Topik: Pelanggaran HAM

  • Tak Ada Bukti Genosida, Fadli Zon Sebut Soeharto Penuhi Syarat Dapat Gelar Pahlawan Nasional

    Tak Ada Bukti Genosida, Fadli Zon Sebut Soeharto Penuhi Syarat Dapat Gelar Pahlawan Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa Presiden ke-2 RI Soeharto memenuhi seluruh syarat untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional, setelah melalui proses kajian berlapis yang dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari daerah hingga tingkat pusat.

    Pernyataan itu disampaikan Fadli usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (5/11/2025).

    Menanggapi pandangan sejumlah pihak, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menyebut adanya dugaan pelanggaran HAM berat terkait Soeharto, Fadli menilai hal tersebut sebagai bagian dari masukan yang tetap harus dihormati. 

    “Ya, saya kira itu sebagai masukan ya, masukan. Tapi kita kan melihat jasa-jasanya yang luar biasa. Karena tadi semua 49 nama ini adalah jasa-jasa orang-orang yang sudah dipertimbangkan dengan masak melalui kajian, mereka berjasa luar biasa gitu. Makanya diusulkan, kalau tidak tidak mungkin diusulkan. Jadi soal memenuhi syarat, itu memenuhi syarat,” ujar Fadli.

    dia menjelaskan, proses penilaian terhadap tokoh calon penerima gelar Pahlawan Nasional dilakukan secara berlapis, mulai dari tingkat kabupaten dan kota, provinsi, hingga Tim Peneliti, Pengkaji, dan Penilai Gelar Pahlawan Nasional (TP2GP) yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat.

    “Yang mengatakan memenuhi syarat itu bukan hanya dari GTK. Dari kabupaten, kota, dari provinsi, dari TP2GP yang di dalamnya juga ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi memenuhi syarat dari bawah. Dari beberapa layer itu sudah memenuhi syarat. Enggak ada masalah dan itu datangnya dari masyarakat juga,” jelasnya. 

    Fadli menilai bahwa Soeharto memiliki jasa besar dalam sejarah perjuangan bangsa, terutama saat memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949, yang menjadi titik penting dalam pengakuan internasional terhadap eksistensi Republik Indonesia.

    “Beliau memimpin Serangan Umum 1 Maret. Itu sebagai contoh, 1 Maret itu serangan besar, Serangan Umum 1 Maret itu salah satu yang menjadi tonggak Republik Indonesia itu bisa diakui oleh dunia,” kata Fadli.

    Menurutnya, peran Soeharto dalam operasi pembebasan Irian Barat juga menjadi catatan penting atas kontribusinya terhadap keutuhan wilayah Indonesia.

    Sementara itu, menanggapi pandangan sebagian pihak yang menuding Soeharto terlibat dalam kejahatan kemanusiaan atau genosida pasca peristiwa 30 September 1965, Fadli menegaskan tidak ada bukti yang bisa membenarkan tuduhan tersebut.

    “Tidak pernah ada buktinya kan, Tidak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Tidak ada. Saya kira enggak ada itu,” tegasnya.

    Selain membahas soal penganugerahan gelar pahlawan, Fadli juga menyampaikan bahwa dalam rapat terbatas, Presiden Prabowo menekankan pentingnya peran keraton dan kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai bagian dari warisan budaya nasional yang harus dijaga dan direvitalisasi.

    “Pak Prabowo juga tadi, Pak Presiden menyampaikan bahwa perlu istana-istana, keraton-keraton, kerajaan-kerajaan untuk diperhatikan, diperbaiki, direnovasi, direvitalisasi. Beliau sangat peduli bahwa ini adalah warisan budaya yang penting, cagar-cagar budaya yang penting,” tandas Fadli.

  • KemenHAM Sebut Revisi UU HAM untuk Perkuat Peran Komnas HAM

    KemenHAM Sebut Revisi UU HAM untuk Perkuat Peran Komnas HAM

    Jakarta

    Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) memastikan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bukan untuk melemahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). KemenHAM menyebut revisi itu untuk memperkuat peran lembaga Komnas HAM.

    “Pada prinsipnya, komitmen untuk memperkuat peran Komnas HAM sudah disampaikan langsung oleh Bapak Menteri. Pembahasan revisi ini justru diarahkan agar Lembaga HAM termasuk Komnas HAM lebih efektif dalam menjalankan mandatnya,” ujar Sekretaris Jenderal KemenHAM, Novita Ilmaris, kepada wartawan, Rabu (5/11/2025).

    Novita menerangkan nantinya revisi UU HAM ini akan melibatkan banyak pihak termasuk pakar HAM, akademisi, masyarakat sipil, Lembaga HAM, jajaran Kementerian hingga mantan pimpinan Komnas HAM. Dia menyebut pembahasan revisi UU HAM ini masih dinamis.

    “Selain jajaran Kementerian HAM, kita juga melibatkan banyak pihak, silakan bisa dicek jejak digitalnya, beberapa pembahasan yang kita lakukan dengan melibatkan semua unsur termasuk Komnas HAM pun hadir saat pembahasan, sekali lagi rancangan RUU ini masih bergerak atau dinamis,” katanya.

    Seperti diketahui sebelumnya, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai juga sudah berbicara mengenai revisi UU HAM ini pada Januari lalu. Pigai mengusulkan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

    Pigai mengatakan salah satu hal yang akan dibahas dalam undang-undang tersebut adalah restitusi dan rehabilitasi korban-korban pelanggaran HAM masa lalu.

    “Lalu selanjutnya adalah bagaimana restorasi, terutama program-program remedial. Bantuan-bantuan restitusi dan rehabilitasi bagi korban-korban dalam berbagai konflik pada masa lalu,” ujar Pigai.

    (whn/whn)

  • Koalisi Sipil Gugat UU TNI, Ini Empat Poin yang Berpolemik

    Koalisi Sipil Gugat UU TNI, Ini Empat Poin yang Berpolemik

    Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil di Indonesia kompak menggugat UU Tentara Negara Indonesia (TNI), karena berpotensi melemahkan hak asasi manusia.

    Kelompok masyarakat menilai bahwa peran ganda yang dimiliki militer, bahkan bisa masuk ke ranah teknologi, hingga keamanan teknologi dan keamanan siber, membahayakan kebebasan berpendapatan, terutama ketika ada masyarakat yang menyampaikan pendapatnya di media sosial. Kondisi ini juga bisa menimbulkan pemerintahan yang antikritik dan pelanggaran HAM dalam menyampaikan pendapat.

    Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Selasa (04/11/2025) siang, bersama perwakilan masyarakat sipil.

    Permohonan perkara yang diajukan oleh Mochamad Adli Wafi melalui Kuasa Hukum Daniel Winarta, dengan nomor perkara 197/PUU-XXIII/2025 memperkarakan UU TNI terbaru karena dinilai tidak sesuai dengan Konstitusi UUD 1945, serta berpotensi melemahkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), dan semangat reformasi di bidang keamanan. 

    Menurut pemohon, UU TNI yang menjadi isu hangat di awal tahun 2025 dinilai bermasalah pada empat aspek utama, yakni tugas pokok TNI, hubungan sipil-militer, usia pensiun perwira tinggi TNI, dan akuntabilitas pelanggaran hukum yang melibatkan anggota TNI.  

    Sidang terbuka yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan didampingi Ridwan Mansyur beserta Arsul Sani turut dihadiri oleh para prinsipal Annisa Yuda dari Perkumpulan Imparsial, Bayu Wardana dari Aliansi Jurnalis Indonesia, Mochamad Adli Wafi, dan Ikhsan Yosarie.

    Empat Pokok Perkara dalam UU TNI terbaru:

    1. Keterlibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

    Para pemohon menilai, dalam UU TNI terbaru mengatur TNI dalam operasi militer selain perang, khususnya membantu tugas pemerintah di daerah dan menanggulangi ancaman siber dinilai bertentangan dengan UUD 1945. 

    Aturan tersebut akan membuka TNI semakin terlibat dalam ranah keamanan sipil, seperti urusan teknis keamanan siber, dan penanganan konflik sosial seperti pemogokan dan konflik komunal yang bersimpangan dengan aturan konflik sosial dalam UU Nomor 7 Tahun 2012. Di sini, pemogokan adalah salah satu kebebasan ekspresi yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28E. Sedangkan konflik komunal yang terdapat dalam UU TNI terbaru dinilai pemohon tidak memiliki batasan yang jelas. Konflik sosial yang diatur dalam UU 7/2012 mengatur bantuan TNI hanya bisa dilakukan berdasarkan pengajuan dari Pemda ke Presiden.

    2. Pelanggaran Prinsip Check and Balance dari DPR RI

    UU TNI yang terbaru dinilai pemohon akan melanggar prinsip check and balance antara eksekutif (Presiden) sebagai penguasa tertinggi TNI, dan legislatif (DPR) sebagai pengontrol pembuatan kebijakan. UU TNI yang baru disebut dapat menghilangkan kontrol DPR dalam pelaksanaan OMSP, yang melanggar UUD 1945 pasal 10 dan 11.

    3. Keterlibatan Prajurit Aktif di Lembaga Sipil

    Sidang ini mempersoalkan UU TNI terbaru yang membolehkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan Sekretariatan Presiden, Kejaksaan RI, dan BNN. Ketiga jabatan tersebut berpotensi membuka kembali Dwifungsi ABRI dan menyimpang dari fungsi pertahanan negara. Terlebih, Kejaksaan diatur sebagai lembaga penegak hukum sipil yang tidak bisa diintervensi militer. Keterlibatan TNI dalam Kejaksaaan akan mengancam independensi Kejaksaan dan supremasi sipil.

    4. Penambahan Usia Pensiun Perwira Tinggi

    UU TNI yang terbaru dinilai para pemohon akan membuat diskriminasi terhadap perwira pertama dan menengah karena menyempitkan peluang jabatan strategis. Hal ini berlawanan dengan UUD 1945 pasal 27(1) dan 28D(3) yang menjunjung kesetaraan dalam hukum dan pemerintahan serta kesempatan yang sama dalam pemerintahan atau militer.

    Dalam persidangan ini, para hakim memberikan tanggapan kepada para pemohon berupa nasehat perbaikan untuk membangun kembali tuntutan yang lebih rinci dan lebih kuat argumentasinya dalam berkas permohonan.

    Hakim Saldi Isra, menyampaikan perihal yang kurang dielaborasikan. Salah satunya adalah bagian apa saja dalam undang-undang yang menyimpang dari semangat reformasi. Beliau juga menambahkan penjelasan berupa perbandingan karakteristik TNI dengan tentara negara-negara lain.

    Selain itu, majelis hakim menilai petitum permohonan, yaitu harapan para pemohon, turut mendapatkan komentar dari para hakim. Para hakim meminta untuk beberapa petitum digabungkan, dan ditambahkan beberapa berita negara yang relevan.

    Para hakim juga memperhatikan legal standing para pemohon yang dinilai belum cukup kuat. Legal standing para pemohon masih kurang tersambung, yaitu antara pasal-pasal yang ingin diuji dengan kejadian inkonstitusional, karena membuat permohonan menjadi kurang jelas. (Stefanus Bintang)

  • Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jelang penetapan gelar pahlawan pada 10 November 2025 mendatang, ramai petisi yang ditandatangani untuk menolak gelar tersebut diberikan kepada mantan Presiden RI ke-II Soeharto.
    Namun ternyata, ada juga petisi yang mendukung pemberian gelar, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.
    Di situs
    change.org
    , penolakan gelar pahlawan untuk
    Soeharto
    ditandatangani oleh belasan ribu masyarakat. Adapun petisi tersebut dibuat oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025 lalu mendapatkan dukungan sebanyak 12.849 tanda tangan.
    Selain itu, petisi lain yang menolak Soeharto memperoleh gelar pahlawan juga dibuat pada 25 Oktober 2025, dan memperoleh 909 tanda tangan.
    Ada juga petisi pada 22 Oktober 2016 dengan perolehan dukungan sebanyak 1.806 tanda tangan.
    Di sisi lain, dukungan juga muncul dalam petisi yang dibuat pada 27 Oktober 2022 dengan jumlah dukungan sebanyak 143 tanda tangan.
    Lalu, petisi dukungan gelar pahlawan untuk Soeharto juga dibuat pada 2 Mei 2025 dengan jumlah dukungan hanya 9 tanda tangan.
    Kemudian, pada 14 April 2025 dukungan gelar pahlawan juga ditandatangani oleh 13 tanda tangan.
    Akademisi dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Romo Franz Magnis-Suseno, SJ, menegaskan bahwa meskipun mendiang Presiden Soeharto memiliki sejumlah jasa besar bagi bangsa, hal tersebut tidak cukup untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional.
    Magnis mengakui, Soeharto merupakan sosok yang berperan penting membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi pada akhir masa Demokrasi Terpimpin serta berhasil menstabilkan kondisi politik dan ekonomi di awal pemerintahan Orde Baru.?
    “Tidak disangkal sama sekali bahwa Soeharto adalah seorang presiden yang hebat. Soeharto yang membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi setelah tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin,” ujar Romo Magnis di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Ia juga mengakui, di masa Soeharto, Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan internasional dan memainkan peran penting di kawasan Asia Tenggara.
    “Saya kira sangat penting bahwa beliau sejak semula menolak konfrontasi dengan Malaysia, dan sebaliknya menjadikan Indonesia bagian dari ASEAN yang bersahabat, bukan menakutkan,” kata Magnis.
    Dalam petisi yang dibuat oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025, disebutkan bahwa Soeharto melakukan tindakan pelanggaran berat diantaranya Peristiwa Pulau Buru (1965-1966), Peristiwa ‘Petrus’ 1981-1983, Peristiwa Tanjung Priok 1984-1987, Kebijakan DOM (Aceh 1989-1998 dan Papua 1963-2003), dan Peristiwa 27 Juli 1996.
    Hal ini berdasarkan temuan Tim Kajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
    Tim Kajian, Komnas HAM juga telah melakukan penyelidikan pro-yustisia sesuai dengan Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
    Penyelidikan pro-yustisia telah dilakukan atas berbagai peristiwa yang di antaranya turut mencakup peristiwa yang dikaji oleh Tim Kajian dan telah ditemukan adanya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa-peristiwa tersebut.
    Di sisi lain, Mahkamah Agung menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum melalui putusan No. 140 PK/Pdt/2015 dan diwajibkan membayar uang sebesar 315 juta dollar AS dan Rp 139,4 miliar kepada Negara.
    Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin dunia paling korup di dunia di abad ke-20.
    Soeharto menduduki peringkat pertama dengan jumlah aset yang dikorupsinya sebesar 15-35 Miliar Dollar AS.
    Meskipun Soeharto tidak pernah dipidana, hal ini tidak berarti bahwa Soeharto tidak bersalah. Pasalnya, proses hukum tersebut dihentikan pada 2006 akibat kondisi kesehatan Soeharto yang memburuk.
    Romo Magnis menilai, rekam jejak kelam Soeharto di bidang hak asasi manusia dan korupsi sistematis membuatnya tidak pantas dianugerahi
    gelar pahlawan nasional
    .
    “Dari seorang pahlawan nasional dituntut lebih. Dituntut bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat,” tegasnya.
    Magnis menyoroti tanggung jawab Soeharto atas pembunuhan massal 1965–1966, yang disebut sebagai salah satu tragedi genosida terbesar di dunia pada abad ke-20.
    “Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas genosida setelah 1965–1966. Antara 800.000 sampai 3 juta orang menjadi korban. Itu mengerikan sekali,” ujarnya.
    Selain pelanggaran HAM, Romo Magnis juga menilai Soeharto telah melakukan korupsi besar-besaran selama 32 tahun berkuasa.
    “Dia memperkaya keluarga, memperkaya orang-orang dekatnya, dan dirinya sendiri. Dari seorang pahlawan nasional diharapkan ia tanpa pamrih memajukan bangsa, bukan mengambil keuntungan pribadi,” katanya menegaskan.
    Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan GTK, Fadli Zon, mengonfirmasi bahwa seluruh nama tokoh yang diusulkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) telah memenuhi kriteria dasar untuk menerima gelar Pahlawan Nasional.
    “Semua yang diusulkan dari Kementerian Sosial itu secara kriteria sudah memenuhi syarat semua, secara kriteria,” kata Fadli di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (24/10/2025).
    Dari total 40 nama yang diajukan, terdapat sejumlah tokoh besar seperti Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, Jenderal (Purn) M. Jusuf dari Sulawesi Selatan, serta Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
    Fadli menjelaskan bahwa daftar nama tersebut akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mendapat keputusan akhir.
    “Kurang lebih, karena ini dalam rangka Hari Pahlawan,” tutur politikus Partai Gerindra itu.

