Pedemo Bukan Penjahat
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
TERJADI
gelombang aksi
demonstrasi
di pelbagai daerah untuk menolak pengesahan revisi UU TNI. Jalanan dipenuhi suara tuntutan, spanduk membentang dengan seruan keras, dan massa berkumpul menyuarakan keberatan atas aturan yang dianggap mengancam demokrasi.
Namun, bukannya mendengar aspirasi, aparat justru merespons dengan represif.
Water cannon
menyapu barisan demonstran, gas air mata mengepul, dan pentungan menghantam tubuh yang cuma berbekal keberanian.
Beberapa jurnalis yang meliput tak luput dari kekerasan. Kamera dirampas, rekaman dihapus paksa, bahkan ada yang mengalami intimidasi fisik.
Di Malang dan Jakarta, tak cuma massa aksi yang menjadi korban, tetapi juga tim medis yang semestinya mendapat pelindungan.
Alat kesehatan dirampas, mereka dipukuli, dan ancaman verbal dilontarkan tanpa rasa takut. Tak cuma itu, bahkan salah seorang pengemudi ojek online (ojol) menjadi sasaran pengeroyokan. Hal ini, ramai beredar video di media sosial, seperti X dan Instagram.
Sikap represif ini menunjukkan kegagalan aparat memahami esensi demokrasi.
Demonstrasi
bukan ancaman, melainkan hak yang dijamin Konstitusi dan pelbagai instrumen HAM.
Kekerasan terhadap demonstran, jurnalis, tim medis, bahkan pengemudi ojol bukan sekadar tindakan sewenang-wenang aparat, tetapi serangan langsung terhadap HAM.
Negara tidak bisa berdalih. Sebagai
duty bearer
HAM, negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga (selaku
right holders
), termasuk kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Namun, tindakan represif aparat justru menciderai hak-hak tersebut, menunjukkan bahwa negara menjadi pelaku utama pelanggaran HAM. Kekerasan terhadap demonstran, jurnalis, tim medis, dan pengemudi ojol mengindikasikan kegagalan negara menjalankan kewajibannya.
Sejatinya, instrumen HAM internasional dan nasional telah menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dan 21 ICCPR, DUHAM, serta Pasal 28E ayat (3) dan 28I UUD NRI 1945.
Namun, praktik di lapangan justru bertolak belakang, di mana negara melalui aparat keamanan merespons kritik dengan tindakan represif yang menciderai hak asasi manusia.
Mestinya, penggunaan kekuatan menjunjung tinggi prinsip legalitas, proporsionalitas, nesesitas, dan akuntabilitas.
Namun, realitasnya
water cannon
, gas air mata, dan kekerasan fisik kerap digunakan secara “ugal-ugalan” dan serampangan tanpa memperhitungkan keselamatan demonstran, jurnalis, dan tenaga medis.
Alih-alih melindungi warga, negara justru menciptakan ketakutan dan membungkam suara rakyat. Komitmen terhadap HAM tidak boleh hanya sebatas retorika, tetapi mesti diwujudkan dalam pelindungan nyata atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.
HAM tidak cukup sekadar tercantum dalam dokumen hukum—mesti diimplementasikan nyata. Jika pembiaran terus terjadi, maka demokrasi akan terkikis, impunitas semakin subur, dan negara hanya berfungsi sebagai mesin represi.
Aparat brutal harus diproses hukum, kebijakan represif harus dievaluasi, dan negara harus segera menghentikan kekerasan terhadap demonstran. Jika terus abai, maka kepercayaan publik akan runtuh, meninggalkan negara dalam jurang otoritarianisme.
Negara yang demokratis tidak menganggap rakyat sebagai musuh. Demonstrasi bukan ancaman, tetapi bentuk kepedulian terhadap kebijakan publik. Aparat bukan alat kekuasaan untuk menekan kritik, melainkan pelindung hak setiap warga negara.
Jika represi terus dibiarkan, maka kepercayaan publik akan semakin runtuh, dan pemerintah hanya akan dikenal sebagai rezim yang alergi terhadap suara rakyat.
