Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Meski pro dan kontra mengemuka, Kementerian Sosial RI resmi turut mengusulkan nama Presiden Kedua RI, Soeharto, sebagai salah satu pahlawan nasional pada 21 Oktober 2025.
Usulan tersebut diserahkan kepada Kementerian Kebudayaan yang kini memegang mandat untuk menetapkan gelar pahlawan nasional atas usulan yang diberikan.
Menteri Sosial RI, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, usulan Soeharto jadi ”
National Hero
” sudah melalui proses panjang.
Dia mengatakan, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah dia terima sejak menjabat sebagai Menteri Sosial.
“Jadi ini juga sudah dibahas oleh tim secara sungguh-sungguh. Berulang-ulang mereka melakukan sidang, telah melalui proses itu,” kata Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional sebenarnya bukan kali pertama mencuat.
Catatan
Kompas.com
, usulan ini juga pernah digaungkan oleh elit politik partai Golkar yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR-RI, Ade Komarudin pada 2016 silam.
Ade mengatakan, Soeharto banyak berbakti pada bangsa, terllepas dari kekurangan yang ada.
Wacana ini kemudian terus bergulir dari tahun ke tahun, bahkan sempat menjadi dagangan politik untuk Partai Berkarya jelang pemilihan umum 2019.
DPP Partai Berkarya Badarudin Andi Picunang mengikrar janji, jika partai pecahan Golkar itu masuk Senayan, maka usulan Soeharto jadi pahlawan nasional bisa diperjuangkan lebih kuat lagi.
Kini usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mencuat. Partai Golkar konsisten mendukung usulan tersebut.
Golkar yang besar dan dibesarkan Soeharto itu mendorong agar Soeharto bisa menjadi nama yang bersanding dengan pahlawan-pahlawan nasional lainnya karena memiliki jasa yang besar.
“Perdebatan soal pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto tentu wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar bagi bangsa ini,” kata Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, Selasa (21/10/2025).
Sarmuji menilai, generasi muda saat ini mungkin tidak dapat membayangkan kondisi ekonomi Indonesia sebelum Soeharto memimpin.
Dia menyebut, dulu, kondisi rakyat sebenarnya kesulitan pangan.
“Dari kisah orangtua kami dan catatan sejarah, kondisi saat itu sangat berat, banyak rakyat yang kesulitan memperoleh pangan,” ucap dia.
Setelah Soeharto memimpin, ada perubahan besar dalam waktu relatif singkat, terutama di bidang ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi.
“Di bawah kepemimpinan Pak Harto, situasi itu berubah drastis. Indonesia bukan hanya keluar dari krisis pangan, tetapi juga sempat mencapai swasembada yang membanggakan,” kata Sarmuji.
Namun suara lantang penolakan Soeharto sebagai
National Hero
tak kalah konsisten, datang dari para pegiat HAM, aktivis, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Politikus PDI-P, Guntur Romli mengatakan, gelar “hero” untuk Soeharto akan menimbulkan stigma gerakan reformasi sebagai ”
villain
“, penjahat, atau musuh dari pahlawan.
Para korban khususnya mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi pada 1998 akan dianggap sebagai penjahat dan pengkhianat.
“Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Guntur saat dihubungi, Kamis (23/10/2025).
Dia menilai pemberian gelar itu juga akan mengaburkan sejumlah catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi sepanjang masa Orde Baru.
Guntur menyebut negara telah mengakui sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di masa pemerintahan Soeharto, mulai dari peristiwa 1965–1966 hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhan rezim pada 1998.
“Kalau Soeharto diangkat pahlawan, maka peristiwa-peristiwa yang disebut pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumah Geudong, Penghilangan Paksa 1997–1998, Trisakti, Semanggi I dan II, hingga Kerusuhan Mei 1998 bukan lagi pelanggaran HAM, tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru saat itu,” tutur Guntur.
