Topik: Pemilu 2024

  • Pesan Penting Puan Maharani untuk Kader PDIP

    Pesan Penting Puan Maharani untuk Kader PDIP

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) bidang Politik, Puan Maharani memberi pesan penting.

    Pesan penting yang disampaikan Bimbingan teknis (bimtek) anggota DPR RI hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota fraksi PDIP dari seluruh Indonesia.

    Puan Maharani menyampaikan pesannya ini melalui cuitan di akun media sosial X pribadinya.

    Ia mengingatkan agar kapal yang berlayar tidak diubah arah mata anginnya. Namun, masih ada layar yang bisa diarahkan.

    “Ibarat sedang berlayar, arah angin tidak dapat diubah,” tulisnya dikutip Kamis (31/7/2025).

    “Tapi kita bisa mengarahkan layar agar dapat sampai di tujuan… 💪🏼,” sebutnya.

    Puan juga menyampaikan pesan ke seluruh anggota legislatif PDI Perjuangan se-Indonesia di Bali.

    Ia mengingatkan agar tetap solid, terus menyatukan gagasan, semangat dan terus melangkah.

    Serta yang paling penting menurutnya adalah komitmen serta bekerja semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat.

    “Saya menyampaikan pesan kepada seluruh anggota legislatif PDI Perjuangan se-Indonesia di Bali, kita harus solid menyatukan gagasan, semangat, dan langkah,” sebutnya.

    “Serta berkomitmen dan bekerja sekuat-kuatnya untuk kepentingan rakyat… 🇮🇩,” terangnya.

    Acara Bimtek ini menjadi ajang konsolidasi nasional yang digelar setelah Pemilu 2024, dengan tujuan utama meningkatkan kapasitas anggota legislatif PDIP dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

    Selain itu, kegiatan ini juga digunakan untuk menyatukan visi dan strategi menyongsong Pilkada 2024 dan Pemilu 2029.

  • Menjaga Asa Survivalitas Politik PKB

    Menjaga Asa Survivalitas Politik PKB

    Jakarta

    Partai Kebangkitan Bangsa atau disingkat (PKB) merupakan salah satu partai berbasis massa Islam yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) di era reformasi, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1998.

    Sebagai representasi politik utama warga Nahdlatul Ulama (NU), PKB memiliki sejarah panjang dalam kancah perpolitikan Indonesia pasca-reformasi. Partai yang didirikan sejumlah elite Kiai PBNU saat itu, kini berusia 27 tahun. Artinya dalam fase usia manusia, PKB ini sudah memasuki masa dewasa.

    Sejatinya, di usia dewasa, PKB selesai melewati masa ‘pubertas’ politiknya yang kerap bergejolak dan siap untuk menerima keberadaannya di tengah-tengah masyarakat politik lainnya.

    Di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), PKB mengalami pasang surut yang signifikan, baik dari sisi elektoral, posisi tawar politik, maupun hubungan dengan basis kulturalnya-komunitas NU, termasuk dengan pengurus PBNU saat ini.

    Pertanyaannya adalah: apakah PKB di bawah Cak Imin masih memiliki daya survival politik yang kuat ke depan?

    Politik ‘Survival’

    Pertanyaan tersebut di atas penting untuk menjadi bahan perenungan sekaligus pencermatan di tengah tantangan-tantangan krusial yang dihadapi partai-partai Islam atau berbasis massa Islam di tanah air saat ini.

    Selama dua dekade, PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) masih bisa bertahan hidup (survive). Muhaimin Iskandar dikenal sebagai politisi yang lihai dalam membangun jejaring politik kekuasaan. Julukan yang kerap disematkan kepadanya sebagai “raja lobi” bukan tanpa alasan, karena; dalam dua dekade terakhir, ia berhasil menjaga PKB tetap relevan di tengah turbulensi politik nasional dan dinamika internal partai.

    Meskipun pernah mengalami konflik dualisme kepengurusan (2008-2010) yang memecah tubuh PKB, Cak Imin berhasil merebut kendali penuh dengan dukungan struktur partai dan koneksi elite struktural pemerintahan dari satu rezim ke rezim yang lain.

    Dengan konsolidasi internal yang solid, PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin masih bisa bertahan (survive) dan mampu mempertahankan eksistensinya di Parlemen.

    Bisa dicermati, dalam penyelenggaraan tiga pemilu terakhir, perolehan suara PKB berhasil melampaui ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold) 4% yang ditetapkan dan terbanyak (9,04%: 2014), (9,69%: 2019) dan (10,62%: 2024) dibandingkan perolehan suara partai Islam (berbasis massa Islam) lainnya seperti; PKS, PAN, dan PPP.

    Artinya, di bawah kendali Cak Imin, posisi PKB beranjak naik dalam percaturan politik nasional, berada di urutan ke empat setelah PDIP, Golkar dan Gerindra.

