Topik: Produk Domestik Bruto

  • OECD Usul Ambang Batas PTKP Turun, Orang Kaya dan Kelas Bawah Sama-Sama Tekor

    OECD Usul Ambang Batas PTKP Turun, Orang Kaya dan Kelas Bawah Sama-Sama Tekor

    Bisnis.com, JAKARTA — OECD menyarankan pemerintah menurunkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) agar penerimaan negara semakin meningkat. Kendati demikian, pakar menilai saran tersebut malah akan berdampak negatif ke semua kelompok masyarakat.

    Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar meyakini saran Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tersebut masuk akal namun tidak cocok dengan keadaan sekarang ini.

    Fajry mencontohkan belakang terjadi penurunan daya beli dan jumlah kelas menengah. Apalagi, sambungnya, tingkat kepercayaan masyarakat saat ini sedang tidak baik.

    “Jika ini dijadikan opsi, saya yakin akan ramai penolakan. Waktunya tidak tepat,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (28/11/2024).

    Lebih lanjut, dia menjelaskan secara historis pemerintah sempat menaikkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp36 juta per tahun menjadi Rp54 juta per bulan pada 2016. Fajry mengaku, CITA saat itu sempat menolak kebijakan PTKP tersebut karena akan lebih dinikmati kelompok berpendapat lebih tinggi.

    Contoh, jika PTKP naik dari Rp54 juta menjadi Rp60 juta per tahun maka orang berpenghasilan Rp54 juta per tahun tidak membayar pajak penghasilan (PPh 21) lagi sehingga kenaikan ini tidak memberikan manfaat tambahan.

    Di sisi lain, orang yang berpenghasilan Rp80 juta per tahun akan melihat pengurangan pajak atas Rp6 juta pertama yang kini bebas pajak.

    Ini karena PPh 21 bersifat progresif. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), ada lima lapisan penghasilan kena pajak:

    1. Penghasilan sampai dengan Rp60 juta per tahun kena tarif pajak 5%

    2. Penghasilan Rp60 juta sampai Rp 250 juta per tahun kena tarif pajak 15%

    3. Penghasilan Rp250 juta sampai Rp500 juta per tahun kena tarif pajak 25%

    4. Penghasilan Rp500 juta sampai Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 30%

    5. Penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 35%

    Dengan kenaikan PTKP menjadi Rp60 juta, orang berpenghasilan Rp80 juta mendapatkan pengurangan pajak sebesar Rp6 juta x tarif 5% = Rp300 ribu meski mereka masih membayar pajak besar di lapisan atas.

    Sebaliknya, jika ambang PTKP diturunkan maka kelompok masyarakat berpendapatan lebih rendah akan dikenai PPh 21. Begitu juga kelompok masyarakat berpendapatan lebih tinggi akan mendapati penambahan pajak per lapisannya.

    “Penurunan ambang batas PTKP, membuat kelompok berpendapatan tinggi paling worse-off, akan tetapi kebijakan ini juga akan berdampak pada kelompok menengah-bawah,” jelas Fajry.

    Usulan OECD

    Dalam laporan terbarunya bertajuk OECD Economic Surveys: Indonesia November 2024, lembaga tersebut menyatakan ambang batas pajak penghasilan (PPh 21) di Indonesia masih terlalu tinggi.

    OECD mencontohkan besaran PTKP adalah Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Perhitungan OECD, jumlah tersebut setara dengan 65% produk domestik bruto per kapita Indonesia.

    “Akibatnya, kebanyakan kelas menengah yang sedang bertambah jumlahnya tidak kena pajak penghasilan,” jelas OECD dalam laporannya, dikutip Kamis (28/11/2024).

    OECD pun membandingkan Indonesia dengan negara-negara kawasan. Pada 2017, hanya 10% warga yang bayar pajak penghasilan; sedangkan rata-rata warga negara-negara Asean mencapai 15%.

    Oleh sebab itu, lembaga ekonomi yang beranggota banyak negara maju tersebut menyarankan pemerintah menurunkan ambang batas PTKP. Artinya, OECD ingin pekerja dengan gaji di bawah Rp4,5 juta per bulan juga dikenai pajak—namun ambang batasnya terserah pemerintah.

