Topik: Produk Domestik Bruto

  • RI Genjot Hilirisasi 28 Komoditas, Bahlil Sebut Butuh Investasi Rp 9.239 T

    RI Genjot Hilirisasi 28 Komoditas, Bahlil Sebut Butuh Investasi Rp 9.239 T

    Jakarta

    Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan Pemerintah Indonesia kini fokus melakukan hilirisasi terhadap 28 komoditas. Hal ini dilakukan guna menciptakan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia.

    Bahlil mengatakan hilirisasi terhadap 28 komoditas tersebut hingga 2040 membutuhkan investasi US$ 550 miliar atau Rp 9.239 triliun (kurs Rp 16.800).

    Ia mengatakan, berdasarkan Satgas Hilirisasi pada periode 2025 nilai investasi yang sudah disetujui untuk diinvestasikan pada tahap pertama sekitar US$ 40 miliar.

    “Ada 28 komoditas yang kami siapkan dengan total investasi sampai pada tahun 2040 kurang lebih sekitar US$ 500 sampai dengan 550 miliar,” kata Bahlil dalam acara Global Hydrogen Ecosystem 2025 Summit & Exhibition yang diselenggarakan di Jakarta International Convention Centers (JCC), Selasa (15/4/2205).

    Bahlil menjelaskan pentingnya hilirisasi bagi perekonomian Indonesia, diantaranya yakni menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) ialah hilirisasi.

    Contohnya kata Bahlil, hilirisasi nikel yang dijalankan pada 2023-2024 dan dikecam oleh negara-negara maju. Sektor ini semenjak hilirisasi eskpornya mencapai US$ 34 miliar hingga US$ 35 miliar.

    Bahlil mengatakan nilai tersebut jauh dibandingkan sebelum adanya hilirisasi. Pada 2018-2019 ekspor nikel itu hanya US$ 3,3 miliar.

    “Karena setiap pemimpin negara sekarang mulai berpikir tentang bagaimana agar ekonomi domestiknya bisa dipertahankan. Dan Indonesia, atas perintah Pak Presiden Prabowo, kita akan menjalankan keunggulan komporatif kita untuk bagaimana mempertahankan kedaulatan ekonomi nasional kita,” katanya.

    Tonton juga Video: Bahlil Lahadalia Terima Penghargaan Tokoh Penggerak Investasi Hilirisasi

    (rrd/rrd)

  • RI Genjot Hilirisasi 28 Komoditas, Bahlil Sebut Butuh Investasi Rp 9.239 T

    Bahlil Ungkap Banyak Negara Maju Tak Setuju dengan Hilirisasi RI

    Jakarta

    Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan banyak negara maju tak setuju dengan peta jalan hilirisasi yang telah dibuat Indonesia. Hal ini lantaran hilirisasi bakal mengganggu pasokan bahan baku negara maju, karena Indonesia mengolahnya di dalam negeri.

    “Ketika saya waktu sebelum menjadi Menteri ESDM dan ditugaskan oleh pemerintah sebelumnya menjadi Kementerian Investasi, kami merumuskan membuat peta jalan hilirisasi. Dan ini banyak negara-negara maju yang tidak setuju dengan peta hilirisasi. Karena mereka tahu betul keunggulan komporatif Indonesia dalam bagaimana merubah, mendesain terhadap penciptaan nilai tambah secara maksimal,” kata Bahlil dalam acara Global Hydrogen Ecosystem 2025 Summit & Exhibition yang diselenggarakan di Jakarta International Convention Centers (JCC), Selasa (15/4/2205).

    Bahlil mencontohkan hilirisasi nikel yang dijalankan pada 2023-2024 dan dikecam oleh negara-negara maju. Sektor ini semenjak hilirisasi eskpornya mencapai US$ 34 miliar hingga US$ 35 miliar.

    Bahlil mengatakan nilai tersebut jauh dibandingkan sebelum adanya hilirisasi. Pada 2018-2019 ekspor nikel itu hanya US$ 3,3 miliar.

    “Dan hilirisasi ini sebagai bentuk daripada penciptaan kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Inilah kemudian Uni Eropa yang membawakan kita ke WTO. Dan sekarang tidak perlu kita ragu, dan tidak perlu kita takut juga kepada negara-negara itu,” katanya.

    Bahlil menjelaskan instrumen pertumbuhan ekonomi Indonesia, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) ialah hilirisasi.

