Topik: Produk Domestik Bruto

  • Integrasi Moda Transportasi Jakarta-Bandung Sumbang Rp86,5 Triliun ke PDRB

    Integrasi Moda Transportasi Jakarta-Bandung Sumbang Rp86,5 Triliun ke PDRB

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan bahwa langkah pemerintah mengintegrasikan moda transportasi Jakarta dan Bandung mampu menyumbang Rp86,5 triliun terhadap produk domestik bruto regional (PDRB).

    Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Risal Wasal dalam paparannya menyampaikan bahwa kontribusi tersebut menunjukkan pertumbuhan ekonomi regional yang substansial.

    Di mana kereta cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh selain memberikan kontribusi terhadap PDRB, tetapi juga menghemat biaya bahan bakar hingga Rp3,2 triliun/tahun. Belum lagi, keberadaan transportasi yang bekerja sama dengan China ini mampu mengefisienkan waktu perjalanan sehingga meningkatkan produktivitas dan konektivitas bisnis serta pariwisata.

    “Ini contoh-contohnya [manfaat ekonomi dari integrasi Jakarta-Bandung],” ujarnya dalam diskusi Kompas: Masa Depan Mobilitas Kota, Jumat (8/8/2025).

    Selain itu, efek berganda dari integrasi tersebut mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan stimulus pusat kegiatan ekonomi di skybridge stasiun.

    Contohnya, integrasi moda transportasi di Stasiun Halim berupa keberadaan shelter moda transportasi taxi yang bekerja sama dengan Bluebird Group, integrasi jaringan pelayanan dengan Transjakarta dan Mikrotrans, serta dengan JR Connexion, Damri, PPD, Travel, Shuttle.

    Selain itu, Stasiun Halim juga terintegrasi dengan LRT Jabodebek melalui skybridge, LRT Jakpro (direncanakan operasional pada 2030), serta telah terintegrasi dengan transportasi online. Namun, khusus kendaraan online tersebut masih membutuhkan akses dari sisi Kalimalang.

    Di samping keberhasilan integrasi yang sudah dilakukan tersebut, Risal menyampaikan saat ini pihaknya masih menghadapi tantangan integrasi transportasi antarmoda.

    Menjadi tugas Risal memastikan layanan terintegrasi dengan baik dan seamless. Sementara aksesibilitas dan konektivitas masih menjadi tantangan untuk melakukan integrasi moda transportasi. Pasalnya dua hal tersebut harus selesai terlebih dahulu untuk dilakukan integrasi.

    “Kami bicara terintegrasi jaringan, kelembagaan, sistem informasi, tarif dan pembayaran dan perencanaan tata ruang dan transportasi, ini yang kami kaji,” jelas Risal. 

  • Trik Biar Ekonomi Indonesia Tumbuh Sesuai Target – Page 3

    Trik Biar Ekonomi Indonesia Tumbuh Sesuai Target – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Target Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas level 5-6 persen harus diiringi dengan penerapan strategi yang tepat agar bisa mengakselerasi sumber-sumber penopang pertumbuhan.

    Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan sumber penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan itu masih dari faktor permintaan domestik (domestic demand) yaitu konsumsi, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).

    Selebihnya, dari ekspor. Jika melihat data per Juni 2025, konsumsi termasuk konsumsi rumah tangga dan belanja Pemerintah berkontribusi 62,53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kemudian PMTB 27,83 persen.

    Dengan demikian, domestik demand sekitar 80-90 persen, sedangkan selebihnya adalah ekspor. “Kekuatan ekonomi Indonesia berasal dari besarnya domestik demand, sebab itu dua mesin yang menggerakkan potensi domestik itu harus dioptimalkan,” kata Purbaya. Menurut Purbaya, dalam dua dekade terakhir, perekonomian nasional tumbuh berkisar 5-6 persen.

    Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketika harga komoditas booming, pertumbuhan ekonomi berada di level 6 persen. Saat itu, sektor swasta atau private sector lebih dominan perannya sebagai engine penggerak ekonomi.

    Hal itu yang menyebabkan utang Pemerintah saat itu cenderung turun. Sementara di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) di mana harga komoditas yang tinggi sudah berakhir ditambah masa pandemi Covid-19 selama beberapa tahun, mesin perekonomian lebih dominan digerakkan oleh Pemerintah termasuk untuk membangun infrastruktur.