    Sejalan dengan itu, masing-masing lapisan penghasilan kena pajak juga diturunkan. Misalnya, OECD menganggap tarif pajak 25% untuk lapisan penghasilan Rp250 juta—500 juta terlalu tinggi.

    “Ambang batas pajak penghasilan minimal harus dibekukan sehingga nilainya turun secara riil, sedangkan ambang batas yang lebih tinggi harus diturunkan nilainya,” jelas rekomendasi OECD.

    OECD meyakini jika rekomendasi reformasi pajak penghasilan tersebut dijalankan pemerintah maka akan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,7% dalam jangka menengah.

  • Usulan OECD Turunkan PTKP, Pengamat: Lebih Baik Kejar Pajak Orang Kaya

    Usulan OECD Turunkan PTKP, Pengamat: Lebih Baik Kejar Pajak Orang Kaya

    Bisnis.com, JAKARTA — Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk menurunkan ambang batas pendapatan tidak kena pajak alias PTKP, demi mengerek penerimaan negara.

    Saat ini, pemerintah menetapkan PTKP senilai Rp54 juta per tahun atau dengan pendapatan Rp4,5 juta per bulan. Sementara pajak dengan tarif 5% mulai berlaku bagi individu yang menerima upah Rp60 juta per tahun.

    OECD menilai bahwa ambang batas tersebut sangat tinggi atau sekitar 65% dari produk domestik bruto (PDB) per kapita. Selain itu, golongan pajak dengan tarif 25% dimulai pada pendapatan di atas Rp250 juta atau 300% dari PDB per kapita.

    Menurut EOCD, kebijakan tersebut ‘melindungi’ kelas menengah yang tengah tumbuh sehingga terbebas dari pajak penghasilan (PPh).

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono melihat memang ada opsi penurunan PTKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) maupun UMKM—yang juga diusulkan OECD. Namun, pada kenyataannya, pemerintah memilih untuk menambah tarif PPh orang pribadi di 35% untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. 

    “Keputusan pemerintah lebih rasional karena [memajaki orang kaya] dapat meningkatkan penerimaan pajak lebih signifikan dari penurunan PTKP,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (28/11/2024).

    Prianto berpandangan penurunan PTKP akan menambah PPh di tarif 5%. Selain itu, biaya administrasi di kantor pajak juga akan meningkat karena akan lebih banyak WPOP dan UMKM melaporkan SPT PPh tahunan, tetapi pajak yang disetor relatif kecil ketimbang dari individu berpenghasilan di atas Rp5 miliar.

    Meskipun pada dasarnya segala usulan kebijakan yang terlontar dari organisasi internasional tersebut sangat mungkin untuk pemerintah terapkan, tetapi Prianto menekankan bahwa pemerintah harus mengumpulkan segala perspektif terkait dengan kebijakan yang sudah diusulkan oleh OECD sebelum mengambil keputusan.

    Di mana pemerintah harus mendengarkan perspektif masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan kebijakan pajak tersebut.

    Untuk diketahui, sebelum adanya Undang-Undang (UU) Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), individu dengan penghasilan lebih dari Rp300 juta per tahun dikenakan tarif PPh tertinggi, yakni 30%.

    Kini, pemerintah menambahkan kategori penghasilan kena tarif 30% untuk penghasilan Rp500 juta hingga Rp5 miliar. Sementara individu dengan penghasilan lebih dari Rp5 miliar, dikenakan tarif PPh 35%.

    Dengan kata lain, Prianto melihat keputusan pemerintah lebih baik dengan mengejar pajak dari orang kaya ketimbang memburu pajak dari lapisan masyarakat kelas menengah dengan menurunkan PTKP.

    “Iya keputusan pemerintah dengan tarif 35% lebih tepat [ketimbang rekomendasi OECD]. Lebih mengejar pajak orang kaya,” ujarnya. 

  • Waduh, OECD Usul Pemerintah Turunkan Ambang Batas Pajak Penghasilan

    Waduh, OECD Usul Pemerintah Turunkan Ambang Batas Pajak Penghasilan

    Bisnis.com, JAKARTA – Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD menyarankan agar pemerintah menurunkan ambang batas minimal penghasilan tidak kena pajak (PTKP) agar penerimaan negara semakin meningkat.

    Dalam laporan terbarunya bertajuk OECD Economic Surveys: Indonesia November 2024, lembaga tersebut menyatakan ambang batas pajak penghasilan (PPh 21) di Indonesia masih terlalu tinggi.

