Topik: Pemulihan Ekonomi Nasional

  • Ekspor TPT Tembus US,17 Miliar, APINDO: Industri Nasional Mulai Pulih

    Ekspor TPT Tembus US$13,17 Miliar, APINDO: Industri Nasional Mulai Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menilai bahwa sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) serta alas kaki nasional mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah dua tahun terakhir menghadapi tekanan pasar global dan kompetisi ketat dari produk impor.

    Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Anne Patricia Sutanto mengatakan bahwa memasuki 2025, kinerja ekspor dan peningkatan utilisasi industri memberi optimisme baru bagi pelaku usaha.

    Dia menjabarkan bahwa data mencatat sepanjang Januari–Agustus 2025, nilai ekspor TPT mencapai US$8,01 miliar, naik tipis 0,24% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$7,98 miliar. Di sisi lain, kinerja ekspor alas kaki tumbuh lebih impresif, menembus US$5,16 miliar atau meningkat 11,89% dari US$4,61 miliar pada 2024.

    “Tren positif ini menunjukkan bahwa industri TPT dan alas kaki Indonesia kembali kompetitif. Para pelaku usaha mulai berani meningkatkan produksi karena pasar ekspor mulai pulih dan kebijakan pemerintah semakin mendukung,” ujarnya melalui rilisnya, Selasa (7/10/2025)

    Secara total, ekspor gabungan kedua sektor mencapai US$13,17 miliar, tumbuh 4,51% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (US$12,59 miliar). Angka ini menunjukkan daya saing produk manufaktur Indonesia mulai menguat di pasar internasional.

    Selain kinerja ekspor, utilisasi industri juga terus meningkat. Pada 2024, rata-rata utilisasi industri tekstil berada di angka 56,88%. Angka tersebut naik menjadi 58,16% pada kuartal I/2025 dan kembali meningkat ke 59,09% di kuartal II/2025.

    Sementara itu, industri pakaian jadi mencatat utilisasi 73,99%, dan industri alas kaki bahkan mencapai 80,21% pada semester I/2025, menjadikannya salah satu subsektor dengan performa terbaik.

    Anne menambahkan, peningkatan ekspor dan kapasitas produksi juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang mulai menunjukkan tren positif. Namun, dia menekankan perlunya investasi baru di sektor hulu untuk memastikan ketersediaan bahan baku industri di dalam negeri.

    “APINDO melihat kebijakan ini cukup tepat sasaran. Industri tetap memiliki akses bahan baku untuk memenuhi permintaan ekspor, tetapi pada saat yang sama produk dalam negeri juga terlindungi dari tekanan impor berlebihan,” jelasnya.

    Menurut Anne, keberhasilan menjaga stabilitas industri TPT dan alas kaki tidak hanya berpengaruh pada devisa negara, tetapi juga pada keberlanjutan investasi dan penciptaan lapangan kerja.

    “Sektor ini memiliki peran penting dalam menyediakan lapangan kerja dan menambah devisa negara. Kami optimistis, dengan dukungan kebijakan yang konsisten, industri TPT dan alas kaki akan terus tumbuh dan menjadi pilar penting pemulihan ekonomi nasional,” pungkasnya.

  • Mampu jaga daya beli, Puskepi harapkan diskon listrik diterapkan ulang

    Mampu jaga daya beli, Puskepi harapkan diskon listrik diterapkan ulang

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mendorong pemerintah mengimplementasikan ulang kebijakan diskon tarif listrik 50 persen seperti pada Januari sampai Februari 2025 karena terbukti mampu menjaga daya beli masyarakat.

    “Kebijakan diskon listrik yang dijalankan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu bisa diimplementasikan ulang karena terbukti menjaga daya beli dan berefek positif terhadap stabilitas sosial. Dengan demikian, diskon listrik juga ikut menopang pertumbuhan ekonomi 2025,” ujarnya di Jakarta, Senin.

    Menurut dia, kebijakan tersebut punya dampak besar pada lapangan kerja dan stabilitas sosial-ekonomi terlebih tarif listrik yang lebih terjangkau sangat membantu masyarakat sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi nasional.

    Selain dampak ekonomi, lanjutnya, diskon listrik juga memberi efek psikologis positif bagi masyarakat.

    Kebijakan ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah hadir untuk meringankan beban masyarakat di tengah kenaikan harga dan kebutuhan, terutama di awal tahun baru.

    “Efek psikologis ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan stabilitas sosial-ekonomi. Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga kesejahteraan rakyat dan memperkuat ekonomi nasional,” ujar dia dalam keterangannya.

    Dia berharap kebijakan diskon listrik tersebut bisa kembali dijalankan agar pemulihan ekonomi nasional makin kuat dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.

    Pemerintah sebelumnya merancang enam paket insentif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk rencana pemberian diskon tarif listrik bagi pelaku usaha tertentu.

    Insentif tersebut diberikan dalam bentuk potongan tarif listrik sebesar 50 persen bagi 79,3 juta pelanggan rumah tangga dengan daya listrik maksimal 1.300 VA.

    Skema ini diusulkan berlangsung dari 5 Juni hingga 31 Juli 2025 dan mengacu pada pola pemberian diskon yang sebelumnya telah diterapkan pada awal tahun, namun insentif tarif listrik tersebut akhirnya dicabut dari daftar.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Penjaminan KUR Tembus Rp 100 Triliun, Jangkau 1,58 Juta UMKM

    Penjaminan KUR Tembus Rp 100 Triliun, Jangkau 1,58 Juta UMKM

    Jakarta

    Kredit usaha rakyat (KUR) saat ini menjadi salah satu cara untuk mendukung perekonomian nasional. Karena itu dibutuhkan penjaminan program tersebut.

    Sepanjang Januari hingga Agustus 2025, PT Jaminan Kredit Indonesia telah mencatatkan volume penjaminan KUR sebesar Rp100 triliun yang menjangkau 1,58 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

    Melalui penjaminan KUR oleh Jamkrindo tersebut, tenaga kerja yang terserap mencapai 7,9 juta orang dan memberikan dampak langsung terhadap ekonomi kerakyatan. Sekretaris Perusahaan Jamkrindo Krisna Johan mengatakan, KUR merupakan program yang sangat strategis untuk memperkuat kemampuan permodalan usaha dalam rangka pelaksanaan kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM.