Revisi UU TNI
yang kontroversial bukan hanya soal regulasi militer, tetapi juga cerminan dari bagaimana negara memperlakukan warganya. Ketika kritik dihadapi dengan kekerasan, itu pertanda bahwa demokrasi sedang sakit.
Jika pemerintah benar-benar peduli terhadap keadilan dan hak asasi manusia, maka bukan pendemo yang harus diam—melainkan aparat yang harus dikendalikan.
Negara mesti segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan kekerasan aparat terhadap warga yang menggunakan hak konstitusionalnya.
Tak bisa dibiarkan, aparat yang melakukan tindakan brutal mesti diproses hukum—bukan justru mendapat pembelaan dengan dalih menjaga ketertiban.
Pemerintah mesti berhenti berlindung di balik retorika stabilitas keamanan sembari membiarkan impunitas merajalela.
Jika demokrasi masih dihargai, maka harus ada jaminan bahwa ruang sipil tetap terbuka, bukan justru dipersempit dengan intimidasi dan represi.
Menyikapi gelombang protes dengan kekerasan cuma akan mempercepat erosi legitimasi negara, menjauhkan rakyat dari kepercayaan terhadap institusi yang semestinya melindungi mereka.
Jika negara terus abai, maka rakyatlah yang akan menentukan sendiri bagaimana cara mempertahankan hak dan suaranya.
Pedemo bukan penjahat, melainkan warga negara yang menuntut haknya dalam ruang demokrasi. Para demonstran tidak mengangkat senjata, tidak menyebarkan ketakutan, dan tidak berupaya membuat negara sengsara—hanya ingin didengar.
Jika negara terus memperlakukan massa aksi sebagai musuh, maka yang sebenarnya terancam bukan cuma kebebasan sipil, tetapi juga legitimasi pemerintahan itu sendiri.
Demokrasi yang sehat tidak diukur dari seberapa keras aparat membungkam kritik, melainkan dari seberapa jauh negara bisa menampung aspirasi rakyatnya tanpa rasa takut.
Jika benar pemerintah peduli terhadap demokrasi, maka biarkan suara publik bergema, bukan dipukul dan dibungkam.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: Pelanggaran HAM
-
/data/photo/2025/03/27/67e47dc1963fc.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pedemo Bukan Penjahat
-

Hasto Kristiyanto Siap Hadapi Persidangan Hari Ini, Agenda Dengarkan Tanggapan JPU KPK – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto akan menjalani persidangan lanjutan terkait kasus Harun Masiku di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada Kamis (27/3/2025) hari ini.
Adapun, agenda persidangan yakni mendengarkan tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas eksepsi Hasto Kristiyanto.
Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail mengatakan, pihaknya siap menghadapi persidangan.
Dimana, Hasto maupun tim hukum akan menjadi pendengar yang baik dalam pembacaan tanggapan JPU KPK.
Terutama, tekait teknis pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap Hasto.
“Ya kami itu kan jadi pendengar yang baik saja, kami harus mendengar apa yang akan disampaikan oleh pihak KPK,” kata Maqdir di kawasan Menteng, Jakarta, pada Rabu (26/3/2025).
“Terutama terkait dengan hal-hal teknis mengenai proses pemeriksaan ketika penyelidikan yang mereka lakukan. Itu salah satu di antaranya yang harus kami dengar besok,” tambah dia.
Maqdir menambahkan, pihaknya juga berharap majelis hakim dapat melihat secara jernih perkara yang menimpa Hasto ini.
Apalagi, kata Maqdir, pihaknya telah menyampaikan bahwa perkara yang menimpa Hasto dilakukan dengan cara yang tidak benar.
“Ini yang harus kami perbaharui, itu yang harus kami hentikan. Kami gak mau proses hukum itu dilakukan dengan cara-cara yang, ya kalau istilah kami mungkin ya ugalan-ugalan sih tidak ya, tetapi ini dengan cara-cara yang tidak patuh, itu yang kita saksikan,” tegas Maqdir.