    OECD mencontohkan besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Perhitungan OECD, jumlah tersebut setara dengan 65% produk domestik bruto per kapita Indonesia.

    “Akibatnya, kebanyakan kelas menengah yang sedang bertambah jumlahnya tidak kena pajak penghasilan,” jelas OECD dalam laporannya, dikutip Kamis (28/11/2024).

    OECD pun membandingkan Indonesia dengan negara-negara kawasan. Pada 2017, hanya 10% warga yang bayar pajak penghasilan; sedangkan rata-rata warga negara-negara Asean mencapai 15%.

    Oleh sebab itu, lembaga ekonomi yang beranggota banyak negara maju tersebut menyarankan pemerintah menurunkan ambang batas PTKP. Artinya, OECD ingin pekerja dengan gaji di bawah Rp4,5 juta per bulan juga dikenai pajak—namun ambang batasnya terserah pemerintah.

    Sejalan dengan itu, masing-masing lapisan penghasilan kena pajak juga diturunkan. Misalnya, OECD menganggap tarif pajak 25% untuk lapisan penghasilan Rp250 juta—500 juta terlalu tinggi.

    “Ambang batas pajak penghasilan minimal harus dibekukan sehingga nilainya turun secara riil, sedangkan ambang batas yang lebih tinggi harus diturunkan nilainya,” jelas rekomendasi OECD.

    OECD meyakini jika rekomendasi reformasi pajak penghasilan tersebut dijalankan pemerintah maka akan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,7% dalam jangka menengah.

    Sebagai informasi, Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif pajak penghasilan diatur secara progresif. Artinya, jika semakin besar penghasilannya maka semakin besar pajak yang wajib dibayar.

    Berikut ini lapisan penghasilan kena pajak:

    1. Penghasilan sampai dengan Rp60 juta per tahun kena tarif pajak 5%

    2. Penghasilan Rp60 juta sampai Rp 250 juta per tahun kena tarif pajak 15%

    3. Penghasilan Rp250 juta sampai Rp500 juta per tahun kena tarif pajak 25%

    4. Penghasilan Rp500 juta sampai Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 30%

    5. Penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun kena tarif pajak 35%

  • Indeks Inflasi AS Kuncian The Fed Naik pada Oktober 2024

    Indeks Inflasi AS Kuncian The Fed Naik pada Oktober 2024

    Bisnis.com, JAKARTA — Indeks pengeluaran konsumsi pribadi atau personal consumption expenditures price index (PCE) tercatat meningkat pada periode Oktober 2024. Indeks itu menjadi data acuan utama The Fed untuk mengukur inflasi AS.

    Hal ini membantu menjelaskan pendekatan hati-hati bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed, dalam mempertimbangkan penurunan suku bunga.

    Data dari Biro Analisis Ekonomi AS yang dikutip dari Bloomberg pada Kamis (28/11/2024) mencatat, indeks PCE inti, yang tidak termasuk makanan dan energi yang mudah berubah, meningkat 2,8% (year on year/YoY) dan 0,3% (month to month/MtM). Sebagian besar percepatan itu disebabkan oleh dampak harga saham yang lebih tinggi pada perhitungan. 

    Belanja konsumen yang disesuaikan dengan inflasi naik tipis 0,1% setelah kenaikan 0,5% yang direvisi naik pada September 2024, konsisten dengan permintaan yang tidak merata sepanjang tahun. Pada basis tahunan tiga bulan—metrik yang menurut para ekonom menggambarkan gambaran yang lebih akurat tentang lintasan inflasi—pengukur harga inti PCE naik 2,8%.

    Angka-angka tersebut mendukung komentar terbaru oleh banyak pejabat Fed bahwa tidak perlu terburu-buru untuk memangkas suku bunga selama pasar tenaga kerja tetap sehat dan ekonomi terus melaju.

    Sementara inflasi membutuhkan waktu untuk kembali ke target The Fed sebesar 2%, jalur kebijakan ke depan akan menjadi rumit oleh agenda ekonomi Presiden terpilih Donald Trump. Stanley Black & Decker Inc. mengatakan pihaknya sudah mempertimbangkan untuk menaikkan harga awal tahun depan untuk mengantisipasi tarif yang lebih tinggi.

