Topik: Produk Domestik Bruto

  • Jangan Mau Kalah! Kampung Wirausaha Bakal Gali Potensi UMKM

    Jangan Mau Kalah! Kampung Wirausaha Bakal Gali Potensi UMKM

    Bandung: PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (Garudafood) melalui Kampung Wirausaha Garudafood memperkuat komitmen dalam mendorong pengembangan UMKM dengan menggelar workshop peningkatan kapasitas pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Bandung, Jawa Barat.
     
    Head of Corporate Communication & External Relations Garudafood, Dian Astriana mengatakan Kampung Wirausaha Garudafood merupakan salah satu bentuk komitmen Perusahaan terhadap pengembangan UMKM lokal.
     
    Program ini bertujuan untuk memfasilitasi UMKM lokal dalam meningkatkan daya saing melalui akses yang lebih luas terhadap sumber daya dan pengembangan kapasitas.
    “Garudafood bersama mitra sejak 2017 menginisiasi program inkubasi ‘Kampung Wirausaha Garudafood’ yang fokus untuk menemukenali potensi yang ada dalam masyarakat, memberikan akses terhadap sumber daya, menanamkan semangat kewirausahaan serta memperluas jaringan bisnis,” ujar Dian Astriana saat kegiatan Capacity Building & Community Gathering Kampung Wirausaha Garudafood, dilansir keterangan tertulis, Selasa, 19 November 2024.
     
    Menurut Dian, hal ini sejalan dengan misi Garudafood yaitu membawa perubahan yang menciptakan nilai tambah bagi masyarakat berdasarkan prinsip saling menumbuhkembangkan.
     
    Hingga 2023, Kadin Indonesia mencatat pelaku UMKM di Indonesia mencapai sekitar 66 juta jiwa. Kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional juga signifikan, yakni sebesar 61 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara dengan Rp9,580 triliun. Lebih dari itu, UMKM menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja di Indonesia dengan menyerap hingga 97 persen tenaga kerja.
     
    Peran UMKM dalam perekonomian domestik tidak dapat dipungkiri. Dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan, diperlukan upaya sistematis untuk tidak hanya meningkatkan kuantitas, tetapi juga kualitas dan skala usaha pelaku UMKM lokal. Untuk itu, kolaborasi multi-stakeholder menjadi kunci untuk mencapai tujuan tersebut.
     
    Garudafood beserta mitra strategisnya selama lima tahun terakhir bersinergi dan berkolaborasi untuk dapat memajukan UMKM lokal secara berkelanjutan. Upaya yang dilakukan mencakup pemberian modal awal, pendampingan intensif, serta pelatihan pengembangan soft skill, antara lain salesmanship, product knowledge, penulisan laporan keuangan, strategi pemasaran, identifikasi faktor risiko, copywriting, hingga literasi digital.
     
    Sebagai bentuk dukungan lebih lanjut, Garudafood mengadakan workshop peningkatan kapasitas secara tatap muka yang pertama kali dilakukan pascapandemi. Kegiatan ini tidak hanya sekadar meningkatkan keterampilan teknis, namun juga sekaligus sebagai bentuk apresiasi, serta memfasilitasi pembentukan jaringan yang lebih luas dan mandiri.
     
    Sehingga diharapkan melalui kegiatan ini dapat mengoptimalkan potensi usahanya dengan lebih baik khususnya dalam menghadapi tantangan bisnis di era digital dan globalisasi.
     
    Hingga akhir 2024, Kampung Wirausaha Garudafood memiliki 454 komunitas binaan yang tersebar di wilayah seperti Jabodetabek, Bandung, Gresik, Tasikmalaya dan Garut. Keanggotaan Kampung Wirausaha Garudafood hingga akhir 2024 mencapai hampir 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
     
    Dalam perencanaan strategis jangka pendek, Kampung Wirausaha Garudafood berkomitmen untuk memperluas jaringan komunitas di wilayah lain.
     
