Topik: polio

  • Simulasi Tarif PPN 12%, Harga TV hingga Minuman Bisa Jadi Segini

    Simulasi Tarif PPN 12%, Harga TV hingga Minuman Bisa Jadi Segini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan merilis gambaran harga barang dan jasa kena pajak setelah naiknya tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

    Melalui keterangan tertulis bernomor KT-03/2024, Ditjen Pajak menegaskan, perubahan tarif PPN menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penerapannya pun terhadap seluruh barang dan jasa kena pajak, kecuali barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan tarif maupun di berikan fasilitas pajak ditanggung pemerintah.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak,” dikutip dari keterangan tertulis Ditjen Pajak yang terbit Sabtu (21/12/2024).

    Ditjen Pajak mengklaim, karena kenaikannya dibuat bertahap oleh UU HPP, dari 10% menjadi 11% per April 2022, dan 12 per Januari 2025, harga barang dan jasa kena pajak tidak akan melonjak tinggi dan tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” tulis Ditjen Pajak.

    Ditjen Pajak pun mencontohkan perubahan harga barang dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12%, sebagaimana berikut` ini:

    1. Minuman Bersoda pada 2024 harganya Rp 7.000, lalu kena PPN 11% senilai Rp 770, sehingga masyarakat yang membeli sekaleng minuman bersoda mengeluarkan kocek total sebesar Rp 7.770. Sementara itu, ketika PPN 12% pada 2025, harga minuman soda yang tadinya Rp 7.000, kena PPN 12% senilai Rp 840, menyebabkan harga di tangan konsumen menjadi Rp 7.840.

    2. Harga TV pada 2024 harganya Rp 5 juta, lalu kena PPN 11% senilai Rp 550.000, sehingga masyarakat yang membeli TV mengeluarkan kocek total sebesar Rp 5,55 juta. Sementara itu, ketika PPN 12% pada 2025, harga TV yang tadinya Rp 5 juta, kena tambahan harga dari PPN 12% yang senilai Rp 600 ribu, menyebabkan harga di tangan konsumen menjadi Rp 5,6 juta. 

    Ditjen Pajak pun menilai kenaikan beban harga akhir pada konsumen hanya 0,9%. “Jadi, kenaikan PPN 11% menjadi 12% hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen,” tulis Ditjen Pajak.

    Akan tetapi simulasi tersebut tentu dengan catatan harga dari pabrikan tidak berubah setelah kenaikan PPN menjadi 12%.

    Barang Bebas PPN

    Ditjen Pajak juga menegaskan, barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%. Barang dan jasa tersebut seperti:

    1) Barang kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran

    2) Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum

    3) Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp 265,6 triliun untuk tahun 2025.

    Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali jiga terhadap tiga jenis barang yang 1% PPN nya ditanggung pemerintah atau DTP, yaitu minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu dan gula industri.

    Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.

    (mkh/mkh)

  • Ditjen Pajak: PPN 12% Tak Berdampak Signifikan ke Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

    Ditjen Pajak: PPN 12% Tak Berdampak Signifikan ke Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal/Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mengklaim bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 tidak akan berdampak signifikan terhadap daya beli, inflasi, maupun pertumbuhan ekonomi. 

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti menuturkan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut telah dilaksanakan secara bertahap sejak 2022 lalu. 

    Ketentuan tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12/2024).

    Dwi menjelaskan bahwa dampak yang tidak signifikan tersebut karena barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%.

    Adapun kenaikan tarif PPN berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11%, kecuali barang pokok penting (bapokting) Minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri.

    Di mana bapokting tersebut tetap 11%, sementara 1% sisanya ditanggung pemerintah (DTP).

    Dalam simulasi perhitungan Ditjen Pajak, kenaikan tarif 1% tersebut hanya memberikan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen.

    Misalnya, jika sebelumnya sebuah minuman seharga Rp7.000 dengan tarif 11% menjadi Rp7.770. Kini dengan tarif 12%, minuman tersebut menjadi Rp7.840 atau naik Rp70 atau setara 0,9%. 

    Kerek Inflasi Terbatas 

    Sebelumnya, Sekretaris Menteri Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menuturkan implementasi tarif PPN 12% pada tahun depan akan otomatis berdampak mendorong inflasi secara tahunan, tetapi secara terbatas.  

    Susi menyampaikan secara umum, melalui kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% terhadap barang maupun jasa, hanya akan mendorong inflasi sebesar 0,3% year on year (YoY). 

    “[Inflasi] tambahan 0,3% untuk year on year. Sekarang berapa? Kemarin 1,55% [November 2024], maka tambah 0,3%,” tuturnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (17/12/2024). 

    Sama halnya dengan bank sentral, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aida S. Budiman menyampaikan proyeksi tersebut berdasarkan hitungannya terhadap barang-barang yang kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bobotnya terhadap porsi inflasi. 

    Sejauh ini, selain objek PPN secara umum yang naik tarifnya, pemerintah juga akan mengenakan PPN 12% terhadap barang/jasa yang tergolong premium. 

    “Hitungannya, ini mengakibatkan sekitar penambahan inflasi 0,2%. Apakah ini besar? Jawabanya tidak,” tuturnya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG), Rabu (18/12/2024).

    Peningkatan yang terbatas tersebut artinya inflasi hanya akan naik sedikit dari target Bank Indonesia pada rentang 1,5% hingga 3,5% pada 2025.

    Meski demikian, kalangan ekonom meyakini efek kenaikan tarif pajak ini dapat mendorong inflasi tembus lebih dari 4%, lebih dari dari perkiraan pemerintah maupun Bank Indonesia. 

    Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Askar Wahyudi melihat pengeluaran masyarakat akan otomatis bertambah. 

    Seperti pengeluaran kelompok miskin berpotensi meningkat senilai Rp101.880 per bulan, sehingga memperburuk kondisi ekonomi mereka. Sementara itu, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sejumlah Rp354.293 per bulan.

    Berikut Barang/Jasa yang Bebas PPN alias PPN 0%:

    Barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran

    Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum

    Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum

  • Kenaikan Tarif PPN, Ini Insentif Stimulus Ekonomi yang Disiapkan Pemerintah – Halaman all

    Kenaikan Tarif PPN, Ini Insentif Stimulus Ekonomi yang Disiapkan Pemerintah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah menyiapkan sejumlah insentif stimulus ekonomi berkaitan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan barang dan jasa kebutuhan pokok tetap bebas dari PPN. 

    Kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen berlaku 1 Januari 2025.

    Airlangga mengatakan kenaikan PPN tidak berlaku bagi sejumlah barang dan jasa.

    “Barang seperti kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula konsumsi, jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, dan pemakaian air, seluruhnya bebas PPN,” ujar Airlangga dalam konferensi pers, Senin (16/12/2024). 

    Sementara itu Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengklaim kenaikan PPN mengutamakan prinsip keadilan.

    “Keadilan adalah di mana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang.”

    “Sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.

    Stimulus Pemerintah

    Pemerintah memberikan sejumlah insentif kepada masyarakat atas kenaikan PPN.

    Rumah tangga berpenghasilan rendah akan mendapatkan bantuan langsung berupa beras 10 kg per bulan selama dua bulan awal tahun 2025.

    Lalu ada pula diskon listrik 50 persen untuk pelanggan daya 2200 VA ke bawah. 

    Insentif juga diberikan kepada pelaku UMKM, di mana pemerintah memperpanjang insentif PPh final 0,5 persen hingga 2025.

    PPh untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun juga dihapus.

    Pemerintah juga menggelontorkan stimulus pada sektor tenaga kerja.

    Seperti subsidi jaminan kecelakaan kerja dan pembebasan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk pekerja dengan gaji hingga Rp 10 juta per bulan, sebagaimana dilansir Kompas TV. 

    Pemerintah juga menyediakan program pembiayaan untuk revitalisasi mesin industri dengan subsidi bunga sebesar 5 persen.

    “Pemerintah berkomitmen memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dan mendukung produktivitas industri padat karya melalui berbagai program insentif,” ungkap Sri Mulyani.  

    Melalui kebijakan ini, pemerintah tidak hanya mengelola dampak kenaikan PPN, tetapi juga memperkuat pondasi ekonomi untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. 

    Dikutip dari Kompas TV, berikut adalah daftar lengkap stimulus yang diberikan Pemerintah akibat kenaikan PPN 12 persen:

    1. MinyaKita, tepung terigu, gula industri PPN-nya tetap 11 persen di 2025, yang 1 persen DTP

    2. Bantuan pangan dan beras bagi desil satu dan dua sebesar 10 kg per bulan

    3. Biaya Listrik untuuk pelanggan di bawah atau sampai dengan 2200 VA diberikan diskon sebanyak 50 persen untuk 2 bulan

    4. PPN DTP Rp 5 miliar dengan dasar pengenaan pajak Rp2 miliar

    5. Melanjutkan kembali fasilitas untuk kendaraan bermotor berbasis listrik atau berbasis baterai (electric vehicle)

    6. PPnBM DTP untuk kendaraan baterai atau EV atas impor roda tertentu secara utuh atau CBU dan roda empat tertentu yang komplet (knock down)

    7. Pembebasan bea masuk EV CBU

    8. PPnBM DTP untuk kendaraan bermotor hybrid, PPN yang diskon atau PPN DTP sebesar 3 persen

    9. Insentif PPh pasal 21 DTP untuk pekerja gaji Rp4,8 juta-Rp10juta

    10. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan industri padat karya, masa klaimnya diperpanjang sampai dengan 6 bulan dan manfaatnya 60 persen untuk 6 bulan

    11. Jaminan Kecelakaan Kerja bagi industri padat karya tertentu, diberikan diskon sebesar 50 persen untuk 6 bulan

    12. PPh final UMKM 0,5 persen diperpanjang sampai dengan 2025

    13. Subsidi kredit investasi industri padat karya sebesar 5 persen

    Tanggapan DPR

    Anggota DPR RI, Herman Khaeron, berharap masyarakat dapat segera beradaptasi terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    Dia khawatir, ada kemungkinan terjadi inflasi dampak dari kenaikan PPN yang rencananya berlaku tahun depan.

    “Mudah-mudahan bisa segera adaptasi, karena biasanya daya beli menyesuaikan terhadap harga, meski besar kecilnya dampak terhadap inflasi atas kenaikan PPN menurut saya mungkin ada,” kata Herman kepada wartawan, Rabu (18/12/2024).

    Namun, Herman meminta semua pihak menunggu implementasi penerapan kenaikan PPN 12 persen.

    Politikus Demokrat itu juga berharap pemerintah memberikan formulasi lain imbas kenaikan PPN tersebut. 

    Saat ini, pemerintah sudah membebaskan pajak untuk sembako, jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, hingga pemakaian air. 

    “Kita tunggu formula yang tepat dari pemerintah selain memberikan fasilitas pajak nol persen untuk barang dan jasa terkait sembako,” ucapnya.

    (Tribunnews.com/Gilang Putranto, Widya Lisfianti, Reza Deni) (Kompas.com)

  • Kemendag Pastikan Minyakita Tidak Kena PPN 12%, tapi 11%

    Kemendag Pastikan Minyakita Tidak Kena PPN 12%, tapi 11%

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan minyak goreng rakyat alias Minyakita tidak terkena kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN 12% pada 2025.

    Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag Fajarini Puntodewi mengatakan bahwa PPN untuk Minyakita tidak mengalami perubahan, alias masih dipatok PPN 11% pada tahun depan. Begitu pula dengan bahan pokok tepung terigu.

    Dewi menjelaskan hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan dan ketersediaan bahan pokok, sehingga bahan pokok yang sebelumnya tidak terkena PPN, ke depan juga tidak terkena PPN.

    “Bahan pokok yang sebelumnya terkena PPN seperti minyak goreng Minyakita dan tepung terigu, ke depan tidak akan terkena kenaikan PPN. Kedua komoditi ini dikenakan PPN seperti saat ini sebesar 11%,” jelas Dewi kepada Bisnis, Kamis (19/12/2024).

    Adapun, Dewi menjelaskan bahwa pengaturan lebih lanjut masih dalam proses.

    “Tentunya memperhatikan asas kehati-hatian dan kepentingan yang lebih luas agar tepat sasaran dan manfaat,” imbuhnya.

    Seperti diketahui, pemerintah memberikan fasilitas bebas PPN atau PPN tarif 0% berkenaan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

    Barang dan jasa yang dimaksud adalah bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, dan gula konsumsi.

    Selain itu, juga ada jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum yang dikenakan PPN 0%.

    Namun demikian, pemerintah mengenakan PPN 12% untuk berbagai kelompok barang dan jasa pada tahun depan. Asal tahu saja, barang dan jasa mewah yang dikonsumsi masyarakat mampu yang sebelumnya tidak dikenakan PPN seperti bahan makanan premium, antara lain beras, buah-buahan, ikan dan daging premium.

    Kemudian, pelayanan kesehatan medis premium, jasa pendidikan premium, dan listrik pelanggan rumah tangga sebesar 3.500—6.600 VA bakal dikenakan PPN 12%.

  • Ahli tegaskan vaksin dalam program nasional tak mengandung babi 

    Ahli tegaskan vaksin dalam program nasional tak mengandung babi 

    Jakarta (ANTARA) – Pembina Komunitas Ilmuwan dan Profesional Muslim Indonesia (KIPMI) dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK menegaskan vaksin yang digunakan dalam program imunisasi nasional tak mengandung babi.

    Hal ini menjadi penegasannya sebagai pakar kesehatan atas kabar terkait vaksin di Indonesia mengandung babi.

    “Program vaksin nasional tidak menggunakan babi. Hepatitis B tidak menggunakan babi, lainnya juga tidak,” ujar dia pada acara kesehatan terkait imunisasi yang diadakan Puskesmas Tebet di Jakarta, Kamis.

    Namun, kata dia, ada satu vaksin, yakni untuk polio (Inactivated Poliovirus Vaccine/IPV) yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator. Walau begitu, Raehanul memastikan tidak terdeteksi unsur babi dalam hasil akhirnya.

    Dia mengatakan, kalaupun ditemukan vaksin mengandung babi di Indonesia, maka hal itu kebanyakan berasal dari luar negeri. Peruntukan vaksin tersebut pun bukan untuk masyarakat Indonesia melainkan warga asing.

    “Kenapa perlu vaksin impor? Karena di Indonesia ada juga orang luar negeri dan saat jadwal vaksin mereka mencari jadwal vaksin dari negara dan bisa jadi berbeda dengan di Indonesia,” katanya.

    Vaksin impor yang mengandung babi, kata dia, untuk orang luar negeri bukan untuk orang Indonesia.

    Lalu, vaksin impor pun menggunakan Bahasa Indonesia pada kemasannya. Alasannya karena Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mensyaratkan vaksin dari luar negeri yang masuk ke Indonesia harus ditulis bahannya dalam Bahasa Indonesia.

    Dia menambahkan, mayoritas vaksin di Indonesia adalah buatan Bio Farma, sebuah BUMN di Bandung. Perusahaan ini bahkan sudah mengekspor 60 persen vaksin dunia.

    “Bio Farma telah mengekspor 60 persen vaksin dunia. Mayoritas negara-negara Asia Tengah, Asia Tenggara, Barat, Arab Saudi itu menggunakan vaksin dari Bio Farma,” kata Raehanul.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2024

  • Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen

    Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (ketiga kanan), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang (kedua kanan), Menteri UMKM Maman Abdurrahman (kanan), Menteri Perdagangan Budi Santoso (kedua kiri), Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (kiri), dan Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman Maruarar Sirait (ketiga kiri) berpegangan tangan usai konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

    Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 19 Desember 2024 – 07:38 WIB

    Elshinta.com – Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen resmi dilanjutkan oleh Pemerintah. Tarif ini bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Bersamaan dengan itu, Pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut paket stimulus itu dirancang sekomprehensif mungkin untuk bisa memberikan keseimbangan antara data perekonomian dengan masukan dari berbagai pihak.

    Namun, reaksi publik menyangsikan keputusan Pemerintah yang dianggap makin menekan kemampuan ekonomi rakyat. Publik masih belum berhenti meminta Pemerintah untuk membatalkan kebijakan PPN 12 persen.

    Penjelasan PPN 12 persen

    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah.

    Dari konferensi pers Senin (16/12), Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.

    Barang dan jasa kebutuhan pokok yang dimaksud dalam definisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), adalah barang dan jasa kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, di antaranya beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

    Untuk jasa, mencakup jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja. Buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum pun termasuk yang mendapat fasilitas pembebasan PPN.

