Topik: Produk Domestik Bruto

  • Kemenkeu Bongkar Rasio Pajak Indonesia, Sebenarnya Capai Segini – Page 3

    Kemenkeu Bongkar Rasio Pajak Indonesia, Sebenarnya Capai Segini – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia yang selama ini dilaporkan sekitar 10,2% sebenarnya belum mencerminkan keseluruhan kapasitas penerimaan negara.

    Ia menilai, definisi yang digunakan pemerintah cenderung sempit, hanya menghitung penerimaan pajak dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ditambah penerimaan yang bukan cukai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dibagi dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

    Menurut Yon, perhitungan ini berbeda dengan standar OECD yang memasukkan seluruh beban pajak masyarakat ke dalam tax ratio, termasuk pungutan yang tidak memiliki pengembalian langsung.

    “Kalau dalam OECD report, seperti PNBP SDA itu juga termasuk dalam kategori perpajakan sebenarnya. Kalau kita namainya misalnya PNBP padahal dia ada pajak karakteristiknya,” kata Yonn dalam diskusi bersama Celios, di kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

    Dengan kata lain, banyak komponen penerimaan negara di Indonesia yang sebenarnya memiliki sifat pajak, namun belum dihitung dalam tax ratio resmi.

    Contohnya adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA) dan pajak daerah, yang secara karakteristik di luar negeri dianggap sebagai bagian dari pajak. Di Indonesia, PNBP justru ditempatkan di luar kategori pajak sehingga tidak ikut meningkatkan rasio pajak.

    “Sebenarnya, tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatifly sekitar 13-13,5 persen. Rata-rata setiap tahun, antaranya 12-13 persen,” ujarnya.

     

     

  • Kurva Terbalik Efisiensi Anggaran, Defisit APBN Justru Membengkak

    Kurva Terbalik Efisiensi Anggaran, Defisit APBN Justru Membengkak

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara agresif melakukan efisiensi belanja untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Ironisnya, aksi gencar efisiensi belanja itu dilakukan ketika outlook defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 terkerek naik dari 2,53% menjadi 2,78% dari produk domestik bruto (PDB).

    Pelebaran ruang fiskal di tengah beban anggaran yang cukup besar dan penerimaan pajak yang terkontraksi hingga 7% pada semester 1/2025, tentu berisiko. Outlook defisit anggaran yang mencapai 2,78% dari PDB juga tercatat tertinggi dalam tiga tahun terakhir.

    Risiko lainnya, pemerintah harus menambah utang yang diperkirakan mencapai Rp772,9 triliun sampai akhir tahun. Meski lebih rendah dari target senilai Rp775,9 triliun, outlook utang pemerintah 2025 diperkirakan mengerek rasio utang terhadap PDB hingga 41,6%. Alhasil, sebagai jalan pintas, pemerintah kemudian menggunakan sisa anggaran lebih alias SAL tahun 2024 senilai Rp85,6 triliun untuk meminimalkan risiko fiskal akibat pembengkakan utang dan menjaga defisit di bawah 3% dari PDB.

    Di sisi lain, melalui implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 yang mengatur efisiensi belanja, pemerintah sejatinya telah memberikan sinyal bahwa efisiensi anggaran kemungkinan terjadi lebih radikal atau sebaliknya, karena dalam Pasal 4 ayat 6 PMK tersebut, pelaksanaan efisiensi akan memperhitungkan penerimaan pajak secara keseluruhan.

    “PMK ini menegaskan bahwa pelaksanaan kebijakan efisiensi harus mempertimbangkan pencapaian target penerimaan perpajakan secara keseluruhan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro kepada Bisnis belum lama ini.

    Aturan PMK Efisiensi

    Sekadar informasi bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN.

    Lewat aturan tersebut, Kemenkeu menekankan bahwa efisiensi belanja dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. Cakupan anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan item belanja kena efisiensi dari 16 menjadi 15 pos dibandingkan yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan. Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

    Meski demikian, aturan baru tersebut juga tidak menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, aturan itu memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian atau lembaga. 

    Catatan Ekonom Soal Efisiensi

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede memberikan empat poin catatan bagi pemerintah untuk melaksanakan efisiensi belanja ke depannya. Pertama, penerapan efisiensi jangan diberlakukan secara keseluruhan di seluruh pos anggaran atau across-the-board. 

    Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 yang menjadi acuan efisiensi belanja pemerintah pada awal tahun ini memasukkan pembangunan infrastruktur dan pengadaan peralatan/mesin ke dalam area identifikasi. “Sehingga ada risiko salah sasaran bila pemangkasan tak berbasis output,” jelas Josua.

    Kedua, percepatan realokasi dan lelang agar pergeseran ke belanja modal atau capital expenditure (capex) tidak menimbulkan pengeluaran yang rendah (low disbursement) di paruh kedua. Josua mewanti-wanti pemerintah agar menggunakan mekanisme ‘blokir-buka’ anggaran yang  yang cepat, bukan penahanan berkepanjangan. 

    Ilustrasi pembangunan

    Ketiga, layanan dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta proyek yang didanai skema khusus seperti pinjaman/hibah/BLU/SBSN sesuai koridor Inpres/PMK. Keempat, penguatan terhadap reviu belanja secara kuartalan berbasis kinerja. Hal itu termasuk koordinasi dengan daerah saat penyesuaian transfer ke daerah (TKD). 

