Topik: polio

  • Epidemiolog Wanti-wanti Risiko Polio Muncul Lagi Pasca Bencana Aceh hingga Sumut

    Epidemiolog Wanti-wanti Risiko Polio Muncul Lagi Pasca Bencana Aceh hingga Sumut

    Jakarta

    Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengingatkan wilayah terdampak banjir dan longsor di Aceh serta Sumatera Utara perlu berada dalam kondisi siaga terhadap kemungkinan munculnya kembali kasus polio. Meski Indonesia telah menerima sertifikat bebas polio pada 2014, risiko kemunculan kembali penyakit lumpuh layu itu tidak pernah benar-benar hilang, seperti yang dilaporkan pada Juni 2024.

    Menurut Dicky, deklarasi bebas polio berarti tidak ada virus polio yang sedang beredar secara aktif di masyarakat, baik virus polio liar (WPV) maupun vaccine-derived poliovirus (VDPV). Namun, kondisi tersebut tidak menghapus potensi reemergensi, terutama di daerah dengan sanitasi buruk dan cakupan imunisasi rendah.

    “Risiko kembali munculnya kasus tetap ada. Wilayah dengan sanitasi rendah dan imunisasi buruk seperti Aceh, termasuk Pidie Jaya, secara epidemiologis berada dalam status kewaspadaan,” bebernya saat dihubungi detikcom Senin (1/12/2025).

    Bencana Perparah Risiko

    Dicky menegaskan bencana banjir dan longsor menciptakan lingkungan yang ideal bagi transmisi virus polio. Mekanisme penularan polio yang melalui feses (tinja) membuat penyakit ini sangat sensitif terhadap kerusakan infrastruktur sanitasi.

    “Pasca bencana, jamban rusak, akses air bersih terbatas, dan kontaminasi air meningkat. Kondisi seperti ini membuka jalur fecal oral transmission, bahkan dari kasus polio asimptomatik yang tanpa gejala,” kata Dicky.

    Ia mencontohkan beberapa negara yang pernah mengalami lonjakan polio setelah banjir besar, seperti Nigeria, Pakistan, dan Yaman, ketika virus yang semula tak terdeteksi kembali menyebar cepat akibat penurunan kualitas sanitasi.

    Selain faktor lingkungan, bencana juga menyebabkan terganggunya layanan kesehatan dasar. Di beberapa wilayah Aceh dan Sumut, pelayanan puskesmas terhenti sementara karena fasilitas terdampak atau akses jalan terputus. Kondisi ini membuat imunisasi rutin, termasuk imunisasi polio, menurun drastis.

    “Ketika layanan vaksinasi berhenti dan imunisasi anak tertunda, terbentuklah immunity gap di kelompok bayi dan anak kecil. Mereka menjadi kelompok paling rentan ketika virus polio kembali beredar,” jelasnya.

    Dicky menekankan pentingnya langkah cepat pemerintah daerah dan pusat, termasuk penilaian risiko epidemiologis, pendirian posko imunisasi kejar, serta pemulihan sanitasi dasar di lokasi pengungsian. Edukasi mengenai kebersihan tangan dan penggunaan fasilitas sanitasi aman juga harus diperkuat.

    “Bencana harus direspons bukan hanya dengan bantuan logistik, tetapi juga kesiapsiagaan penyakit menular, termasuk polio. Kita tidak boleh mengulang pengalaman negara lain yang kecolongan setelah bencana,” tegasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Kabar Baik! KLB Polio di Indonesia Dinyatakan Berakhir

    Kabar Baik! KLB Polio di Indonesia Dinyatakan Berakhir

    Ada kabar baik dari dunia kesehatan Indonesia di akhir tahun 2025 nih detikers.

    Jadi, Kejadian Luar Biasa (KLB) polio tipe 2 sudah berakhir. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan KLB Polio ditutup secara resmi pada 19 November 2025. Dari pantauan sejak Juni 2024 sampai sekarang, sudah nggak ditemukan lagi wabah virus polio pada anak-anak maupun lingkungan. Kabar baik ini disampaikan Kementerian Kesehatan RI dan WHO.

    Kenapa Polio bisa jadi KLB itu berawal dari Oktober 2022. Kasus pertamanya dilaporkan dari Aceh, terus bertambah di beberapa wilayah lain, kayak di Banten, Jawa Barat, hingga kasus terakhir terkonfirmasi di Papua Selatan pada Juni 2024. Langkah Kemenkes menghentikan wabah tersebut saat itu dengan imunisasi.

  • Kabar Baik! KLB Polio Resmi Dinyatakan Berakhir di Indonesia

    Kabar Baik! KLB Polio Resmi Dinyatakan Berakhir di Indonesia

    Jakarta

    Indonesia secara resmi telah mengakhiri Kejadian Luar Biasa (KLB) polio tipe 2, yang muncul aibat rendahnya cakupan imunisasi polio selama beberapa tahun. Hampir 60 juta dosis imunisasi polio tambahan telah diberikan kepada anak-anak selama respon KLB ini.

