Topik: Pelanggaran HAM

  • Profil Siti Aisyah, Anggota DPR yang Kritik Menteri Pigai: Apa yang Sebenarnya Bapak Kerjakan? – Halaman all

    Profil Siti Aisyah, Anggota DPR yang Kritik Menteri Pigai: Apa yang Sebenarnya Bapak Kerjakan? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Profil Siti Aisyah, Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi PDIP yang cecar kinerja Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai.

    Siti Aisyah blak-blakan menyebut Menteri Pigai tak memiliki gebrakan apa-apa dalam rapat kerja, Rabu (5/2/2025).

    Siti Aisyah mengaku kecewa lantaran harapan besar terhadap Pigai sebagai pegiat HAM justru ciut saat menjadi Menteri HAM.

    “Ketika Bapak dipilih sebagai Menteri HAM, sebenarnya saya pribadi punya harapan besar karena Bapak adalah pemerhati HAM dan bergerak di sana. Tetapi, setelah 105 hari bekerja, kami tidak melihat sedikit pun apa yang sebenarnya Bapak kerjakan,” ujar Siti Aisyah dalam rapat kerja, Rabu (5/2/2025) dikutip dari YouTube TVR Parlemen.

    Bahkan Siti Aisyah menyinggung permintaan dana Rp20 triliun untuk Kementerian HAM yang diminta Pigai saat masih awal menjadi Menteri.

    Sayangnya permintaan tersebut tak sebanding dengan kinerja Menteri Pigai.

    Masalah HAM yang viral tentang Rempang hingga Pagar Laut di Tangerang juga tak membuat Menteri Pigai turun ke lapangan.

    “Sudah banyak hari ini pelanggaran HAM di Indonesia yang viral, sangat viral. Seperti di Rempang dan soal pagar laut. Saya tidak melihat Bapak hadir di sana. Apakah menurut Bapak Menteri, Rempang itu tidak melanggar HAM? Apakah pagar laut itu tidak melanggar HAM?” tanya Siti.

    “Kami ingin Pak Pigai yang dulu,” tegas Siti.

    Video potongan Siti Aisyah cecar Menteri Pigai pun viral di media sosial.

    Lantas siapa sosok dan profil Siti Aisyah?

    Hj Siti Aisyah merupakan politisi perempuan asal Riau yang berhasil melenggang ke Senayan setelah menang dalam Pemilu Legislatif 2024.

    Ia diusung oleh PDI Perjuangan dengan nomor urut 3.

    Hasil pemilihan umum (Pemilu) legislatif pada 4 Februari 2024 lalu, Siti Aisyah meraih 37.331 suara. 

    Selisihnya pun cukup jauh dibanding perolehan suara calon legislatif (Caleg) PDIP lainnya, yang rata-rata di bawah 30 ribuan.

    Siti Aisyah bisa menumbangkan petahana, Marsiam Saragih.

    Selain itu perolehan suaranya jauh mengungguli pengacara senior Dr. Kapitra Ampera.

    Sebelum menjadi DPR, Siti Aisyah berprofesi sebagai notaris senior di Riau.

    Pekerjaan tersebut sudah diemban selama kurang lebih 30 tahun.

    Berikut Profil Lengkap Siti Aisyah, dikutip dari situs dpr.go.id:

    Nama: Hj Siti Aisyah

    Tempat Tanggal Lahir: Bengkalis, Riau, 12 Oktober 1967

    Usia: 57 tahun

    Alamat: Kelurahan Sekip Hulu, Kecamatan Indragiri Hulu, Provinsi Riau

    Pendidikan

    SDN 07 Bekasap duri. Tahun: 1975 – 1980
    SMPN 2 Pekanbaru. Tahun: 1980 – 1983
    SMAN 1 Pekanbaru. Tahun: 1983 – 1986
    Fakultas hukum, Universitas Lancang Kuning Pekanbaru. Tahun: 1986 – 1992
    Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Pekanbaru. Tahun: 1986 – 1992
    Spesial Notaris, Universitas Sumatera Utara. Tahun: 1992 – 1995

    Organisasi

    Ikatan Persatuan Pemuda Terminal, Sebagai: penasehat. Tahun: 2024 – 2024
    PSHT (persaudaraan Setia hati terate), Sebagai: anggota kehormatan. Tahun: 2023 – 2024
    Pujakusuma (putra jawa kelahiran sumatra), Sebagai: pembina. Tahun: 2022 – 2024
    Pemuda batak bersatu (pembina), Sebagai: pembina. Tahun: 2019 – 2024
    Yayasan pendidikan indragiri, Sebagai: ketua. Tahun: 2004 – 2014
    Pemuda Pancasila, Sebagai: dewan pakar dan sekretaris kabupaten indragiri hulu. Tahun: 2001 – 2024
    Komite nasional pemuda indonesia (KNPI), Sebagai: sekretaris. Tahun: 2001 – 2024
    Ikatan notaris indonesia, Sebagai: ketua. Tahun: 2000 – 2020
    Sekolah tinggi STIE, ABID dan STTI (sekolah tinggi ilmu ekonomi, akademi kebidanan dan sekolah tinggi teknik indragiri), Sebagai: . Tahun: –

    Sebagain artikel ini telah tayang di TribunPekanbaru.com dengan judul Sosok Siti Aisyah Anggota DPR RI Dapil Riau II Periode 2024-2029, Latar Belakang Sebagai Notaris

    (Tribunnews.com/ Siti N)

  • Disebut Hasil Kerjanya Tak Terlihat, Ini Respons Menteri HAM Pigai

    Disebut Hasil Kerjanya Tak Terlihat, Ini Respons Menteri HAM Pigai

    Jakarta

    Menteri HAM Natalius Pigai angkat bicara usai disebut kinerjanya tidak terlalu terlihat di 100 hari pertama kerja saat rapat bersama Komisi XIII DPR RI. Pigai mengatakan tidak mungkin Kementerian HAM turun langsung seperti Komnas HAM.

    “DPR ingin Kementerian HAM hadir di kasus-kasus di lapangan seperti Komnas HAM atau LSM. Nggak mungkin kan kewenangan kami tidak urus kasus di peradilan. Itu kewenangan Komnas HAM RI,” kata Pigai ketika dihubungi, Rabu (5/2/2025).