    Lebih lanjut, Fadli menegaskan bahwa penentuan calon pahlawan nasional telah melalui proses panjang dan berlapis.
    Sebanyak 40 nama yang diusulkan Kemensos berasal dari usulan masyarakat di berbagai daerah, mulai dari tingkat kabupaten/kota.
    “Setelah itu, nama-nama tersebut dibahas di tingkat provinsi, kemudian diproses di Kementerian Sosial sebelum diajukan ke Dewan GTK,” ujar Fadli.
    Ia menambahkan, proses penetapan juga melibatkan diskusi publik dan seminar akademik untuk menilai kiprah dan kontribusi para tokoh sebelum nama mereka diserahkan kepada Presiden.
    “Ada diskusi dengan publik, dengan akademisi, ada seminar-seminarnya, baru kemudian ke TP2GP, tim peneliti yang ada di Kementerian Sosial, baru dikirimkan kepada Dewan GTK,” tegas dia.
    Presiden pelajari usulan 40 tokoh yang dapat gelar pahlawan
    Di sisi lain, Presiden RI Prabowo Subianto yang juga sempat menjadi menantu Soeharto, disebut telah mendapat daftar 40 nama tokoh yang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut, nama-nama tersebut sedang dipelajari oleh Presiden RI.
    “Nama pahlawan kami sudah menerima ya secara resmi dari Kemensos hasil dari Dewan Gelar dan Tanda Jasa. Sedang dipelajari oleh Bapak Presiden karena memang cukup banyak nama-nama yang diajukan,” ujar Prasetyo di Antara Heritage Center, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
    “Jadi mohon waktu nanti kalau sudah waktunya dan Bapak Presiden sudah mengambil keputusan, nanti akan kami umumkan,” lanjut Prasetyo.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa pemerintah perlu mencermati secara menyeluruh rekam jejak Presiden ke-2 RI Soeharto sebelum memutuskan pemberian gelar Pahlawan Nasional.
    “Terkait rencana pemberian gelar pahlawan, kita hormati prosesnya. Namun, karena ini penting, ya harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang,” ujar Puan usai rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Puan menekankan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan simbolis, melainkan memiliki makna historis dan moral yang besar bagi bangsa.
    “Karena juga penting bagaimana kemudian apakah hal tersebut memang sudah waktunya dan sudah perlu diberikan dan lain-lain sebagainya. Namun, hal itu tentu saja harus dikaji dengan baik dan cermat,” kata Puan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jelang penetapan gelar pahlawan pada 10 November 2025 mendatang, ramai petisi yang ditandatangani untuk menolak gelar tersebut diberikan kepada mantan Presiden RI ke-II Soeharto.
    Namun ternyata, ada juga petisi yang mendukung pemberian gelar, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.
    Di situs
    change.org
    , penolakan gelar pahlawan untuk
    Soeharto
    ditandatangani oleh belasan ribu masyarakat. Adapun petisi tersebut dibuat oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025 lalu mendapatkan dukungan sebanyak 12.849 tanda tangan.
    Selain itu, petisi lain yang menolak Soeharto memperoleh gelar pahlawan juga dibuat pada 25 Oktober 2025, dan memperoleh 909 tanda tangan.
    Ada juga petisi pada 22 Oktober 2016 dengan perolehan dukungan sebanyak 1.806 tanda tangan.
    Di sisi lain, dukungan juga muncul dalam petisi yang dibuat pada 27 Oktober 2022 dengan jumlah dukungan sebanyak 143 tanda tangan.
    Lalu, petisi dukungan gelar pahlawan untuk Soeharto juga dibuat pada 2 Mei 2025 dengan jumlah dukungan hanya 9 tanda tangan.
    Kemudian, pada 14 April 2025 dukungan gelar pahlawan juga ditandatangani oleh 13 tanda tangan.
    Akademisi dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Romo Franz Magnis-Suseno, SJ, menegaskan bahwa meskipun mendiang Presiden Soeharto memiliki sejumlah jasa besar bagi bangsa, hal tersebut tidak cukup untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional.
    Magnis mengakui, Soeharto merupakan sosok yang berperan penting membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi pada akhir masa Demokrasi Terpimpin serta berhasil menstabilkan kondisi politik dan ekonomi di awal pemerintahan Orde Baru.?
    “Tidak disangkal sama sekali bahwa Soeharto adalah seorang presiden yang hebat. Soeharto yang membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi setelah tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin,” ujar Romo Magnis di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Ia juga mengakui, di masa Soeharto, Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan internasional dan memainkan peran penting di kawasan Asia Tenggara.
    “Saya kira sangat penting bahwa beliau sejak semula menolak konfrontasi dengan Malaysia, dan sebaliknya menjadikan Indonesia bagian dari ASEAN yang bersahabat, bukan menakutkan,” kata Magnis.
    Dalam petisi yang dibuat oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025, disebutkan bahwa Soeharto melakukan tindakan pelanggaran berat diantaranya Peristiwa Pulau Buru (1965-1966), Peristiwa ‘Petrus’ 1981-1983, Peristiwa Tanjung Priok 1984-1987, Kebijakan DOM (Aceh 1989-1998 dan Papua 1963-2003), dan Peristiwa 27 Juli 1996.
    Hal ini berdasarkan temuan Tim Kajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
    Tim Kajian, Komnas HAM juga telah melakukan penyelidikan pro-yustisia sesuai dengan Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
    Penyelidikan pro-yustisia telah dilakukan atas berbagai peristiwa yang di antaranya turut mencakup peristiwa yang dikaji oleh Tim Kajian dan telah ditemukan adanya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa-peristiwa tersebut.
    Di sisi lain, Mahkamah Agung menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum melalui putusan No. 140 PK/Pdt/2015 dan diwajibkan membayar uang sebesar 315 juta dollar AS dan Rp 139,4 miliar kepada Negara.
    Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin dunia paling korup di dunia di abad ke-20.
    Soeharto menduduki peringkat pertama dengan jumlah aset yang dikorupsinya sebesar 15-35 Miliar Dollar AS.
    Meskipun Soeharto tidak pernah dipidana, hal ini tidak berarti bahwa Soeharto tidak bersalah. Pasalnya, proses hukum tersebut dihentikan pada 2006 akibat kondisi kesehatan Soeharto yang memburuk.
    Romo Magnis menilai, rekam jejak kelam Soeharto di bidang hak asasi manusia dan korupsi sistematis membuatnya tidak pantas dianugerahi
    gelar pahlawan nasional
    .
    “Dari seorang pahlawan nasional dituntut lebih. Dituntut bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat,” tegasnya.
    Magnis menyoroti tanggung jawab Soeharto atas pembunuhan massal 1965–1966, yang disebut sebagai salah satu tragedi genosida terbesar di dunia pada abad ke-20.
    “Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas genosida setelah 1965–1966. Antara 800.000 sampai 3 juta orang menjadi korban. Itu mengerikan sekali,” ujarnya.
    Selain pelanggaran HAM, Romo Magnis juga menilai Soeharto telah melakukan korupsi besar-besaran selama 32 tahun berkuasa.
    “Dia memperkaya keluarga, memperkaya orang-orang dekatnya, dan dirinya sendiri. Dari seorang pahlawan nasional diharapkan ia tanpa pamrih memajukan bangsa, bukan mengambil keuntungan pribadi,” katanya menegaskan.
    Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan GTK, Fadli Zon, mengonfirmasi bahwa seluruh nama tokoh yang diusulkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) telah memenuhi kriteria dasar untuk menerima gelar Pahlawan Nasional.
    “Semua yang diusulkan dari Kementerian Sosial itu secara kriteria sudah memenuhi syarat semua, secara kriteria,” kata Fadli di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (24/10/2025).
    Dari total 40 nama yang diajukan, terdapat sejumlah tokoh besar seperti Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, Jenderal (Purn) M. Jusuf dari Sulawesi Selatan, serta Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
    Fadli menjelaskan bahwa daftar nama tersebut akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mendapat keputusan akhir.
    “Kurang lebih, karena ini dalam rangka Hari Pahlawan,” tutur politikus Partai Gerindra itu.