    “Agar efisiensi benar-benar menekan biaya input seremonial/operasional, bukan mengorbankan output pelayanan publik atau serapan capex yang menopang investasi,” ujar Josua.

    Menurut pengamatan Josua, arah kebijakan efisiensi yang diatur pada PMK No.56/2025 dalam melanjutkan mandat Inpres No.1/2025 itu relatif tepat sasaran. Sebab, PMK yang baru diterbitkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhir Juli lalu itu secara eksplisit menyasar pos-pos dengan efek berganda atau multiplier effect rendah di belanja barang/jasa dan sebagian belanja modal (perjalanan dinas, rapat/semiloka, sewa, jasa profesional, iklan/publikasi, pengadaan kendaraan, percetakan/souvenir, dan lain-lain).

    Penerimaan Pajak Jadi Kunci

    Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa defisit anggaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tahun depan, pemerintah akan melanjutkan sejumlah program unggulan atau prioritas yang mulai dijalankan tahun ini.

    Program tersebut menurutnya juga akan mengalami penyesuaian target penerima, yang berpotensi bertambah. Peningkatan jumlah penerima ini akan mendorong kebutuhan anggaran lebih besar untuk belanja prioritas.

    Di sisi lain, tantangan pada pos penerimaan pajak diperkirakan masih akan berlanjut tahun depan. Indikator tax buoyancy yang rendah menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB belum mampu secara signifikan meningkatkan penerimaan pajak. Kondisi ini dipengaruhi antara lain oleh tingginya tingkat informalitas di sektor usaha serta kebutuhan pemberian insentif pajak.

    Terkait efisiensi, pemerintah akan mengarahkannya pada pos-pos yang tidak berhubungan langsung dengan program prioritas, seperti perjalanan dinas, rapat, seminar, dan belanja barang.

    “Namun, porsi pos-pos ini relatif kecil terhadap total anggaran, sehingga dampak efisiensinya terhadap penurunan belanja secara keseluruhan tidak signifikan. Hal ini karena belanja terbesar tetap dialokasikan untuk program-program utama yang tidak termasuk dalam kebijakan efisiensi.”

  • Tensi Dagang Mereda, Singapura Kerek Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi

    Tensi Dagang Mereda, Singapura Kerek Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Singapura menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini setelah mencatat kinerja yang lebih baik dari perkiraan pada paruh pertama 2025.

    Kenaikan proyeksi itu didorong oleh percepatan pengiriman barang sebelum penerapan tarif Amerika Serikat (AS) dan meredanya ketegangan perdagangan.

    Melansir Bloomberg pada Selasa (12/8/2025) Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI) menyampaikan ekonomi diperkirakan tumbuh 1,5%–2,5% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya 0%–2% yang berlaku sejak Mei.

    “Prospek ekonomi Singapura untuk sisa tahun ini masih dibayangi ketidakpastian,” ujar Sekretaris Permanen MTI Beh Swan Gin, sembari menambahkan bahwa terlalu dini untuk berspekulasi terkait kemungkinan resesi teknikal tahun ini.

    Dolar Singapura menguat tipis 0,1% terhadap dolar AS ke level 1,2865, nyaris tanpa reaksi signifikan terhadap revisi naik proyeksi pertumbuhan tersebut.

    Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura tumbuh 4,4% pada kuartal II/2025, sedikit di atas estimasi awal pemerintah 4,3% dan sejalan dengan proyeksi median ekonom dalam survei Bloomberg. Secara musiman, ekonomi tumbuh 1,4% dibandingkan kuartal I/2025, sesuai estimasi awal.

    Pertumbuhan ini membantu Singapura menghindari resesi teknikal pada kuartal II, dengan pelaku usaha mempercepat pengiriman sebelum tarif baru Presiden AS Donald Trump berlaku bulan ini. Aksi tersebut mendongkrak kinerja sektor manufaktur, ekspor, dan jasa.

    Pada April lalu, pemerintah memangkas proyeksi pertumbuhan PDB 2025 sebesar satu poin persentase dari estimasi awal 1%–3% akibat potensi dampak tarif AS yang lebih tinggi.

    Kinerja awal yang solid juga membuat Otoritas Moneter Singapura (MAS) mempertahankan kebijakan moneternya pada pertemuan Juli, setelah melakukan pelonggaran pada Januari dan April. MAS menyatakan kebijakan saat ini masih sesuai dan siap merespons risiko yang muncul.

    Meski Singapura hanya menghadapi tarif resiprokal sebesar 10% — lebih rendah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya — risiko tetap tinggi jika AS menaikkan tarif sektoral pada ekspor kunci seperti semikonduktor dan farmasi. Dampak lanjutan juga dapat muncul jika negara lain mengurangi impor karena penurunan penjualan mereka ke AS.

    MTI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada semester II/2025 akan melambat dibandingkan semester I. Sektor manufaktur diperkirakan melemah akibat berkurangnya permintaan di pasar lain, perdagangan grosir akan tertekan seiring meredanya percepatan pengiriman.