    Kenaikan inflasi disebabkan oleh harga jasa, yang mencerminkan lonjakan biaya pengelolaan portofolio yang bertepatan dengan kenaikan harga saham. Indeks harga jasa inti—kategori yang diawasi ketat yang mengecualikan perumahan dan energi—naik 0,4% dari bulan sebelumnya, tertinggi sejak Maret. Sementara itu, biaya barang inti tidak berubah.

    Angka PCE mengikuti serangkaian rilis ekonomi lainnya menjelang liburan Thanksgiving pada Kamis waktu AS. Laporan pemerintah terpisah pada Rabu menunjukkan produk domestik bruto meningkat 2,8% tanpa revisi pada kuartal III/2024, didorong oleh kemajuan yang sehat dalam pengeluaran rumah tangga dan bisnis.

    Rincian Pengeluaran

    Pengeluaran jasa, yang merupakan bagian terbesar dari konsumsi rumah tangga, naik 0,2% dari bulan sebelumnya, yang sebagian besar mencerminkan pengeluaran perawatan kesehatan. Selanjutnya, pengeluaran barang tercatat meningkat.

    Meskipun pasar kerja solid, biaya hidup yang tinggi membebani anggaran rumah tangga. Itu menjelaskan mengapa orang Amerika mengatakan mereka bermaksud untuk mengurangi pengeluaran untuk hadiah liburan tahun ini.

    Para ekonom akan mencermati penjualan Black Friday dengan saksama untuk mendapatkan gambaran lain tentang selera belanja konsumen. Pengecer ternama Target Corp., Best Buy Co., dan Walmart Inc. semuanya telah memperpanjang promosi liburan mereka dengan harapan dapat menarik konsumen yang mencari diskon.

    Banyak konsumen mengandalkan kartu kredit dan pinjaman lain untuk mendukung pengeluaran mereka, dengan konsumen yang lebih muda dan berpenghasilan rendah menunjukkan tanda-tanda kesulitan keuangan seperti tingkat tunggakan yang lebih tinggi.

  • Bukan Naikkan PPN, Ini Saran OECD agar Indonesia Dapat Tambahan Pajak Rp200 Triliun

    Bukan Naikkan PPN, Ini Saran OECD agar Indonesia Dapat Tambahan Pajak Rp200 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD mengungkapkan Indonesia berpotensi mendapat tambahan PDB lebih dari Rp200 triliun dengan memperbaiki administrasi pajak.

    Hal tersebut tercantum dalam Survei Ekonomi OECD Indonesia 2024 yang baru meluncur pada Selasa (26/11/2024).

    Dalam dokumen itu OECD mendorong reformasi administrasi pajak, termasuk meningkatkan kepatuhan terhadap pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi. Selain itu perlu upaya melalui digitalisasi, penggunaan data pihak ketiga, serta meningkatkan jumlah pegawai pajak.  

    OECD dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa melalui perbaikan administrasi pajak atau tax administration, dapat mengerek pendapatan hingga 1% dari produk domestik bruto (PDB). Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), dengan PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) 2023 senilai Rp20.892,4 triliun, artinya tambahan pendapatan negara dapat mencapai Rp208,924 triliun. 

    Adapun, OECD mendorong Indonesia untuk merujuk pengalaman internasional dalam meningkatkan pendapatan pajak.

    Pertama, yakni memanfaatkan sepenuhnya digitalisasi, yang membutuhkan konektivitas yang memadai dan personel pajak yang cakap. Kedua, memperkuat manajemen risiko kepatuhan, termasuk melalui pembuatan profil risiko secara otomatis.

    Ketiga, mengadopsi sistem komputer untuk memproses data pihak ketiga dan mengisi ulang SPT. Keempat,mengisi kantor administrasi pajak dengan staf yang memadai dengan personil yang berkualitas dan diberi insentif. 

    OECD bahkan memberikan beberapa contoh implementasi di sejumlah negara sehingga Indonesia dapat mengadopsinya. Seperti Yordania, mensyaratkan bukti bahwa pajak telah dibayarkan untuk perpanjangan izin usaha.

    Di Uganda, otoritas pajak memberikan pengingat melalui pesan singkat ke rumah tangga dan bisnis tentang tenggat waktu pengajuan pajak diperkirakan dapat meningkatkan pembayaran pajak sebesar 7%.

