Topik: Produk Domestik Bruto

  • Paradoks ekonomi Indonesia: pertumbuhan tinggi, ketimpangan melebar

    Paradoks ekonomi Indonesia: pertumbuhan tinggi, ketimpangan melebar

    Ilustrasi – Warga memandang permukiman padat penduduk di bantaran Sungai Ciliwung di Kampung Melayu, Jakarta. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

    Paradoks ekonomi Indonesia: pertumbuhan tinggi, ketimpangan melebar
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Sabtu, 08 Maret 2025 – 17:09 WIB

    Elshinta.com – Membahas isu ketimpangan di Indonesia seolah tak ada habisnya. Tanpa perlu mencari, berbagai bentuk ketimpangan mudah sekali ditemukan.

    Pernyataan “yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin” nyatanya bukan sekadar ungkapan klise. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa gini ratio mengalami peningkatan dari 0,379 pada Maret 2024 menjadi 0,381 pada September 2024.

    Tidak hanya itu, jika dilihat dari ukuran ketimpangan lainnya, yaitu berdasarkan ukuran Bank Dunia, 20 persen kelompok pendapatan tertinggi mengalami peningkatan proporsi pengeluaran sebesar 0,33 persen poin selama Maret 2024–September 2024, dari 45,91 persen menjadi 46,24 persen.

    Sementara itu, pengeluaran penduduk pada kelompok 40 persen terbawah hanya sebesar 18,41 persen dari total pengeluaran rumah tangga per September 2024. Angka ini hanya meningkat 0,01 persen poin dari kondisi Maret 2024 yang sebesar 18,40 persen.

    Ketimpangan yang masih tinggi di Indonesia sangat disayangkan. Pasalnya, perekonomian nasional yang dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebenarnya cukup besar. Bahkan, Indonesia saat ini menyandang status sebagai upper middle-income country.

    Menurut data BPS, pada tahun 2024, PDB per kapita mencapai Rp78,6 juta atau 4.960,3 dolar AS. Jika pertumbuhan ekonomi yang ada dikelola dengan baik, seharusnya ketimpangan dapat ditekan. Namun, fakta bahwa ketimpangan masih melebar menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, melainkan hanya oleh kelompok penduduk atas.

    Fenomena ini selaras dengan teori Simon Kuznets yang menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, ketimpangan cenderung meningkat sebelum akhirnya menurun ketika suatu negara mencapai tahap pembangunan yang lebih matang.

    Pada awal industrialisasi, pertumbuhan ekonomi lebih banyak menguntungkan kelompok atas yang memiliki akses lebih besar terhadap modal dan peluang bisnis, sementara masyarakat miskin tetap tertinggal. Namun, seiring dengan peningkatan investasi dalam pendidikan, sistem perlindungan sosial, dan kebijakan redistributif yang efektif, ketimpangan seharusnya berkurang.

    Jika kita menggunakan hipotesis Kuznets sebagai lensa untuk membaca kondisi Indonesia, seharusnya, pada titik ini, ketimpangan mulai berkurang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—kesenjangan antara kelompok atas dan bawah semakin melebar. Ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi tumbuh, hasilnya tidak terdistribusi secara merata. Pertumbuhan yang ada tampaknya lebih berpihak pada mereka yang sudah mapan, sementara masyarakat berpenghasilan rendah masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Artinya, Indonesia belum berhasil melewati fase awal dari Kuznets Curve karena kebijakan yang diterapkan belum cukup efektif dalam mendistribusikan hasil pertumbuhan.

    Indonesia bisa berkaca pada negara-negara maju lainnya seperti China yang telah berhasil mengelola ketimpangan tinggi dengan kebijakan redistribusi pendapatan yang tepat.

    Pada akhir abad ke-20, China menghadapi kesenjangan ekonomi yang sangat tajam akibat pertumbuhan yang timpang antara kota dan desa. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pemerintahnya menerapkan strategi redistribusi yang agresif, termasuk pajak progresif, peningkatan belanja sosial, dan program pembangunan pedesaan yang masif.

    Hasilnya, pertumbuhan ekonomi mereka tetap tinggi, tetapi dengan distribusi yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya tidak memperbesar kesenjangan, tetapi justru dapat menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika diiringi dengan kebijakan yang tepat.

    Sayangnya, model pembangunan ekonomi Indonesia masih terlalu berorientasi pada kapital besar. Investasi yang masuk lebih banyak mengalir ke sektor industri padat modal, seperti keuangan dan teknologi, yang menghasilkan keuntungan besar bagi investor tetapi hanya menciptakan sedikit lapangan pekerjaan.

    Akibatnya, kelompok kaya semakin menguasai pasar, sementara kelompok miskin dan kelas pekerja hanya menjadi penonton dalam pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat bawah pun stagnan, karena pertumbuhan upah tidak sebanding dengan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.

    Selain itu, ketimpangan di Indonesia juga dipicu oleh rendahnya mobilitas sosial akibat ketidaksetaraan dalam akses pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali kesulitan mengakses pendidikan berkualitas, yang pada akhirnya membatasi peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan dengan upah layak.

    Kesenjangan ini semakin diperparah dengan tingginya biaya pendidikan tinggi dan kualitas sekolah di daerah tertinggal yang masih jauh di bawah standar. Akibatnya, mereka yang lahir dari keluarga miskin memiliki kemungkinan besar untuk tetap miskin, sementara mereka yang lahir dalam keluarga kaya memiliki akses lebih besar untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan mereka.

    Selain pendidikan, aspek kesehatan juga memainkan peran krusial dalam ketimpangan ekonomi. Akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas masih sangat bergantung pada kemampuan ekonomi seseorang.

    Meskipun program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berjalan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat berpenghasilan rendah masih kesulitan mendapatkan pelayanan medis yang layak. Ketika kesehatan terganggu, produktivitas pun menurun, dan ini semakin memperkuat lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus.

    Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengoreksi ketimpangan adalah kebijakan fiskal yang progresif.

