Topik: produk impor

  • Kemendag Ungkap Sederet Manfaat bagi RI Usai Prabowo Teken IP-CEPA

    Kemendag Ungkap Sederet Manfaat bagi RI Usai Prabowo Teken IP-CEPA

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto resmi meneken Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia—Peru (Indonesia—Peru CEPA/IP—CEPA) pada Senin (11/8/2025). Berikut sederet manfaat perjanjian IP—CEPA untuk Indonesia.

    Untuk diketahui, perjanjian IP—CEPA berhasil rampung dalam waktu 14 bulan. Prosesnya lebih cepat dari perundingan perjanjian dagang umumnya yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.

    Perjanjian IP—CEPA akan memperluas akses pasar dan meningkatkan perdagangan Indonesia dan Peru. Kedua negara sepakat akan bekerja sama di sektor pangan, pertambangan, transisi energi, perikanan, dan pertahanan.

    Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti Widya Putri menyatakan IP—CEPA harus dapat dioptimalkan sebagai landasan dalam kemajuan hubungan dan kinerja perdagangan Indonesia—Peru, termasuk menjadi peluang memperkuat hubungan pelaku usaha.

    “Setelah penandatanganan IP—CEPA, pemerintah Indonesia dan Peru akan segera melaksanakan proses ratifikasi agar IP—CEPA dapat diberlakukan,” ujar Roro dalam keterangan tertulis, dikutip pada Selasa (12/8/2025).

    Roro menjelaskan bahwa IP—CEPA akan fokus pada akses pasar untuk perdagangan barang, fasilitas bea cukai dan perdagangan, dan solusi untuk mengatasi hambatan perdagangan secara keseluruhan.

    Melalui perjanjian ini, ungkap Roro, Indonesia menghapuskan tarif sekitar 85% pos tarif untuk lebih dari 9.700 produk Peru. Sementara itu, Peru menghapus sekitar 87% pos tarif untuk lebih dari 6.900 produk Indonesia.

    “Bagi Indonesia, IP—CEPA merupakan perjanijan perdagangan kedua dengan negara di wilayah Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa Peru adalah negara yang penting dalam hubungan Indonesia dengan negara di regional Amerika,” jelasnya.

    Jika menengok pada kinerja 2024, total perdagangan Indonesia—Peru pada tercatat sebesar US$480,7 juta. Meski angkanya cukup kecil, perdagangan Indonesia dengan Peru menunjukkan pertumbuhan rata-rata sebesar 15,08% per tahun selama 2020–2024.

    Kemendag mengungkap, nilai ekspor Indonesia pada 2024 bernilai mencapai US$$331,2 juta dan nilai impor sebesar US$149,6 juta.

    Adapun, sederet produk ekspor unggulan Indonesia ke Peru di antaranya motor mobil dan motor kendaraan lainnya, alas kaki, minyak sawit dan turunannya, dan lemari pendingin.

    Pada periode 2020–2024, Kemendag mencatat ekspor tumbuh rata-rata 15,4% per tahun. Sementara itu, produk impor Indonesia dari Peru adalah biji cokelat, briket batu bara, bahan bakar padat, pupuk, anggur, dan seng mentah. Di sisi lain, pertumbuhan impor tumbuh rata-rata 13,5% per tahun.

    Lebih lanjut, Roro menyampaikan Kemendag akan melakukan perundingan terkait investasi dan jasa setelah IP—CEPA diimplementasikan selama 2 tahun untuk meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan Peru. Hal ini mengingat perjanjian ini bersifat inkremental.

    Menurut Roro, untuk memperkuat hubungan dagang di sektor perdagangan barang, maka perlu diterapkan beberapa strategi.

    Perinciannya, dengan meningkatkan volume perdagangan barang, mulai dari memfasilitasi transfer teknologi perdagangan barang sebagaimana disepakati dalam perjanjian dan membangun kerangka kerja yang dapat memperkuat perekonomian. Selain itu, juga perlu mendorong aspek berkelanjutan dan memupuk solidaritas dalam mengatasi tantangan global.

  • Harga BBM Pertamina, Shell, bp, Vivo tetap stabil

    Harga BBM Pertamina, Shell, bp, Vivo tetap stabil

    Ilustrasi – Sesuaikan harga BBM, Pertamina responsif terhadap pergerakan harga minyak dunia (Foto Antara/HO)

    Harga BBM Pertamina, Shell, bp, Vivo tetap stabil
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Senin, 11 Agustus 2025 – 08:21 WIB

    Elshinta.com – Harga bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Pertamina, Shell, Vivo, dan BP terpantau stabil, meskipun tarif untuk produk impor ke Amerika Serikat yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump resmi berlaku pada Kamis (7/8). Pemberlakuan tarif AS menyebabkan harga minyak dunia melemah, seperti harga minyak mentah Brent yang semula 72,47 dolar AS per barel pada 30 Juli, terjun menjadi 66,43 dolar AS per barel pada 7 Agustus.