    “Dalam dua puluh tahun terakhir ini, kita menyadari bahwa mesin ekonomi kita selalu timpang, satu mati, satu jalan, ke depan kita harus jalankan dua-duanya agar ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi,” kata Purbaya.

     

  • Strategi stimulus pariwisata Indonesia yang berbuah manis

    Strategi stimulus pariwisata Indonesia yang berbuah manis

    Ilustrasi. Sendratari Ramayana berlatar belakang Candi Prambanan yang pertama kali dipentaskan pada 1961 menjadi daya tarik wisata budaya untuk wisatawan domestik dan mancanegara. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/tom.

    Strategi stimulus pariwisata Indonesia yang berbuah manis
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 07 Agustus 2025 – 10:41 WIB

    Elshinta.com – Perekonomian Indonesia kembali tersenyum lebar. Angka pertumbuhan ekonomi nasional kuartal kedua 2025 melonjak 5,12 persen secara tahunan. Sebuah capaian membanggakan, apalagi melampaui ekspektasi banyak pihak. Di balik gemilangnya angka ini, ada satu sektor yang diam-diam, namun pasti, menjadi pahlawan tak terduga: pariwisata.

    Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana dengan bangga menyebut bahwa empat sektor penyumbang Produk Domestik Bruto terbesar erat kaitannya dengan pariwisata. Jasa hiburan dan rekreasi melesat 11,31 persen, disusul jasa perusahaan, transportasi, serta akomodasi dan makan minum. Ini jelas sinyal kuat: pariwisata bukan lagi pelengkap, tapi lokomotif pertumbuhan.

    Namun, ada hal menarik yang patut kita renungkan. Di tengah keriuhan angka pertumbuhan ini, kita tidak mendengar banyak narasi tentang promosi pariwisata yang “menggembirakan” atau anggaran fantastis yang digelontorkan untuk menarik turis dari segala penjuru dunia.

    Sebaliknya, yang tercium justru aroma stimulus domestik dan kolaborasi internal. Lantas, bagaimana sektor ini bisa “sekokoh” itu? Apakah kita menemukan formula baru dalam mengembangkan pariwisata, yang mungkin lebih efisien dan berkelanjutan?. Mari kita bedah lebih dalam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa yang menjadi tulang punggung utama sektor ini adalah gerakan masif wisatawan nusantara (wisnus).

    Pada Kuartal II 2025 saja, 331,37 juta perjalanan dilakukan oleh wisnus, melonjak 22,32 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka kumulatif semester pertama bahkan mencapai 613,78 juta perjalanan! Ini jauh melampaui capaian wisatawan mancanegara (wisman) yang “hanya” 3,89 juta kunjungan di kuartal yang sama.

    Fenomena ini menunjukkan adanya kekuatan pasar domestik yang luar biasa besar dan tangguh. Setelah pandemi mereda, masyarakat kita haus akan perjalanan, ingin menjelajahi indahnya negeri sendiri. Pemerintah dengan cerdas menangkap momentum ini. Kebijakan stimulus ekonomi, seperti diskon tiket pesawat dan kereta api, secara langsung mendorong mobilitas masyarakat.

    Ini bukan promosi dalam artian iklan televisi di Times Square, melainkan promosi yang sangat action-oriented: memberikan insentif langsung kepada calon pelancong.

    Kolaborasi Kementerian Pariwisata dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) untuk menyiapkan paket wisata dan diskon di bulan kemerdekaan, serta kampanye liburan akhir tahun, adalah contoh nyata sinergi yang efektif antara regulator dan pelaku usaha.

    Mereka tidak “mengiklankan” destinasi secara umum, melainkan “menjual” pengalaman dan kemudahan berwisata dengan harga menarik. Karisma Event Nusantara (KEN) dengan 58 festival yang direkomendasikan juga menambah daftar panjang atraksi lokal yang siap dikunjungi, menyebarkan manfaat ekonomi ke berbagai daerah.

    Mengukur Dampak

    Efektivitas strategi ini memang patut diacungi jempol. Pertumbuhan tinggi sektor jasa yang berkaitan dengan pariwisata menjadi bukti nyata. Jasa hiburan, transportasi, akomodasi, dan makan minum semuanya menunjukkan kinerja prima. Hal ini menciptakan efek berganda yang luas, tidak hanya di sektor pariwisata inti, tetapi juga ke sektor-sektor pendukung lainnya.