    Pigai mengatakan tugas Kementerian HAM adalah membuat regulasi dan kebijakan di bidang HAM. Kementerian HAM, kata dia, adalah bagian dari eksekutif yang lebih berurusan seputar regulasi dan kebijakan.

    “Tugas dan fungsi kami adalah membuat regulasi dan Kebijakan di bidang HAM. Nggak mungkin kami kerja seperti LSM atau Komnas HAM yang turun langsung lapangan,” kata dia.

    “DPR belum paham bahwa kami Kementerian HAM ini eksekutif karena perlu kebijaksanaan terkait kasus-kasus,” tambahnya.

    Sebelumnya, Pigai dicecar oleh anggota Komisi XIII DPR Siti Aisyah terkait banyaknya kasus pelanggaran HAM yang viral. Siti menyebut kerja Pigai tidak terlalu terlihat di 100 hari pertama kerja.

    Perihal itu dilontarkan oleh Siti saat rapat bersama Menteri HAM di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/2/2025).

    “Tetapi setelah 105 hari bekerja, kami nggak nampak sedikit pun apa yang sebenarnya Bapak kerjakan selama jadi Menteri HAM ini,” kata Siti.

    Anggota DPR Fraksi PDIP itu mengatakan yang terlihat adalah program amnesti narapidana, yang berasal dari pemerintah. Selain itu, dia menanyakan banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang telah viral.

    “Sudah banyak hari ini pelanggaran HAM di Indonesia yang viral. Sangat viral,” ungkapnya.

    Dia pun meminta Pigai tidak menganggap menteri sekadar pakaian. Namun, Siti berharap Pigai dapat seaktif dulu ketika masih di Komnas HAM.

    (ial/taa)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Tantang Menteri HAM Turun ke Rempang, Anggota DPR: Lindungi Masyarakat!
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        5 Februari 2025

    Tantang Menteri HAM Turun ke Rempang, Anggota DPR: Lindungi Masyarakat! Nasional 5 Februari 2025

    Tantang Menteri HAM Turun ke Rempang, Anggota DPR: Lindungi Masyarakat!
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion meminta Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai turun langsung ke Rempang, Kepulauan Riau, dan mendengar keluh kesah warga yang terdampak proyek strategis nasional (PSN) di daerah tersebut.
    Mafirion berharap kementerian dapat menjadi penengah antara masyarakat dan pemerintah agar solusi yang adil dapat dicapai.
    “Coba pergi ke sana, lihat sendiri dan dengarkan apa yang mereka katakan. Kementerian HAM ini harusnya menjadi penengah, bukan membela salah satu pihak. Menjadi penengah, supaya ada solusinya,” kata Mafirion dalam rapat kerja dengan Menteri HAM di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/2/2025).
    Mafirion menilai, sejak didirikan pada Oktober 2025, Kementerian HAM yang dipimpin oleh Pigai belum menunjukkan tindakan nyata dalam menyelesaikan konflik di Rempang.
    “Saya tidak melihat apa yang dilakukan Kementerian HAM terhadap kasus Rempang. Berapa yang ditangkap, berapa yang ditersangkakan? Nenek-nenek umur 64 tahun hari ini ditersangkakan,” ujar dia.
    Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini menegaskan pihaknya tidak meminta Menteri HAM untuk menentang investor atau perusahaan besar, ataupun mengabaikan dampak ekonomi yang mungkin terjadi.
    Namun, dia berharap agar kementerian berperan aktif dalam melindungi hak-hak masyarakat terdampak proyek pembangunan.
    “Kami tidak meminta Pak Menteri menyerang PT MEG. Kami ingin Pak Menteri melindungi masyarakat yang hari ini dipindahkan,” ujar Mafirion.
    Ia pun mengingatkan bahwa permasalahan di Rempang bukan hanya soal investasi atau PSN, tetapi juga menyangkut hak masyarakat yang telah tinggal di wilayah tersebut secara turun-temurun.
    “Pernah enggak kita membayangkan kalau kampung kita, kampung di mana kita tinggal bertahun-tahun secara turun-temurun, tiba-tiba ada orang datang dan menyuruh kita pindah? Apa itu bisa diterima secara akal sehat?” katanya.
    Mafirion juga menyoroti data
    pelanggaran HAM
    dalam pembangunan lima tahun terakhir.
    Ia mencatat ada 101 orang luka, 248 orang ditangkap, dan 64 orang mengalami trauma psikologis akibat proyek strategis nasional.
    “Mainstream human rights itu berkaitan dengan pembangunan. Tapi faktanya, pelanggaran HAM dalam pembangunan dibiayai oleh APBN. Ada 36 kasus melibatkan kepolisian, 30 kasus pemerintah daerah, 48 kasus TNI,” ungkapnya.
    Diberitakan sebelumnya, delapan warga dari Kampung Sembulang Hulu dan Kampung Sei Buluh, Rempang, menjadi korban penyerangan yang diduga dilakukan oleh puluhan pekerja PT MEG.
    Empat warga mengalami luka sobek di kepala, satu mengalami patah tangan, satu luka berat, satu terkena anak panah di punggung, dan satu lainnya mengalami luka ringan.
    Warga juga melaporkan bahwa para penyerang melakukan penganiayaan terhadap anak di bawah umur serta mengancam dengan senjata tajam.
    Menurut keterangan sementara kepolisian, penyerangan ini terjadi setelah satu pekerja perusahaan ditahan oleh warga, karena diduga mencopot sejumlah spanduk penolakan terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City di area posko Kampung Sembulang Hulu pada Selasa (17/12/2024) malam.
    Koordinator lapangan keamanan PT MEG untuk Rempang Eco-City, Angga, mengonfirmasi bahwa lebih dari 30 orang dikerahkan ke lokasi.
    Namun, puluhan orang itu hanya ditugaskan untuk misi evakuasi rekan mereka yang ditahan warga.
    Perusahaan menyebut bahwa kedatangan puluhan orang ke lokasi bertujuan untuk menyelamatkan salah satu pekerja yang ditahan oleh warga selama empat jam.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pilu Rumah Petani di Samosir Dikepung Parit 80 Meter Sampai Minta Tolong Prabowo, Pelaku Dipolisikan – Halaman all

    Pilu Rumah Petani di Samosir Dikepung Parit 80 Meter Sampai Minta Tolong Prabowo, Pelaku Dipolisikan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Video yang menampilkan seorang ayah susah payah menggendong anaknya saat melewati parit berair kotor untuk menjangkau rumahnya, viral di media sosial.