    Meskipun demikian, dikutip dari laman resmi Pertamina di Jakarta, Senin, harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax di SPBU Pertamina stabil di angka Rp12.200 per liter sejak awal Agustus.

    Rincian harga BBM SPBU Pertamina (Jakarta) adalah sebagai berikut:

    Pertalite: Rp10.000 per liter;

    Solar Subsidi: Rp6.800 per liter;

    Pertamax: Rp12.200 per liter;

    Pertamax Turbo: Rp13.000 per liter;

    Pertamax Green: Rp13.200 per liter;
    Dexlite: Rp13.850 per liter; dan

    Pertamina Dex: Rp14.150 per liter.

    Sementara itu, harga BBM di SPBU Shell juga terpantau stabil sejak pekan pertama Agustus, dengan jenis Shell Super dipatok Rp12.580 per liter mulai 1 Agustus 2025.

    Adapun rincian harga BBM di SPBU Shell sebagaimana yang dikutip dari laman resmi SPBU Shell adalah sebagai berikut:

    Super: Rp12.580 per liter;
    V-Power: Rp13.050 per liter;

    V-Power Diesel: Rp13.230; serta

    V-Power Nitro+: Rp14.380 per liter.

    Selanjutnya, harga BBM di SPBU bp juga mengalami hal serupa dengan kedua SPBU tersebut. Berikut ini adalah rincian harga BBM di SPBU BP:

    BP Ultimate: Rp13.050 per liter;

    BP 92: Rp12.550 per liter; dan

    BP Ultimate Diesel: Rp14.380 per liter.

    Selaras dengan yang lainnya, harga BBM di SPBU Vivo juga stabil apabila dibandingkan pada awal Agustus 2025.

    Berikut ini adalah rincian harga BBM di SPBU Vivo:

    Revvo 90: Rp12.490 per liter;

    Revvo 92: Rp12.580 per liter;

    Revvo 95: Rp13.050 per liter; serta

    Diesel Primus Plus: Rp14.380 per liter.

    Sumber : Antara

  • Pengusaha Ragu Tarif Trump Bikin Pemain Tekstil Global Relokasi Pabrik ke RI

    Pengusaha Ragu Tarif Trump Bikin Pemain Tekstil Global Relokasi Pabrik ke RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) meragukan potensi relokasi pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) dari negara lain ke Indonesia di tengah pemberlakuan tarif bea masuk ke Amerika Serikat. Adapun, Indonesia mendapatkan penurunan tarif dari semula 32% menjadi 19%. 

    Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan tarif bea masuk produk Indonesia ke AS masih setara dengan sejumlah negara kompetitor, Vietnam (20%), Kamboja, Thailand, Filipina dan Malaysia (19%). 

    “Kalau di sektor TPT agak sedikit sulit, karena Vietnam dan Kamboja tarifnya hampir setara. Tapi ini tergantung pada perkembangan dan insentif yang diberikan pemerintah,” kata Redma kepada Bisnis, dikutip Senin (11/8/2025). 

    Redma tak memberikan rinci insentif yang dapat menggerakkan investor masuk ke Indonesia. Namun, stimulus berupa harga energi dan logistik dapat menjadi angin segar di sektor tekstil nasional. 

    Kendati demikian, menurut Redma, ada hal yang lebih penting untuk memastikan dunia usaha sektor ini terjaga, yakni jaminan perlindungan pasar domestik dari produk impor ilegal. 

    “Karena pasar yang paling potensial adalah pasar dalam negeri, namun ini pun masih menjadi tantangan karena maraknya barang impor murah dari China,” ujarnya. 

    Di sisi lain, Redma mengatakan pihaknya cukup lega dengan penurunan tarif dari 32% menjadi 19%. Namun, tambahan tarif bea masuk ke AS itu tetap dinilai tinggi dan dapat berpotensi menurunkan ekspor tekstil Indonesia. 

    “Dengan adanya tambahan tarif ini, importasi AS kemungkinan besar akan turun drastis sehingga pangsa pasar produk impor juga turun dan ini akan berimbas pada penurunan ekspor kita,” kata Redma kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025).  

    Meskipun demikian, dengan tarif China (30%) dan India (25%) yang masih lebih tinggi dari Indonesia, maka ada porsi sisa impor AS yang ditinggalkan China dan India.  