    Ketika orang berwisata, mereka tidak hanya menginap dan makan, tetapi juga berbelanja cenderamata, menggunakan jasa agen perjalanan, hingga menikmati hiburan lokal. Ini adalah rantai ekonomi yang vital. Namun, bukan berarti tidak ada pekerjaan rumah. Penurunan rata-rata pengeluaran wisatawan mancanegara per kunjungan adalah alarm kecil yang harus kita perhatikan.

    Pada Kuartal II 2025, rata-rata pengeluaran wisman mencapai 1.199,71 dolar AS, turun dibanding kuartal sebelumnya dan tahun lalu. Ini bisa jadi pertanda bahwa meskipun kita berhasil menarik jumlah wisman, mereka mungkin mencari opsi yang lebih hemat, atau durasi tinggal mereka lebih singkat.

    Kita perlu menemukan cara agar wisman tidak hanya datang, tetapi juga berbelanja lebih banyak dan tinggal lebih lama, sehingga kontribusi devisa semakin optimal. Selain itu, konsentrasi kunjungan wisman di pintu masuk utama seperti Bandara Ngurah Rai, Bali, menjadi tantangan tersendiri.

    Meski Bali adalah “magnet” pariwisata kelas dunia, pemerataan kunjungan ke destinasi lain di Indonesia masih menjadi PR besar. Potensi pariwisata di Labuan Bajo, Danau Toba, Mandalika, dan banyak lagi “surga tersembunyi” lainnya perlu terus dioptimalkan.

    Diversifikasi pasar wisman juga krusial; terlalu bergantung pada Malaysia, Singapura, dan Australia dapat menjadi risiko jika terjadi perubahan kondisi di negara-negara tersebut.

    Meningkatkan Nilai

    Melihat dinamika ini, kita bisa menyimpulkan bahwa pariwisata Indonesia saat ini berada dalam fase yang menarik. Kita mampu tumbuh kuat, bahkan dengan strategi promosi yang mungkin lebih terfokus pada stimulus internal dan optimalisasi pasar domestik ketimbang “gembar-gembor” iklan global. Ini adalah kekuatan yang harus dipertahankan.

    Ke depan, fokus kita harus bergeser dari sekadar menarik jumlah menjadi meningkatkan nilai dari setiap kunjungan. Bagaimana caranya? Pertama, dengan mengembangkan produk wisata unggulan yang beragam dan berkelanjutan di luar Bali. Kedua, dengan meningkatkan kualitas layanan dan infrastruktur di seluruh destinasi.

    Ketiga, dengan mendorong kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat lokal untuk menciptakan pengalaman wisata yang unik dan otentik. Terakhir, tanpa melupakan pasar domestik yang loyal, kita juga perlu secara cerdas menargetkan segmen wisman dengan daya beli lebih tinggi melalui promosi yang terukur dan value-added.

    Pariwisata Indonesia telah membuktikan kapasitasnya sebagai motor ekonomi. Kini, saatnya kita memastikan pertumbuhan ini tidak hanya kuantitatif, tapi juga kualitatif, berkelanjutan, dan memberikan manfaat yang lebih merata bagi seluruh masyarakat.

    Sumber : Antara

  • Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Sri Mulyani: Kita Tetap Percaya pada BPS – Page 3

    Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Sri Mulyani: Kita Tetap Percaya pada BPS – Page 3

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2025 sebesar 5,12 persen secara tahunan atau year on year.

    “Ekonomi Indonesia berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II-2025 atas dasar harga berlaku sebesar Rp 5.947 triliun. Atas dasar harga konstan, nilainya mencapai Rp 3.396 triliun. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2025 bila dibandingkan triwulan II tahun 2024 atau secara year on year tumbuh sebesar 5,12 persen,” kata Deputi Bidang Neraca dan Analisis Wilayah, Moh. Edy Mahmud, dalam konferensi pers pertumbuhan ekonomi triwulan II-2025, Selasa (5/8/2025).

    Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara triwulan ke triwulan atau quarter to quarter (q to q) di triwulan II-2025 tumbuh 4,04 persen.

    “Pertumbuhan ekonomi q to q ini sejalan dengan pola musiman yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, di mana pertumbuhan q to q di triwulan II lebih tinggi daripada triwulan I sebelumnya,” ujarnya.

    Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan II-2025 yang mencapai 5,12 persen juga lebih tinggi dibandingkan triwulan II-2024, yaitu 5,05 persen. 