Sementara, Maqdir menyampaikan bahwa Hasto Kristiyanto kini dalam kondisi sehat.
Bahkan, lanjut dia, Hasto dalam kondisi siap menghadapi situasi apapun.
“Ya (Hasto) kondisinya baik dan dia apapun yang akan terjadi akan kita hadapi,” kata Maqdir.
SIDANG PRAPERADILAN HASTO – Kuasa Hukum Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail menyebut putusan hakim tidak menerima permohonan kliennya merupakan pelecehan baru, PN Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025) Ia juga mempertanyakan putusan hakim melarang menguji dua penetapan tersangka dalam satu permohonan. (Tribunnews/Rahmat Nugraha). (Tribunnews.com/Rahmat W. Nugraha)
Sebelumnya, Hasto Kristiyanto, menyatakan terdapat operasi 5 M yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat mengusut kasus suap dan perintangan pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku yang saat ini menjeratnya.
Adapun hal ini Hasto ungkapkan saat membacakan nota keberatan atau eksepsi pribadinya atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) KPK terkait kasus tersebut di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Hasto menuturkan bahwa operasi 5M yang dilakukan KPK dianggapnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip hukum.
“Proses penyidikan yang dilakukan KPK terhadap saya dan saksi-saksi jelas melanggar HAM. Penyidik KPK melakukan operasi 5M, menyamar, membohongi, mengintimidasi, merampas, dan memeriksa tanpa surat panggilan. Ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip hukum yang adil,” ucap Hasto di ruang sidang.
Terkait hal ini mulanya Hasto menceritakan bahwa dirinya pada 10 Juni 2024 diperiksa penyidik KPK bernama Rossa Purbo Bekti untuk mengusut kasus yang melibatkan buronan Harun Masiku.
Namun saat pemeriksaan itu, Hasto mengaku justru hanya didiamkan di ruang pemeriksaan selama tiga jam.
Usut punya usut Hasto pun menilai bahwa pemeriksaan terhadapnya hanya sebagai kedok dari KPK yang pada dasarnya untuk merampas barang pribadi milik Kusnadi Staf pribadinya.
“Ternyata pemeriksaan saya hanya sebagai kedok, tujuannya sebenarnya adalah untuk merampas paksa barang-barang saudara Kusnadi yang dilakukan secara melawan hukum,” ujar Hasto.
SIDANG DAKWAAN – Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (14/3/2025). Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Hasto Kristiyanto dalam kasus suap dan perintangan penyidikan perkara korupsi tersangka Harun Masiku pada rentang waktu 2019-2024. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)
Hasto juga menerangkan, saat itu Kusnadi didatangi oleh penyidik KPK yang menyamar dan dianggapnya melakukan intimidasi.
Kemudian saat itu penyidik menyita barang pribadi milik Kusnadi dan beberapa barang milik DPP PDIP.
“Penyidik KPK menyamar, membohongi, dan mengintimidasi Kusnadi. Barang-barang milik Kusnadi dan DPP Partai, termasuk telepon genggam dan buku catatan rapat partai, dirampas tanpa surat panggilan yang sah,” kata Hasto.
Hasto menuturkan bahwa tindakan KPK tersebut melanggar prinsip penghormatan terhadap HAM yang diatur dalam UU KPK No.19 Tahun 2019.
“KPK di dalam menjalankan tugasnya harus berasaskan pada penghormatan terhadap HAM. Namun, dalam praktiknya, KPK justru melakukan pelanggaran HAM yang serius,” ujarnya.
Akibat adanya operasi 5M itu, Hasto menyoroti dampak psikologis yang dialami Kusnadi usai mengalami hal tersebut.
Pasalnya dalam operasi itu, Kusnadi kata Hasto diperiksa selama tiga jam dan tanpa adanya surat pemanggilan sebagai saksi sebelumnya.
“Kusnadi diintimidasi dan diperiksa selama hampir tiga jam tanpa surat panggilan. Barang-barang yang dirampas kemudian dijadikan sebagai bukti dalam surat dakwaan. Ini adalah bukti yang diperoleh secara melawan hukum,” ujarnya.