    Daarut Tauhiid (DT) Peduli yang merupakan mitra Garudafood, diwakili oleh Muhammad Iskandar selaku Ketua Yayasan DT Peduli mengungkapkan sinergi dan kolaborasi pengembangan UMKM ini menjadi langkah nyata dalam mendorong pertumbuhan ekosistem UMKM Indonesia dan melahirkan lebih banyak UMKM lokal berprestasi dan berdaya saing tinggi.
     
    “Kami menyambut baik dengan adanya program Kampung Wirausaha Garudafood ini karena para peserta dibimbing untuk terbiasa memiliki pola pikir kreatif dan inovatif baik dalam hal menciptakan maupun memasarkan produk. Upaya ini dilakukan untuk memberikan dukungan yang peserta butuhkan dalam bersaing di pasar yang lebih luas,” ungkap Muhammad Iskandar.
     
    Pada kesempatan yang sama, Dian Astriana mengatakan, komunitas binaan Kampung Wirausaha Garudafood diharapkan dapat menjadi komunitas yang solid, mandiri dan tangguh serta memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
     
    “Sejak awal, Kampung Wirausaha Garudafood berupaya aktif dalam mendorong pengembangan ekosistem UMKM lokal. Dengan memfasilitasi lahirnya lebih banyak UMKM yang berprestasi dan berdaya saing tinggi, Garudafood berharap dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Dian Astriana.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (AHL)

  • Harga Mobil Baru Makin Mahal, Mobil Bekas Jadi Pilihan

    Harga Mobil Baru Makin Mahal, Mobil Bekas Jadi Pilihan

    Jakarta

    Penjualan mobil baru tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya, bahkan cenderung menciut. Di sisi lain mobil bekas makin diminati masyarakat Indonesia.

    Salah satu faktor yang bikin mobil baru tidak melonjak signifikan lantaran pendapatan per kapita rata-rata orang Indonesia tidak dapat mengejar kenaikan harga mobil baru.

    “Karena harga mobil di Indonesia ini cukup mahal untuk income per kapita Indonesia,” kata CEO PT Autopedia Sukses Lestari Tbk Jany Chandra di Program Autobizz CNBC Indonesia.

    Peneliti senior dari LPEM FEB UI Riyanto menjelaskan, misalnya harga untuk model Low Multi Purpose Vehicles (MPV). Salah satu model yang paling laris penjualannya di Indonesia.

    “Kenaikan harga mobil periode 2013-2022, misalnya kita ambil MPV entry low per tahun sudah 7 persenan, lebih besar dari rata-rata inflasi kita. Jadi ini masalahnya,” kata Riyanto saat diskusi Solusi Mengatasi Stagnasi Pasar Mobil di Gedung Kementerian Perindustrian, beberapa waktu yang lalu.

    “Pendapatan per kapita kelompok ini dulu gap-nya kecil, misalnya harga Rp 167 juta, pendapatan per kapitanya Rp 155 juta. Kan kecil gap-nya, tapi sekarang pendapatan per kapitanya Rp 218 juta, harga mobilnya Rp 255 juta. Jadi makin lebar,” tambahnya lagi.

    Mobil bekas makin diminati, kenyataan ini juga diamini Jany Chandra. Setahun mereka bisa menjual lebih dari 100 ribu unit mobil dan motor bekas. Pihaknya memanfaatkan tren ini untuk memperluas pangsa pasar dengan membuka jaringan lebih banyak.

    “Mobil barunya agak nunggu, karena mobil baru naik terus kan. Dari sisi mobil bekasnya kami tumbuh signifikan,” kata Jany.

    “Tahun ini saja dari Maret tahun lalu baru ada satu showroom, saat ini sudah ada 16, dalam 19 bulan. Tiga dalam tahap konstruksi,” jelas Jany.

    Pasar mobil Indonesia menunjukkan stagnasi pada level penjualan sekitar satu jutaan per tahunnya, padahal rasio kepemilikan mobil masih sekitar 99 mobil per 1.000 penduduk.

    Penjualan mobil tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 2013 yang mencapai 1.229.811 unit kemudian terus merosot di tahun berikutnya namun tetap berada di level satu jutaan.