  • Di Balik Arus Deras Impor Bahan Baku & Barang Modal, Sinyal Manufaktur Pulih?

    Di Balik Arus Deras Impor Bahan Baku & Barang Modal, Sinyal Manufaktur Pulih?

    Bisnis.com, JAKARTA — Meningkatnya impor bahan baku/penolong dan barang modal tidak melulu mencerminkan produktivitas industri manufaktur mulai pulih. Apalagi para pelaku usaha masih wait and see di tengah gejolak perdagangan global.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang modal pada Januari-Juni 2025 mencapai US$23 miliar atau melesat 20,90% (year-on-year/yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$19,03 miliar. Adapun, impor barang modal yang naik signifikan yaitu mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya (HS 84), mesin atau perlengkapan elektrik dan bagiannya (HS 85) serta kendaraan dan bagiannya (HS 87).

    Di samping itu, impor bahan baku penolong naik juga mengalami kenaikan 2,56% yoy menjadi US$82,75 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai US$80,69 miliar. Kenaikan impor bahan baku cukup besar pada logam mulia dan perhiasan atau permata (HS 71), kemudian kakao dan olahannya (HS 18) dan berbagai produk kimia (HS 38). 

    Namun, laju impor produktif untuk industri tersebut tak diiringi oleh ekspansi manufaktur. Data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan industri berada dalam fase kontraksi sepanjang April-Juli 2025. Indeks kinerja manufaktur Indonesia anjlok ke level 46,7 pada April 2025 dan masih berada di level kontraksi, yakni 49,2 pada Juli 2025.

    Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, kontraksi PMI manufaktur yang terjadi selama 4 bulan terakhir mencerminkan adanya tekanan berlapis yang dihadapi industri. 

    “Peningkatan impor bahan baku dan barang modal tidak selalu mencerminkan ekspansi kapasitas produksi dalam jangka pendek,” kata Saleh kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025). 

    Menurutnya, kenaikan impor bahan baku dan barang modal dalam situasi saat ini bisa saja mengindikasikan bahwa sebagian pelaku usaha melakukan front-loading pembelian sebagai bentuk antisipasi terhadap fluktuasi nilai tukar dan potensi gangguan rantai pasok global.

    Tak hanya itu, kenaikan impor ini juga mengindikasikan adanya pembelian strategis untuk menjaga kontinuitas produksi. Namun, bukan dalam rangka perluasan kapasitas, melainkan untuk memenuhi permintaan yang sifatnya sporadis atau untuk menjaga inventory buffer.

    Di sisi lain, Saleh menerangkan bahwa investasi pada barang modal juga bisa menunjukkan adanya transformasi lini produksi. 

    “Misalnya untuk menyesuaikan dengan tuntutan sertifikasi TKDN atau orientasi green industry, yang belum langsung terefleksi dalam output PMI,” kata Saleh.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, aktivitas pasar saat ini tengah melambat, di mana permintaan baru dari domestik maupun ekspor mengalami pelemahan. 

    Dia mengatakan, tak sedikit pengusaha yang melaporkan penundaan pesanan baru dari pasar. Kondisi ini mencerminkan turunnya kepercayaan masyarakat dan daya beli di pasar domestik yang tak kunjung pulih.

    Di samping itu, pasar ekspor juga belum bisa diandalkan karena gejolak perdagangan global yang terjadi. Alhasil, banyak perusahaan menahan ekspansi, mengurangi output, bahkan melakukan penyesuaian tenaga kerja.

    “Ini bukan sekadar karena faktor global semata, tapi juga karena biaya produksi yang masih sangat tinggi dari logistik, bahan baku impor, energi, hingga beban regulasi yang belum sepenuhnya efisien,” ujar Shinta.

    Untuk mengungkit kontribusi manufaktur terhadap nilai ekonomi nasional, Shinta menyebut terdapat dua langkah utama. Pertama, pemerintah perlu memberikan instrumen jangka pendek yakni stimulus untuk industri.

    Menurut dia, insentif dan perlindungan tidak cukup hanya bersifat normatif, maka perlu langkah afirmatif yang dapat yang langsung menyasar titik tekan pelaku industri, mulai dari biaya produksi, akses bahan baku, hingga kepastian regulasi.

    Kedua, penyelesaian yang sifatnya jangka menengah panjang, yaitu mengeliminasi berbagai bottleneck yang masih menciptakan high cost economy.