    Survivalitas PKB tidak hanya dilihat dari keberlanjutan kepemimpinan Cak Imin dalam struktur kepengurusan PKB, tetapi juga dicermati dari kemampuannya menjadikan PKB sebagai partai yang selalu masuk dalam pemerintahan, terlepas siapa presiden yang mengendalikan kekuasaan.

    Menjaga keberlangsungan hidup berpolitik berarti beradaptasi dengan segala hal, baik internal maupun eksternal seperti halnya makhluk hidup bertahan hidup ; adaptasi fisiologis (Physiological adaptation), adaptasi sikap (behavioral adaptation), dan adaptasi morfologi (morphological adaptation) berkaitan dengan kamuflase fisik.

    Nah, adaptasi-adaptasi tersebut terlihat dimiliki PKB selama ini, termasuk pragmatisme politiknya yang sangat tinggi. Terlepas dari kritik dan politik (suka-tidak suka), dengan sikap-sikap tersebut, terbukti efektif menjaga eksistensi PKB dalam lanskap kekuasaan nasional.

    Dengan konsolidasi internal yang solid dan kemampuannya menjaga relasi politiknya dengan pihak lain, PKB masih bertahan (survive) sebagai peraih suara terbanyak partai berbasis massa Islam pada pemilu 2014, 2019 dan 2024. Bagaimana pasca Pemilu 2024?

    Tantangan Pasca Pemilu 2024

    Mengikuti jalan politik PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin memang menarik. Pada Pilpres 2024, PKB tampil berbeda: tidak lagi di belakang kekuatan arus utama (koalisi pemerintah), tetapi membentuk poros alternatif bersama Anies Baswedan.

    Cak Imin sebagai Cawapres menunjukkan keberaniannya mengambil risiko politik yang sangat besar. Meskipun pasangan Anies-Muhaimin kalah dalam kontestasi, manuver ini justru membuka jalur dan peluang baru: positioning PKB sebagai kekuatan oposisi yang berpotensi menjadi alternatif politik Islam moderat yang kemudian bisa membawa partai kaum Nahdliyyin itu menjadi bagian dari kekuasaan.

    Diakui atau tidak, survivalitas PKB masih sangat bergantung pada figuritas dan manuver-manuver politik Cak Imin. Maka, tantangan yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana PKB dapat mengelola transisi dari partai berbasis kekuasaan ke partai dengan kekuatan advokasi politik inklusif dengan tetap menjaga posisinya sebagai representasi kultural-Nahdliyyin.

    Pertama, salah satu tantangan terbesar bagi PKB di bawah Cak Imin adalah bagaimana menjaga legitimasi di mata Nahdliyin. Sejak Cak Imin mengambil alih PKB secara penuh, relasi dengan PBNU tidak selalu harmonis. Ketegangan bahkan sempat mencuat ke publik, terutama saat PBNU (2021-2026) dibawah kepemimpinan K.H.Cholil Yahya Staquf menegaskan posisinya-netral dalam politik praktis-dengan jargon ‘menghidupkan kembali’ visi politik Gus Dur.

    Namun dalam kondisi demikian, Cak Imin terlihat cerdik memainkan kartu truf politiknya. Ia membangun kembali kedekatan struktural dan simbolik-terutama lewat konsolidasi kader muda NU di daerah dan pemberdayaan aruh bawah jaringan Kiai pesantren. Hanya saja, kekhawatiran masih ada di kalangan internal NU bahwa PKB terlalu “personalistik” dan menjauh dari cita-cita kolektif Nahdlatul Ulama-PBNU.

    Kedua, dalam tiga pemilu terakhir, PKB konsisten meraih suara signifikan dalam rentang 9 – 10 % perolehan suara nasional. Persentase ini, menandakan adanya stagnasi elektoral yang bisa mengancam survivalitas PKB dalam jangka panjang, sehingga diperlukan inovasi-inovasi platform politik yang akomodatif.

    Di tengah menguatnyua pragmatisme politik, basis massa (Nahdliyyin) terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, semakin kompetitif dan diperebutkan. Munculnya partai-partai baru Islam moderat dan fragmentasi suara Nahdliyyin (dari kalangan muda) yang mulai diakomodir partai-partai nasionalis, semakin memperkecil ceruk konstituen PKB ke depan. Nah, jika PKB gagal memformulasi narasi dan komunikasi politiknya yang bisa menjawab kebutuhan kalangan milenial Nahdliyin dan kelas menengah muslim, PKB bisa tergeser secara perlahan sebagaimana dialami ”kakaknya” yaitu, PPP.

    Walhasil, di usianya yang ke 27, PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin masih mampu membuktikan dirinya sebagai partai yang memiliki insting survival yang tinggi dan PKB diharapkan bisa menjadi pemimpin politik Islam di Indonesia.