Tak hanya itu, dalam eksepsinya, Hasto mengatakan operasi 5M tersebut tidak hanya merugikan Kusnadi.
Ia menilai operasi tersebut dianggapnya juga merusak integritas proses hukum.
“Bukti yang diperoleh melalui cara-cara melawan hukum tidak sah dan seharusnya tidak dapat digunakan dalam persidangan,” kata Hasto.
Alhasil Hasto pun meminta majelis hakim untuk menolak bukti-bukti yang disodorokan JPU KPK yang diperoleh melalui operasi tersebut
“Saya memohon kepada majelis hakim yang mulia untuk menolak bukti-bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Proses hukum harus dilakukan dengan cara yang adil dan menghormati HAM,” pungkasnya.
Seperti diketahui Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.
Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (14/3/2025).
“Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu,” kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
“Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” ucap Jaksa.
Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.
Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.
Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.
Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).
Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.
“Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa,” ujar Jaksa.
Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.
Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.
Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.
“Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.
Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.
Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.
Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.
Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
-

Imbas Guru Diserang KKB, Tokoh Agama Minta Masyarakat Tak Terprovokasi Isu pelanggaran HAM di Papua
Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM – Sekjen LSM Sekber Papua Peduli Kemanusiaan, Pendeta Benny Bernard Arnoldo Narahan meminta semua pihak, utamanya anak muda Papua agar tak mudah terprovokasi dengan isu-isu HAM yang sering dilempar dan dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Diketahui, baru-baru ini situasi di Papua tengah jadi sorotan usai KKB menyerang para guru dan tenaga kesehatan di Distrik Anggruk, Yahukimo, Papua Pegunungan. Bahkan, satu korban diantaranya tewas.
Benny memahami jika kemarahan dirasakan karena yang menjadi korban penyerangan oleh KKB adalah para guru dan nakes yang merupakan pekerjaan terhormat dan seharusnya dilindungi.
“Emosi boleh tapi jangan sampai emosi mengendalikan kita. Harus kita yang mengendalikan emosi. Jangan sampai kejahatan dibalas dengan kejahatan,” kata Benny kepada wartawan di Jakarta, Rabu (26/3/2025).
Ia mengingatkan seluruh pihak sebaiknya memercayakan kasus ini kepada penegak hukum untuk mengusut tuntas.
Benny meyakini aparat kepolisian bakal mengungkap kasus penyerangan oleh para KKB ini mengingat yang pelaku lakukan jelas melanggar hak asasi manusia.
“Saya yakin sebenarnya kasus di Papua ini bisa diselesaikan dan tidak susah,” kata Benny.
Benny menegaskan, tindakan yang dilakukan KKB di Kabupaten Yahukimo jelas melanggar hak asasi manusia.
Apalagi, korbannya adalah guru dari luar Papua yang memutuskan mengabdi di pedalaman Papua demi mengajar generasi muda.
“Apapun alasannya, tindakan mereka itu sangat melanggar HAM. Guru itu harusnya dihormati, mereka itu bisa tulis dari siapa? dari guru, tapi kenapa guru diserang.
Perjuangan guru itu tidak gampang, Orang Asli Papua saja tidak semua mau mengajar di pedalaman, tetapi mereka itu yang sudah rela datang ke pedalaman Papua hanya untuk mengajar punya niat tulus dan ikhlas malah menjadi korban,” tuturnya.
Di sisi lain, ia meminta para pemuka agama di Papua untuk terus menyuarakan pesan-pesan perdamaian agar situasi di Papua kembali kondusif.
“kepada para pendeta khotbah agar terus menyampaikan hukum kasih bukan hukum rimba. Kasih pandangan yang baik jangan kita terhanyut dan terdiam dan bisu untuk menyuarakan kebenaran,” ujar Benny.
“Karena tuhan Yesus tidak pernah ajarkan kekerasan. Agama manapun tidak pernah ajarkan seperti itu.
Kalau kita bilang Papua tanah yang diberkati tetapi kita sendiri mengotori dengan pertumpahan darah,” ujarnya.