Belum lagi usulan ini disejajarkan dengan para tokoh yang menentang Orde Baru dan kepemimpinan Soeharto, seperti Marsinah, dan Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
“Saya miris, untuk mengangkat Soeharto jadi pahlawan, tapi seakan-akan nama seperti Gus Dur dan Marsinah dijadikan barter. Padahal Gus Dur dan Marsinah dikenal melawan Soeharto dan Orde Baru,” kata Guntur.
Selain melanggar HAM, Soeharto secara spesifik disebut dalam TAP MPR 11/1998 atas perlakuan nepotisme dan tindakan korupsi.
TAP MPR itu mengatakan:
”
Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia
,”
Namun TAP MPR tersebut kini telah berubah, dan nama Soeharto menghilang.
Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pencabutan itu tak lantas membuat Soeharto layak menjadi pahlawan nasional.
Karena meski dibebaskan secara politis atas dugaan nepotisme dan korupsi, nama Soeharto berkelindan dengan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Pada sekitar Mei sampai dengan Juni, kami bahkan telah menyerahkan kepada Kementerian Kebudayaan maupun kepada Kementerian Sosial terkait catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, di mana kita tahu terdapat 5-6 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Orde Baru, dan itu disebabkan karena rezim pada saat itu menggunakan kekuatan militer untuk melakukan kekerasan,” kata Wakil Koordinator Kontras, Andrie Yunus, Kamis.
Selain itu, kaitan erat dengan nepotisme di masa Orde Baru, sudah sepantasnya Soeharto tidak memenuhi syarat pemberian gelar pahlawan.
“Dari syarat-syarat tersebut yang juga tidak terpenuhi, kemudian catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di era Soeharto, kami tegaskan kembali bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan gelar pahlawan,” ujar dia.
Catatan Kompas.com, terdapat beberapa kejahatan kemanusiaan yang terjadi saat Soeharto memimpin. Pertama, kasus Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985 dengan perintah langsung Soeharto untuk menghukum mati para bromocorah hingga preman tanpa proses peradilan.
Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat bahwa korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.
Kedua, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987. Soeharto disebut menggunakan militer sebagai instrumen kebijakan politiknya.
Akibat dari kebijakan ini, dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih dari 24 orang meninggal, 36 terluka berat, dan 19 luka ringan.
Ketiga, peristiwa Talangsari 1984-1987 yang menyebabkan 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran paksa, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.
Keempat, peristiwa 27 Juli 1996 atau lebih dikenal dengan peristiwa Kudatuli yang mencoba mendongkel Megawati sebagai Ketua DPP PDI saat itu.
Peristiwa ini menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan.
Kemudian, ada peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang juga terjadi perkosaan massal, dan penculikan para aktivis.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: Pelanggaran HAM
-

Bikin Ketar-ketir Koruptor, Natalius Pigai Usul Korupsi Dimasukkan sebagai Pelanggaran HAM
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, kembali membuat terobosan hukum yang dianggap bakal jadi perhatian dunia.
Ia mengusulkan agar tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dikatakan Natalius, rancangan usulan tersebut telah rampung dan siap diserahkan ke DPR RI untuk dibahas lebih lanjut.
“Pasalnya sudah ada, tinggal kami serahkan ke DPR. Mudah-mudahan ada doa supaya DPR mengesahkan,” ujar Natalius di kantor Kementerian HAM, Jakarta.
Natalius menilai, langkah ini bisa menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang secara tegas menghubungkan korupsi dengan pelanggaran HAM.
“Kami kan di seluruh dunia tidak ada loh, dalam induk undang-undang hak asasi manusia itu ada korupsi dan HAM,” Natalius menuturkan.
“Induk undang-undangnya ya, instrumen undang-undang sebuah negara itu belum ada. Kami baru pertama yang mengkaitkan antara korupsi dan HAM,” tambahnya.
Dijelaskan mantan Komisioner Komnas HAM itu, korupsi dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM apabila dilakukan dalam situasi darurat dan berdampak langsung terhadap keselamatan warga negara.