    Dalam fase ini, PKB diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan pola kehidupan politik yang lebih luas, menerima peran yang lebih berat dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik nasional.

    Perlu disadari, survivalitas politik PKB ke depan tidak bisa hanya bergantung pada figuritas personal seorang Cak Imin. Maka, tanpa reformasi internal, regenerasi kader, dan penyegaran visi politik berbasis nilai-nilai kebangsaan dan keislaman moderat dan inklusif, PKB bisa stagnan dan kehilangan relevansinya dalam dekade mendatang. Waspadalah.

    Fathurrahman Yahya. Dosen Pengajar Wawasan Politik Islam dan Timur Tengah, Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal, Jakarta.

    (rdp/rdp)

  • Kasus Hasto dan Tom Lembong Disorot, Korupsi di Sumut Lolos Begitu saja

    Kasus Hasto dan Tom Lembong Disorot, Korupsi di Sumut Lolos Begitu saja

    GELORA.CO –  Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, melontarkan kritik tajam terhadap praktik penegakan hukum di Indonesia, khususnya terkait penanganan kasus korupsi yang dinilainya tidak adil dan sarat muatan politik.

    Dalam pidatonya di Kantor DPP PDIP, Jakarta, pada Minggu, 27 Juli 2025, Djarot menyinggung soal dugaan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh politik tertentu, termasuk Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong.

    Djarot menduga, penegakan hukum kini digunakan sebagai alat untuk menekan pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan penguasa.

    “Siapa yang berbeda pendapat, dikriminalisasi. Dicari-cari kesalahannya, lalu dimasukkan ke penjara,” ucap Djarot di hadapan kader partai.

    Ia menyebut bahwa proses hukum terhadap Hasto dan Tom Lembong diduga kuat bermuatan politis.

    Sementara itu, lanjutnya, berbagai dugaan korupsi besar lainnya justru seolah tak tersentuh oleh hukum.

    Djarot secara gamblang menyebut sejumlah kasus besar yang dinilainya luput dari sorotan penegak hukum.

    Di antaranya adalah skandal korupsi minyak goreng, dugaan kasus dalam pengadaan pesawat jet, hingga korupsi infrastruktur di Sumatera Utara serta perkara Blok Medan.

    “Kasus-kasus besar seperti minyak goreng, pengadaan jet, korupsi di Sumut, semuanya seperti lolos begitu saja. Gajah di pelupuk mata tak kelihatan, kutu di seberang pulau malah dicari-cari,” sindirnya.

    Pernyataan Djarot menjadi sorotan publik karena menyentil keras dugaan ketimpangan dalam penanganan hukum di Indonesia.

    Meski tak menyebut pihak tertentu secara eksplisit, sindiran tersebut memantik spekulasi mengenai adanya tekanan politik terhadap oposisi jelang Pemilu 2024.

    Hingga kini, Djarot belum memberikan penjelasan lebih lanjut apakah istilah “gajah” yang ia gunakan mengandung makna tersirat yang berkaitan dengan tokoh atau kekuatan politik tertentu.

    Pernyataan ini mempertegas posisi PDIP yang tengah mengkritisi keras proses hukum dan dinamika politik nasional, terutama pasca-pemilu yang dinilai penuh polemik konstitusional.***

  • Wakil Menteri Ramai-ramai Rangkap Jabatan, Mahfud MD: Sama dengan Memperkaya Diri Sendiri

    Wakil Menteri Ramai-ramai Rangkap Jabatan, Mahfud MD: Sama dengan Memperkaya Diri Sendiri

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD angkat bicara terkait ramainya Wakil Menteri (Wamen) yang rangkap jabatan.

    Terkait hal ini, Mahfud menyebut adanya rangkap yang dilakukan oleh para wamen melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

    Dan ini menurutnya juga membuka peluang besar dan berisiko memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

    Hal ini disampaikan oleh Mahfud MD di kanal YouTube Hendri Satrio Official dengan menyampaikan beberapa kritik.

    Diantaranya ada, pemerintah yang tampak mengabaikan putusan MK tersebut, meskipun bersifat final dan mengikat.

    Ia menjelaskan, MK melarang wamen menjabat komisaris karena statusnya sebagai jabatan politik, bukan karier.

    “Gini, MK sudah memberi putusan dengan jelas bahwa apa yang dilarang bagi menteri dilarang juga bagi wamen. Kan itu bunyi putusan,” kata Mahfud.

    Selain itu, Calon Wakil Presiden di Pemilu 2024 itu menyebut adanya konflik kepentingan dalam permasalahan ini.

    Ketika pejabat dari Kejaksaan Agung atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lewat Danantara, yang seharusnya diawasi secara independen.

    “Memperkaya diri sendiri, tahu bahwa itu dilarang, tapi tetap mengambil gaji di situ. Yang mengangkat juga memperkaya orang lain, merugikan keuangan negara,” ungkapnya.