    “Kombinasi dari kedua hal ini sangat penting untuk mengembalikan daya saing sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional,” tuturnya.

    Pengusaha Waspadai Efek Tarif Trump

    Industri furnitur menjadi salah satu sektor yang mengalami kontraksi mendalam pada kuartal II/2025. Sentimen geopolitik global, kebijakan tarif Trump, hingga pelemahan daya beli menjadi penekan industri padat karya ini.

    Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengatakan, pada kuartal I/2025, industri furnitur mampu tumbuh hingga 9,86% yoy. Namun, pada kuartal kedua pertumbuhan kinerja industri furnitur terhadap produk domestik bruto (PDB) turun jadi -0,05% yoy. 

    “Ya, data kontraksi -0,05% yoy pada kuartal II cukup sejalan dengan realitas di lapangan, setelah pertumbuhan yang relatif tinggi di kuartal I, industri mebel dan kerajinan mulai mengalami perlambatan signifikan,” kata Sobur kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025). 

    Menurut Sobur, ketidakpastian geopolitik global yang menekan permintaan dari pasar utama ekspor seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Selain itu, penguatan dolar AS dan tekanan suku bunga tinggi juga berdampak pada penundaan pembelian furnitur, terutama di segmen menengah-atas.

    Di sisi lain, industri juga tengah waspada menghadapi sentimen kebijakan tarif Trump dan ancaman tambahan 10% terhadap produk dari negara non-FTA, termasuk Indonesia. Kondisi ini membuat buyer ragu-ragu mengambil posisi jangka panjang.

    Sementara itu, dalam negeri, tingginya UMR dan biaya logistik juga menggerus daya saing, terutama bagi pelaku padat karya dan UKM.

    “Dengan kata lain, kuartal II adalah periode tahan napas bagi banyak pelaku industri yang masih menunggu kepastian pasar dan kebijakan,” jelasnya. 

    Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja pertumbuhan industri furnitur juga kontraksi -0,66% yoy pada kuartal II/2024 dan tumbuh 1,66% yoy pada kuartal I/2024. 

    Tren perlambatan ini membuat pelaku usaha memasang target pertumbuhan flat atau tumbuh tipis di bawah 2% yoy sepanjang tahun ini. 

    Target pertumbuhan itu pun dapat tercapai jika permintaan global tidak anjlok dan pemerintah memberi dukungan nyata dalam bentuk negosiasi tarif ekspor ke AS. 

    Selain itu, perlu adanya dorongan pembukaan pasar baru melalui perjanjian dagang seperti IEU–CEPA atau perluasan akses ke Timur Tengah, India, dan Afrika.

    “Namun, jika tarif Trump jadi diberlakukan penuh dan tidak ada intervensi konkret dari pemerintah, pertumbuhan bisa negatif di akhir tahun,” tuturnya. 

    Sebab, AS adalah pasar utama dengan pangsa 54%. Dia menilai tekanan margin akan terlalu besar bagi banyak eksportir furnitur untuk bertahan tanpa relokasi atau insentif.

    Optimisme Pemerintah

    Pemerintah optimistis laju impor barang modal dan bahan baku pada kuartal II/2025 dapat menjadi sinyal positif pemulihan industri manufaktur pada semester II/2025. 

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap bahwa impor bahan baku dan barang modal yang tumbuh 12,17% pada kuartal II/2025 dapat memperkuat produksi manufaktur pada periode berikutnya.

    “Impor tumbuh tinggi 12,17% terutama untuk bahan baku dan barang modal. Ini memberikan optimisme impor ini akan mendukung pertumbuhan manufaktur pada kuartal selanjutnya,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II/2025, Selasa (5/8/2025).

    Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso menyampaikan bahwa dalam merespons kebijakan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS), Kementerian Perdagangan telah menyiapkan serangkaian strategi untuk melindungi pasar dalam negeri sekaligus memperkuat posisi ekspor Indonesia di pasar global.

    Strategi ini sekaligus bertujuan menjaga keberlanjutan industri nasional serta meningkatkan daya saing produk Indonesia di tengah dinamika perdagangan internasional.

    Langkah-langkah yang ditempuh, antara lain intensifikasi perundingan dan diplomasi dengan AS, penataan kebijakan perdagangan, pengamanan pasar dalam negeri dan keberlanjutan industri nasional, serta optimalisasi kebijakan instrumen seperti bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) dan bea masuk anti-dumping (BMAD).

