Topik: Pelanggaran HAM

  • Kemenham rilis apikasi PRISMA kawal kepatuhan bisnis terhadap HAM

    Kemenham rilis apikasi PRISMA kawal kepatuhan bisnis terhadap HAM

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Hak Asasi Manusia meluncurkan aplikasi PRISMA (Penilaian Risiko Bisnis dan Hak Asasi Manusia) sebagai sistem penilaian mandiri berbasis digital yang dapat digunakan oleh pelaku usaha untuk menilai dan memetakan potensi risiko pelanggaran HAM dalam kegiatan usahanya.

    “PRISMA dirancang untuk membantu pelaku usaha memahami, mengidentifikasi, dan mengelola risiko HAM secara sistematis dan terukur,” kata Menteri HAM Natalius Pigai dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Pigai mengatakan Kementerian HAM mengajak seluruh pelaku usaha di Indonesia untuk aktif berpartisipasi dalam implementasi penilaian kepatuhan HAM melalui PRISMA.

    “Pendekatan ini tidak hanya mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, tetapi juga memperkuat reputasi Indonesia dalam tatanan bisnis global yang menghormati hak asasi manusia” ujarnya.

    Ia menjelaskan aplikasi PRISMA dikembangkan selaras dengan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), panduan global yang menjadi standar dalam memastikan kegiatan usaha tidak berdampak negatif terhadap hak asasi manusia.

    UNGPs disusun berlandaskan pada tiga pilar utama, yakni to protect (negara wajib melindungi HAM dari dampak negatif aktivitas bisnis), to respect (pelaku usaha wajib menghormati HAM dalam seluruh aktivitas bisnis), dan to remedy (masyarakat memiliki hak atas pemulihan jika terjadi pelanggaran HAM).

    Kementerian HAM juga telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Hak Asasi Manusia Nomor M.HA-01.HA.03.02 Tahun 2025 tentang Penilaian Kepatuhan Bisnis dan HAM Bagi Pelaku Usaha.

    “Surat edaran ini menjadi bagian dari langkah strategis pemerintah dalam mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab terhadap hak asasi manusia di Indonesia,” kata Pigai.

    Penerbitan surat edaran ini merupakan pelaksanaan amanat Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024 terkait tugas untuk memimpin dan mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintah di bidang hak asasi manusia.

    Surat edaran ini juga merupakan bagian output dari Proyek Perubahan Diklat PKN (Pelatihan Kepemimpinan Nasional) Tk.II Angkatan XIV Tahun 2025 yang dirancang Kepala Biro Umum, Protokol, dan Humas Kementerian HAM Pungka M Sinaga.

    Proyek ini bertujuan menjadi strategi penguatan penilaian kepatuhan HAM pelaku usaha terhadap sistem aplikasi PRISMA.

    Langkah-langkah utama dalam proyek ini meliputi penyusunan dasar regulasi yang mengikat penggunaan PRISMA melalui surat edaran menteri, pelaksanaan pendampingan teknis kepada pelaku usaha untuk menggunakan PRISMA secara efektif, serta monitoring dan evaluasi berkala terhadap penerapan penilaian risiko HAM di sektor usaha.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bantah Keracunan MBG Pelanggaran HAM, Menteri Natalius Pigai Minta Komnas HAM Banyak Belajar: Supaya Tidak Asal Bicara

    Bantah Keracunan MBG Pelanggaran HAM, Menteri Natalius Pigai Minta Komnas HAM Banyak Belajar: Supaya Tidak Asal Bicara

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai membantah keracunan Makan Bergizi Gratis sebagai pelanggaran HAM. Seperti yang diungkapkan Komnas HAM.

    Dia membandingkan pernyataan Komnas HAM yang mengatakan ada potensi pelanggaran HAM. Dengan Badan Gizi Nasional (BGN) yang mengatakan ada pelanggaran pidana.

    “Ini yang benar, saya juga setuju kalau memang terbukti pidana agar tidak terulang,” kata Natalius dikutip dari ungggahannya di X, Sabtu (4/10/2025).

    Sementara itu, dia mengatakan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) bukan aktor negara. Karenanya tidak bisa disebut pelanggaran HAM.

    “Tidak seperti Komnas HAM asal bicara pelanggaran HAM padahal SPPG itu bukan bukan pemerintah atau negara (state actor),” ujarnya.

    Dia pun meminta Komisioner Komnas HAM agar belajar HAM lebih banyak.

    “Komisioner Komnas HAM banyak belajar tentang HAM supaya tidak asal bicara,” pungkasnya.

    Sebelumnya, potensi pelanggaran HAM itu diungkapkan Ketua Komnas HAM Anis Hidayat. Dia mengatakan pihaknya telan membentuk tim investigasi untuk mengusut potensi tersebut.

