Topik: Produk Domestik Bruto

  • Ekonom: Menkeu diganti berpotensi geser pendekatan fiskal pemerintah

    Ekonom: Menkeu diganti berpotensi geser pendekatan fiskal pemerintah

    Pergantian menkeu dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa dalam reshuffle Kabinet Merah Putih menandai potensi pergeseran pendekatan fiskal pemerintah.

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pergantian menteri keuangan (Menkeu) dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa berpotensi geser pendekatan fiskal pemerintah.

    “Pergantian menteri keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa dalam reshuffle Kabinet Merah Putih menandai potensi pergeseran pendekatan fiskal pemerintah,” kata Yusuf Rendy, di Jakarta, Selasa.

    Selama ini, ujarnya pula, Sri Mulyani dikenal dengan kebijakan pengelolaan defisit secara ketat dan reformasi pajak bertahap.

    Adapun Purbaya, dengan pengalaman di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan sektor keuangan, diperkirakan lebih menekankan pada aspek stabilitas sistem keuangan.

    Seiring pergantian yang terjadi, respons awal pasar disebut menunjukkan kehati-hatian. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah sekitar 1,3 persen usai pengumuman pergantian menkeu, sedangkan kurs rupiah relatif stabil di kisaran Rp16.400 per dolar Amerika Serikat (AS).

    “Pasar obligasi berpotensi menghadapi kenaikan yield apabila disiplin anggaran tidak dijaga. Kondisi ini menunjukkan bahwa arah kebijakan fiskal yang konsisten akan menjadi kunci dalam membangun kembali kepercayaan investor,” ujar Yusuf.

    Dia menerangkan bahwa reshuffle berlangsung di tengah tekanan publik terhadap kebijakan fiskal, termasuk tuntutan efisiensi anggaran, transparansi pajak, serta subsidi lebih adil.

    Dengan defisit 2,5-3 persen Produk Domestik Bruto (PDB), subsidi energi dan pangan yang mencapai Rp500 triliun per tahun, serta utang mendekati 40 persen PDB, ruang kebijakan fiskal dinilai semakin terbatas.

    Menurut dia, menkeu terpilih perlu menyeimbangkan antara mendukung program prioritas pemerintah dan menjaga keberlanjutan fiskal.

    “Ke depan, keberhasilan pergantian ini akan sangat bergantung pada konsistensi kebijakan dalam merespons dinamika pasar dan aspirasi publik. Keseimbangan antara pembiayaan program pembangunan dan pengelolaan risiko fiskal akan menentukan stabilitas ekonomi makro Indonesia,” ujar dia pula.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menkeu Purbaya patuh pada batas defisit anggaran maksimal 3 persen

    Menkeu Purbaya patuh pada batas defisit anggaran maksimal 3 persen

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa berkomitmen untuk patuh pada ketentuan undang-undang mengenai batas defisit anggaran maksimal 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

    Purbaya, seusai menghadiri rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, mengatakan kebijakan fiskal bukan keputusan individu, melainkan hasil keputusan bersama pemerintah.

    “Kita akan ikuti UU yang ada. Itu kan bukan keputusan saya, tapi keputusan pemerintah secara keseluruhan,” katanya menjawab keingintahuan pelaku pasar atas komitmen itu.

    Batas defisit anggaran Indonesia sebesar 3 persen dari PDB ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan tujuan menjaga disiplin fiskal, mengendalikan risiko utang, serta memastikan stabilitas makroekonomi.

    Terkait rasio utang terhadap PDB yang kini berada di kisaran 40 persen, Purbaya menjelaskan bahwa fokus utamanya adalah mengoptimalkan penggunaan dana yang ada untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

    Dengan begitu, kata Purbaya, meski utang berada di level saat ini, rasio utang terhadap PDB dapat cenderung menurun secara alami.

    “Kuncinya optimalkan dana dan program yang ada agar pertumbuhan bisa lebih cepat, sehingga debt to GDP stabil, tetapi kemakmuran masyarakat meningkat signifikan,” katanya.

    Purbaya juga menyoroti pentingnya sinergi kebijakan fiskal dan moneter. Ia menegaskan, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) tidak akan membuat kebijakan yang justru memperketat likuiditas perbankan.

    “Saya sudah bicara dengan Deputi Senior BI dengan izin Presiden, kita akan ambil langkah-langkah yang diperlukan agar likuiditas meningkat signifikan ke depan,” ujarnya.