    Sementara itu, permintaan lebih rendah pada jasa pengiriman laut maupun udara dapat menekan sektor transportasi dan pergudangan.

    MTI menegaskan akan terus memantau perkembangan global dan domestik serta melakukan penyesuaian proyeksi jika diperlukan sepanjang tahun ini.

    MAS, yang mengelola kebijakan moneter dengan mengizinkan pergerakan mata uang dalam rentang tertentu, dijadwalkan mengumumkan keputusan berikutnya pada 14 Oktober. 

    Sepanjang 2025, dolar Singapura telah menguat lebih dari 6% terhadap dolar AS, sementara indeks acuan Straits Times menguat hampir 12%.

  • Setumpuk PR Dirjen Pajak Baru Kejar Kekurangan Target Pajak Rp1.245,5 Triliun

    Setumpuk PR Dirjen Pajak Baru Kejar Kekurangan Target Pajak Rp1.245,5 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja penerimaan pajak yang masih belum sesuai ekspektasi menjadi pekerjaan utama Direktur Jenderal alias Dirjen Pajak Baru, Bimo Wijayanto. Apalagi realisasi penerimaan pajak pada semester 1/2025 lalu mencapai Rp831,27 triliun atau kurang dari Rp1.2456,3 triliun dari outlook yang tercatat sebesar Rp2.076,9 triliun. 

    Tidak tercapainya penerimaan pajak akan berimbas ke kinerja APBN secara keseluruhan, termasuk kemungkinan pelebaran defisit yang tahun ini memang sudah di-setting melebar ke angka 2,78%. 

    Namun demikian, untuk memenuhi kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp1.245,63 triliun, bukan pekerjaan mudah. Tingginya restitusi telah memicu kontraksi penerimaan di jenis-jenis utama penerimaan pajak seperti PPN dan PPh.

    Sekadar ilustrasi, kalau merujuk kepada data Kementerian Keuangan, angka restitusi itu bisa ditelusuri melalui besaran jumlah pajak bruto dan pajak neto. Penerimaan PPN Bruto pada semester 1/2025 tercatat sebesar Rp443,93 triliun, sementara itu neto Rp267,27 triliun. Artinya jika selisih antara PPN bruto dan neto itu dianggap sebagai restitusi, maka nilainya akan mencapai Rp176,6 triliun. 

    Selain itu, ada kecenderungan ketidakelastisan antara penerimaan pajak dengan sektor-sektor produk domestik bruto (PDB). Sebagai contoh, pemerintah mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

    Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

    Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Rosmauli menekankan bahwa linerja penerimaan pajak tidak semata-mata dipengaruhi oleh konsumsi dan sektor manufaktur, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain secara keseluruhan. Meski demikian, Rosmauli mengakui bahwa penerimaan pajak tahun ini menghadapi banyak tantangan.

    “Saat ini, pengumpulan penerimaan pajak menghadapi sejumlah tantangan, antara lain penurunan harga komoditas yang disebabkan oleh gejolak perekonomian global dan ketidakstabilan geopolitik yang terjadi di sejumlah negara,” ujar Rosmauli kepada Bisnis, dikutip Senin (11/8/2025). 

    Rasio Pajak Stagnan, Rasio Utang Melonjak

    Realisasi penerimaan pajak semester 1/2025 tercatat di angka Rp831,3 triliun atau terkontraksi sebesar 7% dari realisasi semester 1/2024 yang tembus di angka Rp893,8 triliun. 

    Tren pelemahan dari sisi penerimaan pajak ini berisiko bagi stabilitas pengelolaan anggaran. Apalagi, pemerintah juga harus menghadapi potensi lonjakan utang untuk menutup celah fiskal yang ditimbulkan akibat shortfall penerimaan pajak.

    Dalam catatan Bisnis, pada tahun 2024 lalu total outstanding utang pemerintah mencapai Rp8.909,13 triliun atau 39,6% dari produk domestik bruto (PDB). Artinya jika mengacu data realisasi pembiayaan utang semester 1/2025, total utang pemerintah pusat telah menembus angka Rp9.224,5 triliun.

    Sementara itu, jika dihitung menggunakan outlook APBN 2025 yang mencapai Rp772,9 triliun, posisi utang pemerintah pusat (SBN dan pinjaman) kemungkinan menembus Rp9.682 triliun atau tumbuh 8,67% year on year (yoy). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2025 di angka 5% atau sekitar Rp23.245,9 triliun, maka proyeksi rasio utang terhadap PDB pada 2025 berada di angka 41,6%. 

    Perbandingan Rasio Pajak Vs Rasio Utang

    Angka 41,6% menjadi yang tertinggi selama 9 tahun terakhir. Proyeksi ini bahkan melampaui realisasi rasio utang pada masa pandemi Covid-19 (2020-2021) yang bila berdasarkan data Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024 berada di angka 39,4% – 41,1%.

    Persoalannya, tren lonjakan rasio utang yang nyaris mencetak rekor selama 9 tahun terakhir berbanding terbalik dengan kinerja rasio pajak yang justru stagnan bahkan cenderung menurun.

    Tahun ini, misalnya, pemerintah telah menetapkan bahwa outlook penerimaan pajak sebesar Rp2.076,9 triliun. Artinya dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5%, maka rasio pajak pada tahun 2025 kemungkinan akan berada di angka 8,9%.

    Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa rasio pajak, khususnya penerimaan pajak pusat yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, tidak pernah melonjak signifikan. Angka rasio pajak selalu terjebak di kisaran 8% selama 9 tahun terakhir. Angka pastinya di 7,5% – 8,9%. 

  • Jepang Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2025 Hampir Separuh

    Jepang Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2025 Hampir Separuh

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Jepang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 hampir separuh dari 1,2% menjadi 0,7% pada akhir tahun fiskal nanti. Sinyal suramnya pertumbuhan seiring dengan tekanan tarif Amerika Serikat (AS) yang memperlambat belanja modal serta inflasi. Keadaan yang menekan konsumsi rumah tangga serta mengancam pemulihan ekonomi

    Melansir Reuters pada Minggu (10/8/2025), dalam estimasi revisi yang disampaikan pada pertemuan Dewan Ekonomi tertinggi Jepang, pemerintah menurunkan proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil untuk tahun fiskal 2025 yang berakhir Maret 2026 menjadi 0,7%.

    Meski masih di atas perkiraan sektor swasta sebesar 0,5%, proyeksi terbaru ini mencerminkan kekhawatiran bahwa tarif AS akan membuat perusahaan Jepang lebih berhati-hati dalam belanja modal dan menekan ekspor, dua pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara Matahari Terbit itu.

    Outlook konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari separuh perekonomian Jepang, juga direvisi turun seiring inflasi yang terus menggerus daya beli.

    Anggota sektor swasta dalam dewan tersebut memperingatkan inflasi berpotensi semakin melemahkan belanja konsumen jika kecepatannya meningkat.

    “Bank of Japan harus menjalankan mandat stabilitas harga dan secara berkelanjutan mencapai target inflasi 2%,” ujarnya.

    Kemudian, untuk tahun fiskal 2026 yang dimulai pada April 2026, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan sedikit meningkat menjadi 0,9%, dengan keyakinan bahwa perekonomian akan tetap bertumpu pada pemulihan permintaan domestik seiring prediksi pertumbuhan upah melampaui inflasi dan mendorong konsumsi rumah tangga.

    Pemerintah mempertahankan proyeksi pencapaian surplus anggaran primer pada 2026 untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, bahkan memperkirakan surplus lebih besar senilai 3,6 triliun yen (US$24,39 miliar) berkat kenaikan penerimaan pajak.

    Saldo anggaran primer, yang tidak memasukkan penjualan obligasi baru dan biaya layanan utang, menjadi indikator utama sejauh mana kebijakan dapat dibiayai tanpa menambah utang.

    Namun, proyeksi positif tersebut belum memasukkan potensi pemotongan pajak dan pemberian bantuan tunai yang tengah dipertimbangkan pemerintah, di tengah meningkatnya tekanan dari oposisi untuk memperluas belanja guna meredam lonjakan biaya hidup.

    Posisi politik Perdana Menteri Shigeru Ishiba semakin melemah setelah koalisinya mengalami kekalahan telak dalam pemilu majelis tinggi bulan ini, menyusul kehilangan mayoritas di majelis rendah pada Oktober tahun lalu.

  • BI Jakarta Buka Suara soal Viral Fenomena Rojali & Rohana

    BI Jakarta Buka Suara soal Viral Fenomena Rojali & Rohana

    Bisnis.com, JAKARTA – Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jakarta buka suara soal ramainya fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana). Istilah tersebut kerap kali dikaitkan dengan turunnya daya beli masyarakat. Namun, benarkah demikian? 

    Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) DKI Jakarta Iwan Setiawan tak menampik bahwa fenomena ‘Rojali & Rohana’ memang ramai di jagad media sosial.

    Meski demikian, dia mengatakan khusus di Jakarta, fenomena tersebut tidak berdampak besar terhadap ekonomi secara keseluruhan karena daya beli masyarakat Jakarta yang resilien.

    “Dari sisi purchasing power, Jakarta punya daya tahan atau resiliensi, masih cukup kuat,” katanya saat ditemui di Jakarta, Jumat (8/8/2025). 

    Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta merilis perekonomian Jakarta tumbuh sebesar 5,18% pada kuartal II/2025 (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,12%.

    DKI Jakarta juga tercatat menjadi penyumbang tertinggi struktur perekonomian nasional pada kuartal II/2025, yakni sebesar 16,61%.

    Sementara itu, dia mengatakan sektor konsumsi rumah tangga Jakarta tetap tumbuh cukup tinggi Kuartal II/2025.

    Menurut Iwan, konsumsi rumah tangga Jakarta tumbuh kuat sebesar 5,13% (yoy), sedikit meskipun melambat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 5,36% yoy.

    “Konsumsi [rumah tangga Jakarta] masih di level lebih dari 5%, ini masih mendorong pertumbuhan karena pangsa konsumsi di Jakarta itu hampir 60%,” katanya.

    Sementara itu, dia mencatat konsumsi pemerintah pada kuartal II/2025 tumbuh 5,16% (yoy), melambat dari periode yang sama tahun lalu sebesar 9,22% (yoy), seiring normalisasi belanja pegawai dan belanja bansos setelah pada Triwulan I-2025.