    Peristiwa ini terjadi di bibir Danau Toba yang terletak di Dusun 1, Desa Unjur, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

    Adapun pria yang menggotong anaknya itu bernama Darma Sari Ambarita (32) dan berprofesi sebagai petani.

    Darma dan keluarganya harus melewati kepungan parit berair itu saat aktivitas ke luar rumah, termasuk saat antar-jemput anaknya yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak (TK).

    Dilihat dari akun Instagram @digitalnews_id, Darma terpaksa harus menceburkan diri ke air sedalam satu meter di parit untuk mengantarkan putrinya sekolah. 

    Barulah kemudian dia mengulurkan tangannya bersiap menangkap anaknya dan menggendong anaknya itu melewati parit tersebut. Dan selanjutnya pergi ke sekolah.

    Dalam video itu, sang yang digendong melewati parit berair menyampaikan permintaan bantuan kepada Presiden Prabowo Subianto, dengan suara lirih. 

    “Bapak Presiden, tolonglah kami. Gak ada lagi jalan (ke rumah) kami. Klo aku sekolah harus lewat air, digendong bapak ku,” ucap anak tersebut dengan lirih.

    Hal itu terpaksa dilakukan keluarga Darma Ambarita sejak adanya beberapa orang dengan alat berat membuat parit 80 meter mengelilingi rumahnya pada 6 Januari 2025.

    Duduk Perkara

    Pemilik rumah, Darma Sari Ambarita (32), membenarkan video yang beredar.

    Dia lalu menceritakan duduk perkara hingga adanya parit mengeliiling tempat tinggalnya.

    Darma menceritakan, awalnya tidak ada parit yang mengelilingi rumahnya, sampai akhirnya dia terlibat konflik dengan pria yang memiliki marga yang sama, berinisial TA.

    Darma mengatakan pria itu tidak mempunyai hubungan darah dengannya, namun mengeklaim rumah dan tanah yang ditempati Darma adalah peninggalan ayah TA.

    “Kebetulan TA, hanya karena satu marga saja. Kalau dari silsilah ke keluarga sudah jauh,” ujar Darma saat dihubungi Kompas.com melalui telepon seluler, Senin (3/2/2025).

    Kendati demikian, Darma mengatakan bahwa antara ayah TA dengan orang tuanya dulunya berteman, namun tidak pernah terjadi keributan atau pun membicarakan hal yang berkaitan dengan tanah yang ditempatinya.

    “Kenapa saya berani mengatakan itu tanah saya? Karena kebetulan rumah yang saya tinggali adalah peninggalan dari orang tua. Di mana rumah ini didirikan pada tahun 1982 dan itu masih disaksikan, proses pembangunannya masih disaksikan oleh orang tua si pelaku (TA),” ujarnya.

    “Dan, selama proses pembangunan sampai ke masa hidup orang tua saya dan orang tua si pelaku, itu tidak pernah terjadi yang namanya keributan,” tambahnya.

    Kata Darma, tanah yang diklaim TA itu seluas 5 rante atau sekitar 2000 meter persegi. TA mengaku kepadanya punya surat tanah, namun sampai sekarang TA tidak bisa menunjukkannya. Namun, Darma juga mengatakan tidak memiliki surat tanah juga.

    “Karena kebetulan ini tanah warisan bang, surat tanahnya tidak ada. Iya, kalau untuk pengelolaan kita yang saya ketahui 4 generasi lah,” katanya.

    Darma lalu mengatakan, karena tidak memberikan apa yang TA minta, pada 6 Januari 2025, TA membuat parit sepanjang 80 meter yang mengelilingi rumah Darma.

    “TA dan kawan-kawan beserta rombongannya, membawa satu unit alat berat, ekskavator, dan langsung melakukan penggalian parit yang dalamnya kurang lebih 5 meter,” ujar Darma.

    Terduga Pelaku Dipolisikan

    Menurut Darma, persoalan yang dihadapinya ini adalah murni perusakan, tidak ada kaitannya dengan persoalan sengketa tanah.

    “Ini murni bukan sengketa lahan. Kenapa saya bilang ini tidak sengketa? Karena saya dan pelaku itu belum pernah terjadi yang namanya saling mengajukan atau gugat menggugat di pengadilan,” ujarnya.

    “Jadi, ini murni namanya perusakan, pelanggaran HAM, dan percobaan pembunuhan terhadap keluarga kami,” ucapnya.

    Darma melanjutkan, semenjak depan rumahnya dijadikan parit, keluarganya begitu sulit mengakses jalan ketika bepergian.

    “Jadi, rumah kami sekarang seperti pulau terisolasi. Anak saya yang masih TK susah pergi sekolah maupun pulang sekolah. Terus, untuk membeli kebutuhan dapur kami juga seperti itu. Jadi, kalau misalnya istri mau belanja, itu juga kesusahan,” tuturnya.

    Atas kejadian ini, Darma mengaku pihaknya melaporkan kejadian itu ke Polres Samosir dengan nomor laporan STPL/21/1/2025/SPKT/RES SAMOSIR/SUMUT.

    Kata dia, polisi telah memproses kasus ini dan pada Jumat (31/1/2025) pihaknya telah menerima surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP).

    Isi SP2HP sendiri menjelaskan bahwa ada lima terlapor yang telah diperiksa polisi, yakni HH, JA, PA, RM, dan TA.

    Darma juga mengaku telah melapor ke aparat desa, kemudian mereka sempat mencegah dan meminta TA menghentikan aksinya.

    “Tapi si pelaku mengatakan, rasanya dia tidak bisa menghentikan kegiatan dan dia siap untuk diproses secara hukum,” ujar Darma.

    Terpisah, Kepala Desa Unjur, Saudara Nainggolan, saat dikonfirmasi membenarkan adanya sengketa yang dialami Darma dan TA.

    Namun, dia belum mendetailkan persoalan yang terjadi karena masih menghadiri sebuah acara di Samosir.

    “Enggak pas waktunya, nanti hubungi lagi,” katanya.

