Topik: Produk Domestik Bruto

  • Perbandingan Rasio Utang Pemerintah RI Vs Asean, Indonesia Posisi Kelima Terendah

    Perbandingan Rasio Utang Pemerintah RI Vs Asean, Indonesia Posisi Kelima Terendah

    Bisnis.com, JAKARTA — Rasio utang pemerintahan Prabowo Subianto terhadap produk domestik bruto/PDB tercatat sebesar 39,7% per Januari 2025 dan diprediksi IMF mencapai 40,1% pada akhir tahun nanti. 

    Sejumlah lembaga internasional menyampaikan bahwa posisi utang yang saat ini berjumlah Rp8.909,14 triliun tersebut tergolong rendah. 

    Sementara mengacu ketentuan Undang-Undang (UU) No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah ditetapkan maksimal 60% dari PDB.

    Sejumlah ekonom mengingatkan, meski gap antara realisasi dan batas aman masih ada sekitar 20%, namun kekhawatiran tetap mengintai. Utamanya soal kemampuan bayar pemerintah, mengingat rasio penerimaan pajak tak bergerak naik. 

    Membandingkan rasio utang pemerintah Indonesia dengan negara satu kawasan Asean, benar adanya utang tersebut tercatat cukup rendah. 

    Dalam laporan World Bank Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, rasio utang Indonesia lebih rendah dari negara tetangga Malaysia yang mencapai 64,6% pada 2024 maupun proyeksi 2025 yang mencapai 65%. 

    Vietnam, Kamboja, Timor Leste, dan Brunie Darussalam tercatat memiliki rasio utang yang lebih rendah dari Indonesia. 

    Masing-masing sebesar 37,5%, 27%, 14,3%, dan 2,29% pada 2024. Lalu, masing-masing sebesar 36,9%, 27,8%, 15,1%, dan 2,2% untuk proyeksi 2025. 

    Rasio utang tertinggi tercatat diduduki Singapura yang mencapai 174,3% dari PDB (2024) atau senilai SGD1,29 triliun. Tertinggi kedua ditempati Laos dengan rasio utang mencapai 112,2% terhadap PDB. 

    Secara umum meski terpantau lebih rendah, Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan hal utama yang menjadi kekhawatiran adalah kemampuan bayar pemerintah yang ditunjukkan oleh besaran rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). 

    “Ketika rasio penerimaan utang kita terhadap PDB relatif enggak naik-naik, maka sebenarnya penambahan utang baru itu sangat berisiko,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025). 

    Per 2024, rasio pajak terhadpa PDB atau tax to GDP ratio tercatat sebesar 10,08% atau turun dari pertumbuhan 10,31% pada 2023. 

    Tauhid menjelaskan risiko dari bertambahnya utang tanpa diikuti dengan peningkatan penerimaan pajak menimbulkan konsekuensi pembayaran utang menggunakan utang baru alias “gali lubang tutup lubang”.

    Adapun pada tahun ini, pemerintah merencananakan penarikan utang baru senilai Rp775,87 triliun untuk membiayai APBN 2025. Per akhir Maret 2025, pemerintah telah menarik utang senilai Rp270,4 triliun. 

    Debt to GDP Ratio 2024/2025 (%):

    Negara 
    2024 (estimasi)
    2025 (proyeksi)

    Brunei Darussalam*
     2,29
    2,2

    Timor Leste 

    14,3
    15,1

    Kamboja 
    27
    27,8

    Vietnam
    37,5

    36,9

    Indonesia 

    39,2

    40,1

    Filipina (national government debt)
    60,7
    60,2

    Myanmar (public sector debt)

    62,2
    62,4

    Thailand 
    63,3
    66

    Malaysia
     64,6
    65

    Laos
    112,2
    112,2

    Singapura*
    174,3
    174,94

    Sumber: Bank Dunia, IMF, diolah

    *data bersumber dari IMF mengacu General Government gross debt

  • Bank Dunia Ungkap Rasio Penerimaan Negara RI Terendah di Asean

    Bank Dunia Ungkap Rasio Penerimaan Negara RI Terendah di Asean

    Bisnis.com, JAKARTA — World Bank alias Bank Dunia mengungkapkan rasio penerimaan negara Indonesia merupakan yang terendah di antara negara-negara berkembang Asia Tenggara (Asean) lainnya.

    Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia mencatat rasio penerimaan negara Indonesia ‘hanya’ sebesar 12,8% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2024.

    Sebagai perbandingan, Bank Dunia mencatat rasio penerimaan Indonesia terhadap PDB itu jauh lebih rendah dari negara-negara berkembang lain di Asia Tenggara seperti Kamboja (15,2%), Filipina (16,7%), Malaysia (16,8%), Laos (18,2%), Vietnam (18,4%), Myanmar (20%), Thailand (21,3%), dan Timor Leste (40,8%).

    “Pada level 12,7%, penerimaan negara Indonesia terhadap PDB pada 2024 menjadi yang terendah di antara negara pendapatan menengah lainnya,” tulis laporan Bank Dunia tersebut, dikutip Senin (28/4/2025).

    Bank Dunia memperkirakan penerimaan pajak yang hilang diperkirakan mencapai 6,4% dari PDB. Artinya, jika potensi penerimaan pajak tersebut tidak hilang rasio penerimaan negara Indonesia bisa mencapai 19,1%.

    Oleh sebab itu, lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington DC, AS itu menyarankan agar pemerintah Indonesia memaksimalkan potensi penerimaan pajak. Dengan demikian, ruang fiskal pemerintah semakin besar sehingga bisa mendanai berbagai program untuk capai visi Indonesia Emas 2045.

    Target Pemerintah

    Pemerintah menyadari betul rendahnya rasio penerimaan negara tersebut. Sejak masa kampanye Pilpres 2024, Presiden Prabowo Subianto pun sudah menargetkan rasio pendapatan negara mencapai 23% terhadap PDB. 

    Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan rasio pendapatan negara terhadap PDB Indonesia masih terlalu rendah. Hashim menjelaskan rasio tersebut tertinggal cukup jauh dari negara-negara tetangga Indonesia.

    “Nanti kita target 23%,” jelas Hashim dalam acara CNBC Economic Outlook 2025 di Jakarta Selatan, Rabu (26/2/2025).

    Pendiri Arsari Group itu pun mengungkapkan Prabowo sudah memberi penugasan khusus kepada Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu untuk menaikkan penerimaan perpajakan.

    Caranya, Hashim menjelaskan pemerintah ingin mengincar aktivitas ekonomi bayangan alias shadow economy. Dia mengutip temuan Bank Dunia yang memperkirakan ekonomi bayangan di Indonesia mencapai 25% sampai dengan 30% dari PDB.

    Dengan demikian, dia meyakini jika pemerintah berhasil memajaki aktivitas ekonomi bayangan maka penerimaan negara bertambah drastis. Menurut perhitungannya, akan ada penambahan penerimaan negara paling tidak Rp900 triliun per tahun apabila pemerintah berhasil memajaki aktivitas ekonomi bayangan.

    “Berarti apa? Kita tidak akan ada bujet defisit lagi. Kita akan bujet surplus, tapi kita harus melakukan dengan sebaik-baiknya,” jelas elite Partai Gerindra itu.

  • Regulasi Berjibun dan Kerap Berubah Bikin Investor Ragu Tanam Modal di RI

    Regulasi Berjibun dan Kerap Berubah Bikin Investor Ragu Tanam Modal di RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Tumpukan regulasi yang jumlahnya hingga puluhan ribu dan kerap berubah-ubah menjadi salah satu alasan investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Tanah Air. 

    Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyampaikan bahwa regulasi tersebut membuat ekonomi berbiaya mahal alias high cost economy. 

    “Indikator [high cost economy] salah satunya adalah jumlah regulasi yang begitu besar, sering sekali berubah-ubah. Di tingkat peraturan menteri saja itu tercatat ada hampir 19.000 regulasi,” ujarnya dalam diskusi publik Universitas Paramadina, Senin (28/4/2025). 

    Dalam paparannya, Yose menunjukkan jumlah peraturan menteri saat ini berjumlah 18.309 beleid. Lalu, UU berjumlah 1.751 dokumen, peraturan pemerintah mencapai 4.887 ketentuan. Sementara peraturan daerah saja melebihi jumlah peraturan menteri dengan mencapai 18.817 peraturan. 