    Dengan tegas Mahfud MD menyebut rangkap jabatan sama dengan memperkaya diri.

    Merujuk pada Pasal 55 KUHP, ia mengatakan yang memberikan jabatan pun bisa terseret dalam pusaran korupsi tersebut.

  • Cerita Mahfud MD Bantu PSI Lolos Pemilu 2024

    Cerita Mahfud MD Bantu PSI Lolos Pemilu 2024

    GELORA.CO -Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membongkar kisah di balik lolosnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai peserta Pemilu 2024. 

    Melalui kanal YouTube resminya, Mahfud mengaku ikut turun tangan setelah mendapat aduan dari Sekjen PSI saat itu, Raja Juli Antoni.

    PSI awalnya dinyatakan tidak lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, menurut pengakuan Raja Juli, kondisi PSI seharusnya sama dengan Partai Gelora yang dinyatakan lolos.

    “Partai gelora sama situasinya (dengan PSI), di sini, di kabupaten ini tidak terpenuhi, di provinsi ini begini. Kami sama tapi Partai Gelora lolos kami tidak lolos,” ujar Mahfud menirukan Raja Juli, dikutip Minggu, 27 Juli 2025.

    Mahfud kemudian menghubungi pihak KPU untuk meminta klarifikasi dan data. Setelah melakukan analisis bersama Raja Juli, Mahfud menyimpulkan ada kemungkinan PSI tidak lolos karena dianggap mengganggu peta suara partai lain.

    Ia lalu bertemu Ketua KPU Hasyim Asy’ari dalam sebuah penerbangan. Dalam dua kali pertemuan, Mahfud menanyakan kejanggalan tersebut.

    “Mas Hasyim, kok begini? Oh ya Pak, saya sudah dengar. Nanti kita selesaikan,” kata Mahfud kembali menirukan pernyataan Hasyim. Tak lama kemudian, PSI pun dinyatakan lolos.

    Mahfud menegaskan bahwa dirinya tidak ikut campur sebagai pemerintah, namun ingin memastikan proses berjalan adil. 

    “Kalau KPU dianggap tidak benar, yang dituduh pemerintah,” tegas mantan Hakim Mahkamah Konstitusi itu.

    Mahfud mengaku punya kedekatan dengan PSI sejak awal pendirian. Meski bukan pendiri, ia ikut memberi dukungan moral bahkan turut mewawancarai calon anggota partai.

    “Pesan saya waktu itu, saya ingin PSI menjadi virus kebaikan. Karena sekarang semua partai sudah korup,” tuturnya.

    Pernyataan Mahfud ini disampaikan menyikapi terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI. Menurutnya, dalam negara demokrasi, siapapun bebas berpolitik dan memimpin partai. 

  • Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum

    Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum

    Jakarta

    Tidak sedikit kawan-kawan saya yang berseloroh, “Demokrasi itu bukan tujuan, bukankah ia hanya jalan untuk mencapai kesejahteraan?”, lalu yang lain menyahut, “Ya betul, lihat Tiongkok, luar biasa bargaining position-nya di kancah global, dan tidak perlu repot-repot dengan demokrasi.”

    Obrolan itu bermula dari pembahasan hangat seputar pemilihan umum (pemilu), dengan konteks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Namun, saya masih meyakini demokrasi sebagai jalan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengutip Abraham Lincoln “No man is good enough to govern another man without that other’s consent.”

    Langkah untuk menjamin “persetujuan” tersebut memiliki legitimasi yang kuat melalui proses pemilu yang demokratis. Saya memahami mungkin sebagian dari kita telah jenuh, bosan, atau mungkin marah, dengan “janji manis” demokrasi yang tak kunjung datang.

    Beragam efek samping pemilu yang tidak diharapkan telah menimbulkan permasalahan, seperti maraknya politik uang (money politic) yang ikut menyumbang terjadinya korupsi, biaya tinggi dalam pemilu (pusat maupun daerah), dan lamban atau lemahnya institusionalisasi demokrasi.

    Nah, reformasi terbuka lebar melalui masuknya RUU Pemilu dalam prioritas prolegnas 2025, akan tetapi sayang sampai sekarang kita belum tahu kapan pembahasannya akan dilangsungkan.

    Urgensi Reformasi Pemilu

    Reformasi sistem pemilu kian mendesak untuk segera dilakukan di Indonesia. Terlebih, setelah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Riuh rendah terkait putusan ini, terus saling bersahutan hingga saat ini. Namun, sepatutnya publik tidak boleh hanyut dalam kondisi ini.