    Pendapat per kapita yang naik tipis tersebut disebabkan pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara lima persen dalam kurun waktu periode 2015-2022. Ini menjadi salah satu penyebab penjualan mobil di Indonesia stagnan di level satu juta unit.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,05% pada 2023. Capaian itu membuat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai Rp 75 juta atau US$ 4.919,7 sepanjang 2023.

    Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menjelaskan komponen pajak saat ini bisa 40 persen.

    “Harga mobil ini juga diskusi dengan Pemda, karena BBNKB itu menjadi isu, itu yang membuat harga mobil ini luar biasa mahal, karena bila ditotal bisa lebih dari 30-40 persen itu adalah bentuk pajak,” tambah dia.

    “Namun mereka tidak mau kehilangan karena rata-rata pemerintah provinsi 60-80 persen PAD-nya dari pajak kendaraan bermotor,” sambungnya lagi.

    Belum lagi tahun depan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 11 persen jadi 12 persen. Walhasil bikin harga mobil itu makin naik.

    “Kemungkinan ada dampak, karena daya beli turun. Tapi untungnya PPN mobil bekas itu tidak 12 persen, tapi mobil bekas itu 1,1 ke 1,2 persen,” kata Jany.

    (riar/din)

  • Pengusaha Ritel Minta Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025 Ditunda

    Pengusaha Ritel Minta Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025 Ditunda

    Jakarta, Beritasatu.com – Pelaku usaha di bidang ritel meminta kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 dapat ditinjau kembali atau bahkan ditunda.

    Pasalnya, kenaikan PPN tersebut dianggap dapat mengakibatkan banyak hal. Salah satunya produk domestik bruto (PDB) domestik yang berpotensi anjlok lebih dalam di bawah 4 persen.

    “Kalau saya tidak mengharapkan dibatalkan, mungkin pemerintah juga membutuhkan dana. Namun, apakah bisa ditunda,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) Handaka Santosa dalam program Investor Market Today IDTV, Senin (18/11/2024).

    Handaka berharap, regulasi tersebut dapat ditunda terlebih dahulu seiring dengan perbaikan ekonomi di segmen menengah ke bawah. Apabila tidak ditunda, maka kelas menengah dan yang kurang mampu bakal mendapat tekanan yang berat, utamanya pada sektor ritel.

    Ritel merupakan sektor industri yang benar-benar mendukung pertumbuhan ekonomi domestik hingga lebih dari 50 persen.

    Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi sejak kuartal I 2024 terus melorot sampai dengan saat ini.

    “Saya selalu bicara kalau mencapai di bawah 5 persen, eh kok terjadi di kuartal III,” sebut dia.

    Untuk itu dikatakan Handaka, dunia usaha mengusulkan agar pemerintah khususnya para wakil rakyat di dewan perwakilan rakyat (DPR) dapat lebih jeli dan tegas untuk mengusahakan kenaikan PPN 12 persen bisa ditunda sementara. 

  • Kemenperin Beberkan Jurus Genjot Kontribusi Industri Manufaktur

    Kemenperin Beberkan Jurus Genjot Kontribusi Industri Manufaktur

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap tantangan dibalik tren kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) yakni arus produk manufaktur impor yang menekan produk lokal.

    Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pihaknya tengah berupaya memperketat regulasi impor guna mendukung industri dalam negeri agar dapat tumbuh lebih optimal.

    “Upaya kami adalah termasuk mempercepat inovasi dan terus meningkatkan efisiensi produksi lokal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Agus, dikutip Senin (18/11/2024).

    Untuk diketahui, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB triwulan III/2024 mencapai 19,02% (year-on-year/yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya 18,52% yoy.

    Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi industri pengolahan terhadap PDB pada 2014 sebesar 21,28%, turun drastis dari tahun sebelumnya dengan sumbangsih 23,6% atau Rp2.152,6 triliun dari total PDB Rp9.084 triliun pada 2013. 

    Penurunan terus terjadi hingga 2023, di mana kontribusi manufaktur berada di angka 18,67% atau Rp3.900 triliun dari total PDB atas harga berlaku mencapai Rp20.892 triliun.