Lebih lanjut Benny pun berharap pemerintah pusat mau membuka dialog dengan warga dan tokoh masyarakat di Papua sebagai salah satu upaya untuk menghentikan konflik.
“Harapan kedepan agar pemerintah pusat mau mengajak dan buka ruang dialog dgn masyarakat Papua lebih byk, Ibaratnya ini kan antara orang tua dan anak. Wajarlah orang tua mendengar anaknya meskipun ada yang tanda kutip nakal karena tidak diperhatikan,” tuturnya.
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
-

Bahlil: Presiden minta menteri perkuat komunikasi publik
Jakarta (ANTARA) – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan kepada seluruh anggota Kabinet Merah Putih untuk meningkatkan komunikasi publik.
Langkah ini bertujuan agar berbagai program pemerintah yang sudah berjalan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dapat tersampaikan dengan baik.
“Pak Presiden Prabowo memerintahkan kepada seluruh anggota kabinetnya untuk melakukan komunikasi publik yang baik. Artinya, program-program yang sudah dilakukan, yang sudah dirasakan oleh rakyat itu harus mampu kita komunikasikan secara baik, dengan narasi yang baik, dengan kecepatan informasi yang juga cepat,” kata Bahlil saat ditemui awak media di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Rabu.
Menurutnya, komunikasi yang efektif sangat penting agar masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan akurat mengenai kebijakan serta pencapaian pemerintah.
Hal ini juga untuk menghindari penyebaran informasi yang tidak sesuai dengan fakta.
“Tujuannya agar apa yang sudah kita lakukan dengan baik itu betul-betul bisa tersampaikan ke tengah publik, sehingga ruang-ruang komunikasi itu bisa diisi oleh fakta-fakta atas apa yang kita kerjakan,” ujarnya.
“Bukan informasi-informasi yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi, yang diplintir oleh satu dua kelompok untuk membelokkan informasi sesungguhnya,” sambungnya.
Sejak dilantik pada Oktober 2024, Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto menghadapi berbagai tantangan dalam komunikasi publik.
Meskipun survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat sebesar 79 persen terhadap 100 hari pertama pemerintahan ini, sejumlah akademisi menyoroti perlunya evaluasi dalam aspek komunikasi publik.
Beberapa kasus yang mencerminkan tantangan komunikasi publik tersebut:
1. Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Usulan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana untuk memasukkan serangga seperti belalang dan ulat sagu dalam MBG menimbulkan polemik di masyarakat. Kurangnya sosialisasi dan penjelasan yang memadai mengakibatkan kebingungan dan resistensi dari publik.
2. Pernyataan Menteri Hukum tentang Tragedi 1998: Menteri Hukum Yusril Ihza Mahendra menyatakan Tragedi 1998 bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Komentar ini memicu kontroversi dan kritik dari berbagai pihak yang menilai pernyataan tersebut kurang sensitif terhadap korban dan keluarga korban.
3. Kebijakan penjualan LPG 3 kilogram: Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan bahwa penjualan LPG 3 kilogram hanya boleh dilakukan di pangkalan resmi. Namun, keputusan ini kemudian dianulir Presiden Prabowo, menunjukkan inkonsistensi dalam komunikasi kebijakan dan menyebabkan kebingungan di masyarakat.
Namun, pemerintah mulai menyadari kelemahan ini. Beberapa pejabat mengakui bahwa komunikasi publik perlu diperbaiki dengan memberikan informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami.
Langkah-langkah seperti sosialisasi kebijakan yang lebih terbuka dan dialog dengan masyarakat mulai dilakukan untuk meningkatkan transparansi.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025 -

RUU Polri Lebih Bahaya dari RUU TNI? Ini Deretan Pasal Kontroversial yang Dipermasalahkan
PIKIRAN RAKYAT – Setelah pengesahan RUU TNI 2025, kini Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) menjadi sorotan publik. RUU ini mengusulkan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Akan tetapi, beberapa pasal dalam draf tersebut menuai polemik karena dianggap memberikan kewenangan berlebihan kepada Polri. Berikut penjelasan lengkapnya.