    Sejak Juni 2024 hingga saat ini, tidak ditemukan lagi virus polio pada anak-anak maupun lingkungan. Berdasarkan situasi ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan KLB ditutup secara resmi pada 19 November 2025.

    “Kita berhasil menghentikan penyebaran polio di Indonesia berkat dedikasi tenaga kesehatan, komitmen orang tua dan seluruh anggota masyarakat agar anak-anak diimunisasi, serta dukungan mitra. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan. Kita harus terus bekerja sama agar polio tidak kembali dengan memastikan semua anak menerima imunisasi polio lengkap sesuai usia,” kata Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, di Jakarta, Jumat (21/11).

    “Namun, kita tidak boleh berpuas diri. Risiko polio masih ada, terutama dengan adanya kesenjangan cakupan imunisasi di beberapa provinsi di Indonesia,” tambahnya.

    Dr Saia Ma’u Piukala, Direktur Regional WHO untuk Pasifik Barat mengatakan keberhasilan Indonesia merupakan langkah penting menuju dunia tanpa polio. Keberhasilan ini juga memperkuat kemampuan seluruh Wilayah Pasifik Barat WHO untuk mempertahankan status bebas polio yang telah dicapai 25 tahun lalu.

    “Saya mendorong seluruh 38 negara dan wilayah di Pasifik Barat untuk tetap waspada. Suatu hari nanti, polio hanya tinggal sejarah. Sampai saat itu tiba, kita harus melanjutkan imunisasi,” ucapnya.

    Sebelumnya, KLB terjadi sejak bulan Oktober 2022, saat kasus pertama dilaporkan dari Aceh. Dalam dua tahun berikutnya, kasus juga ditemukan di provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku Utara, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Kasus cVDPV2 (varian virus polio) terakhir terkonfirmasi di Papua Selatan pada 27 Juni 2024.

    Indonesia melakukan respons melalui dua putaran imunisasi tambahan polio dengan menggunakan vaksin novel OPV-2 (nOPV2) mulai akhir tahun 2022 hingga triwulan ketiga 2024. Secara paralel, cakupan imunisasi rutin juga meningkat, dengan persentase anak yang menerima dosis kedua vaksin polio inaktif (IPV) meningkat dari 63% (1,9 juta anak) pada 2023 menjadi 73% (3,2 juta anak) pada 2024.

    Dalam upaya mengakselerasi peningkatan cakupan IPV, Kementerian Kesehatan menginisiasi penggunaan vaksin heksavalen yang menggabungkan DPT-HB-Hib dan IPV dalam satu suntikan. Vaksin ini memberikan perlindungan terhadap enam penyakit sekaligus, yakni polio, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, serta pneumonia dan meningitis akibat infeksi Haemophilus influenza tipe b.

    Penggunaan vaksin heksavalen diharapkan jumlah suntikan yang diterima anak, menghemat waktu dan biaya keluarga, serta mempercepat terbentuknya kekebalan terhadap berbagai penyakit. Program ini dimulai pada Oktober 2025 di provinsi DIY, NTB, Bali, serta enam provinsi di Tanah Papua, dengan pelaksanaan secara nasional direncanakan pada tahun mendatang.

    Indonesia juga mencatat kemajuan signifikan dalam deteksi dan investigasi lumpuh layuh akut atau Acute Flaccid Paralysis (AFP) pada anak-anak. Kualitas surveilans AFP semakin baik melalui deteksi kasus lebih sensitif dan peningkatan kualitas spesimen.

    Sesuai protokol Global Polio Eradication Initiative, tim independen global menilai kualitas respons KLB polio melalui Outbreak Response Assessment (OBRA) pada Juli 2023, Desember 2024, dan Juni 2025.

    Berdasarkan penilaian ini, disimpulkan Indonesia telah melaksanakan upaya respon yang berkualitas, melakukan serangkaian upaya penguatan dan peningkatan pelaksanaan program sebagaimana direkomendasikan tim OBRA, serta membuktikan tidak adanya kasus baru.

    Dengan demikian, WHO menyatakan Indonesia telah memenuhi kriteria berakhirnya KLB, sehingga status KLB Polio dapat ditutup.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • WHO Kejar Target Vaksinasi 40 Ribu Anak di Gaza

    WHO Kejar Target Vaksinasi 40 Ribu Anak di Gaza

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa mereka berencana untuk memvaksinasi lebih dari 40.000 anak di Gaza sebagai perlindungan terhadap berbagai penyakit. Ini akan dilakukan dengan memanfaatkan gencatan senjata yang baru-baru ini berlaku.

    WHO dan mitra-mitranya telah memvaksinasi lebih dari 10.000 anak di bawah usia tiga tahun dalam delapan hari pertama dari fase awal kampanye yang diluncurkan pada 9 November.

    Dilansir kantor berita AFP, Kamis (20/11/2025), kepala WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan fase pertama program telah diperpanjang hingga Sabtu mendatang, dan berharap dapat melindungi anak-anak dari campak, gondongan, rubela, difteri, tetanus, batuk rejan, hepatitis B, tuberkulosis, polio, rotavirus, dan pneumonia.