    Proporsi manufaktur terhadap PDB 2023 memang mengalami kenaikan dibandingkan 2022 yang berkontribusi 18,34%, tetapi masih lebih rendah dari porsi manufaktur tahun 2021 sebesar 19,25%.

    Menperin Agus meyakini peningkatan kontribusi sektor industri dalam mendukung target pertumbuhan ekonomi Presiden Pabowo Subianto sebesar 8% dalam lima tahun ke depan.

    “Kemenperin akan melanjutkan program hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri serta mendukung pengembangan industri berbasis sumber daya alam sebagai bagian dari upaya pengembangan industri strategis nasional,” tuturnya.

    Senada, Inspektur Jenderal Kemenperin, M. Rum menerangkan pihaknya telah melakukan rapat koordinasi untuk mempertajam pengawasan kebijakan Kemenperin pada 2025.

    Pada tahun 2025-2029, arah kebijakan industrialisasi difokuskan untuk melakukan penguatan ekosistem industrialisasi dan peningkatan kompleksitas produk industri dengan target peranan industri sebesar 21,9%. 

    “Selain itu, penguatan struktur dan hilirisasi industri yang disertai dengan penguatan ekosistem industrialisasi, yang meliputi riset, inovasi, standar, SDM, penerapan teknologi regulasi, dan pembiayaan yang didukung investasi di sektor prioritas,” ujarnya.

  • Kejar Target Ekonomi 8%, Manufaktur Harus Tumbuh 9% Per Tahun

    Kejar Target Ekonomi 8%, Manufaktur Harus Tumbuh 9% Per Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance alias Indef memperkirakan bahwa industri pengolahan atau manufaktur harus tumbuh rata-rata 8,5%—9% per tahun agar pertumbuhan ekonomi 8% bisa tercapai hingga 2045.

    Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi 8% merupakan target yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Untuk mencapai target tersebut, Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menilai pemerintahan Prabowo harus memberi perhatian khusus ke sektor manufaktur.

    “Karena industri pengolahan adalah kontributor terbesar dalam PDB [produk domestik bruto] dan biasanya pertumbuhan ekonomi itu selalu bergantung kepada pertumbuhan industri,” jelas Ahmad dalam diskusi publik Indef secara daring, Senin (18/11/2024).

    Secara historis, sambungnya, jika sektor manufaktur tumbuh maka perekonomian secara keseluruhan juga ikut tumbuh. Sebaliknya, jika pertumbuhan sektor manufaktur melambat maka pertumbuhan ekonomi secara umum juga melambat.

    Ahmad menjelaskan, Indef menghitung jika pertumbuhan sektor manufaktur mencapai 8,5%—9% per tahunnya maka sumbangannya ke PDB atas dasar harga konstan (ADHK) akan mencapai tak kurang dari Rp16.000 triliun pada 2045.

    “Kontribusinya sampai 30% terhadap PDB. Ini yang agak menyulitkan sehingga industrinya harus tumbuh lebih besar,” jelasnya.

    Sebagai perbandingan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan sektor manufaktur ‘hanya’ sebesar 4,24% pada Kuartal III/2024. Secara struktur, sektor manufaktur berkontribusi sebesar 19,02% dalam PDB harga berlaku.

    Sementara itu, sumbangan sektor manufaktur baru mencapai Rp242 triliun ke PDB ADHK pada Kuartal III/2024.

    Oleh sebab itu, Ahmad menekankan pentingnya industri pengolahan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Dia mencontoh dari sisi pembiayaannya: jika likuiditasnya masih kurang maka perlu investasi ke sektor industri.

    Kemudian, sambungnya, infrastuktur juga harus terus ditingkatkan sehingga biaya logistik dan sejenisnya bisa berkurang. Tak lupa, faktor akses pasar dan inovasi juga harus diberi kemudahan dan dukungan dari pemerintah.

    “Intinya adalah, kalau kita ingin membangun sebuah ekonomi yang produktif dan berdaya saing ya harus dimulai dari bagaimana menata dari sisi hulu ke hilir sehingga bisa semakin kuat strukturnya,” ujar Ahmad.

