Topik: Pelanggaran HAM

  • Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 September 2025

    Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara Nasional 27 September 2025

    Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    PADA
    Mei 2025 lalu, penulis telah menyoroti persoalan keracunan massal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui opini berjudul “
    Bukan Sekadar Statistik: Keracunan Massal MBG dan Alarm bagi Komitmen HAM
    ” (Kompas.com, 14/05/2025).
    Kala itu, kasus di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, menyebabkan ratusan anak dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap MBG. Peristiwa ini telah diperingatkan sebagai alarm dini atas bahaya sistemik dalam pelaksanaan program.
    Kini, peringatan itu bukan hanya terbukti, melainkan menjelma menjadi tragedi besar. Di Bandung Barat saja, lebih dari 1.300 siswa dilaporkan keracunan MBG pada September 2025, menjadikannya episentrum krisis gizi yang ironis.
    Secara nasional, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat lebih dari 4.600 kasus keracunan sejak Januari hingga September 2025, sedangkan CISDI menemukan sedikitnya 6.600 kasus melalui pemantauan media massa.  Perbedaan angka ini menunjukkan adanya persoalan transparansi, sekaligus menandakan kemungkinan besar bahwa jumlah korban sesungguhnya jauh lebih besar dari data resmi.
    Fakta bahwa program yang dirancang untuk memenuhi gizi anak justru telah mencatat lebih dari lima ribu kasus keracunan dalam sembilan bulan pertama adalah bukti kegagalan negara. Krisis ini tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah teknis distribusi pangan semata, melainkan telah beralih menjadi isu pelanggaran hak asasi manusia — khususnya hak anak atas kesehatan, keselamatan, dan hidup yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan instrumen HAM internasional.
    Dalam perspektif hukum hak asasi manusia, kasus keracunan massal MBG tidak dapat dipandang sekadar sebagai kelalaian administratif, melainkan merupakan pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya, khususnya anak-anak.
    Konstitusi Indonesia telah secara tegas memberikan jaminan. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
    Sementara itu, Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
    Namun, fakta ribuan anak justru mengalami keracunan akibat program negara memperlihatkan bahwa jaminan konstitusional tersebut telah nyata tercederai. Tidak hanya dalam tataran konstitusi, hukum nasional juga mengatur kewajiban negara untuk memastikan pelindungan hak anak dan keamanan pangan.
    UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hak setiap anak atas pelindungan, kesejahteraan, dan perawatan yang layak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014, memandatkan negara untuk menjamin kesehatan anak serta menyediakan sarana layanan kesehatan yang aman. Pun, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberikan pengakuan eksplisit atas hak setiap warga negara untuk memperoleh pangan yang aman, bermutu, dan bergizi.
    Maka, keracunan massal MBG menandakan tidak dijalankannya kewajiban hukum positif yang sudah lama berlaku di Indonesia. Kewajiban negara semakin jelas ketika dilihat dari perspektif hukum internasional.
    Konvensi Hak Anak (CRC) 1989, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, mewajibkan negara menjamin hak hidup dan standar kesehatan tertinggi bagi anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 dan 24. Demikian pula, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang telah diaksesi dengan UU No. 11 Tahun 2005, mengikat Indonesia untuk menjamin hak atas standar hidup layak, termasuk pangan yang aman dan bergizi (Pasal 11), serta hak atas kesehatan (Pasal 12).
    Prinsip
    non-retrogression
    dalam ICESCR secara tegas melarang negara mengambil kebijakan yang menyebabkan kemunduran dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Keracunan massal akibat MBG dengan sendirinya merupakan bentuk regresi yang serius, sebab program yang ditujukan untuk meningkatkan gizi anak justru menurunkan kualitas kesehatan mereka secara signifikan.
    Maka, tragedi MBG bukan hanya kesalahan teknis dalam tata kelola distribusi makanan, melainkan kegagalan struktural negara dalam memenuhi kewajiban
    to respect, to protect, and to fulfill
    hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak. Negara tidak hanya lalai dalam menyediakan makanan yang aman, tetapi juga gagal melindungi anak-anak dari bahaya yang dihasilkan oleh programnya sendiri.
    Situasi ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap konstitusi, undang-undang nasional, maupun instrumen HAM internasional yang telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia.
    Alih-alih menjadi solusi atas masalah gizi anak, program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini justru dijuluki sinis sebagai “Makan Beracun Gratis” oleh sebagian masyarakat. Julukan ini bukanlah sekadar ekspresi emosional, melainkan cerminan dari krisis kepercayaan publik akibat berulangnya insiden keracunan massal.
    Program yang di atas kertas diproyeksikan untuk meningkatkan status gizi dan kualitas hidup anak-anak, dalam praktiknya berubah menjadi sumber ketakutan baru: apakah makanan yang dikonsumsi anak di sekolah benar-benar aman?
    Dalam kerangka teori legitimasi kebijakan publik, suatu program hanya dapat dipertahankan ketika tujuan normatifnya selaras dengan hasil empiris yang dirasakan masyarakat (Suchman, 1995). MBG dirancang sebagai instrumen keadilan sosial, namun kegagalan memastikan aspek keamanan pangan membuatnya kehilangan legitimasi.
    Ketika masyarakat menyebutnya “beracun”, hal itu menandakan hilangnya kepercayaan sosial (
    social trust
    ) terhadap negara sebagai penyelenggara layanan dasar. Kritik ini pun dapat dibaca melalui konsep “banalitas keburukan” (
    banality of evil
    ) ala Arendt. Bahaya bukan hanya muncul dari niat jahat, tetapi juga dari kelalaian sistemik yang dinormalisasi.
    Ketika keracunan ribuan anak direduksi menjadi “hanya sebagian kecil” atau dianggap
    acceptable risk
    dari sebuah program nasional, negara sedang melakukan banalitas terhadap penderitaan manusia—membiarkan pelanggaran hak anak berlangsung di bawah retorika keberhasilan statistik.
    Istilah “Makan Beracun Gratis” merupakan simbol perlawanan moral, yang menyuarakan bahwa setiap nyawa anak tidak boleh ditukar dengan klaim administratif tentang distribusi gizi. Negara tidak bisa menjustifikasi keracunan ribuan anak dengan narasi pencapaian angka, sebab dalam hukum hak asasi manusia, satu nyawa yang terabaikan saja sudah terlalu banyak.
    Tragedi berulang yang menimpa ribuan anak menunjukkan bahwa program MBG tidak dapat lagi dipertahankan dengan logika tambal sulam. Evaluasi parsial terhadap dapur atau sekadar pemberhentian sementara penyedia layanan tidak akan cukup. Yang dibutuhkan adalah evaluasi total terhadap desain, tata kelola, dan mekanisme implementasi program MBG.
    Hal ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian (
    precautionary principle
    ) dalam layanan publik: ketika suatu kebijakan berisiko besar menimbulkan bahaya, negara wajib menghentikan atau mengubah kebijakan tersebut hingga dapat dipastikan aman bagi penerima manfaat.
    Salah satu opsi reformasi yang patut dipertimbangkan adalah desentralisasi mekanisme penyediaan makanan, misalnya dengan mengalihkan sebagian besar anggaran MBG ke sekolah dan orang tua melalui skema yang lebih transparan dan partisipatif.
    Model distribusi terpusat yang bergantung pada ribuan dapur SPPG terbukti rawan salah kelola, tidak efisien dalam logistik, serta berulang kali menimbulkan insiden keracunan massal. Alternatifnya, dana bisa disalurkan untuk memperkuat kantin sekolah berbasis lokal atau langsung diberikan kepada keluarga dalam bentuk bantuan gizi, sehingga ada kontrol kualitas yang lebih dekat dan sesuai kebutuhan anak.
    Pun, evaluasi total juga harus mencakup aspek akuntabilitas dan transparansi. Negara perlu membuka kanal pelaporan publik, melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman, serta memastikan adanya mekanisme pengaduan yang cepat dan efektif bagi korban.
    Tanpa langkah ini, MBG akan terus menjadi sumber ancaman, bukan pelindungan. Intinya, program yang semula digadang sebagai simbol kepedulian negara terhadap gizi anak telah kehilangan legitimasi moral dan hukum akibat kegagalannya menjamin keamanan.
    Jika pemerintah sungguh ingin menjaga masa depan generasi, maka moratorium MBG untuk evaluasi total adalah keharusan, bukan pilihan. Reformasi mekanisme, partisipasi masyarakat, dan pengawasan independen harus menjadi fondasi baru agar tragedi keracunan massal tidak lagi berulang pada masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 September 2025

    Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar? Nasional 26 September 2025

    Reformasi Polri: Dari Dalam atau Luar?
    Direktur Eksekutif Migrant Watch
    SAYA
    masih ingat jelas ketika kami, mahasiswa, turun ke jalan pada peristiwa 1998, menuntut reformasi.
    Meski rakyat diliputi ketakutan terhadap sosok Soeharto yang memerintah dengan tangan besi, tuntutan reformasi itu menggaung kuat, lahir dari jeritan nurani rakyat yang lelah dan jenuh menghadapi otoritarianisme yang telah berlangsung bertahun-tahun.
    Menariknya, Presiden Soeharto saat itu mencoba merespons tuntutan reformasi dengan langkah simbolik.
    Ia merombak beberapa posisi kabinet, mengundang tokoh nasional seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Emha Ainun Nadjib untuk berdialog, serta mengusulkan pembentukan Dewan Reformasi.
    Pertanyaannya: apakah rakyat langsung percaya? Tentu saja tidak. Mayoritas menolak karena tidak percaya pada keseriusan langkah tersebut.
    Rakyat tidak yakin reformasi bisa lahir dari tangan penguasa yang justru dianggap biang dari masalah itu sendiri. Bagaimana mungkin orang yang selama puluhan tahun mempertahankan status quo, tiba-tiba menjadi juru kunci reformasi?
    Akhirnya, meski Soeharto mencoba tampil sebagai motor perubahan, rakyat justru semakin kencang menuntut agar ia turun. Reformasi hanya bisa berjalan tanpa campur tangan rezim Soeharto.
    Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri, membuka jalan bagi perubahan yang sesungguhnya.
    Sejarah membuktikan bahwa reformasi hanya bisa terjadi dari luar kekuasaan, bukan dari dalam kekuasaan.
    Sejarah Reformasi 1998 masih menyisakan gema yang relevan hingga saat ini, khususnya dalam konteks agenda reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
    Desakan agar institusi kepolisian direformasi telah lama bergema di ruang publik, seiring munculnya berbagai kasus yang mencoreng kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
    Namun, respons yang muncul justru mirip dengan pola lama: pemerintah membentuk Komite Reformasi, sementara Kapolri turut menginisiasi Tim Transformasi Reformasi Polri. Dari sisi logika publik, situasi ini tampak janggal.
    Bagaimana mungkin institusi yang menjadi objek kritik sekaligus bertindak sebagai subjek yang mengatur arah reformasi?
    Analogi yang sering muncul adalah ibarat seorang pasien sakit keras diminta meracik obat untuk dirinya sendiri, padahal ia belum tentu mengakui penyakit yang dideritanya.
    Publik pun bertanya-tanya, apakah ini wujud keseriusan atau justru siasat untuk mereduksi tujuan reformasi Polri?
    Dalam kerangka akademis, persoalan reformasi dapat dipahami sebagai dilema antara reformasi internal dan eksternal.
    Reformasi yang sepenuhnya dilakukan dari dalam institusi kerap berakhir pada langkah-langkah
    lips service
    atau kosmetik, sekadar perubahan nomenklatur, pembentukan tim ad-hoc, atau slogan-slogan sementara yang tidak menyentuh akar persoalan.
    Ketika Kapolri mengumumkan pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri lewat Surat Perintah yang diteken pada 17 September 2025, reaksi publik muncul cepat dan beragam.
    Polri menegaskan bahwa tim ini bukan untuk menggantikan Komite Reformasi bentukan Presiden, melainkan untuk mempercepat dan mengakomodasi proses reformasi.
    Namun, banyak pihak menilai narasi itu sebagai upaya mereduksi urgensi reformasi. Dalam praktiknya, tim internal Polri berpotensi mengambil ruang inisiatif dan legitimasi, sekaligus menggeser perhatian publik dari kelemahan struktural hingga fokus pada evaluasi administratif semata.
    Kecurigaan publik muncul dari beberapa faktor. Pertama, pembentukan tim internal dipandang sebagai strategi defensif: Polri tampak ingin menunjukkan bahwa mereka “sudah bergerak”, bahkan sebelum Komite Reformasi Presiden beroperasi.
    Hal ini menimbulkan persepsi bahwa narasi reformasi sedang direbut dan kritik publik dibingkai ulang sebagai bagian dari kontrol internal, sehingga tekanan eksternal, yang biasanya efektif, dapat dilemahkan.
    Kedua, publik melihat risiko bahwa tim internal ini bisa menjadi alat legitimasi tanpa kejelasan sanksi atau implementasi nyata.
    Evaluasi internal tanpa diikuti perombakan regulasi, revisi undang-undang, pemisahan kepentingan, atau pengurangan kewenangan yang rawan disalahgunakan, dapat membuat reformasi berhenti di level dokumen saja.
    Ketiga, ada kekhawatiran bahwa tim internal dapat “membangkang” atau mengambil jarak dari arahan Komite Presiden, bahkan arahan Presiden sendiri, dengan alasan teknis-operasional, stabilitas organisasi, atau hambatan internal Polri.
    Walaupun Polri membantah dan menyatakan tim bertujuan akselerasi dan akuntabilitas, publik tetap khawatir bahwa alasan tersebut menjadi topeng untuk mempertahankan status quo.
    Keempat, ketidakjelasan komposisi tim dan transparansi mandat memperkuat kecurigaan. Beberapa laporan menyebut tim sebagian besar terdiri dari internal Polri (perwira), sementara belum jelas seberapa besar ruang diberikan bagi unsur masyarakat sipil, akademisi, pegawai non-perwira, atau institusi pengawas eksternal.
    Ketidakjelasan ini membuka kemungkinan tim bekerja dalam lingkup yang aman bagi institusi, bukan sebagai agen perubahan yang menantang struktur.
    Publik pun mempertanyakan apakah tim transformasi internal ini akan berani menegakkan reformasi yang dapat “menyakiti” kepentingan internal Polri — misalnya memecat anggota bermasalah, membongkar sistem promosi tidak transparan, atau menangani kasus pelanggaran HAM dan kekerasan aparat secara tegas.
    Di sisi lain, Polri dan pendukung reformasi internal menekankan bahwa tim ini adalah bentuk tanggung jawab organisasi agar reformasi tidak berhenti pada jargon.
    Tanpa kerja internal, reformasi dari luar bisa jadi sia-sia karena institusi sendiri tidak siap menghadapi lonjakan tuntutan, atau bisa terjadi konflik internal yang kontraproduktif.
    Dalam perspektif teori kekuasaan, sulit membayangkan institusi yang begitu kuat rela melucuti kekuatan dirinya sendiri. Analogi klasiknya: tidak ada pemilik pistol yang menyerahkan pistolnya untuk ditembakkan ke kepalanya sendiri.
    Lembaga yang memiliki privilese kekuasaan, wewenang hukum, dan monopoli kekerasan sah cenderung mempertahankan status quo. Reformasi internal sering berisiko melahirkan simulasi perubahan, bukan perubahan substansial.
    Polri, sebagai institusi dengan struktur hirarkis ketat dan akses luas terhadap alat negara, menghadapi dilema tersebut.
    Pembentukan tim internal justru mempertegas kecenderungan alami ini: alih-alih memfasilitasi transformasi, tim internal bisa berfungsi sebagai mekanisme pengaman untuk menghindarkan institusi dari guncangan.
    Dengan kata lain, reformasi internal sering bekerja sebagai strategi penundaan, bukan strategi perombakan.
    Inilah alasan mengapa reformasi sejati memerlukan tekanan eksternal yang kuat, pengawasan independen, dan kesediaan politik dari pucuk kekuasaan.
    Tanpa reformasi dari luar, setiap janji reformasi berpotensi redup menjadi jargon administratif yang aman bagi institusi, tetapi gagal menjawab keresahan rakyat.
    Belajar dari negara lain memberikan pelajaran berharga bagi reformasi kepolisian yang akan dilakukan di Indonesia.
    Di Hong Kong, lembaga kepolisian pernah dikenal korup dan kehilangan kepercayaan publik pada era 1960-an.
    Pemerintah kemudian membentuk Independent Commission Against Corruption (ICAC), komisi independen yang benar-benar terpisah dari kepolisian.
     