    Bahlil bilang, kini Presiden Prabowo Subianto akan melakukan hilirisasi pada 28 komoditas. Hal ini dilakukan guna mencapai kedaulatan energi.

    “Karena setiap pemimpin negara sekarang mulai berpikir tentang bagaimana agar ekonomi domestiknya bisa dipertahankan. Dan Indonesia, atas perintah Pak Presiden Prabowo, kita akan menjalankan keunggulan komporatif kita untuk bagaimana mempertahankan kedaulatan ekonomi nasional kita,” katanya.

    (rrd/rrd)

  • AMRO Pangkas Outlook Pertumbuhan Ekonomi Asia 2025 ke 3,8%, Terendah sejak Pandemi

    AMRO Pangkas Outlook Pertumbuhan Ekonomi Asia 2025 ke 3,8%, Terendah sejak Pandemi

    Bisnis.com, JAKARTA — Gelombang tarif impor global dari Presiden AS Donald Trump diperkirakan akan menekan pertumbuhan ekonomi Asia ke level terendah sejak pandemi Covid-19, menurut lembaga riset ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO).

    Berdasarkan laporan terbarunya, AMRO memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia melambat menjadi 3,8% pada 2025 dan 3,4% pada 2026 jika seluruh kebijakan tarif Trump diterapkan, termasuk tarif “Hari Pembebasan” terhadap semua negara (yang kini ditangguhkan sebagian).

    Proyeksi ini mencakup kebijakan tarif sebelum pengecualian sementara untuk produk-produk seperti ponsel dan elektronik.

    Sebagai perbandingan, tanpa kebijakan tarif, AMRO memperkirakan kawasan ini seharusnya tumbuh sebesar 4,2% pada 2025. Angka 3,8% akan menjadi tingkat pertumbuhan terendah sejak Asia mencatatkan 3,3% pada 2022.

    Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor menilai kawasan Asia cukup tangguh berkat akumulasi cadangan devisa dan fleksibilitas nilai tukar, serta tingkat inflasi yang rendah yang memberi ruang bagi pelonggaran moneter.

    “Negara-negara akan merespons lewat kebijakan untuk meredam dampaknya,” ungkapnya seperti dikutip Bloomberg.

    Asia menjadi kawasan yang paling terdampak oleh kebijakan proteksionisme Trump, terutama karena besarnya eskalasi tarif terhadap China dan eratnya keterkaitan rantai pasok regional. Sejumlah negara seperti Vietnam, Jepang, hingga Indonesia telah melakukan diplomasi intensif ke AS untuk meminta pengecualian atau menawarkan konsesi.

    Beberapa bank sentral seperti di India telah lebih dulu memangkas suku bunga guna mengantisipasi perlambatan. Bank sentral India mengisyaratkan akan ada pelonggaran lanjutan dalam beberapa bulan ke depan.

    Sementara itu, tarif sebesar 145% yang dikenakan kepada China serta bea balasan dari China terhadap AS diperkirakan akan menyebabkan penurunan tajam dalam arus perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia itu.

    Namun, AMRO menilai dampak terhadap China masih terkendali karena ekspor ke AS kini hanya mencakup sebagian kecil dari produk domestik bruto (PDB). Risiko yang lebih besar, yakni pemisahan total (decoupling) antara ekonomi AS dan China, dinilai kecil kemungkinan terjadi.

    “Decoupling berarti semua aktivitas impor dan ekspor berhenti total, dan itu skenario ekstrem yang tidak akan terjadi,” kata Khor.

    Jika tarif ini benar-benar diterapkan, bea masuk rata-rata AS terhadap Asia (di luar China) akan melonjak menjadi 26%. Saat ini, sekitar 15% ekspor Asia menuju AS, yang mewakili sekitar 4% dari total PDB kawasan.

     

  • Miliarder Penasihat Danantara Ungkap Dampak Tarif Trump ke Perekonomian Global

    Miliarder Penasihat Danantara Ungkap Dampak Tarif Trump ke Perekonomian Global

    Bisnis.com, JAKARTA – Pendiri lembaga hedge fund Bridgewater Associates Ray Dalio mengatakan dirinya khawatir kekacauan yang diakibatkan oleh tarif dan kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump akan mengancam ekonomi global.