    Sementara itu, terdapat tiga komoditas yang seharusnya termasuk dalam objek pajak PPN 12 persen, tetapi kenaikan tarif 1 persen ditanggung oleh Pemerintah karena dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum. Ketiga komoditas itu  adalah tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita.

    Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen.

    Terkait barang mewah, Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.

    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non-kendaraan bermotor.

    Untuk non-kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.

    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, Pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu — atau yang disebut oleh Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.

    Mengacu pada definisi di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut seharusnya mendapat fasilitas pembebasan PPN. Namun, karena sifatnya yang premium, Pemerintah bakal menarik PPN 12 persen terhadap barang dan jasa tersebut.

    Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen. Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen.

    Adapun untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP menjadi contoh jasa yang dianggap premium.

    Listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen.

    Untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.

    Paket stimulus ekonomi

    Paket stimulus disiapkan untuk meredam efek kenaikan tarif PPN.

    Untuk merespons risiko daya beli masyarakat, Pemerintah menyediakan tiga stimulus untuk mendukung rumah tangga,  yakni bantuan beras sebanyak 10 kilogram per bulan yang akan dibagikan pada Januari dan Februari 2025, PPN DTP untuk tiga komoditas, dan diskon sebesar 50 persen untuk listrik di bawah 2.200 VA.

    Untuk memitigasi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), Pemerintah memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai manfaat dan masa klaim. Besarannya diubah menjadi 60 persen untuk enam bulan masa penerimaan manfaat (dari sebelumnya 45 persen pada tiga bulan pertama dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya) dengan masa klaim diperpanjang menjadi enam bulan setelah terkena PHK.

    Program JKP juga menyediakan akses informasi pasar kerja serta pelatihan keterampilan untuk membantu peserta program mendapatkan pekerjaan baru.

    Untuk risiko kerentanan pengusaha, disiapkan stimulus untuk UMKM, yakni perpanjangan insentif PPh final sebesar 0,5 persen bagi pengusaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun.

    Paket stimulus ekonomi berikutnya menyasar industri padat karya. Terdapat insentif PPh 21 DTP bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan, bantuan pembiayaan dengan subsidi bunga 5 persen, serta bantuan jaminan kecelakaan kerja sebesar 50 persen selama 6 bulan.

    Pemerintah juga menyiapkan insentif untuk pembelian kendaraan listrik dan hibrida berupa PPN dan PPnBM, dengan rincian PPN DTP sebesar 10 persen untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) completely knocked down (CKD), PPnBM DTP 15 persen untuk KBLBB impor completely built up (CBU) dan CKD, serta bea masuk 0 persen untuk KBLBB CBU. Juga, PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk kendaraan bermotor hibrida.

    Terakhir, paket stimulus menyasar sektor properti, dengan memperpanjang insentif PPN DTP untuk rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar. PPN yang ditanggung maksimal untuk harga Rp2 miliar, dengan rincian diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025 dan 50 persen untuk Juli-Desember 2025.

    Dampak terhadap ekonomi

    Salah satu dampak yang disorot dari kebijakan tarif PPN 12 persen adalah potensi inflasi yang tinggi pada tahun depan. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025 bisa meningkatkan inflasi hingga ke level 4,11 persen. Sebagai catatan, inflasi per November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen (year-on-year/yoy).

    Celios juga menghitung kenaikan PPN bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.

    Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyebut dampak PPN 12 persen terhadap inflasi tak terlalu signifikan. Berdasarkan proyeksi Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, efek PPN terhadap inflasi berkisar 0,2 persen.

    Dari sisi Pemerintah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyebut risiko kenaikan inflasi itu telah diantisipasi, yang terefleksi pada kehadiran paket stimulus bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen pada Januari-Februari 2025. Insentif diberikan selama dua bulan untuk menjaga tingkat inflasi pada kuartal I, yang diyakini berperan penting dalam menentukan tingkat inflasi sepanjang tahun.

    Namun, efektivitas dari paket stimulus yang disiapkan Pemerintah banyak dipertanyakan. Salah satu komentar datang dari Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede yang menyebut keuntungan stimulus bersifat jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, perlu ada evaluasi lebih lanjut oleh Pemerintah.

    Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan bahwa pemberian berbagai insentif tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Pasalnya, kinerja permintaan maupun industri sudah terlanjur melemah. Meski ada insentif untuk industri padat karya, misalnya, industri ini sudah telanjur terpuruk, seperti yang terlihat pada industri tekstil dan industri alas kaki.

    Di sisi lain, juga ada sejumlah optimisme terhadap kebijakan tarif PPN 12 persen.

    Contohnya, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menilai paket stimulus bersifat inklusif dalam memitigasi dampak kenaikan tarif PPN. Tetapi, dia turut mewanti-wanti soal terbatasnya durasi dan jangkauan tiap insentif.

    Kemudian, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat insentif diskon listrik dapat membantu meringankan beban biaya hidup, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas yang sebagian besar bergantung pada tarif listrik bersubsidi. Dia meminta Pemerintah memastikan pemberian diskon tarif listrik pada awal tahun depan agar tepat sasaran.

    Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah melakukan evaluasi secara hati-hati agar efek kebijakan tidak hanya bersifat sementara, tetapi berdampak besar pada pola konsumsi jangka panjang.

    Bila hasil evaluasi menunjukkan dampak positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk melanjutkan stimulus tersebut.

    Secara keseluruhan, paket stimulus Pemerintah dinilai bersifat temporer. Terlebih, rata-rata insentif merupakan perpanjangan atau penguatan dari kebijakan yang telah ada sebelumnya.