    Meski kondisi high cost economy ini kerap disebut-sebut bersumber dari korupsi, tetapi rumitnya regulasi yang ada menambah beban dalam ekonomi tersebut. 

    Belum lagi, satu peraturan dan lainnya kerap tumpang tindih dan berlawanan satu sama lain sehingga menyebabkan ketidakpastian yang tinggi. 

    Salah satu peraturan yang membebankan dunia usaha adalah kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mengarah kepada inward looking atau menjadi perekonomian tertutup. 

    Yose menyampaikan dari hasil studi yang dilakukan oleh CSIS menunjukkan TKDN memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan sektor industri Tanah Air. 

    Di satu sisi sektor industri yang sifatnya downstream tidak mendapatkan manfaat karena kesulitan mendapatkan part dan komponen. 

    “Di sisi lain yang upstream-nya juga tidak terbangun, yang ada malah akhirnya hanya investasi padat modal yang mau masuk ke perekonomian Indonesia dan berinvestasi di Indonesia,” lanjutnya. 

    Padahal, realisasi investasi padat karya diharapkan terjadi lebih cepat karena menjadi harapan untuk mengungkit pertumbuhan sektor industri yang menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi. 

    Bank Dunia atau World Bank dalam laporan Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025 meramalkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor industri hanya mencapai 3,8% pada 2025, lebih rendah dari estimasi 2024 yang sebesar 5,2%. 

  • Bank Dunia Proyeksi Defisit Anggaran RI 2,70 Persen PDB, Lebih Besar dari Asumsi APBN

    Bank Dunia Proyeksi Defisit Anggaran RI 2,70 Persen PDB, Lebih Besar dari Asumsi APBN

    Dari sisi fiskal, Bank Dunia mencatat rasio pendapatan pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2024 hanya mencapai 12,7 persen, yang merupakan angka terendah di antara negara-negara berpenghasilan menengah. Defisit fiskal diproyeksikan meningkat menjadi 2,7 persen dari PDB pada 2025.

    “Penutupan celah penerimaan pajak akan memperluas ruang fiskal untuk mendanai Visi Indonesia 2045,” kata Bank Dunia.

    Namun, angka defisit yang diproyeksikan oleh Bank Dunia ini lebih besar dibandingkan dengan asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yang memperkirakan defisit sebesar 2,53 persen.

    Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menanggapi hal ini dalam akun X pribadinya @AwalilRizky.

    “Bank Dunia (macro poverty outlook) memproyeksikan defisit anggaran Indonesia sebesar 2,70% PDB pada 2025-2027. Lebih lebar dari asumsi APBN 2025 (2,53%). Dan lebih lebar dari sasaran RPJMN 2025-2029 yang 2,45-2,50%. Karena nilai PDB bertumbuh, maka nominal defisit pun bertambah,” ungkapnya, dikutip dari akun Twitter @AwalilRizky pada Senin (28/4/2025).

    Dalam hal eksternal, defisit transaksi berjalan Indonesia meningkat menjadi 0,6 persen dari PDB pada 2024 dan diperkirakan akan melebar lagi menjadi 1,7 persen pada 2027. Nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 2,3 persen hingga Maret 2025, sebagian besar akibat tekanan pembayaran utang luar negeri dan aliran keluar dividen.

    Untuk mencapai target pertumbuhan yang lebih tinggi dan menuju status negara berpenghasilan tinggi pada 2045, Bank Dunia menekankan pentingnya percepatan reformasi struktural. Reformasi tersebut mencakup pendalaman sektor keuangan serta perbaikan iklim investasi, perdagangan, dan bisnis.

  • Ada Tarif Trump, Sri Mulyani Siapkan Jurus Baru Genjot Ekspor RI

    Ada Tarif Trump, Sri Mulyani Siapkan Jurus Baru Genjot Ekspor RI

    Jakarta

    Sri Mulyani Ungkap Strategi Cari Pasar Baru buat Ekspor RI Usai Ada Tarif Trump

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pentingnya langkah diversifikasi hubungan perdagangan. Hal ini sebagai respons terhadap dinamika kebijakan ekonomi global, terutama imbas tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Sri Mulyani mengatakan kebijakan itu tidak hanya mempengaruhi Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Meskipun eksposur perdagangan langsung antara Indonesia dengan AS relatif kecil karena kurang dari 2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

    “Perdagangan kita secara langsung dengan AS kurang dari 2% dari PDB kita, jadi sebenarnya tidak terlalu besar. Total ekspor dalam PDB kita sekitar 20%, tetapi itu tidak berarti bahwa apa yang terjadi tidak penting. Ini tidak hanya memengaruhi Indonesia, tetapi juga seluruh dunia,” kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (28/4/2025).