    “Ekspor kita bisa stabil atau bahkan bisa naik jika bisa mengisi pangsa pasar yang ditinggalkan China dan India,” jelas Redma. 

    Diberitakan sebelumnya, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) optimistis dampak penurunan tarif bea masuk produk Indonesia ke Amerika Serikat(AS) yang kini menjadi 19% dapat membuka berbagai peluang investasi untuk masuk ke dalam negeri. 

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, tak sedikit investor dari Vietnam dan Taiwan yang mulai minat untuk merelokasi usahanya ke Indonesia dikarenakan tarif ke AS yang lebih rendah. 

    Adapun, tarif produk Vietnam ke AS dipatok sebesar 20%, sedangkan produk asal Taiwan ke AS mencapai 32%. Meski berbeda tipis, Indonesia dinilai lebih diuntungkan. 

    “Tarif 19% ini masih banyak breakdown yang dibawa yang akan membuat ekonomi kita bagus ke depan, lapangan kerja, bahkan banyak orang dari Vietnam, Taiwan pengen juga relokasi karena 1% very meaningfulsebenarnya,” kata Luhut di Jakarta, belum lama ini.

  • Ekonom: KUR Masih Jadi Motor Pembiayaan UMKM

    Ekonom: KUR Masih Jadi Motor Pembiayaan UMKM

    Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai Kredit Usaha Rakyat (KUR) masih menjadi motor penting dalam membuka akses pembiayaan bagi pelaku UMKM, terutama di sektor-sektor produktif.

    Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan meskipun demikian, sejumlah tantangan masih menghambat optimalisasi program ini, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan sektor industri manufaktur.

    Selama ini, lanjutnya, KUR banyak membantu pelaku UMKM dalam mengembangkan usaha, tetapi kendala administratif masih menjadi hambatan awal. 

    “UMKM perorangan, terutama skala mikro, masih sering kesulitan dalam mengurus Nomor Induk Berusaha atau NIB dan pembukaan rekening bank, yang kadang memakan waktu cukup lama,” ujarnya, dikutip Senin (11/8/2025).

    Tak hanya itu, pendampingan bagi debitur KUR juga menjadi aspek krusial yang belum maksimal. 

    Banyak pelaku usaha mikro yang belum memiliki kecakapan dasar dalam pencatatan keuangan maupun strategi pengembangan usaha.

    Tanpa pembinaan yang berkelanjutan, sambungnya, potensi gagal bayar atau stagnasi usaha masih membayangi. Hal lain yang menjadi sorotan adalah struktur penyaluran KUR yang masih didominasi sektor jasa dan perdagangan. 

    “Penyaluran KUR untuk sektor manufaktur harus diperluas, baik dari sisi porsi maupun plafon kredit. Industri manufaktur lokal sangat dibutuhkan untuk menggantikan ketergantungan pada produk impor dan memperkuat pasar domestik,” katanya.

    Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan UMKM di Indonesia saat ini berada dalam situasi yang menantang. 

    Menurutnya, di tengah perlambatan ekonomi global, daya beli domestik yang menurun, dan ketatnya kompetisi pasar, UMKM harus menghadapi realita keterbatasan akses pembiayaan, teknologi, pasar, hingga keterampilan tenaga kerja. 

    Hasil survei Apindo menunjukkan 51% pelaku UMKM mengalami kendala akses modal, 35% kesulitan mengakses pasar dan promosi, serta hanya sekitar 7% yang terhubung ke rantai pasok industri besar.

    Sementara itu, kata Shinta, UMKM adalah silent backbone dari ekonomi Indonesia, menyerap 97% tenaga kerja dan menyumbang 61% dari PDB nasional.

    “Artinya, bila tidak ditangani dengan baik, tantangan yang dihadapi UMKM dapat menciptakan efek domino terhadap resiliensi ekonomi nasional. Narasi harus digeser, UMKM adalah aset strategis yang perlu dibangun secara serius dan berkelanjutan,” kata Shinta baru-baru ini. 

  • Data BPS Bikin Kaget! Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Melenceng dari Ramalan Ekonom

    Data BPS Bikin Kaget! Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Melenceng dari Ramalan Ekonom

    Jakarta

    Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12% pada kuartal II-2025. Angka ini cukup mengejutkan karena bertolak belakang dengan proyeksi banyak ekonom. Para ekonom memperkirakan pertumbuhan tak akan sampai angka 5% di periode ini.

    Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II tercatat mencapai Rp 5.947 triliun. BPS menyebut pertumbuhan ekonomi secara tahunan (year-on-year/yoy) berada di angka 5,12%. Lalu dibandingkan dengan kuartal sebelumnya tercatat tumbuh 4,04%.

    Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, memproyeksikan angka pertumbuhan di kuartal II tak akan menyentuh 5%. Tauhid cukup kaget ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,12%.

    “Angka pertumbuhan ekonomi ini ya ditetapkan pemerintah 5,12% agak kaget. Di luar perkiraan banyak orang termasuk saya yang memperkirakan di bawah 5%. Bahkan jauh, sekitar 4,8%, 4,9%. Saya sempat perkirakan antara 4,7% sampai 5,0%” ujarnya kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).

    Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira yang memperkirakan pertumbuhan kuartal II-2025 hanya berada di kisaran 4,5-4,7% yoy, bahkan lebih rendah dari realisasi kuartal I-2025 yang sebesar 4,87%. Menurutnya, lesunya daya beli masyarakat jadi penyebab utama.

    “Pertumbuhan kuartal II-2025 di kisaran 4,5-4,7% yoy, karena tidak ada lagi pendorong musiman setelah Lebaran, daya beli sedang lesu,” ujar Bhima.

    Lemahnya daya beli ini juga berdampak pada sektor manufaktur. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat berada di angka 49,2 pada Juli 2025. Meski membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang sempat anjlok ke 46,9, posisi ini masih di bawah ambang batas 50-yang berarti aktivitas manufaktur masih mengalami kontraksi.

    Selain itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 akan berada di bawah 5%, tepatnya pada kisaran 4,7-4,8% yoy. Alasannya serupa: konsumsi rumah tangga yang melemah.

    “CORE memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 melambat ke kisaran 4,7-4,8%, turun dari 4,87% pada kuartal I,” ujarnya.

    Faisal juga menilai stimulus pemerintah belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan. Di sisi lain, kontribusi dari net ekspor pun makin mengecil, karena surplus neraca perdagangan terus menyusut selama kuartal II.

    “Kontribusinya terhadap pertumbuhan jadi lebih rendah. Kami juga prediksi belanja pemerintah masih minus. Di kuartal I minus, dan di kuartal II kami prediksi minus 1%, jadi kontraksi. Itu yang juga memperlambat laju ekonomi,” jelasnya.

    Proyeksi Dipangkas: Lembaga-lembaga Turut Ragu

    Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

    LPEM UI

    Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dalam riset Trade and Industry Brief Vol VIII No. 2 edisi Juni 2025 juga menyoroti adanya perlambatan ekonomi nasional.

    “Pada awal 2025, Indonesia menunjukkan gejala perlambatan ekonomi yang diakibatkan oleh tergerusnya daya beli, menyusutnya kelas menengah, dan menurunnya produktivitas sektoral yang tercermin dalam dinamika industri dan ketenagakerjaan,” tulis tim peneliti LPEM FEB UI.

    Mereka mencatat, sektor manufaktur-yang selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja-mengalami tantangan deindustrialisasi prematur: kontribusinya terhadap PDB menurun, serapan tenaga kerja melemah, dan produktivitas stagnan.

    Sementara sektor pertanian pun belum lepas dari persoalan klasik, mulai dari ketersediaan input, teknologi, logistik, pembiayaan, hingga persaingan dengan produk impor dan praktik perdagangan internasional yang tidak sehat.

    “Indonesia perlu menciptakan lebih banyak lapangan kerja untuk menampung angkatan kerja berpendidikan rendah-menengah agar bisa menekan angka kemiskinan dan menjaga daya beli,” saran LPEM UI.

    OECD

    Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,7%, dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,9%.

    World Bank

    Bank Dunia pun menyampaikan peringatan bahwa perekonomian Indonesia rawan terdampak gejolak global. Ketegangan geopolitik yang meningkat saat ini berisiko mendorong pelemahan ekonomi lebih lanjut.

    Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, menyampaikan hal ini dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2025.

    Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 4,7%, dan 4,8% untuk tahun depan. Perkiraan ini mempertegas tren penurunan, setelah di kuartal I-2025 ekonomi RI hanya tumbuh 4,87%-turun dari angka 5% yang sempat tercapai sebelumnya.

    Menurut Carolyn, gejolak global menahan laju penciptaan lapangan kerja dan menghambat upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem. Pelemahan kinerja perdagangan dan investasi asing, ditambah arus modal yang labil, menciptakan tekanan luas terhadap stabilitas makroekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Dalam situasi yang sangat rentan ini, ekonomi Indonesia memang menunjukkan ketahanan. Tapi kami melihat pertumbuhan PDB yang lebih rendah dari 5%. Konsumsi pemerintah dan investasi juga menurun tahun ini,” sebut Carolyn.