    Sementara di Kosta Rika dengan mengirimkan email yang mengingatkan bisnis tentang penegakan pajak, menggarisbawahi kemungkinan audit, penutupan bisnis, dan dipermalukan di depan umum diperkirakan telah meningkatkan rasio pengumpulan pajak sebesar 3,4%.

    Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak Kemenkeu sendiri tengah bersiap untuk meluncurkan Core Tax Administration System (CTAS) pada 2025 mendatang.

    Pemerintah bahkan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/ 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).

    Salah satunya, terdapat fitur prepopulated atau pengisian otomatis, di mana bukti potong akan langsung terintegrasi pada akun pajak. 

  • Kadin Luncurkan White Paper, Dorong 4 Pilar untuk Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8%

    Kadin Luncurkan White Paper, Dorong 4 Pilar untuk Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8%

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meluncurkan White Paper dengan 4 pilar yang perlu dilakukan pemerintah guna mengejar pertumbuhan ekonomi 8%. 

    White Paper Kadin merupakan dokumen strategis sebagai panduan, serta rekomendasi kebijakan terkait arah pembangunan ekonomi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%.

    Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan dokumen ini menjelaskan tantangan dan inisiatif utama yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga White Paper relevan dengan kondisi Indonesia untuk lima tahun ke depan.

    Menurutnya, White Paper ini bisa menjadi panduan sinergi dunia usaha dan pemerintah untuk membangun perekonomian yang inklusif dan berkelanjutan.

    Dalam White Paper ini, Kadin Indonesia merumuskan empat pilar strategis, antara lain meningkatkan ketahanan, mendorong kesejahteraan, memperkuat inklusivitas, dan memajukan keberlanjutan yang diturunkan dalam inisiatif utama sebagai panduan mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.

    Adapun, dia menyebut inisiatif utama tersebut berpotensi meningkatkan produk domestik bruto (PDB) hingga 7-8% per tahun. Kadin turut melakukan proyeksi PDB berdasarkan tambahan kumulatif US$450-500 miliar dari seluruh inisiatif utama selama 2024-2029.

    Di mana, terdapat tujuh tema pertumbuhan teratas yang berpotensi memberikan kontribusi lebih dari 80% dari estimasi total dampak PDB selama 2024-2029.

    Ketujuh prioritas ini berasal dari bidang infrastruktur kesehatan, ketahanan energi, UMKM, manufaktur, bisnis hijau dan berkelanjutan, serta ketahanan pangan.

    Pada kesempatan yang sama, Boston Consulting Group Adrian Dimitri mengatakan pemerintah harus membuka keran potensi ekonomi yang terkunci di setiap wilayah untuk mencapai pertumbuhan di level 8%.

    Menurutnya, setiap wilayah di Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang berkaitan dengan demografis, komoditas, hingga sumber energi yang berpotensi untuk bisa terus bertumbuh dan berkembang secara signifikan. Sebab, saat ini ekonomi Indonesia masih berpusat di Pulau Jawa.

    Namun, Adrian melihat pusat ekonomi Indonesia ke depan akan bergerak ke arah bagian Timur, yakni berupa critical minerals, agrikultur, perikanan, minyak dan gas, hingga energi.

    “Jadi pengembangan masing-masing daerah nanti akan sangat krusial. Masing-masing daerah dan pulau yang terbesar di Indonesia akan punya fokus,” kata Arsjad di Jakarta, Selasa (26/11/2024). 

    Misalnya saja, wilayah Sumatera yang bisa terus berkembang, baik dari perkebunan kelapa sawit, batu bara, hingga minyak dan gas.

    “Secara umum Indonesia semuanya itu ada di sini, Indonesia mempunyai market, sumber energi, sumber daya, dan tenaga kerja. Komplit semua. [Tinggal] bagaimana kita meng-unlock potensi, ini jarang dimiliki oleh negara lain,” tuturnya.

    Dia menambahkan, Indonesia sebagai salah satu ekonomi terbesar perlu memprioritaskan sektor strategis untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Maka dari itu, dia meyakini target pertumbuhan ekonomi 8% bukan suatu hal yang mustahil terjadi.

    “Target 8% bukan satu hal yang mustahil, bisa kita capai walaupun di beberapa tahun terakhir kita cukup stagnan di 5-6%,” ujar Adrian.