    “Terkait dengan MBG, ini Komnas HAM sudah mengumpulkan fakta dan informasi soal keracunan di berbagai wilayah,” kata Anis usai rapat bersama Komisi XIII DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025).

    “Saat ini sedang melakukan identifikasi awal kasus-kasus di berbagai wilayah untuk kemudian pemeriksaan kami buat sikap dan nantinya akan turun ke lapangan, untuk menyusun satu rekomendasi yang tentu diharapkan ini bisa memperbaiki tata kelola agar tidak terjadi kasus-kasus di kemudian hari,” sambungnya.

  • Pokja PBB untuk Bisnis dan HAM apresiasi Prisma Kementerian HAM RI

    Pokja PBB untuk Bisnis dan HAM apresiasi Prisma Kementerian HAM RI

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pichamon Yeophantong mengapresiasi sistem Penilaian Risiko Bisnis dan HAM (Prisma) yang digaungkan Kementerian HAM RI.

    “Menurut Ketua Pokja, penggunaan Prisma sangat mudah dipahami bagi pelaku usaha dan bermanfaat,” kata Wakil Menteri HAM Mugiyanto dalam keterangan diterima di Jakarta setelah pertemuan dengan Pichamon di Jenewa, Swiss, Jumat.

    Pertemuan dengan Pokja PBB untuk Bisnis dan HAM merupakan salah satu bagian dari aktivitas Kementerian HAM di Jenewa untuk mendorong penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan (P5) HAM.

    Pada pertemuan tersebut, Mugiyanto menjelaskan upaya pengarusutamaan nilai-nilai HAM oleh pemerintah Indonesia, seperti melalui Prisma, Strategi Nasional Bisnis dan HAM, dan penyiapan regulasi Uji Tuntas Bisnis dan HAM.

    Menurut Mugiyanto, Ketua Pokja Pichamon mengapresiasi perkembangan bisnis dan HAM di Indonesia, terutama terkait arah kebijakan dan regulasi yang dikembangkan dari bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban (mandatory).

    Selain itu, Pichamon disebut turut mengapresiasi kinerja pemerintah Indonesia dalam merespons berbagai pengaduan yang diterima Pokja PBB, seperti terkait isu pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Nusa Tenggara Barat; penambangan nikel di Sulawesi; serta Proyek Strategis Nasional di Merauke, Papua Selatan.

    “Ketua Pokja juga mengapresiasi rencana pemerintah Indonesia untuk hadir dan berpartisipasi secara aktif dalam UN Forum on Business and Human Rights pada 24–26 November 2025,” katanya.

    Partisipasi Indonesia diyakini dapat mengangkat komitmen regional Asia dalam mempromosikan praktik bisnis yang menghormati HAM.

    Adapun Prisma merupakan program aplikatif mandiri bagi perusahaan untuk menganalisis risiko pelanggaran HAM dari kegiatan bisnisnya di Indonesia. Program yang diprakarsai oleh Kementerian HAM ini hadir untuk mengisi kekosongan alat ukur bisnis dan HAM.

    Prisma memiliki 12 indikator meliputi kebijakan HAM, tenaga kerja, kondisi kerja, serikat pekerja, privasi, diskriminasi, lingkungan, agraria dan masyarakat adat, tanggung jawab sosial (CSR), mekanisme pengaduan, rantai pasok, serta dampak HAM bagi perusahaan.

    Perusahaan dapat mendaftar secara mandiri ke laman Prisma guna mengetahui risiko pelanggaran HAM untuk kemudian dianalisis oleh Kementerian HAM.

    Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan menjelaskan dari hasil analisis tersebut, akan ada pengategorian tingkat risiko, mulai dari merah, kuning, hingga hijau.

    “Nanti bisa masuk kategori merah, yang paling bawah, berarti kurang sekali itu, potensi [pelanggaran] HAM-nya tinggi. Ada yang kuning, sedang. Ada yang hijau, itu kategori baik,” kata Manan saat ditemui usai pemberian penghargaan kepada perusahaan yang mematuhi prinsip HAM di Jakarta Jumat (19/9).

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sebut Bukan Pelanggaran HAM, Natalius Pigai Bilang Keracunan MBG Hanya 0,00017 Persen

    Sebut Bukan Pelanggaran HAM, Natalius Pigai Bilang Keracunan MBG Hanya 0,00017 Persen

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kasus keracunana siswa-siswi usai menikmati menu makan bergizi gratis (MBG) masih terus jadi sorotan publik.

    Meski telah menyebabkan ribuan siswa mengalami keracunan, hingga kini pemerintah masih menganggap kejadian itu sebagai hal yang wajar.

    Pernyataan tersebut tidak hanya disampaikan oleh Kepala BGN, Dadan Hindayana, tetapi juga oleh Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai.