    “UMKM menghadapi beberapa masalah klasik, antara lain akses modal, terutama yang dinilai belum bankable; pemasaran, dan manajemen usaha. Sebagai perusahaan penjaminan, Jamkrindo memiliki peran menjembatani UMKM layak (feasible) untuk memperoleh akses pembiayaan. Kehadiran Jamkrindo membantu pelaku UMKM yang mengalami kesulitan ketiadaan atau kekurangan agunan (unbankable) agar dapat memperoleh akses permodalan yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan usaha,” ujar Krisna dalam keterangannya, Jumat (19/9/2025).

    Krisna mengungkapkan, selain memberikan akses pembiayaan kepada UMKM, peran penting Jamkrindo juga terlihat dalam meningkatkan mitigasi risiko kredit oleh lembaga keuangan sehingga bisa lebih percaya diri dalam menyalurkan kredit. “Penjaminan yang diberikan oleh Jamkrindo juga mendorong bank dan lembaga keuangan lainnya untuk lebih massif dan inklusif dalam menyalurkan pembiayaan kepada sektor UMKM,” ujar Krisna.

    Sejak didirikan tahun 1970, Krisna mengatakan, Jamkrindo telah lama dipercaya untuk terlibat dalam program-program strategis Pemerintah, antara lain program penjaminan KUR, program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) hingga program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pada penjaminan KUR, sejak awal program tersebut diluncurkan (KUR Gen 1) hingga Agustus 2025, total volume penjaminan KUR yang telah diberikan Jamkrindo mencapai Rp1.125 riliun, dengan lebih dari 32, 1 juta debitur UMKM terjamin.

    Program ini juga berhasil menciptakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 47,3 juta tenaga kerja, yang berkontribusi pada penguatan perekonomian kerakyatan dan pemerataan kesejahteraan di berbagai sektor. “Hal ini membuktikan bahwa penjaminan kredit merupakan instrumen yang efektif dalam mendukung keberlanjutan usaha UMKM dan membuka peluang kerja bagi Masyarakat,” ujar Krisna.

    Selama dipercaya membantu UMKM untuk mengakses modal, Jamkrindo tetap mencatatkan kinerja keuangan yang positif karena menerapkan assesment yang memadai kepada lembaga keuangan penyalur kredit dan konsep know your customer kepada nasabah lembaga keuangan.

    Lihat juga Video: Cak Imin Minta Penyaluran KUR Dipercepat, Ungkit Penyerapan Tenaga Kerja

    (kil/kil)

  • Penempatan Dana Negara ke Himbara, Kebijakan Baru Rasa Lama

    Penempatan Dana Negara ke Himbara, Kebijakan Baru Rasa Lama

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengklaim bahwa kebijakan penempatan dana pemerintah Rp200 triliun ke perbankan akan menggerakkan perekonomian. Dia juga memastikan bahwa hal itu bukanlah langkah baru karena pernah dilakukan pada tahun 2008 dan 2021.

    Pernyataan itu diungkapkan saat merespons kritik dari ekonomi senior Indef sekaligus rektor Universitas Pramadina, Didik J Rachbini.

    “Enggak ada yang salah, saya sudah konsultasi juga dengan ahli-ahli hukum di Kemenkeu. Dulu pernah dijalankan tahun 2008, bulan September. [Kemudian] 2021 bulan Mei, enggak ada masalah. Jadi Pak Didik harus belajar lagi kelihatannya,” ujar Purbaya saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/9/2025). 

    Dalam catatan Bisnis, penempatan dana pemerintah ke Bank BUMN pada tahun 2008 terkait dengan krisis finansial global. Sementara itu penempatan dana pada 2021 terkait dengan proses pemulihan ekonomi yang hancur karena pandemi Covid-19.

    Adapun penempatan dana senilai Rp200 triliun diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.276/2025 tentang Penempatan Uang Negara Dalam Rangka Pengelolaan Kelebihan dan Kekurangan Kas Untuk Mendukung Pelaksanaan Program Pemerintah Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi. Pada saat itu, Purbaya menyebut dana pemerintah yang disimpan di BI sekitar Rp400 triliun lebih. 

    Lima bank himbara yang menerima masing-masing adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebesar Rp55 juta, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI Rp55 juta, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI Rp55 juta, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau BTN Rp25 juta dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk. atau BSI Rp10 juta. 

    “Penempatan Uang Negara digunakan untuk pertumbuhan sektor riil,” demikian bunyi diktum ketiga KMK tersebut. 

    Purbaya, dalam KMK pertama yang diterbitkan olehnya, tegas melarang perbankan untuk menggunakan likuiditas itu untuk membeli SBN. Meski demikian, secara terpisah dia telah menegaskan bahwa perbankan diberikan kebebasan dalam bagaimana mendistribusikan dana tersebut untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

    Pria yang sebelumnya menjabat Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyebut tidak akan membuat petunjuk khusus (guidance) dalam penggunaan dana Rp200 triliun itu. Dia hanya akan menyiapkan daftar proyek pemerintah yang sekiranya menjadi prioritas untuk pemanfaatan uang tersebut. 

    “Saya ulangi lagi, suka-suka mereka. Pakai imajinasi mereka untuk mendapatkan itu menurut mereka yang paling baik,” ujar Purbaya di Istana Kepresidenan, Selasa (16/9/2025).

    Gebrakan Baru Rasa Lama

    Sejatinya penempatan dana pemerintah di perbankan bukan gebrakan yang sepenuhnya baru. Pada 2021 lalu, ketika Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19, Menkeu saat itu yakni Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) NO.70/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional. 

    “Penempatan Uang Negara pada Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 dan/ atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional,” bunyi pasal 2 ayat (3) PMK tersebut. 

    Dengan demikian, perbedaan antara penempatan dana yang dilakukan pekan lalu dan pada 2021 itu jelas. Tujuan penempatan dana Rp200 triliun pada paruh kedua 2025 ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sedangkan yang dilakukan sekitar empat tahun lalu itu dalam rangka kedaruratan akibat dampak pandemi. 

    PMK No.70/2020 juga tidak mengatur secara rinci berapa dana pemerintah maupun bank umum mitra yang menjadi tempat penampungan likuiditas dari pemerintah itu. Sementara itu, KMK No.276/2025 jelas mengatur Mandiri, BRI, BNI, BTN dan BSI menadah duit pemerintah tersebut. 

    Dilansir dari Antara, tahap pertama penyaluran dana pemerintah berdasarkan PMK No.70/2020 itu adalah sebesar Rp30 triliun.  Seperti halnya yang dilakukan pada 2021, penempatan dana pemerintah di perbankan pada hampir 20 tahun yang lalu itu guna menghadapi krisis, yakni krisis finansial global.