    Seharusnya yang kita lakukan adalah mendesak agar DPR dan pemerintah, segera melakukan pembahasan terhadap revisi UU Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

    Mengapa desakan itu penting? Setidaknya terdapat 2 (dua) putusan MK sebelumnya yang berharga bagi perbaikan pelaksanaan Pemilu 2029 mendatang. Pertama, putusan tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Kedua, putusan soal ambang batas parlemen yang tidak lagi 4 persen. Sayangnya sampai dengan saat ini, belum jelas kapan RUU Pemilu akan dibahas.

    Siapa yang menjadi leading sector RUU Pemilu masih belum jelas, namun sepatutnya tidak perlu berebut siapa yang akan menjadi leading sector pembahasan RUU Pemilu. Apakah akan diserahkan kepada Komisi II, Badan Legislasi (Baleg) ataupun Panitia Khusus (Pansus)? Tidak jadi masalah, toh sama-sama DPR juga.

    Melemahnya Partai Politik

    Pemilihan anggota DPR baik pusat maupun daerah, semakin terpersonalisasi pada figur kandidat dari pada partai politik, terutama setelah diterapkannya proporsional daftar terbuka pada Pemilu 2009.

    Aspinall dan Berenschot (2020) menyebut fenomena tersebut menyebabkan terjadinya apa yang disebut sebagai free-wheeling clientelism (klientelisme gelindingan roda lepas), yang membuat partai politik terdegradasi perannya dalam proses pemilihan dibandingkan kandidat itu sendiri.

    Declaining partai politik terlihat dari semakin rendahnya party-id dari partai politik di Indonesia. Dari survei Politika Research & Consulting (PRC) sejak 2020 hingga 2024 menunjukkan bahwa orang yang merasa dekat dengan partai politik tertentu hanya berkisar 15,2 persen hingga 10,3 persen saja dari total pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa perlu segera dilakukan perbaikan atas pelembagaan partai politik.

    Selain itu, melemahnya partai politik tercermin dari semakin berkurangnya jumlah pemilih yang mencoblos partai politik. Pemilih lebih cenderung mencoblos kandidat atau figur (caleg) dari pada partai politik. Apabila dibandingkan pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024, menunjukkan hampir semua partai politik mengalami penurunan jumlah pemilih yang mencoblos partai politik, kecuali hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengalami peningkatan.

    Ketika mekanisme yang digunakannya adalah electoral threshold jumlah suara terbuang (tidak terkonversi menjadi kursi DPR) harusnya lebih kecil apabila dibandingkan dengan penerapan parliamentary threshold, namun ternyata tidak selalu demikian. Suara terbuang menjadi sumber kritik bagi pemerhati demokrasi di Indonesia.

    Semakin besarnya suara terbuang mencerminkan terjadinya disproporsionalitas di dalam sistem Pemilu kita yang menganut proporsionalitas.

    Pemilu pasca reformasi (1999-2024), berdasarkan data KPU RI menunjukkan bahwa suara terbuang terbesar terjadi pada Pemilu 2009 yang mencapai 19.047.481 suara atau setara dengan 18,3 persen total suara sah. Di sisi lain, suara terbuang terendah pada Pemilu di Indonesia terjadi pada tahun 2014 dengan 2.964.975 suara atau setara dengan 2,4 persen (sudah menggunakan parliamentary threshold).

    Namun sejak itu, jumlah suara terbuang kian meningkat 13.595.842 suara atau 9,7 persen (2019) dan 17.304.303 suara atau 11,4 persen (2024). Salah satu bukti empiris yang mendukung mengapa suara terbuang pada Pemilu 2014 relatif lebih sedikit adalah, karena partai politik peserta Pemilu relatif sedikit (12 partai politik) jika dibandingkan dengan periode Pemilu pasca reformasi lainnya.

    Menanti Arah Baru?

    Ambang batas pencalonan Pilpres yang sudah digugurkan, menandakan lahirnya sebuah baru dalam Pilpres di Indonesia. Artinya semua partai politik berhak mencalonkan presiden dan wakil presidennya. Sudah seharusnya momentum ini bisa dijadikan oleh partai politik untuk menggerakkan pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan menciptakan sistem yang lebih inklusif.

    Sikap anti-partai politik yang selama ini seperti mewabah harus dilawan dengan gerakan nyata, dengan merebut hati rakyat. Bagaimanapun juga partai politik adalah pilar penting dalam demokrasi.

    Secara konseptual oleh Norris (2004) perdebatan tentang reformasi elektoral secara umum adalah perdebatan memilih di antara adversarial democracy dan consensual democracy. Indonesia sendiri lebih cenderung pada consensual democracy. Visi utama consensual democracy adalah menekankan pada pengambilan keputusan secara konsensus, tawar-menawar atau kompromi di antara beragam partai politik di parlemen, mendukung sistem elektoral proporsional yang mengurangi hambatan bagi partai minoritas, memaksimalkan partisipasi pemilih, dan parlemen yang mencerminkan keragaman.