    ICAC tidak hanya berwenang menyelidiki kasus korupsi di luar kepolisian, tetapi juga menindak aparat kepolisian sendiri.
    Anggota kepolisian yang terbukti bersalah dapat dipecat, diproses hukum, dan dijatuhi hukuman penjara. Dengan pengawasan eksternal yang tegas ini, kepercayaan publik terhadap institusi negara dapat dipulihkan.
    Di Amerika Serikat, berbagai skandal polisi yang melibatkan diskriminasi rasial mendorong lahirnya Civilian Review Boards atau dewan pengawas sipil di sejumlah kota.
    Dewan ini menampung laporan warga, melakukan investigasi independen, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah kota.
    Walaupun efektivitasnya berbeda-beda di tiap kota, keberadaan mekanisme sipil menegaskan pentingnya kontrol eksternal dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
    Pengalaman Afrika Selatan pasca-runtuhnya apartheid juga menarik. Reformasi kepolisian di sana tidak hanya soal pembenahan struktur, tetapi juga transformasi budaya.
    Aparat yang terbukti bersalah diberhentikan atau dipindahkan, sementara pendidikan ulang dilakukan secara besar-besaran agar mereka meninggalkan mentalitas represif rezim lama dan mengadopsi nilai-nilai demokrasi.
    Dalam beberapa kasus, anggota yang melanggar hukum diproses secara hukum. Hasilnya, meskipun belum sempurna, kepolisian di Afrika Selatan lebih diarahkan menjadi instrumen pelayanan publik, bukan alat politik.
    Selain itu, beberapa negara mengambil langkah lebih tegas berupa pemecatan massal aparat kepolisian sebagai bagian dari reformasi institusi.
    Di Georgia, Presiden Mikheil Saakashvili pada 2005 memecat sekitar 30.000 personel kepolisian, terutama dari kepolisian lalu lintas, untuk menanggulangi maraknya korupsi.
    Pemerintah kemudian merekrut polisi baru, memberikan pelatihan intensif, dan meningkatkan gaji untuk membangun institusi yang lebih bersih dan profesional.
    Di Peru, Presiden Ollanta Humala pada 2011 memecat sekitar dua pertiga jajaran petinggi kepolisian, termasuk Kepala Kepolisian dan Kepala Satuan Pemberantasan Narkoba, sebagai langkah membersihkan institusi dari praktik ilegal dan penyalahgunaan wewenang.
    Afrika Selatan, pada 2012, juga memecat Kepala Kepolisian Jenderal Bheki Cele terkait kasus korupsi penyewaan gedung, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi di tingkat tinggi.
    Di Rusia, Presiden Vladimir Putin pada 2015 memecat lebih dari 1.000 petinggi kepolisian yang terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, bagian dari upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
    Dari berbagai contoh tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa reformasi kepolisian yang efektif membutuhkan dua hal utama: pengawasan eksternal yang benar-benar independen, serta kesediaan internal untuk berubah melalui transformasi budaya, pendidikan, dan perombakan struktural, termasuk pemecatan aparat yang terbukti melanggar hukum, bahkan sampai level jabatan tinggi.
    Reformasi tanpa langkah tegas ini berisiko hanya menjadi retorika tanpa perubahan substansial.
    Indonesia dapat belajar dari pengalaman tersebut. Reformasi Polri tidak cukup hanya dibicarakan dalam komite atau tim internal yang dibentuk pemerintah.
    Diperlukan lembaga independen yang memiliki otoritas nyata untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja kepolisian, bahkan menindak jika diperlukan.
    Pada saat sama, Polri perlu melakukan transformasi internal melalui kurikulum pendidikan baru yang menekankan etika, pelayanan publik, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
    Restrukturisasi kelembagaan juga harus dilakukan agar Polri lebih fokus. Fungsi-fungsi yang tumpang tindih atau dapat diotomatisasi sebaiknya dipangkas untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
    Namun, masalahnya kini bukan hanya soal teknis reformasi, melainkan juga soal kepercayaan publik. Banyak kalangan curiga bahwa pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri tidak lebih dari strategi untuk meredam kritik.
    Alih-alih menunjukkan keseriusan, tim ini justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah polisi benar-benar berniat berubah, atau hanya berusaha mengendalikan narasi reformasi agar tetap aman di bawah kendali mereka?
    Kecurigaan ini wajar, sebab publik sudah terlalu sering disuguhi janji perubahan yang berakhir menjadi jargon.
    Tanpa keterlibatan independen dari masyarakat sipil dan tanpa kesediaan menyerahkan sebagian kontrol kepada mekanisme eksternal, reformasi Polri akan sulit dipercaya.
    Apalagi, jika reformasi hanya dijalankan melalui tim internal, besar kemungkinan hasilnya sekadar kosmetik. Terlihat rapih di permukaan, tetapi busuk di dalam.
    Sejarah 1998 menunjukkan bahwa rakyat tidak akan percaya reformasi yang digerakkan penguasa yang mempertahankan status quo. Untuk Polri menjadi profesional dan memulihkan legitimasi, reformasi harus dilakukan dari tekanan eksternal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengamat UMY: Indonesia harus vokal bela Palestina di Sidang PBB

    Pengamat UMY: Indonesia harus vokal bela Palestina di Sidang PBB

    Yogyakarta (ANTARA) – Pengamat hubungan internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Faris Al Fadhat mengatakan Pemerintah Indonesia perlu tampil lebih vokal membela Palestina dalam Sidang Umum ke-80 PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9), di mana Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan berpidato.

    “Kami mendorong betul agar Indonesia lebih vokal menyuarakan dan mengecam apa yang dilakukan oleh Israel. Indonesia juga harus mendorong Palestina merdeka melalui negosiasi terwujudnya dua negara atau ‘two-state solution’,” ujar Faris kepada ANTARA di ruang kerjanya itu, Sabtu.

    Dia menilai Indonesia memiliki ruang dan legitimasi kuat untuk memimpin suara dunia dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, di tengah melemahnya upaya diplomasi sejumlah negara Arab.

    Menurut Faris, peran itu penting karena perdamaian hanya bisa terwujud jika Palestina dan Israel hidup berdampingan, serta Israel mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.

    “Sekarang Israel kan sudah diakui sebagai negara dan kalau Palestina tidak diberi kesempatan merdeka diakui sebagai negara yang berdaulat, maka rakyat Palestina tetap akan melawan Israel untuk mempertahankan tanah leluhur mereka. Sementara Israel menganggap lahan mereka dan apa yang dilakukan Hamas sebagai organisasi teroris,” katanya.

    Faris melihat negara-negara Arab tidak lagi serius menyuarakan secara vokal, bahkan dalam rekomendasi PBB terbaru justru lebih menekan Hamas untuk berhenti menyerang Israel tanpa menyertakan kecaman terhadap negara yang terus membombardir Gaza itu.

    “Sudah seharusnya Indonesia berani mengecam keras dan sebagai negara mayoritas muslim terbesar dengan sejarah panjang mendukung kemerdekaan Palestina, punya modal kuat untuk itu. Apa yang dilakukan Israel sudah sangat nyata; menduduki, menghancurkan infrastruktur sipil, dan membunuh warga tak berdosa. Ini pelanggaran HAM serius,” ujarnya.