    Fase kedua dan ketiga dari kampanye ini, yang dilaksanakan bekerja sama dengan UNICEF, badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), dan kementerian kesehatan di Gaza yang berada di bawah kendali Hamas, direncanakan berlangsung pada bulan Desember dan Januari mendatang.

    Tedros mengatakan ia “terdorong untuk memastikan gencatan senjata terus berlanjut, karena memungkinkan WHO dan mitra-mitranya untuk mengintensifkan layanan kesehatan esensial di seluruh Gaza dan mendukung upaya melengkapi kembali peralatan serta rekonstruksi yang diperlukan untuk sistem kesehatannya yang hancur”.

    Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB pada hari Senin lalu memberikan suara untuk mendukung rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang memfasilitasi tercapainya gencatan senjata pada 10 Oktober antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza.

    Gencatan senjata tersebut telah ditandai dengan beberapa pecahnya kekerasan di Gaza, yang hancur akibat perang selama lebih dari dua tahun, yang pecah setelah serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023.

    Serangan itu telah mengakibatkan kematian 1.221 orang di pihak Israel, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP dari data resmi.

    Lebih dari 69.500 warga Palestina juga telah tewas akibat serangan militer Israel, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

    Tonton juga video “WHO Ungkap Hampir 15 Juta Remaja di Dunia Ngevape”

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Mengapa Trump Bakal Tolak Orang Diabetes-Obesitas Masuk AS?

    Mengapa Trump Bakal Tolak Orang Diabetes-Obesitas Masuk AS?

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat kebijakan tidak biasa bagi warga asing yang ingin tinggal di AS. Trump memerintahkan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS untuk menolak visa bagi warga negara asing yang dinilai bisa menjadi “beban” terkait kesehatannya, seperti orang yang memiliki diabetes dan dalam kondisi obesitas.

    Dirangkum detikcom dari beberapa sumber, Minggu (16/11/2025), aturan baru ini akan diterapkan mulai Januari 2026 mendatang. Tidak hanya diabetes dan obesitas, tetapi aturan ini juga berlaku untuk beberapa penyakit.

    Menurut laporan Politico, aturan baru ini mewajibkan kesehatan imigran dan kondisi medis tertentu — termasuk penyakit kardiovaskular dan pernapasan, kanker, diabetes, penyakit metabolik dan neurologis, serta gangguan mental — untuk dipertimbangkan, karena kondisi-kondisi ini mungkin memerlukan perawatan medis senilai ratusan ribu dolar.

    Imigran yang mengajukan visa untuk tinggal permanen di Amerika Serikat harus menjalani pemeriksaan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional yang disetujui pemerintah. Semua pemohon visa akan dites untuk penyakit menular, seperti TBC, dan diwajibkan untuk mengisi formulir tentang riwayat penggunaan narkoba atau alkohol, masalah kesehatan mental, atau kekerasan.

    Mereka juga harus menunjukkan apakah mereka telah menerima vaksinasi untuk melindungi dari penyakit menular seperti campak, polio, dan hepatitis B.

    Arahan baru ini tidak hanya memperluas daftar kondisi medis yang perlu dipertimbangkan secara signifikan, tetapi juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada petugas imigrasi untuk menerima atau menolak visa hanya berdasarkan status kesehatan pemohon dan kemampuan mereka untuk membayar perawatan medis tanpa bantuan pemerintah.

    “Apakah pemohon memiliki sumber daya keuangan yang memadai untuk menutupi biaya perawatan tersebut selama masa hidupnya tanpa mencari bantuan tunai publik atau perawatan jangka panjang dengan biaya pemerintah?” demikian isi surat kawat tersebut.

    “Apakah ada tanggungan yang memiliki disabilitas, kondisi medis kronis, atau kebutuhan khusus lainnya dan memerlukan perawatan sehingga pemohon tidak dapat mempertahankan pekerjaannya?” adalah pertanyaan lain yang disertakan dalam surat kawat tersebut.

    Dilaporkan bahwa sekitar 10% populasi dunia menderita diabetes, dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di dunia. Dalam konteks ini, langkah Washington ini akan menghambat kedatangan lebih banyak imigran ke Amerika Serikat.

    Diketahui, dalam beberapa bulan terakhir, rencana untuk mencegah lebih banyak warga negara asing datang ke AS telah mencakup jaminan hingga US$15.000 untuk pelancong dari negara tertentu, biaya US$100.000 untuk pekerja visa H-1B, dan penolakan visa berdasarkan temuan “pandangan anti-Amerika”.

    Tonton juga video “Trump Yakin Thailand-Kamboja Akan Baik-baik Saja Meski Ada Konflik”

    (yld/gbr)

  • Yang Diabetes hingga Obesitas Ditolak Trump Masuk ke AS

    Yang Diabetes hingga Obesitas Ditolak Trump Masuk ke AS

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat kebijakan tidak biasa. Trump memerintahkan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS untuk menolak visa bagi warga negara asing yang dinilai bisa menjadi “beban” terkait kesehatannya, seperti orang yang memiliki diabetes dan dalam kondisi obesitas.