    Bahkan, Natalius menilai bahwa kasus keracunan massal dalam proyek makan bergizi gratis atau MBG tidak melanggar HAM milik korban. Menurut dia, kasus keracunan yang dialami oleh ribuan siswa itu tak memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM.

    Pigai berkali-kali menekankan bahwa kasus keracunan akibat santapan MBG adalah temuan kecil yang tidak mencerminkan keberhasilan atau kegagalan program. Dari 30 juta penerima manfaat MBG hingga September 2025, ia menyebut kasus keracunannya sebanyak 0,00017 persen.

    Terkait unsur pelanggaran HAM bahwa negara lalai maupun dengan sengaja membiarkan keracunan terjadi, Pigai tidak setuju. “Misalnya satu sekolah yang masaknya kurang terampil, (sehingga basi) makanannya itu kan tidak bisa dijadikan sebagai pelanggaran HAM kan,” kata Pigai di kantor Kementerian HAM, Jakarta, Rabu, 1 Oktober 2025.

    Kekurangan dalam pelaksanaan MBG, kata Pigai, bersumber dari masalah manajemen dan administrasi yang dijalankan oleh satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG).

    Menurut dia, kedua hal tersebut tidak masuk dalam konteks penerapan hak asasi yang melekat pada tiap individu. “Administrasi dan pengaturan itu tidak bisa dipidana,” tutur dia.

  • Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        1 Oktober 2025

    Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat Megapolitan 1 Oktober 2025

    Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Keluarga korban meminta agar Komnas HAM menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat.
    Hal itu disampaikan massa aksi Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan usai bertemu perwakilan Komnas HAM pada Rabu (1/10/2025).
    “Sekarang kan kita menuntut terhadap Komnas HAM agar segera menetapkan status tragedi Kanjuruhan,” ucap Sanuar, salah satu keluarga korban di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Rabu.
    Sementara Dermawan selaku pendamping hukum keluarga korban mengaku kecewa tidak ada komisioner Komnas HAM yang hadir dalam audiensi tersebut. 
    “Entah alasannya apa, komisionernya pada hari ini tidak ada gitu. Jadi pada intinya hari ini tidak ada komisionernya,” jelasnya.
    Menurut dia, hasil audiensi tidak ada jawaban dari Komnas HAM. Namun ia meminta Komnas HAM segera menuntaskan Tragedi Kanjuruhan.
    “Jadi pada intinya belum-belum ada jawaban konkret gitu ya soal apakah akan dilakukan pro yustisia gitu. Hanya komitmen saja secara lisan dan itu juga masih perlu dipertanyakan apalagi yang kita temui tadi ini ya bukan komisionernya hanya perwakilan saja,” tambah Dermawan.
    Dermawan mengatakan bahwa pendamping hukum dan keluarga korban masih berusaha agar Komnas HAM menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM Berat dan melakukan penyelidikan pro yustisia. 
    “Tentu langkah yang akan kita lakukan tetap mendorong Komnas HAM agar menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat dan melakukan proses penyelidikan pro yustisia,” kata dia.
    Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya. 
    Kericuhan pecah setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun, sehingga penonton panik dan berdesak-desakan keluar stadion. 
    Akibatnya, setidaknya 135 orang meninggal dunia, sebagian besar karena sesak napas dan terinjak dalam kepanikan massal. Ratusan lainnya mengalami luka fisik maupun trauma psikologis.
    Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka berasal dari unsur penyelenggara pertandingan maupun kepolisian, termasuk Direktur Utama PT LIB, Ketua Panpel Arema, hingga pejabat kepolisian Polres Malang dan Brimob Polda Jawa Timur.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Massa Aksi Tragedi Kanjuruhan Nyala Lilin di Komnas HAM Sebelum Bubarkan Diri 
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        1 Oktober 2025

    Massa Aksi Tragedi Kanjuruhan Nyala Lilin di Komnas HAM Sebelum Bubarkan Diri Megapolitan 1 Oktober 2025