    Ekonomi Sedang Baik-baik Saja?

    Penempatan dana Rp200 triliun pada paruh kedua semester II/2025 disebut oleh pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Harapannya, dengan likuiditas berlebih, perbankan bakal menyalurkan dana itu kepada kredit sehingga bisa menggenjot perekonomian dari sektor swasta yang disebut berkontribusi terhadap 90% perekonomian RI. 

    Padahal, pemerintah sebelumnya optimistis bahwa perekonomian Indonesia baik-baik saja. Terutama, setelah data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi kuartal II/2025 melesat hingga 5,12% (yoy) di luar ekspektasi berbagai kalangan.

    Optimisme itu lalu dibayangi oleh stabilitas sosial politik ketika unjuk aksi besar-besaran menolak tunjangan DPR mengalami eskalasi akhir Agustus 2025 lalu. Hal itu turut berdampak pada pencopotan Sri Mulyani Indrawati dari kursi Menkeu, jabatan yang telah dipegangnya sejak 2016, serta sebelumnya pada 2005-2010. 

    Belanja pemerintah kemudian diakselerasi. Teranyar, pemerintah menggenjot belanja dengan menggelontorkan paket ekonomi sebesar Rp16,2 triliun. Beberapa program itu meliputi pembebasan pajak karyawan sektor pariwisata hingga tarif 0,5% untuk pajak final UMKM. 

    Menko Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis paket stimulus itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melesat hingga 5,2% sesuai target tahun ini, terutama setelah gonjang-ganjing dalam negeri akhir bulan lalu. Dia mengamini bahwa ada kekhawatiran pada kuartal III/2025 pertumbuhan bisa melambat karena belanja pemerintah yang belum terakselerasi. 

    Oleh sebab itu, selain menggelontorkan stimulus, dia juga akan mendorong debirokratisasi dalam dunia usaha hingga memantau ketat penyerapan belanja pemerintah. 

    “Ya tentu, salah satu kan dibentuk tim untuk debottlenecking. debirokratisasi, termasuk untuk serapan-serapan anggaran akan terus dimonitor,” jelasnya di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (15/9/2025). 

    Kendati upaya pemerintah lebih ekspansif dalam mendorong pertumbuhan, tantangan yang bakal dihadapi adalah dari sisi disiplin fiskal. Pada tahun ini, outlook defisit APBN sudah mencapai 2,78% terhadap PDB dengan batasan UU yakni 3%. 

    Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Andry Asmoro mengatakan, pemerintah memiliki tantangan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan mendorong pertumbuhan melalui stimulus dengan disiplin fiskal jangka menengah. Tujuannya, agar ruang kebijakan tetap tersedia untuk mengantisipasi guncangan eksternal di masa depan. 

    “Dengan strategi fiskal yang lebih ekspansif, outlook defisit fiskal berpotensi melebar dari yang diperkirakan sebelumnya, meskipun diperkirakan masih terjaga di bawah 3% terhadap PDB sesuai komitmen Pemerintah,” jelasnya kepada Bisnis.

  • Identifikasi Risiko Sambut Kebijakan Menkeu Baru

    Identifikasi Risiko Sambut Kebijakan Menkeu Baru

    Bisnis.com, JAKARTA – Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa menandai babak baru kebijakan fiskal Indonesia.

    Menkeu baru menekankan arah kebijakan fiskal yang lebih proaktif, adaptif, dan kolaboratif, ditopang lima program utama Kementerian Keuangan: perumusan kebijakan fiskal, optimalisasi penerimaan negara, peningkatan kualitas belanja, pengelolaan kas dan risiko, serta transformasi kelembagaan.

    Tujuan utamanya adalah menjaga stabilitas fiskal sekaligus mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan (Kemenkeu, 2025)Salah satu inisiatif paling strategis adalah kebijakan penempatan Rp200 triliun dana pemerintah di bank-bank nasional (Himbara dan BSI), berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA) yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia.

    Skema ini berbeda dari kebijakan sebelumnya yang lebih mengandalkan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan obligasi pemerintah untuk menyerap dana masyarakat (Djohanputro, 2021).

    Dengan leverage minimal dua kali lipat, bank diminta memper-luas pembiayaan produktif ke sektor riil, sehingga transmisi fiskal dapat lebih cepat terasa pada perekonomian.

    CROWDING OUT EFFECT

    Kebijakan Menteri Keu-angan yang baru ini menghindarkan risiko crowding out effect, yakni kondisi ketika penerbitan surat utang pemerintah menyerap dana masyarakat secara besar-besaran sehingga mengurangi kapasitas sektor swasta dalam memperoleh pembiayaan (Blanchard & Johnson, 2013).

    Penempatan dana langsung di bank tidak menciptakan biaya bunga bagi pemerintah, melainkan menyediakan likuiditas murah yang dapat digunakan untuk mendorong ekspansi pembiayaan.

    Kecenderungan likuiditas yang relatif ketat di semester I/2025 perbankan di Indonesia tecermin dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 6,9% per Juni 2025 dengan rasio Loan-to-Deposit Ratio (LDR) berada di kisaran 86%—88% (86,40% per Juni; 88,16% tercatat Mei), menandakan ruang intermediasi yang tidak terlalu longgar meski masih ada kapasitas untuk ekspansi kredit.

    Kondisi ini menyebabkan kenaikan biaya dana atau cost of fund (COF) lebih dari 100 bps. Akibatnya NIM makin tertekan sehingga bank cenderung meningkatkan pricing kredit yang mendorong kenaikan risiko penurunan kualitas kredit.

    Kebijakan untuk memasukkan dana pemerintah ke DPK perbankan ini menggeser risiko dari risiko likuiditas ke risiko kredit. Bank tidak hanya harus mengelola likuiditas, tetapi juga memastikan kualitas pembiayaan tetap terjaga.

    Jika leverage pembiayaan dilakukan tanpa perencanaan matang, potensi peningkatan non-performing financing (NPF) bisa menjadi ancaman, terutama bagi bank syariah yang segmentasinya banyak menyasar UMKM (OJK, 2023).

    Kebijakan Kemenkeu menyertakan BSI dalam program ini juga pilihan yang tepat karena industri perbankan syariah indonesia menunjukkan performa intermediasi yang solid sepanjang tahun 2025. Pada Juni 2025 di saat pertumbuhan kredit perbankan nasional melambat menjadi 7,7% (YoY) dari bulan sebelumnya 8,43% (YoY), pertumbuhan pembiayaan bank syariah mampu tumbuh 8,37% bahkan pertumbuhan pembiayaan BSI tetap ‘double digit’ 13,93% (YoY).