“Misalnya dalam suasana COVID atau satu pulau kena dan dia dinyatakan oleh para ahli bahwa kalau dalam satu minggu tidak ditangani pemerintah, tidak dikasih makan, maka orang mati semua,” imbuhnya.
“Ini contoh ya, orang mati semua. Lalu ada pemerintah punya anggaran besar, wajib ngasih, kan gitu,” sambung dia.
Ia menggambarkan bila tiba-tiba anggaran diembat oknum sehingga suplai makanannya terhenti.
-

Mahfud MD Kebut Undang-Undang KKR Masuk Prolegnas
JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD berupaya untuk menghidupkan kembali Undang-undang terkait Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan komisi ini, disebut Mahfud akan mengusut kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang belum terselesaikan.
Kendati sempat dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006. Upaya Mahfud kini berlanjut dengan memasukkan UU tersebut dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) ke DPR pada tahun 2020.
“Harus masuk prolegnas dulu dong. Ini prolegnas belum jadi sudah bicara materi, gimana sih? Kan prolegnas masih akan disahkan tanggal 18 Desember berlaku tahun 2020,” kata Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, 25 November.
Setelah masuk ke Prolegnas 2020, barulah proses pembahasan soal undang-undang tersebut akan segera dilaksanakan. “Setelah itu masuk prolegnas, urusan pembahasan,” tegasnya.
Dalam melakukan perumusan komisi ini, Mahfud mengatakan pihaknya bakal mengajak keluarga korban dan koalisi masyarakat sipil. Tujuannya, agar pelanggaran HAM di masa lalu bisa segera diselesaikan.
“Semua akan kita dengar akan tetapi semua harus fair. Fair artinya harus terbuka. Jangan ngotot-ngotot, sudah tidak bisa masih aja ngotot gitu,” ungkapnya.
Komnas HAM yang sempat melakukan pertemuan pada sore ini, juga mengatakan sempat membahas soal komisi tersebut. Ketua Komnas HAM Andi Taufan Damanik mengatakan, pihaknya telah memberikan masukan kepada Mahfud MD dalam pertemuan yang berjalan selama 1,5 jam tersebut.
“Misalnya korban, keluarga korban harus diajak bicara. Itu penting. Kemudian nanti harus dipilih formulanya seperti apa,” kata Taufan kepada wartawan.
Selain soal mengajak pihak keluarga dan korban penyintas pelanggaran HAM, dia menilai, Mahfud harus memilih formula yang tepat untuk kinerja KKR ke depan. Termasuk soal kasus seperti apa yang nantinya bisa diproses secara yudisial di pengadilan.
Sebelumnya, KKR ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004. Namun, pada tahun 2006 yang lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie membatalkan perundangan tersebut. Sebab, undang-undang ini dianggap tak memiliki konsistensi sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Namun tak hanya melakukan pembatalan, MK sebenarnya meminta agar UU KKR baru yang sejalan dengan UUD 1945 dan menjunjung tinggi prinsip hukum humaniter dan hukum HAM kembali dibentuk.
Berdasarkan laman dpr.go.id, usulan UU KKR sebenarnya sempat masuk pada pembahasan tingkat II pada Prolegnas tertanggal 2 Februari 2015. Hanya saja pembahasan RUU itu, entah bagaimana tidak mendapat persetujuan dalam rapat Paripurna dan menguap begitu saja hingga sekarang.
-

Pembuat Spyware Pegasus Dilarang Retas WhatsApp: Terancam Gulung Tikar
Jakarta –
Pengadilan federal Amerika Serikat resmi menjatuhkan pukulan telak kepada NSO Group, perusahaan spyware asal Israel yang dikenal lewat perangkat mata-mata Pegasus. Dalam putusan setebal 25 halaman, Hakim Distrik AS Phyllis Hamilton mengeluarkan perintah permanen yang melarang NSO untuk kembali menargetkan layanan WhatsApp milik Meta.