    Langkah lainnya, yaitu perluasan pasar ekspor melalui percepatan perundingan dagang dan promosi ekspor, serta peningkatan diplomasi perdagangan regional dan multilateral.

    “Tahun ini, sudah banyak terselesaikan perjanjian dagang. Selanjutnya, kita akan masuk ke pasar Afrika. Mudah-mudahan, paling tidak, tahun ini sudah mulai pendekatan-pendekatan ke negara Afrika,” ujar Budi, dikutip dari siaran pers.

  • Stimulus pemerintah pacu pertumbuhan ekonomi 5,12 persen

    Stimulus pemerintah pacu pertumbuhan ekonomi 5,12 persen

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    PCO: Stimulus pemerintah pacu pertumbuhan ekonomi 5,12 persen
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 06 Agustus 2025 – 22:22 WIB

    Elshinta.com – Tenaga Ahli Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Dedek Prayudi menilai paket stimulus pemerintah menjadi salah satu faktor pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen pada triwulan II tahun 2025.

    “Ini thanks to stimulus pemerintah yang angkanya Rp24,4 triliun, yang kita gelontorkan untuk disposable income atau pemasukan yang untuk mendorong konsumsi masyarakat,” kata Dedek saat ditemui di Jakarta, Rabu.

    Adapun paket stimulus ekonomi tersebut digulirkan dalam lima kelompok kebijakan, dengan sasaran utama sektor transportasi, bantuan sosial, subsidi upah, dan insentif tol.

    Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (5/8) melaporkan, ekonomi Indonesia pada triwulan II 2025 tumbuh sebesar 5,12 persen secara tahunan (yoy), didorong terutama oleh konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB).

    Konsumsi rumah tangga menyumbang kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sebesar 54,25 persen.

    Sektor ini juga menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi dengan andil sebesar 2,64 persen dari total 5,12 persen pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Angkanya sudah dikalkulasi dengan baik, angkanya juga sudah kami bedah komponen demi komponen, angkanya juga kemudian kami pastikan tally dengan data lain yang terkait. Semuanya baik. Jadi 5,12 persen itulah realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” katanya.

    Meski demikian, Dedek mengatakan, berbagai prediksi dan proyeksi yang mungkin tidak sama dengan realisasi atau data yang dirilis BPS, adalah hal yang lazim.

    “Itu sah-sah saja. Dan ini enggak pertama kali yang namanya outlook atau proyeksi itu tidak sama dengan realisasi seperti misalnya di tahun 2023,” ujarnya.

    “Ini adalah hal yang biasa ya, karena proyeksi itu dia melihat baseline, melihat konteks, dan kemudian dicampur dengan rencana pemerintah. Nah, kalau realisasi, sudah mengikutkan implementasinya kemudian,” imbuhnya.

    Sementara itu, ekonomi Indonesia berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) pada triwulan II-2025 mencapai Rp5.947,0 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan (ADHK) mencapai Rp3.396,3 triliun. Bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (qtq), ekonomi Indonesia tumbuh 4,04 persen.

    Sumber : Antara

  • Pertumbuhan Ekonomi Versi BPS Diragukan Publik, Loyalis Jokowi Sentil Pihak Kontra

    Pertumbuhan Ekonomi Versi BPS Diragukan Publik, Loyalis Jokowi Sentil Pihak Kontra

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi di angka 5,12 persen pada kuartal dua 2025 menuai sorotan publik. Tak sedikit yang meragukan hasil rilis BPS tersebut.

    Namun, Loyalis Jokowi, Dede Budhyarto memberikan pembelaan. Dia menyatakan BPS memiliki metodologi, legalitas dan transparansi.

    “BPS punya metodologi, punya legalitas, & transparan,” kata Kang Dede sapaannya dikutip akun X pribadinya, Rabu, (6/8/2025).

    Dia menyentil pihak yang meragukan angka pertumbuhan ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tersebut.

    “Yang meragukan biasanya ndak baca dokumen teknis, Ndak ngerti statistik, atau… punya agenda politik,” sindir Komisaris PT Pelni itu.

    Dilansir BPS, Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2025 mencapai Rp5.947,0 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp3.396,3 triliun.

    Ekonomi Indonesia triwulan II-2025 terhadap triwulan I-2025 mengalami pertumbuhan sebesar 4,04 persen (q-to-q). Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, danPerikanan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 13,53 persen.