    Dari pertumbuhan pembiayaan tersebut, hal yang lebih menggembirakan adalah pertumbuhan pembiayaan UMKM BSI mencapai 9% (YoY) jauh melampaui pertumbuhan pembiayaan UMKM perbankan nasional sebesar 2,18% (YoY). Penyaluran ke sektor UMKM menyumbang sekitar 16%—17% dari total pembiayaan bank syariah menandakan bahwa sebagian pembiayaan syariah diarahkan ke sektor produktif yang langsung menyerap lapangan usaha riil dan mendukung inklusi ekonomi mikro-UMKM.

    EKONOMI SYARIAH

    Terdapat beberapa alasan kebijakan ini sangat relevan dengan pengembangan ekonomi syariah: Pertama, transmisi fiskal-moneter bank syariah melalui bank syariah lebih efektif dibandingkan bank konvensional karena transmisi bank syariah memiliki mekanisme yang berbeda dengan bank konvensional. Setiap pembiayaan bank syariah wajib memiliki underlying asset, sehingga penempatan dana pemerintah lebih mungkin disalurkan langsung ke kegiatan riil (KNEKS, 2020).

    Belajar dari pengalaman Malaysia menunjukkan bahwa pembiayaan syariah mampu mendukung stabilitas fiskal karena lebih berorientasi pada aset dan sektor produktif (Bank Negara Malaysia, 2021).

    Kedua, BSI dan bank syariah lain telah terlibat dalam pembiayaan infrastruktur, green sukuk, serta ekosistem haji-umrah. Dengan adanya tambahan likuiditas pemerintah, bank syariah berpotensi memperbesar perannya dalam proyek strategis seperti pembiayaan UMKM halal, pesantren produktif, hingga investasi ramah lingkungan.

    Ketiga, daya saing dan kolaborasi dengan organisasi masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat.

    Dana pemerintah dapat memperkuat daya saing bank syariah terhadap bank konvensional. Dalam konteks Indonesia, kolaborasi dengan organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah yang memiliki asset under management (AUM) signifikan menjadi peluang besar untuk mem-perluas penetrasi keuangan syariah (PP Muhammadiyah, 2022).

    PELAJARAN PEN

    Kebijakan ini juga memiliki landasan historis. Pada masa pandemi Covid-19, bank syariah terbukti berhasil menyalurkan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan tingkat efektivitas yang relatif tinggi. Penyaluran pembiayaan diarahkan kepada UMKM dan sektor riil, sejalan dengan mandat syariah yang mengharuskan adanya underlying asset.

    Hasilnya, tingkat NPF industri perbankan syariah tetap terkendali, berkisar 3,08% pada 2021, relatif stabil dibandingkan tekanan sektor perbankan secara umum (OJK, 2021)

    Belajar dari pengalaman Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020—2022, kunci mitigasi risiko dalam penyaluran dana pemerintah oleh Himbara, termasuk BSI, terletak pada ketepatan sasaran sektor dan segmentasi pasar.

    Saat itu, dana PEN lebih efektif terserap ketika diarahkan ke sektor yang punya daya tahan tinggi, cepat rebound, dan menyerap tenaga kerja luas seperti UMKM pangan, agribisnis, dan kesehatan.

    Ke depan, dengan adanya kebijakan Menkeu baru, BSI perlu memastikan bahwa penyaluran likuiditas dari pemerintah bisa disalurkan ke ekosistem halal (misalnya agroindustri halal, pariwisata ramah muslim, dan industri makanan-minuman halal) karena sektor ini tidak hanya resilient tetapi juga memberikan multiplier effect berupa penciptaan lapangan kerja, peningkatan nilai tambah domestik, serta maslahat yang lebih luas bagi umat.

    Dengan demikian, mitigasi risiko bukan sekadar menjaga NPF, tetapi juga menanamkan disiplin pada strategi target pasar yang sesuai maqashid syariah sekaligus mendukung agenda pertumbuhan ekonomi nasional.

    Kebijakan fiskal baru yang menempatkan dana pemerintah di bank nasional adalah momentum penting untuk memperkuat peran ekonomi syariah dalam pembangunan nasional. Dengan basis aset yang jelas, pengalaman sukses menyalurkan PEN, serta potensi kolaborasi dengan ekosistem umat, bank syariah memiliki keunggulan unik dalam memastikan transmisi fiskal lebih produktif dan inklusif.

  • DPR apresiasi langkah pemerintah rilis delapan stimulus ekonomi

    DPR apresiasi langkah pemerintah rilis delapan stimulus ekonomi

    Keberhasilan paket ini bukan sekadar soal realisasi anggaran, tapi sejauh mana dampaknya benar-benar dirasakan rakyat. Di sinilah peran pengawasan menjadi krusial

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengapresiasi langkah pemerintah yang merilis delapan stimulus ekonomi baru (15/9).

    “Stimulus ini hadir di momentum yang tepat. Masyarakat kita membutuhkan dorongan daya beli, sementara dunia usaha juga perlu dukungan agar bisa bertahan dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah sudah on the track ” kata Misbakhun dalam keterangannya yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa.

    Dia menekankan delapan program akselerasi ini harus afektif dalam mendorong sektor produktif, menjaga daya beli masyarakat, dan memperluas kesempatan kerja.

    Jika delapan program ini berjalan lancar, dia meyakini efek langsung program akan sangat menentukan stabilitas ekonomi nasional.

    Namun demikian, Misbakhun juga mengingatkan pentingnya pengawasan dan konsistensi implementasi.

    Menurutnya, tanpa eksekusi yang baik di lapangan oleh seluruh pihak, program ini hanya akan bagus di atas kertas saja. Karenanya, dia memastikan DPR akan terus mengawasi agar pemerintah dapat melaksanakan program ini dengan maksimal.

    “Komisi XI DPR RI akan mengawal ketat agar setiap program berjalan efektif. Keberhasilan paket ini bukan sekadar soal realisasi anggaran, tapi sejauh mana dampaknya benar-benar dirasakan rakyat. Di sinilah peran pengawasan menjadi krusial,” tegasnya.

    Komisi XI, lanjutnya, juga siap bekerja sama dengan untuk memastikan stimulus ini benar-benar menjadi pendorong pemulihan ekonomi nasional dan memberi rasa keadilan sosial bagi rakyat.