    Massa Aksi Tragedi Kanjuruhan Nyala Lilin di Komnas HAM Sebelum Bubarkan Diri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Massa aksi Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan menyalakan lilin sebelum membubarkan diri di depan kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM RI), Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
    Pantauan Kompas.com di lokasi pukul 20.45 WIB, massa aksi melanjutkan dengan membaca zine mengenai tragedi Kanjuruhan secara bergiliran.
    Sebelum membubarkan diri, massa aksi melakukan foto bersama sambil menyalakan flare dengan meneriakan “135 bukan hanya angka”.
    Kemudian massa aksi membereskan spanduk, poster dan bunga sisa aksi simbolik.
    Lalu lintas di depan Komnas HAM terpantau sudah sepi saat massa aksi membubarkan diri.
    Sanuar, salah satu keluarga korban tragedi Kanjuruhan menyampaikan bahwa aksi simbolis tersebut dilakukan sebagai penanda masih berjuangnya para keluarga korban mencari keadilan. 
    “Penting sekali sebagai pengingat tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober tahun 2022. Jadi bisa dilihat semangat berbagai pihak seperti Kontras dan mahasiswa untuk mendoakan bagi keluarga korban,” tutur Sanuar di lokasi.
    Dermawan, selaku pendamping hukum para keluarga korban, menyatakan bahwa dari aksi simbolis tersebut sebagai pesan terhadap masyarakat bahwa kasus Kanjuruhan belum tuntas.
    “Dari aksi simbolis ini harapan yang ingin disampaikan tentu adalah menyampaikan ke masyarakat bahwa tragedi Kanjuruhan belum usai dan belum mendapatkan keadilan,” ujarnya.
    Dermawan menambahkan bahwa hingga kini para pendamping hukum dan keluarga korban masih berusaha agar Komnas HAM menetapkan tragedi tersebut sebagai pelanggaran HAM.
    “Tentu langkah yang akan kita lakukan tetap mendorong Komnas HAM agar menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat dan melakukan proses penyelidikan Pro Yustisia. Tentu pendamping dan keluarga korban tetap akan mengupayakan itu,” ucap dia.
    Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya. 
    Kericuhan pecah setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun, sehingga penonton panik dan berdesak-desakan keluar stadion. 
    Akibatnya, setidaknya 135 orang meninggal dunia, sebagian besar karena sesak napas dan terinjak dalam kepanikan massal. Ratusan lainnya mengalami luka fisik maupun trauma psikologis.
    Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka berasal dari unsur penyelenggara pertandingan maupun kepolisian, termasuk Direktur Utama PT LIB, Ketua Panpel Arema, hingga pejabat kepolisian Polres Malang dan Brimob Polda Jawa Timur.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    akhir September, perdebatan tentang G30S selalu kembali: siapa dalang, versi mana yang benar, film mana yang layak diputar?
    Namun, di tengah hiruk-pikuk tafsir dan propaganda, ada satu hal yang sering tercecer: manusia. Nyawa, martabat, dan akal sehat warga biasa—yang terseret, distigma, ditahan, atau dibunuh—sering hanya jadi catatan kaki.
    Menjaga kemanusiaan sejatinya bukan soal membenarkan satu kubu dan menyalahkan kubu lain. Ini soal standar dasar: hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, proses hukum yang adil, dan kebebasan dari stigma kolektif.
    Ketika negara, media, dan lembaga pendidikan mengajarkan sejarah, pertanyaannya bukan sekadar versi mana yang dipilih, melainkan apakah cara kita bercerita memulihkan martabat korban, membuka ruang kebenaran, dan mendorong pertanggungjawaban.
    Refleksi G30S seharusnya mengajak untuk waspada pada tiga hal: betapa mudahnya kebencian dioperasikan, betapa cepatnya hukum bisa disingkirkan atas nama “stabilitas”, dan betapa lamanya luka sosial bertahan jika kebenaran dan pemulihan ditunda.
    Jika kita sepakat bahwa Pancasila berakar pada kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pekerjaan rumahnya jelas: menolak kekerasan sebagai alat politik, merawat ingatan yang jujur, serta memastikan keadilan dan pemulihan bagi mereka yang selama ini dibungkam.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia modern, bukan hanya karena skala kekerasannya, tetapi juga karena cara negara menutupinya selama puluhan tahun.
    Data yang tersedia memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan angka yang mengerikan.
    Komnas HAM dalam laporan hasil Penyelidikan Pro Justisia tahun 2012 menyatakan terdapat sembilan bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa.
    Jumlah korban jiwa diperkirakan antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang (Robinson,
    The Killing Season
    , 2018; Bevins,
    The Jakarta Method
    , 2020).
    Sementara itu, Amnesty International (dalam
    Friend
    , 2005) melaporkan bahwa pada saat itu ada sekitar satu juta kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.
    Tragedi ini bukan hanya pembantaian massal, melainkan juga proses sistematis penghancuran hak-hak sipil.
    Mereka yang selamat dipaksa menjalani kerja paksa, wajib lapor, kehilangan pekerjaan, dilarang mengakses pendidikan tinggi, bahkan hak politiknya dicabut selama puluhan tahun melalui tanda “ET” (eks-tapol) dalam dokumen kependudukan.
    Efek diskriminasi ini menurun hingga ke anak-cucu korban, menjadikannya bentuk
    collective punishment
    yang jelas bertentangan dengan prinsip hukum HAM internasional.
    John Roosa dalam bukunya
    Dalih Pembunuhan Massal
    (2006) menunjukkan bagaimana peristiwa G30S yang berlangsung singkat kemudian dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi dalih pembenaran untuk operasi pembasmian massal.
    Roosa menekankan bahwa tidak ada bukti komando jelas dari PKI sebagai partai, melainkan tindakan kelompok kecil yang kemudian dimanfaatkan oleh militer, khususnya Jenderal Soeharto, untuk merebut legitimasi kekuasaan.