    Namun, hingga saat ini, sistem perpajakan di Indonesia belum cukup kuat untuk menjalankan fungsi redistribusi secara optimal. Rasio pajak terhadap PDB masih tergolong rendah, sementara beban pajak lebih banyak ditanggung oleh kelompok menengah dan pekerja formal dibandingkan oleh kelompok kaya dan pemilik modal besar.

    Pajak kekayaan dan pajak warisan yang dapat menjadi alat efektif dalam mengurangi ketimpangan hampir tidak terdengar dalam kebijakan fiskal nasional.

    Ketimpangan ekonomi yang terus melebar bukan hanya masalah statistik, tetapi juga ancaman nyata bagi stabilitas sosial dan politik. Ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dapat menimbulkan frustrasi sosial yang berujung pada ketidakstabilan.

    Sejarah telah membuktikan bahwa ketimpangan yang ekstrem sering kali menjadi pemicu utama berbagai bentuk kerusuhan sosial, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah, hingga melemahnya legitimasi negara di mata rakyatnya.

    Jika Indonesia ingin keluar dari jebakan pertumbuhan yang tidak inklusif, strategi pembangunan harus diubah agar benar-benar mengutamakan pemerataan. Investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan harus diprioritaskan, bukan hanya sebagai program sosial, tetapi sebagai strategi ekonomi jangka panjang.

    Peningkatan akses terhadap pendidikan berkualitas, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah, akan membantu mereka meningkatkan keterampilan dan daya saing di pasar tenaga kerja. Hal ini pada akhirnya akan mendorong mobilitas sosial yang lebih dinamis dan mengurangi ketimpangan antar-generasi.

    Pemerintah juga harus lebih serius dalam menciptakan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis tenaga kerja, bukan hanya berbasis modal. Sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti manufaktur dan pertanian modern, harus didorong dengan kebijakan insentif yang tepat.

    Selain itu, UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat harus mendapatkan dukungan lebih besar, baik dalam bentuk akses permodalan, teknologi, maupun perlindungan pasar dari persaingan dengan korporasi besar.

    Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya tidak menjadi alat untuk memperkaya segelintir orang, tetapi menjadi sarana untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata.

    Pemerintah tidak boleh hanya berfokus pada angka PDB dan pertumbuhan investasi tanpa memperhatikan bagaimana hasil dari pertumbuhan tersebut didistribusikan. Selama kebijakan masih cenderung berpihak pada kelompok elite, ketimpangan tidak akan berkurang, dan Indonesia akan terus terjebak dalam paradoks pertumbuhan yang eksklusif.

    Masa depan Indonesia tidak hanya bergantung pada seberapa tinggi ekonomi tumbuh, tetapi juga pada seberapa luas manfaat pertumbuhan itu dirasakan oleh seluruh rakyat. Jika pertumbuhan ekonomi tidak dapat menciptakan kesejahteraan yang lebih inklusif, maka status sebagai negara berpendapatan menengah atas hanya akan menjadi pencapaian di atas kertas, tanpa makna yang nyata bagi sebagian besar penduduk.

    Untuk benar-benar menjadi negara maju, Indonesia harus berani mengubah arah kebijakan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya menghasilkan angka yang impresif, tetapi juga membawa perubahan nyata bagi kehidupan seluruh rakyatnya.

    *) Lili Retnosari dan Tsuraya Mumtaz merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)
    Oleh Lili Retnosari, Tsuraya Mumtaz *)

    Sumber : Antara

  • Rilis APBN Kita Ditunda, Ini Sederet Dampak Buruk terhadap Ekonomi RI

    Rilis APBN Kita Ditunda, Ini Sederet Dampak Buruk terhadap Ekonomi RI

    Jakarta, Beritasatu.com – Penundaan rilis Anggaran Pendapatan Belanda Negara Kinerja dan Fakta atau APBN Kita oleh Kementerian Keuangan dikhawatirkan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi nasional.

    Hal itu disampaikan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jakarta Achmad Nur Hidayat menanggapi langkah Kemenkeu yang belum merilis laporan kinerja APBN Januari 2025.

    “Kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN bisa berdampak serius bagi ekonomi nasional. Investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal yang dipublikasikan pemerintah untuk menilai kondisi ekonomi suatu negara,” katanya, Jumat (7/3/2025).

    APBN Kita merupakan publikasi Kemenkeu bulanan yang bertujuan untuk menginformasikan masyarakat mengenai kinerja pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara sebagai bentuk tanggung jawab publik dan transparansi fiskal. 

    Laporan ini mulai diterbitkan di website Kementerian Keuangan pada periode Desember 2017. Lalu Kemenkeu mulai melaksanakan konferensi pers APBN Kita secara rutin sejak Januari 2018.

    Dia mengatakan  apabila laporan APBN Kita terus tertunda, maka kepercayaan terhadap kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, yang pada akhirnya dapat memicu berbagai dampak negatif. 

    Salah satu dampak utama adalah meningkatnya volatilitas di pasar keuangan. Investor yang tidak mendapatkan kepastian mengenai kondisi fiskal negara cenderung bersikap lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya. 

    Dalam jangka panjang, melemahnya rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan memperburuk defisit transaksi berjalan.

    “Hal ini bisa menyebabkan aliran modal keluar (capital outflow) yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” tutur Achmad.

    Penundaan rilis APBN Kita juga dapat berpengaruh terhadap pasar obligasi. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sangat bergantung pada persepsi investor terhadap kesehatan fiskal pemerintah.  

    Apabila investor mulai meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola APBN, permintaan terhadap obligasi pemerintah bisa menurun, yang pada akhirnya meningkatkan yield atau imbal hasil obligasi.

    “Peningkatan yield ini berpotensi menambah beban utang pemerintah, terutama dalam membiayai defisit anggaran,” tutur dia.

    Sementara itu Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro mengatakan  pihaknya berencana menggelar konferensi pers untuk merilis APBN Kita pekan depan.