    Senada, Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto mengingatkan bahwa Indonesia beberapa kali pernah merasakan pertumbuhan ekonomi 8% atau bahkan lebih ketika masa Orde Baru. Oleh sebab itu, target pemerintahan Prabowo bukanlah suatu hal yang mustahil tercapai.

    Menurutnya, rezim Orde Baru bisa mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8% karena ditopang pertumbuhan ektor manufaktur yang tinggi. Oleh sebab itu, tegasnya, jika industri pengolahan tidak bangkit maka akan sangat berat mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%

    “Faktor kuncinya ada di sektor industri. Ketika tumbuh 8%, industri kita itu tumbuhnya double digit, bukan setara dengan pertumbuhan ekonomi atau bahkan di bawah pertumbuhan ekonomi,” tambah Eko dalam kesempatan yang sama.

  • PPN 12% Berlaku 2025, Ini Dampak Menakutkan yang Terjadi di Mal-Ritel

    PPN 12% Berlaku 2025, Ini Dampak Menakutkan yang Terjadi di Mal-Ritel

    Tangerang, CNBC Indonesia – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan pengusaha, khususnya di sektor ritel dan pusat perbelanjaan. Mereka memproyeksikan kenaikan tersebut tidak hanya memicu lonjakan harga barang, tetapi juga semakin menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

    Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja mengungkapkan, daya beli masyarakat sudah menunjukkan pelemahan sejak awal tahun 2024. Menurutnya, kebijakan kenaikan PPN 12% hanya akan memperburuk situasi, di mana dampaknya akan terjadi kenaikan harga produk dan barang dan pada akhirnya mengurangi kemampuan masyarakat untuk berbelanja.

    “Dari awal kami meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN ini dari 11% menjadi 12%, karena berpotensi semakin menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Karena kenaikan PPN ini akan mempengaruhi harga produk, harga barang akan naik,” kata Alphonzus saat ditemui di Hotel Santika ICE BSD Tangerang, Jumat lalu ditulis Minggu (17/11/2024).

    Alphonzus mengingatkan bahwa daya beli masyarakat adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 57% dari total produk domestik bruto (PDB). Ia mengkhawatirkan penurunan daya beli ini akan menghambat target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.

    “Struktur masyarakat Indonesia kan didominasi oleh kelas menengah bawah. Artinya kalau ini terganggu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terdampak. Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia hampir 57% didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Jadi ini akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal pemerintah punya target 8%,” jelasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah juga menyatakan keprihatinannya. Menurut dia, kenaikan PPN akan menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha, terutama dalam hal likuiditas.

    Foto: Pengunjung memilih pakaian yang dijual pada salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (16/7/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
    Pengunjung memilih pakaian yang dijual pada salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (16/7/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

    Budihardjo menilai kenaikan PPN menjadi 12% akan mempengaruhi cash flow pelaku usaha, terutama karena mereka harus membayar pajak di awal meski pembayaran dari konsumen belum diterima sepenuhnya.

    “Artinya, kadang-kadang kita harus setor pajak, sedangkan kita belum terima pembayaran. PPN 12% itu cukup besar. Jadi likuiditasnya terserap ke pajak sih,” kata Budi.

    Selain itu, Budihardjo menyoroti daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih sejak pandemi Covid-19, sehingga kebijakan kenaikan PPN 12% ini dianggap tidak tepat waktu.

    Oleh sebab itu, para pengusaha secara kompak meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini. Jika pemerintah tetap menaikkan PPN jadi 12%, mereka berharap ada insentif atau stimulus yang diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah bawah, agar dampak negatif dapat diminimalisir.

    “Kalau memang ini harus dilakukan (kenaikan) PPN 12%, penerimaan negara itu dibalikin ke bawah. Diberikan program-program yang menyentuh bawah, sehingga daya belinya naik ke atas,” ucapnya.

    Sejalan untuk meminta penundaan implementasi PPN 12%, Budi berencana menyurati Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk melakukan audiensi.