DPR Belum Jadwalkan Pembahasan RUU Polri
Komisi III DPR menyatakan siap membahas revisi UU Polri jika dinilai mendesak, meski saat ini masih memprioritaskan RUU KUHAP. Ketua DPR Puan Maharani menegaskan bahwa belum ada Surat Presiden (Surpres) yang diterima untuk memulai pembahasan.
“DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada Senin, 24 Maret 2025.
Meski begitu, revisi ini sudah masuk dalam daftar rancangan undang-undang inisiatif DPR sejak 2024.
Isi RUU Polri Terbaru
Berdasarkan dokumen di laman resmi DPR, revisi UU Polri mencakup perubahan pada pasal-pasal berikut:
Pasal 1 tentang Ketentuan Umum Pasal 6 tentang Peran dan Fungsi Polri Pasal 7 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pasal 14 tentang Tugas Pokok Anggota Polri Pasal 16 tentang Penyelenggaraan Tugas Polri Pasal 30 tentang Usia Pensiun Maksimum Anggota Polri Pasal 35 tentang Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Dan lainnya…
Namun, beberapa pasal memicu penolakan dari publik karena dinilai berpotensi mengekang kebebasan sipil dan memperluas kewenangan Polri tanpa pengawasan ketat.
Deretan Pasal Kontroversial
Pasal 16 Ayat 1 Huruf Q
Pasal ini memberikan kewenangan Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, hingga perlambatan akses ruang siber demi keamanan dalam negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai ketentuan ini berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan berisiko tumpang tindih dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Pasal 16A dan 16B (Sisipan Baru)
Pasal 16A menyebutkan bahwa Intelkam Polri bisa melakukan pengawasan intelijen. Ini memicu kekhawatiran soal kewenangan Polri untuk meminta data intelijen dari BIN, BSSN, hingga BAIS.
Pasal 16B juga mengandung istilah “Kepentingan Nasional” yang tidak didefinisikan secara jelas. Istilah ini dikhawatirkan bisa digunakan Polri untuk mengawasi kegiatan masyarakat dengan alasan menjaga kepentingan nasional.
Pasal 14 Ayat 1 Huruf G dan O
Huruf G memberi Polri wewenang melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik PNS, serta bentuk pengamanan swakarsa. Ini dikhawatirkan membuka peluang “bisnis keamanan” dan pelanggaran HAM melalui pengamanan swakarsa.
Huruf O mengizinkan Polri melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian. PSHK menyoroti bahwa Polri tidak memerlukan izin, berbeda dengan KPK yang harus mendapat persetujuan Dewan Pengawas.
Pasal 30 Ayat 2
Pasal ini mengatur usia pensiun:
58 tahun bagi bintara dan tamtama. 60 tahun bagi perwira. 65 tahun bagi pejabat fungsional.
Usulan ini dianggap menghambat regenerasi dalam tubuh Polri dan mempertahankan personel yang seharusnya sudah pensiun.
Reaksi Masyarakat dan Lembaga Sipil
Ketua YLBHI Muhammad Isnur menegaskan, pihaknya menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR tersebut.
“Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini!” ucapnya.
Muhammad Isnur mendesak DPR dan pemerintah memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat.
Menurut laporan KontraS, dalam periode 2020–2024 tercatat ratusan kasus kekerasan melibatkan anggota Polri. Komnas HAM pun mencatat Polri sebagai lembaga negara dengan laporan pelanggaran HAM tertinggi pada 2023.
Polri Menuju “Superbody”?
Revisi UU Polri menuai kritik karena berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kekuasaan luas tanpa pengawasan memadai. Beberapa pasal memperlihatkan kecenderungan ke arah otoritarianisme baru dengan pembatasan kebebasan sipil dan penguatan fungsi intelijen kepolisian.
Jika RUU ini disahkan tanpa revisi signifikan, Indonesia terancam mundur dari semangat reformasi dan demokrasi. Polri seharusnya berfungsi sebagai alat negara yang profesional dan akuntabel, bukan menjadi lembaga dengan kekuasaan absolut.