    “Saat ini kita berada pada titik pengambilan keputusan dan sangat dekat dengan resesi. Dan saya khawatir tentang sesuatu yang lebih buruk daripada resesi jika ini tidak ditangani dengan baik,” kata Dalio dikutip dari CNBC International, Senin (14/4/2025)

    Miliarder yang juga merupakan anggota Dewan Penasihat Danantara itu mengatakan dirinya lebih khawatir tentang gangguan perdagangan, utang AS yang meningkat, dan kekuatan dunia yang sedang berkembang yang meruntuhkan struktur ekonomi dan geopolitik internasional yang telah ada sejak akhir Perang Dunia II.

    “Kita beralih dari multilateralisme, yang sebagian besar merupakan tatanan dunia Amerika, ke tatanan dunia unilateral yang di dalamnya terdapat konflik besar,” katanya.

    Dalio mengatakan ada lima kekuatan mendorong sejarah, yakni ekonomi, konflik politik internal, tatanan internasional, teknologi, dan bencana alam seperti banjir dan pandemi. 

    Dia menyebut, tarif Trump memiliki tujuan yang dapat dipahami. Tetapi, tarif tersebut diterapkan dengan cara yang sangat mengganggu yang menciptakan konflik global.

    Kebijakan tarif presiden yang berubah dengan cepat telah menjungkirbalikkan perdagangan internasional. Trump pada Rabu pekan lalumengumumkan jeda 90 hari pada tarif timbal baliknya. Tetapi, dia tetap teguh pada bea dasar 10% dan tarif timbal balik 145% terhadap China.

    Kemudian, U.S. Customs and Border Protection mengumumkan pengecualian dari tarif timbal balik untuk barang elektronik konsumen buatan China seperti telepon pintar, komputer, dan semikonduktor pada Jumat malam, meskipun produk tersebut tetap dikenakan tarif 20% yang diberlakukan di awal tahun. 

    Namun, Menteri Perdagangan Howard Lutnick menarik kembali pernyataan tersebut dan mengatakan pengecualian tersebut tidak permanen.

    Dalam sebuah unggahan di media sosial X, Dalio meminta AS untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan “win-win” dengan China yang akan menghargai yuan terhadap dolar AS. Dia juga meminta kedua negara untuk mengatasi utang mereka yang terus bertambah.

    Dalio juga mengatakan Kongres harus mengurangi defisit federal menjadi 3% dari produk domestik bruto.

    “Jika mereka tidak melakukannya, kita akan memiliki masalah permintaan-penawaran untuk utang pada saat yang sama ketika kita memiliki masalah-masalah lain ini, dan hasilnya akan lebih buruk daripada resesi normal,” kata Dalio.

    Dia menuturkan, keruntuhan pasar obligasi, dikombinasikan dengan berbagai peristiwa seperti konflik internal dan internasional, dapat menjadi guncangan yang lebih parah bagi sistem moneter daripada pembatalan standar emas oleh Presiden Richard Nixon pada 1971 dan krisis keuangan global pada 2008.

    Perubahan tersebut dapat dihindari, kata Dalio, jika para pembuat undang-undang bekerja sama untuk memangkas defisit dan AS mencegah konflik dan kebijakan yang tidak efisien di panggung global.

  • Chatib Basri Sebut Tarif Trump Tak Berdampak Besar ke Pasar Obligasi RI

    Chatib Basri Sebut Tarif Trump Tak Berdampak Besar ke Pasar Obligasi RI

    Jakarta

    Mantan Menteri Keuangan RI ke-28 yang juga Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menilai kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengenakan tarif timbal balik (Reciprocal Tarif) sebesar 32% ke Indonesia tidak akan memberikan dampak yang besar terhadap pasar obligasi Indonesia. Meskipun saat ini pengenaan tarif tersebut masih ditangguhkan oleh Presiden Trump.

    “Efek dari bond market (pasar obligasi) di Indonesia itu juga mungkin limited,” kata Chatib dalam Panel Discussion yang diselenggarakan oleh The Yudhoyono Institute di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Chatib menjelaskan pasar obligasi Indonesia masih dalam kondisi aman di tengah kebijakan tarif trump tersebut. Hal ini lantaran kepemilikan asing atas obligasi pemerintah Indonesia hanya sekitar 14%.

    Ia menjelaskan, jika seluruh investor asing menarik dananya sekalipun, dampaknya sangat terbatas lantaran sebagian besar obligasi dimiliki oleh investor domestik.