    Sebelumnya, pemerintah secara resmi mengumumkan delapan paket stimulus ekonomi baru yang mencakup program magang bagi fresh graduate maksimal 1 tahun, perluasan PPh 21 DTP untuk pekerja pariwisata, bantuan pangan bagi 18,3 juta keluarga, serta diskon iuran JKK–JKM bagi pekerja transportasi online, sopir, kurir, dan logistik.

    Selain itu, tersedia pula Layanan Tambahan Perumahan BPJS Ketenagakerjaan guna mendukung akses hunian yang lebih layak.

    Stimulus ini juga diperkuat dengan padat karya tunai melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR, deregulasi PP 28/2025 untuk mempercepat investasi, serta program perkotaan di DKI Jakarta sebagai proyek percontohan.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • BNI Sambut Positif Penempatan Dana Cadangan Pemerintah Rp200 Triliun

    BNI Sambut Positif Penempatan Dana Cadangan Pemerintah Rp200 Triliun

    JAKARTA – PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI menyambut positif rencana Pemerintah untuk menarik dana cadangan berlebih (excess reserve) sebesar Rp200 triliun dan menempatkannya di perbankan nasional.

    Adapun langkah tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang dinilai akan memberikan stimulus positif bagi perekonomian, khususnya dalam memperkuat likuiditas dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.

    Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo, menyampaikan kebijakan strategis ini berpotensi menambah kapasitas likuiditas perbankan.

    Dengan demikian, ia menyampaikan perbankan dapat lebih optimal dalam menjalankan fungsi intermediasi untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor produktif yang menjadi fokus pembangunan nasional.

    “BNI menyambut baik setiap kebijakan pemerintah yang bertujuan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional. Penempatan dana di perbankan tentu akan menambah ruang likuiditas dan menjadi stimulus positif dalam mendukung pembiayaan di sektor riil,” ujar Okki dalam keterangan tertulis, Jumat, 12 September. 

    Ia juga menegaskan BNI berkomitmen untuk menyalurkan kredit secara sehat dan produktif, sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan 

    “BNI berkomitmen untuk tetap menyalurkan kredit secara sehat dan produktif, sejalan dengan prioritas pemerintah,” tegasnya.

    Meski demikian, Okky menyampaikan efektivitas kebijakan ini tetap sangat bergantung pada perumusan teknis dan implementasi dari pihak regulator.

    Menurutnya, terdapat beberapa hal yang perlu diperjelas antara lain adalah skema penempatan, tata kelola, jangka waktu, pengelolaan risiko, serta sektor-sektor prioritas penerima dana.

    “Kebijakan penarikan dana excess reserve ini dipandang sebagai langkah tepat untuk memperkuat intermediasi perbankan dan mendukung akselerasi pemulihan ekonomi nasional. Dengan likuiditas yang lebih kuat, bank diharapkan dapat lebih agresif dalam mendanai proyek-proyek strategis yang mendorong pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan dana simpanan negara sebesar Rp200 triliun yang akan dipindahkan dari Bank Indonesia (BI) ke perbankan nasional tidak boleh digunakan untuk membeli Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) maupun Surat Berharga Negara (SBN).

    “Kita udah bicara dengan pihak bank jangan beli SRBI atau SBN,” ujarnya kepada awak media usai Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI, Kamis, 11 September. 

    Dia menekankan, penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada pihak bank, selama tujuannya untuk memperkuat likuiditas dalam sistem keuangan nasional.

    “(Peruntukannya) suka-suka banknya. Yang penting kan kita likuiditasnya masuk ke sistem,” tuturnya. 

    Dana tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang sebelumnya ditempatkan di BI. 

    Penempatan awal dana ini ditujukan untuk memperkuat basis likuiditas, termasuk mendorong peredaran uang primer (M0) di perekonomian.

    Dia menambahkan, dana ini diharapkan dapat segera disalurkan oleh bank dalam bentuk kredit atau pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

    “Kalau ditaruh di brankas, rugi dia. Misalnya enggak ditaruh di BI lagi ya, Rugi dia kan? Dia akan terpaksa menyalurkan dalam bentuk kredit,” ujarnya.

    Purbaya menjelaskan, kebijakan ini bertujuan mendorong mekanisme pasar agar berjalan dalam mendorong perekonomian. 

    “Jadi yang kita paksa adalah diberi bahan bakar supaya market mechanism berjalan sehingga mereka terpaksa menyalurkan, bukan terpaksa, yang biasanya tadi santai-santai, terpaksa berpikir lebih keras sedikit,” tegasnya.

    Ia juga memastikan akan memantau langsung perkembangan penempatan dana tersebut, yang mulai dilakukan mulai besok melalui skema penjaminan.

    “Yang jelas itu kan percobaan pertama. Taruh segitu dulu dan kita lihat dalam waktu seminggu, dua minggu, tiga minggu, seperti apa dampaknya ke ekonomi. Kalau kurang, tambah lagi,” tuturnya.

    Menurut Purbaya, hingga saat ini, total dana kas negara yang masih tersimpan di BI mencapai sekitar Rp440 triliun dan akan terus dimanfaatkan secara bertahap untuk mendukung likuiditas dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

    “Daripada nongkrong aja. Tapi nanti kalau kurang kita bisa tambah lagi, kan uang kita tambah terus kan, masuk ada pajak segala macem masuk lagi ke sistem. Tapi yang kita jaga adalah jangan sampai kalau kita terbitin bond, kalau kita menarik pajak, sistemnya kering,” ujarnya.

  • Full! Pernyataan Lengkap Menkeu Purbaya Usai Sertijab dengan Sri Mulyani

    Full! Pernyataan Lengkap Menkeu Purbaya Usai Sertijab dengan Sri Mulyani

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Sadewa menyampaikan sambutan pertama setelah melaksanakan Serah Terima Jabatan(Sertijab) dengan pendahulunya, yakni Sri Mulyani Indrawati. 

    Purbaya mengatakan, dia bersyukur atas amanat yang diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto itu. Dia mengakui bahwa ke depan tantangan ekonomi ke depan berasal dari global maupun dalam negeri, di antaranya bagaimana menjaga disiplin fiskal di tengah komitmen untuk mengawal program prioritas pemerintah. 

    Tidak hanya itu, pria yang sebelumnya menjabat Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tersebut turut mengapresiasi Sri Mulyani yang dinilai telah menjaga stabilitas fiskal serta mentransformasikan kelembagaan Kemenkeu. 

    Lalu, Purbaya meminta dukungan Kemenkeu dalam memastikan belanja pemerintah efektif serta menjaga prinsip kehati-hatian fiskal. 