    Hal senada ditegaskan oleh Robinson (2018), yang menunjukkan bahwa Angkatan Darat memainkan peran sentral dalam mengorkestrasi pembantaian, sementara negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memberikan dukungan politik, logistik, hingga daftar nama target.
    Salah satu propaganda paling efektif adalah fitnah terhadap Gerwani, organisasi perempuan progresif kala itu.
    Seperti dicatat oleh Wieringa, Gerwani dijadikan kambing hitam melalui narasi “kebiadaban seksual” di Lubang Buaya—padahal laporan visum resmi menunjukkan tidak ada bukti penyiksaan seperti pencungkilan mata atau pemotongan alat kelamin.
    Namun, kebohongan yang diproduksi oleh militer itu dibiarkan beredar luas di media, menciptakan histeria moral yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembantaian.
    Laporan
    International People’s Tribunal 1965
    (IPT 65) di Den Haag pada 2015, bahkan menegaskan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini.
    Majelis hakim IPT menilai negara gagal memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk menyampaikan permintaan maaf resmi, membuka akses arsip, melakukan penyidikan, dan memberi reparasi. Namun, hingga kini, rekomendasi tersebut belum direspons serius.
    Luka sejarah ini belum sembuh karena ada tiga alasan mendasar. Pertama, narasi resmi Orde Baru yang menyederhanakan G30S menjadi sekadar “pengkhianatan PKI” masih terus direproduksi, baik melalui buku pelajaran maupun film.
    Kedua, ketiadaan mekanisme akuntabilitas: Kejaksaan Agung berkali-kali menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM dengan alasan “kurang bukti”, padahal bukti-bukti primer dan kesaksian korban berlimpah.
    Ketiga, politik impunitas yang masih kuat: banyak aktor militer dan sipil yang terlibat dalam pembantaian tetap berada dalam lingkaran kekuasaan selama puluhan tahun, membuat pengungkapan kebenaran menjadi tabu.
    Jika refleksi G30S ingin bermakna, maka ini harus berangkat dari nilai kemanusiaan yang universal. Tidak ada ideologi, dalih politik, ataupun alasan stabilitas yang bisa membenarkan pembunuhan massal, penyiksaan, atau diskriminasi lintas generasi.
    Mengakui kebenaran, mendengar suara korban, dan membuka jalan menuju keadilan bukanlah ancaman bagi bangsa ini—justru itu fondasi untuk membangun demokrasi yang sehat.
    Tanpa keberanian menghadapi masa lalu, kita hanya akan terus mewariskan trauma, kebisuan, dan politik kebencian bagi generasi berikutnya.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya tidak hanya soal pembunuhan massal, tetapi juga bagaimana sejarah dijadikan instrumen politik untuk mengontrol masyarakat.
    Sejak awal Orde Baru, narasi resmi dibangun dengan satu tujuan: melegitimasi kekuasaan yang lahir dari darah.
    Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan tayang setiap tahun, buku pelajaran sejarah yang menyederhanakan peristiwa, hingga sensor terhadap karya akademis, semuanya merupakan bagian dari proyek indoktrinasi negara.
    Indoktrinasi sejarah ini juga memelihara stigma. Anak-anak korban, yang bahkan lahir setelah peristiwa, tetap mendapat label “ET” (eks-tapol) dalam KTP orangtuanya. Mereka kesulitan masuk sekolah negeri, dilarang menjadi PNS atau tentara, dan sering diawasi intel.
    Dengan kata lain, sejarah dipakai bukan untuk membangun ingatan kolektif yang sehat, melainkan sebagai senjata diskriminasi lintas generasi.
    Inilah yang disebut Geoffrey Robinson (2018) sebagai “politik kebisuan” (
    politics of silence
    ). Dengan menghapus atau memelintir fakta, negara mencegah masyarakat untuk memahami bahwa tragedi 1965 adalah pelanggaran HAM berat.
    Tanpa kesadaran kritis, publik mudah diarahkan untuk melihat kekerasan massal sebagai sesuatu yang “patriotik” atau “terpaksa”.
    Padahal, justru manipulasi sejarah inilah yang membuat luka kolektif bangsa terus terbuka, karena korban dipaksa bungkam, sementara pelaku tetap bebas tanpa akuntabilitas.
    Maka, refleksi G30S bukan hanya soal membuka fakta kekerasan, melainkan juga membongkar konstruksi sejarah yang menindas.
    Sejarah harus dipulihkan sebagai ruang kebenaran, bukan alat propaganda. Selama narasi resmi dibiarkan mendominasi tanpa koreksi, bangsa ini akan terus hidup dengan warisan ingatan palsu—yang membuat demokrasi rapuh dan nilai kemanusiaan mudah dikorbankan.
    Refleksi atas G30S kehilangan makna apabila nyawa manusia hanya ditempatkan sebagai alat legitimasi politik.
    Di balik jargon ideologi dan klaim stabilitas, terdapat fakta gamblang: ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh tanpa proses hukum, jutaan lainnya dipaksa menjalani penahanan, kerja paksa, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pengucilan sosial yang diwariskan lintas generasi.
    Semua ini terjadi bukan karena “kekacauan” semata, melainkan karena negara secara sadar mengabaikan prinsip dasar kemanusiaan.
    Hukum HAM internasional menegaskan hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan hak atas pengadilan yang adil adalah hak
    non-derogable
    —hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
    Amnesty International (2012) mengingatkan bahwa penundaan penyidikan hanya memperpanjang penderitaan korban.
    International People’s Tribunal 1965 di Den Haag (2015) menegaskan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa impunitas telah menjadi norma, sementara korban terus dipaksa menanggung stigma dan diskriminasi.
    Narasi resmi yang terus direproduksi menunjukkan betapa mudahnya sejarah dipelintir untuk mengaburkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
    Manipulasi semacam ini berfungsi sebagai perpanjangan dari kekerasan itu sendiri: membungkam suara korban, menghapus kesaksian, dan menormalisasi pembantaian sebagai sesuatu yang “wajar”.
     