    Direktur Celios Bhima Yudhistira menyerukan agar Pemerintah mengkaji alternatif kebijakan tarif PPN. Menurutnya, memperluas basis pajak, penerapan pajak kekayaan, dan memberantas celah penghindaran pajak, lebih efektif meningkatkan penerimaan negara tanpa perlu membebani masyarakat.

    Sumber : Antara

  • PPN 12 persen, paket stimulus dan dampak terhadap ekonomi

    PPN 12 persen, paket stimulus dan dampak terhadap ekonomi

    Jakarta (ANTARA) – Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen resmi dilanjutkan oleh Pemerintah. Tarif ini bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Bersamaan dengan itu, Pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut paket stimulus itu dirancang sekomprehensif mungkin untuk bisa memberikan keseimbangan antara data perekonomian dengan masukan dari berbagai pihak.

    Namun, reaksi publik menyangsikan keputusan Pemerintah yang dianggap makin menekan kemampuan ekonomi rakyat. Publik masih belum berhenti meminta Pemerintah untuk membatalkan kebijakan PPN 12 persen.

    Penjelasan PPN 12 persen

    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah.

    Dari konferensi pers Senin (16/12), Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.

    Barang dan jasa kebutuhan pokok yang dimaksud dalam definisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), adalah barang dan jasa kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, di antaranya beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

    Untuk jasa, mencakup jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja. Buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum pun termasuk yang mendapat fasilitas pembebasan PPN.

    Sementara itu, terdapat tiga komoditas yang seharusnya termasuk dalam objek pajak PPN 12 persen, tetapi kenaikan tarif 1 persen ditanggung oleh Pemerintah karena dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum. Ketiga komoditas itu adalah tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita.

    Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen.

    Terkait barang mewah, Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.

    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non-kendaraan bermotor.

    Untuk non-kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.

    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, Pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu — atau yang disebut oleh Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.

    Mengacu pada definisi di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut seharusnya mendapat fasilitas pembebasan PPN. Namun, karena sifatnya yang premium, Pemerintah bakal menarik PPN 12 persen terhadap barang dan jasa tersebut.

    Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen. Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen.

    Adapun untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP menjadi contoh jasa yang dianggap premium.

    Listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen.

    Untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.

    Paket stimulus ekonomi

    Paket stimulus disiapkan untuk meredam efek kenaikan tarif PPN.

    Untuk merespons risiko daya beli masyarakat, Pemerintah menyediakan tiga stimulus untuk mendukung rumah tangga, yakni bantuan beras sebanyak 10 kilogram per bulan yang akan dibagikan pada Januari dan Februari 2025, PPN DTP untuk tiga komoditas, dan diskon sebesar 50 persen untuk listrik di bawah 2.200 VA.

    Untuk memitigasi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), Pemerintah memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai manfaat dan masa klaim. Besarannya diubah menjadi 60 persen untuk enam bulan masa penerimaan manfaat (dari sebelumnya 45 persen pada tiga bulan pertama dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya) dengan masa klaim diperpanjang menjadi enam bulan setelah terkena PHK.

    Program JKP juga menyediakan akses informasi pasar kerja serta pelatihan keterampilan untuk membantu peserta program mendapatkan pekerjaan baru.

    Untuk risiko kerentanan pengusaha, disiapkan stimulus untuk UMKM, yakni perpanjangan insentif PPh final sebesar 0,5 persen bagi pengusaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun.

    Paket stimulus ekonomi berikutnya menyasar industri padat karya. Terdapat insentif PPh 21 DTP bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan, bantuan pembiayaan dengan subsidi bunga 5 persen, serta bantuan jaminan kecelakaan kerja sebesar 50 persen selama 6 bulan.

    Pemerintah juga menyiapkan insentif untuk pembelian kendaraan listrik dan hibrida berupa PPN dan PPnBM, dengan rincian PPN DTP sebesar 10 persen untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) completely knocked down (CKD), PPnBM DTP 15 persen untuk KBLBB impor completely built up (CBU) dan CKD, serta bea masuk 0 persen untuk KBLBB CBU. Juga, PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk kendaraan bermotor hibrida.

    Terakhir, paket stimulus menyasar sektor properti, dengan memperpanjang insentif PPN DTP untuk rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar. PPN yang ditanggung maksimal untuk harga Rp2 miliar, dengan rincian diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025 dan 50 persen untuk Juli-Desember 2025.

    Dampak terhadap ekonomi

    Salah satu dampak yang disorot dari kebijakan tarif PPN 12 persen adalah potensi inflasi yang tinggi pada tahun depan. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025 bisa meningkatkan inflasi hingga ke level 4,11 persen. Sebagai catatan, inflasi per November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen (year-on-year/yoy).

    Celios juga menghitung kenaikan PPN bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.

    Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyebut dampak PPN 12 persen terhadap inflasi tak terlalu signifikan. Berdasarkan proyeksi Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, efek PPN terhadap inflasi berkisar 0,2 persen.

    Dari sisi Pemerintah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyebut risiko kenaikan inflasi itu telah diantisipasi, yang terefleksi pada kehadiran paket stimulus bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen pada Januari-Februari 2025. Insentif diberikan selama dua bulan untuk menjaga tingkat inflasi pada kuartal I, yang diyakini berperan penting dalam menentukan tingkat inflasi sepanjang tahun.

    Namun, efektivitas dari paket stimulus yang disiapkan Pemerintah banyak dipertanyakan. Salah satu komentar datang dari Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede yang menyebut keuntungan stimulus bersifat jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, perlu ada evaluasi lebih lanjut oleh Pemerintah.

    Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan bahwa pemberian berbagai insentif tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Pasalnya, kinerja permintaan maupun industri sudah terlanjur melemah. Meski ada insentif untuk industri padat karya, misalnya, industri ini sudah telanjur terpuruk, seperti yang terlihat pada industri tekstil dan industri alas kaki.