    Lebih lanjut, Fadli menegaskan bahwa penentuan calon pahlawan nasional telah melalui proses panjang dan berlapis.
    Sebanyak 40 nama yang diusulkan Kemensos berasal dari usulan masyarakat di berbagai daerah, mulai dari tingkat kabupaten/kota.
    “Setelah itu, nama-nama tersebut dibahas di tingkat provinsi, kemudian diproses di Kementerian Sosial sebelum diajukan ke Dewan GTK,” ujar Fadli.
    Ia menambahkan, proses penetapan juga melibatkan diskusi publik dan seminar akademik untuk menilai kiprah dan kontribusi para tokoh sebelum nama mereka diserahkan kepada Presiden.
    “Ada diskusi dengan publik, dengan akademisi, ada seminar-seminarnya, baru kemudian ke TP2GP, tim peneliti yang ada di Kementerian Sosial, baru dikirimkan kepada Dewan GTK,” tegas dia.
    Presiden pelajari usulan 40 tokoh yang dapat gelar pahlawan
    Di sisi lain, Presiden RI Prabowo Subianto yang juga sempat menjadi menantu Soeharto, disebut telah mendapat daftar 40 nama tokoh yang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut, nama-nama tersebut sedang dipelajari oleh Presiden RI.
    “Nama pahlawan kami sudah menerima ya secara resmi dari Kemensos hasil dari Dewan Gelar dan Tanda Jasa. Sedang dipelajari oleh Bapak Presiden karena memang cukup banyak nama-nama yang diajukan,” ujar Prasetyo di Antara Heritage Center, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
    “Jadi mohon waktu nanti kalau sudah waktunya dan Bapak Presiden sudah mengambil keputusan, nanti akan kami umumkan,” lanjut Prasetyo.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa pemerintah perlu mencermati secara menyeluruh rekam jejak Presiden ke-2 RI Soeharto sebelum memutuskan pemberian gelar Pahlawan Nasional.
    “Terkait rencana pemberian gelar pahlawan, kita hormati prosesnya. Namun, karena ini penting, ya harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang,” ujar Puan usai rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Puan menekankan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan simbolis, melainkan memiliki makna historis dan moral yang besar bagi bangsa.
    “Karena juga penting bagaimana kemudian apakah hal tersebut memang sudah waktunya dan sudah perlu diberikan dan lain-lain sebagainya. Namun, hal itu tentu saja harus dikaji dengan baik dan cermat,” kata Puan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polemik Asal Usul Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Polemik Asal Usul Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Polemik usulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Presiden ke-2 RI, Soeharto terus bergulir.

    Usulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto pertama kali digaungkan oleh Kementerian Sosial. Nama Soeharto masuk di antara beberapa nama yang diusulkan turut mendapatkan gelar tersebut.

    Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mencuat sekitar Maret tahun ini. Saat itu, rencana tersebut dikemukakan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul.

    Dia mengemukakan bahwa pihaknya bersama dengan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) telah membahas pengusulan calon Pahlawan Nasional tahun 2025.

    “Nah, semangatnya Presiden sekarang ini kan semangat kerukunan, semangat kebersamaan, semangat merangkul, semangat persatuan. Mikul duwur mendem jero,” kata Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dilansir dari laman resmi Kementerian Sosial, Rabu (19/3/2025).

    Adapun usulan itu akan diseleksi dan digodok oleh anggota TP2GP yang terdiri dari Staf Ahli, akademisi, budayawan, perwakilan BRIN, TNI, serta Perpustakaan Nasional. Selain lintas unsur sosial, mekanisme pengusulan Pahlawan Nasional juga harus melalui tahapan berjenjang dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat. 

    “Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kita. Jadi memang prosesnya dari bawah,” kata Mensos Gus Ipul.

    Sementara itu, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih mengungkapkan sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025. Dari jumlah tersebut, empat nama merupakan usulan baru, sementara enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya.

    “Untuk tahun 2025 sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira Riyati.

    Dalam perkembangan terbaru, Gus Ipul optimistis nama Pahlawan Nasional yang baru dapat diumumkan secara resmi sebelum memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November 2025. 

    Kementerian Sosial tahun ini memberikan berkas usulan sebanyak 40 nama untuk menjadi pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), dan sebagian besar nama tersebut merupakan hasil pembahasan dari tahun-tahun sebelumnya.  

    “Ya mudah-mudahan, insyaallah sih. Insyaallah sebelum 10 November dan nanti dari nama-nama itu akan dipilih beberapa nama,” kata dia dilansir dari Antara, Selasa (28/10/2025).

    Namun, dia memastikan bahwa proses penetapan calon pahlawan nasional dilakukan melalui mekanisme seleksi berlapis dan melibatkan berbagai unsur, mulai dari masyarakat hingga tim ahli tingkat pusat.

    “Ya nanti itu menyesuaikan Dewan Gelar ya untuk punya kesempatan lapor kepada Presiden. Seperti Presiden Soeharto dan Presiden Gus Dur misalnya, itu sudah diusulkan lima atau 10 tahun yang lalu. Tapi kemarin itu karena masih ada hambatan-hambatan tentang syarat-syarat formal, maka masih ditunda. Tetapi karena syarat-syarat formalnya sudah terpenuhi semua, maka untuk tahun ini kita usulkan ke Dewan Gelar,” kata dia.

    Golkar Usulkan Nama Soeharto ke Prabowo

    Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menghadap Presiden Prabowo Subianto untuk mengajukan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    “Saya bilang Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai pahlawan nasional,” ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.

    Bahlil menilai Soeharto memiliki jasa besar bagi bangsa dan negara, antara lain dalam membangun kedaulatan pangan dan energi, menekan inflasi tinggi, serta membawa Indonesia dikenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Asia pada masanya.

    Sebagai tokoh pendiri dan pembina Partai Golkar yang memimpin Indonesia lebih dari tiga dekade, Bahlil mengatakan Soeharto telah memberikan kontribusi penting terhadap pembangunan nasional.

    “Saya pikir sudah sangat layak, pantas, dan sudah saatnya untuk kemudian pemerintah bisa memberikan sebagai gelar Pahlawan Nasional. Itu yang tadi keputusan daripada DPP Partai Golkar,” kata Bahlil dilansir dari Antara, Senin (3/11/2025).

    Dalam pertemuan tersebut, Bahlil mengatakan Presiden Prabowo menerima aspirasi Partai Golkar terkait usulan tersebut dan menyatakan akan mempertimbangkannya sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

    “Bapak Presiden Prabowo mengatakan bahwa saya menerima dan akan mempertimbangkan. Sudah barang tentu itu lewat mekanisme internal, kan ada, ada mekanisme yang harus dilalui,” ucap Bahlil.