    “Insyaallah minggu depan, tunggu saja ya,” ujarnya saat dikonfirmasi.

    Infografis efisiensi anggaran. – (Investor Daily/-)

    Dalam konferensi pers APBN Kita pada Selasa (7/1/2025), Kemenkeu melaporkan defisit APBN  selama 2024 melebar menjadi Rp 507,8 triliun atau  2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh lebih tinggi dari defisit APBN 2023 yang sebesar Rp 337,3 triliun atau 1,61% dari PDB.

    Adapun realisasi pendapatan negara sebesar Rp 2.842,5 triliun lalu belanja negara sebesar Rp 3.350,3 triliun. Sedangkan pembiayaan anggaran sebesar Rp 553,2 triliun. Pendapatan negara tumbuh 2,1% secara tahunan. 

    Jika dirinci, maka penerimaan negara sebesar   Rp 2.842,5 triliun terbagi dalam penerimaan pajak sebesar Rp 1.932,4 triliun, kepabeanan dan cukai sebesar Rp 300,2 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 579,5 triliun, dan hibah senilai Rp 30, 3 triliun.

    Realisasi  belanja negara mencapai Rp 3.350,3 triliun pada akhir tahun 2024 atau tumbuh 7,3% dari periode yang sama tahun 2023. Realisasi ini meliputi belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 1.315 triliun, belanja non-K/L sebesar  Rp 1.171,7 triliun, dan  transfer ke daerah sebesar Rp 85,1 triliun, sebagaimana dalam laporan APBN KiTA.

  • Gubernur Pramono minta Jaksa Agung kawal program Jakarta

    Gubernur Pramono minta Jaksa Agung kawal program Jakarta

    Jaksa Agung ST Burhanuddin menerima kunjungan Gubernur Jakarta Pramono Anung dan Wagub Rano Karno di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (7/3/2025). Foto: Tangkapan layar YT Kejaksaan Agung RI

    Gubernur Pramono minta Jaksa Agung kawal program Jakarta
    Dalam Negeri   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Jumat, 07 Maret 2025 – 17:35 WIB

    Elshinta.com – Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin menerima kunjungan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Pramono Anung dan Rano Karno di Gedung Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, pada Jumat (7/3/2025).

    Dalam pertemuan tersebut, Burhanuddin menyampaikan bahwa Pemprov Jakarta meminta Kejaksaan Agung untuk mengawal pelaksanaan program-programnya selama masa kepemimpinan mereka.

    Burhanuddin menyebut permintaan pendampingan tersebut bertujuan agar setiap kebijakan dan proyek pembangunan di Jakarta berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

    “Yang utamanya adalah beliau meminta kepada Kejaksaan untuk pendampingan-pendampingan. Agar di dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, khususnya Jakarta, tidak ada hal-hal yang akan bertentangan dengan perundangan-undangan” ujar Burhanuddin.

    Dengan adanya pengawasan dari Kejaksaan, kata Burhanuddin, diharapkan tidak ada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan program pemerintah daerah.

    Sementara itu, Gubernur Jakarta Pramono Anung menekankan pentingnya pendampingan hukum dari Kejaksaan Agung, mengingat besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta yang mencapai lebih dari Rp 91 triliun.

    “Secara khusus saya meminta, memohon kepada Kejaksaan Agung untuk mendampingi Jakarta di dalam berkontribusi untuk membangun bangsa ini,” kata Pramono.

    Ia menegaskan Jakarta memiliki peran sentral dalam perekonomian nasional, bahkan berkontribusi sebesar 11 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

    “Karena Jakarta bagaimana pun sekarang ini menjadi pusat perekonomian global dan menjadi episentrum ekonomi Indonesia” ujarnya.

    Lebih lanjut, Pramono menjelaskan bahwa pendampingan dari Kejaksaan Agung diperlukan untuk memastikan tidak ada pihak yang menyalahgunakan anggaran daerah.

    “Kami ingin memastikan bahwa dalam pengambilan keputusan ke depan, tidak ada celah bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kebijakan pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, sejak awal kami telah melakukan audit agar jalannya pemerintahan lebih tertib dan transparan,” jelas Pramono.

    Penulis: Rizky Rian Saputra/Ter

    Sumber : Radio Elshinta

  • Konsumen Diperkirakan Rugi Rp 47 Miliar per Hari gara-gara Pertamax Oplosan

    Konsumen Diperkirakan Rugi Rp 47 Miliar per Hari gara-gara Pertamax Oplosan

    Konsumen Diperkirakan Rugi Rp 47 Miliar per Hari gara-gara Pertamax Oplosan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut, masyarakat yang mengkonsumsi
    Pertamax oplosan
    Pertamina menanggung kerugian hingga Rp 47 miliar per hari.
    Direktur
    LBH Jakarta
    , Fadhil Alfathan, mengatakan, perhitungan kerugian ini ditemukan oleh non-government organization (NGO) Centre of Economic and Law Studies (
    Celios
    ).
    “Teman-teman Celios punya temuan menarik. Per hari Rp 47 miliar kerugian konsumennya (Pertamax oplosan). Satu tahun itu bisa dihitung silakan,” kata Fadhil dalam program 
    Gaspol! Kompas.com
    , Kamis (7/3/2025).
    Fadhil mengatakan, kerugian yang ditanggung konsumen ini berdampak pada hilangnya produk domestik bruto (PDB).
    Ia menjelaskan, ketika seseorang membeli Pertamax dengan harga yang lebih tinggi dibanding jenis bahan bakar minyak (BBM) lainnya, namun justru mendapatkan BBM dengan RON di bawah standar, menimbulkan adanya selisih harga yang hilang.
    Sementara, ketika mereka menggunakan uang tersebut untuk membeli BBM di bawah Pertamax, mereka bisa menggunakan uang sisanya untuk keperluan lain seperti tabungan maupun pengembangan ekonomi.
    “Bisa dia pakai untuk proyeksi kegiatan ekonomi yang lain,” ujar Fadhil.
    Menyadari masyarakat yang mengkonsumsi Pertamax oplosan menanggung kerugian, LBH Jakarta dan Celios membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang menjadi korban mulai 26 Februari lalu.
    Menurut Fadhil, hingga Selasa (4/3/2025) lalu, sudah ada 590 orang yang mengadu.
    Beberapa di antara mereka mengalami kerusakan kendaraan bermotor akibat menggunakan Pertamax oplosan.
    “Dari tanggal 26 (Februari) kemarin sampai hari ini kami sudah terima 590 orang yang mengadu atau pengaduan yang masuk dalam pos itu,” kata Fadhil.
    Diberitakan sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menyebut
    tempus delicti
    atau waktu terjadinya tindak pidana di Pertamina terjadi pada 2018-2023.
    Berdasarkan perhitungan sementara, kerugian di tahun 2023 saja tercatat mencapai Rp 193,7 triliun.
    Sehingga jika dihitung secara kasar, jumlah kerugian sejak 2018-2023 bisa mencapai Rp 968,5 triliun.
    “Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu setiap tahun, bisa kita bayangkan sebesar kerugian negara,” kata Harli dalam program Sapa Indonesia Malam di
    YouTube Kompas TV
    , Rabu (26/2/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cara Menciptakan UMKM Berkelanjutan, Naik Kelas, dan Bertahan di Pasar