    Pewarta: Andi Firdaus, Fathur Rochman
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menkeu Purbaya punya “PR” meyakinkan investor, atasi tantangan pajak

    Menkeu Purbaya punya “PR” meyakinkan investor, atasi tantangan pajak

    Kebijakan perpajakan belakangan ini menurut saya masih memberatkan masyarakat, di mana masih ada opsi yang lebih bijak terkait penerimaan negara.

    Jakarta (ANTARA) – Pengamat pajak Gabriel Kurniawan berpendapat Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memiliki pekerjaan rumah untuk meyakinkan investor global sekaligus mengatasi tantangan penerimaan pajak.

    Dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa, Gabriel mengatakan mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati memiliki rekam jejak yang mumpuni sebagai ekonom maupun Direktur Pelaksana Bank Dunia, yang membuat investor menaruh kepercayaan ke Indonesia.

    Kini, Purbaya yang menggantikan posisi Sri Mulyani, perlu melanjutkan kepercayaan itu.

    “Jadi, Pak Purbaya sebagai Menteri Keuangan yang baru perlu membuktikan dan menjaga iklim usaha tetap positif, termasuk meyakinkan atau membangun kembali dari awal kepercayaan publik dan investor global,” ujar Gabriel.

    Di sisi lain, Purbaya menerima jabatan Menkeu ketika penerimaan negara dalam kondisi yang cukup menantang.

    Purbaya sebelumnya telah menyatakan tidak akan merombak kebijakan fiskal Sri Mulyani dan berfokus mengoptimalkan mesin-mesin perekonomian yang ada.

    Namun, menurut Gabriela, kebijakan perpajakan perlu dievaluasi.

    “Kebijakan perpajakan belakangan ini menurut saya masih memberatkan masyarakat, di mana masih ada opsi yang lebih bijak terkait penerimaan negara,” kata dia lagi.

    Sebagai contoh, pemerintah bisa menaikkan batas pengusaha kena pajak (PKP) dibandingkan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

    Opsi lainnya, pemerintah dapat menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dan menambah basis wajib pajak agar iklim investasi lebih bersaing.

    Dia berharap kebijakan fiskal yang akan diambil oleh Purbaya nantinya dapat mewakili kebutuhan masyarakat.

    “Kiranya di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan yang baru, Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) khususnya bisa lebih transparan dan lebih adil untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terikat kepentingan politik tertentu,” ujar Gabriel.

    Sebelumnya, Purbaya menyampaikan keyakinannya bahwa dia memiliki kapasitas yang memadai untuk menjabat sebagai Menkeu.

    Terkait tanggapan pasar, Purbaya mengatakan dirinya memiliki rekam jejak panjang di pasar modal, sehingga optimistis kepercayaan investor akan segera kembali.

    “Mungkin pasar enggak tahu saya orang pasar. Saya di pasar sejak tahun 2000, 15 tahun lebih,” katanya.

    Sementara mengenai pajak, ia berencana mendongkrak rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang dia lihat bergerak konstan, atau tidak mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

    “Tax ratio kan konstan, tax per PDB (produk domestik bruto). Kalau tidak bisa berubah dalam waktu dekat, untuk meningkatkan pajaknya, ya kita percepat pertumbuhan ekonominya,” ujar dia lagi.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mungkinkah Gejolak Ekonomi Prancis Picu Krisis Utang Zona Euro?

    Mungkinkah Gejolak Ekonomi Prancis Picu Krisis Utang Zona Euro?

    Jakarta

    Beberapa saat sebelum Francois Bayrou kalah dalam pemungutan suara kepercayaan di parlemen pada Senin (08/09), perdana menteri Prancis memperingatkan bahwa isu keuangan negara bisa mengancam “keberlangsungan” negara tersebut.

    “Anda memiliki kekuatan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi Anda tidak memiliki kekuatan untuk menghapus kenyataan,” kata Bayrou kepada para anggota parlemen, seraya menambahkan bahwa ekonomi terbesar kedua Eropa saat ini memiliki “beban utang yang sudah tidak tertahankan, dan akan menjadi lebih berat serta lebih besar.”

    Masih belum ada kepastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, apakah akan digelar pemilu baru, seperti yang dituntut partai sayap kanan National Rally, atau Presiden Emmanuel Macron berhasil membentuk pemerintah minoritas baru.