    Di sisi lain, Iwan menuturkan hampir semua sektor utama lapangan usaha di Jakarta juga mencatatkan kinerja yang baik.

    Ekonomi Jakarta terutama ditopang oleh lapangan usaha perdagangan yang tumbuh 5,91% (yoy) lebih tinggi dari periode sebelumnya (4,35% yoy), didorong oleh meningkatnya aktivitas masyarakat terutama pada periode libur anak sekolah, cuti bersama dan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). 

    Lapangan usaha informasi dan komunikasi juga tumbuh tinggi sebesar 5,65% (yoy) yang didorong oleh tetap tingginya penggunaan data dan internet serta jumlah penonton bioskop pada periode libur anak sekolah.

    Sedangkan lapangan usaha konstruksi, lapangan usaha jasa perusahaan, lapangan usaha akomodasi dan makan minum serta lapangan usaha transportasi.

    Pergudangan juga masih tumbuh tinggi didukung oleh tingginya aktivitas dan permintaan masyarakat pada periode libur anak sekolah, cuti bersama serta berlangsungnya HBKN seperti Paskah, Waisak, IduIAdha dan Tahun Baru Islam.

    Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025

    Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua atau kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

    Moh. Edy Mahmud, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, menjelaskan bahwa produk domestik bruto atau PDB Indonesia atas dasar harga berlaku pada kuartal II/2025 mencapai Rp5.947 triliun. Lalu, PDB atas harga konstan mencapai Rp3.396,3 triliun.

    “Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2/2025 bila dibandingkan dengan triwulan 2/2024 atrau secara YoY tumbuh sebesar 5,12%,” ujar Moh. Edy Mahmud, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

    menjelaskan, kinerja perekonomian kuartal II/2025 masih ditopang oleh konsumsi masyarakat yang terjaga. Itu, jelasnya, terlihat dari indeks penjualan ritel (riil) dan impor barang konsumsi yang terus tumbuh secara tahunan.

    Kemudian, transaksi uang elektronik dari kartu debit dan kredit tumbuh 6,26%, sedangkan transaksi online atau elektronik tumbuh 7,55%.

    Edy juga memaparkan bahwa pertumbuhan itu turut ditopang oleh respons kebijakan pemerintah untuk mendukung aktivitas ekonomi masyarakat berupa stimulus ekonomi. Stimulus berupa diskon transportasi, bantuan sosial (bansos) serta bantuan subsidi upah (BSU) turut mendukung pertumbuhan.

    “Hasil dari respons kebijakan menopang triwulan II/2025, salah satunya kebijakan terkait dengan paket stimulus untuk menjaga daya beli berupa diskon transportasi, bansos, subsidi upah dan sebagainya,” ungkapnya pada konferensi pers di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

    Kemudian, Edy turut menyebut jumlah penumpang angkutan rel atau mobilitas masyarakat mendorong juga aktivitas ekonomi khususnya pada hari besar keagamaan serta libur sekolah.

    Kemudian, realisasi investasi dalam negeri dan asing yang tumbuh 11,5%, serta pada saat yang sama belanja barang modal oleh pemerintah turut mendorong capaian pertumbuhan tersebut.

    Adapun, kebijakan dari sisi moneter seperti keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan menjadi 5,05% turut dinilai sebagai salah satu faktor pendukung.

  • Ekonomi China Tertekan: Deflasi Produsen 34 Bulan Beruntun Buntut Perang Harga

    Ekonomi China Tertekan: Deflasi Produsen 34 Bulan Beruntun Buntut Perang Harga

    Bisnis.com, JAKARTA — Inflasi harga konsumen China pada Juli 2025 tercatat tidak berubah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, di tengah upaya pemerintah Negeri Panda untuk membatasi persaingan harga berlebihan yang dinilai memperlemah daya beli dan menekan laba industri.

    Dilansir dari Bloomberg, Sabtu (9/8/2025), Biro Statistik Nasional China melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) bulan lalu berada di level 0% secara tahunan (year on year/YoY). Realisasi itu lebih baik dibandingkan perkiraan konsensus ekonom Bloomberg yang memproyeksikan penurunan 0,1%.

    Sebagai perbandingan, pada Juni 2025, inflasi konsumen China berbalik positif setelah empat bulan berturut-turut mengalami kontraksi.

    Di sisi lain, tekanan deflasi di sektor manufaktur belum mereda. Indeks harga produsen (producer price index/PPI) pada Juli kembali turun 3,6% (yoy), sama dengan penurunan Juni yang menandai deflasi harga pabrik selama 34 bulan berturut-turut.

    Pemerintah China tengah menghadapi tantangan ganda—melemahnya permintaan domestik dan perang harga yang semakin intens di dalam negeri. Persaingan ketat, yang dipicu kelebihan kapasitas di sejumlah sektor industri, telah mendorong perusahaan untuk menurunkan harga demi mempertahankan pangsa pasar.

    Praktik ini dinilai menggerus keuntungan, menekan upah, dan memperlemah konsumsi rumah tangga. Kampanye pemerintah untuk membatasi persaingan harga berlebihan menjadi salah satu prioritas utama yang diputuskan dalam pertemuan Politburo Partai Komunis pada akhir Juli.