    Cara Menciptakan UMKM Berkelanjutan, Naik Kelas, dan Bertahan di Pasar

    Jakarta: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berperan penting dalam perekonomian Indonesia dengan kontribusi lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap 97 persen tenaga kerja. 
     
    Agar terus berkembang, UMKM perlu membangun ekosistem bisnis yang berkelanjutan. Salah satu program yang mendukung hal ini adalah Pertapreneur Aggregator dari PT Pertamina (Persero).
     

    Membangun ekosistem UMKM yang berkelanjutan
    Program Pertapreneur Aggregator merupakan lanjutan dari Pertamina UMK Academy yang bertujuan mencetak business aggregator, yakni pelaku usaha yang mampu menghubungkan UMKM dengan peluang pasar serta memberikan dukungan teknis dan manajerial.
     
    Sejak digelar pada 2022, program ini telah melibatkan 300 UMKM potensial. 

    “UMKM aggregator ini diharapkan dapat membina UMKM lain dengan membangun jejaring kolaborasi sehingga terbentuk ekosistem bisnis yang berkelanjutan,” ujar Manager SMEPP Pertamina, Dewi Sri Utami dalam keterangan tertulis, Jumat, 7 Maret 2025.
     
    Para peserta mendapatkan bimbingan dari mentor profesional serta akses jaringan bisnis yang lebih luas. Dengan ekosistem yang kuat, UMKM memiliki peluang lebih besar untuk berkembang dan bersaing baik di pasar lokal maupun internasional.
     

    Dukungan dan manfaat bagi UMKM
    Pada Pertapreneur Aggregator 2024, Pertamina telah menetapkan sepuluh pemenang yang mendapatkan hibah alat produksi serta pendampingan eksklusif selama satu tahun ke depan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan skala bisnis dan daya saing UMKM.
     
    Salah satu pemenangnya, Nur Salam, Founder dan CEO Kainnesia dari Yogyakarta, berhasil mengembangkan produknya dengan berkolaborasi bersama 200 penenun dari berbagai daerah. Kainnesia berhasil memperluas pasar hingga ke luar negeri. 
     
    “Pertamina mengajak kami mengikuti Trade Expo Indonesia 2024. Dari ajang ini kami mendapatkan buyer dari Malaysia dengan nilai kontrak USD50.000,” kata Nur Salam.
     
    Ngudiono, pemilik Nanas-Qu SSS Food dari Purbalingga, juga merasakan manfaat besar dari program ini. Dengan tambahan modal dan pelatihan, ia mampu meningkatkan branding, packaging, serta kapasitas produksi dan sumber daya manusia. 
     
    “Kami juga diberi pelatihan tentang bagaimana menjaga agar bisnis bisa tumbuh berkelanjutan, diajarkan tentang strategi pemasaran yang baik, hingga menjaga hubungan yang baik dengan pelanggan agar mereka semakin loyal,” ujar Ngudiono.
     

    Kunci keberlanjutan UMKM
    Keberlanjutan UMKM tidak hanya bergantung pada modal, tetapi juga strategi bisnis yang matang. Beberapa langkah utama yang dapat dilakukan pelaku UMKM agar usahanya terus berkembang, antara lain:

    Memanfaatkan dukungan dan program Pengembangan
    Membangun jaringan dan kolaborasi
    Inovasi produk dan layanan
    Menerapkan strategi pemasaran yang efektif

    Dengan ekosistem yang kuat dan dukungan yang tepat, UMKM Indonesia bisa terus berkembang dan berkontribusi lebih besar bagi perekonomian nasional.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Apakah Perusahaan Logistik Anda Sudah Tepat? Cek di Sini!

    Apakah Perusahaan Logistik Anda Sudah Tepat? Cek di Sini!

    Bisnis.com, JAKARTA – Dalam dunia bisnis modern, konsumen semakin menuntut kemudahan dan kecepatan. Mereka menginginkan produk yang selalu tersedia, dapat dikirim dengan cepat, dan ditawarkan dengan harga yang kompetitif. Standar ini bukan lagi sekadar nilai tambah, melainkan kebutuhan mutlak yang tidak bisa diabaikan.

    Untuk dapat memenuhi ekspektasi ini bukanlah tugas yang mudah bagi produsen dan distributor. Persaingan yang ketat menuntut mereka untuk terus mengoptimalkan proses produksi dan distribusi, karena kesalahan sekecil apa pun bisa membuat pelanggan beralih ke pesaing.