    Berikut pernyataan lengkap Purbaya usai sertijab:

    “Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya kita semua dapat berkumpul di sini dalam keadaan sehat.

    Hari ini adalah momen yang bermakna bagi saya pribadi, sekaligus bagi kita semua, karena menandai dimulainya babak baru pengabdian saya di Kementerian Keuangan. 

    Saya merasa sangat hormat atas kepercayaan yang diberikan kepada saya oleh Bapak Presiden untuk menjabat sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia. Amanah ini tidak ringan, dengan ada dunia dengan tantangan yang semakin kompleks, baik dari sisi geopolitik, teknologi maupun perubahan iklim.

    Dari dalam negeri pun ada tantangan dari sisi program prioritas pemerintahan yang harus kita kawal agar berjalan dengan lurus. Dengan kerendahan hati, saya mohon dukungan seluruh jajaran Kementerian Keuangan untuk bekerja bersama saya, guna memastikan bahwa kebijakan fiskal tetap berperan sebagai instrumen yang kuat dalam menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

    Bapak, Ibu, dan para hadirin yang saya hormati, izinkan saya menyampaikan rasa hormat dan apresiasi tertinggi-tingginya kepada Ibu Sri Mulyani Indrawati.

    Di bawah kepimpinan beliau, Kementerian Keuangan berhasil menjaga stabilitas fiskal Indonesia di tengah dinamika global, melakukan efisiensi anggaran, dan menawal program-program prioritas pemerintah hingga ke APBN 2026. 

    Selain itu, transformasi kelembagaan yang beliau jalankan, hingga pembentukan unit-unit baru adalah fondasi penting yang akan memperkuat Kementerian Keuangan menghadapi tantangan ke masa depan. 

    Integritas, profesionalisme, dan reputasi internasional yang beliau bawa telah menjadi teladan bagi kita semua, sekaligus menjaga kredibilitas Indonesia di mata dunia.

    Untuk itu, saya atas nama pribadi dan seluruh jajaran Kementerian Keuangan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Sri Mulyani. 

    Sebelum penyampaikan langkah ke depan, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak mengingat tantangan-tantangan yang sudah dilalui oleh Kementerian Keuangan. Tantangan terbesar adalah pandemi Covid-19.

    Saya yakin semua masih ingat pandemi Covid-19 yang awalnya adalah kesehatan kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, lalu ada juga Perang Ukraina yang membuat tantangan perekonomian global semakin berat. Di saat krisis tersebut, saya ingat kita berusaha sangat keras melakukan langkah-langkah luar biasa untuk memastikan bahwa perekonomian kita tetap bergerak, dan dikemas dalam program pemulihan ekonomi nasional atau PEN. Melalui berbagai paket stimulus ekonomi, kita berhasil menjaga daya beli masyarakat dan keberlanjutan sektor usaha dengan tetap mempertahankan APBN dan kepercayaan pasar.

    Ini semua tidak mungkin tercapai tanpa kerja keras dan kerja sama yang solid dari seluruh jajaran Kementerian Keuangan. Saat sibuk menghadapi krisis, Kementerian Keuangan juga tidak berhenti melakukan reformasi. Justru, kita memanfaatkan krisis untuk mendorong perubahan struktural.

    Beberapa revisi undang-undang krusial lahir, diantaranya Omnibus Law Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. 

    Banyak mimpi yang sudah terwujud, tetapi masih banyak juga kerjaan rumah yang harus kita selesaikan. 

    Bapak, Ibu, dan para hadirin yang saya kenal yang berbahagia, kita semua menyadari bahwa ekonomi global saat ini sedang menghadapi tantangan yang besar.

    Perlambatan ekonomi di berbagai negara, ketegangan geopolitik, perubahan iklim, serta perkembangan teknologi yang cepat menimbulkan risiko sekaligus peluang bagi Indonesia. 

    Geopolitik akan menjadi game changer. Indonesia tidak bisa lepas dari dampak perkembangan geopolitik dunia.

    Oleh karena itu, jajaran kepentingan keuangan harus paham kondisi terkini, harus paham isu-isu strategis. Dalam isu kebijakan, kita tidak boleh naif. Jangan sampai fokus ke isu kecil yang justru menghambat kebijakan strategis.

    Biasakan untuk berdiskusi dan mendengar suara dari luar, bukan hanya dari internal kementerian sendiri yang sudah pasti sepakat, agar tidak terjebak dalam echo chamber. Manfaatkan perkembangan teknologi yang ada untuk mendapatkan insight yang baru.

    Setelah itu, tantangan perubahan iklim semakin nyata. 

    Peran Kementerian Keuangan dalam merancang kebijakan fiskal yang mendukung pembangunan berkelanjutan sangat krusial. 

    RAPB 2026 dirancang untuk menjaga kesenambungan kebijakan fiskal dan disiplin sekaligus berpihak pada rakyat. Fokus utamanya diarahkan pada penguatan ketahanan pangan, peningkatan kualitas pendidikan, keleluasaan layanan kesehatan, serta perlindungan sosial bagi kelompok rentan. 

    Dengan RAPBN ini, pemerintah berupaya memastikan belanja negara lebih efektif, memberikan manfaatnya bagi masyarakat, serta memperkuat daya tahan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.

    Pada saat yang sama, prinsip kehati-hatian harus tetap dijaga agar APBN tetap sehat, reliable, dan mampu menompang agenda pembangunan nasional. 

    Bapak, Ibu, dan para hadirin yang saya banggakan, Kementerian Keuangan adalah institusi yang besar dengan puluhan ribu pegawai yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Sebagai institusi yang mengelola keuangan negara, kita harus selalu menjaga integritas dalam setiap tindakan yang kita lakukan.

    Setiap rupiah yang diketola adalah uang rakyat, dan kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa uang tersebut digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. 

    Dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan, integritas adalah hal yang tidak bisa ditawar. Kementerian Keuangan harus tetap menjadi institusi yang dipercaya oleh masyarakat.

    Oleh karena itu, kita harus menjaga agar setiap tindakan kita selalu berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, transparansi, dan akuntabilitas.

    Sebelum menutup pidato ini, saya mengajak seluruh jajaran Kementerian Keuangan untuk menjaga semangat pengabdian, bekerja dengan integritas, dan memperkuat rasa kebersamaan. Kita adalah penjaga keuangan negara dan keberhasilan kita akan menentukan kepercayaan rakyat pada negara.

    Sekali lagi, dengan penuh kerendahan hati, saya memohon dukungan dari seluruh pegawai Kementerian Keuangan yang saya percaya bahwa hanya dengan kerja sama, sinergi, dan ketulusan kita mampu menjalankan amanah besar ini.”