    Secara ekonomi, fokusnya adalah uang dan beban utang Prancis yang menjulang tinggi. Dalam istilah absolut, tidak ada negara Uni Eropa yang memiliki utang nasional terkonsolidasi lebih besar daripada Prancis. Utang negara telah naik sekitar €3,35 triliun (sekitar 64.800 triliun Rupiah) — sekitar 113 persen dari produk domestik bruto (PDB), dengan angka yang diperkirakan meningkat lebih lanjut menjadi 125 persen pada 2030.

    Raja utang Eropa

    Rasio utang terhadap PDB Prancis begitu tinggi. Di Uni Eropa sendiri, hanya Yunani dan Italia yang berhasil melampauinya. Dengan defisit anggaran 5,4 hingga 5,8 persen tahun ini, Prancis juga mencatat defisit terbesar di antara 27 negara anggota UE.

    Demi memenuhi target dari UE untuk menurunkan defisit anggaran menjadi 3 persen, penghematan besar-besaran tak bisa dihindari.

    Namun, karena pemotongan anggaran saat ini sulit diterima secara politik, pasar keuangan bereaksi dengan menaikkan risiko obligasi Prancis. Sementara obligasi Jerman menawarkan bunga sekitar 2,7 persen, Prancis harus membayar hampir 3,5 persen untuk utangnya.

    Lantas, perlukah kita khawatir soal stabilitas euro jika keuangan negara terbesar kedua di zona euro ini makin tak terkendali?

    “Ya, kita harus khawatir. Zona euro saat ini tidak stabil,” kata Friedrich Heinemann, ekonom di ZEW Leibniz Center for European Economic Research di Mannheim, Jerman. Meski begitu, ia “tidak terlalu khawatir” tentang krisis utang jangka pendek dalam beberapa bulan mendatang.

    “Tapi kita harus bertanya ke mana arah ini jika negara besar seperti Prancis, yang rasio utangnya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, kini juga menghadapi destabilisasi politik lebih lanjut,” ujarnya kepada DW.

    Negara dengan perekonomian besar lainnya juga menumpuk utang historis yang tinggi dan harus menghimpun miliaran di pasar modal. Misalnya, musim gugur ini Jerman, Jepang, dan AS perlu menerbitkan obligasi pemerintah baru untuk membiayai pengeluaran mereka. Hal ini menjadi alasan utama pasar obligasi global tetap tertekan.

    Satu-satunya alasan pasar belum makin cemas, adalah harapan bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan turun tangan dengan membeli obligasi Prancis untuk menstabilkan pasar, kata Heinemann. “Namun harapan itu bisa saja keliru, karena ECB harus berhati-hati agar tidak merusak kredibilitasnya.”

    Dilema politik ini telah lama menghantui pemerintah Prancis. Setiap kali mereka mengusulkan langkah penghematan atau reformasi ekonomi, partai-partai di kiri maupun kanan selalu menentang dan mengerahkan pendukungnya.

    Serikat pekerja bahkan telah mengumumkan mogok umum pada 10 September, dua hari setelah pemungutan suara mosi percaya.

    Tekanan dari Komisi Eropa dan ECB

    Prancis saat ini menghabiskan €67 miliar (sekitar 1.296 triliun Rupiah) per tahun hanya untuk membayar bunga. Tak hanya itu, negara ini pun berada di bawah tekanan karena telah berkomitmen untuk secara bertahap mengurangi defisit sesuai aturan UE.

    Namun Heinemann juga menempatkan sebagian kesalahan pada langkah Komisi Eropa karena “membantu menciptakan kekacauan ini.”

    “Komisi menutup mata, bahkan kedua matanya, ketika menyangkut Prancis. Itu adalah kompromi politik yang didorong oleh ketakutan memperkuat populis,” katanya, seraya menambahkan, “Prancis sudah menggunakan banyak ruang fiskalnya. Jerman berada dalam posisi jauh lebih baik, dengan banyak ruang gerak.”

    Reformasi yang mandek

    Menurut Heinemann, Prancis, seperti Jerman, sangat membutuhkan reformasi besar-besaran dalam kesejahteraan dan pemotongan pengeluaran. Alternatifnya adalah menaikkan pajak di negara yang sudah membebani warga dan bisnis dengan pajak tinggi.

    Oleh karena itu, Heinemann skeptis politik Prancis dapat menghasilkan konsensus lintas partai dalam pengurangan utang. “Dengan populis di kiri dan kanan yang semakin kuat, saya tidak melihat itu terjadi. Pusat menyusut. Itulah mengapa saya pesimis dengan Prancis dan tidak melihat solusinya.”