    Salah satu tantangan terbesar adalah tingginya biaya logistik di Indonesia, yang mencapai 25–26 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu banyak perusahaan kini beralih ke penyedia jasa logistik pihak ketiga sebagai solusi strategis.

    Alih-alih mengelola rantai pasok sendiri yang memakan banyak sumber daya, perusahaan memilih bekerja sama dengan mitra logistik yang andal. Pendekatan ini tidak hanya membantu menekan biaya operasional, tetapi juga memastikan produk sampai ke pelanggan dengan lebih cepat dan efisien.

    Perbesar

    Tips Memilih Perusahaan Logistik yang Tepat

    Memilih mitra logistik yang tepat adalah kunci kelancaran bisnis. Kecepatan, ketepatan, dan biaya pengiriman menjadi faktor utama yang perlu dipertimbangkan.

    Agar tidak salah pilih, perhatikan lima aspek penting berikut saat memilih perusahaan logistik:

    Reputasi dan Kredibilitas – Pastikan perusahaan memiliki rekam jejak yang baik dan dipercaya oleh banyak pelanggan
    Jaringan yang Luas dan Berpengalaman – Perusahaan logistik yang sudah lama beroperasi biasanya memiliki sistem yang lebih solid dan terpercaya
    Teknologi Modern – Perusahaan yang didukung teknologi canggih akan mampu memberikan layanan yang lebih cepat, akurat, dan transparan
    Layanan One-Stop Service – Pilih penyedia yang menawarkan layanan terintegrasi, mulai dari pergudangan hingga pengiriman
    Harga Kompetitif Sesuai Kualitas Layanan – Bandingkan biaya layanan dengan kualitas yang diberikan untuk memastikan efisiensi anggaran

    SELOG: Solusi Jasa Logistik Komprehensif

    Di Indonesia, salah satu perusahaan logistik yang telah terbukti kredibilitasnya adalah SELOG, lini bisnis dari PT Serasi Autoraya (SERA) yang juga bagian dari Astra Internasional dan telah berpengalaman 20 tahun di industri logistik.

    SELOG hadir untuk memenuhi kebutuhan akan jasa logistik end to end, mulai dari Trucking, Shipping, Freight forwarding, Warehousing, serta Project Cargo.

    Setiap layanan SELOG juga didukung penggunaan teknologi digital Astra Fleet Management Solution (AstraFMS) yang tidak hanya memudahkan, tetapi juga efektif dan efisien bagi bisnis.

    Dengan teknologi AstraFMS, SELOG menyediakan solusi komprehensif dalam pengelolaan kendaraan dan transportasi di Indonesia dengan berbasis teknologi informasi.

    Informasi lebih lanjut tentang layanan SELOG, silahkan mengunjungi website www.selog.astra.co.id atau bisa juga menghubungi kami di nomor (021) 26605333.

  • China Terus Tingkatkan Belanja Militernya

    China Terus Tingkatkan Belanja Militernya

    Beijing

    Anggaran pertahanan China akan kembali meningkat secara signifikan. Pada pertemuan tahunan National People’s Congress di Beijing, pemerintah mempresentasikan rancangan anggaran yang memproyeksikan peningkatan belanja pertahanan sebesar 7,2 persen menjadi sekitar 1,78 triliun yuan (sekitar400 kuadriliun rupiah.

    Anggaran tersebut telah meningkat dengan jumlah yang sama pada tahun sebelumnya.

    Fokus menjadi “Angkatan bersenjata kelas dunia”

    China memiliki anggaran pertahanan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Sejak menjabat pada tahun 2013, Presiden Xi Jinping telah mendorong modernisasi secara menyeluruh angkatan bersenjatanya, People’s Liberation Army. Tujuannya adalah untuk menciptakan “angkatan bersenjata kelas dunia” pada tahun 2049. Pada saat yang sama, Beijing menekankan bahwa mereka tidak mengejar tujuan agresif, hanya berinvestasi dalam perlindungan kedaulatan negaranya.

    Namun peningkatan anggaran militer ini terjadi di tengah-tengah berbagai konflik dan ketegangan politik, terutama soal Taiwan. Pulau dengan sekitar 23 juta penduduk ini dianggap oleh China sebagai wilayahnya yang terpisah.

    Meski Taiwan memiliki pemerintahan demokratis yang independen. Xi Jinping telah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin menunda penyatuan – bahkan akan melakukannya dengan paksaan, jika diperlukan.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    adSlot.innerHTML = “;

    console.log(“🔍 Checking googletag:”, typeof googletag !== “undefined” ? “✅ Defined” : “❌ Undefined”);

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    console.log(“✅ Googletag ready. Displaying ad…”);
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    console.log(“⚠️ Googletag not loaded. Loading GPT script…”);
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    console.log(“✅ GPT script loaded!”);
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’).addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;

    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”; // Clear previous ad content
    ads[currentAdIndex](); // Load the appropriate ad

    console.log(“🔄 Ad refreshed:”, currentAdIndex === 0 ? “Creative B” : “Creative A”);
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function(entries) {
    entries.forEach(function(entry) {
    if (entry.isIntersecting) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    console.log(“👀 Iklan mulai terlihat, menunggu 30 detik…”);

    setTimeout(function () {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    console.log(“✅ Iklan terlihat 30 detik! Memulai refresh…”);
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    }
    }, viewTimeThreshold);
    }
    } else {
    console.log(“❌ Iklan keluar dari layar, reset timer.”);
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.5 });

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (adSlot) {
    ads[currentAdIndex](); // Load the first ad
    observer.observe(adSlot);
    }
    });

    “Kami akan dengan gigih memperjuangkan penyatuan kembali Tiongkok,” tegas Perdana Menteri Li Qiang dalam laporan kerja tahunannya kepada parlemen.

    Taiwan, Filipina, Jepang, India

    Beijing baru-baru ini meningkatkan tekanan militer terhadap Taiwan dengan manuver angkatan laut yang ekstensif. Jet tempur China juga berulang kali memasuki zona pengawasan wilayah udara Taiwan.