    Dengan cara itu, nilai kemanusiaan tidak hanya diabaikan, tetapi juga diinjak-injak secara sistematis.
    Nilai kemanusiaan menuntut akuntabilitas. Tidak ada ideologi, kepentingan politik, atau alasan stabilitas yang dapat membenarkan pembunuhan massal maupun diskriminasi struktural lintas generasi.
    Selama kebenaran ditutup dan pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban, luka sosial akan terus terpelihara.
    Tragedi G30S seharusnya menjadi peringatan keras: begitu negara menanggalkan prinsip kemanusiaan, hukum dan moralitas ikut runtuh, dan yang tersisa hanyalah kekerasan yang dilegalkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gelombang Protes di Jerman Menentang Perang-Penguatan Militer

    Gelombang Protes di Jerman Menentang Perang-Penguatan Militer

    Jakarta

    Lebih dari 10.000 orang berkumpul di depan monumen bersejarah Brandenburger Tor Berlin menyerukan “Hentikan genosida di Gaza” juga tema lain seperti Perang Rusia terhadap Ukraina yang melanggar hukum internasional.

    Politisi Sahra Wagenknecht menjadi salah satu penggagas demonstrasi 13 September lalu. Pada Januari 2024 ia mendirikan partai seturut namanya, Bndnis Sahra Wagenknecht (BSW). Selain politisi, beberapa selebritis nampak di atas panggung, termasuk musisi Peter Maffay.

    Menyerukan negosiasi damai, menentang pengiriman senjata

    Kelompok yang beragam menuntut pemerintah federal untuk “secara aktif dan kredibel mendukung negosiasi perdamaian, baik di Timur Tengah maupun di Ukraina”. Selain itu, mereka juga menuntut penghentian pengiriman senjata ke daerah perang secara umum.

    “Kita semua ada di sini karena kita bersuara menentang perang yang tidak manusiawi di dunia ini,” kata Wagenknecht. “Kami juga mengutuk pembantaian mengerikan yang dilakukan Hamas dan penyanderaan.” Namun, tidak ada yang bisa membenarkan “pemboman, pembunuhan, kelaparan, dan pengusiran terhadap dua juta orang di Jalur Gaza, setengahnya adalah anak-anak”.

    Demonstrasi (13/09) adalah awal dari serangkaian demonstrasi yang terjadi di Berlin. Pada Sabtu (27/09) demonstrasi besar digelar di Berlin. Menurut pihak kepolisian diikuti sekitar 50.000 sebagai aksi solidaritas untuk Palestina dan Gaza, dengan tuntutan utama menghentikan perang di Gaza, mengakhiri ekspor senjata Jerman ke Israel, dan mendorong Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada Israel atas dugaan pelanggaran HAM.

    Demonstrasi ini diorganisir oleh aliansi luas kelompok pro-Palestina, organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International Jerman dan Medico International, partai kiri Die Linke, serta komunitas diaspora Palestina dan kelompok budaya. Aksi tersebut diklaim sebagai salah satu protes terbesar di Jerman di tahun 2025.