    Menurutnya, kondisi pasar obligasi saat ini berbeda dengan pada krisis global tahun 2008, di mana sebagian besar obligasi dimiliki oleh investor asing. Sehingga akan keluarnya dana asing akan menimbulkan tekanan yang besar bagi pasar obligasi Indonesia.

    “Tidak seperti yang kita alami di tahun misalnya 2008, Pak. Jadi pada waktu Pak SBY memimpin kita menghadapi global financial crisis, saya mesti mengatakan bahwa situasi saat itu sebetulnya jauh lebih berat dibandingkan dengan situasi yang kita hadapi. Dan saat itu Indonesia masih bisa tumbuh di 4,6%.

    Chatib menambahkan, dampak negatif kebijakan tarif Trump juga terbatas terhadap ekspor Indonesia. Ia mengatakan, kontribusi ekspor Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya sebesar 22%, di mana porsi ekspor ke AS juga hanya sekitar 10%.

    “Ekspor kita ke Amerika itu 10%, jadi kalau terhadap PDB itu berarti 10% dari 22%, berarti hanya 2,2%. Jadi meski dalam skenario terburuk pun, itu efeknya 2,2% dari GDP,” katanya.

    Meski begitu, ia menampik ada sejumlah sektor yang terdampak tarif trump. Misalnya ada sejumlah produk tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, dan udang.

    “Walaupun 2,2% itu punya dampak kepada sektor industri, terutama manufacturing, apakah itu tekstil dan produk tekstil, produk elektronik, dan alas kaki. Dan ini akan punya impack kepada kita,” katanya.

    (rrd/rrd)

  • Dewan Ekonomi Optimistis Tarif Trump Tak Goyahkan RI seperti Krisis 2008

    Dewan Ekonomi Optimistis Tarif Trump Tak Goyahkan RI seperti Krisis 2008

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Ekonomi Nasional (DEN) meyakini penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump tidak akan banyak berefek ke perekonomian nasional.

    Anggota DEN Chatib Basri menjelaskan kontribusi ekspor kepada pembentukan produk domestik bruto (PDB) sebesar 22,18% pada 2024. Menurutnya, persentase tersebut masih terbilang kecil.

    Dede, sapaan Chatib Basri, pun membandingkan dengan negara lain, kontribusi ekspor ke PDB Singapore mencapai 180%, sementara Vietnam mencapai 78%.

    “Ekspor kita ke Amerika itu 10%. Jadi kalau terhadap PDB, itu berarti 10% dari 22%, berarti 2,2%. Jadi even in the worst case scenario [di skenario terburuk], itu [tarif Trump] efeknya 2,2% dari PDB,” ujar Dede dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2024).

    Menurut perhitungannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bisa mencapai 4,3% sampai dengan 4,5% dalam situasi terburuk efek tarif Trump.

    Di samping itu, dia tidak menampik bahwa tarif Trump juga memberi dampak ke pasar keuangan global. Kendati demikian, Dede tetap melihat ketidakpastian pasar keuangan global tidak memiliki dampak besar ke pasar obligasi dalam negeri.

    Alasannya, besaran kepemilikan asing di surat utang yang diterbitkan pemerintah hanya sekitar 14%. Menurutnya, persentase tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan pada saat 2008 ketika terjadi krisis finansial global alias global financial crisis.

    “Jadi pada waktu Pak SBY memimpin kita menghadapi global financial crisis, saya mesti mengatakan bahwa situasi saat itu sebetulnya jauh lebih berat dibandingkan dengan situasi yang kita hadapi [sekarang], dan saat itu [ekonomi] Indonesia masih bisa tumbuh di 4,6%,” jelas Dede.

    Senada, Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu mengungkapkan pihaknya sudah melakukan sejumlah model perhitungan atas dampak tarif Trump ke perekonomian domestik.

    “Untuk Indonesia, all the models are showing relatively low [semua model perhitungan menunjukkan angka yang rendah], kira-kira 0,3% sampai 0,5% dampak kepada pertumbuhan kita,” kata Mari Elka pada kesempatan yang sama.

  • Impor Trump: Apa Saja Dampaknya bagi Negara Berkembang? – Halaman all

    Impor Trump: Apa Saja Dampaknya bagi Negara Berkembang? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump, memicu peringatan serius dari Badan Perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai potensi bencana ekonomi yang dapat melanda negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia dan Afrika.