    Presiden Xi Jinping bahkan menyerukan untuk “memutus involusi,” istilah yang merujuk pada kondisi kompetisi intens akibat kapasitas berlebih yang memaksa pelaku usaha bekerja lebih keras meski hasilnya semakin kecil.

    Xi juga mempertanyakan perlunya pemerintah daerah berlomba masuk ke industri yang sama, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan kendaraan energi baru.

    Meski demikian, upaya pemerintah membatasi perang harga dinilai belum banyak mempengaruhi persepsi masyarakat. Indeks ekspektasi harga, berdasarkan survei bank sentral terhadap rumah tangga, terus menurun sejak akhir tahun lalu.

    Ukuran yang lebih luas dari tingkat harga di seluruh perekonomian, yaitu deflator produk domestik bruto (PDB), telah menyusut selama sembilan kuartal berturut-turut—periode terpanjang dalam beberapa dekade terakhir.

    Resiliensi permintaan luar negeri terhadap produk-produk China membantu perekonomian bertahan dari tekanan tarif impor Amerika Serikat (AS). Hanya saja, lemahnya daya beli domestik membuat perusahaan sulit mengalihkan kenaikan biaya produksi ke konsumen, sehingga laba industri terus tergerus.

    Persaingan ekspor yang ketat akibat kapasitas berlebih juga mendorong pelaku usaha menurunkan harga jual ke pasar luar negeri. Langkah ini memicu kritik tajam dari sejumlah mitra dagang dan meningkatkan potensi friksi perdagangan.

    Ekonom Bloomberg Eric Zhu menilai bahwa meski kampanye pembatasan kompetisi sudah berjalan, perekonomian China masih membutuhkan waktu panjang untuk keluar dari tekanan deflasi. 

    “Para pembuat kebijakan menyadari bahwa mengatasi persaingan yang tidak teratur merupakan kunci untuk menangani akar permasalahan deflasi — dan langkah-langkah lanjutan kemungkinan akan menyusul,” tulis Eric Zhu dalam laporannya.

  • Giliran Paramadina Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12% dari BPS

    Giliran Paramadina Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12% dari BPS

    Bisnis.com, JAKARTA — Universitas Paramadina mempertanyakan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY).

    Dalam keterangan resminya, Paramadina menilai data tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil perekonomian, di tengah lemahnya daya beli masyarakat, stagnasi konsumsi rumah tangga, pesimisme produsen, dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri.

    “Banyak kalangan tidak percaya, dan ini berpotensi bergulir menjadi bola liar yang merusak kredibilitas BPS,” tulis pernyataan Paramadina, Jumat (9/8/2025).

    Paramadina meminta BPS menjelaskan secara rinci metodologi dan asumsi perhitungan produk domestik bruto (PDB), termasuk sumber data, pembobotan sektor, serta metode estimasi. Lembaga itu juga mendesak adanya penjelasan atas kesenjangan antara data pertumbuhan ekonomi dengan indikator sektoral yang menunjukkan perlambatan.

    Selain itu, BPS diminta menegaskan komitmen menjaga independensi penuh dari intervensi pihak mana pun, agar data tetap menjadi cerminan realitas ekonomi dan bukan alat legitimasi politik.

    “Jika data yang dirilis tidak selaras dengan kenyataan di lapangan, kebijakan ekonomi nasional akan salah arah,” tulis Paramadina.

    Menurut mereka, revisi data merupakan hal wajar dan bagian dari proses akademis. Sebaliknya, menutup diri akan menjadikan statistik bergeser dari ranah akademik ke ranah politik, yang berisiko mengikis kredibilitas BPS.

    Paramadina juga mengajak ekonom, ilmuwan, dan akademisi untuk memantau kualitas data statistik nasional, mengingat hal tersebut menjadi pijakan penting menuju Indonesia maju dan sejahtera.

    Ikuti Celios hingga Indef

    Sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) turut menyatakan keraguan atas data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS. Bahkan, lembaga yang menaungi sejumlah ekonom seperti Bhima Yudhistira dan Nailul Huda itu menyurati Komisi Statistik PBB itu terkait dengan transparansi hingga independensi penghitungan data PDB oleh BPS untuk tiga bulan kedua 2025. 

    Berdasarkan dokumen yang dilihat Bisnis, surat tertanggal 8 Agustus 2025 itu ditujukan untuk Komisi Statistik PBB. Celios menyurati lembaga itu atas keprihatinan ihwal reliabilitas dan akurasi penghitungan pertumbuhan PDB Indonesia oleh BPS. 

    “Kami menulis surat ini untuk menyampaikan keprihatinan mendalam kami terkait meningkatnya jumlah inkonsistensi dan anomali yang ditemukan dalam data ekonomi nasional [PDB triwulan kedua 2025] yang baru-baru ini diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik [BPS],” demikian dikutip Bisnis, Jumat (8/8/2025). 

    Persoalan-persoalan ini, lanjut surat tersebut, khususnya berkaitan dengan penghitungan PDB, telah menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi, akurasi, dan independensi praktik statistik di Indonesia.