    Melanggar Hukum

    Direktur Eksekutif Lembaga Kajian demokrasi dan kebajikan publik Public Virtue Research Institute (PVRI), Muhammad Naziful Haq menolak rencana penetapan gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto 

    Menurutnya, jika gelar tersebut tetap diberikan, maka sama saja mengkhianati cita-cita kemerdekaan Indonesia. Hal ini tidak lepas dari historis Soeharto yang lekat dengan pelanggaran HAM, penyelewengan kekuasaan, hingga militeristik. 

    “Soeharto bukan bukan nominasi yang tepat. Secara historis, dia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia juga menyoroti usulan nama yang mendapatkan gelar pahlawan di mana dari 40 nama, 10 di antaranya berlatar belakang militer, 11 memiliki latar belakang elite agama, 19 lainnya dari berbagai latar. 

    Naziful menilai, hal ini berkaitan erat dengan kepentingan politik antara para elite untuk memberikan gelar pahlawan.

    “Nominasi nama-nama pahlawan di satu sisi tidak lepas dari politik pengkultusan individu, namun di sisi lain mencerminkan kompromi antara aktor penguasa dan kelompok agama yang sedang diakomodasi,” ujarnya.

    Selain itu, menurut Peneliti PVRI, Alva Maldini usulan nama Soeharto seolah mencoba mengubur masalah-masalah yang terjadi masa itu. Terlebih, katanya, nama Marsinah dan Gus Dur masuk dalam usulan sebagai simbol kelompok buruh dan ikon demokrasi. 

    “Namun ketika dua nama ini bersanding dengan nama Suharto dalam situasi militerisme dan menyempitnya ruang sipil, ada risiko dua nama ini menjadi apologi untuk situasi saat ini atau bahkan tukar guling politik,” jelas Alva.

    Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.

    Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

    Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.

    “Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

  • Soal Revisi UU HAM, Begini Kata Sekjen KemenHAM

    Soal Revisi UU HAM, Begini Kata Sekjen KemenHAM

    Jakarta: Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bukan untuk melemahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), melainkan memperkuat peran dan fungsi lembaga tersebut.

    Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) menyatakan, substansi perubahan UU HAM akan diarahkan untuk memperjelas pembagian kewenangan antara pemerintah sebagai penanggung jawab P5HAM, dan Komnas HAM sebagai lembaga independen yang melakukan Pengawasan pelaksanaannya.

    Sekretaris Jenderal KemenHAM, Novita Ilmaris, menegaskan bahwa revisi ini merupakan bagian dari upaya memperkuat Lembaga HAM termasuk Komnas HAM. 

    “Pada prinsipnya, komitmen untuk memperkuat peran Komnas HAM sudah disampaikan langsung oleh Bapak Menteri. Pembahasan revisi ini justru diarahkan agar Lembaga HAM termasuk Komnas HAM HAM lebih efektif dalam menjalankan mandatnya,” ujar Novita kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/11/2025).

    Ia menambahkan, penyusunan revisi dilakukan secara inklusif dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk para pakar HAM, akademisi, masyarakat sipil, Lembaga HAM , jajaran Kementerian terkait serta mantan pimpinan Komnas HAM.
     

    “Selain jajaran Kementerian HAM, kita juga melibatkan banyak pihak , silahkan bisa dicek jejak digitalnya , beberapa pembahasan yang kita lakukan dengan melibatkan semua unsur termasuk Komnas HAM pun hadir saat pembahasan , sekali lg rancangan RUU ini masih bergerak atau dinamis,” katanya.

    Sebelumnya, Komnas HAM mengkritisi setidaknya ada 21 pasal dalam draf rancangan revisi UU HAM yang disusun pemerintah. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyatakan, pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan masalah dari sisi norma hingga kelembagaan.

    Anis juga menyoroti pelemahan terhadap kewenangan Komnas HAM dalam melakukan penanganan pelanggaran HAM. Fungsi ini bahkan diberikan kepada Kementerian HAM sehingga berpotensi konflik kepentingan.

    Kondisi tersebut, lanjutnya, bisa saja terjadi karena pemerintah kerap menjadi pihak yang diadukan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM. Bahkan, independensi Komnas HAM sebagai lembaga negara ini dipertaruhkan karena proses seleksi anggotanya melibatkan kekuasaan Presiden.

    Dalam Pasal 100 Ayat (2) draf RUU HAM ini diatur bahwa panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan presiden. Padahal, dalam ketentuan UU HAM saat ini, panitia seleksi ditetapkan oleh sidang paripurna Komnas HAM. 

    Jakarta: Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bukan untuk melemahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), melainkan memperkuat peran dan fungsi lembaga tersebut.
     
    Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) menyatakan, substansi perubahan UU HAM akan diarahkan untuk memperjelas pembagian kewenangan antara pemerintah sebagai penanggung jawab P5HAM, dan Komnas HAM sebagai lembaga independen yang melakukan Pengawasan pelaksanaannya.
     
    Sekretaris Jenderal KemenHAM, Novita Ilmaris, menegaskan bahwa revisi ini merupakan bagian dari upaya memperkuat Lembaga HAM termasuk Komnas HAM. 

    “Pada prinsipnya, komitmen untuk memperkuat peran Komnas HAM sudah disampaikan langsung oleh Bapak Menteri. Pembahasan revisi ini justru diarahkan agar Lembaga HAM termasuk Komnas HAM HAM lebih efektif dalam menjalankan mandatnya,” ujar Novita kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/11/2025).
     
    Ia menambahkan, penyusunan revisi dilakukan secara inklusif dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk para pakar HAM, akademisi, masyarakat sipil, Lembaga HAM , jajaran Kementerian terkait serta mantan pimpinan Komnas HAM.
     

     
    “Selain jajaran Kementerian HAM, kita juga melibatkan banyak pihak , silahkan bisa dicek jejak digitalnya , beberapa pembahasan yang kita lakukan dengan melibatkan semua unsur termasuk Komnas HAM pun hadir saat pembahasan , sekali lg rancangan RUU ini masih bergerak atau dinamis,” katanya.
     
    Sebelumnya, Komnas HAM mengkritisi setidaknya ada 21 pasal dalam draf rancangan revisi UU HAM yang disusun pemerintah. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyatakan, pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan masalah dari sisi norma hingga kelembagaan.
     