    Halaman 2 dari 2

    (fdl/fdl)

  • Silang Pendapat Pengusaha & BGN soal Impor Food Tray untuk MBG

    Silang Pendapat Pengusaha & BGN soal Impor Food Tray untuk MBG

    Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah melonggarkan impor food tray atau nampan makanan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai penolakan dari kalangan pengusaha di dalam negeri.

    Pengusaha menilai kebijakan tersebut tidak tepat karena dapat mengancam nasib industri lokal. Apalagi, para pelaku industri lokal disebut telah mengucurkan investasi yang cukup besar untuk bisa memproduksi food tray.

    Asosiasi Produsen Wadah Makan Indonesia (APMAKI) mengatakan industri dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan food tray program MBG untuk 82,9 juta penerima di 2025.

    Pengurus APMAKI Robert Susanto menyampaikan, anggota APMAKI sendiri sudah mampu memproduksi hingga 10 juta food tray per bulannya. Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan pemerintah yang menyebut bahwa produksi dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan food tray untuk program MBG.

    “Itu pun belum dalam kondisi digas [produksi] secara maksimum. Dengan kondisi yang sedang-sedang saja, sudah mampu produksi 10 juta [food tray] per bulan,” kata Robert dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025).

    Menurutnya, adanya perbedaan pandangan terkait dengan produksi food tray ini terjadi lantaran tidak ada koordinasi antara produsen dengan pemerintah. 

    Selama ini, Robert mengaku bahwa produsen dalam negeri berjalan sendiri tanpa adanya pendampingan dari kementerian terkait. “…sehingga seolah-olah produsen dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan food tray untuk program MBG ini,” ujarnya.

    Di sisi lain, asosiasi keberatan dengan hadirnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.22/2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu. Regulasi itu memberikan kelonggaran impor food tray untuk kebutuhan program MBG. 

    Hapus Izin Impor

    Sekretaris Jenderal APMAKI Alie Cendrawan mengatakan, kebijakan itu dapat merugikan produsen lokal lantaran produk impor yang masuk kemungkinan memiliki harga yang lebih rendah dari produksi dalam negeri. Kendati begitu, dia tidak mengungkap negara asal impor food tray yang dimaksud.

    Agar produk dalam negeri mampu bersaing dengan produk impor, Alie mengharapkan agar pemerintah dapat melonggarkan bahkan menghapus izin impor untuk kepentingan industri dalam negeri, khususnya bahan baku.

    “Kalau bisa peraturan itu dihapus. Itu lebih penting daripada [impor] barang jadi, sedangkan kami ini pengusaha kesulitan untuk cari bahan baku dan bahan baku lokal masih mahal, terlalu mahal,” tuturnya.

    Pekerja menyiapkan menu makanan sebelum didistribusikan ke sekolah, di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Dapur Kebayunan, Depok, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Badan Gizi Nasional (BGN) mengoperasikan 190 SPPG atau dapur untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG). -JIBI/Bisnis/Arief Hermawan

    Lebih lanjut, Alie juga mengungkapkan bahwa pengusaha saat ini memilih untuk menahan investasinya dalam program MBG imbas kebijakan pemerintah membuka keran impor food tray.

    Alie menjelaskan sejak pemerintah memperkenalkan program MBG, sejumlah pengusaha di sektor wadah makanan turut terlibat dengan berinvestasi langsung dalam program tersebut.

    “Kami ini berangkat dari ingin membantu pemerintah mensukseskan program makan bergizi gratis, itu awalnya,” ujarnya.

    Alie mengungkap, investasi ini berangkat dari pernyataan Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan melalui keterangannya yang sempat mengajak pengusaha dalam negeri untuk membangun pabrikan food tray atau peralatan makan lainnya guna mendukung program MBG, sehingga Indonesia tidak perlu melakukan impor.

    Diharapkan, pembangunan pabrik-pabrik baru dapat berkontribusi terhadap ekonomi nasional hingga membuka lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya.

    “Berangkat dari situ, maka kami-kami ini berinvestasilah di pabrikan. Dalam investasi pabrikan ini tidak satu perak dua perak, miliar, Rp300-an miliar,” ungkapnya.

    Namun dalam perjalanannya, para pengusaha menahan investasinya, usai pemerintah melonggarkan impor food tray untuk program MBG.

    “Tiba-tiba datanglah regulasi [Permendag No.22/2025] sehingga terbukalah semua pihak bisa mengimpor food tray,” ujarnya.

    Respons BGN

    Badan Gizi Nasional (BGN) angkat bicara usai pengusaha lokal keberatan terhadap kebijakan pemerintah yang melonggarkan importasi food tray untuk program MBG.