    “Ya kami kan dari awal mengimbau untuk ditunda PPN 12% karena situasinya sedang tidak tepat dan kami sedang merencanakan untuk PPN ini untuk mengirim surat ke Ibu Menteri (Sri Mulyani) melakukan audiensi,” kata Budi.

    Dia tak menampik ihwal kenaikan PPN 12% telah tercantum dalam Undang-Undang. Namun, menurutnya itu bisa diganti dengan peraturan pengganti undang-undang untuk sementara waktu dari Presiden.

    “Memang ini adalah undang-undang, tapi kan mungkin bisa dibantu dengan PERPU, mungkin peraturan Presiden pengganti undang-undang. Poinnya kami minta ditunda 1-2 tahun atau gimana, sambil lihat situasi itu. Jangan dilakukan dulu di Januari 2025, karena waktu sangat pepet,” pungkasnya.

    (wur)

  • Ekonom Ungkap Penyebab Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Merosot 5 Tahun Terakhir

    Ekonom Ungkap Penyebab Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Merosot 5 Tahun Terakhir

    Bisnis.com, JAKARTA – Kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia menurun dalam kurun  lima tahun terkhir. Hal itu terlihat dari bagaimana ekonomi tumbuh tetapi kelas menengah justru turun dan lapisan masyarakat miskin dan rentan miskin bahkan meningkat.

    Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf mengatakan penyebab pastinya masih perlu dikaji lebih dalam. Namun, dia memiliki hipotesa bahwa hal tersebut disebabkan oleh tiga faktor.

    “Pertama, ini kaitannya dengan apa yang terjadi dengan struktur perekonomian Indonesia. Selama periode itu walau pertumbuhan ekonomi kita lumayan positif dan inklusif, struktur transformasi kita agak lemah,” kata Arief dikutip dari channel Youtube Podcast SKS, Sabtu (16/11/2024).

    Arief menjelaskan, dalam teori ekonomi pembangunan struktur transformasi yang kuat ditunjukkan oleh pertumbuhan manufaktur yang tinggi. Sementara, dalam 15 tahun terakhir Arief melihat sektor manufaktur di Indonesia masih lemah. 

    Akibatnya, pertumbuhan tenaga kerja yang besar tidak bisa terserap di industri manufaktur yang memiliki produktivitas tinggi seperti di sektor perdagangan atau finansial. Kemudian yang terjadi adalah segmentasi masyarakat ini akan bekerja di sektor tersier yang produktivitasnya kecil.

    Faktor kedua adalah weak state capacity atau kapasitas negara yang lemah. Kondisi ini membuat masyarakat suatu negara menjadi rentan terhadap berbagai guncangan. Arief menjelaskan kemampuan negara dalam melindungi masyarakatnya, seperti melalui fasilitas bantuan sosial, sangat tergantung dari kekuatan fiskal pemerintah.

    Kemampuan tersebut diindikasikan melalui rasio fiskal yang dihitung dari nilai penerimaan negara dari pajak dibagi dengan produk domestik bruto (PDB). Rasio ini menunjukkan seberapa besar negara mampu mengeluarkan belanjanya yang berguna untuk melindungi rakyat.

    “Indonesia itu fiskal rasionya rendah sekali dan cenderung menurun, sekitar 9-10%. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Thailand saja sudah 16%,” kata Arief.

    Lemahnya perlindungan negara kepada rakyatnya ini diperparah dengan belanja sosial pemerintah yang menurut Arief jauh dari sempurna. Misalnya, 50% dari anggaran sosial yang diberikan pemerintah ternyata tidak tepat sasaran.

    “Ini karena data base kita tidak selalu di-update. Sementara di Indonesia dinamika miskin tidak miskin sangat cepat. Banyakan, 50% [tidak tepat sasaran] itu kan lumayan,” ujarnya.

    Faktor ketiga adalah faktor badluck, atau ketidakberuntungan. Arief mencontohkan kondisi ini seperti kejadian pandemi covid-19, yang menurutnya Indonesia saat ini belum sepenuhnya pulih dari kondisi luar biasa tersebut. Dia mencontohkan, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan ketika pandemi hingga saat ini belum terserap lapangan kerja. 