    Menurut Sri Mulyani, kondisi global saat ini mendorong banyak negara untuk mengevaluasi kembali strategi perdagangan mereka dan mencari alternatif pasar ekspor di luar AS. Dalam konteks ini, Indonesia semakin aktif menjajaki dan mempercepat perundingan dagang yang sebelumnya terhambat.

    “Pemicu ini yang mungkin merupakan sisi positif, telah menyebabkan banyak diskusi tentang perjanjian perdagangan yang telah terhenti atau belum membuat kemajuan. Sekarang ada perasaan bahwa kita benar-benar harus membuat kemajuan, kita benar-benar harus mencapai kesepakatan karena alternatifnya adalah tidak ada atau kurang. Jadi itu sebenarnya mungkin sisi positif dari mengadakan lebih banyak diskusi seperti pembicaraan Indonesia-Uni Eropa yang sedang kita lakukan,” tutur Sri Mulyani.

    Dia juga menyoroti pentingnya hubungan ekonomi Indonesia dengan Tiongkok. Meskipun Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan negara tersebut, Tiongkok juga banyak memberikan investasi di Indonesia, terutama di sektor mineral strategis.

    “Tiongkok telah berinvestasi besar di sektor mineral strategis Indonesia. Ini adalah area di mana Indonesia memegang peranan penting karena kekayaan sumber daya alam kita. Indonesia sudah berproduksi di sektor ini,” ungkap Sri Mulyani.

    Dengan berbagai pendekatan tersebut, pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk memperluas cakupan perdagangan dan investasi internasional sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi jangka panjang di tengah lanskap global yang penuh ketidakpastian.

    “Jadi ini adalah area yang bisa memberikan banyak alternatif bagi Indonesia, baik dalam bentuk tujuan perdagangan maupun dalam hal area di mana kita bisa bekerja sama, bermitra dengan banyak negara di dunia,” jelas Sri Mulyani.

    (aid/rrd)

  • China Kasih Bantuan ke Pengusaha Hadapi Dampak Perang Dagang AS – Page 3

    China Kasih Bantuan ke Pengusaha Hadapi Dampak Perang Dagang AS – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta China berjanji akan memberikan bantuan lebih besar kepada bisnis-bisnis yang sedang kesulitan di tengah meningkatnya tekanan dari luar negeri. Komitmen ini disampaikan dalam rapat Politbiro, badan politik tertinggi kedua di China, yang dipimpin langsung oleh Presiden Xi Jinping pada Jumat lalu.

    Melansir CNBC Internasional, Minggu (27/4/2025), langkah ini diambil seiring perang dagang Amerika Serikat-China yang kembali memanas bulan ini, setelah Washington dan Beijing memberlakukan tarif balasan baru yang nilainya lebih dari 100%. 

    Akibatnya, sejumlah bank besar Wall Street memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China tahun ini. Padahal, Beijing masih mengejar target pertumbuhan sekitar 5% yang sudah ditetapkan sejak Maret lalu.

    Punya Berbagai Langkah Strategis

    Dalam pertemuan tersebut, otoritas China menekankan perlunya berbagai langkah untuk membantu bisnis yang sedang kesulitan, termasuk melalui pemberian dukungan keuangan, sebagaimana tertulis dalam hasil rapat berbahasa Mandarin yang diterjemahkan oleh CNBC.

    Selain itu, Politbiro juga menyarankan adanya “pengurangan tepat waktu” pada suku bunga dan rasio persyaratan cadangan, yaitu jumlah dana cadangan yang wajib disimpan oleh bank. Langkah ini diharapkan dapat memberikan ruang likuiditas tambahan untuk mendukung dunia usaha.

    Menurut kepala peneliti di Bank of China, Zong Liang pemerintah masih mempertahankan arah kebijakan yang ditetapkan sejak awal tahun, namun tetap membuka ruang fleksibilitas untuk kebijakan yang lebih terfokus. 