    Bagi Andrew Kenningham, kepala ekonom Eropa di Capital Economics, risiko terhadap pasar Eropa lainnya tetap dapat dikelola untuk saat ini.

    “Sejauh ini, masalah tampaknya terbatas pada Prancis sendiri, selama skala masalah Prancis tidak terlalu besar,” katanya dalam catatan kepada klien.

    Namun, ia juga memperingatkan skenario di mana krisis Prancis bisa meningkat signifikan, meningkatkan risiko penularan.

    “Bagaimanapun, Prancis adalah ekonomi terbesar kedua zona euro, dengan hubungan dagang dan keuangan yang signifikan dengan tetangganya, dan juga merupakan kekuatan politik utama UE,” kata Kenningham. Nantinya, krisis di Prancis bisa mempertanyakan kelangsungan proyek Eropa itu sendiri.

    “Kami tidak mengantisipasi krisis sebesar itu dalam satu hingga dua tahun ke depan. Tapi jika terjadi, penularan bisa menjadi risiko lebih besar — yang harus ditangani ECB,” ujarnya.

    Krisis politik yang terjadi di tengah ketegangan

    Gejolak Prancis muncul saat UE sedang bersitegang dengan AS terkait kebijakan perdagangan, termasuk pajak lebih tinggi pada raksasa teknologi AS yang diusulkan Prancis.

    Oleh karena itu, ini merupakan waktu yang kurang tepat bagi Uni Eropa untuk terlihat lemah akibat kebuntuan politik di ekonomi terbesar kedua kawasan itu.

    Bagi Heinemann, kebanyakan aktor politik di Prancis adalah “pendukung Trump di hati,” terutama di spektrum kiri dan kanan politik.

    “Mereka bisa meningkatkan tekanan pada Komisi Eropa untuk membalas tarif Trump dengan tarif Eropa,” kata ekonom itu, yang “akan meningkatkan risiko perang dagang nyata” dan memperburuk krisis utang negara itu lebih jauh lagi.

    Artikel ini awalnya ditulis dalam bahasa Jerman. Pertama kali diterbitkan pada 5 September, dan diperbarui pada 8 September setelah perdana menteri Prancis kalah dalam pemungutan suara kepercayaan di parlemen.

    Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani

    Editor: Rahka Susanto

    Tonton juga video “PM Prancis Lengser Setelah Kalah di Mosi Kepercayaan Parlemen” di sini:

    (ita/ita)

  • Macquarie sebut menkeu berganti momen uji konsistensi disiplin fiskal

    Macquarie sebut menkeu berganti momen uji konsistensi disiplin fiskal

    Pasar kini menaruh perhatian pada kesinambungan disiplin fiskal, sembari menantikan strategi baru dari menkeu yang ditunjuk di tengah perlambatan ekonomi.

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Riset Macquarie Capital Indonesia Ari Jahja mengatakan pergantian menteri keuangan (menkeu), menjadi momentum untuk menguji konsistensi pemerintah dalam menjalankan reformasi struktural dan disiplin fiskal.

    Menurutnya, saat ini pelaku pasar menantikan strategi baru dari Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang telah menggantikan Sri Mulyani Indrawati.

    “Pasar kini menaruh perhatian pada kesinambungan disiplin fiskal, sembari menantikan strategi baru dari menkeu yang ditunjuk di tengah perlambatan ekonomi. Purbaya sebelumnya mendukung program prioritas pemerintah dan menilai target pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen masih realistis,” ujar Ari Jahja dalam keterangan resmi, di Jakarta, Selasa.

    Ari mengatakan kunci utamanya adalah eksekusi kebijakan, termasuk menjaga kredibilitas dengan tetap mempertahankan batas defisit anggaran tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

    Ia menilai pelaku pasar menantikan dorongan lebih jauh terhadap langkah-langkah struktural demi meningkatkan daya saing, di antaranya peningkatan rasio pajak, belanja yang lebih terarah, eksekusi program prioritas yang lebih baik, serta kemudahan berusaha.

    “Kenaikan belanja pemerintah pada paruh kedua 2025 dibandingkan paruh pertama akan krusial untuk mendukung pertumbuhan. Defisit fiskal diperkirakan melebar hingga Juli 2025, serta indeks PMI Manufaktur menunjukkan tanda-tanda ekspansi pada Agustus 2025,” ujar Ari.