    Contoh lainnya adalah konflik global Rusia-Ukraina yang berdampak pada peningkatan harga komoditas global. Saat itu, Indonesia memang mendapatkan berkah ketika harga komoditas melambung.

    “Ini tidak baik-baik amat, karena sektor-sektor ini capital intensive tidak menarik labor yang hilang. Pertumbuhan ekonomi 5% itu terjadi oleh sektor-sektor yang sangat mungkin capital intensive, tidak labor intensive, tidak menciptakan lapangan kerja,” kata Arief.

    Adapun Arief membandingkan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode 2002-2019 dengan 2019-2024. Pada periode 2002 hingga 2019 ketika pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5-6%, dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan. 

    Berdasarkan catatannya, terjadi penambahan jumlah midle class 42 juta orang, aspiring midle class 38 juta orang, dan penurunan kelompok miskin dan rentan miskin 34 orang juta dari 2002 ke 2019.

    Sementara dalam periode lima tahun terakhir ini, kelas menengah justru berkurang 9,5 juta orang dan kelas miksin dan rentan miskin bertambah 12,7 juta orang.

    “Sebagai ilustrasi, 2002 midle class hanya 7% dari populasi. 2019 itu 21%. Ini ciri pembangunan yang baik, ciri yang normal. Sekarang, dari 21% tinggal 17%. Hanya dalam 5 tahun,” pungkasnya.

  • Pertumbuhan Ekonomi Lima Tahun Terakhir Dinilai Tak Inklusif, Ini Buktinya

    Pertumbuhan Ekonomi Lima Tahun Terakhir Dinilai Tak Inklusif, Ini Buktinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom membeberkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kurun 2019—2024 rata-rata mencapai 5%, tetapi manfaatnya tidak dirasakan merata oleh seluruh lapisan masyarakat.

    Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) Arief Anshory Yusuf menjelaskan ada dua komponen yang menjadi dasar perhitungan produk domestik bruto (PDB), yakni komponen pendapatan tenaga kerja (labor income) atau pendapatan riil dan komponen yang bersumber dari profit sebuah usaha (non labor income).

    Arief mencatat bahwa selama periode 2002 hingga 2019 pertumbuhan pendapatan riil jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Hal itu ditunjukkan dengan angka kemiskinan yang berkurang dan ada pertumbuhan dari kalangan masyarakat kelas menengah.

    Dalam catatannya, pada periode tersebut dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di rentang 5%—6%, terdapat peningkatan kelas menengah (midle class) sebanyak 42 juta orang, kelompok menuju kelas menengah (aspiring midle class) bertambah 38 juta orang, serta kelompok miskin dan rentan miskin berkurang 34 juta orang. 

    “Ini yang disebut pertumbuhan ekonomi inklusif. Kenapa, kecenderunganya yang banyak kan yang labor. Yang kapitalis kan biasanya elite segment society,” ujar Arief yang juga Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dalam siniar di kanal Youtube Podcast SKS, Sabtu (16/11/2024).

    Sebaliknya, kondisi tersebut dalam catatan Arief tidak terjadi pada kurun 2019—2024 atau periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Menurutnya, ketika pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, kontribusi dari komponen pertumbuhan riilnya jauh lebih kecil dari 5%.

    “Dengan demikian, 5% itu siapa yang menyumbang? Berarti sumbernya dari non-labor income yang pertumbuhannya lebih tinggi,” tegasnya.

    Hasilnya, dia mencatat dalam lima tahun terakhir kelas menengah berkurang 9,5 juta orang sementara kelompok miksin dan rentan miskin bertambah 12,7 juta orang.

    Sebagai pembanding, Arief meringkas pada 2002 jumlah kelas menengah sebesar 7% dari total populasi, kemudian bertambah menjadi 21% pada 2019. Saat ini, jumlah kelas menengah merosot menjadi tersisa 17% dari total populasi.