    Republik kepulauan diakui sebagai negara merdeka oleh beberapa negara terutama negara kecil. Taiwan telah memerintah sendiri sejak tahun 1949, dimana saat itu, kaum komunis mengalahkan Kuomintang yang berhaluan nasionalis dalam perang saudara di Tiongkok. Kuomintang kemudian pindah ke pulau ini dan memerintah d sana secara otoriter selama beberapa dekade.

    Konflik lain di kawasan regional China saat ini juga berkontribusi terhadap peningkatan persenjataan. Di Laut China Selatan, China menegaskan klaim teritorial lautnya yang luas, yang sering diprotes oleh negara-negara seperti Filipina.

    Beberapa insiden yang melibatkan kapal militer dan kapal penjaga pantai telah terjadi.Ada juga perbedaan batas teritorial dengan Jepang di bagian timur dan dengan India di wilayah Himalaya.

    Target pertumbuhan lima persen

    Terlepas dari perselisihan perdagangan yang meningkat dengan Amerika Serikat, China juga telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang ambisius sekitar 5% untuk tahun ini. Peningkatan defisit anggaran sebesar satu persen menjadi empat persen dari produk domestik bruto (PDB) juga telah dipertimbangkan, demikian jelas Perdana Menteri Li. Terakhir, Beijing menargetkan penciptaan dua belas juta pekerjaan tambahan di negara ini dan mencapai tingkat inflasi sebesar dua persen pada tahun 2025.

    China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, terus berjuang menghadapi turbulensi ekonomi sejak pandemi Corona. Menurunnya permintaan domestik, krisis utang yang melanda sektor properti negara ini, angka pengangguran yang tinggi di kalangan anak muda. Beban besar pada perekonomian China juga diperkirakan akibat tarif tambahan yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap barang impor asal China.

    sti/se (afp, dpa, rtr)

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Strategi Trump dan Dampaknya, Apakah Eropa Siap Mandiri Secara Militer?

    Strategi Trump dan Dampaknya, Apakah Eropa Siap Mandiri Secara Militer?

    Jakarta

    Taktik Donald Trump dalam menggunakan ancaman untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dalam bisnis dan politik semakin menjadi kebiasaan di kalangan pemimpin politik global. Namun, laporan mengenai kesepakatan di balik layar antara Presiden AS dan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mengakhiri perang di Ukraina telah mengejutkan banyak pemimpin dunia, terutama di Eropa. Mereka khawatir Trump akan menarik perlindungan militer AS dari benua itu.

    Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menanggapi kekhawatiran ini dengan mengumumkan peningkatan anggaran pertahanan Inggris menjadi 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2027, naik dari 2,3% saat ini. Ia menekankan bahwa investasi ini harus diikuti dengan peningkatan pengeluaran pertahanan di tahun-tahun mendatang. Langkah ini mencerminkan komitmen Inggris untuk “mengamankan perdamaian yang adil dan abadi di Ukraina” serta memperkuat keamanan kolektif Eropa.

    Di Jerman, para pemimpin politik masih berupaya merumuskan respons terhadap seruan Starmer untuk membentuk “Koalisi Negara yang Bersedia” di Eropa guna mengambil alih pertahanan benua tersebut. Setelah pemilihan umum baru-baru ini, Friedrich Merz, pemimpin aliansi partai konservatif CDU/CSU, keluar sebagai pemenang dan tengah bernegosiasi dengan Partai Sosial Demokrat yang dipimpin Kanselir Olaf Scholz, yang akan segera lengser, untuk membentuk pemerintahan baru. Salah satu isu utama dalam negosiasi ini adalah pelonggaran aturan pinjaman Jerman guna membiayai peningkatan anggaran pertahanan.

    Seberapa serius ancaman Rusia?

    Selama beberapa dekade, anggota NATO di Eropa mengandalkan Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dan militer terbesar dalam aliansi ini untuk memikul beban utama pertahanan. Kini, para pemimpin Eropa mulai mempertimbangkan kemungkinan runtuhnya NATO jika Trump menarik dukungan AS.

    Rafael Loss, pakar pertahanan dan keamanan dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR), mengatakan kepada DW bahwa tidak ada risiko langsung dari “pasukan Rusia yang berdiri di luar Berlin besok.” Namun, ia memperingatkan bahwa Rusia berupaya “memecah belah NATO dan Uni Eropa guna memperoleh dominasi militer di Eropa.”

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    adSlot.innerHTML = “;

    console.log(“🔍 Checking googletag:”, typeof googletag !== “undefined” ? “✅ Defined” : “❌ Undefined”);

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    console.log(“✅ Googletag ready. Displaying ad…”);
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    console.log(“⚠️ Googletag not loaded. Loading GPT script…”);
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    console.log(“✅ GPT script loaded!”);
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’).addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;

    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”; // Clear previous ad content
    ads[currentAdIndex](); // Load the appropriate ad

    console.log(“🔄 Ad refreshed:”, currentAdIndex === 0 ? “Creative B” : “Creative A”);
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function(entries) {
    entries.forEach(function(entry) {
    if (entry.isIntersecting) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    console.log(“👀 Iklan mulai terlihat, menunggu 30 detik…”);

    setTimeout(function () {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    console.log(“✅ Iklan terlihat 30 detik! Memulai refresh…”);
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    }
    }, viewTimeThreshold);
    }
    } else {
    console.log(“❌ Iklan keluar dari layar, reset timer.”);
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.5 });

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (adSlot) {
    ads[currentAdIndex](); // Load the first ad
    observer.observe(adSlot);
    }
    });

    Lembaga pemikir Bruegel yang berbasis di Brussels bahkan menilai bahwa serangan Rusia terhadap negara anggota Uni Eropa adalah kemungkinan yang nyata.

    “Penilaian oleh NATO, Jerman, Polandia, Denmark, dan negara-negara Baltik menempatkan Rusia siap untuk menyerang dalam waktu tiga hingga sepuluh tahun,” kata lembaga pemikir itu dalam sebuah analisis baru-baru ini.