    Dirangkum detikcom dari beberapa sumber, Sabtu (15/11/2025), aturan baru ini akan diterapkan mulai Januari 2026 mendatang. Tidak hanya diabetes dan obesitas, tetapi aturan ini juga berlaku untuk beberapa penyakit.

    Menurut laporan Politico, aturan baru ini mewajibkan kesehatan imigran dan kondisi medis tertentu — termasuk penyakit kardiovaskular dan pernapasan, kanker, diabetes, penyakit metabolik dan neurologis, serta gangguan mental — untuk dipertimbangkan, karena kondisi-kondisi ini mungkin memerlukan perawatan medis senilai ratusan ribu dolar.

    Imigran yang mengajukan visa untuk tinggal permanen di Amerika Serikat harus menjalani pemeriksaan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional yang disetujui pemerintah. Semua pemohon visa akan dites untuk penyakit menular, seperti TBC, dan diwajibkan untuk mengisi formulir tentang riwayat penggunaan narkoba atau alkohol, masalah kesehatan mental, atau kekerasan.

    Mereka juga harus menunjukkan apakah mereka telah menerima vaksinasi untuk melindungi dari penyakit menular seperti campak, polio, dan hepatitis B.

    Arahan baru ini tidak hanya memperluas daftar kondisi medis yang perlu dipertimbangkan secara signifikan, tetapi juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada petugas imigrasi untuk menerima atau menolak visa hanya berdasarkan status kesehatan pemohon dan kemampuan mereka untuk membayar perawatan medis tanpa bantuan pemerintah.

    “Apakah pemohon memiliki sumber daya keuangan yang memadai untuk menutupi biaya perawatan tersebut selama masa hidupnya tanpa mencari bantuan tunai publik atau perawatan jangka panjang dengan biaya pemerintah?” demikian isi surat kawat tersebut.

    Aturan tersebut juga mengimbau para pejabat untuk mempertimbangkan kesehatan keluarga pemohon, termasuk anak-anak atau orang tua lanjut usia.

    “Apakah ada tanggungan yang memiliki disabilitas, kondisi medis kronis, atau kebutuhan khusus lainnya dan memerlukan perawatan sehingga pemohon tidak dapat mempertahankan pekerjaannya?” adalah pertanyaan lain yang disertakan dalam surat kawat tersebut.

    Dilaporkan bahwa sekitar 10% populasi dunia menderita diabetes, dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di dunia. Dalam konteks ini, langkah Washington ini akan menghambat kedatangan lebih banyak imigran ke Amerika Serikat.

    Diketahui, dalam beberapa bulan terakhir, rencana untuk mencegah lebih banyak warga negara asing datang ke AS telah mencakup jaminan hingga US$15.000 untuk pelancong dari negara tertentu, biaya US$100.000 untuk pekerja visa H-1B, dan penolakan visa berdasarkan temuan “pandangan anti-Amerika”.

    Halaman 2 dari 2

    (zap/whn)

  • Trump Perintahkan Deplu AS Tolak Pemohon Visa yang Obesitas-Diabetes

    Trump Perintahkan Deplu AS Tolak Pemohon Visa yang Obesitas-Diabetes

    Jakarta

    Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan Departemen Luar Negeri (Deplu) AS untuk menolak visa bagi warga negara asing karena alasan usia dan kondisi kesehatan seperti diabetes dan obesitas. Menurut Washington, para pemohon tersebut memiliki kemungkinan tinggi menjadi “beban publik” karena masalah kesehatan mereka.

    Dalam beberapa bulan terakhir, rencana untuk mencegah lebih banyak warga negara asing datang ke AS telah mencakup jaminan hingga US$15.000 untuk pelancong dari negara tertentu, biaya US$100.000 untuk pekerja visa H-1B, dan penolakan visa berdasarkan temuan “pandangan anti-Amerika”.

    Panduan baru ini, yang akan diterapkan mulai Januari 2026, dipublikasikan dalam surat kawat yang dikirim oleh Departemen Luar Negeri AS kepada pejabat kedutaan dan konsulat di seluruh dunia pada awal November lalu. Dilansir Politico, Sabtu (15/11/2025), aturan baru ini mewajibkan kesehatan imigran dan kondisi medis tertentu — termasuk penyakit kardiovaskular dan pernapasan, kanker, diabetes, penyakit metabolik dan neurologis, serta gangguan mental — untuk dipertimbangkan, karena kondisi-kondisi ini mungkin memerlukan perawatan medis senilai ratusan ribu dolar.

    Imigran yang mengajukan visa untuk tinggal permanen di Amerika Serikat harus menjalani pemeriksaan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional yang disetujui pemerintah. Semua pemohon visa akan dites untuk penyakit menular, seperti TBC, dan diwajibkan untuk mengisi formulir tentang riwayat penggunaan narkoba atau alkohol, masalah kesehatan mental, atau kekerasan. Mereka juga harus menunjukkan apakah mereka telah menerima vaksinasi untuk melindungi dari penyakit menular seperti campak, polio, dan hepatitis B.