    Demo masih terfragmentasi

    Mungkinkah aksi demonstrasi di Jerman ini mampu memobilisasi massa dan mempengaruhi perubahan politik? Seperti yang terjadi pada 1980-an, ketika Jerman yang saat itu masih terpecah antara barat dan timur, sekitar setengah juta orang berdemonstrasi di Bonner Hofgarten mengkhawatirkan terjadinya perang nuklir atau seperti pada tahun 2003, setengah juta orang di Berlin orang turun ke jalan memprotes perang Irak.

    “Ini berbeda dengan, misalnya, mobilisasi melawan perang Irak atau gerakan perdamaian yang ada sebelumnya. Saat ini masih relatif terfragmentasi. Namun, itu tidak berarti bahwa hal ini tidak dapat berkembang,” kata Grimm.

    Berupaya menyatukan banyak orang dalam isu wajib militer

    Wagenknecht yang memimpin orasi 13 September lalu sempat menuai kontroversi. Presiden Dewan Pusat Yahudi di Jerman, Josef Schuster, menuduhnya memicu “kebencian terhadap Israel di Jerman” dengan “sikap politis yang cenderung populis”.

    Ketua Partai Kiri, Jan van Aken mengkritik demonstrasi yang digagas BSW, “Menurut saya, kerja politik harus melibatkan sebanyak mungkin orang. Dan bagi saya, hanya mengandalkan beberapa nama saja bukanlah kerja politik.”

    Van Aken dan partainya ingin melakukan hal yang berbeda dalam demonstrasi (27/09), “Kami telah membentuk aliansi khusus dengan organisasi non-pemerintah, dengan organisasi Palestina. Kita harus menyatukan semuanya: orang Israel yang kritis, orang Israel yang beragama Yahudi.”

    Besar dalam gerakan perdamaian di tahun 1980-an, van Aken merasa salah satu isu yang dapat memobilisasi banyak orang adalah pertanyaan tentang wajib militer, “Ini bisa menjadi isu besar karena secara langsung mempengaruhi banyak kaum muda, yang mungkin akan turun ke jalan untuk memprotesnya.”

    Van Aken berharap protes di internet dapat berlanjut ke jalanan. Di internet petisi telah dimulai seorang pemuda: “Tidak ada wajib militer tanpa hak suara bagi kaum muda!”. Hingga 26 September, lebih dari 70.000 orang telah menandatangani petisi tersebut.

    “Jerman adalah negara yang pasifis”

    Partai Kiri menganggap perdebatan wajib militer sebagai salah satu isu terpenting, “Ini akan turut menentukan masa depan militer Jerman,” jelas van Aken. Selama 40 tahun terakhir, kekuatan militer selalu berhasil ditahan. “Jerman adalah negara pasifisme (menolak perang dan kekerasan). Namun saat ini, situasinya berubah,” katanya dengan cemas.

    Peneliti perdamaian dan konflik Jannis Grimm juga berpendapat bahwa protes yang semakin meningkat terhadap gerakan militer, khususnya terhadap kembalinya wajib militer adalah hal yang mungkin terjadi.

    Awalnya, Partai Hijau yang berhaluan pasifislah yang bahkan mendukung pembubaran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) namun kini Partai Kiri dan BSWlah yang mengambil posisi tersebut saat Partai Hijau mulai berubah arah. Banyak anggota Partai Hijau mengatakan, “Menolak segala bentuk kekerasan bersenjata dan militer juga bukan cara untuk melindungi hak asasi manusia dan hukum internasional di dunia.”

    Gerakan perdamaian yang dulunya homogen dan bersatu kini terpecah belah. Yang paling aktif adalah kelompok kiri dan aliansi yang memisahkan diri dari mereka, Bndnis Sahra Wagenknecht (BSW). “Hal ini menyebabkan situasi di mana tidak ada satu pun partai yang secara jelas memiliki keterkaitan dengan aksi di jalanan,” menurut Grimm.

    Protes diperkirakan semakin meningkat. Puncaknya mungkin akan tercapai pada 3 Oktober di Hari Unifikasi Jerman. Pada hari itu, demonstrasi besar-besaran akan berlangsung bersamaan di Berlin dan Stuttgart. Lebih dari 400 inisiatif, organisasi, dan partai menyerukan “Tidak ada lagi perang! Mari berjuang untuk perdamaian!”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Menlu Jerman Soroti Kondisi Gaza: Perang Ini Harus Diakhiri!” di sini:

    (ita/ita)

  • Blak-blakan di Depan Kapolri, Rocky Gerung: Reformasi Tidak Menghasilkan Demokrasi

    Blak-blakan di Depan Kapolri, Rocky Gerung: Reformasi Tidak Menghasilkan Demokrasi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Politik, Rocky Gerung menyebut tak pernah ada reformasi Polri sejak kemerdekaan. Yang ada hanya pemisahan antara tentara dan polisi dari ABRI.

    Dia mempertanyakan mengapa tidak mengevaluasi kondisi yang menyebabkan polisi saat ini dibenci oleh rakyat.