    Kepala BGN Dadan Hindayana menyampaikan, pemerintah sejak tahun lalu telah meminta produsen yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Alat Dapur dan Makanan (ASPRADAM) dalam negeri meningkatkan produksi food tray guna memenuhi kebutuhan MBG.

    Namun, Dadan mengungkap bahwa permintaan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh para pengusaha.

    “Saya sudah meminta kepada ASPRDAM sejak Juni 2024 untuk produksi dan mereka tidak bergeming untuk menindaklanjuti,” ungkap Dadan kepada Bisnis, Minggu (3/8/2025).

    Sejumlah murid menyantap menu makanan di SDN Cilangkap 5, Depok, Jawa Barat, Senin (6/1/2025). Pemerintah resmi memulai Program Makan Bergizi Gratis yang dilaksanakan serentak di 26 Provinsi di Indonesia. JIBI/Bisnis/Arief Hermawan P

    Menurutnya, pengusaha dalam negeri baru mulai bergerak ketika program MBG berjalan dan animo mitra mengalami peningkatan. Dia menilai, jika pengusaha sejak awal memenuhi permintaan food tray untuk kebutuhan MBG, kebijakan pelonggaran impor food tray mungkin tidak akan dilakukan.

    Dadan menuturkan, BGN setidaknya membutuhkan sekitar 70 juta unit food tray untuk November 2025. Dengan produksi dalam negeri yang diklaim mencapai 10 juta unit per bulan, artinya kata dia, hanya 40 juta unit food tray yang dapat disiapkan oleh pengusaha lokal hingga November 2025.

    “Andaikan, ASPRADAM lebih awal memenuhi permintaan, pemerintah tidak perlu membuka keran impor,” katanya.

    Untuk diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.22/2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu.

    Melalui beleid itu, pemerintah memberikan kelonggaran impor food tray untuk kebutuhan program MBG. Keputusan ini diambil lantaran pemerintah menilai produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan food tray untuk program MBG yang ditargetkan mencapai 82,9 juta orang tahun ini.

    Kala itu, Dadan mengungkap bahwa industri dalam negeri hanya mampu memproduksi 2 juta unit food tray.

    “Kalau 2 juta [food tray] per bulan dikalikan sisa bulan ini, 6 [bulan]. Berarti kan 12 juta [food tray]. Sementara kita kan pasti akan masih membutuhkan lebih dari itu,” kata Dadan ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

  • BGN Telah Ingatkan Produsen Lokal Genjot Food Tray, Dadan: Mereka Tak Bergeming

    BGN Telah Ingatkan Produsen Lokal Genjot Food Tray, Dadan: Mereka Tak Bergeming

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Gizi Nasional (BGN) angkat bicara usai pengusaha lokal keberatan terhadap kebijakan pemerintah yang melonggarkan importasi food tray atau nampan makanan untuk program makan bergizi gratis (MBG).

    Kepala BGN Dadan Hindayana menyampaikan, pemerintah sejak tahun lalu telah meminta produsen yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Alat Dapur dan Makanan (ASPRADAM) dalam negeri meningkatkan produksi food tray guna memenuhi kebutuhan MBG.

    Namun, Dadan mengungkap bahwa permintaan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh para pengusaha.

    “Saya sudah meminta kepada ASPRDAM sejak Juni 2024 untuk produksi dan mereka tidak bergeming untuk menindaklanjuti,” ungkap Dadan kepada Bisnis, Minggu (3/8/2025).

    Menurutnya, pengusaha dalam negeri baru mulai bergerak ketika program MBG berjalan dan animo mitra mengalami peningkatan. Dia menilai, jika pengusaha sejak awal memenuhi permintaan food tray untuk kebutuhan MBG, kebijakan pelonggaran impor food tray mungkin tidak akan dilakukan.

    Dadan menuturkan, BGN setidaknya membutuhkan sekitar 70 juta unit food tray untuk November 2025. Dengan produksi dalam negeri yang diklaim mencapai 10 juta unit per bulan, artinya kata dia, hanya 40 juta unit food tray yang dapat disiapkan oleh pengusaha lokal hingga November 2025.

    “Andaikan, ASPRADAM lebih awal memenuhi permintaan, pemerintah tidak perlu membuka keran impor,” katanya.

    Untuk diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.22/2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu.

    Melalui beleid itu, pemerintah memberikan kelonggaran impor food tray untuk kebutuhan program MBG. Keputusan ini diambil lantaran pemerintah menilai produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan food tray untuk program MBG yang ditargetkan mencapai 82,9 juta orang tahun ini.