    Kebijakan ini, yang resmi diberlakukan pada awal April, memiliki implikasi yang jauh lebih luas bagi perekonomian global.

    Apa yang Terjadi dengan Kebijakan Tarif Trump?

    Pada awal April, Donald Trump menerapkan kebijakan tarif resiprokal kepada 180 negara.

    Meskipun ada pengumuman penundaan selama 90 hari untuk tarif tinggi terhadap 56 negara, risiko masih tetap ada.

    Kebijakan ini berpotensi membuat barang-barang yang tidak diproduksi di Amerika Serikat terkena pajak tambahan, yang tentu saja akan meningkatkan biaya barang impor ke pasar AS.

    Menurut Pusat Perdagangan Internasional (International Trade Center/ITC), kebijakan ini dapat menyebabkan perdagangan global menyusut antara 3 persen hingga 7 persen.

    Lebih jauh lagi, produk domestik bruto (GDP) global diproyeksi merosot sekitar 0,7 persen, dengan negara-negara berkembang menjadi yang paling terkena dampak.

    Apa Dampaknya pada Ekonomi Negara Berkembang?

    Kebijakan tarif ini berpotensi menghentikan keuntungan ekonomi yang telah diraih oleh negara-negara berkembang dalam beberapa tahun terakhir.

    Coke-Hamilton menegaskan, “Tarif dapat memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya daripada pencabutan bantuan asing.”

    Ini karena banyak negara berkembang sangat bergantung pada ekspor produk seperti tekstil, elektronik, baja, dan produk pertanian ke pasar AS.

    Namun, dengan adanya tarif tinggi, harga barang yang dijual ke AS menjadi lebih mahal, yang pada gilirannya mengurangi permintaan terhadap barang-barang tersebut.

    Ketidakpastian yang ditimbulkan akibat perang dagang yang disebabkan oleh kebijakan Trump berpotensi menghancurkan arus investasi asing ke negara-negara berkembang.

    Investor mungkin mulai menjauhi kawasan-kawasan yang terdampak oleh ketegangan perdagangan ini, menciptakan tantangan baru bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

    Negara Mana Saja yang Paling Terkena Dampak?

    Beberapa negara paling kurang berkembang yang berpotensi terdampak dari kebijakan tarif ini terletak di kawasan Asia Tenggara dan Afrika, termasuk Lesotho, Kamboja, Laos, Madagaskar, dan Myanmar.

    Bangladesh, sebagai eksportir pakaian jadi terbesar kedua di dunia, juga diprediksi akan kehilangan hingga 33 miliar dollar jika tarif AS sebesar 37 persen tetap berlaku setelah masa jeda 90 hari.

    Madagaskar, yang sangat bergantung pada industri tekstil dan garmen sebagai pendorong utama ekonominya, juga akan mengalami dampak serupa.

    Selama bertahun-tahun, Madagaskar mendapatkan akses bebas tarif ke pasar AS melalui program African Growth and Opportunity Act (AGOA).

    Namun, sejak 2 April, penerapan tarif impor membuat sekitar 80 persen produk tekstil dan pakaian jadi yang diproduksi di negara itu tidak dapat lagi diekspor ke AS.

    Peningkatan tarif impor yang diberlakukan oleh AS dapat menciptakan efek domino yang merugikan bagi negara-negara berkembang, di mana perekonomian mereka banyak bergantung pada ekspor.

    Kebijakan ini tidak hanya memengaruhi perdagangan internasional tetapi juga menciptakan ketidakpastian yang dapat menurunkan arus investasi.

    Oleh karena itu, perluasan diskusi mengenai efek jangka panjang dari kebijakan ini harus menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan di seluruh dunia, demi menjaga stabilitas ekonomi global.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Tarif Impor Trump Bawa Bencana Buruk Bagi Negara Berkembang, Asia dan Afrika Paling Terdampak – Halaman all

    Tarif Impor Trump Bawa Bencana Buruk Bagi Negara Berkembang, Asia dan Afrika Paling Terdampak – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Badan Perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan negara-negara berkembang untuk bersiap menghadapi bencana ekonomi dahsyat imbas tarif impor yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump.

    Seperti diketahui pada awal April ini, Presiden AS Donald Trump secara resmi memberlakukan kebijakan tarif resiprokal kepada 180 negara di berbagai belahan dunia.