    Sebagai respons terhadap perang Rusia di Ukraina, Jerman membentuk dana khusus sebesar €100 miliar ($103 miliar) untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya yang telah lama terabaikan. Meski dana tersebut belum sepenuhnya dibelanjakan, alokasinya sudah ditetapkan. Namun, peningkatan anggaran pertahanan reguler Jerman belum terjadi secara signifikan.

    Tantangan dalam menggantikan militer AS

    Para ekonom Bruegel menghitung bahwa bantuan militer AS untuk Ukraina pada 2024 mencapai €20 miliar (sekitar Rp348,4 triliun) dari total €42 miliar (sekiar Rp730,5 triliun). “Untuk menggantikan AS, Uni Eropa hanya perlu mengalokasikan 0,12% dari PDB-nya, angka ini dinilai masih terjangkau,” ujar mereka dalam analisisnya.

    Bruegel juga menguraikan kebutuhan Eropa agar tetap mampu mempertahankan diri jika AS menarik diri dari NATO. Selain menggantikan brigade tempur, kapal, dan pesawat tempur AS, Eropa juga harus meningkatkan kapasitas di bidang intelijen, komunikasi, dan infrastruktur komando untuk mengerahkan unit militer yang besar dan kompleks.

    Kapabilitas militer Jerman, misalnya, masih jauh dari memadai. Janji Berlin untuk menyediakan dua divisi bagi NATO, dengan jumlah sekitar 40.000 tentara, menghadapi kendala besar. Menurut Bruegel, kontribusi Jerman yang lebih realistis, mengingat ukuran negaranya, seharusnya mendekati 100.000 tentara.

    Meskipun akuisisi perangkat keras militer terutama merupakan “permainan angka,” Bruegel menekankan bahwa membangun “kapabilitas lunak,” seperti struktur operasional dan pengalaman militer, jauh lebih sulit. Proses ini bisa memakan biaya ratusan miliar euro dan berlangsung selama bertahun-tahun.

    Jack Allen-Reynolds, wakil kepala ekonom untuk zona euro di Capital Economics, memperkirakan bahwa belanja pertahanan Eropa perlu ditingkatkan secara signifikan. Ia memperkirakan tambahan €250 miliar (sekitar Rp4.340 triliun) per tahun akan diperlukan dalam jangka pendek, yang akan meningkatkan anggaran pertahanan Uni Eropa menjadi sekitar 3,5% dari PDB.

    Bagaimana cara membiayai persenjataan Eropa?

    Allen-Reynolds mengusulkan beberapa opsi pendanaan untuk peningkatan belanja militer ini. Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan fungsi Bank Investasi Eropa (EIB) atau mendirikan “bank persenjataan” baru guna mendukung sektor pertahanan tanpa membebani anggaran nasional secara langsung.

    Alternatif lain adalah melalui EIB, yang dapat memberikan pinjaman kepada perusahaan pertahanan atau menerbitkan obligasi khusus untuk proyek militer. Pendekatan ini tidak secara langsung membiayai personel atau peralatan militer, tetapi mendukung produsen senjata Eropa dalam meningkatkan produksi.

    “Opsi termudah,” menurut Allen-Reynolds, adalah jika Uni Eropa meluncurkan program pinjaman bersama yang mirip dengan dana pemulihan pandemi NextGenerationEU senilai €750 miliar (sekitar Rp13.000 triliun). Program ini akan memberikan akses murah ke pasar keuangan berkat peringkat kredit AAA Uni Eropa dan memungkinkan negara-negara dengan keterbatasan fiskal untuk menghindari peminjaman dari anggaran nasional mereka sendiri.

    Namun, gagasan penerbitan Eurobonds seperti ini telah lama ditentang oleh semua partai politik utama di Jerman, termasuk Merz.

    Dampak terhadap ekonomi zona euro?

    Dari perspektif makroekonomi, Bruegel berpendapat bahwa peningkatan belanja pertahanan berbasis utang bahkan dapat mendorong aktivitas ekonomi Eropa di tengah ancaman perang dagang yang berpotensi melemahkan permintaan eksternal.

    Ancaman Trump untuk memberlakukan tarif tinggi pada mobil-mobil Eropa telah menyebabkan para investor menjual saham industri otomotif dan mengalihkan investasinya ke sektor pertahanan, yang dianggap memiliki prospek pertumbuhan lebih baik.

    Rafael Loss dari ECFR menambahkan bahwa ekspansi militer Jerman dapat membawa dampak positif bagi ekonomi nasional serta membantu mengatasi perlambatan pertumbuhan. “Jika pekerjaan di rantai pasok otomotif dapat dialihkan ke produksi alat pertahanan, ini bisa memberikan manfaat ekonomi,” ujarnya, seraya mengingatkan agar tidak melebih-lebihkan dampaknya secara keseluruhan.

    Artikel ini diadpatasi dari DW dalam bahasa Inggris.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Pak Prabowo, Target Tax Ratio 18% Dinilai Lebih Rasional

    Pak Prabowo, Target Tax Ratio 18% Dinilai Lebih Rasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai target rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto/PDB sebesar 18% lebih rasional untuk saat ini, ketimbang harapan Presiden Prabowo Subianto yakni tax ratio 23%.

    Direktur Eksekutif dan Analis Kebijakan Pajak Pratama-Kreston Tax Reserch Institute Prianto Budi Saptono menyampaikan dengan kondisi ekonom global dan domestik terkini, dirinya optimistis 80% bahwa target 18% masih mampu tercapai pada akhir kepemimpinan Prabowo.

    “Secara rasional, target 18% pada 2029 pasti lebih rasional dari target 23%,” ujarnya, Rabu (5/3/2025).

    Sekalipun untuk mencapai 18%, pemerintah harus punya usaha lebih atau extra effort agar tingkat pertumbuhan penerimaan pajak mampu lebih besar dari tingkat pertumbuhan PDB.