    Selain mendorong Indonesia bersikap lebih vokal di PBB, lanjut Faris, Muhammadiyah juga menginisiasi langkah konkret melalui pendekatan akademik. Bersama UMY dan sejumlah perguruan tinggi Muhammadiyah lainnya yang memiliki Program Studi Hubungan Internasional, tengah dirancang pembentukan pusat studi bertema Palestina dan perdamaian global.

    “Kami bersama Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah menginisiasi terbentuknya pusat studi Palestina. Saat ini proses pembentukan dan mendiskusikan opsi nama, mungkin Palestine Center for Global Peace. Pusat studi ini akan fokus pada riset, advokasi kebijakan luar negeri, dan edukasi publik soal perjuangan Palestina,” ungkap Faris.

    Di tengah sikap pasif sejumlah negara Timur Tengah, dia menyebut gelombang dukungan dari negara-negara Barat justru mulai bermunculan, salah satunya lewat konser amal di Inggris yang berhasil menggalang dana lebih dari 2 juta dolar AS untuk warga Palestina.

    “Publik figur dari Eropa, Inggris, Kanada bahkan AS mulai bersuara. Nah kita Indonesia harus ikut menyuarakan dengan lantang membawa isu Palestina sebagai agenda global,” katanya.

    Faris menuturkan solusi dua negara antara Palestina dan Israel yang kerap digaungkan di forum internasional hanya akan menjadi jargon jika tidak ada desakan kuat agar Israel mengakui keberadaan negara Palestina.

    “Perdamaian hanya akan terwujud jika kedua pihak diakui dan diperlakukan setara. Jika hanya Israel yang terus diakui sementara Palestina tidak, maka perjuangan rakyat Palestina akan terus berlangsung,” tutup Prof Faris.

    Pewarta: Luqman Hakim
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ambisi Logam Tanah Jarang China Cemari Sungai Mekong

    Ambisi Logam Tanah Jarang China Cemari Sungai Mekong

    Jakarta

    Para ahli ekologi memperingatkan, beberapa negara Asia Tenggara terancam menghadapi bencana ekologis, kecuali dilakukan tindakan segera untuk meredam ‘booming’ penambangan logam tanah jarang di Myanmar.

    Global Witness, sebuah organisasi pengawas lingkungan dan pelanggaran HAM yang berbasis di London melaporkan, Myanmar memiliki sumber terbesar di dunia unsur mineral tanah jarang berat. Mineral ini penting untuk pembuatan produk teknologi tinggi seperti turbin angin, mobil listrik, serta alat-alat medis.

    Sebagian besar tambang ini terletak di negara bagian Shan, lokasi perang saudara berkecamuk sejak kudeta militer terjadi di Myanmar pada tahun 2021.

    Departemen Pengendalian Pencemaran Thailand awal tahun ini menemukan kadar arsenik hampir empat kali lebih tinggi dari batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di beberapa bagian Sungai Kok, anak sungai Mekong yang mengalir dari Myanmar ke Thailand. Logam beracun lainnya juga terdeteksi pada tingkat yang membahayakan.

    Sungai Kok mengalir melewati provinsi Chiang Rai di Thailand utara sebelum bermuara ke Mekong, di mana konsentrasi arsenik juga dilaporkan telah terdeteksi.

    Mekong adalah sungai terpanjang di Asia Tenggara, yang menjadi sumber kehidupan bagi jutaan orang. Para ahli khawatir sistem irigasi yang mengairi hamparan luas lahan pertanian dan pasokan air minum di wilayah tersebut turut terkontaminasi. WHO telah melaporkan bahwa paparan jangka panjang terhadap arsenik dan logam lainnya dapat menyebabkan kanker, gangguan saraf, dan kegagalan organ tubuh.

    “Apa yang kita lihat sekarang hanyalah permulaan,” kata Pianporn Deetes, direktur kampanye International Rivers, sebuah LSM konservasi pada DW.

    “Jika tidak dikendalikan, situasinya bisa memburuk dengan cepat. Kemungkinan ada ratusan tambang ilegal di kawasan hulu, dan air yang terkontaminasi berat menyebar melalui Sungai Mekong dan anak-anak sungainya, dan pada akhirnya menyebabkan pengasaman air yang terjadi hingga ke laut,” kata Deetes.

    Di luar kendali Bangkok?

    Setelah petisi dari komunitas setempat di bulan Juni, otoritas Thailand mengusulkan pembangunan penghalang sedimen bawah air atau bendungan mini di Sungai Kok untuk menjebak endapan beracun agar tidak mencapai desa-desa.

    Namun, kelompok lingkungan mengatakan, infrastruktur semacam itu akan memakan waktu bertahun-tahun untuk dapat diselesaikan, sementara krisis sudah di depan mata.

    Bangkok tidak punya banyak pilihan. Masalahnya bersumber dari sebagian besar wilayah di Myanmar, khususnya di negara bagian Shan, di mana tambang-tambang baru di wilayah tersebut berada di bawah kendali United Wa State Army (UWSA), sebuah kelompok bersenjata yang mengelola dua wilayah otonomi khusus di Myanmar. UWSA didukung oleh Cina.

    Reuters melaporkan, UWSA memberikan perlindungan bersenjata untuk operasi pertambangan yang dijalankan oleh perusahaan Cina di sana. Baik penguasa militer Myanmar maupun organisasi internasional tidak memiliki kendali atas wilayah tersebut.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Sejauh ini masih belum diketahui apakah pencemaran tersebut masih terkonsentrasi di Thailand utara atau sudah meluas ke negara-negara hilir Sungai Mekong.

    “Sangat mungkin, cemaran bahan kimia beracun dan logam berat terdeteksi di Kamboja,” ujar Brian Eyler, direktur Program Asia Tenggara di Stimson Center, kepada DW. Eyler menambahkan, 60% asupan protein di Kamboja berasal dari tangkapan ikan liar di Sungai Mekong.

    Dalam beberapa minggu terakhir, kelompok masyarakat sipil menyerukan tindakan lebih tegas dari Komisi Sungai Mekong (MRC), sebuah badan antar-pemerintah yang dibentuk Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam pada tahun 1990-an untuk bersama-sama mengelola sungai Mekong.

    “MRC harus segera membangun stasiun pemantauan logam berat, dan memastikan komunitas di seluruh daerah yang dilewati aliran sungai memiliki akses atas informasi yang akurat dan transparan,” desak Pianporn.

    Sejauh ini MRC meremehkan seruan tersebut. Pada bulan Juli, lembaga itu melaporkan kadar arsenik di empat dari lima lokasi pengambilan sampel di Thailand dan Laos di atas batas aman. Namun, MRC hanya menggambarkan situasinya sebagai “masalah lingkungan lintas batas yang cukup serius.”

    Para analis sepakat, tanggung jawab akhir terletak di ‘pundak’ Beijing, yang menguasai sekitar 60% produksi logam tanah jarang global serta hampir 90% proses pemurniannya.

    Sekitar tahun 2010 Cina melarang banyak bentuk penambangan tanah jarang di dalam negeri, karena kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan. Namun, hal ini justru mendorong makin banyak perusahaan Cina untuk berpindah ke selatan, dan mengoperasikan pertambangan di perbatasan Myanmar, khususnya di negara bagian Kachin dan Shan.

    Pada tahun 2018, pemerintah sipil Myanmar melarang ekspor dan memerintahkan perusahaan tambang Cina menghentikan operasi. Namun sejak tahun 2021, ekstraksi terus berlanjut di tengah konflik sipil yang makin meluas di sana.

    Apakah situasinya kian memburuk?