    Di sisi lain, juga ada sejumlah optimisme terhadap kebijakan tarif PPN 12 persen.

    Contohnya, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menilai paket stimulus bersifat inklusif dalam memitigasi dampak kenaikan tarif PPN. Tetapi, dia turut mewanti-wanti soal terbatasnya durasi dan jangkauan tiap insentif.

    Kemudian, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat insentif diskon listrik dapat membantu meringankan beban biaya hidup, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas yang sebagian besar bergantung pada tarif listrik bersubsidi. Dia meminta Pemerintah memastikan pemberian diskon tarif listrik pada awal tahun depan agar tepat sasaran.

    Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah melakukan evaluasi secara hati-hati agar efek kebijakan tidak hanya bersifat sementara, tetapi berdampak besar pada pola konsumsi jangka panjang.

    Bila hasil evaluasi menunjukkan dampak positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk melanjutkan stimulus tersebut.

    Secara keseluruhan, paket stimulus Pemerintah dinilai bersifat temporer. Terlebih, rata-rata insentif merupakan perpanjangan atau penguatan dari kebijakan yang telah ada sebelumnya.

    Direktur Celios Bhima Yudhistira menyerukan agar Pemerintah mengkaji alternatif kebijakan tarif PPN. Menurutnya, memperluas basis pajak, penerapan pajak kekayaan, dan memberantas celah penghindaran pajak, lebih efektif meningkatkan penerimaan negara tanpa perlu membebani masyarakat.

    Editor: Slamet Hadi Purnomo
    Copyright © ANTARA 2024

  • Pemerintah Bebaskan PPN 12 Persen untuk Sejumlah Sektor Penting, Apa Saja? – Halaman all

    Pemerintah Bebaskan PPN 12 Persen untuk Sejumlah Sektor Penting, Apa Saja? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah sektor yang menjadi bahan dan jasa pokok masyarakat tak kena imbas kenaikan tarif PPN 12 persen yang akan mulai berlaku Januari 2025 mendatang.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persen ini tidak berlaku untuk barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat atau kebutuhan pokok penting lainnya yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020.

    “Tarif PPN 12 persen ini tidak berlaku untuk barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat atau bahan kebutuhan pokok penting yang rinciannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020. Bahan pokok ini justru diberikan fasilitas bebas PPN,” kata Airlangga Hartarto, Rabu (18/12/2024).

    Adapun kebutuhan pokok masyarakat yang dimaksud di antaranya seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula konsumsi sampai pada sektor jasa penting.

    “Termasuk jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, hingga pemakaian air,” tutur Airlangga.

    Bahkan, kata Airlangga, pemerintah juga memiliki sejumlah kebijakan baru yang dapat mengantisipasi dan menjaga kesejahteraan masyarakat yakni berupa diskop tarif listrik hingga 50 persen per 1 Januari 2025. 

    “Khususnya untuk pelanggan listrik di bawah 2.200 Volt Amphere (VA), seperti 1.300 VA, 900 Va. Diskon tarif listrik 50 persen diberikan selama 2 bulan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga,” tutur Airlangga.

    PPN 12 Persen untuk Barang Mewah

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan kebijakan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang berlaku mulai 2025 nanti akan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang, namun bersifat selektif, yaitu hanya untuk barang mewah.

    Hal itu disampaikannya dalam pernyataannya, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (6/12/2024).

    Ia mengatakan, kenaikan PPN ini hanya akan berlaku untuk barang-barang mewah, sementara perlindungan terhadap rakyat tetap menjadi prioritas pemerintah.

    “PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tapi selektif hanya untuk barang mewah,” kata Prabowo.

    Prabowo mengatakan bahwa sesungguhnya sejak akhir tahun 2023, pemerintah tidak memungut PPN secara penuh terhadap barang-barang yang seharusnya dikenakan pajak. 

    Hal ini adalah bentuk upaya keberpihakan kepada masyarakat, terutama kalangan bawah.

    “Untuk rakyat yang lain, kita tetap lindungi, sudah sejak akhir 2023 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil. Jadi kalaupun naik, itu hanya untuk barang mewah,” ujarnya.

    Seperti diketahui, ketentuan PPN 12 persen diperintahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

    Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun usai bertemu dengan Prabowo di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/12), bersama unsur DPR lainnya, mengatakan adanya usulan penghitungan PPN dengan tarif berbeda, di mana barang-barang, seperti kebutuhan pokok, kemungkinan dikenakan pajak lebih rendah.

    Ia menegaskan bahwa barang-barang pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa perbankan, serta pelayanan umum akan tetap bebas dari PPN, sesuai kebijakan yang berlaku saat ini.

    “PPN akan tetap berjalan sesuai jadwal waktu amanat di undang-undang yaitu 1 Januari 2025 tetapi kemudian akan diterapkan secara selektif kepada beberapa komoditas, baik itu barang dalam negeri maupun impor yang berkaitan dengan barang mewah sehingga pemerintah hanya memberikan beban itu kepada konsumen pembeli barang mewah,” ujar Misbakhun.

    Lebih lanjut, Misbakhun menjelaskan bahwa pemerintah juga berencana untuk menerapkan struktur PPN yang tidak seragam. Meski demikian, kebijakan tersebut saat ini masih dilakukan pengkajian mendalam.

    “Ini nanti akan masih dipelajari. Masyarakat tidak perlu khawatir karena ruang lingkup mengenai kebutuhan barang pokok, kemudian jasa pendidikan, jasa kesehatan, kemudian jasa perbankan, yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pelayanan umum, jasa pemerintahan tetap tidak dikenakan PPN,” ungkap Misbakhun.