  • Perjalanan Sri Mulyani Kawal Kebijakan Fiskal SBY, Jokowi, hingga Prabowo

    Perjalanan Sri Mulyani Kawal Kebijakan Fiskal SBY, Jokowi, hingga Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Sri Mulyani Indrawati akhirnya menyelesaikan jabatan sebagai Menteri Keuangan (Menkeu). Dia resmi digeser dari posisi yang dipegangnya secara berturut-turut sejak Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2016.

    Sejatinya ekonom senior perempuan lulusan Indonesia hingga Amerika Serikat (AS) itu sudah mengemban tugas sebagai Menkeu pada tiga rezim presiden dan lima kabinet. Perempuan akrab disapa Ani itu pertama kali mengemban amanah sebagai Menkeu pada 2005 atau Kabinet Indonesia Bersatu pada pemerintahan periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

    Saat itu, dia menggantikan Jusuf Anwar. Sebelumnya, dia lebih dulu dilantik sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

    Sri Mulyani lalu melanjutkan kiprahnya sebagai Bendahara Negara pada 2009 ketika SBY kembali menjadi presiden untuk memimpin Kabinet Indonesia Bersatu II. Namun, jabatan itu tidak lama dipegangnya. Umur jabatan itu hanya sampai pertengahan 2010 ketika akhirnya dia memilih untuk mengambil pekerjaan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. 

    Jabatan Menkeu lalu diduduki oleh tiga orang ekonom pria, yaitu Agus Martowardojo dan Chatib Basri pada sisa periode pemerintahan SBY, kemudian Bambang Brodjonegoro. Bambang menjadi Menkeu pertama yang ditunjuk Presiden Jokowi pada 2014.

    Namun, hanya sampai sekitar 2016, jabatan Menkeu kembali ke pangkuan Sri Mulyani. Jokowi memanggilnya untuk kembali ke Indonesia dan menjadi Bendahara Negara pada sisa periode Kabinet Kerja yakni 2016-2019, kemudian lanjut ke Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. 

    Isu terkait dengan rencana mundurnya Sri Mulyani dari jabatan itu mulai berembus di akhir pemerintahan Jokowi. Isu penyaluran bantuan sosial (bansos) besar-besaran di era Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 turut menyeretnya. 

    Bahkan, pada April 2024, dia dan tiga orang lainnya termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dihadirkan pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), yang mana akhirnya pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming secara berkekuatan hukum tetap dinyatakan memenangkan kontestasi. 

    Akan tetapi, pada akhirnya dia tetap menuntaskan jabatannya sebagai Menkeu dalam satu periode penuh. Apabila ditarik mundur, baru pada Kabinet Indonesia Maju Sri Mulyani tuntas menjabat Menkeu dari awal sampai akhir periode. 

    “Hari ini adalah titik di mana saya mengakhiri tugas, dari kabinet di bawah pimpinan Pak Jokowi dan wakil Ma’ruf Amin,” lanjutnya dengan suara bergetar saat membacakan ucapan perpisahan di DPR ketika pengesahan APBN 2025, September 2024 lalu. 

    Saat hampir diyakini tak akan melanjutkan jabatannya, Sri Mulyani ternyata menjadi salah satu tokoh yang dipanggil Prabowo, saat itu masih Presiden Terpilih, ke Kertanegara IV untuk ditawarkan menjadi Menkeu yakni 14 Oktober 2024. 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat melayat ke rumah duka Kwik Kian Gie, di RSPAD Jakarta, Selasa (29/7/2025)/BISNIS-Annisa Nurul Amara

    Enam hari setelahnya, Sri Mulyani diumumkan sebagai Menkeu Kabinet Merah Putih pada malam hari setelah Prabowo mengucapkan sumpah jabatan di DPR pada 20 Oktober 2024. Dia kemudian kembali dilantik memimpin Kemenkeu pada 21 Oktober 2024. 

    Seperti halnya periode jabatannya di Kabinet Indonesia Bersatu II, posisi itu tak lama dipegang oleh Sri Mulyani. Dia akhirnya digeser oleh Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa, rekannya di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

    Tantangan Ekonomi

    Selama di pemerintahan, Sri Mulyani pernah juga memegang jabatan sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas, Plt. Menko Perekonomian serta Ketua KSSK. 

    Doktor lulusan AS itu turut menghadapi berbagai tantangan perekonomian, utamanya krisis akibat bencana alam. Saat menjadi menteri, dia ikut menangani bencana alam yakni tsunami di Aceh 2004 (sebagai Menteri PPN/Bappenas), gempa Yogyakarta 2006 hingga likuifaksi di Palu pada 2018. 

    Bencana terbesar yang pernah dihadapinya sebagai Menkeu adalah pandemi Covid-19. Tingkat penyebaran dan kematian akibat virus tersebut utamanya tinggi pada 2020, dan lanjut saat merebaknya virus Corona varian Delta pada 2021. 

    Hal itu turut berdampak pada pengelolaan fiskal. Dampak terdalam adalah pada tahun pertama pagebluk yakni 2020. Dengan melonjaknya kebutuhan belanja pemerintah untuk penanggulangan pandemi, pemerintah memutuskan untuk melakukan kebijakan fiskal ekspansif dan menetapkan defisit APBN 2020 melampaui batas UU yakni 3% terhadap PDB. 

    Realisasinya, pada 2020 APBN mengalami defisit sampai 6,09% terhadap PDB. Belanja diutamakan untuk penanganan Covid-19, bansos hingga pemulihan ekonomi nasional. 

    Pada saat itu juga Sri Mulyani atas restu Presiden Jokowi menggaet Bank Indonesia (BI) untuk bersama-sama menanggung beban biaya fiskal atau burden sharing. Bank sentral saat itu berperan untuk membeli SBN pemerintah pada pasar primer. Kebijakan itu pun dilanjutkan setidaknya melalui pasar sekunder sampai dengan pemerintahan Prabowo saat ini. 

    Defisit pun menyusut menjadi 4,65% terhadap PDB pada 2021. Setelahnya, sampai dengan outlook 2025 sebesar 2,78%, defisit kini terjaga pada level di bawah 3% PDB.  

    Perempuan yang pernah menjabat di Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) itu juga pernah menghadapi krisis keuangan global pada 2008, yang dipicu oleh subprime mortgage crisis di AS. 