    Ia memperkirakan China akan melakukan penelitian lebih mendalam terhadap bisnis-bisnis tertentu untuk menemukan strategi dukungan yang lebih efektif dalam menghadapi dampak tarif.

    Sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas, pemerintah China sebelumnya telah menaikkan target defisit fiskal menjadi 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada bulan Maret. Menteri Keuangan Lan Fo’an saat itu menyatakan bahwa langkah tersebut memberikan ruang gerak lebih luas bagi China untuk menggunakan kebijakan fiskal secara aktif.

     

  • Kinerja Manufaktur Kian Suram Imbas Tarif Trump? Ini Saran Ekonom

    Kinerja Manufaktur Kian Suram Imbas Tarif Trump? Ini Saran Ekonom

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah perlu mewaspadai pelambatan pertumbuhan lapangan usaha industri yang terjadi sejak 2023. Apalagi, ada potensi semakin tertekan oleh kebijakan Trump. 

    Selain itu, tidak sedikit industri yang telah mengambil langkah efisiensi biaya produksi dan logistik. Sayangnya hal tersebut tidak cukup bahkan sebagian sudah melakukan efisiensi tenaga kerja alias pemutusan hubungan kerja (PHK). 

    Bhima mengkhawatirkan hal tersebut akan berdampak pada berlanjutnya penurunan daya beli dan mempersempit pengalihan pasar ekspor yang terimbas perang dagang ke pasar domestik. 

    “Di satu sisi persaingan dengan impor barang jadi makin ketat. Solusinya adalah mempercepat realisasi investasi di sektor padat karya terutama pakaian jadi, tekstil, dan furnitur,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025). 

    Bhima menuturkan bahwa Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia (PMI BI) memang memberikan sinyal adanya perlambatan kinerja pada sektor tesktil dan furnitur pada kuartal I/2025 maupun kuartal II/2025, 

    Bank Dunia atau World Bank dalam laporan Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025 meramalkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor industri hanya mencapai 3,8% pada 2025, lebih rendah dari estimasi 2024 yang sebesar 5,2%. 

    Di mana ketidakpastian kebijakan perdagangan, melemahnya harga komoditas, dan ketidakpastian kebijakan dalam negeri dapat menjadi tantangan bagi pertumbuhan

    Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha, yakni Industri tumbuh 4,43% pada 2024 (angka sangat sementara). Lebih rendah dari 4,64% pada 2023, maupun 4,89% pada 2022.

    Pemerintah sendiri mencanangkan target pertumbuhan industri manufaktur nasional sebagai motor penggerak ekonomi sebesar 7,29% untuk tahun ini. Artinya, terdapat gap 3,49% terhadap proyeksi lembaga internasional. 

    Untuk itu, Bhima meminta pemerintah agar membantu sektor industri dengan mencegah masuknya barang impor yang memiliki substitusi lokal. 

    Pencegahan tersebut salah satunya dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. 

    Sementara langkah insentif bagi industri berupa diskon tarif listrik dan pajak dapat diberikan untuk meringankan input produksi. Misalnya, perluasan kategori Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 karyawan Ditanggung Pemerintah (DTP) diperluas ke berbagai sektor.

    Saat ini, insentif PPh tersebut hanya diberikan kepada karyawan dengan penghasilan maksimal Rp10 juta dan bekerja di sektor padat karya. 

    Bukan hanya soal PHK dan daya beli, Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus turut mengkhawatirkan penurunan ekspor produk dari hasil hilirisasi.  

    Bagi fiskal negara, penerimaan pajak dari industri juga terancam menurun akibat lesunya produksi. Di samping daya beli, akses dan kepastian pasar yang penting diperlukan industri ini juga sedang tertekan. 

    Heri melihat faktor-faktor lain seperti input produksi industri turut dalam kondisi yang kurang kompetitif, termasuk biaya energi, logistik, dan perpajakan.

    “Berbagai faktor pendukung yg memengaruhi industri sedang dalam kondisi yang kurang mendukung,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025)

  • Pertumbuhan PDB Industri Melandai sejak 2023, Bukti Daya Beli Lesu

    Pertumbuhan PDB Industri Melandai sejak 2023, Bukti Daya Beli Lesu

    Bisnis.com, JAKARTA — Laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dari sektor industri terpantau melandai sejak 2023. Padahal, lapangan usaha ini menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi.