    “Beijing harus menjamin, bahwa semua impor logam tanah jarang hanya berasal dari tambang yang mematuhi hukum dan standar lingkungan Cina,” kata Pianporn kepada DW. “Jika Cina serius ingin memimpin dalam hal ‘peradaban ekologis’, maka mereka harus bertindak secara akuntabel dan transparan,” tambahnya. Namun, jika Beijing merespon dengan keras maka itu akan bertentangan dengan kepentingan nasional mereka di tengah persaingan ketat geopolitis menguasai logam tanah jarang ini.

    Asisten Profesor Dulyapak Preecharatch dan dosen Studi Asia Tenggara di Universitas Thammasat mengatakan, dalam mempraktikkan kebijakan luar negerinya di wilayah seperti Asia Tenggara, dalam hubungan bilateralnya Cina selalu menekankan prinsip kedaulatan negara, di mana mereka tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk peraturan lingkungannya.

    Dengan demikian, Beijing bisa mengatakan, mereka tidak ikut campur dalam penambangan tanah jarang di Myanmar, karena pengawasan terhadap kerusakan lingkungan adalah kedaulatan Myanmar, dan Cina tidak perlu “mempertimbangkan masalah yang dihadapi negara-negara hilir lainnya,” jelas Preecharatch kepada DW.

    “Demam” tanah jarang tidak hanya terjadi di Myanmar. Setidaknya ada 15 tambang teridentifikasi di sepanjang anak sungai Mekong di Laos. Kamboja saat ini belum memiliki tambang tanah jarang berskala besar yang aktif, tetapi eksplorasi sedang berlangsung.

    Para ahli lingkungan khawatir akan adanya reaksi berantai pencemaran di kawasan sungai Mekong.

    “Situasi ini kemungkinan besar akan semakin memburuk,” ujar Eyler dari Stimson Center kepada DW.

    “Ada kemungkinan seluruh populasi ikan di sungai tercemar, dan kawasan lahan basah di sepanjang aliran sungai yang merupakan zona produksi pertanian untuk dunia, tidak dapat digunakan untuk waktu yang lama,” tambahnya.

    Untuk saat ini, Mekong masih dianggap sebagai salah satu sungai besar yang masih relatif bersih di dunia jika dibandingkan dengan sungai Gangga (India) atau Yangtse (Cina). Namun para ahli khawatir, reputasi itu akan segera hilang.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)

  • Bantu ICC, Spanyol Akan Selidiki Pelanggaran HAM di Gaza

    Bantu ICC, Spanyol Akan Selidiki Pelanggaran HAM di Gaza

    Madrid

    Spanyol mengumumkan akan menyelidiki “pelanggaran hak asasi manusia di Gaza” untuk membantu Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang telah merilis surat perintah penangkapan bagi Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan pejabat-pejabat Israel lainnya atas dugaan kejahatan perang.

    Kantor Jaksa Agung Spanyol dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Kamis (18/9/2025), mengatakan bahwa Jaksa Agung Spanyol Alvaro Garcia Ortiz telah “mengeluarkan dekrit untuk membentuk tim kerja yang bertugas menyelidiki pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional di Gaza”.

    Misi tim investigasi ini, menurut Kantor Jaksa Agung Spanyol, akan “mengumpulkan bukti dan menyediakannya bagi badan yang berwenang, sehingga memenuhi kewajiban Spanyol terkait kerja sama internasional dan hak asasi manusia”.

    “Menghadapi situasi terkini di wilayah Palestina, semua bukti, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat dikumpulkan di negara kami mengenai kejahatan yang dilakukan di Gaza harus disertakan (untuk potensi penggunaan dalam kasus ICC),” demikian pernyataan Kantor Jaksa Agung Spanyol.

    ICC telah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam operasi militer Israel di Jalur Gaza.

    Spanyol juga telah bergabung dalam kasus di hadapan pengadilan dunia lainnya, Mahkamah Internasional (ICJ), yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza.

    Kedua pengadilan internasional yang berkantor di Den Haag itu menuai kritikan keras dari Israel dan sekutu-sekutunya. Pada Februari lalu, Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada ICC, dengan menyebut pengadilan itu telah “menyalahgunakan wewenangnya” dengan merilis surat perintah penangkapan Netanyahu.

    Israel menggugat yurisdiksi ICC yang beranggotakan 125 negara dalam kasus tersebut.

    Langkah Spanyol ini diambil saat hubungan negara itu dengan Israel semakin memburuk beberapa waktu terakhir. Israel telah menarik pulang Duta Besarnya dari Madrid tahun lalu setelah Spanyol mengakui negara Palestina.

    Pekan lalu, Spanyol memanggil pulang Duta Besarnya dari Tel Aviv setelah Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar menuduh Madrid melakukan antisemitisme. Perselisihan semakin memanas menyusul langkah-langkah yang diumumkan PM Pedro Sanchez untuk menghentikan apa yang disebutnya sebagai “genosida di Gaza”.

    Lihat juga Video: AS Selidiki Dugaan Pelanggaran HAM Israel di Gaza

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Represif Polisi: Menyita Buku Membungkam Pikiran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 September 2025