    Dari sisi pengeluaran,Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (PK-P) mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 21,05 persen.

    Ekonomi Indonesia triwulan II-2025 terhadap triwulan II-2024 mengalami pertumbuhan sebesar 5,12 persen (y-on-y). Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Jasa Lainnya mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 11,31 persen.

    Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 10,67 persen.

  • Apindo Beberkan 4 Jurus Jaga Pertumbuhan Ekonomi RI

    Apindo Beberkan 4 Jurus Jaga Pertumbuhan Ekonomi RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha menyebut pemerintah perlu memperkuat daya beli hingga menggelontorkan insentif untuk menjaga pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan setidaknya ada empat masukan agar pertumbuhan ekonomi bisa bertahan sampai akhir tahun untuk jangka pendek, sekaligus hingga 2029 untuk jangka menengah. Pertama, kata Ajib, pemerintah perlu memperkuat daya beli masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja.

    “Seluruh kebijakan lembaga dan kementerian, harus mempunyai orientasi dan output dalam penyerapan tenaga kerja,” kata Ajib dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (6/8/2025).

    Kedua, pemerintah harus mendorong insentif fiskal maupun moneter yang tepat sasaran, serta mendorong ekonomi biaya rendah atau low cost economy.

    Ajib menyebut, percepatan restitusi, Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), dan relaksasi pajak untuk UMKM menjadi bagian kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan ekonomi negara.

    Selain itu, sambung dia, dunia usaha juga menyarankan agar tingkat suku bunga kredit menjadi lebih murah yang utamanya untuk sektor padat karya, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

    Ketiga, lanjut Ajib, pemerintah perlu mendorong perampingan peraturan atau deregulasi. Terlebih, dia menjelaskan percepatan layanan, kemudahan koordinasi, dan penyederhaaan perizinan merupakan bagian dari deregulasi.

    “Apindo mendukung pembentukan Kelompok Kerja [Pokja] Deregulasi dari Kemenko Perekonomian, bagian dari kolaborasi dunia usaha dan pemerintah dalam mendukung perekonomian yang lebih baik,” ujarnya.

    Keempat, Apindo menilai pemerintah perlu mendorong lebih banyak investasi yang masuk ke dalam negeri. Terlebih, sambung dia, rasio investasi penanaman modal asing (PMA) masih rendah hingga potensi PMA masih bisa ditingkatkan.

    “Dengan catatan, pemerintah harus fokus dengan upaya  mendorong ease to doing business atau kemudahan dalam berusaha. Indonesia masih di peringkat 73 dari 190 negara. Idealnya Indonesia bisa di peringkat 40,” ujarnya.

    Menurutnya, momentum ratifikasi perjanjian kerjasama ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa atau Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA) menjadi angin segar menuju perjanjian perdagangan bebas dan membuka pintu investasi dari Uni Eropa ke Indonesia.

    Lebih lanjut, Ajib menambahkan pemerintah harus menggandeng dunia usaha agar mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dan eskalatif ke depannya. “Kolaborasi inilah yang terus didorong melalui Indonesia Incorporate,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua atau kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan (year on year/YoY) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

    Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud menuturkan produk domestik bruto atau PDB Indonesia atas dasar harga berlaku pada kuartal II/2025 mencapai Rp5.947 triliun. Lalu, PDB atas harga konstan mencapai Rp3.396,3 triliun.

    “Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2/2025 bila dibandingkan dengan triwulan II/2024 atau secara YoY tumbuh sebesar 5,12%,” kata Edy di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

  • Indef: Investor Belum Pede Investasi meski Data Ekonomi Tumbuh Tinggi

    Indef: Investor Belum Pede Investasi meski Data Ekonomi Tumbuh Tinggi

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai bahwa investor belum menunjukkan kepercayaan diri penuh untuk menggenjot investasi di Indonesia meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melampaui konsensus proyeksi, yakni mencapai 5,12% pada kuartal II/2025.

    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menjelaskan bahwa respons pasar bisa menjadi cerminan bagaimana investor menyikapi data pertumbuhan ekonomi.

    Pada hari pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025, Selasa (5/6/2025), IHSG ditutup menguat ke level 7.515,18 atau 0,68%. Namun, pada Rabu (6/8/2025) kembali melemah ke level 7.503,75 atau turun 0,15%.