    Sementara itu, Chairperson 5P Global Movement Indonesia William Sabandar mengatakan penguatan inklusivitas penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui pendekatan di beberapa aspek, mulai dari aspek sosial, politik dan tata kelola, ekonomi, ekologi dan keberlanjutan, budaya dan sosial, serta keamanan dan stabilitas.

    Bahkan, dia juga menyebut ekonomi 8% bisa tumbuh seiring dengan adanya pembangunan yang berkelanjutan.

    “Pentingnya pembangunan berkelanjutan sebagai dasar kita bisa bertumbuh 8%. Kita tidak akan bisa tumbuh 8% dengan mengabaikan pembangunan berkelanjutan,” pungkasnya.

  • Kenaikan PPN 12 Persen Picu Menurunnya Konsumsi Rumah Tangga, PDB Indonesia Bisa Anjlok

    Kenaikan PPN 12 Persen Picu Menurunnya Konsumsi Rumah Tangga, PDB Indonesia Bisa Anjlok

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Center Of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen bisa menurunkan konsumsi rumah tangga. Dampaknya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia bisa anjlok. 

    Pemerintah diminta membatalkan rencana kenaikkan PPN 12 persen, karena akan sangat berpengaruh terhadap inflasi, daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi nasional, hingga mengurangi konsumsi rumah tangga. Padahal konsumsi rumah tangga merupakan komponen utama PDB Indonesia.

    “Konsumsi rumah tangga bisa terdorong jauh sekitar 20 triliun, konsumsi rumah tangga berkurang. Kita harapkan ini bisa diantisipasi dan didengarkan oleh pemerintah bahwa dampaknya cukup besar loh untuk di perekonomian rumah tangga dan perekonomian secara umum,” ujar Nailul Huda dalam wawancara di Investor Daily TV atau IDTV.

    Nailul menjelaskan pertumbuhan PDB Indonesia diproyeksikan turun 0,26 persen jika konsumsi rumah tangga berkurang akibat PPN naik 12 persen. Ini penurunan yang signifikan di tengah ekonomi sedang berupaya pulih dari tekanan global.

    Nailul meminta kepada pemerintah untuk membatalkan atau menunda rencana kenaikan PPN 12 persen pada awal 2025, karena kebijakan itu belum tepat diberlakukan sekarang.

    Menurutnya, daya beli masyarakat sekarang sedang melemah dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga melambat akibat tekanan ekonomi global pascapandemi Covid-19. 

    “Ini kebijakan yang tidak bijak dilakukan untuk saat ini,” ujar Nailul.

    Nailul mengatakan banyak masyarakat kelas menengah sekarang masih berupaya memulihkan ekonominya, dan dikhawatirkan kondisi mereka akan tambah memburuk jika pemerintah memaksa kenaikan PPN 12 persen.

  • IHSG Melejit Jelang Pilkada Serentak

    IHSG Melejit Jelang Pilkada Serentak

    Jakarta: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin berpeluang bergerak menguat terbatas menjelang penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada Rabu (27/11) pekan ini.
     
    IHSG dibuka menguat 23,38 poin atau 0,32 persen ke posisi 7.218,95. Sementara itu, kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 naik 4,79 poin atau 0,55 persen ke posisi 881,81.
     
    “IHSG berpeluang menguat terbatas pada awal pekan ini,” sebut Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas dalam kajiannya, dilansir Antara, Senin, 25 November 2024.
    Pada sepanjang pekan ini, data ekonomi dalam negeri relatif minim, pasar keuangan domestik akan diwarnai berbagai sentimen yang didominasi dari dalam negeri, yang mana fokus tertuju pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 27 November 2024.
     
    Sementara dari mancanegara, data ekonomi pada pekan ini, di antaranya Amerika Serikat (AS) akan merilis data 2nd estimation Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III-2024.
     
     

     

    Pertumbuhan PDB riil AS

    Sebelumnya, pertumbuhan PDB riil AS pada kuartal III-2024 tumbuh sebesar 2,8 persen year on year (yoy), atau di bawah estimasi konsensus pasar yang memperkirakan pertumbuhan sekitar tiga persen (yoy).
     
    Pada hari yang sama, Rabu (27/11), terdapat rilis klaim pengangguran awal dan berkelanjutan, serta terdapat rilis data inflasi pengeluaran pribadi warga AS (PCE) periode Oktober 2024.
     