    Represif Polisi: Menyita Buku Membungkam Pikiran Nasional 18 September 2025

    Represif Polisi: Menyita Buku Membungkam Pikiran
    Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
    SEJAK
    Agustus hingga awal September 2025, gelombang protes di sejumlah kota merefleksikan ketidakpuasan rakyat atas ketidakadilan, kemiskinan, pelanggaran HAM, dan berbagai kegagalan birokrasi.
    Namun, reaksi aparat keamanan terhadap protes itu, terutama penyitaan buku sebagai barang bukti, membuka bab baru dalam hubungan negara–masyarakat. Negara ternyata lebih takut terhadap ide daripada menangani masalah substantif.
    Dalam laporan
    Kompas.com
    (17/09/2025), Polda Jabar memublikasikan sejumlah buku yang merupakan barang bukti kericuhan aksi demonstrasi di Bandung dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025).
    Beberapa buku yang menjadi barang bukti ini disebut memuat tentang teori anarkisme yang diduga menjadi referensi literasi kelompok pendemo anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat beberapa waktu lalu.
    Dalam siaran persnya, tertulis beberapa buku dengan judul
    Menuju Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, Sastra dan Anarkisme
    , dan banyak buku lainnya.
    “Bisa dilihat (buku) ajakan desersi juga ada, dan buku lainnya, tetapi ini semua narasinya setingkat anarkisme,” kata Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan saat memperlihatkan barang buktinya (
    Kompas.com
    , 17/09/2025).
    Sementara itu, dalam kasus Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation,
    Kompas.com
    (07/09/2025) melaporkan bahwa polisi menggeledah kantor Lokataru di Pulo Gadung, Jakarta Timur, pada 4 September 2025, dan menyita buku, spanduk, publikasi penelitian, dan laptop sebagai bagian dari barang bukti.
    Delpedro telah ditetapkan tersangka atas dugaan “penghasutan terhadap pelajar terkait demonstrasi dan perusakan” dalam rentang 25–31 Agustus 2025.
    Kasus penyitaan buku ini bukan hanya persoalan teknis penegakan hukum. Ia adalah gambaran kegagalan aparat negara dalam memahami esensi kebebasan berpikir dan bersuara, sekaligus cerminan ketakutan yang dalam terhadap ideologi alternatif.
    Paling menyedihkan, aparat yang mestinya menjadi penjaga hukum justru terjebak dalam sikap represif yang kontraproduktif, menyalahi prinsip hukum pidana, dan mengabaikan akar persoalan bangsa.
    Polisi menyita buku-buku yang dianggap memuat paham anarkisme dengan alasan buku tersebut menjadi “referensi” atau bahkan “alat” yang memotivasi para tersangka melakukan aksi anarkis.
    Padahal, paham anarkisme seringkali disalahpahami secara mendasar oleh aparat keamanan.
    Anarkisme bukan sekadar kekacauan atau ajakan pada kekerasan, melainkan filsafat politik yang menolak dominasi otoriter dan mengedepankan kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas tanpa hierarki yang represif.
    Para pemikir anarkis seperti Peter Kropotkin, Emma Goldman, dan Mikhail Bakunin adalah contoh tokoh yang mengusung gagasan tentang kerja sama sosial dan perlawanan terhadap penindasan struktural.
    Lebih dari itu, nilai-nilai anarkisme justru sangat dekat dengan budaya kolektif masyarakat Indonesia, seperti gotong royong, musyawarah dalam pengambilan keputusan, dan sistem pengelolaan bersama tanah ulayat.
    Jadi, alih-alih “ideologi asing yang berbahaya”, anarkisme dalam konteks Indonesia bisa dilihat sebagai bagian dari warisan budaya dan cara masyarakat mengorganisasi diri secara egaliter dan mandiri.
    Namun, aparat tampaknya abai dengan hal ini. Penyitaan buku seolah menjadi bentuk kriminalisasi terhadap pemikiran kritis yang menolak ketidakadilan.
    Padahal, membaca buku, bahkan yang berisi kritik keras terhadap negara adalah hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi.
    Menurut KUHAP, penyitaan barang bukti harus didasarkan pada keterkaitan langsung dengan tindak pidana yang sedang disidik.
    Buku, sebagai benda fisik dan sumber gagasan, hanya dapat disita apabila isi atau keberadaannya secara nyata digunakan untuk melakukan kejahatan, bukan sekadar karena ideologi yang diusungnya.
    Ketika polisi menyita buku semacam karya sastra, zine kritis, atau buku tentang anarkisme sebagai alat bukti, mereka mencampuradukkan antara tindakan kriminal dengan pikiran dan gagasan.
    Ini jelas berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dan kebebasan memperoleh informasi yang dilindungi oleh Undang-Undang HAM dan Pasal 28E UUD 1945.
    Penyitaan buku juga mengirimkan pesan buruk bahwa ide dan pemikiran alternatif bisa dijadikan alasan untuk menekan warga negara, membungkam kritik, dan menghapus ruang wacana demokratis.
    Ini merusak iklim kebebasan intelektual yang menjadi fondasi penting bagi kemajuan suatu bangsa.
    Ketika aparat menangkap pelaku perusakan dalam aksi massa, yang seharusnya menjadi fokus adalah alat bukti yang terkait langsung dengan tindakan kriminal tersebut.
    Batu yang dilempar, bahan yang digunakan untuk membakar, rekaman video, saksi mata, semua itu adalah alat bukti yang valid dan konkret.
    Menyita buku yang dibawa atau dimiliki demonstran justru menunjukkan ketidaktepatan aparat dalam memahami hukum dan proses penyidikan.
    Membaca buku, bagaimanapun isinya tidak sama dengan melakukan perbuatan kriminal. Tidak ada logika hukum yang menghubungkan memiliki buku dengan niat atau tindakan merusak.
    Dengan menyita buku, aparat justru menyerang identitas intelektual para demonstran, bukan membuktikan keterlibatan mereka dalam perusakan.
    Ini membingungkan antara tindakan kriminal dan kebebasan berpikir, sehingga berpotensi menjadi alat kriminalisasi bagi aktivis dan pembela hak asasi.
    Lebih parah lagi, aparat negara tampak lebih takut pada ide dan buku daripada menyentuh akar masalah bangsa.
    Ketimpangan sosial, kemiskinan, korupsi, pelanggaran hak asasi, dan ketidakadilan sistemik yang menjadi penyebab meluapnya protes justru luput dari perhatian.
    Alih-alih menyelesaikan persoalan struktural itu, aparat justru sibuk menindak ideologi alternatif yang menjadi alat kritik dan refleksi atas realitas yang ada.
    Ini berbahaya karena memperkuat sikap represif yang dapat memperlebar jurang ketidakpercayaan dan konflik sosial.
    Pemerintah dan aparat seharusnya mendengar suara kritis yang muncul dari masyarakat, termasuk dari mereka yang membaca dan mendiskusikan gagasan-gagasan radikal atau alternatif.
    Diskursus terbuka adalah jalan menuju perubahan yang bermakna, bukan pembungkaman.
    Tindakan penyitaan buku bukan hanya soal hukum dan politik, tetapi juga berdampak luas pada sosial dan budaya masyarakat.
    Pertama, menciptakan iklim ketakutan intelektual yang mematikan ruang diskusi dan wacana kritis. Orang akan takut membaca buku yang dianggap “berbahaya” atau terlibat dalam diskusi yang dianggap “melawan negara”.
    Kedua, memecah solidaritas sosial dengan menstigmatisasi siapa saja yang memiliki buku atau gagasan tertentu sebagai ancaman. Ini berpotensi menciptakan konflik horizontal yang memperlebar perpecahan masyarakat.
    Ketiga, menyabotase budaya literasi dan kebebasan berpikir yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan demokrasi yang sehat.
    Bila masyarakat takut terhadap buku dan ide, maka mereka kehilangan kemampuan untuk memahami kompleksitas dan menuntut perubahan substantif.
    Keempat, menciptakan narasi “musuh imajiner” yang mengalihkan perhatian dari persoalan sesungguhnya. Negara membangun ketakutan akan ideologi “berbahaya”, tapi mengabaikan pelanggaran dan ketidakadilan yang dialami rakyat.
    Kasus penyitaan buku oleh polisi pada massa aksi ataupun aktivis bukan sekadar persoalan teknis hukum, melainkan pertaruhan besar bagi masa depan demokrasi dan kebebasan intelektual di Indonesia.
    Aparat negara harus sadar bahwa buku dan gagasan adalah bagian dari hak dasar warga negara, bukan alat kriminalisasi. Penegakan hukum harus fokus pada fakta dan perbuatan, bukan mengadili ide dan pikiran.
    Lebih penting lagi, pemerintah dan aparat harus berani menyentuh akar masalah bangsa, ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan pelanggaran HAM, bukan sibuk menakuti diri sendiri dengan ideologi alternatif.
    Jika aparat terus menyita buku dan membungkam pikiran kritis, yang terjadi bukan keamanan, tapi kemunduran demokrasi dan pembodohan masyarakat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Media Arab Sorot Prabowo Reshuffle Kabinet Lagi, Sebut Ini

    Media Arab Sorot Prabowo Reshuffle Kabinet Lagi, Sebut Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan reshuffle kabinet hanya sepekan setelah mengganti lima menteri pasca demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada Agustus lalu dan menelan korban jiwa. Hal ini pun menjadi sorotan media asing.

    “Presiden Indonesia melakukan perombakan Kabinet kedua yang mengejutkan pada hari Rabu, hanya seminggu setelah memecat lima menteri menyusul protes anti-pemerintah yang mematikan,” demikian laporan media Arab News dalam tajuk ‘Indonesian president reshuffles Cabinet again in wake of deadly protests’ pada Rabu (18/9/2025).

    Pada Rabu, Prabowo menunjuk 11 pejabat baru, termasuk dua menteri dan tiga wakil menteri. Di antara nama yang diangkat yakni Letjen (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menko Polhukam, mantan Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, serta Komjen (Purn) Ahmad Dofiri sebagai penasihat khusus presiden bidang keamanan publik dan reformasi kepolisian.

    Langkah reshuffle ini menambah panjang perombakan Kabinet Merah Putih 2024-2029 yang sebelumnya mengganti Sri Mulyani Indrawati dari posisi Menteri Keuangan.

    Namun, sejumlah pihak menilai reshuffle tersebut tidak menjawab tuntutan masyarakat. Media tersebut mengutip Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang menegaskan perombakan Kabinet seakan jauh dari isu substansial yang memicu demonstrasi.

    “Publik menuntut supremasi sipil dan agar militer kembali ke barak, tetapi pilihan Menko Polhukam justru mencerminkan paradigma lama dengan latar belakang militer,” kata Usman, dikutip Arab News.

    Lebih lanjut, Usman menilai penunjukan penasihat khusus bidang keamanan juga tidak menyentuh persoalan mendasar. “Itu tidak menjawab tuntutan rakyat yang berharap pemerintah dan DPR segera membentuk komisi independen untuk menyelidiki kematian 11 orang serta pelanggaran HAM lain selama aksi,” tegasnya.