    Namun secara mengejutkan Trump mengumumkan bahwa pemberian tarif tinggi terhadap 56 negara  ditunda selama 90 hari. Kendati telah ditunda, namun kebijakan tersebut berpotensi membuat semua barang yang tidak dibuat di Amerika Serikat akan dikenakan pajak tambahan.

    Hal tersebut tentunya dapat meningkatkan biaya barang yang akan di dijual ke pasar AS, termasuk berbagai produk asing yang berasal dari negara-negara berkembang asal Asia.

    The International Trade Center (ITC) atau Pusat Perdagangan Internasional menyebutkan bahwa kebijakan tarif Trump dapat berimbas pada perdagangan global yang dapat menyusut 3 persen hingga 7 persen.

    Selain itu produk domestik bruto global (global gross domestic bruto) atau GDP diproyeksi merosot 0,7 persen, dengan negara-negara berkembang menjadi yang paling terkena dampak, kata Pusat Perdagangan Internasional (ITC).

    “Ini sangat besar. Jika eskalasi antara China dan AS ini berlanjut, ini akan mengakibatkan pengurangan perdagangan antara kedua negara hingga 80 persen, dan efek berantainya secara menyeluruh dapat menjadi bencana besar,” kata Direktur Eksekutif Pusat Perdagangan Internasional Pamela Coke-Hamilton kepada Reuters, dikutip dari Reuters.

    Tak sampai disitu, Coke-Hamilton menyebut bahwa negara-negara berkembang juga berisiko mengalami kemunduran dari keuntungan ekonomi yang telah mereka peroleh dalam beberapa tahun terakhir.

    “Tarif dapat memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya daripada pencabutan bantuan asing,” jelasnya.

    Ancaman ini dilontarkan bukan tanpa alasan, pasalnya banyak negara berkembang yang menggantungkan perekonomian mereka pada ekspor barang seperti tekstil, elektronik, baja, dan produk pertanian ke pasar AS.

    Akan tetapi setelah Trump memberlakukan tarif tinggi, barang-barang yang akan dijual ke AS dibanderol menjadi lebih mahal dari harga sebelumnya. Imbasnya permintaan barang dari negara berkembang akan menurun karena konsumen dan perusahaan AS mencari alternatif domestik atau dari negara yang tidak terkena tarif.

    Alhasil ekspor dari negara berkembang terhambat, berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Selain itu ketidakpastian akibat perang dagang yang dipicu oleh kebijakan Trump dapat memukul arus investasi asing ke negara berkembang, menyebabkan investor asing mulai menghindari kawasan yang terdampak ketegangan dagang

    Negara yang Terdampak Tarif Trump

    Adapun beberapa negara paling kurang berkembang di dunia yang berpotensi terdampak kebijakan Trump mayoritas dialami oleh negara di wilayah Asia Tenggara dan Afrika, seperti Lesotho, Kamboja, Laos, Madagaskar, dan Myanmar.

    Menyusul yang lainnya Bangladesh yang merupakan eksportir pakaian jadi terbesar kedua di dunia juga berpotensi terdampak, PBB  memperkirakan Bangladesh kehilangan 3,3 miliar  dolar jika tarif AS sebesar 37 persen tetap berlaku setelah jeda 90 hari.

    Hal serupa juga turut dialami Madagaskar yang sangat bergantung pada industri tekstil dan garmen sebagai penggerak utama ekonominya. Selama bertahun-tahun negara ini mendapatkan akses bebas tarif ke pasar AS melalui program AGOA (African Growth and Opportunity Act).

    Namun pada 2 April lalu Trump mulai menetapkan tarif impor, imbasnya sekitar 80 persen produk tekstil dan pakaian jadi buatan pabrik Tiongkok dan India yang ada di Madagaskar tak dapat lagi di ekspor ke AS.

  • DEN: Pasar obligasi Indonesia aman dari efek negatif kebijakan Trump

    DEN: Pasar obligasi Indonesia aman dari efek negatif kebijakan Trump

    Efek terhadap bond market di Indonesia itu juga mungkin terbatas

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mengatakan pasar obligasi Indonesia cukup aman dari efek negatif kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    “Efek terhadap bond market di Indonesia itu juga mungkin terbatas,” kata Catib dalam kegiatan The Yudhoyono Institute (TYI) bertajuk “Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global” di Jakarta, Minggu.