Langkah ini merupakan akhir dari gugatan hukum yang sudah berlangsung enam tahun. Meta menuduh NSO mengeksploitasi celah keamanan WhatsApp untuk melakukan penyadapan terhadap aktivis, jurnalis, hingga pejabat pemerintahan di berbagai negara.
WhatsApp sendiri merupakan salah satu aplikasi komunikasi paling populer di dunia, dan menjadi sasaran utama Pegasus karena dipasang di miliaran perangkat, demikian dikutip detikINET dari Reuters, Minggu (19/10/2025).
Yang menarik, hakim tidak hanya memutuskan soal larangan tersebut, tetapi juga memangkas drastis nilai hukuman finansial untuk NSO. Hukuman ganti rugi yang semula mencapai sekitar USD 167 juta (lebih dari Rp 2,6 triliun) dipotong menjadi USD 4 juta saja. Meski demikian, aspek larangan permanen dipandang jauh lebih berat bagi kelangsungan bisnis mereka.
Dalam putusan itu, NSO sebelumnya mengakui bahwa larangan tersebut dapat “mengancam seluruh operasional perusahaan” dan bahkan “memaksa NSO tutup.” Selama ini mereka berdalih produk mereka digunakan untuk memerangi kejahatan serius dan terorisme, bukan untuk penyalahgunaan.
Meta menyambut kemenangan ini dengan nada tegas. “Putusan ini melarang NSO menargetkan WhatsApp dan seluruh pengguna kami di dunia,” ujar Head of WhatsApp, Will Cathcart, di platform X. Ia menyebut keputusan ini sebagai penegasan bahwa pelaku peretasan terhadap warga sipil tak akan lolos dari tanggung jawab.
Meski menghadapi tekanan hukum, NSO menegaskan bahwa putusan tersebut tidak berlaku untuk para pelanggannya — termasuk lembaga-lembaga pemerintah yang menggunakan teknologi perusahaan untuk kebutuhan keamanan. NSO juga masih mempertimbangkan langkah lanjutan terhadap putusan pengadilan.
Dalam perkembangan terbaru, NSO dikabarkan baru saja diakuisisi oleh konsorsium investor asal AS yang dipimpin produser Hollywood, Robert Simonds. Namun pihak pembeli belum memberikan komentar terkait dampak putusan ini terhadap masa depan perusahaan.
Dengan adanya larangan permanen ini, masa depan Pegasus dan operasi NSO di pasar global semakin dipertanyakan, terlebih reputasi mereka sudah lama dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan pengawasan digital.
(asj/asj)
-

Komisi XIII DPR: Sosialisasi HAM di Medan upaya perkuat nilai norma
“Sosialisasi tersebut bertujuan agar masyarakat lebih mengetahui makna dan arti HAM tersebut, serta jika ada terjadi pelanggar HAM telah mengetahui untuk dilaporkan ke instansi terkait,”
Medan (ANTARA) – Anggota Komisi XIII DPR RI Kombes Pol (Purn) Maruli Siahaan mengatakan sosialisasi hak asasi manusia (HAM) di Medan, Sumatera Utara, sebagai upaya perkuat terhadap perspektif penanaman penghayatan nilai norma melalui individu.
“Sosialisasi tersebut bertujuan agar masyarakat lebih mengetahui makna dan arti HAM tersebut, serta jika ada terjadi pelanggar HAM telah mengetahui untuk dilaporkan ke instansi terkait,” ujar Maruli di Medan, Sabtu.
Ia mengatakan sosialisasi HAM yang diikuti sekitar 500 warga Medan itu, diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata untuk diterapkan di lingkungan tempat tinggal.
Lebih lanjut, ia mengatakan, masyarakat yang telah mendapatkan bekal terkait HAM tersebut dapat menyampaikan ke warga lainnya tentang arti dari HAM, serta meningkat kesadaran secara berkelanjutan.
Maruli menjelaskan materi yang disampaikan tentang HAM yakni hak melekat pada manusia sejak lahir yang wajib dihormati dan dilindungi yang merujuk Pasal 1 ayat 1 UU No 39 Tahun 1999.