    Namun di sisi lain, consensual democracy memiliki kelemahan karena menghasilkan hasil elektoral yang tidak tegas atau koalisi pemerintahan yang cenderung lemah, tidak efektif, dan tidak stabil, memungkinkan terjadinya permasalahan fragmentasi multi-partai, dan cenderung mendorong pengambilan keputusan yang lambat dan terlalu berhati-hati.

    Karena adanya kelemahan atau kelebihan itu barangkali yang membuat adanya usulan jalan ketiga, seperti usul tentang sistem pemilu campuran dalam pemilihan anggota legislatif. Hemat penulis, Indonesia harus bisa belajar dengan caranya sendiri. Apakah jalan yang dipilih adalah memberikan peluang yang lebih besar terhadap partai-partai kecil atau partai baru, namun disisi lain menimbulkan “bahaya” fragmentasi partai.

    Ada pula jalan lainnya, seperti mengurangi jumlah partai di level nasional, untuk mendorong penyederhanaan partai politik (multi-partai sederhana).

    Apapun langkah yang akan diambil oleh para pengambil kebijakan, RUU Pemilu mendesak untuk dilakukan pembahasan serta mengedepankan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

    Sudah saatnya momentum RUU Pemilu menjadi ajang konsolidasi sistem politik Indonesia untuk jangka panjang. Tidak ada sistem pemilihan yang benar-benar sempurna, tapi yang bisa kita lakukan adalah menentukan sistem pemilihan secara sadar yang paling menunjang agar bangsa Indonesia bisa bertumbuh.

    Faris Widiyatmoko. Dosen FISIP UPNV Jakarta dan Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting.

    (rdp/rdp)

  • Komentar Said Abdullah soal Pimpinan PDIP Tak Hadiri Kongres PSI

    Komentar Said Abdullah soal Pimpinan PDIP Tak Hadiri Kongres PSI

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Partai Solidaritas Indonesia (PSI) teah melaksanakan Kongres di Solo, Jawa Tengah (Jateng), pada Sabtu – Minggu (19-20/7). Selama kongres yang berlangsung dua hari itu, sejumlah elite parpol turut hadir.

    Disebutkan ada ketum dan pimpinan partai hadir dalam Kongres PSI pada Minggu, semisal Zulkifli Hasan atau Zulhas, Bahlil Lahadalia, hingga Mahfudz Siddiq.

    Namun, yang menjadi sorotan karena pimpinan partai pemenang pemilu 2024 yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tidak ada yang hadir dalam kongres PSI tersebut.

    Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah mengaku tak tahu soal kemungkinan parpolnya diundang saat Kongres PSI berlangsung di Solo.

    “Kami diundang apa tidak, enggak tahu, enggak dapat konfirmasi,” kata dia menjawab pertanyaan awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/7).

    Said kemudian menerima pertanyaan alasan PDIP menjadi partai yang tak hadir dalam Kongres PSI untuk mengumumkan ketum terpilih.

    “Wah enggak tahu, enggak dapat konfirmasi dari berbagai DPP juga enggak ada konfirmasi,” kata Ketua Banggar DPR RI itu.

    Diketahui, PSI di Solo, Jateng, pada Sabtu kemarin melaksanakan Kongres dengan agenda mengumumkan ketum terpilih hasil Pemilu Raya 2025.

    Kaesang Pangarep terpilih sebagai Ketum PSI hasil Pemilu Raya 2025 mengalahkan kandidat lain, yakni Ronald Aristone Sinaga atau BroRon dan Agus Mulyono Herlambang.

    PSI melanjurkan Kongres pada Minggu di Solo, Jateng dengan mengundang Presiden RI Prabowo Subianto dan Wapres RI Gibran Rakabuming Raka. (fajar)

  • Bangun Sutoto Sindir Logo Baru PSI: Gajah Terpenggal, Simbol Kematian Politik

    Bangun Sutoto Sindir Logo Baru PSI: Gajah Terpenggal, Simbol Kematian Politik

    “Logo sebuah partai politik pasti mengandung pesan politik juga. Apalagi parpol itu dengan bangganya menuliskan Partai Super Tbk alias Partai Super Terbuka,” imbuhnya.

    Pertanyaan selanjutnya, kata Bangun Keanggotaan, sumber dana, agenda ke depan dari PSI patut digarisbawahi.

    “Saya jadi teringat dengan salah satu mata kuliah di jurusan Ilmu Pemerintahan saat masih menjadi mahasiswa. Dalam mata kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan dan Politik (MIPP), dosen saya mengilustrasikan bahwa ilmu politik itu bisa dibilang seperti ilmu perdukunan,” sebutnya.

    “Kita diajak untuk tahu dan paham dengan sesuatu yang tidak tampak mata. Kita juga diajak untuk tahu di balik yang tampak. Menarik bukan?,” tambah Bangun.

    Ia kemudian mengutip salah satu pakar politik Indonesia, Prof. Salim Said yang pernah berkata bahwa politik itu seperti udara.