    Polisi: Masih Diselidiki

    Kasi Humas Polres Samosir Bripka Vandu P Marpaung saat dikonfirmasi membenarkan laporan yang dibuat Darma.

    Namun, dia belum mendetailkan duduk perkara persoalan yang dialami Darma dan TA. Dia mengatakan, proses penyelidikan masih terus dilakukan.

    “Terkait laporan dugaan perusakan masih dalam proses penyelidikan,” ujar Vandu melalui telepon seluler, Selasa (4/2/2025). (Tribunnews.com/TribunMedan.com/Kompas.com)

  • Komitmen Korea Utara dan Pelanggaran HAM terhadap Kelompok Rentan

    Komitmen Korea Utara dan Pelanggaran HAM terhadap Kelompok Rentan

    loading…

    Jisun Song, Akademi Diplomatik Nasional Korea Selatan. Foto/Istimewa

    Jisun Song
    Akademi Diplomatik Nasional Korea Selatan

    TAHUN 2024 merupakan tahun yang penting bagi hak asasi manusia (HAM). Tahun tersebut menandai peringatan 45 tahun Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) dan 35 tahun Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC).

    CEDAW dan CRC, bersama dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD), merupakan beberapa instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Korea Utara, masing-masing pada tahun 2001 (CEDAW), 1990 (CRC), dan 2016 (CRPD).

    Namun, meski telah melakukan ratifikasi, realitas menunjukkan gambaran yang sangat berbeda. Situasi HAM di Korea Utara masih memprihatinkan. Secara khusus, perhatian lebih harus diberikan kepada kelompok rentan, termasuk pada perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

    Sejumlah laporan dari organisasi masyarakat sipil, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan berbagai pemerintahan terus mengungkap pelanggaran HAM di Korea Utara. Misalnya, laporan PBB tahun 2014 dari Commission of Inquiry on Human Rights di Korea Utara menunjukkan adanya diskriminasi berdasarkan gender, disabilitas, dan usia. Sayangnya, sepuluh tahun kemudian situasi ini masih berlanjut, bahkan semakin memburuk akibat pandemi.

    Dalam siklus keempat Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB terhadap Korea Utara tahun 2024, berbagai badan PBB dan pemangku kepentingan lainnya memberikan informasi mengenai situasi pelanggaran HAM di Korea Utara. Akibatnya, negara-negara anggota PBB mengajukan total 294 rekomendasi. Namun, Korea Utara mencatat 88 rekomendasi dan menyatakan akan mempertimbangkan 206 sisanya di kemudian hari.

    Sayangnya, dari 88 rekomendasi yang hanya dicatat—yang secara teknis berarti tidak diterima atau tidak ditanggapi—terdapat rekomendasi terkait hak-hak perempuan dan anak-anak. Misalnya, Korea Utara hanya mencatat rekomendasi untuk menghapus semua bentuk pekerja anak baik di dalam negeri maupun di luar negeri; mengakhiri impunitas terhadap kekerasan berbasis gender dan seksual; menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, menghentikan perdagangan manusia; serta menghentikan praktik aborsi paksa terhadap perempuan yang dideportasi ke Korea Utara saat hamil.

    Rekomendasi-rekomendasi ini sangat mendasar dalam melindungi HAM, tidak hanya bagi perempuan dan anak-anak tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Sebab, kesejahteraan kelompok rentan ini memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan anggota keluarga dan komunitas lainnya. Selain itu, masih perlu dilihat apakah Korea Utara akan menerima dan melaksanakan 206 rekomendasi lainnya.

    Hanya saja, rekam jejak Korea Utara dalam menangani rekomendasi UPR sebelumnya tidak menunjukkan hasil yang positif. Hal ini juga sangat kontras dengan gambaran yang disampaikan Korea Utara dalam laporan Voluntary National Review (VNR) mengenai implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) yang diajukan ke PBB tahun 2021.

    Dalam laporan VNR-nya, Korea Utara menyatakan telah mencapai kesetaraan gender sejak lama, meningkatkan investasi bagi anak yatim dan lansia yang tidak memiliki pengasuh. Korea Utara juga mengklaim telah memperbaiki gizi perempuan dan anak-anak sambil mengambil semua langkah yang mungkin untuk melindungi HAM bagi kelompok rentan.

    Namun, bila dibandingkan dengan respons Korea Utara terhadap rekomendasi UPR selama empat siklus secara jelas menunjukkan kesenjangan antara retorika dan praktiknya. Dalam konteks ini, Korea Utara seharusnya mempertimbangkan secara serius untuk merespons seruan internasional untuk bekerja sama.

    Misalnya, komunitas internasional telah menawarkan bantuan kemanusiaan kepada Korea Utara, seperti yang dilakukan terhadap negara lain yang membutuhkan, guna melindungi HAM dan martabat manusia selama dan setelah krisis kemanusiaan. Jika benar-benar ingin melindungi HAM rakyatnya seperti yang mereka klaim, Korea Utara seharusnya mencari cara untuk bekerja sama dengan komunitas global. Jangan malah menutup diri.

    (rca)

  • Kata Migrant Care soal Penembakan WNI di Malaysia: Masuk Kategori "Extrajudicial Killing"
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Januari 2025

    Kata Migrant Care soal Penembakan WNI di Malaysia: Masuk Kategori "Extrajudicial Killing" Nasional 27 Januari 2025