    Arab News juga menyoroti bahwa gelombang protes ini menjadi tantangan terbesar kepemimpinan Prabowo sejak dilantik Oktober 2024. Para pengunjuk rasa tidak hanya menuntut keadilan atas korban, tetapi juga mendorong reformasi menyeluruh terhadap kepolisian, militer, hingga parlemen.

    (tfa/tfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Andi Widjajanto soal Urgensi Tim Pencari Fakta Kerusuhan Demo Agustus: Pemulihan Kepercayaan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 September 2025

    Andi Widjajanto soal Urgensi Tim Pencari Fakta Kerusuhan Demo Agustus: Pemulihan Kepercayaan Nasional 14 September 2025

    Andi Widjajanto soal Urgensi Tim Pencari Fakta Kerusuhan Demo Agustus: Pemulihan Kepercayaan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Penasihat Senior LAB 45 Andi Widjajanto menilai pembentukan tim pencari fakta sangat penting pascademonstrasi dan kerusuhan yang terjadi pada akhir bulan Agustus 2025.
    “Sepakat. Ini bagian dari pemulihan
    trust
    secara cepat,” kata Andi dalam podcast Gaspol
    Kompas.com
    , dikutip Sabtu (14/9/2025).
    Menurut Andi, kehadiran tim pencari fakta dapat mempercepat pemulihan kepercayaan publik ke pemerintah.
    “Dengan menggunakan metode akutabilitas yang sudah berulang dilakukan dan sudah juga berkali-kali menunjukan ya
    trust
    bisa dipulihkan dengan tim pencari fakta,” ujarnya.
    Andi mengatakan, tim pencari fakta bisa dibentuk dengan gabungan sejumlah instansi pemerintah.
    Di sisi lain, menurut dia, tim pencari fakta itu juga bisa diserahkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) jika memang ada indikasi pelanggaran HAM.
    “Atau tim pencari faktanya merupakan kumpulan dari tokoh-tokoh independen atau
    hybrid
    pemerintahnya ada, Komnas HAM-nya ada, tokoh independennya juga ada,” kata Andi.
    Dalam kesempatan itu, Andi juga mengatakan bahwa aksi demonstrasi dan kerusuhan Agustus lalu ini terkait masalah kepercayaan.
    Untuk memulihkan retaknya kepercayaan tersebut, menurut dia, memerlukan waktu yang panjang.
    “Masalah
    trust
    bukan hanya dari publik, rakyat ke pemerintah, tapi juga
    trust
    di dalam instansi pemerintahan itu sendiri,” ungkap dia.
    Oleh karena itu, Andi mengatakan, perlu juga ada strategi jangka pendek untuk memulihkan kepercayaan publik.
    “Jadi ada tuntutan baru, misalnya 17+8, sangat bagus tuntutannya, harus dipilah. Mana tuntutan-tuntutan yang memang relevan untuk memulihkan kepercayaan dalam masa
    short term
    ,” katanya.
    Kemudian, Andi menyebut, langkah Presiden Prabowo Subianto merombak kabinet merupakan langkah jangka pendek untuk memulihkan kepercayaan.
    “Presiden Prabowo kemarin dengan melakukan
    reshuffle
    adalah salah satu bagian
    shortcut
    dari memulihkan
    trust
    itu. Tapi, itu langsung di level strategis,” katanya.
    Sebelumnya diberitakan, Presiden Prabowo disebut menyetujui pembentukan tim independen yang bertugas untuk menginvestigasi peristiwa yang terjadi pada demonstrasi Agustus 2025.
    Setujunya Prabowo terhadap pembentukan tim tersebut diungkap mantan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) usai berdiskusi dengan Prabowo selama tiga jam pada Kamis, 11 September 2025.
    “Salah satu tuntutan masyarakat sipil yang juga menjadi aspirasi kami dari GNB adalah perlunya dibentuk komisi investigasi independen terkait dengan kejadian prahara Agustus beberapa waktu yang lalu,” ujar Lukman usai pertemuan dengan Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis malam.
    Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menilai bahwa pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang menginvestigasi demonstrasi Agustus 2025 akan membutuhkan waktu.
    Mulai dari penunjukkan anggota-anggota TGPF hingga proses pencarian fakta yang dilakukan oleh tim tersebut.
    “Jadi, kalau menuntut TGPF itu kan masih perlu waktu, menyusun orang-orangnya lagi, menunggu mereka bekerja untuk mengumpulkan fakta-fakta,” ujar Yusril din Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis malam.
    Menurut dia, hal tersebut justru akan memakan waktu dalam proses investigasi terhadap demo pada 25 hingga 31 Agustus 2025.
    Oleh karena itu, dia menilai bahwa investigasi terkait demo lebih baik diserahkan kepada aparat penegak hukum, di mana prosesnya sudah berjalan.
    “Saya kira lebih baik kita menggunakan aparat penegak hukum yang ada sekarang, lebih cepat bekerjanya daripada kita berlama-lama,” ujar Yusril.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tak Ada Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran dalam 17+8 Tuntutan Rakyat, Siapa di Baliknya?

    Tak Ada Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran dalam 17+8 Tuntutan Rakyat, Siapa di Baliknya?

    GELORA.CO – Tuntutan mengadili Presiden RI ke-7, Joko Widodo alias Jokowi) dan makzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tak ada dalam 17+8 Tuntutan Rakyat.

    Padahal, tuntutan mengadili Jokowi dan memakzulkan Gibran sudah bergulir sejak lama hingga sempat bikin suhu politik nasional naik beberapa derajat.

    Menurut pengamat intelijen, Sri Radjasa Chandra, ada perubahan narasi dari demonstrasi yang awalnya digagas revolusi rakyat Indonesia.

    Seiring berjalannya waktu, kata dia, terjadi perubahan di laman media sosial yakni bubarkan DPR.

    Tak pelak, hal itu bertolak belakang di mana DPR dituntut untuk memakzulkan Gibran, di sisi lain ada upaya pembubaran DPR.

    “Tentu kita bisa melihat siapa di balik perubahan narasi itu. Sehingga terus berlanjut muncul 17+8,” ujarnya dalam kanal YouTube Forum Keadilan TV, mengutip Minggu 14 September 2025.

    Demonstrasi yang kemudian berujung ricuh hingga aksi penjarahan sejumlah rumah pejabat dan anggota DPR disebutnya sebagai political terorism.

    “Kejadian itu secara psikologis, terpukul. Mereka sekarang berpikir, bagaimana caranya untuk mengangkat pemakzulan Gibran di forum DPR ketika pengamanan terhadap diri mereka sendiri tidak terjaga atau mereka diperlakukan dalam bentuk penjarahan rumah,” tuturnya.

    Dia pun menilai, tuntutan 17+8 perlu dipertanyakan apakah ada yang menunggangi sehingga persoalan yang sebenarnya dihadapi bangsa ini terabaikan.

    Lantaran itu pula, tuntutan dalam 17+8 ini merupakan legacy dari kekuasaan lama.

    “Semuanya bermuara ke satu, Jokowi harus bertanggung jawab. Jadi ini bukan warisan dari pemerintahan yang baru,” ujarnya.

    17+8 Tuntutan Rakyat merupakan berbagai aspirasi dan desakan rakyat yang beredar pada unjuk rasa dan kerusuhan Indonesia Agustus 2025 di media sosial.

    Tuntutan tersebut merupakan rangkuman atas berbagai tuntutan dan desakan yang beredar di media sosial dalam beberapa hari terakhir

    Sementara, isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bermula dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang melontarkan delapan usulan, salah satunya pergantian Wapres oleh MPR.

    Alasan mereka: putusan MK terkait Pasal 169 Huruf Q UU Pemilu dianggap melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman.