    “Semua orang butuh udara. Tapi, udara itu tak tampak namun ada. Sebuah teori singkat yang mudah dipahami,” beber Bangun.

    Dijelaskan Bangun, ilustrasi gajah yang mendongak dengan kepala terpisah sah-sah saja jika publik memaknainya sebagai sebuah kematian akibat hukuman.

    “Bisa jadi hukuman dari alam karena melawan hukum Tuhan. Entahlah. Yang jelas, jangan tanya saya,” terangnya.

    Sebagai pengamat, lulusan Fisipol UGM ini mengatakan bahwa pidato politik perdana Kaesang selaku Ketum tampak kurang percaya diri.

    “Mengawali pidato politik dengan permintaan maaf atas kegagalannya di kontestasi pemilu 2024 untuk membawa partai itu ke Senayan. Pidato politik yang nyaris tidak berenergi. Padahal bisa dibilang kongres parpol super terbuka yang dibawanya itu ada di rumahnya sendiri,” bebernya.

  • Kongres PSI di Solo, Ray Rangkuti Soroti Yel-yel Setia

    Kongres PSI di Solo, Ray Rangkuti Soroti Yel-yel Setia

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar Kongres di Solo yang dimulai pada Sabtu (19/7) dan ditutup pada Minggu (20/7).

    Pada pembukaan kongres, presiden ketujuh RI, Jokowi hadir. Dia bahkan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato kenegaraan saat pembukaan Kongres PSI.

    SementaraPrabowo Subianto residen RI Prabowo Subianto dan Wapres RI Gibran Rakabuming Raka bakal hadir dalam acara penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Solo, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (20/7).

    Menyoroti pelaksanaan kongres tersebut, Pengamat politik, Ray Rangkuti memberikan catatan kritis terhadap pelaksanaan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo, Juli 2025.

    Dalam analisisnya, Rangkuti mengungkap lima poin penting yang perlu dicermati publik terkait dinamika internal partai berbasis kaum muda ini.

    “Jumlah peserta pemilihan raya terdaftar sebanyak 187.306 orang. Tidak jelas benar, apakah ini menunjukkan jumlah keseluruhan anggota PSI yang memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) atau tidak,” kata Rangkuti dalam keterangannya, Minggu (20/7).

    Dia mempertanyakan transparansi keanggotaan partai yang mengklaim sistem satu orang satu suara.

    “Jika memang total pemilih sesuai dengan jumlah KTA yang diterbitkan, maka tingkat partisipasi 80 persen ini sudah menunjukkan kerayaan pemilihan ketum. Meski di sisi lain, jumlah ratusan ribu penerima KTA PSI terasa terlalu kecil untuk partai dengan 2,81 persen suara pada Pemilu 2024,” tambahnya.

    Rangkuti juga menyoroti jargon kesetiaan yang digaungkan PSI. “Yel-yel setia terasa miris mengingat ada luka politik dalam Pilpres 2024, di mana keluarga Jokowi memilih berbeda dengan partai yang membesarkan mereka, PDIP,” ujarnya.

  • Demokrasi Berbasis Keadaban

    Demokrasi Berbasis Keadaban

    Demokrasi Berbasis Keadaban
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    DEMOKRASI
    adalah sistem. Ia tak boleh menjadi sistem kosong. Ia memerlukan isi. Dan isi
    demokrasi
    bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan akhlak politik.
    Kita boleh saja menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun, memindahkan kedaulatan rakyat ke bilik suara dan perangkat digital.
    Namun, jika seluruh proses itu dijalankan dengan semangat mengakali, menyiasati, bahkan memanipulasi, kita tidak sedang membangun demokrasi—kita hanya sedang mengabadikan proyek kekuasaan.
    Yang hilang dari demokrasi kita hari ini bukan mekanisme teknokratisnya. Justru sebaliknya, prosedurnya kian canggih: Sirekap,
    e-voting
    , rekap digital,
    quick count
    . Namun, substansinya makin mengering.
    Demokrasi
    tanpa akhlak, tanpa keadaban.
    Pemilu 2024 telah usai. Presiden dan wakil rakyat terpilih. Namun, yang tertinggal bukan euforia kedaulatan rakyat, melainkan residu keterbelahan.
    Seolah-olah, lawan politik bukan lagi mitra deliberasi, tapi musuh yang wajib dilumpuhkan. Demokrasi berubah menjadi medan kontestasi total, bukan ruang untuk menyepakati kebaikan bersama.
    Itulah titik rapuhnya demokrasi prosedural. Seperti diingatkan oleh Jürgen Habermas, demokrasi hanya bermakna ketika disertai partisipasi deliberatif dan diskursus yang setara (Habermas, The Inclusion of the Other, 1998). Tanpa itu, ia mudah berubah menjadi populisme dan manipulasi retoris.
    Sejak awal, demokrasi Indonesia dirancang untuk beradab. Lihatlah Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.”
    Di situlah tertanam pengakuan terhadap harkat manusia sebagai dasar kebebasan. Pancasila pun menempatkan “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebelum “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan…”
    Sebuah penegasan bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih, tetapi soal memuliakan manusia.
    Ini menegaskan apa yang oleh Nurcholish Madjid disebut sebagai demokrasi dengan nilai-nilai tauhidik—demokrasi yang bukan netral dari moral, tetapi meniscayakan etika publik yang berbasis akal sehat dan kesetaraan (Nurcholish, 1997).
    Namun sayangnya, semua itu hari ini hanya jadi simbol di ruang rapat dan orasi politik.
    Lihat saja realitas politik kita hari ini. Elite saling menista, saling menyandra dengan kursi, saling menelikung lewat narasi.
    Partai politik lebih sibuk mengatur logistik dan koalisi, daripada mendidik kader dengan nilai.
    DPR makin lemah sebagai pengawas, makin kuat sebagai pengaman status quo. Presiden pun, dalam banyak hal, lebih populis daripada konstitusional.
    Politik kehilangan etosnya. Demokrasi berubah menjadi pasar legitimasi, bukan arena nilai.
    Seperti dikatakan Hannah Arendt, politik adalah ruang hadir bersama, tempat manusia menampilkan dirinya di hadapan orang lain untuk membangun dunia bersama (Arendt, The Human Condition, 1958).
     