    Kata Migrant Care soal Penembakan WNI di Malaysia: Masuk Kategori “Extrajudicial Killing”
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Migrant Care
    mengecam keras insiden
    penembakan
    pekerja migran Indonesia di Malaysia yang dinilai sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
    Direktur Eksekutif Migrant Care,
    Wahyu Susilo
    , menyebut tindakan tersebut tergolong
    extrajudicial killing
     atau pembunuhan tanpa melalui prosedur hukum.
    “Dalam perspektif HAM, insiden ini masuk kategori
    extrajudicial killing.
    Pemerintah Indonesia wajib melakukan protes keras terhadap pemerintah Malaysia atas tindakan ini,” ujar Wahyu kepada Kompas.com, Senin (27/1/2025).
    Wahyu menyoroti bahwa
    penembakan pekerja migran
    Indonesia bukanlah kasus baru.
    Berdasarkan data Migrant Care, sejak 2005 hingga 2025, tercatat sedikitnya 75 pekerja migran Indonesia yang ditembak hingga tewas oleh aparat bersenjata Malaysia, termasuk Polisi Diraja Malaysia.
    “Kasus ini bukan yang pertama. Selama 20 tahun terakhir, sudah ada 75 pekerja migran kita yang ditembak mati,” ungkap dia.
    “Ini menunjukkan adanya impunitas dan kurangnya upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan maksimal bagi pekerja migran,” tegas Wahyu.
    Menurut Wahyu, status pekerja migran sebagai
    undocumented worker
    atau non-prosedural tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan pelanggaran HAM.
    “Apapun statusnya, mereka adalah manusia yang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan,” jelas dia.
    “Status pekerja migran yang tidak berdokumen tidak boleh menjadi alasan pembenaran untuk tindakan seperti ini,” ujar Wahyu.
    Migrant Care mendesak pemerintah Indonesia untuk menjadikan insiden ini sebagai momentum untuk mengusut tuntas kasus-kasus serupa yang terjadi sebelumnya.
    Wahyu menilai bahwa kasus-kasus ini terus berulang karena kurangnya pembelaan yang serius dari pemerintah.
    “Jika tidak ada upaya tegas, aparat Malaysia yang melakukan
    ekstrajudisial killing
    akan terus merasa kebal hukum,” jelasnya. “Pemerintah Indonesia harus memastikan tidak ada lagi impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM ini,” tambahnya.
    Migrant Care meminta pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah diplomatik yang kuat terhadap Malaysia.
    Selain itu, Wahyu menegaskan pentingnya meningkatkan perlindungan hukum bagi seluruh pekerja migran Indonesia, baik yang terdokumentasi maupun tidak.
    “Kita tidak ingin impunitas itu dimiliki oleh aparat Malaysia yang melakukan penembakan atau ekstrajudisial killing, tapi dia tidak menjalani penghukuman,” pungkas Wahyu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Legislator Demokrat Respons Wacana Amnesti dan Abolisi untuk KKB Papua – Halaman all

    Legislator Demokrat Respons Wacana Amnesti dan Abolisi untuk KKB Papua – Halaman all

     

    Legislator Demokrat Respons Wacana Amnesti dan Abolisi untuk KKB Papua

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi Partai Demokrat Raja Faisal Manganju Sitorus, merespons wacana pemberian amnesti dan abolisi kepada pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata di Papua. 

    Menurutnya, kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama dan menimbulkan banyak korban jiwa serta trauma bagi masyarakat Papua.

    Dia pun mendukung langkah tersebut sebagai bagian dari upaya pemerintah menyelesaikan konflik Papua secara damai, berlandaskan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

    “Pemberian amnesti dan abolisi kepada pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata di Papua merupakan langkah strategis untuk menciptakan perdamaian. Namun, kebijakan ini harus dilaksanakan secara hati-hati dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak, termasuk tokoh adat, gereja, dan masyarakat setempat,” kata Raja Faisal kepada wartawan, Senin (27/1/2025).

    Legislator Demokrat ini juga menekankan pentingnya kebijakan ini dilakukan dengan tetap mengedepankan aspek keadilan, terutama bagi para korban konflik. 

    Menurut Raja Faisal, pendekatan dialog menjadi kunci utama dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.

    “Amnesti tidak boleh mengabaikan hak-hak korban, khususnya dalam kasus pelanggaran berat HAM. Kebijakan ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel agar benar-benar menjadi solusi yang adil dan damai,” ujarnya.

    Raja Faisal juga menyoroti perlunya pendekatan dialog yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di Papua, seperti tokoh adat, pemuka agama, dan organisasi masyarakat sipil.

    “Kami mendorong pemerintah untuk memperkuat dialog dengan masyarakat Papua. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan sekaligus memastikan kebijakan ini sejalan dengan aspirasi lokal,” ucapnya.

    Raja Faisal ini menyebut, langkah pemerintah mendata pihak-pihak yang layak mendapatkan amnesti menunjukkan komitmen serius untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Papua.

    “Kebijakan ini bisa menjadi momentum besar untuk membangun Papua yang damai, maju, dan berkeadilan. Kami di DPR siap mendukung kebijakan ini selama dilakukan sesuai mekanisme hukum yang berlaku,” tandasnya.

    Diberitakan, Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, Presiden Prabowo Subianto sedang mempertimbangkan memberikan amnesti kepada orang-orang yang terlibat dalam kelompok kekerasan bersenjata di Papua.

    Yusril mengatakan, saat ini, Kementerian Hukum sedang mendata siapa saja yang bisa diberikan amnesti. 

    “Pada dasarnya, Presiden Prabowo sudah setuju untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam konflik di Papua dan menyelesaikan masalah di sana secara damai dengan mengedepankan hukum dan HAM.”

    “Saya pikir ini akan menjadi harapan baru bagi kami untuk menemukan solusi bagi Papua,” kata Yusril dalam pertemuan dengan delegasi pemerintah Kerajaan Inggris melalui keterangan tertulis, Rabu (22/1/2025).

    Yusril mengatakan, pihaknya memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan konflik di Papua.

    Ia menyebutkan, salah satu pihak yang sudah menawarkan bantuan untuk menyelesaikan konflik Papua adalah Juha Christensen, aktivis perdamaian asal Finlandia yang pernah terlibat dalam proses perdamaian di Aceh.

    Aturan Pemberian Amnesti dan Abolisi

    Selama ini bermacam cara dan upaya telah dilakukan berbagai pihak untuk menghentikan konflik antara aparat pemerintah dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

    Namun demikian, korban luka maupun tewas masih saja berjatuhan dari kedua pihak bahkan juga masyarakat sipil.

    Belum lagi dampak psikologis yang ditimbulkan konflik tersebut terhadap masyarakat yang ada di Papua.

    Situasi itu pun menjadi perbincangan baik di tingkat nasional maupun internasional.

    Terkini pemerintah pusat menyatakan tengah mempertimbangkan untuk memberikan amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang terlibat dalam kelompok bersenjata di Papua.

    Amnesti merujuk pada tindakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada individu atau sekelompok individu yang telah melakukan tindak pidana tertentu.

    Sedangkan abolisi merujuk pada penghapusan proses hukum oleh kepala negara terhadap terpidana perorangan yang sedang berjalan.