    Dia menjelaskan porsi kepemilikan asing di obligasi pemerintah hanya sekitar 14 persen. Maka, meski seluruh investor asing pergi dari pasar obligasi Indonesia, efeknya relatif terbatas.

    Kondisi krisis saat ini pun disebut berbeda dengan krisis keuangan sebelumnya, termasuk krisis tahun 2008. Menurut Chatib, situasi krisis saat itu jauh lebih berat dibandingkan dengan krisis yang terjadi kali ini.

    “Dan saat itu, Indonesia masih bisa tumbuh 4,6 persen,” tambahnya.

    Tak hanya di sisi pasar obligasi, dampak negatif dari sisi ekspor juga terbatas. Menteri Keuangan RI ke-28 itu menjelaskan kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya sebesar 22 persen, di mana porsi ekspor ke AS hanya sekitar 10 persen.

    “Jadi, kalau terhadap PDB, andilnya hanya 10 persen dari 22 persen atau 2,2 persen. Maka, meski dalam skenario terburuk pun, efek (tarif resiprokal AS) hanya 2,2 persen dari GDP,” jelas Chatib.

    Meski begitu, ia mengamini industri yang terlibat dalam aktivitas ekspor tak dimungkiri menerima dampak kebijakan Trump.

    Untuk memitigasi efek negatif di industri berbasis ekspor, Pemerintah Indonesia mengambil langkah deregulasi.

    “Jika kita bisa melakukan deregulasi dengan memotong ekonomi biaya tinggi, maka penurunan dampak dari biaya produksi bisa sangat signifikan,” ujar dia.

    Kebijakan lain yang diambil Pemerintah Indonesia juga termasuk penghapusan kuota impor dan relaksasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

    “Dengan berbagai langkah itu, saya kira akan sangat menolong,” tutur Chatib.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Faisal Yunianto
    Copyright © ANTARA 2025

  • AHY Ungkap Kekacauan Besar Imbas Perang Dagang AS-China

    AHY Ungkap Kekacauan Besar Imbas Perang Dagang AS-China

    Jakarta

    Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute (TYI) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyoroti ketegangan perang dagang Amerika Serikat (AS) – China yang semakin memanas. Di mana, AS menetapkan tarif 145% untuk semua produk dari China, sementara China membalas dengan menerapkan tarif 125% untuk produk yang masuk ke negaranya.

    AHY mengatakan perang dagang tersebut akan memberikan dampak yang besar bagi dibandingkan perang dagang yang terjadi dari 2018-2020. Ia mengatakan pada masa tersebut, berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengakibatkan penurunan volume perdagangan dunia sebesar 3% dan menyumbang pada penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) global sekitar 0,8%.

    “Saat ini, eskalasi baru yang dipicu kebijakan Trump berdampak lebih luas dan jauh lebih signifikan. Kenaikan tarif ini jelas akan berdampak baik ke pasar keuangan maupun sektor real. Dampaknya, resiko resesi global di tahun ini meningkat tajam,” kata AHY dalam Panel Discussion The Yudhoyono Institute (TYI) di Grand Sahid Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    AHY mengatakan, kebijakan sepihak AS untuk menetapkan tarif ke berbagai negara ini justru membawa dunia menuju dua arah yang ekstrem. Pertama, terjadinya perlawanan kolektif, di mana negara-negara akan menjauhi dominasi Amerika Serikat dan membangun global ekonomi baru.

    Kedua, ia mengatakan, jika kebijakan ini terbukti efektif, maka dunia justru akan semakin tunduk pada satu kekuatan yang semakin hegemonik, yaitu Amerika Serikat.

    “Apapun hasilnya, satu hal yang pasti, kita menghadapi risiko fragmentasi, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara politik dan keamanan. Aliansi baru akan terbentuk, polarisasi akan semakin tajam, konflik lama berpotensi membesar dengan negara-negara besar saling berebut pengaruh. Asia Pasifik, termasuk kita, akan menjadi panggung utama dinamika ini,” katanya.

    Lebih lanjut, AHY mengatakan penetapan tarif 32% dari AS ke Indonesia juga akan berdampak langsung terhadap daya saing ekspor Indonesia. Meskipun tarif ini masih ditangguhkan oleh Presiden AS Donal Trump.

    “Indonesia sendiri terdampak langsung. Tarif impor 32 persen bukan antara yang kecil, walaupun saat ini masih ditanggungkan,” katanya.

    (kil/kil)