    Pada 2024, penerimaan pajak hanya mampu tumbuh sebesar 3,5% atau masih lebih rendah dari realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun yang sama, yakni sebesar 5,03%.

    Sementara pertumbuhan penerimaan dari kepabeanan dan cukai mampu tumbuh sebesar 4,9%, lebih mendekati pertumbuhan ekonomi meski tetap lebih rendah. 

    Melihat bagian Sasaran Fiskal Tahun 2025-2029 dalam Peraturan Presiden Nomor 12/2025 tentang RPJMN 2025—2029, rasio pendapatan negara ditargetkan pada rentang 13,75%—18%.

    Sementara rasio penerimaan pajak dalam arti luas, termasuk bea dan cukai, ditargetkan pada rentang 11,52%—15%.

    Membandingkan dengan realisasi 2024 sebesar 10,07%, artinya dalam lima tahun ke depan penerimaan perpajakan diharapkan setidaknya mampu naik sebesar 4,93%.

    Usaha lebih yang harus pemerintah lakukan menjadi kewajiban karena hal yang menjadi masalah, penerimaan negara tertahan tak lebih dari 11% dalam 10 tahun terakhir.

    Pada 2015, tax ratio sebesar 10,76%. Bukannya mengalami perbaikan, pada 2016 justru rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB menurun ke level 10,36% dan menyentuh 9,89% pada 2017.

    Lebih jauh lagi, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 59/2024 tentang RPJPN 2025—2045, rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB hanya berada di rentang 18% hingga 20%, bukan 23%.

    Sasaran tersebut bahkan tidak jauh berbeda dengan target pada 2029 alias 16 tahun sebelum 2045.

    Ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mengerek penerimaan ke level 23% diyakini dengan terobosan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN), sebagai bagian dari strategi meningkatkan pendapatan negara.

    Prabowo turut menyebutkan strategi ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Strategi itu menjadi salah satu cara untuk menciptakan kebijakan fiskal yang adaptif dan ruang fiskal yang memadai, demi mencapai sasaran visi Indonesia Emas 2045.

    Tercatat bahwa rendahnya pendapatan negara di Indonesia saat ini disebabkan masih terdapatnya kesenjangan mencakup aspek administrasi (administration gap) maupun kebijakan (policy gap) yang memerlukan transformasi tata kelola kelembagaan sebagai enabler untuk optimalisasi pendapatan negara.

    Sebelumnya, Direktur P2Humas Ditjen Pajak Dwi Astuti menyatakan pihaknya akan terus fokus dalam mengumpulkan penerimaan pajak dengan menempuh berbagai upaya, termasuk memperkuat penegakan hukum.

    “Antara lain perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi berupa edukasi perpajakan, pengawasan pajak dan law enforcement [penegakan hukum],” ujar Dwi kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (9/2/2025).

    Selain itu, sambungnya, Ditjen Pajak akan melakukan peningkatan kerja sama perpajakan internasional serta optimalisasi kegiatan joint audit, analisis, investigasi, hingga intelijen.

  • RPJMN Sasar Tax Ratio Capai 15% pada 2029, Meski Harapan Prabowo Sentuh 23%

    RPJMN Sasar Tax Ratio Capai 15% pada 2029, Meski Harapan Prabowo Sentuh 23%

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah melalui RPJMN 2025—2029 menyasar rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto/PDB alias tax ratio sebesar 15%, meskipun dalam dokumen itu pula Pesiden Prabowo Subianto berharap dapat mencapai 23%.

    Melihat bagian Sasaran Fiskal Tahun 2025—2029 dalam Peraturan Presiden Nomor 12/2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029, rasio pendapatan negara ditargetkan pada rentang 13,75%—18%.

    Sementara rasio penerimaan pajak dalam arti luas, termasuk bea dan cukai, ditargetkan pada rentang 11,52%—15%.

    Membandingkan dengan realisasi 2024 sebesar 10,07%, artinya dalam lima tahun ke depan penerimaan perpajakan diharapkan setidaknya mampu naik sebesar 4,93%.

    Peningkatan pendapatan tersebut akan dicapai melalui optimalisasi pendapatan negara dari pajak, kepabeanan, serta cukai.

    Dari sisi perpajakan, arah kebijakan berfokus pada implementasi Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax secara menyeluruh, reformasi pajak yang lebih progresif, serta penegakan hukum untuk peningkatan kepatuhan wajib pajak.

    Pemerintah juga berencana untuk melakukan peningkatan tarif cukai hasil tembakau secara bertahap, serta penajaman insentif pajak tepat sasaran berbasis sektor dan wilayah prioritas.

    Misalnya, insentif pajak diberikan pada orientasi riset dan inovasi, serta teknologi tinggi seperti semikonduktor dan energi bersih. Serta insentif untuk peningkatan investasi dan revitalisasi industri manufaktur yang bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor.

    Meski demikian, dalam aturan yang menjadi pedoman kerja Prabowo Subianto dalam lima tahun ke depan tersebut juga tercantum poin soal mendirikan Badan Penerimaan Negara (BPN).

    Badan Penerimaan Negara muncul dalam Perpres 12/2025 itu, sebagai bagian dari strategi meningkatkan pendapatan negara.

    Prabowo turut menjabarkan strategi ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Strategi itu menjadi salah satu cara untuk menciptakan kebijakan fiskal yang adaptif dan ruang fiskal yang memadai, demi mencapai sasaran visi Indonesia Emas 2045.

    “Rendahnya pendapatan negara di Indonesia saat ini disebabkan masih terdapatnya kesenjangan mencakup aspek administrasi [administration gap] maupun kebijakan [policy gap] yang memerlukan transformasi tata kelola kelembagaan sebagai enabler untuk optimalisasi pendapatan negara,” dikutip dari Perpres tersebut.

    Adapun pada tahun ini dalam APBN 2025, pemerintah menyepakati tax ratio dikerek naik ke level 10,24% terhadap PDB.