dampak ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China akan berpotensi mendorong trade diversion sebagai respons atas hambatan dagang yang terus meningkat,” kata dia.

    Dirinya mencontohkan di sektor TPT dan alas kaki yang memberikan kontribusi signifikan terhadap ekspor manufaktur nasional, yakni pada 2024 menunjukkan bahwa Amerika Serikat merupakan pasar utama dari kedua sektor tersebut. Pangsa pasar TPT Indonesia ke AS mencapai 40,6 persen, dan alas kaki 34,2 persen. Ini menunjukkan hampir setengah dari ekspor tekstil, dan 1/3 dari ekspor alas kaki nasional bergantung pada permintaan AS.

    Melihat masih tingginya tensi ketegangan antara AS dan China, serta adanya penurunan pangsa pasar China di AS, situasi ini memunculkan tantangan, berupa meningkatnya potensi dumping produk China ke pasar domestik.

    “Ini menunjukkan adanya peningkatan nilai impor TPT dari China ke Indonesia yang mencapai 8,84 persen, sedangkan impor produk alas kaki melonjak hingga 30,89 persen pada Januari hingga April 2025,” katanya.

    Pada sektor industri agro, terdapat indikasi adanya trade diversion produk China dari AS. Pihaknya mencatat Januari hingga April 2025 ekspor produk agro China ke AS turun sebesar 1,17 miliar dolar AS atau sekitar 7 persen. Di saat yang sama, Indonesia justru mencatat lonjakan impor produk agro dari China sebesar 477 ribu dolar AS atau meningkat sekitar 30 persen.

    “Sekurang-kurangnya, terdapat tujuh pos HS yang menunjukkan kenaikan impor yang signifikan. Mulai dari HS 23, yaitu limbah industri makanan dan pakan ternak naik sekitar 11 persen, HS 03 ikan dan krustasea, dan HS 18 kakao dan olahan melonjak impornya lebih dari 100 persen. Lonjakan tertinggi terjadi pada produk perikanan, yaitu sekitar 105,4 persen,” katanya lagi.

    Disampaikan dia, kondisi ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk mencermati dampak dari trade diversion terhadap struktur impor nasional, sekaligus peluang untuk memanfaatkan potensi dan tantangan industri di dalam negeri.

    “Ini tentu kita harus mitigasi dengan monitoring secara intensif,” ujar Wamenperin.

    Sumber : Antara

  • Komisi VII: Hormuz ditutup, tak sebegitu mengerikan industri nasional

    Komisi VII: Hormuz ditutup, tak sebegitu mengerikan industri nasional

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga menilai dampak apabila Selat Hormuz ditutup oleh Iran imbas konfliknya dengan Israel tidak akan begitu mengerikan terhadap industri nasional di tanah air.

    “Menurut saya tidak terlalu mengerikan begitu dampak daripada Selat Hormuz karena industri kita sekarang sudah banyak industri yang menggunakan listrik dan gas, bukan lagi minyak,” kata Lamhot dalam rapat Komisi VII DPR RI dengan Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Sebab, menurut dia, industri nasional saat ini sudah banyak yang menggunakan energi hijau dan tidak lagi menggunakan bahan baku minyak.

    “Setahu saya industri itu sudah sangat minim pengguna minyak ya karena sekarang industri green, itu sudah jarang lah orang industri sekarang menggunakan minyak,” ucapnya.

    Meski demikian, dia meminta agar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membuat secara rinci tantangan ataupun persoalan yang dihadapi oleh industri nasional untuk dicarikan solusi agar tetap dapat bertahan dalam menghadapi ketegangan global.

    Misalnya, kata dia, tantangan seperti penaikan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, isu penutupan Selat Hormuz oleh Iran, hingga banjirnya produk impor ke Indonesia.

    “Antara Komisi VII dan Kemenperin, kami intensifkan kira-kira regulasi apa yang kami bisa buat untuk membuat mereka survive, mereka bisa bertahan dari tekanan-tekanan yang terjadi daripada efek global ini,” tuturnya.

    Bahkan, kata dia, Komisi VII DPR bersedia untuk beraudiensi dengan industri-industri nasional yang sekiranya terkena dampak ketegangan geopolitik global.

    “Perlu juga kita undang ke sini industri-industri yang terdampak itu, jadi tidak hanya Kementerian Perindustrian, karena mereka kebingungan ke mana harus mengadu,” kata Lamhot.

    Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengkhawatirkan dampak bila Selat Hormuz ditutup oleh Iran terhadap industri nasional sebab seperlima dari suplai energi dunia melintas wilayah tersebut setiap harinya.

    Oleh sebab itu, dia meminta Kemenperin mengambil langkah mitigasi dengan membuat daftar prediksi industri nasional yang akan terdampak bila Selat Hormuz diputuskan untuk ditutup Iran.

    “Saran saya, Kementerian Perindustrian membuat perkiraan kalau Hormuz ditutup, mana dulu yang pingsan dari industri kita ini? Mana dulu? Jangan sampai begitu Hormuz-nya ditutup, baru ngitung. Jadi harus dipersiapkan kira-kira mana dulu yang terdampak dari Hormuz itu,” kata dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi VII DPR minta Kemenperin jaga hubungan dagang internasional

    Komisi VII DPR minta Kemenperin jaga hubungan dagang internasional

    “Karena ada beberapa komoditi yang adanya hanya di timur tengah itu,”

    Jakarta (ANTARA) – Komisi VII DPR RI mendesak kepada Kementerian Perindustrian (Kemenperin) guna menjaga hubungan baik dengan mitra dagang Indonesia di berbagai negara dalam rangka menjaga kepentingan nasional.

    Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengatakan bahwa saat ini dunia sedang dihadapkan dengan situasi konflik yang memanas di timur tengah. Menurut dia, timur tengah adalah kawasan strategis bagi perekonomian.

    “Karena ada beberapa komoditi yang adanya hanya di timur tengah itu,” kata Saleh di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.

    Dia pun mengatakan bahwa ada sebagian besar bahan baku di ekosistem industri dalam negeri yang berasal dari luar negeri. Menurut dia, Kemenperin perlu mengecek dampak ketersediaan bahan baku di saat kondisi timur tengah yang memanas tersebut.

    “Nah itu tentu kalau datang dari luar negeri pasti ada kewaspadaan tertentu, atau mungkin bisa jadi barang-barang itu naik (harga),” kata dia.

    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga mengusulkan agar Kemenperin membuat secara rinci tantangan-tantangan perindustrian agar bisa mencari solusi demi industri-industri di Indonesia bisa bertahan.

    Misalnya, kata dia, tantangan seperti penaikan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, isu penutupan Selat Hormuz oleh Iran, hingga banjirnya produk impor ke Indonesia.

    “Perlu juga kita undang ke sini industri-industri yang terdampak itu, jadi tidak hanya Kementerian Perindustrian, karena mereka kebingungan ke mana harus mengadu,” kata Lamhot.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rupiah diprediksi menguat menjelang penundaan tarif AS berakhir

    Rupiah diprediksi menguat menjelang penundaan tarif AS berakhir

    Investor cenderung wait and see (jelang) seminggu menjelang berakhirnya penundaan tarif resiprokal Trump.

    Jakarta (ANTARA) – Analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong memperkirakan nilai tukar (kurs) rupiah menguat menjelang penundaan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) berakhir.

    “Investor cenderung wait and see (jelang) seminggu menjelang berakhirnya penundaan tarif resiprokal Trump,” kata Lukman Leong, di Jakarta, Rabu.

    Presiden AS Donald Trump pada Selasa (1/7) mengumumkan bahwa dirinya tidak berencana untuk memperpanjang penundaan tarif perdagangan timbal balik yang akan berakhir pada 9 Juli.

    Trump juga menyebutkan pemerintahannya akan segera mengirim selembar surat kepada para mitra dagang AS, yang berisi ucapan selamat kepada mereka atas haknya untuk menjalin bisnis dengan AS.

    Presiden AS itu menyatakan penerapan kebijakan tarif telah menghasilkan pendapatan sekitar 129 miliar dolar AS (sekitar Rp2 kuadriliun) bagi negaranya dan masih jumlah itu masih akan terus bertambah.

    Trump telah mengumumkan bahwa AS telah menandatangani kesepakatan perdagangan dengan China pada Rabu (25/6). Ia juga mengindikasikan kesepakatan perdagangan dengan India bakal segera tercapai.

    Pada 2 April, Trump menandatangani perintah eksekutif yang menjatuhkan tarif pada produk-produk impor dari negara lain. Tarif dasar ditetapkan sebesar 10 persen, dengan tarif yang lebih tinggi dikenakan ke 57 negara berdasarkan defisit perdagangan AS dengan setiap negara tertentu.

    Kemudian, pada 9 April Trump mengatakan tarif ekspor dari 75 lebih negara yang tidak melakukan aksi balasan akan dikurangi menjadi 10 persen selama 90 hari.

    Penangguhan tarif selama 90 hari untuk sebagian besar negara akan berakhir pada 8 Juli. Sementara itu, penangguhan tarif selama 90 hari terhadap China, yang juga merupakan bagian dari skema ini akan berakhir pada 12 Agustus.

    Sentimen lain terhadap kurs rupiah beradak dari sikap investor jelang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak AS.

    “Indeks dolar AS masih terus turun oleh kekhawatiran RUU Pajak Trump dan ketidakpastian tarif,” ujar Lukman.

    Mengutip Xinhua, Senat AS telah meloloskan RUU pemotongan pajak besar Presiden AS Donald Trump yang menandai langkah prosedural utama menuju pengesahan aturan tersebut sebelum reses pada 4 Juli mendatang.

    RUU itu yang setebal 940 halaman dengan judul “One Big Beautiful Bill Act”, disetujui dalam pemungutan suara dengan skor 51-49.

    Aturan baru ini untuk memperpanjang pemotongan pajak 2017, memotong pajak lainnya, serta meningkatkan pengeluaran militer dan keamanan perbatasan, sekaligus mengimbangi kerugian pendapatan melalui pemotongan besar-besaran pada Medicaid, kupon makanan, energi terbarukan, hingga program kesejahteraan sosial lainnya.

    Setelah pemungutan suara, para senator kemungkinan akan menghadapi debat dan proses amendemen yang panjang di hari-hari mendatang. Setelah RUU tersebut lolos di Senat, maka RUU tersebut akan kembali ke DPR AS untuk pemungutan suara terakhir sebelum menuju Gedung Putih.

    Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Rabu pagi di Jakarta melemah sebesar 21 poin atau 0,13 persen menjadi Rp16.221 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.200 per dolar AS.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.