    “Reformasi tidak menghasilkan demokrasi. Terjadi perubahan kelembagaan tapi tidak terjadi perubahan nilai berdemokrasi,” kata Rocky Gerung dalam dialog publik yang digelar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Senin, (29/9/2025).

    Presiden Prabowo Subianto membentuk Komite Reformasi Polri dalam rangka melakukan perbaikan dan reformasi di tubuh Polri. 

    Perbaikan institusi Polri ini berangkat dari kenyataan masih adanya praktek kekerasan dan pelanggaran HAM di tubuh Polri. 

    Kematian Affan yang dilindas oleh kendaraan taktis pada aksi demonstrasi pada akhir Agustus lalu, menyulut amarah masyarakat dari berbagai kalangan. 

    Berbagai tuntutan akan perubahan dan keadilan terus bergulir, salah satunya adalah adanya reformasi Polri.

    Komite Reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo Subianto ternyata tidak akan menjadi lembaga permanen pemerintahan.

    Lembaga ini hanya bersifat ad hoc yakni lembaga yang dibentuk tanpa perencanaan karena alasan mendesak.

    Komite Reformasi Polri akan diisi sekitar tujuh hingga sembilan orang dengan masa kerja enam bulan.

    Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Bambang Eko Suhariyadi menyatakan nama-nama komisioner sudah dikantongi.

    Pelantikan nama-nama itu menunggu instruksi Presiden Prabowo Subianto. (self/fajar) 

  • Tolak Relokasi Warga di TN Tesso Nilo, Pimpinan Komisi XIII: Kami Berpihak pada Rakyat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 September 2025

    Tolak Relokasi Warga di TN Tesso Nilo, Pimpinan Komisi XIII: Kami Berpihak pada Rakyat Nasional 29 September 2025

    Tolak Relokasi Warga di TN Tesso Nilo, Pimpinan Komisi XIII: Kami Berpihak pada Rakyat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso menegaskan akan berpihak pada rakyat dalam menuntaskan polemik di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
    Itu sebabnya, Komisi XIII menolak relokasi warga di TNTN karena dinilai telah melanggar hak asasi manusia (HAM) dan meminta ada Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria.
    “Pertama bahwa tadi sudah disepakati pada posisi ketika ada konflik agraria dengan Taman Nasional Tesso Nilo. Tapi sebenarnya persoalannya dengan Satgas PKH ya, Satgas penertiban Kawasan Hutan, kami berpihak pada rakyat,” kata Sugiat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2025).
    Sugiat menuturkan, pihaknya tidak ingin rakyat yang sudah puluhan tahun tinggal di kawasan tersebut menjadi korban dari kebijakan ini.
    “Karena kan pasti ketika rakyat dipaksakan untuk melakukan relokasi, banyak sekali yang mereka korban, bukan hanya dalam konteks ekonomi ya, tapi dalam konteks sosial budaya, dalam konteks sejarah, dalam konteks kesejahteraan,” jelasnya.
    Dengan demikian, Sugiat menyebut bahwa relokasi warga di TNTN sudah mengarah pada pelanggaran HAM.
    “Dan itu perspektifnya sudah mengarah pada pelanggaran HAM,” tambah Sugiat.
    Menurutnya, masih ada cara lain untuk menertibkan puluhan hektar di sana, bukan justru dengan merelokasi warga.
    “Saya pikir masih banyak lagi yang bisa ditertibkan oleh Satgas PKH, misalnya dengan puluhan hektar yang selama ini dikelola oleh korporat dan itu ternyata ilegal, melanggar aturan. Saya pikir prioritasnya ke situ saja dulu. Jangan langsung prioritasnya ke rakyat kan,” jelasnya.
    Sugiat mengatakan, masyarakat di sana sudah lebih dahulu tinggal sebelum ditetapkannya Taman Nasional Tesso Nilo.
    Sebagai informasi, ada masalah agraria berupa konflik tenurial atau penguasaan lahan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau.
    Kejaksaan Agung melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menemukan luas TN Tesso Nilo tergerus.
    Tahun 2014, seluas 81.739 hektar kemudian menyusut berganti kebun-kebun kelapa sawit.
    Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencatat, 40.000 hektar kawasan hutan TNTN telah dibuka lalu ditanami sawit secara ilegal.
    “TNTN menjadi target strategis Presiden dalam program pemulihan kawasan hutan, yang hasil awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus 2025. Kami didukung oleh seluruh elemen, termasuk eselon I Kemenhut, untuk merehabilitasi kawasan hutan dengan pendekatan komprehensif dan humanis,” ucap Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).
    Di sisi lain, banyak warga yang telah menempati kawasan TN Tesso Nilo selama lebih dari dua dekade secara legal dan memiliki bukti kepemilikan lahan yang sah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.