    Pada penutupan Jumat (22/11) lalu, Indeks saham Wallstreet tercatat ditutup di zona hijau, indek Dow Jones naik 426,16 poin atau 0,97 persen menjadi 44.296,51 atau penutupan tertinggi sepanjang masa dan sesi positif ketiga berturut-turut, indeks S&P 500 bertambah 0,35 persen ditutup di level 5.969,34, mencatatkan hari kemenangan kelima berturut-turut.
     
    Pergerakan Jumat (22/11) pekan lalu menandakan kelanjutan tren di mana investor beralih dari sektor teknologi ke sektor-sektor yang lebih sensitif terhadap ekonomi.
     
    Bursa saham regional Asia pagi ini antara lain, indeks Nikkei menguat 539,94 poin atau 1,41 persen ke level 38.823,79, indeks Shanghai menguat 8,92 poin atau 0,27 persen ke posisi 3.276,11, indeks Kuala Lumpur menguat 16,47 poin atau 1,04 persen ke posisi 1.606,25, dan indeks Straits Times menguat 15,14 poin atau 0,40 persen ke 3.761,16.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (AHL)

  • PPN 12% Mulai 2025, Ekonom: Lebih Banyak Rugi daripada Untung!

    PPN 12% Mulai 2025, Ekonom: Lebih Banyak Rugi daripada Untung!

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai alias PPN menjadi 12% mulai 2025 sejatinya dalam rangka menambah penerimaan negara. Alih-alih menggemukkan kas negara, ekonom menilai kebijakan tersebut justru akan mendatangkan kerugian. 

    Direktur Riset Bidang Makroekonomi dan Kebijakan Fiskal Moneter Center Of Reform on Economics (Core) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menyampaikan kenaikan tarif PPN tersebut tidak akan efektif mengangkat penerimaan negara pada 2025 maupun tax ratio. 

    Justru konsekuensi yang harus pemerintah hadapi adalah potensi anjloknya konsumsi maupun transaksi masyarakat pascakenaikan tarif pajak. 

    “Kalau PPN naik, maka ada konsekuensi yang terkait dengan perkembangan ekonomi. Sebetulnya, justru lebih banyak ruginya daripada untungnya,” ujarnya dalam Core Economic Outlook 2025, Sabtu (23/11/2024). 

    Akbar menjelaskan dalam paparannya, bahwa imbas kenaikan tarif PPN tersebut akan berdampak pada penerimaan pajak dalam negeri yang melambat karena perlambatan konsumsi domestik.

    Bahkan, dirinya memprediksikan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditargetkan senilai Rp2.189,3 triliun akan tumbuh rendah meski pemerintah menerapkan PPN 12%. 

    Menurutnya, strategi peningkatan penerimaan maupun tax ratio harus menerapkan pajak yang adil, salah satunnya dengan tarif progresif. 

    Di Indonesia, pemerintah masih menggunakan tarif tunggal atau single tariff sehingga hal ini dianggap tidak adil karena tidak mempertimbangkan perbedaan daya beli dan kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda. 

    Senada, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono sebelumnya membuktikan bahwa PPN 12% otomatis akan menggerus daya beli masyarakat hingga 11,11%. 

    Lebih parahnya, hal tersebut berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi yang diharapkan naik ke level 6%-7% tahun depan (menurut Bappenas). 

    Prianto menjelaskan sebagai contoh, Badu memiliki dana Rp1 juta dan akan membeli barang dengan harga Rp 100.000/unit.  

    Jika sebelumnya dengan tarif PPN 11% Badu dapat membeli sembilan unit barang (harga per barang Rp111.000 x 9 = Rp999.000), kini dengan tarif PPN 12% hanya mampu membeli delapan unit barang karena total yang dibayarkan Rp896.000 (harga per barang Rp112.000 x 8 = Rp896.000). 

    Berdasarkan ilustrasi tersebut, Prianto menyampaikan penambahan PPN 1% dari 11% ke 12% membuat Badu hanya mampu membeli barang sebanyak 8 unit dari sebelumnya 9 unit.

    “Kondisi demikian dapat digunakan sebagai ilustrasi bahwa penurunan daya beli Badu setara dengan 1/9 atau 11,11%,” ujarnya. 