    Aturan mengenai pemberian amnesti dan abolisi juga termuat dalam pasal 14 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan 
    Dewan Perwakilan Rakyat”.

    Paling baru, pemerintah disebut-sebut tengah mendata siapa saja yang bisa diberikan amnesti.

    Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra menyatakan pada dasarnya, Presiden RI Prabowo Subianto sudah setuju untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam konflik di Papua dan menyelesaikan masalah di sana secara damai dengan mengedepankan hukum dan HAM.

    Kata Yusril saat ini Kementerian Hukum sedang mendata siapa saja yang bisa diberikan amnesti.

    Hal itu disampaikan Yusril saat membahas soal kebijakan pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo terhadap konflik di Papua saat melakukan pertemuan dengan delegasi Kerjaaan Inggris di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta pada Senin (20/1/2025).

    “Pada dasarnya, Presiden Prabowo sudah setuju untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam konflik di Papua dan menyelesaikan masalah di sana secara damai dengan mengedepankan hukum dan HAM,” ungkap Yusril dalam Siaran Pers tertanggal 21 Januari 2025.

    “Saya pikir ini akan menjadi harapan baru bagi kami untuk menemukan solusi bagi Papua,” lanjut dia.

    Lalu bagaimana respons berbagai pihak yang selama ini juga terlibat dan menaruh perhatian pada penyelesaian konflik di Papua?

    Komnas HAM Perlu Informasi Lebih Banyak

    Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro menyatakan agenda pemerintah terkait pemberian amnesti perlu didukung sebagai sebuah strategi untuk resolusi konflik dan mendorong perdamaian di Papua melalui pendekatan non kekerasan.

    Ia mencatat amnesti adalah kebijakan politik hukum yang umum digunakan oleh negara-negara yang ingin menyelesaikan konflik, seperti salah satu yang terkenal adalah pemberian “blanket amnesty” di Afrika Selatan. 

    Atnike juga mencatat, Indonesia pernah menggunakan kebijakan amnesti dan abolisi dalam penyelesaian konflik di Aceh.

    Sedangkan dalam konteks Papua, ia memandang rencana pemberian Amnesti tersebut tentu bertujuan untuk menyelesaikan konflik di Papua. 

    “Komnas HAM perlu mendapatkan informasi lebih mengenai rencana ini, seperti bagaimana model amnesti yang diberikan, siapa yang menjadi sasaran amnesti, dan sejauh mana rencana amnesti ini telah didialogkan dengan berbagai kelompok di Papua,” kata Atnike saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Sabtu (25/1/2025).

    Ia juga berpandangan idealnya pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan juga dialog mengenai rencana tersebut kepada berbagai kelompok dan tokoh di Papua, baik kelompok adat, gereja, pemerintah daerah, dan juga kelompok bersenjata.

    Hal tersebut menurutnya perlu dilakukan agar tawaran kebijakan amnesti nantinya dapat berjalan efektif.

    “Selain itu, amnesti tidak dapat diperlakukan sebagai panacea (obat dari dari segala penyakit) bagi persoalan konflik di Papua,” kata Atnike.

    “Pemerintah tetap perlu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial, ekonomi, dan politik di Papua, dan memulihkan masyarakat yang selama ini menjadi korban kekerasan dan pelanggaran HAM,” ungkap dia.

    Mabes TNI Memandang Perlu Kajian Komprehensif

    Diberitakan sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen TNI Hariyanto, memandang rencana pemberian amnesti dan abolisi tersebut perlu melalui kajian yang komprehensif sebelum diterapkan.

    Bahkan, ia menyebut kajian komprehensif tersebut sebuah keharusan.

    “Langkah pemberian amnesti ini tentunya harus melalui kajian yang sangat komprehensif,” kata Hariyanto dilansir dari Kompas.com pada Kamis (23/1/2025). 

    Dia menjelaskan pemberian amnesti juga tidak akan mengurangi tugas pokok TNI antara lain menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah, dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

    Ia meyakini setiap keputusan yang diambil pemerintah dilakukan untuk mengedepankan kepentingan nasional.

    Dia juga meyakini, langkah itu dilakukan untuk memastikan perdamaian di Papua dapat tercapai tanpa mengorbankan keamanan dan kedaulatan negara.

    “Pada prinsipnya, Mabes TNI mendukung penuh kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas nasional dan upaya menyelesaikan konflik di Papua secara damai,” kata Hariyanto.

    DPR Tekankan Mekanisme dan Kajian

    Diberitakan sebelummya, Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Puan Maharani juga telah menyampaikan tanggapannya terkait wacana itu.

    Menurut Puan kebijakan itu harus melalui kajian yang matang.

    “Pemberian amnesti itu ada mekanismenya, dan pastinya sebelum dilakukan hal tersebut ada kajiannya,” kata Puan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat (24/1/2025).

    “Dan memang ada diskresi yang bisa dilakukan presiden,” tambah Puan.

    Dia juga meyakini pemerintah telah mempertimbangkan dengan matang dan akan menempuh mekanisme yang ada serta melakukan kajian mendalam terkait langkah tersebut.

    “Namun saya meyakini hal itu pasti sudah dipikirkan dengan matang sesuai dengan kajian dan mekanisme yang ada,” kata Puan.

    NGO Bicara Prinsip Soal Pelanggaran HAM Berat

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid memandang amnesti dan abolisi idealnya diberikan untuk pelanggaran hukum yang tidak tergolong sebagai pelanggaran berat HAM dalam konteks Papua.

    Amnesty, kata Usman, berprinsip pelanggaran berat HAM tidak boleh termasuk dalam cakupan kejahatan yang diberikan amnesti atau abolisi. 

    Ia menyatakan prinsip itu sejalan dengan standar HAM internasional yang menegaskan pelaku pelanggaran berat HAM harus dimintai pertanggungjawaban di pengadilan.

    Menurut dia, hal itu penting untuk mencegah terjadinya impunitas.

    “Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM di Papua dan di daerah-daerah lain harus tetap diproses melalui mekanisme hukum yang adil dan transparan, yaitu Pengadilan HAM,” kata Usman saat dihubungi Tribunnews.com pada Sabtu (25/1/2025).

    Ia memandang kebijakan abolisi dan amnesti dapat menjadi langkah awal yang penting untuk memulai langkah mengakhiri kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.