    Anis juga menyoroti pelemahan terhadap kewenangan Komnas HAM dalam melakukan penanganan pelanggaran HAM. Fungsi ini bahkan diberikan kepada Kementerian HAM sehingga berpotensi konflik kepentingan.
     
    Kondisi tersebut, lanjutnya, bisa saja terjadi karena pemerintah kerap menjadi pihak yang diadukan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM. Bahkan, independensi Komnas HAM sebagai lembaga negara ini dipertaruhkan karena proses seleksi anggotanya melibatkan kekuasaan Presiden.
     
    Dalam Pasal 100 Ayat (2) draf RUU HAM ini diatur bahwa panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan presiden. Padahal, dalam ketentuan UU HAM saat ini, panitia seleksi ditetapkan oleh sidang paripurna Komnas HAM. 
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (PRI)

  • 2
                    
                        Megawati Ingatkan Negara Jangan Asal Beri Gelar Pahlawan: Kalau Bung Karno, Benar Pahlawan
                        Nasional

    2 Megawati Ingatkan Negara Jangan Asal Beri Gelar Pahlawan: Kalau Bung Karno, Benar Pahlawan Nasional

    Megawati Ingatkan Negara Jangan Asal Beri Gelar Pahlawan: Kalau Bung Karno, Benar Pahlawan
    Tim Redaksi
    BLITAR, KOMPAS.com
    – Presiden Kelima Republik Indonesia sekaligus Ketua PDI-P Megawati Soekarnoputri mengingatkan agar pemerintah tidak sembarangan memberikan gelar pahlawan nasional kepada tokoh.
    Dia menilai, penganugerahan gelar itu tidak bisa dilakukan secara mudah tanpa menimbang rekam jejak perjuangan, nilai kemanusiaan, serta tanggung jawab moral seorang tokoh terhadap bangsa.
    “Dapat gelar proklamator, bapak bangsa, terus ini apa? Pahlawan? Tapi, ya hati-hati kalau mau menjadikan seseorang pahlawan. Jangan gampang dong. Kalau Bung Karno, benar, pahlawan. Karena saya berani bertanggung jawab,” ujar Megawati saat berpidato dalam seminar peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025).
    Hal itu disampaikan Megawati saat menceritakan kondisi ayahnya, Presiden Pertama RI Soekarno, yang pernah diperlakukan tidak adil oleh bangsanya sendiri.
    Soekarno, lanjut Megawati, diberhentikan dan dicabut mandatnya sebagai presiden RI melalui TAP MPR tanpa proses pengadilan.
    “Bayangkan, seorang putra bangsa diperlakukan begitu hanya karena sebuah TAP. Kalau Bung Karno bersalah, seharusnya demi keadilan beliau boleh dong dimasukkan ke pengadilan,” kata Megawati.
    Dia mengatakan, meski Bung Karno dicabut mandatnya dan diisolasi, sang ayah tetap diam demi menghindari perang sesama bangsa Indonesia.
    “Kalau melawan, nanti yang terjadi perang saudara,” ujar Megawati menirukan pesan Bung Karno kepadanya.
    Menurut Megawati, sikap Bung Karno yang tetap diam meski diperlakukan tidak adil adalah wujud kebesaran jiwa dan tanggung jawab terhadap bangsa.
    “Hanya demi negara yang beliau bangun, hanya demi rakyatnya agar tidak perang satu sama lain, dia korbankan dirinya,” katanya.
    Pernyataan Megawati itu pun memicu spekulasi bahwa hal tersebut untuk menyinggung rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 RI Soeharto.
    Namun, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa pesan Megawati hanyalah pengingat agar pemerintah berhati-hati dalam memberikan gelar pahlawan.
    “Yang dimaksud Ibu Megawati, pahlawan itu juga menjadi simbol yang ideal tentang bagaimana bangsa Indonesia ini dibangun. Sosok pahlawan harus memiliki terobosan dalam perjuangan bagi kemerdekaan dan nilai kemanusiaan, bukan mengkhianatinya,” ujar Hasto saat menjawab pertanyaan soal apakah pernyataan Megawati terkait rencana pemberian gelar pahlawan nasional ke Soeharto, seusai acara.
    Menurut Hasto, Megawati hanya menekankan bahwa gelar pahlawan seharusnya diberikan berdasarkan kepeloporan dan keteladanan yang menjadi inspirasi bagi seluruh anak bangsa.
    “Pesan Ibu Megawati jelas: gelar pahlawan harus diberikan secara hati-hati, dengan mendengarkan suara rakyat, dan memastikan sosok itu betul-betul menjadi contoh bagi perjuangan bangsa di masa kini dan mendatang,” kata Hasto.
    Saat ditanya mengenai sikap PDI-P soal rencana pemberian gelar kepada Soeharto, Hasto menyatakan bahwa pihaknya mendengarkan pandangan dari masyarakat sipil dan kalangan akademisi.
    “Banyak catatan terkait pelanggaran hak asasi manusia yang belum dituntaskan. Itu sebabnya Ibu Megawati mengingatkan agar jangan mudah memberikan gelar pahlawan,” pungkasnya.
    Untuk diketahui, Menteri Sosial Saifullah Yusuf sebelumnya mengusulkan 40 nama tokoh untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, pada Selasa (21/10/2025).
    Di antara nama yang diajukan terdapat Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis buruh Marsinah.
    Masuknya nama Soeharto menimbulkan perdebatan publik.
    Sejumlah kalangan menilai, pemerintah perlu menimbang kembali usulan itu karena masih ada persoalan pelanggaran HAM yang belum selesai pada masa pemerintahannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Penghinaan Korban Orba

    Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Penghinaan Korban Orba

    GELORA.CO -Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menolak rencana pemerintah yang memasukkan nama mantan Presiden Soeharto dalam daftar calon penerima gelar pahlawan nasional.

    Kadiv Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas menilai, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan bentuk pengabaian terhadap sejarah kelam bangsa, terutama berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama Orde Baru alias Orba.

    “Memberikan gelar pahlawan kepada sosok dengan rekam jejak pelanggaran HAM adalah penghinaan terhadap para korban dan keluarganya yang hingga kini masih memperjuangkan keadilan,” kata Prabowo dikutip dari RMOLLampung, Sabtu 1 November 2025.

    Ia mencontohkan peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989 di Lampung Timur, di mana ratusan warga sipil menjadi korban operasi militer yang menewaskan dan menahan warga secara paksa. Hingga kini, kata dia, banyak keluarga korban belum mendapat pemulihan dan keadilan.