    Di sisi lain, ia mengingatkan risiko arus keluar modal asing (capital outflow) akan bergantung terhadap kecepatan eksekusi reformasi, yang mana capital outflow tercatat 675 juta dolar Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2025.

    “Mobilitas masyarakat meningkat seiring meredanya gelombang demonstrasi, tetapi dalam jangka menengah masih ada pertanyaan terkait kecepatan eksekusi reformasi struktural,” ujar Ari lagi.

    Ia melanjutkan, pelaku pasar juga mencermati penciptaan lapangan pekerjaan baru dan peningkatan belanja modal perusahaan- perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).

    “Pasar juga menanti penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan belanja modal BUMN, di tengah potensi perlambatan investasi swasta,” ujar Ari.

    Terkait nilai tukar rupiah, ia mengingatkan bahwa cadangan devisa menurun ke level 150,7 miliar dolar AS pada Agustus 2025, atau terendah sejak November 2024.

    Presiden Prabowo Subianto melakukan perombakan kabinet (reshuffle) di lima kementerian strategis, serta melantik satu pejabat instansi baru di Kabinet Merah Putih.

    Salah satu reshuffle yaitu penunjukan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Purbaya sebelumnya merupakan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Prabowo: BRICS Pilar Sangat Kuat bagi Stabilitas dan Geopolitik Internasional – Page 3

    Prabowo: BRICS Pilar Sangat Kuat bagi Stabilitas dan Geopolitik Internasional – Page 3

    Dia menekankan dengan cakupan lebih dari 55 persen populasi dunia serta lebih dari 40 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global, BRICS kini telah menjelma sebagai kekuatan strategis dengan ekonomi terbesar. Tak hanya itu, BRICS juga menjadi populasi terbesar, pasar terbesar, dan sumber daya alam yang melimpah.

    “BRICS memiliki ekonomi terbesar, negara dengan populasi terbesar, pasar terbesar, serta negara-negara dengan sumber daya alam besar dan sumber daya penting. Karena itu, BRICS semakin muncul sebagai pilar kekuatan. Indonesia mendukung kelanjutan peran ini,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Prabowo mengatakan pentingnya keterbukaan, koordinasi, serta kerja sama erat dalam menghadapi ketidakpastian global. Menurut dia, BRICS memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi motor dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang.

    “Kita memang harus terus melanjutkan dan bekerja lebih erat bersama. Kita harus lebih sering berkonsultasi satu sama lain,” tegas Prabowo.

  • Prabowo Ajak Pemimpin BRICS Kerja Sama Lebih Erat Hadapi Tantangan Global

    Prabowo Ajak Pemimpin BRICS Kerja Sama Lebih Erat Hadapi Tantangan Global

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto mengikuti pertemuan virtual para pemimpin negara anggota BRICS. Prabowo menyampaikan pandangannya bahwa BRICS telah menjadi salah satu pilar penting bagi stabilitas dan harapan di tengah dinamika geopolitik internasional.

    “Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk bergabung dalam pertemuan yang sangat penting ini. Indonesia memandang BRICS sebagai pilar yang sangat kuat bagi stabilitas dan harapan dalam situasi geopolitik internasional saat ini,” kata Prabowo dikutip Biro Sekretariat Presiden, Senin (8/9/2025).

    Prabowo menekankan bahwa dengan cakupan lebih dari 55 persen populasi dunia serta lebih dari 40 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global, BRICS kini telah menjelma sebagai kekuatan strategis dengan ekonomi terbesar, populasi terbesar, pasar terbesar, dan sumber daya alam yang melimpah.

    “BRICS memiliki ekonomi terbesar, negara dengan populasi terbesar, pasar terbesar, serta negara-negara dengan sumber daya alam besar dan sumber daya penting. Karena itu, BRICS semakin muncul sebagai pilar kekuatan. Indonesia mendukung kelanjutan peran ini,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Prabowo menekankan pentingnya keterbukaan, koordinasi, serta kerja sama erat dalam menghadapi ketidakpastian global. Prabowo menilai bahwa BRICS memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi motor dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang.

    “Kita memang harus terus melanjutkan dan bekerja lebih erat bersama. Kita harus lebih sering berkonsultasi satu sama lain,” tegasnya.

    Prabowo menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap berbagai inisiatif yang dihasilkan dalam forum BRICS. Ia pun mengapresiasi Presiden Brasil Lula da Silva yang memegang kepemimpinan BRICS tahun 2025.