    Bank Dunia atau World Bank dalam laporan terbarunya, Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, meramalkan pertumbuhan sektor industri hanya mencapai 3,8% pada 2025, lebih rendah dari estimasi 2024 yang sebesar 5,2%.

    Proyeksi tersebut nyatanya sama dengan realisasi pertumbuhan PDB industri pada 2019 yang saat ini juga berada di angka 3,8%.

    Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha, yakni Industri tumbuh 4,43% pada 2024 (angka sangat sementara). 

    Angka tersebut lebih rendah dari realisasi 2023 yang tumbuh sebesar 4,64% maupun pada 2022—kala itu ekonomi mulai pulih dari Covid-19—yang mencapai 4,89%.

    Secara terperinci, pertumbuhan tertinggi pada 2024 berasal dari industri logam dasar sebesar 13,34%. Realisasi itu bahkan lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang mencapai 14,17% maupun pada 2022 yang berada di level 14,8%.

    Sementara industri yang cukup tertekan pada tahun lalu adalah industri alat angkutan yang pertumbuhannya negatif 2,1%. Berbanding terbalik dengan 2023 yang tumbuh hingga 7,63%.

    Secara umum, proyeksi melambatnya sektor industri tersebut turut tercermin dalam data Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia.

    Tren penurunan kinerja dari Industri Furnitur diperkirakan akan berlanjut pada kuartal II/2025, menuju zona kontraksi di level 47,8% dari 52,95% pada kuartal I/2025. 

    Industri Tekstil dan Pakaian Jadi—yang hasil outputnya menjadi komoditas ekspor unggulan ke Amerika Serikat—masih di level kontraksi sebesar 49,27% pada kuartal I/2025. Kontraksi yang lebih dalam diperkirakan terjadi pada kuartal berikutnya, menjadi 46,5%.

    Meski demikian, secara umum kinerja industri pengolahan diperkirakan tetap terjaga pada fase ekspansif di level 51,92%.

    Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan pelemahan terlihat pada sejumlah indikator lapangan usaha, selain dipicu kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump yang mengganggu perdagangan global. 

     “Kalau proyeksi indikator-indikator ini menurun maka ada sinyal perlambatan pada sektor riil, seperti pada manufaktur, hal ini salah satunya disebabkan karena melambatnya indikator dari sisi konsumsi [daya beli],” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025). 

    Di samping daya beli, akses dan kepastian pasar sebagai aspek penting yang diperlukan industri juga tertekan.

    Heri juga melihat faktor-faktor lain seperti input produksi industri turut dalam kondisi yang kurang kompetitif, termasuk biaya energi, logistik, dan perpajakan. 

    “Berbagai faktor pendukung yang memengaruhi industri sedang dalam kondisi yang kurang mendukung,” lanjutnya. 

     Adapun, Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri manufaktur nasional sebagai motor penggerak ekonomi sebesar 7,29% untuk tahun ini.

    Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha (persen), 2020

    2019
    2020
    2021
    2022
    2023*
    2024**

    Industri Pengolahan/Manufacturing
    3,8
    -2,93
    3,39
    4,89
    4,64
    4,43

    Industri Batubara dan Pengilangan Migas
    -1,11
    -6,81
    0,57
    3,72
    4,16
    1,04

    Industri Makanan dan Minuman
    7,78
    1,58
    2,54
    4,9
    4,47
    5,9

    Industri Pengolahan Tembakau
    3,36
    -5,78
    -1,32
    -2,34
    4,8
    3,49

    Industri Tekstil dan Pakaian Jadi
    15,35
    -8,88
    -4,08
    9,34
    -1,98
    4,26

    Industri Kulit, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki
    -0,99
    -8,76
    7,76
    9,36
    -0,34
    6,83

    Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus; dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan, dan Sejenisnya

    -4,55
    -2,16
    -3,71
    0,59
    1,2
    2,79

    Industri Kertas dan Barang dari Kertas
    8,86
    0,22
    -2,89
    3,71
    4,52
    2,61