    Menghitung dari data Badan Pusat Statistik (BPS), di mana produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp5.638,9 triliun pada kuartal III/2024, konsumsi rumah tangga menjelaskan 53,08% atau mencakup Rp2.993,13 triliun. 

    Jika terjadi penurunan daya beli sebesar 11,11%, artinya PDB akan turun hingga Rp332,54 triliun. 

    Angka tersebut jauh lebih tinggi dari potensi pendapatan yang akan diterima Kementerian Keuangan bila menerapkan PPN 12%. 

    Di mana sebelumnya Pengamat pajak dan Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan pajak hingga Rp100 triliun (basis penghitungan kenaikan PPN seperti 2022 ketika PPN naik dari 10% ke 11%). 

    Melalui perhitungan tersebut, artinya pendapatan negara dari pajak yang sebelumnya Rp2.189,3 triliun tersebut akan mencapai Rp2.289,3 triliun, bahkan lebih.

    Meski demikian, negara juga harus bersiap untuk menghadapi penurunan PDB Rp332,54 triliun setiap kuartalnya. 

  • Sinyal Positif Insentif Mobil Hybrid, Keluar Paling Cepat Awal Tahun

    Sinyal Positif Insentif Mobil Hybrid, Keluar Paling Cepat Awal Tahun

    Jakarta

    Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan kabar baik insentif untuk mobil hybrid. Pihaknya sudah mengusulkan stimulus berupa insentif. Jika berjalan mulus, aturannya paling cepat keluar tahun depan.

    “Insentif untuk hybrid juga salah satu yang kita sudah usulkan dan dalam waktu dekat akan dibahas, nanti dikoordinasikan Kemenko Ekon (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian). Sudah kami siapkan, bukan hanya untuk EV (kendaraan listrik) tetapi juga untuk hybrid,” ujar Agus di ICE BSD, Tangerang, Banten, Jumat (22/11/2024).

    Dia menambahkan rancangan insentif ini merupakan langkah pemerintah sebelumnya yang pernah menerapkan program Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) selama pandemi COVID-19.

    “Seperti apa insentifnya, bisa saja seperti PPnBM DTP, dan lain sebagainya. Besarnya seperti apa, tolong jangan ditanya sekarang. Karena masih dibahas internal pemerintah,” jelas Agus.

    “Kalau kita sudah sepakat dengan internal pemerintah, saya kira bisa bergulirnya betul-betul efektif jalan itu early next year (awal tahun depan),” jelas dia.

    Bukan tanpa sebab, Agus menyampaikan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) sudah merevisi target dari lebih 1 juta unit menjadi 850 ribu unit. Penurunan target penjualan tahun turun sekitar 300.000 unit membuat Indonesia kehilangan sekitar Rp 10,6 triliun.

    Penurunan itu cukup berdampak bagi sektor otomotif di mana backward dan forward linkages melibatkan 1,5 juta jiwa.

    “Sektor ini memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (GDP), khususnya sektor manufaktur,” ucap dia.

    Kabar ini direspons positif oleh Gaikindo. Potensi mobil hybrid di Indonesia masih bisa digedor lagi lewat kehadiran insentif.

    “Kalau kita terpaku hanya satu macam teknologi itu sangat berbahaya, karena kita tidak tahu ke depan siapa yang akan jadi leader-nya,” kata Nangoi dalam kesempatan terpisah.

    “Kami bilang bahwa saat ini mobil hybrid pertumbuhannya cukup pesat di Indonesia. Oleh sebab itu kita melihat jangan sampai pabrikan hybrid ini memindahkan pabriknya ataupun mengalokasikan pabriknya di Indonesia. Jadi insentif hybrid, apakah itu ICE ataupun listrik sama pentingnya untuk kita,” jelasnya lagi.

    “Revisi target ini dampaknya luar biasa, pak Menteri sudah menyampaikan turun sekian 250 ribu (unit) dampaknya luar biasa. Oleh sebab itu kita coba menahan jangan sampai turun terlalu dalam,” kata Nangoi.

    “Kita bilang diperlukan stimulus-stimulus lagi. Tadi dikatakan oleh pak Menteri, mudah-mudahan di awal tahun depan beberapa stimulus baru bisa langsung diimplementasikan,” tambah dia.

    (riar/rgr)