    “Kami sepenuhnya mendukung inisiatif-inisiatif yang telah diambil. Kami mengapresiasi kepemimpinan Presiden Lula dan Indonesia berkomitmen untuk bekerja lebih erat dengan seluruh negara BRICS,” ucapnya.

    Melalui partisipasi aktif ini, Indonesia menunjukkan komitmen untuk memperkuat solidaritas antarnegara BRICS dan mendorong terbentuknya kerja sama internasional yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.

    (eva/ygs)

  • Menkeu Purbaya tak punya rencana bentuk Badan Penerimaan Negara

    Menkeu Purbaya tak punya rencana bentuk Badan Penerimaan Negara

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku tak memiliki rencana untuk membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN).

    Saat konferensi pers di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin, Purbaya mengatakan dia belum menerima arahan resmi dari Presiden Prabowo Subianto.

    Terkait BPN, kata dia, Prabowo hanya memberikan sinyal yang ia artikan sebagai delegasi keputusan kepada dirinya sebagai Menteri Keuangan.

    Namun, ia sendiri berpendapat mengoptimalkan instrumen penerimaan negara yang sudah ada lebih efisien dibandingkan dengan membentuk badan khusus penerimaan baru.

    “Kalau menurut saya, [badan penerimaan] yang langsung di bawah Presiden itu, di dunia tidak ada yang seperti itu. Kalau kita buat sendirian, nanti aneh lagi,” katanya.

    Maka dari itu, Purbaya menyatakan bakal meninjau mesin-mesin yang sudah ada di Kementerian Keuangan untuk ia optimalkan, sehingga bisa memberikan dampak perekonomian yang lebih terakselerasi.

    Khusus mengenai pajak, ia menerima arahan dari Prabowo untuk mempelajari perpajakan dengan bimbingan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto.

    Dia pun berencana mendongkrak rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang dia lihat bergerak konstan, atau tidak mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

    “Tax ratio kan konstan, tax per PDB (produk domestik bruto). Kalau tidak bisa berubah dalam waktu dekat, untuk meningkatkan pajaknya, ya kita percepat pertumbuhan ekonominya,” ujar dia.

    Sejauh ini, ia tidak merinci langkah spesifik yang akan dilakukan untuk mengakselerasi rasio pajak maupun pertumbuhan ekonomi.

    Namun, dia yakin memiliki kapasitas yang memadai untuk mewujudkan rencananya itu.

    “Saya ahli fiskal. Jadi, saya mengerti betul fiskal yang prudent seperti apa,” tuturnya.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto resmi melantik lima pejabat baru Kabinet Merah Putih dalam reshuffle yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Senin.

    Dalam pelantikan tersebut, Purbaya Yudhi Sadewa dilantik sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati.

    Pelantikan dan pengangkatan pejabat itu didasari atas Keppres No 86P 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih 2024-2029.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom Ungkap Untung-Rugi Pendanaan Campuran untuk Proyek Giant Sea Wall

    Ekonom Ungkap Untung-Rugi Pendanaan Campuran untuk Proyek Giant Sea Wall

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mengungkap sejumlah keuntungan dan risiko yang mesti dipertimbangkan dengan matang terkait skema pendanaan campuran (blended financing) untuk megaporyek Giant Sea Wall (GSW). 

    Proyek yang termasuk dalam National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) itu diproyeksi membutuhkan dana sekitar US$40-US$42 miliar atau setara Rp658-Rp691 triliun. 

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan skema pendanaan campuran dapat mendukung realisasi proyek tersebut di tengah keterbatasan fiskal saat ini. 

    Namun, lanjutnya, harus ada penegasan terkait tanggung jawab dan beban yang dipikul oleh para pelaku.

    “Namun harus dirumuskan dengan jelas sharing profit dan tanggung jawabnya seperti apa,” kata Esther kepada Bisnis, Minggu (7/9/2025). 

    Dalam hasil penelitian Universitas Sebelas Maret, UNS, Amentis Institute dan Adam Smith Business School-University of Glasgow, Anto mengungkap sejumlah skema pembiayaan Jakarta Great Sea Wall yang dapat diterapkan. 

    Beberapa skema campuran yang dimaksud yakni green sukuk, Asset Value Protection (AVP), Viability Gap Funding (VGF), Asset-Backed Securities (ABD), hingga Public-Private Partnership (PPP). 