    Arahan baru ini tidak hanya memperluas daftar kondisi medis yang perlu dipertimbangkan secara signifikan, tetapi juga memberikan wewenang yang lebih besar kepada petugas imigrasi untuk menerima atau menolak visa hanya berdasarkan status kesehatan pemohon dan kemampuan mereka untuk membayar perawatan medis tanpa bantuan pemerintah.

    “Apakah pemohon memiliki sumber daya keuangan yang memadai untuk menutupi biaya perawatan tersebut selama masa hidupnya tanpa mencari bantuan tunai publik atau perawatan jangka panjang dengan biaya pemerintah?” demikian isi surat kawat tersebut.

    Arahan tersebut juga mengimbau para pejabat untuk mempertimbangkan kesehatan keluarga pemohon, termasuk anak-anak atau orang tua lanjut usia.

    “Apakah ada tanggungan yang memiliki disabilitas, kondisi medis kronis, atau kebutuhan khusus lainnya dan memerlukan perawatan sehingga pemohon tidak dapat mempertahankan pekerjaannya?” adalah pertanyaan lain yang disertakan dalam surat kawat tersebut.

    Dilaporkan bahwa sekitar 10% populasi dunia menderita diabetes, dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di dunia. Dalam konteks ini, langkah Washington ini akan menghambat kedatangan lebih banyak imigran ke Amerika Serikat.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • 3 Pernyataan Kontroversial Ribka Tjiptaning, Terbaru Kritik soal Soeharto

    3 Pernyataan Kontroversial Ribka Tjiptaning, Terbaru Kritik soal Soeharto

    Bisnis.com, JAKARTA – Politisi PDI Perjuangan (PDIP) Ribka Tjiptaning dilaporkan oleh Aliansi Rakyat Anti Hoaks (ARAH) ke Bareskrim Polri.

    Laporan tersebut dilakukan karena berkaitan dengan pernyataannya soal Presiden ke-2 RI Soeharto.

    Koordinator ARAH, Iqbal mengatakan pihaknya mengadukan Ribka ke Bareskrim lantaran menyebut Soeharto sebagai pembunuh jutaan rakyat. Iqbal juga menyatakan telah menyerahkan sejumlah video untuk mendukung aduannya.

    “Ribka Tjiptaning menyatakan bahwa Soeharto itu adalah pembunuh jutaan rakyat,” ujar Iqbal di Bareskrim Polri, dikutip Kamis (13/11/2025).

    Kemudian, Iqbal menjelaskan bahwa pernyataan Ribka terkait Soeharto itu telah menyesatkan publik karena diucapkan tanpa dibarengi dengan fakta.

    Ribka Tjiptaning dikenal sebagai politisi vokal yang tidak ragu menyuarakan pendapatnya meski menimbulkan kontroversi.

    Berikut ini daftar pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Ribka Tjiptaning:

    1. Tolak Vaksin

    Ribka Tjiptaning pernah mendapat sorotan publik lantaran mengeluarkan pernyataan dirinya menolak vaksin Covid-19.

    Penolakannya terhadap vaksin itu membuatnya dirotasi dan ditegur oleh PDI Perjuangan. Teguran itu disampaikan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

    “Saya sampai ditegur partai saya, enggak tahu yang melaporkan saya siapa. Tetapi, ini konsekuensi logis, ini keamanan untuk rakyat saya wakil rakyat. Ketika rakyat memilih saya tidak ragu-ragu saya juga bicara tidak ragu-ragu untuk kebenaran,” kata Ribka.

    Saat itu dia berpendapat bahwa vaksin buatan Sinovac tidak lagi banyak digunakan di China. Informasi itu dia peroleh dari sejumlah temannya yang berdomisili di negeri tirai bambu itu.

    “Ini [Sinovac] istilahnya sudah jadi barang rongsokan lah di sana itu orang China itu sudah jarang pakai Sinovac sebetulnya. Makanya, kenapa [vaksin] Merah Putih sudah tidak kita seriuskan lagi sehingga ya sudah ambil saja Sinovac. Kita jujur saja,” kata dia.

    Pernyataannya soal vaksin ini dilontarkan karena terdapat sejumlah vaksin yang ditemukan bermasalah dan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat.

    “Yang tadinya vaksin untuk polio malah [jadi] lumpuh layu, yang kaki gajah jadi mati 12 [orang] di Sindanglaya sana di Jawa Barat,” kata dia.

    2. BPJS Kesehatan defisit

    Ribka Tjiptaning juga pernah mengatakan bahwa BPJS Kesehatan memang dirancang untuk mengalami defisit, tidak seperti industri asuransi pada umumnya yang desainnya untuk memeroleh keuntungan.

    Dia menyebut defisit yang dialami BPJS Kesehatan masih tergolong kecil dibandingkan dengan yang diperkirakan saat pembahasan RUU tentang BPJS.