     

     

  • Kelas Menengah Kena Imbas, Masyarakat Kembali Dibodohi

    Kelas Menengah Kena Imbas, Masyarakat Kembali Dibodohi

    JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai pengumuman tersebut tidak kurang dari pembodohan publik.

    Tarif PPN 12 persen mulai tahun depan ini sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    “Sesuai dengan amanat UU HPP, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2024).

    Dalam kesempatan itu juga Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan kenaikan tarif PPN 12 persen ini khusus untuk barang dan jasa mewah. Sejumlah barang yang akan dikenakan PPN 12 persen di antaranya adalah bahan pangan premium. Menkeu Sri Mulyani sempat menyinggung bahan pangan ini adalah daging sapi seperti wagyu, dan kobe.

    Warga memilih pakaian saat berbelanja di Mall Blok M Square, Jakarta, Jumat (15/11/2024). (ANTARA/Sulthony Hasanuddin/foc/am)

    “Yang harganya bisa di atas Rp2,5 juta bahkan Rp3 juta per kilogram-nya,” kata Sri Mulyani.

    Di sisi lain, Airlangga mengatakan tarif PPN 12 persen tidak berlaku untuk barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat atau bahan kebutuhan pokok penting.

    Sedangkan Sri Mulyani menyebutkan ada juga barang-barang yang sebenarnya terkena PPN 12 persen, namun pemerintah hanya menerapkan 11 persen. Yang masuk kategori ini adalah tepung terigu dan gula untuk industri, serta minyak goreng curah merek Minyakita.

    Pembodohan Publik

    Keputusan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah, dengan rincian seperti yang disebutkan pemerintah, menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana bahkan menilai pengumuman tersebut tidak kurang dari pembodohan publik. Pasalnya, kenaikan PPN tersebut tetap akan diterapkan kepada seluruh barang yang selama ini terkena PPN kecuali tiga jenis barang. Bahkan, jenis barang yang akan dibebankan PPN justru bertambah.

    “Faktanya kenaikan ini bukannya mengurangi daftar produk yang akan terkena kenaikan PPN, tapi nyatanya justru menambah,” ujar Andri dalam keterangan tertulis.

    Andri menambahkan, barang-barang pokok yang disebutkan bebas dari PPN, seperti beras hingga angkutan umum, nyatanya selama ini memang sudah dikategorikan sebagai barang yang tak terbebani PPN menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022.

    Dalam PP tersebut disebutkan barang-barang yang tidak terbebani PPN terbagi menjadi dua jenis, yaitu Barang Kena Pajak (BKP) tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan BKP tertentu yang tidak dipungut PPN/PPN dan PPnBM.

    Yang digolongkan sebagai BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain adalah vaksin polio, vaksin COVID-19, buku pelajaran, kitab suci, jasa konstruksi untuk keperluan ibadah, hingga produk-produk yang berhubungan dengan bencana nasional.

    Sedangkan yang digolongkan sebagai BKP tertentu yang tidak dipungut PPN/PPN dan PPnBM antara lain adalah sembako (kecuali minyak goreng), barang hasil kelautan dan perikanan, mesin dan peralatan pabrik, hewan ternak, bibit dan pakan, rumah susun milik, perak butiran dan batangan, listrik di bawah 6.600 VA,  air bersih, barang hasil pertambangan, hingga gula konsumsi.

    “Jadi berbagai barang tersebut memang sudah dari dulu tidak dibebani PPN bahkan sebelum PP Nomor 49 Tahun 2022 diterbitkan,” ujar Andri.

    Justru dengan kebijakan baru ini, kata Andri, sebagian barang-barang tersebut yang tadinya tidak dibebani PPN tersebut kini langsung terkena tarif 12 persen.

    “Produk seperti beras premium, ikan salmon, listrik di atas 3.500 VA, rumah sakit VIP, jasa pendidikan, dan lain-lain yang dianggap premium tadinya PPN 0 persen kini dibebankan 12 persen. Produk-produk tersebut sebelumnya satu kategori dengan BKP tertentu yang tidak dibebani PPN, namun sekarang hanya yang digolongkan ‘non-premium’ yang bebas PPN. Jadi inilah yang digembar-gemborkan sebagai ‘PPN hanya untuk barang mewah’ tersebut. Padahal seluruh barang dalam kategori tersebut memang bebas PPN dari dulu,” jelas Andri.

    Menyangsikan Insentif dari Pemerintah

    Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut implementasi PPN 12 persen akan disertai berbagai stimulasi ekonomi dan insentif pajak. Seperti yang telah disinggung, pemerintah juga berkomitmen tetap memberikan fasilitas pembebasan PPN bagi barang dan jasa strategis. Selain bahan makanan pokok, ada sektor transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan yang termasuk di antara bebas PPN. 

    Ekonom senior dari Bright Institute Awalil Rizky mengatakan dengan kebijakan ini pada akhirnya PPN 12 persen tetap dinaikan, sementara pengecualian hanya diberikan kepada sedikit kelompok barang dengan skema satu persennya ditanggung pemerintah (DTP). Adapun barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN atau dikecualikan sebenarnya sama saja dengan sebelumnya, alias bukan kebijakan baru.

    “Hal ini menjadi berbeda dengan wacana pemerintah seminggu terakhir, bahkan hingga kemarin, yang menyebut hanya akan menaikan PPN bagi barang mewah,” kata Awalil ketika dihubungi VOI.

    Pemerintah juga mengatakan rumah tangga berpendapatan rendah akan mendapat insentif tambahan. Hal ini dilakukan demi menjaga daya beli masyarakat yang dalam beberapa bulan terakhir memang diklaim terus menurun.