    Terkait sejumlah usulan tersebut, Esther menilai tetap perlu pertimbangan yang lebih mendalam terkait bagi hasil dan keuntungan yang dapat dihasilkan. Di sisi lain, tak hanya aspek ekonomi, namun dari sisi sosial dan lingkungan juga perlu diperhatikan. 

    “Jadi tidak hanya soal pendanaan dan berapa profit yang bisa dihasilkan tetapi juga apakah berapa dampak ekonomi yang bisa dihasilkan proyek ini seperti produk domestik bruto daerah, income yang dihasilkan, penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi kriminalitas, ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan,” tuturnya. 

    Senada, Ekonom Celios Zulfikar Rakhmat juga menilai skema pendanaan campuran relevan untuk megaproyek seperti Giant Sea Wall (GSW) yang membutuhkan biaya sangat besar. 

    “Skema ini memungkinkan adanya kombinasi antara dana pemerintah, swasta, maupun lembaga internasional,” jelasnya, dihubungi terpisah. 

    Dia meyakini, skema tersebut dapat membantu mengurangi tekanan pada APBN sekaligus meningkatkan kepercayaan investor, selama ada kepastian regulasi dan transparansi tata kelola proyek. 

    “Jadi, secara prinsip memungkinkan dan bisa mendukung pembangunan GSW, asalkan struktur pembiayaannya dirancang dengan jelas dan risiko dibagi secara proporsional,” tambahnya. 

    Di samping itu, dari sisi pendanaan, dia menyebutkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kapasitas fiskal negara yang mesti dipastikan bahwa proyek ini tidak akan memperlebar defisit atau menekan belanja publik lainnya yang lebih prioritas. 

    Kedua, untuk menarik minat dan kepastian investor, pemerintah harus memastikan skema bagi hasil atau imbal hasil yang menarik namun tetap adil. 

    Ketiga, transparansi dan governance karena GSW merupakan proyek jangka panjang, risiko moral hazard, potensi biaya membengkak (cost overrun), dan ketidakpastian politik harus diminimalisir.

    Keempat, dari sisi aspek lingkungan dan sosial yang harus diperhatikan bahwa keberlanjutan pembiayaan akan lebih mudah jika proyek memenuhi standar ESG, sehingga bisa menarik pendanaan hijau dari lembaga internasional.

    “Dengan kata lain, pendanaan campuran bisa menjadi solusi, tapi desainnya harus hati-hati supaya manfaat ekonominya optimal dan bebannya tidak berlebihan bagi masyarakat maupun negara,” tuturnya.

  • Turki Kerek Tarif Pajak Besar-besaran untuk Barang Mewah Demi Tambal Defisit Anggaran

    Turki Kerek Tarif Pajak Besar-besaran untuk Barang Mewah Demi Tambal Defisit Anggaran

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Turki resmi mengenakan pajak konsumsi khusus sebesar 8% untuk yacht, kapal motor, hingga kapal pesiar kecil.

    Dilansir Bloomberg, Sabtu (6/9/2025), kebijakan yang diumumkan melalui dekrit presiden pada akhir pekan lalu itu sekaligus mengakhiri pembebasan tarif nol persen yang sebelumnya berlaku bagi kapal mewah. Aturan baru tersebut berlaku seketika dan mencakup kapal penumpang non-navigasi laut.

    Pajak konsumsi khusus yang semula ditujukan bagi barang mewah di Turki selama ini juga dikenakan pada kebutuhan sehari-hari, seperti mobil dan ponsel, sehingga menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara.

    Langkah Ankara kali ini menegaskan strategi pemerintah meningkatkan pendapatan untuk mempersempit defisit anggaran. Menteri Keuangan Turki Mehmet Simsek berulang kali menekankan perlunya peningkatan penerimaan negara. Target defisit anggaran 2025 sebesar 3,1% terhadap produk domestik bruto (PDB) disebut berisiko meleset akibat kinerja pendapatan yang lebih lemah dari perkiraan.

    Sejak ditunjuk lebih dari dua tahun lalu, Simsek telah meluncurkan berbagai kebijakan pajak baru. Sejalan dengan itu, belanja pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda melambat.

    Di sisi lain, otoritas moneter masih berusaha mengendalikan inflasi. Beberapa kenaikan pajak didesain untuk menekan dampak harga, tetapi sebagian justru memicu lonjakan inflasi dalam beberapa bulan terakhir.