    Jika ruang itu ditutup atau direduksi menjadi kalkulasi elektabilitas, maka yang lahir bukan demokrasi, melainkan dominasi.
    Demokrasi yang beradab tidak menghina, tidak menyebar kebencian, tidak menciptakan musuh imajiner demi elektoral.
    Demokrasi yang beradab tidak menindas minoritas hanya karena kalah suara. Karena seperti diingatkan John Stuart Mill dalam On Liberty (1859), suara terbanyak bukanlah jaminan kebenaran.
    Demokrasi bukan soal siapa paling banyak, tapi siapa paling layak didengar dalam akal dan nurani.
    Inilah bedanya demokrasi dengan demagogi. Demokrasi tanpa perenungan hanya akan menjadi tempat naiknya yang paling nyaring, bukan yang paling bijak.
    Seperti dikatakan Fishkin (2010), deliberasi adalah jantung demokrasi sejati—tanpa itu, politik akan menjadi ajang mobilisasi irasionalitas massal.
    Harga dari demokrasi tanpa keadaban sangat mahal. Polarisasi kian akut. Media sosial menjadi ladang fitnah. Kepercayaan terhadap partai politik runtuh. Anak muda menjauh dari politik. Institusi negara dianggap alat kekuasaan, bukan penjaga konstitusi.
    Laporan V-Dem 2025 menunjukkan Indonesia tergelincir ke dalam kategori
    electoral autocracy.
    Fenomena ini mencerminkan lemahnya prinsip
    horizontal accountability
    dan penyusutan ruang sipil (V-Dem Institute, Democracy Report 2025).
    Dalam demokrasi yang sehat, kritik terhadap penguasa menjadi syarat, bukan ancaman.
    Inilah saatnya kita kembali ke akar. Demokrasi bukan hanya sistem kekuasaan, tetapi kontrak moral. Partai politik harus kembali menjadi rumah akal sehat, bukan sekadar markas penggalangan dana.
    Pemerintah harus membangun kepercayaan bukan dengan pencitraan, tapi dengan kejujuran. Media harus menjadi penjaga nurani publik, bukan sekadar penyambung lidah pemilik modal.
    Kita sebagai rakyat pun harus belajar kembali menjadi warga negara yang beradab. Bukan hanya menuntut, tapi juga merawat. Bukan hanya bersuara, tapi juga bertanggung jawab. Bukan hanya ingin menang, tapi ingin adil.
    Demokrasi berbasis keadaban bukanlah utopia. Ia adalah keharusan. Dalam dunia yang makin bising oleh propaganda, suara jernih harus dimunculkan oleh integritas.
    Dalam zaman yang dibanjiri algoritma kebencian, akhlak adalah satu-satunya jangkar agar kita tidak karam.
    Tanpa keadaban, demokrasi hanya menjadi tirani mayoritas. Tanpa akhlak, pemilu hanya jadi ritual legitimasi. Dan tanpa integritas, institusi hanya menjadi hiasan tata negara.
    Demokrasi yang sejati tidak lahir dari angka, tetapi dari jiwa yang bersedia mendengar, berbagi, dan bertanggung jawab.
    Karena pada akhirnya, republik ini bukan dibangun di atas kertas suara, melainkan di atas hati nurani manusia yang tahu kapan harus bersuara dan kapan harus berbagi ruang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.