    Selain Talangsari, LBH juga menyinggung tragedi UBL Berdarah yang menewaskan dua mahasiswa, serta berbagai tindakan represif lainnya terhadap masyarakat dan aktivis selama masa pemerintahan Soeharto.

    “Rezim Soeharto menggunakan kekuatan negara untuk membungkam kritik dan menciptakan ketakutan sistemik. Luka sejarah itu belum sembuh, negara tidak boleh melupakannya,” kata Prabowo.

    LBH Bandar Lampung menegaskan, gelar pahlawan hanya pantas disematkan kepada tokoh yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, moralitas, dan keberanian membela rakyat.

  • Pembantaian Massal Gelagat Munculnya Genosida Baru di Sudan?

    Pembantaian Massal Gelagat Munculnya Genosida Baru di Sudan?

    Jakarta

    Laporan bahwa “korban sakit dan terluka dieksekusi secara kejam,” ditulis Koordinasi Komite Perlawanan Sudan (Sudanese Coordination of Resistance Committees), sebuah organisasi nonpemerintah, dua hari setelah Pasukan Dukungan Cepat atau Rapid Support Forces (RSF) menguasai El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, Sudan.

    Menurut organisasi tersebut, para milisi RSF telah membunuh hampir semua orang atau membiarkan mereka mati di Rumah Sakit Al Saudi di kota itu.

    Citra satelit yang dianalisis Humanitarian Research Lab, Yale School of Public Health, mengonfirmasi bahwa sejak akhir pekan lalu muncul “kumpulan objek yang konsisten dengan ukuran tubuh manusia dan perubahan warna tanah kemerahan” di luar rumah sakit-rumah sakit di El-Fasher.

    Beberapa sumber menyebut hingga 2.000 warga sipil telah tewas dalam tiga hari terakhir. Laporan dari lapangan masih sulit diperoleh karena RSF mematikan komunikasi satelit bagi penduduk.

    Seorang perempuan yang berhasil melarikan diri dari El-Fasher kepada DW pada hari Rabu (29/10) mengatakan, “RSF mengambil semua yang kami miliki, mereka bahkan menggeledah pakaian dalam kami dan meninggalkan kami tanpa apa-apa — tanpa uang, tanpa ponsel.”

    “Mereka melakukan uji coba militer terhadap orang-orang, dan jika mengetahui seseorang memiliki pengetahuan atau keterkaitan dengan urusan militer, mereka langsung dieksekusi,” tambahnya.

    Konflik Sudan: Apa yang perlu diketahui

    Pembunuhan massal terbaru ini merupakan eskalasi terbaru dari konflik Sudan yang meletus pada April 2023. Saat itu, Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) di bawah komando Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan RSF, pimpinan Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemeti, berselisih terkait integrasi milisi ke dalam angkatan nasional.

    Setelah merebut El-Fasher, kendali wilayah RSF kini mencakup Darfur dan sebagian selatan, sementara SAF menguasai ibu kota Khartoum serta wilayah utara dan tengah negara itu.

    Apa kata RSF?

    Organisasi kemanusiaan internasional menuntut RSF membuka koridor kemanusiaan bagi sekitar 177.000 orang yang tak bisa meninggalkan kota.

    “Dengan SAF mundur, terutama warga sipil yang mendukung SAF kini mencoba melarikan diri, RSF memiliki kepentingan untuk menghina SAF dengan melampiaskan kekerasan pada warga sipil,” ujar Hager Ali, peneliti di GIGA Institute for Global and Area Studies, Jerman, kepada DW. “RSF juga berusaha menakut-nakuti warga sipil agar patuh di wilayah yang mereka kuasai.”

    Pada Maret lalu, RSF dan kelompok bersenjata lain membentuk Sudan Founding Alliance (TASIS), dengan mandat membentuk “Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan” untuk Darfur dan sebagian selatan. TASIS menegaskan di X (Twitter):

    “Kami menegaskan posisi kami mengecam segala pelanggaran dan bekerja terus-menerus untuk menghentikannya. Namun perlu diluruskan: banyak video pelanggaran di media sosial adalah rekayasa dari media gerakan Islam, tentara bayaran dari pasukan gabungan, dan lainnya.”

    Namun menurut Leena Badri, peneliti kebijakan Sudan, pernyataan itu tak lebih dari upaya TASIS “mendapat legitimasi politik untuk mendirikan struktur pemerintahan paralel mereka.”

    RSF: Akar kekerasan dan genosida

    Kedua belah pihak dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia(HAM) sepanjang konflik. Pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden menjatuhkan sanksi kepada kedua jenderal. RSF dituduh melakukan genosida dan pelanggaran HAM berat, sementara SAF dituduh menyerang warga sipil dan menghambat transisi demokratis.

    “RSF tidak lebih brutal daripada kekuatan lain di dunia. Namun perbedaannya adalah kebijakan mereka bersifat sistematis dan genosidial,” ujar Shayna Lewis, spesialis Sudan dan penasihat senior PAEMA, sebuah LSM di AS yang fokus pencegahan kekejaman.

    “Pembunuhan tanpa batas pasien dan staf medis di rumah sakit adalah modus operandi RSF,” tambahnya. RSF berkembang dari milisi Janjaweed yang terkenal dengan kekerasan ekstrem di Darfur antara 2003–2005, membunuh sekitar 300.000 warga sipil yang dianggap bukan Arab, melainkan Afrika.

    Posisi dunia Arab dan peran emas

    Para pengamat menekankan bahwa sekutu internasional dari pihak yang bertikai menentukan apakah perang Sudan berakhir atau berlanjut. RSF diduga mendapat dukungan senjata dari Uni Emirat Arab (UEA) melalui Chad. SAF mendapat dukungan Mesir dan Qatar, sementara Arab Saudi menyatakan netral.

    Darfur menjadi prioritas RSF, tidak hanya karena ini wilayah asal mereka, tetapi juga karena sumber daya penting seperti emas. Emas dibutuhkan untuk menghindari sanksi dan membeli senjata. Kedekatan Darfur dengan perbatasan Libya dan Chad memungkinkan RSF mengendalikan populasi sipil untuk mempermudah pengadaan senjata dan amunisi.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Rizki Nugraha

    Lihat juga Video: Serangan Bom-Penembakan di Sudan Tewaskan 127 Orang

    (ita/ita)