    Kala itu, Dadan mengungkap bahwa industri dalam negeri hanya mampu memproduksi 2 juta unit food tray.

    “Kalau 2 juta [food tray] per bulan dikalikan sisa bulan ini, 6 [bulan]. Berarti kan 12 juta [food tray]. Sementara kita kan pasti akan masih membutuhkan lebih dari itu,” kata Dadan ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

    Siswa makan menggunakan food tray di program MBG

    Keputusan itu lantas mendapat tanggapan negatif dari pelaku usaha yang tergabung dalam ASPRADAM dan Asosiasi Produsen Wadah Makan Indonesia (APMAKI).

    Pengurus APMAKI Robert Susanto menyebut, industri dalam negeri sudah mampu memproduksi hingga 10 juta food tray per bulannya.

    “Itu pun belum dalam kondisi digas secara maksimum. Dengan kondisi yang sedang-sedang saja, sudah mampu produksi 10 juta [food tray] per bulan,” kata Robert dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025). 

    Menurutnya, adanya perbedaan pandangan terkait produksi food tray terjadi lantaran tidak ada koordinasi antara produsen dengan pemerintah. 

    Selama ini, Robert mengaku bahwa produsen dalam negeri berjalan sendiri tanpa adanya pendampingan dari kementerian terkait. “…sehingga seolah-olah produsen dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan food tray untuk program MBG ini,” ujarnya.

    Sementara itu, Sekretaris Jenderal APMAKI Alie Cendrawan mengatakan, kebijakan itu dapat merugikan produsen lokal lantaran produk impor yang masuk kemungkinan memiliki harga yang lebih rendah dari produksi dalam negeri. Kendati begitu, dia tidak mengungkap negara asal impor food tray yang dimaksud. 

    Alie mengharapkan agar pemerintah dapat melonggarkan bahkan menghapus izin impor untuk kepentingan industri dalam negeri, khususnya bahan baku. Dengan begitu, produk dalam negeri mampu bersaing dengan produk impor.

    “Kalau bisa peraturan itu dihapus. Itu lebih penting daripada [impor] barang jadi. Sedangkan kita, kami ini pengusaha kesulitan untuk cari bahan baku dan bahan baku lokal masih mahal, terlalu mahal,” tuturnya.

  • Top 3: Pelabuhan Ketapang Macet, Begini Kondisi Layanan Penyeberangan – Page 3

    Top 3: Pelabuhan Ketapang Macet, Begini Kondisi Layanan Penyeberangan – Page 3

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif resiprokal untuk barang-barang impor dari negara ASEAN. Mayoritas dikenakan 19 persen, termasuk Indonesia. 

    Tak hanya Indonesia, beberapa negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Kamboja pun dikenakan tarif setara 19 persen. Namun, keputusan ini dinilai menimbulkan sisi dilematis bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menceritakan ulang, Trump awalnya berencana untuk mengenakan tarif impor sebesar 32 persen terhadap Indonesia. Sebelum pada akhirnya tarif tersebut diturunkan menjadi 19 persen setelah negosiasi pihak kedua.

    Berdasarkan kesepakatan, Indonesia berkomitmen untuk membeli produk energi dari AS senilai USD 15 miliar (sekitar Rp 244,07 triliun), produk pertanian senilai USD 4,5 miliar (sekitar Rp 73,2 triliun), serta 50 pesawat Boeing, mayoritas tipe 777. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen menerapkan tarif 0 persen untuk produk impor AS.

    “Tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0 persen, sebenarnya punya risiko tinggi bagi neraca perdagangan Indonesia,” kata Bhima, Sabtu (2/8/2025).

    Senada, Ekonom Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi mengatakan, kesepakatan dagang AS-Indonesia menempatkan RI dalam posisi yang tidak seimbang. 

    Berita selengkapnya baca di sini

  • Kemenperin pacu industri refraktori beri nilai tambah hilirisasi

    Kemenperin pacu industri refraktori beri nilai tambah hilirisasi

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berkomitmen mendorong pengembangan industri refraktori nasional yang mandiri dan berdaya saing global, mengingat sektor itu berperan penting dalam memberikan nilai tambah hilirisasi pada industri smelter hasil pertambangan.

    ‎“Sektor industri kimia, farmasi dan tekstil (IKFT) telah menunjukkan perannya sebagai salah satu penopang utama perekonomian nasional, yang tercermin melalui laju pertumbuhan yang cukup stabil dan kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi, perdagangan, serta investasi di dalam negeri,” kata Direktur Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Nonlogam Kemenperin Putu Nadi Astuti di Jakarta, Jumat.