    Tapi awalil meyakini penerapan tarif PPN 12 persen mulai tahun depan secara umum akan tetap terjadi kenaikan harga dan semakin memukul daya beli masyarakat kelompok bawah dan menengah bawah.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif & Berkelanjutan, yang digelar di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). (ANTARA/Putu Indah Savitri)

    Bahkan beberapa paket kebijakan untuk meredam kenaikan tarif tersebut hanya sedikit mengurangi beban masyarakat, dan itu pun masih ditunggu lebih jauh rincian dan pelaksanaan insentif tersebut.

    “Beberapa insentif yang telah diumumkan hanya bersifat sementara, ada yang berdurasi beberapa bulan,” jelas Awalil, merujuk pada diskon 50 persen untuk tarif listrik dengan daya 2.200 watt ke bawah.

    “Begitu pula tentang pajak ditanggung pemerintah atas beberapa barang dan jasa pada umumnya hanya memperpanjang yang sudah dilaksanakan saat ini. Dengan demikian, ini bukan insentif baru terkait kenaikan tarif,” imbuhnya.

    Alih-alih memberikan insentif, Awalil menyatakan yang lebih diharapkan dari pemerintah adalah kebijakan yang memberi stimulus langsung ke sektor riil.

    “Bisa membantu kondisi sektor riil (beberapa industri) agar PHK massal tak berlanjut. Begitu pula agar usaha mikro dan kecil makin memperoleh kemudahan dan memberi hasil usaha yang membaik bagi pelakunya,” pungkasnya.

  • PPN 12 Persen Resmi Naik Januari 2025, Ini Daftar Paket Insentif yang Disiapkan Pemerintah

    PPN 12 Persen Resmi Naik Januari 2025, Ini Daftar Paket Insentif yang Disiapkan Pemerintah

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah memberikan paket insentif untuk bidang ekonomi, keadilan, dan kepentingan masyarakat seiring regulasi kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto belum lama ini.

    Kenaikan PPN sesuai dengan aturan yang sudah diresmikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam aturan tersebut mengamanatkan kenaikan PPN menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2024.

    Lalu apa itu paket insentif? Berikut ini pengertian dan daftar penerima insentif.

    Paket Insentif
    Paket insentif untuk bidang ekonomi, keadilan, dan kepentingan masyarakat merupakan program pemerintah untuk meringankan beban masyarakat terhadap harga barang atau jasa yang akan naik karena PPN 12 persen. Pemerintah memproyeksikan jumlah PPN yang dibebaskan untuk insentif sebesar Rp 265,6 triliun. Jumlah ini di luar pembebasan PPN yang diberikan untuk barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum.

    Barang yang termasuk adalah beras, ikan, telur, sayur, gula konsumsi, susu segar, dan daging, sedangkan jasa yang termasuk adalah jasa angkutan umum, jasa keuangan, jasa tenaga kerja, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa asuransi, vaksin polio, buku, rusunami, rumah sederhana dan sangat sederhana, dan pemakaian listrik serta air minum.

    Daftar Penerima Paket Insentif
    Pemerintah mengklasifikasikan penerima insentif menjadi tiga golongan, yaitu insentif bagi rumah tangga, insentif bagi kelas menengah, dan insentif bagi dunia usaha.

    Insentif bagi Rumah Tangga
    Rumah tangga yang mendapatkan insentif adalah yang memiliki pendapatan rendah. Pemerintah memberikan stimulus dalam bentuk PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 1 persen dari total PPN 12 persen untuk barang kebutuhan pokok dan barang penting (Bapokting), berupa tepung terigu, minyak goreng, dan gula industri.

    Selain dari stimulus tersebut, pemerintah juga memberikan bantuan berupa beras sebanyak 10 kilogram per bulan untuk masyarakat kelompok desil 1 dan 2 dengan total 16 juta penerima selama Januari dan Februari. Pemerintah juga memberikan diskon biaya listrik sebanyak 50 persen untuk pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2.200 VA selama Januari dan Februari 2025.

    Insentif bagi Kelas Menengah
    Pemerintah juga memberikan insentif bagi kelas menengah dengan melanjutkan PPN DTP properti dengan harga rumah hingga Rp 5 miliar dengan pengenaan pajak dasar hingga Rp 2 miliar. Selain itu juga tetap menjalankan PPN DTP kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) atau electric vehicle (EV) untuk penyerahan EV mobil tertentu dan bus tertentu, pajak barang mewah atau PPnBM DTP KBLBB/EV untuk impor mobil tertentu dalam bentuk utuh, penyerahan EV mobil tertentu yang diproduksi di dalam negeri, dan pembebasan bea masuk EV completely built up (CBU).

    Selain itu, pemerintah juga memberikan PPnBM DTP untuk kendaraan bermotor yang menggunakan mesin hybrid, memberikan insentif PPh untuk pekerja sektor padat karya dengan gaji hingga Rp 10 juta per bulan, mengoptimalkan jaminan kehilangan pekerjaan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, dan diskon pembayaran untuk Jaminan Kesehatan Kerja (JKK) sebesar 50 persen untuk pekerja padat karya.

    Insentif bagi Dunia Usaha
    Bagi dunia usaha, pemerintah menyiapkan insentif berupa perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5 persen hingga 2025 untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP) usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sudah memanfaatkan tujuh tahun dan selesai pada 2024. UMKM yang memiliki pendapatan di bawah Rp 500 juta per tahun dibebaskan dari pajak tersebut. Pemerintah juga memberikan subsidi 5 persen untuk membiayai industri padat berupa revitalisasi alat atau mesin.