    “BPJS Kesehatan itu memang hibah. Niat negara adakan BPJS Kesehatan, sebagai jaminan sosial, bukan asuransi. Itu tanggung jawab negara,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi DPR, Selasa 21 Januari 2020.

    Dia mengaku heran bila pemerintah selalu menyampaikan masalah BPJS Kesehatan dalam mengelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selalu mengalami defisit.

    “Seharusnya, pemerintah menanggung semua perawatan di kelas III, baik di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta,” katanya.

    Menurut Ribka, sebagai sebuah penyelenggara jaminan sosial memang sudah wajar bila BPJS Kesehatan mengalami defisit.

    “Kalau bicara dari sudut pandang asuransi, memang tidak akan untung. Itu tanggung jawab negara. Kalau ada orang yang mau membayar mandiri, ya biarkan saja mereka membayar.”

    3. Komentari gelar pahlawan Soeharto

    Terbaru, Ribka melontarkan menolak penetapan Presiden ke-2 RI Soeharto yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

    Ribka secara pribadi mengkritik keputusan pemerintah dalam menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2025.

    Adapun Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Senin (10/11/2025).

    Keputusan itu tertuang dalam Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional tertuang 10 nama yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.

  • Polisi Pakistan Tewas Ditembak saat Kawal Petugas Vaksinasi Polio

    Polisi Pakistan Tewas Ditembak saat Kawal Petugas Vaksinasi Polio

    Jakarta

    Seorang petugas kepolisian Pakistan tewas ditembak orang-orang bersenjata saat menjaga petugas vaksinasi polio. Pakistan saat ini melakukan kampanye nasional vaksinasi polio di tengah peningkatan kasus.

    “Dua pria tak dikenal dengan sepeda motor melepaskan tembakan dan menewaskan petugas polisi yang ditugaskan untuk melindungi tim polio,” kata seorang petugas polisi yang ditempatkan di Swat, Naseer Khan, tempat serangan itu terjadi, seperti dilansir AFP, Selasa (14/10/2025),

    “Tim polio sepenuhnya aman,” tambah Khan.

    Pakistan adalah salah satu dari dua negara, bersama Afghanistan, di mana polio masih endemik. Akan tetapi militan telah membunuh ratusan petugas polisi dan petugas kesehatan selama dekade terakhir sebagai bagian dari kampanye melawan negara Pakistan.

    Taliban Pakistan adalah militan paling aktif, tetapi belum ada kelompok yang mengklaim serangan tersebut.

    Sejauh ini tahun ini, tercatat 29 kasus polio. Khyber Pakhtunkhwa menyumbang 18 kasus, tertinggi di negara tersebut.

    Polio, virus yang sangat menular yang terutama menyerang anak-anak balita, dapat mengakibatkan kelumpuhan seumur hidup tetapi mudah dicegah dengan pemberian beberapa tetes vaksin secara oral.

    Serangan itu terjadi sebulan setelah pemerintah meluncurkan program HPV untuk melindungi anak perempuan Pakistan dari kanker serviks, yang dirusak oleh informasi yang salah.

    (lir/lir)

  • Kisah Mantan Pengemis Penyandang Polio yang Kini Menjadi Dokter

    Kisah Mantan Pengemis Penyandang Polio yang Kini Menjadi Dokter

    Jakarta

    Li Chuangye adalah seorang dokter berusia 37 tahun yang telah menginspirasi jutaan orang di dunia maya. Saat masih kanak-kanak dia hidup dengan polio, dan dipaksa mengemis. Dia baru belajar membaca pada usia 16 tahun.

    Lahir pada 1988 di Provinsi Henan dari keluarga petani miskin, Li Chuangye terjangkit polio saat berusia tujuh bulan. Penyakit itu menyebabkan Li tidak bisa berjalan. Ke mana-mana, dia harus berjongkok.

    Semasa kecil, Li bermimpi pergi ke sekolah membawa tas ransel seperti anak-anak lain, tetapi ia sering diejek. Beberapa anak menyebutnya “sampah”, dan ia “hanya bisa makan dan tidak punya kegunaan lain”.

    “Ini sangat menyakitkan saya,” kata Li.

    Ketika Li berusia sembilan tahun, orang tuanya mendengar bahwa operasi kaki akan membuat Li bisa berjalan. Mereka lalu meminjam banyak uang untuk operasi tersebut.

    Harapan Li untuk bisa berjalan lagi, begitu tinggi.

    Namun operasi itu gagal.

    Harapan Li untuk bisa berjalan hancur seketika. Akibatnya, dia terjerumus ke dalam depresi berat. Dia merasa hidupnya tak berarti. Bahkan, dia pernah mengatakan kepada ibunya bahwa dia lebih baik mati.

    Dr Li ChuangyeLi Chuangye menyiarkan pendakiannya kepada ribuan orang di dunia maya.

    Kata-kata sang ibu sangat menyentuh Li.

    “Saya memikirkan betapa besar pengorbanan orang tua dan keluarga untuk saya. Saya pun menangis tersedu-sedu. Saya menyadari bahwa saya harus hidup, bukan hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk mereka,” kata Li.