    Industri Kimia, Farmasi, dan Obat Tradisional
    8,48
    9,39
    9,61
    -,69
    0,11
    5,86

    Industri Karet; Barang dari Karet dan Plastik
    -5,5
    -5,61
    1,08
    -4,1
    -3,63
    1,75

    Industri Barang Galian bukan Logam
    -1,03
    -9,13
    0,89
    -2
    4,11
    -0,6

    Industri Logam Dasar
    2,83
    5,87
    11,5
    14,8
    14,17
    13,34

    Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik

    -0,51
    -5,46
    -1,62
    6,71
    13,67
    6,16

    Industri Mesin dan Perlengkapan
    -4,13
    -10,17
    11,43
    11,37
    -0,03
    -0,42

    Industri Alat Angkutan
    -3,43
    -19,86
    17,82
    10,67
    7,63
    -2,1

    Industri Furnitur
    8,35
    -3,36
    8,16
    -1,99
    -2,04
    2,07

    Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan

    5,17
    -0,88
    -1,64
    6,08
    -2,1
    3,54

    Sumber: BPS

    *angka sementara 

    **angka sangat sementara

  • Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Industri RI Hanya 3,8% pada 2025

    Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Industri RI Hanya 3,8% pada 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia atau World Bank meramalkan pertumbuhan sektor industri Indonesia hanya mencapai 3,8% pada 2025, lebih rendah daripada 2024 yang sebesar 5,2%.

     Dalam laporan terbarunya, Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, Bank Dunia memproyeksikan adanya perlambatan pertumbuhan sebesar -1,4% akibat kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengganggu perdagangan global.  

    “Ketidakpastian kebijakan perdagangan, melemahnya harga komoditas, dan ketidakpastian kebijakan dalam negeri dapat menjadi tantangan bagi pertumbuhan,” tulis Bank Dunia, dikutip pada Minggu (27/4/2025). 

    Dari tiga faktor yang menyumbang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil, industri diperkirakan anjlok paling dalam. Adapun sektor jasa diperkirakan terkoreksi 0,5% dari 6,4% pada 2024 menjadi 5,7% pada 2025. 

    Sementara faktor agriculture atau pertanian diyakini bakal menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena menjadi satu-satunya yang sektor dengan pertumbuhan naik dari 0,7% pada 2024 menjadi 3,6% pada 2025.

    Melambatnya sektor industri tersebut turut tercermin dalam data Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia. Tren penurunan kinerja dari Industri Furnitur diperkirakan akan berlanjut pada kuartal II/2025, menuju zona kontraksi di level 47,8% dari 52,95% pada kuartal I/2025. 

    Industri Tekstil dan Pakaian Jadi—yang hasil outputnya menjadi komoditas ekspor unggulan ke Amerika Serikat—masih di level kontraksi sebesar 49,27% pada kuartal I/2025. Kontraksi yang lebih dalam diperkirakan terjadi pada kuartal berikutnya, menjadi 46,5%. 

    Bank Dunia sendiri turut merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 menjadi 4,7% dari awalnya 5,1%. Lalu, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2027 diperkirakan sebesar 4,8%.

    Apabila melihat pertumbuhan PDB riil menurut pengeluaran, koreksi pertumbuhan tersebut sejalan dengan melambatnya konsumsi. 

    Konsumsi pribadi atau private consumption diprediksi terkoreksi 0,2% menjadi 4,9%. Konsumsi pemerintah turut memperlihatkan tren serupa dan kontraksi yang lebih dalam, dari pertumbuhan 6,6% pada 2024 menjadi terkoreksi 2,1% pada 2025.

    Sementara itu, ekspor dan impor diramal masih menunjukkan pertumbuhan meski melambat dari tahun sebelumnya, masing-masing sebesar 4,8% dan 4,5%. 

    Hanya gross fixed capital investment atau investasi modal tetap bruto yang menunjukkan pertumbuhan dari 4,6% (2024) menjadi 6,1% pada tahun ini.

    Bank Dunia menilai bahwa terlepas dari pondasi makroekonomi yang kuat, Indonesia mengalami perlambatan dalam pertumbuhan produktivitas.

    Hambatan struktural menghambat alokasi sumber daya yang lebih efisien ke sektor-sektor yang paling produktif, sehingga terjadi penurunan berkelanjutan dalam pertumbuhan produktivitas (total factor productivity growth), dari 2,3% menjadi 1,2% antara 2011 hingga 2024.