    Kenaikan Pajak

    Kendati kerap menorehkan prestasi dan pengakuan di level internasional, kebijakan-kebijakan Sri Mulyani tak selalu disambut positif. Beberapa yang disambut positif yakni saat program pengampunan pajak atau tax amnesty pada periode pertama dan kedua pemerintahan Jokowi. 

    Tax amnesty ditujukan untuk mengincar pajak konglomerat yang memiliki tunggakan besar. Kebijakan itu lalu dilanjutkan kedua kalinya usai pandemi melandai yakni 2022, dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Hal itu berbarengan dengan pengesahan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

    Spanduk iklan program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016. / dok. Kominfo

    Namun demikian, dalam catatan Bisnis, realisasinya masih jauh panggang dari api. Dari tingkat partisipasi, wajib pajak (WP) yang ikut tax amnesty jilid pertama hanya kurang dari 1 juta WP. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta. 

    Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

    Kenaikan pajak pun turut membayangi kiprah Sri Mulyani sebagai pemegang kuasa otoritas fiskal. Pada 2023, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi dikerek dari 10% menjadi 11%. Kenaikan itu awalnya ingin dilanjutkan menjadi 12% pada awal 2025, tetapi batal usai masyarakat ramai-ramai menolaknya. 

    Pemerintah kemudian mengakalinya dengan menerapkan tarif PPN 12% hanya pada barang terkategorikan mewah atau dalam daftar kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 

    Tidak hanya pajak yang dipungut oleh pusat, kenaikan pajak di daerah juga terjadi utamanya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PPB-P2) oleh pemda.

    Dalam catatan Kemendagri, penaikan tarif PBB-P2 adalah cara pemda untuk mengerek pendapatan asli daerah (PAD), yang wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU itu juga menjadi warisan Sri Mulyani yang disahkan pada 2022 lalu 

    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut ada lima daerah yang menerapkan kebijakan kenaikan PBB-P2 pada 2025, di antaranya Pati dan Jepara yang kini sudah dibatalkan. Namun, dia juga mengungkap ada 15 pemda lain yang mengerek tarif PBB-P2 di atas 100% kendati pada periode 2022-2024, atau sebelum kebijakan efisiensi. 

    “Artinya tidak ada hubungannya, 15 daerah, tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi di tahun 2024. Nah jadi sekali lagi inilah inisiatif baru dari teman-teman daerah, hanya lima daerah yang melakukan kenaikan NJOP dan PBB di tahun 2025. Yang lainnya 2022-2024,” terang Tito di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Kenaikan pajak ini pun menjadi salah satu hal yang disoroti publik terhadap Sri Mulyani belakangan ini. Ditambah lagi dengan kejadian penjarahan di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, 31 Agustus dini hari lalu, hal itu semakin memicu berembusnya kabar Sri Mulyani ingin mengundurkan diri dari jabatannya. 

    Tanggapan Ahli

    Para ekonom maupun analis memberikan respons beragam. Center of Law and Economic Studies (Celios) blak-blakan menyebut berita penggantian kursi Menkeu dari Sri Mulyani adalah berita positif bagi ekonomi. 

    “Tuntutan untuk mengganti Sri Mulyani sudah lama diserukan oleh berbagai organisasi think tank dan masyarakat sipil sebagai bentuk kritik atas ketidakmampuan Menteri Keuangan dalam mendorong kebijakan pajak yang berkeadilan, pengelolaan belanja yang hati-hati, dan naiknya beban utang yang kian mempersempit ruang fiskal,” terang Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, Senin (9/9/2025). 

    Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan memandang bahwa figur Sri Mulyani selama ini diakui dan dipercaya terutama oleh dunia usaha dan lembaga internasional sebagai pejabat yang berhasil menjaga kebijakan fiskal secara stabil, prudent, dan sustainable. 

    Dengan demikian, terangnya, Indonesia masih merupakan salah satu dari negara yang dipercaya mengelola ekonominya dengan baik dan masih menarik untuk investasi. 

    “Walau dalam beberapa tahun terakhir terutama di masa kedua Jokowi banyak melakukan akomodasi terhadap keinginan Presiden sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya utang publik dan menurunnya kredibilitas kebijakan fiskal sendiri,” paparnya. 

  • RAPBN 2026 Abaikan Kelas Menengah Bawah yang Kian Terjepit – Page 3

    RAPBN 2026 Abaikan Kelas Menengah Bawah yang Kian Terjepit – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ekonom Senior INDEF Aviliani menyoroti bahwa kelompok kelas menengah bawah menjadi pihak paling rentan dalam kondisi ekonomi saat ini.

    “Sekarang kan problemnya adalah pada kelas menengah bawah. Nah jadi kebijakan di dalam RAPBN seharusnya memang sudah harus ada keberpihakan di dalam peningkatan pendapatan masyarakat,” kata Aviliani dalam Diskusi Publik INDEF: Menakar RAPBN 2026, Kamis (4/9/2025).

    Lantaran kelompok ini tidak masuk dalam kategori miskin sehingga tidak mendapat bantuan langsung tunai (BLT), tetapi juga tidak cukup kuat secara finansial untuk menanggung beban hidup tanpa bantuan. Akibatnya, kelompok ini semakin terhimpit oleh tekanan ekonomi.

    Menurut Aviliani, kelompok menengah bawah umumnya masih membayar BPJS secara mandiri. Berbeda dengan masyarakat miskin yang mendapat subsidi dari pemerintah, mereka harus mengalokasikan pendapatan untuk kebutuhan dasar sekaligus iuran kesehatan. Kondisi ini semakin berat ketika pendapatan mereka justru menurun.

    “Yang sekarang sedang butuh bantuan itu adalah menengah bawah. Yang mereka tidak tersentuh BLT, mereka tidak tersentuh dengan BPJS yang dibayarkan oleh pemerintah, tapi mereka biasa cenderung bayar BPJS sendiri,” ujarnya.

    Menurutnya, situasi tersebut memaksa banyak rumah tangga kelas menengah bawah mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup. Fenomena ini populer disebut “mantab” atau makan tabungan, di mana masyarakat tidak lagi bisa mengandalkan penghasilan utama. Jika berlangsung lama, kondisi ini bisa memicu kerentanan sosial-ekonomi baru.

    “Mereka sedang menghadapi penurunan pendapatan yang akhirnya orang katakan mantab atau makan tabungan,” Ujar Aviliani.

    Aviliani menegaskan, RAPBN seharusnya tidak hanya fokus pada kelompok miskin, tetapi juga menyentuh persoalan kelas menengah bawah. Jika dibiarkan, daya beli masyarakat akan terus melemah dan berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi nasional.