    Tak lama kemudian, seorang pria dari luar kota datang ke desa tempat tinggal Li. Pria itu mencari anak-anak difabel untuk berjualan dupa di kuil.

    Dia berjanji kepada Li akan mengirimkan uang sebesar gaji bulanan ayahnya saat itu.

    “Orang tua saya sangat menentangnya, tetapi saya melihatnya sebagai kesempatan untuk mencari nafkah dan meringankan beban keluarga saya,” kata Li.

    Li setuju mengikuti pria itu.

    Mengemis di jalan

    Namun, janji pekerjaan itu bohong belaka.

    Li mengklaim bahwa orang asing itu menjalankan bisnis mengemis dengan memperkerjakan anak-anak difabel.

    Selama tujuh tahun berikutnya, Li mengaku dipaksa mengemis di jalanan bersama anak-anak penyandang disabilitas lainnya.

    Pada malam pertamanya bersama “bos” barunya, salah satu anak memperingatkan Li untuk bekerja keras atau ia akan dipukuli. Ternyata ini benar.

    Keesokan paginya, Li ditinggalkan di trotoar, bertelanjang dada. Kakinya dipelintir di punggungnya dalam pose yang akan mengundang lebih banyak simpati khalayak.

    Baca juga:

    Li tidak mengerti mengapa orang-orang memasukkan uang ke dalam mangkuknya. Pada suatu ketika, ada orang yang bertanya mengapa Li mengemis, padahal seharusnya ia bersekolah.

    “Di kampung halaman saya, mengemis itu memalukan. Saya tidak menyadari itulah yang saya lakukan. Kesadaran itu menghancurkan saya,” kata Li.

    Li bisa mendapatkan beberapa ratus yuan sehari uang yang sangat banyak pada 1990-an tetapi semuanya jatuh ke tangan bosnya.

    “Kalau penghasilan saya lebih rendah dari anak-anak lain, dia akan menuduh saya bermalas-malasan dan terkadang memukul saya,” ujarnya.

    “Jadi, itu sangat menyakitkan selama bertahun-tahun.”

    Selama bertahun-tahun, anak-anak lain melarikan diri atau dipulangkan oleh polisi. Tetapi Li tetap tinggal, bertekad untuk membantu keluarganya. Ketika polisi menawarkan bantuan, ia menolak, berkeras bahwa ia sedang bersama kerabat.

    Dr Li ChuangyeLi mengaku mendapat kebahagiaan dari mendaki gunung. Pada foto ini, dia mendaki Gunung Hua setinggi 2.154 meter.

    Selama tujuh tahun, baik musim dingin maupun musim panas, Li mengemis keliling negeri.

    “Rasanya seperti hidup di neraka. Saya malu, menghindari kontak mata, kaki saya terpelintir ke belakang dengan menyakitkan untuk membangkitkan rasa iba. Saya berdoa agar hujan atau kegelapan turun agar tidak mengemis,” ujarnya kepada program BBC World Service Outlook.

    Setiap malam Tahun Baru, ia menelepon ke rumah, meyakinkan orang tuanya bahwa semuanya baik-baik saja dan mereka tidak perlu khawatir.

    “Tetapi setelah menelepon, saya akan menangis di kamar. Saya tidak bisa memberi tahu mereka bahwa saya mengemis di jalanan,” katanya.

    Bahkan sekarang, 20 tahun kemudian, trauma itu masih membekas.

    “Mengemis meninggalkan luka psikologis yang mendalam. Saya masih memimpikannya, terbangun dengan lega dan menyadari bahwa itu hanyalah mimpi.”

    Membuka jalan melalui pendidikan

    Semuanya berubah ketika Li mengambil koran di jalan dan menyadari bahwa ia hanya bisa membaca huruf-huruf yang ada pada namanya.

    Saat itu, pada usia 16 tahun, ia memutuskan untuk pulang dan akhirnya bersekolah.

    “Saya tidak bisa membaca dan menulis. Hanya melalui pendidikanlah saya dapat mengubah hidup saya,” kenang Li.

    Pada waktu itu, pemerintah China memberlakukan kebijakan baru, yaitu tindakan menggunakan anak-anak penyandang disabilitas untuk mengemis adalah kejahatan.

    Li juga mendengar bahwa situasi keuangan keluarganya telah membaik. Ia memberi tahu ‘bos’ bahwa ia ingin mengunjungi keluarganya, dan dia diizinkan pergi.

    Baca juga:

    Setelah bertemu kembali dengan orang tuanya, Li baru mengetahui bagaimana kehidupan keluarganya yang sebenarnya.

    Li sangat marah ketika mengetahui bahwa pelaku eksploitasinya telah mengirimi uang kepada orang tuanya dengan jumlah jauh lebih sedikit daripada yang dijanjikan.

    Dengan dukungan orang tuanya, Li mendaftar di tahun kedua sekolah dasar, dengan murid-murid yang 10 tahun lebih muda darinya.

    Pada hari pertamanya, anak-anak mengerumuni mejanya, tetapi ia tidak peduli.