    ‎Meskipun kontribusi yang diberikan oleh IKFT dalam pertumbuhan ekonomi cukup besar, namun industri refraktori kerap menghadapi tantangan serius. Refraktori merupakan industri yang memproduksi bahan tahan api yang digunakan untuk menopang peralatan industri lain, kata Putu, menjelaskan.


    ‎Rata-rata utilisasi industri refraktori nasional sejak 2020 hingga 2024 hanya mencapai 33,78 persen dari total kapasitas terpasang. Sedangkan pangsa pasar domestik hanya sebesar 12,54 persen dari seluruh kebutuhan produk refraktori di dalam negeri.

    Kondisi tersebut disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan domestik yang masih didominasi oleh produk impor, ujar Putu.

    ‎Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor produk refraktori untuk semen tahan api dan bata tahan api pada periode 2020-2024 mencapai 891.434 ton dengan nilai 588,90 juta dolar AS, yang 88 persen di antaranya berasal dari China.

    ‎Untuk mengatasi tantangan itu, Kemenperin berupaya menciptakan sinergi dan kolaborasi berkelanjutan antara produsen refraktori nasional dengan industri smelter.

    ‎”Kami berharap, upaya ini mampu meningkatkan utilitas industri refraktori nasional dan efisiensi industri smelter, serta menciptakan kemandirian industri dan menguatkan rantai pasok nasional yang selaras dengan arah kebijakan pembangunan industri nasional,” kata Putu.

    ‎Kemenperin melalui Direktorat Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Nonlogam (ISKPBGN) turut menyelenggarakan Business Matching atau temu bisnis industri refraktori nasional sebagai wujud nyata mengatasi tantangan yang dihadapi oleh industri refraktori dalam negeri. Adapun penyelenggaraan Business Matching telah dilaksanakan pada 9 Juli 2025 di Jakarta.‎

    ‎Ketua Umum Asosiasi Refraktori dan Isolasi Indonesia (ASRINDO) Riko Heryanto mengatakan baik upaya Kemenperin dan mendukung penuh program hilirisasi nasional.

    ‎ASRINDO menargetkan peningkatan utilisasi kapasitas produksi refraktori nasional dari sekitar 30 persen menjadi 70–80 persen.

    ‎”Jika tercapai, ekspansi industri refraktori bisa dilakukan dan menopang target pertumbuhan,” katanya.

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pengusaha Minta Izin Impor Bahan Baku Dihapus demi Produksi Nampan Makanan Lokal

    Pengusaha Minta Izin Impor Bahan Baku Dihapus demi Produksi Nampan Makanan Lokal

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Produsen Wadah Makan Indonesia (APMAKI) meminta pemerintah agar izin impor bahan baku dihapus demi memuluskan produksi nampan makanan lokal

    Desakan itu muncul usai pemerintah melonggarkan importasi food tray (nampan makanan) untuk kebutuhan program makan bergizi gratis (MBG), sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.22/2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu.

    “Kalau bisa peraturan itu dihapus. Itu lebih penting daripada barang jadi dimaksud diinputkan ke kita. Kami ini pengusaha kesulitan untuk mencari bahan baku bahan baku lokal karena masih mahal,” kata Sekretaris Jenderal APMAKI Alie Cendrawan dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025).

    Menurutnya, kebijakan itu dapat merugikan produsen lokal lantaran produk impor yang masuk berpotensi memiliki harga yang lebih rendah dari produksi dalam negeri.

    Untuk itu, dia berharap agar pemerintah dapat melonggarkan, bahkan menghapus izin impor untuk kepentingan industri dalam negeri, khususnya bahan baku agar produk dalam negeri mampu bersaing dengan produk impor. 

    Dalam catatan Bisnis.com, Badan Gizi Nasional (BGN) sebelumnya menyebut bahwa industri dalam negeri hanya mampu memproduksi 2 juta unit food tray. Kebutuhan itu masih jauh dari target penerima MBG yakni sebanyak 82,9 juta orang di 2025.

    “Kalau 2 juta [food tray] per bulan dikalikan sisa bulan ini, 6 [bulan]. Berarti kan 12 juta. Sementara kita kan pasti akan masih membutuhkan lebih dari itu,” kata Kepala BGN Dadan Hindayana ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

    Untuk itu, pemerintah melalui Kemendag melonggarkan importasi food tray untuk MBG guna menutupi kekurangan tersebut. Kebijakan itu tertuang dalam Permendag No.22/2025.

    Seiring terbitnya kebijakan itu, impor food tray kini tak lagi masuk dalam daftar barang yang dikenakan larangan pembatasan (lartas).