    Adapun isi 17+8 Tuntutan Rakuat sebagai berikut:

    Isi 17 Tuntutan Jangka Pendek

    Beberapa poin penting dalam 17 tuntutan tersebut antara lain:

    – Kepada Presiden Prabowo: tarik TNI dari pengamanan sipil, hentikan kriminalisasi demonstran, bentuk tim investigasi independen kasus pelanggaran HAM.

    – Kepada DPR RI: batalkan kenaikan gaji/tunjangan, buka transparansi anggaran, dan dorong Badan Kehormatan DPR menindak anggota bermasalah.

    – Kepada Ketua Umum Partai Politik: pecat kader tidak etis, umumkan komitmen berpihak pada rakyat, dan buka ruang dialog dengan mahasiswa.

    – Kepada Polri: bebaskan demonstran yang ditahan, hentikan kekerasan, dan proses hukum anggota yang melanggar HAM.

    – Kepada TNI: segera kembali ke barak, tegakkan disiplin internal, dan pastikan tidak campur tangan dalam urusan sipil.

    – Kepada Kementerian sektor ekonomi: pastikan upah layak, cegah PHK massal, dan buka dialog dengan serikat buruh.

    Isi 8 Tuntutan Jangka Panjang

    Sedangkan 8 tuntutan jangka panjang mencakup reformasi besar-besaran di sektor politik, hukum, hingga ekonomi. Beberapa poin di antaranya:

    – Reformasi DPR melalui audit independen, tolak mantan koruptor, dan penghapusan fasilitas istimewa.

    – Reformasi partai politik dengan transparansi laporan keuangan dan penguatan oposisi.

    – Reformasi perpajakan agar lebih adil, termasuk evaluasi kebijakan yang membebani rakyat.

    – Sahkan UU Perampasan Aset Koruptor dan perkuat independensi KPK.

    – Revisi UU Kepolisian untuk desentralisasi fungsi.

    – Cabut mandat TNI dari proyek sipil seperti food estate.

    – Perkuat Komnas HAM dan lembaga independen lain.

    – Tinjau ulang kebijakan ekonomi & ketenagakerjaan, termasuk evaluasi UU Cipta Kerja.***

  • Beredar Kabar Presiden Prabowo Kirim Surpres Pergantian Listyo Sigit sebagai Kapolri

    Beredar Kabar Presiden Prabowo Kirim Surpres Pergantian Listyo Sigit sebagai Kapolri

    GELORA.CO – Beredar kabar yang menyebutkan bahwa Prabowo Subianto telah melayangkan surat presiden (Surpres) pergantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ke DPR RI.

    Berdasarkan informasi, terdapat ada dua nama calon Kapolri yang dikirimkan ke legislatif di Senayan.

    Kedua calon Kapolri pengganti Listyo Sigit itu disebut berpangkat Komisaris Jenderal (Komjen).

    Namun, pimpinan dan sejumlah anggota Komisi III DPR RI tak merespons terkait beredarnya kabar Supres pergantian Kapolri tersebut.

    Desakan Copot Kapolri

    Sejumlah desakan agar Presiden Prabowo Subianto mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo muncul usai demonstrasi berujung ricuh pada akhir Agustus 2025 lalu.

    Saat itu di Jakarta, seorang pengemudi ojol tewas dilindas rantis Brimob.

    Desakan salah satunya datang dari Seratus aktivis 98. Ubedillah Badrun, sebagai perwakilan mengatakan, peristiwa driver ojol dilindas rantis Brimob melindas pengemudi ojol masuk pelanggaran HAM berat.

    Karena itu, adalah wajar para aktivis menuntut adanya pergantian terhadap Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.

    “Kami sudah dengan tegas memberikan semacam warning kepada Presiden agar memberhentikan Kapolri,” desak Ubedilah Badrun, mengutip Jumat 5 September 2025.

    Kang Ubed -sapaan Ubedilah Badrun- menjelaskan, insiden rantis Brimob lindas pengendara ojol almarhum Affan Kuriawan pada Kamis pekan kemarin, telah merusak citra Indonesia di mata dunia. Jadi adalah layak bagi seratus aktivis 98 menuntut Kapolri dicopot.

    “Makin buruk jika Presiden tidak mengambil langkah tegas terhadap elite institusi yang paling bertanggung jawab dalam pengamanan demonstrasi yakni Kapolri. Apalagi sudah menjadi perhatian PBB,” tegasnya.

    Aktivis 98 pun menyayangkan sikap Presiden Prabowo Subianto yang tak kunjung mengganti Jenderal Pol Listyo pascakejadian itu.

    Padahal pencopotan Kapolri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, etik, dan konstitusional.

    Pencopotan Kapolri sendiri sebenarnya adalah agenda reformasi Kepolisian.

    “Reformasi kepolisian berarti reformasi tata kelola dan lain-lain serta reformasi structural. Di antaranya, memberikan sanksi tegas terhadap lapisan elite kepolisian jika terjadi kesalahan fatal, dalam konteks saat ini ialah memberhentikan Kapolri, Kapolda, dan lain-lain yang bertanggungjawab atas peristiwa tragis pelindasan Affan Kurniawan,” tuturnya.

    Seratus aktivis 98, ujar Kang Ubed, berpendapat elite politik Indonesia kehilangan moral jika Presiden tidak mencopot Jenderal Listyo seusai peristiwa mematikan itu.

    “Jika tuntutan itu tidak dipenuhi Prabowo maka kami menilai bahwa bangsa ini kehilangan moral obligacy justru dari lapisan elit kekuasaan. Tentu ini menyedihkan dan meremukan jiwa bangsa,” sesalnya.

    Geng Solo dan Nasib di Ujung Tanduk

    Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting meyakini Presiden Prabowo Subianto tidak lama lagi akan mencopot Listyo Sigit Prabowo dari jabatan Kapolri.

    Imej dirinya yang juga dicap sebagai bagian dari loyalis Joko Widodo (Jokowi) yang dikenal dengan sebutan ‘Geng Solo’ juga menjadi alasan logis pergantian dirinya.

    “Menurut saya Oktober ini Listyo Sigit insyaallah diganti. Karena situasinya juga, begini logikanya, Listyo ini sudah hampir 5 tahun, lebih dari 4,5 tahun tidak logis,” ujar Ginting dalam podcast Abraham Samad Speak Up bertajuk ‘Budi Gunawan Dicopot, Kapolri di Ujung Tanduk. 5 Menteri Geng Solo Terusir’ yang tayang pada Kamis, 11 September 2025.

    Ia mencontohan peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari) yaitu aksi demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15–16 Januari 1974.

    Saat itu lanjut Ginting, terdapat 20 jenderal yang diberhentikan Presiden Soeharto, termasuk di antaranya Soemitro dan Ali Moertopo.

    Sehingga untuk kasus kerusuhan Agustus 2025, tidak cukup hanya Budi Gunawan yang diberhentikan sebagai Menko Polkam namun juga Listyo Sigit Prabowo selaku pimpinan Polri.

    “Dulu TNI yang berada di depan. Sekarang menghadapi kerusuhan massa kan polisi, jadi harus diberhentikan. Harusnya Kapolri, Kabaintelkamnya, Kabaharkam, termasuk Komandan Korps Brimob (diberhentikan),” paparnya.

    Selain mereka menurut Ginting yang juga seharusnya dicopot ialah para kapolda yang gagal mengendalikan wilayahnya, seperti Kapolda Metro Jaya, Kapolda Sulawesi Selatan, Kapolda Jawa Barat dan Kapolda Jawa Timur.

    “Listyo Sigit Prabowo tidak bisa lagi mengendalikan anak buahnya. Anak buahnya kemungkinan juga loyalitasnya tidak tegak lurus lagi, kenapa? Karena dia seperti sedang menaiki perahu yang sudah bocor, akan tenggelam, jadi ngapain gua loyal sama dia. Institusi ini berbahaya sekali,” terang Ginting.

    “Ini momentum juga bagi Prabowo untuk melakukan reformasi besar-besaran terhadap lembaga Kepolisian,” tandasnya.***