    Namun untuk memulainya, kata Usman, Pemerintah harus melakukan dialog dengan semua pihak, dari tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh perempuan, tokoh-tokoh gereja, perwakilan masyarakat maupun kelompok pro-kemerdekan Papua.

    Selain itu, menurutnya amnesti dan abolisi harus menjadi bagian dari kebijakan yang lebih besar, yaitu untuk mengakhiri konflik bersenjata dan membangun perdamaian. 

    Usman juga mengingatkan pengakuan dan penghormatan negara atas hak-hak masyarakat adat, pembangunan yang berkeadilan, dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua tetap mutlak diperlukan.

    “Pemerintah harus memastikan bahwa Orang Asli Papua mendapat manfaat yang nyata dari pembangunan di Papua, yang tidak hanya berupa infrastruktur tapi juga perlindungan kebebasan sipil dan politik serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan,” tegas Usman.

    “Siapapun yang ingin mengupayakan perdamaian di Papua patut disambut baik selama yang bersangkutan merupakan pihak yang imparsial atau tidak berpihak serta diterima oleh seluruh pihak yang terlibat dalam permusuhan dan konflik bersenjata, terutama perwakilan negara Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan Papua,” lanjut dia.

     

    (*/umam/tribunnews)

  • Migrant CARE kecam aksi penembakan yang dilakukan aparat Malaysia

    Migrant CARE kecam aksi penembakan yang dilakukan aparat Malaysia

    “Apapun alasannya penembakan terhadap pekerja migran Indonesia yang mengakibatkan luka-luka dan hilangnya nyawa merupakan pelanggaran HAM dan harus di usut tuntas,karena pekerja migran Indonesia bukanlah penjahat kriminal,”

    Jakarta (ANTARA) – Koordinator Bantuan Hukum Migrant CARE Nurharsono mengecam aksi penembakan yang dilakukan APMM (Agency Maritim Malaysia) terhadap pekerja migran Indonesia di permainan Tanjung Rhu, Malaysia.

    Dia menilai aksi penembakan tersebut secara tuntas karena pekerja migran merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang harus dilindungi.

    “Apapun alasannya penembakan terhadap pekerja migran Indonesia yang mengakibatkan luka-luka dan hilangnya nyawa merupakan pelanggaran HAM dan harus di usut tuntas,karena pekerja migran Indonesia bukanlah penjahat kriminal,” kata Nurhasono dalam siaran pers yang diterima ANTARA, Senin.

    “Rentetan peristiwa ini semakin menegaskan bahwa Malaysia sejak dulu hingga sekarang tidak ramah bagi pekerja migran Indonesia,” kata dia.

    Pihaknya pun meminta pemerintah Indonesia mengusut tuntas kasus penembakan tersebut dan memberikan perlindungan penuh kepada para pekerja migran Indonesia yang masih bekerja di Malaysia.

    “Migrant CARE menyampaikan duka mendalam bagi keluarga korban penembakan dan mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah diplomatik atau juga dipertimbangkan langkah penghentian penempatan PMI ke Malaysia,” jelas dia.

    Sebelumnya, insiden penembakan terhadap lima PMI non-prosedural oleh APMM terjadi pada Jumat (24/1) pukul 03.00 dini hari waktu Malaysia.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

  • 27 Januari 2008: Soeharto, Bapak Pembangunan Indonesia

    27 Januari 2008: Soeharto, Bapak Pembangunan Indonesia

    Soeharto adalah Presiden Indonesia kedua yang menjabat sejak tahun 1968 sampai 1998. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai penjabat presiden sebelum akhirnya diangkat menjadi presiden. (https://tinyurl.com/4hvasfae)

    27 Januari 2008: Soeharto, Bapak Pembangunan Indonesia
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Senin, 27 Januari 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Soeharto, yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan Indonesia, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah modern Indonesia. Ia lahir pada 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Yogyakarta, dari keluarga petani sederhana. Perjalanan hidupnya yang penuh dinamika membentuk perannya sebagai pemimpin yang kontroversial namun berpengaruh besar dalam perjalanan bangsa.

    Awal Kehidupan dan Karier Militer

    Masa kecil Soeharto diwarnai dengan kehidupan sederhana di pedesaan Jawa. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia memutuskan untuk bergabung dengan dunia militer pada era penjajahan Hindia Belanda. Karier militernya semakin menonjol selama masa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Soeharto menjadi salah satu perwira yang memimpin operasi-operasi penting, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

    Naik ke Puncak Kekuasaan

    Soeharto mulai mendapatkan perhatian nasional ketika ia ditunjuk untuk memimpin Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada awal 1960-an. Perannya menjadi krusial pada tahun 1965 ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, Soeharto mengambil alih kendali militer dan politik, yang akhirnya membuka jalan baginya untuk menjadi Presiden Indonesia pada tahun 1967, menggantikan Soekarno.

    Era Orde Baru

    Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun, dari 1967 hingga 1998, dalam periode yang dikenal sebagai Orde Baru. Pemerintahannya ditandai oleh fokus pada stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur. Ia berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, yang menjadi salah satu pencapaian terbesar di masanya.

    Namun, masa pemerintahannya juga diwarnai dengan kritik terhadap otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan korupsi yang meluas. Soeharto menggunakan pendekatan keras untuk menjaga stabilitas politik, termasuk melalui pengawasan ketat terhadap media dan aktivitas politik oposisi.

    Kejatuhan dan Warisan

    Krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an mengguncang fondasi pemerintahan Soeharto. Tekanan dari masyarakat, mahasiswa, dan komunitas internasional akhirnya memaksanya untuk mundur dari jabatannya pada Mei 1998. Pengunduran dirinya menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era reformasi di Indonesia.

    Meskipun pemerintahannya kontroversial, Soeharto tetap dikenang sebagai tokoh yang membawa transformasi besar dalam bidang ekonomi dan infrastruktur. Sebagian masyarakat Indonesia menghormatinya sebagai pemimpin visioner, sementara yang lain mengkritiknya karena pelanggaran HAM dan korupsi selama masa jabatannya.

    Akhir Kehidupan

    Setelah mundur dari jabatan presiden, Soeharto hidup relatif tertutup dan jarang muncul di hadapan publik. Ia meninggal dunia pada 27 Januari 2008 di Jakarta pada usia 86 tahun. Warisannya tetap menjadi topik diskusi hangat di kalangan akademisi, politisi, dan masyarakat umum hingga saat ini.