    “Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia dapat mendorong reformasi efisiensi, termasuk melalui pendalaman sektor keuangan serta perbaikan iklim investasi, perdagangan, dan usaha,” demikian tulis Bank Dunia dalam laporannya.

  • Bank Dunia Proyeksi Rasio Utang Pemerintah Tembus 40,1% pada 2025

    Bank Dunia Proyeksi Rasio Utang Pemerintah Tembus 40,1% pada 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto/PDB akan meningkat ke level 40,1% pada akhir 2025, lebih rendah dari proyeksi Fitch Ratings yang sebesar 40,4%. 

    Rasio tersebut lebih tinggi 0,4% dari posisi akhir 2024 dengan rasio yang mencapai 39,7% terhadap PDB. 

    Bank Dunia dalam laporan terbarunya, Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025, melihat rasio utang pemerintah akan stabil dan menuju kisaran 41% pada 2027 mendatang. 

    “Utang akan stabil di kisaran 41% dari PDB, dengan biaya pinjaman yang lebih tinggi yang mendorong pembayaran bunga menjadi 19% dari total pendapatan,” tulis Bank Dunia, dikutip pada Sabtu (26/4/2025). 

    Lembaga internasional tersebut melihat ketidakpastian atas kebijakan perdagangan global dan penurunan harga komoditas akan berdampak pada kondisi perdagangan Indonesia dan kepercayaan investor.

    Sebagaimana diketahui, Indonesia mengandalkan para investor untuk menarik utang baru  salah satunya melalui obligasi berupa Surat Berharga Negara (SBN).

    Dalam laporannya tersebut pula, Bank Dunia memproyeksikan pengeluaran untuk mengakomodasi program-program prioritas baru, meningkatkan defisit fiskal menjadi 2,7% terhadap PDB. 

    Pengeluaran akan bergeser lebih jauh ke arah belanja sosial, termasuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

    Sementara itu, ketidakpastian kebijakan perdagangan, melemahnya harga komoditas, dan ketidakpastian kebijakan dalam negeri dapat menjadi tantangan bagi pertumbuhan.

    Adapun, belum ada informasi mengenai posisi utang pemerintah terkini, mengingat Kementerian Keuangan belum menggelar konferensi pers APBN Kita edisi April 2025 maupun mempublikasikan buku APBN Kita sejak Januari 2025. 

    Dalam data terakhir yang sempat dipublikasikan namun kemudian dihapus tercatat posisi utang pemerintah pada akhir Januari 2025 mencapai Rp8.909,14 triliun, atau naik Rp108,05 triliun dari posisinya di akhir 2024.

    Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menyampaikan meski mencatatkan kenaikan outstanding utang pemerintah pusat, namun secara rasio utang terhadap PDB masih terjaga di bawah 40%. 

    “Rasio utang masih relatif tetap. Desember 2024 sebesar 39,7%, Januari 2025 sebesar 39,6%,” ujarnya, Senin (10/3/2025). 

    Suminto menjelaskan bahwa outstanding utang tersebut menggunakan asumsi PDB Januari 2025 yang senilai Rp22.499 triliun.

    Sementara itu, penarikan utang terus meningkat seiring dengan kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

    Hingga akhir Maret 2025, pemerintah telah menarik utang baru senilai Rp270,4 triliun.  Angka tersebut jauh lebih tinggi dari realisasi akhir Maret 2024 yang hanya senilai Rp105,6 triliun atau meningkat Rp164,8 triliun. 

    Mengingat jatah penarikan utang baru pemerintah melalui penerbitan SBN senilai Rp642,6 triliun pada tahun ini. Per akhir Maret 2025, tersisa Rp360 triliun. 

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan penarikan utang yang dilakukan cukup besar pada awal tahun atau frontloading tersebut termasuk prefunding menjadi langkah antisipasi efek kebijakan Presiden AS Donald Trump.  

    “Memang menjadi kenaikan karena kita melakukan frontloading mengantisipasi bahwa Pak Trump akan membuat banyak disruption,” ujarnya dalam Sarasehan Ekonomi bersama Presiden RI, Selasa (8/4/2025).