  • Sudindik Jaksel dukung makan bergizi gratis untuk tekan stunting

    Sudindik Jaksel dukung makan bergizi gratis untuk tekan stunting

    Jakarta (ANTARA) – Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Kota Administrasi Jakarta Selatan mendukung program makan bergizi gratis sebagai upaya untuk menekan stunting di wilayah tersebut.

    “Kita setuju mendukung program makan bergizi gratis di wilayah Jakarta Selatan,” kata Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Selatan, Sarwoko saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

    Sarwoko mengatakan uji coba program makan bergizi gratis sudah dilaksanakan di wilayahnya, tepatnya SMP Negeri 161 Jakarta.

    Harapannya, program ini akan terus dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan setiap sekolah yang ada di DKI Jakarta terutama Jakarta Selatan.

    “Saya berharap program ini bergilir agar semua sekolah kebagian merasakan manfaatnya,” ucapnya.

    Hingga 25 Oktober 2024 Pemprov DKI Jakarta telah melakukan uji coba 12 kali program makan bergizi gratis di sejumlah sekolah Jakarta. Sebanyak 10.448 kotak makanan bergizi telah dibagikan dalam program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu.

    Adapun anggaran yang dikeluarkan rata-rata seharga Rp25 ribu tergantung kalori makanan. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp71 triliun atau 0,29 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk program tersebut.

    Pada tahun 2023, Pemkot Jakarta Selatan telah menjangkau 615 balita terindikasi stunting dan 68 balita lulus sampai bulan Desember 2023 atau mencapai 11 persen.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2024

  • Naik! Utang Luar Negeri RI Jadi Rp 6.783 T

    Naik! Utang Luar Negeri RI Jadi Rp 6.783 T

    Jakarta

    Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan III-2024 mencapai US$ 427,8 miliar atau Rp 6.783,62 triliun (kurs Rp 15.857). Jumlah itu tumbuh 8,3% secara tahunan (year on year/yoy).

    “Utang Luar Negeri Indonesia pada triwulan III-2024 terkendali,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangan tertulis, Jumat (15/11/2024).

    Perkembangan ULN tersebut bersumber dari sektor publik. Posisi ULN triwulan III-2024 juga disebut karena faktor pelemahan mata uang dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mayoritas mata uang global, termasuk rupiah.

    Lebih rinci dijelaskan, posisi ULN pemerintah pada triwulan III-2024 sebesar US$ 204,1 miliar atau tumbuh sebesar 8,4% (yoy), setelah mencatatkan kontraksi 0,8% (yoy) pada triwulan II-2024. Perkembangan ULN tersebut dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri dan peningkatan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik, seiring tetap terjaganya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.

    “Pemerintah terus berkomitmen untuk menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara pruden dan akuntabel untuk mendapatkan pembiayaan yang paling efisien dan optimal,” ucap Denny.

    Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor prioritas dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan pengelolaan ULN. Berdasarkan sektor ekonomi, ULN pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk mendukung Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (21,0% dari total ULN pemerintah); Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (18,9%); Jasa Pendidikan (16,8%); Konstruksi (13,6%); serta Jasa Keuangan dan Asuransi (9,1%).

    “Posisi ULN pemerintah tetap terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah,” tuturnya.

    Sementara ULN swasta menurun. Pada triwulan III-2024, posisi ULN swasta tercatat sebesar US$ 196,0 miliar atau kontraksi 0,6% (yoy), setelah tumbuh rendah sebesar 0,02% (yoy) pada triwulan II-2024. Perkembangan tersebut terutama didorong oleh ULN lembaga keuangan (financial corporations) yang mencatat kontraksi pertumbuhan sebesar 3,2% (yoy).

    Berdasarkan sektor ekonomi, ULN swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan dan Penggalian, dengan pangsa mencapai 79,3% dari total ULN swasta. ULN swasta juga tetap didominasi oleh utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 75,3% terhadap total ULN swasta.

    “Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Hal ini tecermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terjaga sebesar 31,1%, serta didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 84,2% dari total ULN,” jelas Denny.

    Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, BI dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Peran ULN juga disebut akan terus dioptima lkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.

    (acd/acd)