    Beberapa inkonsistensi pada data BPS itu, terang Celios, dinilai tidak merepresentasikan realitas ekonomi dalam negeri. Beberapa komponen utama PDB dinilai tidak terhubung dengan indikator utama, seperti pendapatan pemerintah, volatilitas data yang tidak dijelaskan serta kurangnya keterbukaan atas metodologi penghitungan. 

    Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga mempertanyakan data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025. 

    Ekonom senior dan salah satu pendiri Indef, M. Fadhil Hasan, menilai bahwa konsensus proyeksi para ekonom maupun lembaga biasanya mirip dengan realisasi ekonomi atau hanya memiliki selisih tipis. Namun, anomali terjadi pada kuartal II/2025, ketika para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 4,8% tetapi realisasinya ternyata mencapai 5,12%.

    “Menimbulkan pertanyaan apakah ada metodologi yang harusnya diperbaiki atau disempurnakan, ataukah ada basis datanya, atau sebab-sebab lainnya yang membuat kita belum mengetahuinya secara pasti?” ujar Fadhil dalam diskusi publik yang berlangsung di kantor Indef, Jakarta pada Rabu (6/8/2025).

    Indef pun menelisik sejumlah data yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), mulai dari konsumsi sebagai komponen utama produk domestik bruto (PDB), investasi, ekspor, maupun sektor atau lapangan usaha. Namun, Indef merasa belum terdapat kejelasan dari data yang ada.

    Menurut Fadhil, BPS patut menjelaskan mekanisme pengambilan maupun pengolahan data, karena menurutnya data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 tidak cukup mencerminkan kondisi riil di lapangan.

    Fadhil menjabarkan bahwa setidaknya terdapat 12 indikator utama perekonomian yang kurang sejalan dengan capaian tinggi ekonomi kuartal II/2025, mulai dari kinerja penjualan kendaraan bermotor, kinerja investasi, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Lemahnya penjualan mobil dan motor menurutnya mencerminkan konsumsi masyarakat kelas menengah-atas yang turun. Hal itu juga seolah mengafirmasi fenomena rojali, alias rombongan jarang beli yang belakangan menjadi perbincangan.

    Lalu, Fadhil juga menyoroti kondisi Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur yang masih kontraksi. Pada Juni 2025 atau akhir kuartal II/2025, PMI Manufaktur ada di level 49,60 alias masih kontraksi karena di bawah 50.

    Indikator lainnya adalah konsumsi rumah tangga yang masih lemah. Sebagai kontributor utama PDB, laju konsumsi rumah tangga masih lebih kecil dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

  • Mengenal Angkutan Udara Perintis, Jurus Tekan Biaya Logistik dan Disparitas Harga

    Mengenal Angkutan Udara Perintis, Jurus Tekan Biaya Logistik dan Disparitas Harga

    Bisnis.com, JAKARTA — Angkutan udara perintis menjadi salah satu solusi dalam menekan biaya logistik yang menjadi penyebab disparitas harga bahan pokok di sejumlah wilayah terpencil dan terluar Indonesia, khususnya daerah Papua.

    Angkutan udara perintis pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang (UU) No.1/2009 tentang Penerbangan.

    Mengacu Peraturan Menteri Perhubungan No. 8/2021 tentang Perhitungan dan Tata Cara Penetapan Tarif Penumpang Angkutan Udara Perintis, angkutan ini didefinisikan sebagai kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. 

    Adapun, program angkutan udara perintis bertujuan untuk pemerataan pembangunan, meningkatkan ekonomi, mempersempit kesenjangan, serta menurunkan disparitas harga. 

    Maklum, saat ini pun harga cabai rawit di wilayah Maluku dan Papua berkisar Rp99.000 hingga lebih dari Rp120.000 per kilogram. Berbeda dengan di wilayah Jawa yang harganya bahkan mencapai Rp30.000an per kilogram.

    Biasanya, angkutan udara perintis atau dikenal dengan jembatan udara (Jembara) mengangkut bahan pokok, bahan bakar minyak (BBM), LPG, hingga kebutuhan proyek seperti semen.

    Sementara tipe pesawat yang digunakan sebagai Jembara ini umumnya adalah Cessna dengan kapasitas penumpang yang terbatas.

    Direktur Navigasi Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) Kemenhub Syamsu Rizal menyampaikan bahwa sampai dengan semester I/2025, penyelenggaraan angkutan udara ini telah berdampak positif.

    Tercatat Jembara telah menghubungkan 164 bandar udara, 78 lapangan terbang, 27 provinsi, dan 121 kabupaten/kota. Alhasil, konektivitas berdampak positif, yakni terjadi penurunan disparitas harga bahan pokok di wilayah Papua secara signifikan.

    “Kalau tempat lain mungkin sudah sangat kompetitif [harganya] artinya logistik baik. Mungkin di daerah yang sifatnya remote, kita kerja sama dengan tol laut, nanti kita teruskan naik [pakai Jembara] misalnya di Papua,” ujar Rizal beberapa waktu lalu.

    Rizal menunjukkan bahwa harga cabai di Kab. Nduga, Papua Pegunungan berhasil turun hingga 45% bila pengangkutannya menggunakan Jembara ke level Rp110.000/kg. Berbeda dengan non Jembara yang harganya mencapai Rp200.000/kg.