    “Saya tidak marahsaya sudah menghadapi begitu banyak ejekan dan kesulitan sebelumnya. Sekarang, sebagai pelajar, saya hanya ingin fokus belajar,” ujarnya.

    Dr Li ChuangyeAgar bisa sampai ke kampus, Li harus mengendarai skuter selama berjam-jam.

    Li menjadi siswa paling rajin, meskipun kondisi fisiknya menyebabkan sejumlah halseperti pergi ke toiletmenjadi tantangan.

    “Pergi ke toilet perlu usaha yang sangat besar. Jadi saya sering memaksakan diri untuk tidak minum air di sekolah,” ujarnya.

    Dengan tekad yang kuat, Li menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah dalam sembilan tahun.

    Dia kerap mengundang anak-anak desa untuk bermain serta mengerjakan PR.

    Ketika tiba saatnya mendaftar ke perguruan tinggi, kondisi fisiknya membatasi pilihannya. Namun, dia dapat mendaftar ke jurusan kedokteran.

    Li berpikir, “Jika saya menjadi dokter, mungkin saya dapat meneliti kondisi saya sendiri dan saya dapat membantu keluarga saya, menyelamatkan nyawa, dan berkontribusi bagi masyarakat.”

    Li diterima di sekolah kedokteran pada usia 25 tahun. Fasilitas di sana lebih mudah diakses, tetapi ia merasa kelas praktik adalah yang paling sulit.

    “Meskipun teman-teman sekelas dapat dengan mudah mengikuti guru untuk mengunjungi pasien atau berlari antarbangsal selama magang, saya mengalami masalah mobilitas.”

    “Apa yang dipelajari orang lain dalam sehari bisa memakan waktu lebih lama bagi saya.”

    Li merasa ia harus menjadi lebih kuat, dan memutuskan untuk mulai mendaki gunung.

    Pada pendakian pertamanya, ia membutuhkan waktu lima hari lima malam untuk mencapai puncak Gunung Tai.

    Ketika tangan dan kakinya retak dan mulai berdarah, ia tidak menyerah tetapi terus menaiki setiap anak tangga batu dengan pantatnya.

    Mendaki gunung tetap menjadi hobinya. Berkat hobi itulah, Li mulai dikenal khalayak ramai.

    Dr Li ChuangyeDr Li telah mendaki Lima Gunung Suci di China, serta Tembok Raksasa.

    Video-video pendakian yang dia bagikan ke media sosial menjadi viral beberapa bulan lalu.

    Sekarang Li mengelola sebuah klinik pedesaan kecil di Xinjiang. Dia sana, dia bertugas siang dan malam. Pasien-pasiennya memanggilnya “dokter ajaib”.

    “Merawat pasien dengan tangan saya sendiri, meningkatkan kesehatan tetangga saya itulah yang paling memuaskan saya,” katanya.

    Li terkejut ketika mengetahui kisah hidupnya menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dia berharap kisahnya akan membantu mengubah sikap dan pandangan masyarakat.

    “Beberapa orang menganggap penyandang disabilitas tidak berguna. Di restoran, saya pernah dikira pengemis saat berjongkok, dan diberi tahu tidak ada makanan. Saya tersenyum dan pergi kebanyakan orang baik,” ujarnya.

    Hidup penuh percaya diri dan tujuan

    Banyak orang bertanya kepada Li mengapa ia tidak melaporkan pria yang mengeksploitasinya saat masih kanak-kanak.

    “Saya memutuskan untuk melupakan masa lalu,” katanya.

    “Tujuh tahun itu memang pengalaman yang menyakitkan, tetapi itu adalah bagian dari hidup saya.”

    Perjalanan Li membentuk kembali perspektifnya.

    “Setelah bisa bersekolah, saya berhenti peduli dengan pendapat atau penilaian orang lain.”

    “Saya menyadari hal-hal itu tidak berarti. Saya ingin memfokuskan waktu dan energi saya untuk belajar dan mencapai tujuan hidup saya,” paparnya.

    Dr Li ChuangyeDr Li mengelola klinik dan siap dipanggil selama 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam sepekan.

    Ia mengatakan banyak penyandang disabilitas “berjuang untuk maju” karena mereka takut dihakimi atau diejek.

    “Tapi bagi saya, bukan itu intinya. Saya berkeliling kampus dan kota dengan berjongkok atau merangkak, entah untuk kelas, lokakarya, atau membantu ratusan teman disabilitas melalui pekerjaan saya.”

    “Saya pikir saya terlihat percaya diri melakukannya. Saya tidak peduli lagi dengan penampilan orang lain.”

    Kepada publik, ia menyampaikan perumpamaan berikut: “Hidup kita ibarat gunung kita mendaki satu gunung, dan masih ada gunung lain di depan. Kita terus berjuang dan maju.

    “Saya pikir seseorang harus selalu bersikap positif, optimis, dan pantang menyerah dalam meraih impian.”

    dr. Li Chuangye berbicara kepada program Outlook dari BBC World Service

    (haf/haf)