Kemudian aspek tanggung jawab negara dalam P5HAM di antaranya penghormatan untuk memastikan warga negara saling menghormati hak asasi, perlindungan tentang melindungi warga dari pelanggaran HAM, pemenuhan tentang memastikan hak-hak warga terpenuhi, penegak terkait mengupayakan penegakan hukum dan pemulihan pada korban pelanggaran.
“Penekanannya bahwa penegakan HAM memerlukan sinergi antarpemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat sipil, serta lembaga seperti Komnas HAM sebagai instrumen penting,” ucapnya.
Untuk itu, ia mengatakan, pihaknya juga bekerja sama dengan Kantor Wilayah Kementerian HAM Sumut terkait sosialisasi kepada masyarakat Medan tersebut.
“Mari kita jadikan HAM sebagai fondasi bersama dalam mewujudkan bangsa yang bermartabat dan beradab yang lebih baik lagi,” ucapnya.
Pewarta: M. Sahbainy Nasution
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Video: Kata Komnas HAM soal Pigai Sebut Keracunan MBG Bukan Pelanggaran HAM
Video: Kata Komnas HAM soal Pigai Sebut Keracunan MBG Bukan Pelanggaran HAM
-
/data/photo/2025/09/05/68babeaac05ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Komnas HAM Beri Skor 57,8 untuk Polri, karena Apa? Nasional 8 Oktober 2025
Komnas HAM Beri Skor 57,8 untuk Polri, karena Apa?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan penilaian 57,8 untuk institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam penilaian hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Komisioner Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menjelaskan bahwa nilai tersebut diperoleh dari akumulasi penilaian enam elemen kunci dengan melibatkan para pakar.
“Dari
expert
memberikan nilai 57,2, sedangkan dari komisioner memberikan nilai 58,8, sehingga nilai akhir berjumlah 57,8,” ucap Semendawai dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM RI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/10/2025).
Menurut hasil penilaian ini, ditemukan bahwa masih banyak terjadi peristiwa yang membatasi hak berpendapat dan berekspresi.
Polri juga masih menjadi institusi yang paling banyak diadukan terkait dugaan pelanggaran HAM secara umum di Komnas HAM.
“Berdasarkan data Komnas HAM, pada 2021-2023 terdapat 28 pengaduan dugaan pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi,” tutur Semendawai.
Atas dasar temuan itu, Komnas HAM juga memberikan kesimpulan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekrtonik sering digunakan untuk menuntut individu terkait kritik terhadap pemerintah.
Hal ini terimplementasi pada kebijakan patroli siber yang dinilai mengurangi kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial.
“Kebijakan yang diterapkan oleh Polri cenderung berorientasi melakukan penindakan dan pembatasan kebebasan berekspresi, sehingga menghambat ruang bagi individu atau kelompok untuk menyampaikan kritik atau pendapat secara terbuka,” ucap Semendawai.
Penilaian tersebut juga berisi rekomendasi agar polisi bisa mendapat peningkatan pemahaman terkait hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Kepolisian bersama dengan pemerintah dan DPR juga perlu mengevaluasi peraturan yang membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi secara berlebihan,” tutur Semendawai.
Diketahui, Komnas HAM mengeluarkan hasil penilaian HAM pada tahun 2024 terhadap tujuh kementerian/lembaga.
Kementerian Komunikasi dan Digital mendapat nilai 58,0, Kepolisian Republik Indonesia (57,8), Kementerian Dalam Negeri (69,4), Kementerian Kesehatan (62,9), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (66,9), Kementerian Ketenagakerjaan (54,0), dan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (59,5).
Rentang nilai yang digunakan adalah 40-100, kategori sangat tinggi ada di rentang angka 81-100, kategori tinggi 71-80, kategori cukup 61-70, dan kategori rendah 40-60.
Penilaian ini dimulai pada awal 2024 dan diterbitkan pada Oktober 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/08/15/689ecd174d71e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/10/22/68f822d6e1922.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/06/68e30e7fbac37.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)