    Begitu pula dengan Kab. Malinau, angkutan udara perintis mampu menurunkan harga telur ayam ras dari Rp160.000/kg menjadi Rp64.000/kg. Sementara harga air mineral di Kab. Pegunungan Bintang turun 62,50% dari sebelumnya Rp320.000/karton menjadi Rp120.000/karton.

    Saat ini, terdapat 22 koordinator wilayah (Korwil) dengan rute penumpang perintis sebanyak 266 dan rute kargo perintis sebanyak 46 rute serta 1 rute subsidi angkutan udara kargo.

    Tekan Biaya Logistik

    Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkuat integrasi antarmoda transportasi laut dan udara melalui angkutan perintis untuk menekan biaya logistik.

    Rizal menyampaikan bahwa integrasi transportasi dapat mendukung efisiensi logistik. Efisiensi ini akan berdampak pada penurunan biaya logistik dan pada akhirnya menurunkan disparitas harga di berbagai wilayah Indonesia.

    “Target kita adalah menurunkan biaya logistik hingga mencapai 12,5% dari Produk Domestik Bruto [PDB],” katanya. 

    Dia menuturkan pada 2022, biaya logistik masih 14,29% dari PDB. Pada tahun ini menjadi 13,52% dari PDB, dan targetnya menjadi 12,5% dari PDB pada 2029. 

    Ditjen Perhubungan Udara mencatat hingga kini, angkutan udara perintis telah menghubungkan 164 bandara, 78 lapangan terbang, 27 provinsi, dan 121 kabupaten/kota.

    Sejak 2011 hingga Juni 2025, angkutan udara perintis telah mengangkut 3.236.977 penumpang. Sementara, sejak 2018 hingga Juni 2025, angkutan udara perintis telah mengangkut 36.262 ton kargo.

  • Menlu Sugiono: Asean Harus  Bersatu Hadapi Fragmentasi Ekonomi Global

    Menlu Sugiono: Asean Harus Bersatu Hadapi Fragmentasi Ekonomi Global

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Luar Negeri RI Sugiono menekankan pentingnya integrasi kawasan Asia Tenggara dalam menghadapi volatilitas global.

    Sugiono menjelaskan, Asean merupakan pusat integrasi kawasan, rantai pasok, dan dialog, sekaligus menjadi kekuatan penstabil di kawasan Pasifik yang semakin sarat persaingan. 

    Dia memaparkan, dengan populasi lebih dari 675 juta jiwa dan Produk Domestik Bruto (PDB) gabungan hampir US$4 triliun, Asean menempati posisi sebagai ekonomi terbesar kelima di dunia. 

    Meski demikian, dia juga menegaskan pentingnya persatuan antara negara-negara kawasan. Apalagi, Asean tengah menghadapi ketidakpastian yang semakin tinggi, fragmentasi ekonomi global, serta melemahnya hukum internasional. 

    “Ukuran saja tidak berarti banyak jika Asean tidak bersatu dan berpikir strategis. Untuk menghadapi ketidakpastian itu, Asean harus memperkuat tekad agar tetap netral dan kredibel, bukan tersisih atau terpecah-belah,” jelasnya saat memberikan sambutan dalam Peringatan HUT Asean atau Asean Day ke-58 di Sekretariat Asean, Jakarta pada Jumat (8/8/2025).

    Dia melanjutkan, tahun ini, Asean akan mulai mengimplementasikan Visi 2045 yang telah disepakati dalam KTT Asean di Malaysia pada Mei 2025 lalu. Sugiono menuturkan, visi tersebut harus dapat diwujudkan melalui langkah-langkah nyata, bukan hanya sekadar menjadi aspirasi.

    Oleh karena itu, dia menyerukan seluruh negara anggota Asean, dan pemangku kepentingan terkait untuk konsisten menjalankan visi yang telah disepakati dengan komitmen penuh dan kemauan politik yang kuat. 

    “Jika Asean ingin tetap relevan, kita harus berinvestasi pada kapasitas kelembagaan untuk merespons krisis, memperkuat kerja sama ekonomi regional, mendorong transformasi digital, serta menangani ancaman lintas negara seperti perdagangan manusia, perubahan iklim, dan aksi kolektif,” kata Sugiono.

    Hal serupa juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Asean Kao Kim Hourn. Menurutnya, Asean lebih dari sekadar organisasi kawasan dan merupakan keluarga bangsa yang terikat oleh kepercayaan dan visi bersama untuk masa depan yang lebih baik. 

    “Kita tidak boleh menganggap remeh nilai-nilai yang telah mempersatukan kita selama hampir enam dekade. Kekuatan terbesar Asean bukan terletak pada kelembagaannya, melainkan pada komitmen yang tak tergoyahkan terhadap perdamaian, kerja sama, dan persatuan dalam keberagaman,” kata Kao.

    Kao melanjutkan, di tengah ketidakpastian, Asean harus tetap menjadi kekuatan yang stabil dan menenangkan, menyediakan ruang untuk dialog yang jujur, kerja sama praktis, dan berprinsip netral.

    Dia menuturkan, nilai-nilai tersebut membuat Asean mampu menjembatani konflik dan menemukan solusi optimal bahkan di tengah ketegangan di sekitar kawasan.