    “Kalau dalam jangka pendek, kita sebenarnya bisa melihat kemarin IHSG masih relatif hijau, rupiah juga menguat, menggambarkan masih ada kepercayaan pasar. Namun, masalahnya, angka yang dirilis oleh BPS itu melawan puluhan leading indicator [indikator ekonomi], sehingga jika data-data ini tidak terefleksikan di real economy, investor jadi akan mencermati lagi perkembangannya,” ujar Eko kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025).

    Menurut Eko, Agustus ini akan menjadi bulan penting bagi investor untuk mencermati bagaimana perbandingan data ekonomi per Juni 2025 dengan kondisi riil, seperti peningkatan kredit dan Purchasing Manager’s Index atau PMI Manufaktur. Investor juga akan mencermati indikator yang bersifat bulanan seperti Mandiri Spending Index.

    “Jika memang tidak menunjukkan peningkatan [seperti yang tergambar dalam ekonomi kuartal II/2025], respons paling cepat nanti di pasar itu, di IHSG dan nilai tukar rupiah,” ujarnya.

    Eko menilai bahwa pihak-pihak yang mengantongi dana jumbo, seperti industri asuransi dan investor asing, masih akan menunggu alias wait and see untuk melakukan investasi. Data ekonomi kuartal II/2025 yang tumbuh tinggi 5,12% tidak akan serta merta menarik investasi.

    Industri asuransi maupun investor asing, menurutnya, akan membandingkan data primer dan sekunder. Data primer yang dia maksud adalah informasi produk domestik bruto (PDB) dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan informasi sekundernya adalah data pembanding dari berbagai indikator ekonomi.

    “Ketika data-data itu tidak match, dalam jangka menengah mereka akan wait and see. Artinya, misalkan 6 bulan ke depan, dunia usaha belum tentu akan ekspansi, investor juga harus diyakinkan dulu,” ujarnya.

    Berikut daftar 12 indikator utama yang menurut Indef tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025:

    Penjualan mobil dan motor turun: indikator langsung konsumsi masyarakat menengah-atas menurun
    PMI Manufaktur dalam fase kontraksi: industri lesu, permintaan domestik dan ekspor lemah
    Konsumsi rumah tangga turun: padahal konsumsi menyumbang >50% PDB, sinyal pelemahan ekonomi
    Penurunan investasi asing (foreign direct investment): menandakan kepercayaan investor melemah, berdampak ke investasi riil
    Inflasi naik pada Juli 2025: menggerus daya beli, menaikkan angka pengangguran terselubung
    Peningkatan PHK: memperburuk daya beli, menaikkan angka pengangguran terselubung
    Kredit perbankan melemah: mengindikasikan kehati-hatian pelaku usaha dan rumah tangga
    Indeks kepercayaan konsumen menurun: ekspektasi masa depan negatif
    Warga pesimistis terhadap penghasilan: mendukung hipotesis konsumsi lemah dan peningkatan ketimpangan
    Tekanan eksternal meningkat: adanya tarif Trump menekan pertumbuhan ekonomi global. Ekspor turun, suku bunga global tinggi, ketidakpastian geopolitik—memperburuk situasi perdagangan dan investasi
    Pasar keuangan Indonesia tidak terlalu menarik lagi: Capital outflow pasar saham Rp59 triliun, SRBI Rp77,4 triliun, nett buy SBN Rp59 triliun
    Penerimaan pajak turun: PPN dan PPnBM turun pada semester I/2025 sekitar 19,7%, pajak yang lemah tetapi PDB tumbuh tinggi membuat rasio pajak (tax ratio) akan turun.

  • Pemerintah Siap Gelontorkan Stimulus Rp 10,8 Triliun – Page 3

    Pemerintah Siap Gelontorkan Stimulus Rp 10,8 Triliun – Page 3

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada triwulan ke-II 2025 sebesar 5,12 persen (year on year). Angka ini menandai keberhasilan pemerintah menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global yang penuh tantangan.

    Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Selain itu, sektor usaha yang mencatat kinerja ekspansif meliputi manufaktur, perdagangan, transportasi, serta akomodasi dan makanan-minuman.

    “Dukungan utama adalah dari konsumsi dan aktivitas investasi serta ekspor. Aktivitas dunia usaha ekspansif terutama di sektor manufaktur, kemudian perdagangan, transport, dan akomodasi makan serta minum,” ujarnya.