    Soeharto adalah simbol dari sebuah era yang kompleks dalam sejarah Indonesia. Perannya sebagai pemimpin bangsa, baik dalam keberhasilan maupun kekurangannya, menjadikan dia sebagai figur yang tak terlupakan dalam perjalanan negeri ini.

    Sumber : Sumber Lain

  • Aksi Tolak PSN SWL, Nelayan Surabaya dan Mahasiswa Demo di Kementerian KKP dan Surati Ombudsman RI

    Aksi Tolak PSN SWL, Nelayan Surabaya dan Mahasiswa Demo di Kementerian KKP dan Surati Ombudsman RI

    Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Bobby Koloway

    TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Nelayan Kenjeran bulat menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL) dilanjutkan. Mereka menyuarakan sikap ini kepada sejumlah kementerian di pemerintah pusat.

    Hal ini merupakan langkah lanjutan setelah sebelumnya masyarakat nelayan juga mendapat dukungan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dan Komisi C DPRD Surabaya. Upaya ini menjadi penting mengingat hanya pemerintah pusat yang bisa menghentikan pengerjaan PSN.

    Kementerian yang didatangi nelayan tersebut di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Rabu (22/1/2025). “Kami di Jakarta sejak Selasa (21/1/2025),” kata Koordinator Forum Masyarakat Madani Maritim (F3M), Heroe Budiarto dikonfirmasi dari Surabaya, Jumat (24/1/2025).

    Di KKP, nelayan berharap Kementrian dapat menghentikan penerbitan izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sebagai dasar reklamasi. Mereka bersama sejumlah aliansi dan organisasi masyarakat lain turut menggelar aksi.

    “Kami menyerahkan dokumen penolakan dengan harapan kementerian mempertimbangkan suara nelayan, petani tambak, UMKM, dan warga pesisir yang tersebar di 12 kelurahan, 4 kecamatan di Surabaya. Mereka semua terdampak,” kata Heroe.

    Perwakilan elemen nelayan tersebut mengaku belum menemui titik terang. KKP seakan menutup pintu komunikasi dengan nelayan. “Kami menduga ada nuansa politis,” katanya.

    Di Jakarta, pihaknya mendapatkan dukungan advokasi dari beberapa pihak lain. Di antaranya Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah.

    F3M turut berkunjung ke kantor PP Muhammadiyah dan bertemu dengan Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah, Busyro Muqoddas, dan beberapa elemen masyarakat lainnya. “Kami mendapatkan bantuan advokasi dari berbagai pihak,” katanya.

    Selain dari elemen masyarakat, dukungan juga datang dari parlemen. Fraksi PDI Perjuangan dan PKS DPR RI yang di antaranya Anggota DPR RI Reni Astuti, turut mengundang mereka dan ikut dalam rapat kerja Komisi IV DPR RI dengan Kementerian KKP, Kamis (23/1/2024).

    Melalui forum rapat kerja DPR bersama KKP, Anggota Komisi IV DPR RI Sonny Danapramita (Fraksi PDI Perjuangan) dan Riyono (Fraksi PKS) menyerahkan dokumen penolakan PSN SWL dari F3M kepada Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono. “Kami dari atas balkon, berharap Kementerian menindaklanjuti dokumen penolakan ini,” katanya.

    Tak cukup dengan hal tersebut, nelayan dengan didukung mahasiswa dan organisasi Muhammadiyah Surabaya juga melayangkan surat kepada Ombudsman. Menurut mereka, ada kesalahan administrasi dalam penerbitan status SWL sebagai bagian dari PSN

    Di antaranya, dugaan pelanggaran kepemilikan tanah oleh pengembang SWL (dari yang awalnya kepemilikan seluas memiliki 50 hektar, namun bertambah hingga 100 hektar). Kemudian, penunjukan PT Granting Jaya sebagai operator PSN yang dinilai tidak transparan.

    “Hal ini memiliki potensi risiko praktik Korupsi, kolusi dan nepotisme. Alasan penunjukan tersebut juga dipertanyakan, mengingat PT Granting Jaya memiliki beberapa catatan hukum,” katanya.

    “Sehingga, kami mendesak Ombudsman untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah RI untuk membatalkan PSN SWL dengan alasan melanggar Perda RTRW, merusak RTH dan area konservasi, merampas ruang laut yang menjadi lahan mata pencaharian masyarakat pesisir, hingga adanya potensi pelanggaran HAM jika PSN SWL tetap dilanjutkan,” katanya.

    Tak cukup di sini, perjuangan nelayan rencananya masih akan berlanjut. Mereka tengah meminta audiensi dengan Menteri KKP, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

    “Kami saat ini tengah kembali ke Surabaya karena kami juga harus berkerja sebagai nelayan. Namun, perjuangan ini belum selesai karena kami akan terus berjuang hingga PSN SWL dibatalkan,” tegasnya. 

    Sebelumnya, dukungan terhadap sikap nelayan yang menolak PSN dilontarkan Anggota DPR RI Sonny Danapramita (Fraksi PDI Perjuangan) dan Riyono (Fraksi PKS). Mereka juga menyerahkan dokumen penolakan kepada Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono. 

    Pada penjelasannya, Sonny mengungkap telah bertemu nelayan di pesisir Surabaya. Menurut Sonny, selayaknya Kementerian menindaklanjuti rencana Presiden Prabowo Subianto yang akan mengkaji ulang PSN yang telah ditetapkan pemerintahan sebelumnya. SWL sebagai PSN di era sebelumnya, layak untuk dievaluasi.

    “Beberapa waktu lalu, kami telah bertemu dengan Forum Masyarakat Madani Maritim. Intinya adalah selaras dengan pernyataan Pak Presiden yang akan mengevaluasi PSN,” kata Sonny.

    “Mereka menolak reklamasi pantai di Timur Surabaya terkait dengan Surabaya Waterfront Land. Kenapa ini penting? Kami sampaikan langsung dokumen ini kepada Pak Menteri, karena kami sudah janji bahwa kami akan menyampaikan langsung kepada Pak Menteri,” kata Sonny pada forum rapat kerja di DPR RI dengan KKP tersebut.