Publik kini menanti apakah DPR akan mendengarkan suara rakyat atau tetap melanjutkan pembahasan RUU ini secara diam-diam. Apakah RUU Polri ini memperbaiki institusi kepolisian atau justru membuka jalan bagi lahirnya negara dalam negara?***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-

Deretan Pasal Bermasalah, Penanganan Korupsi Makin Lemah?
PIKIRAN RAKYAT – Pada 20 Maret 2025, Komisi III DPR RI menggelar konferensi pers terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam konferensi tersebut, Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI, menegaskan bahwa RUU KUHAP yang sedang dibahas tidak akan mengubah wewenang aparat penegak hukum.
“RUU ini tetap menjaga kewenangan yang sama seperti KUHAP saat ini,” ujarnya.
Akan tetapi, setelah ditelaah lebih dalam, sejumlah pasal dalam draf RUU KUHAP justru dinilai bermasalah dan berpotensi melemahkan penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi.
Pasal-Pasal Kontroversial
Berikut lima poin kritis yang menjadi sorotan:
Rekaman CCTV Tidak Wajib dan Dikuasai Penyidik
Pasal 31 ayat (2) RUU KUHAP menyatakan pemeriksaan tersangka akan direkam dengan CCTV, tetapi rekaman ini bersifat opsional. Hal ini membuka celah terjadinya kekerasan dan penyiksaan.
Lebih lanjut, Pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa rekaman hanya berada dalam penguasaan penyidik. Ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan karena seharusnya rekaman dikelola oleh lembaga independen agar bisa diakses oleh penuntut umum maupun tersangka.
Perlindungan Kelompok Rentan Tanpa Mekanisme Jelas
Bab khusus tentang kelompok rentan di Pasal 137-139 hanya sekadar mencantumkan hak-hak, tanpa mekanisme yang memastikan pemenuhan hak tersebut.
Tidak ada aturan mengenai siapa yang bertanggung jawab atau sanksi jika hak kelompok rentan dilanggar. Hal ini dikhawatirkan menjadikan perlindungan ini sekadar formalitas di atas kertas.
Peran Advokat Masih Dibelenggu
Pasal 33 RUU KUHAP membatasi peran advokat hanya sebagai pendengar dan pencatat dalam pemeriksaan tersangka. Advokat tidak bisa berpartisipasi aktif, bahkan tidak bisa mencatat keberatan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Selain itu, Pasal 142 ayat (3) huruf b melarang advokat memberi pendapat di luar pengadilan, yang berpotensi membungkam suara pembelaan.
“Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri. Larangan seperti ini bertentangan dengan prinsip hukum yang menjunjung tinggi hak pembelaan,” ujar Prof. Dr. Ali Masyhar Mursyid, Dekan Fakultas Hukum UNNES.
Syarat Penahanan Semakin Karet
Pasal 93 ayat (5) memperluas alasan penahanan hingga sembilan poin, termasuk “memberikan informasi tidak sesuai fakta” dan “menghambat proses pemeriksaan”. Kedua alasan ini dinilai multitafsir dan berpotensi dimanfaatkan untuk menekan tersangka.
Padahal, tersangka berhak diam atau menyangkal dakwaan tanpa harus dianggap menghambat proses hukum.
Restorative Justice (RJ) yang Salah Kaprah
RUU KUHAP mencampuradukkan konsep Restorative Justice (RJ) dengan Diversi (penghentian perkara di luar sidang). RJ seharusnya bertujuan memulihkan korban, bukan sekadar menghentikan perkara.
Anehnya, wewenang RJ justru diberikan ke penyidik kepolisian, bukan penuntut umum. Ini membuka celah penyalahgunaan kekuasaan dan pemerasan terhadap korban.
RUU KUHAP Melemahkan Peran Kejaksaan dalam Kasus Korupsi
Salah satu sorotan terbesar adalah pengurangan kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan kasus korupsi. Dalam revisi RUU KUHAP, jaksa hanya berwenang menyidik kasus pelanggaran HAM berat, sementara kasus korupsi dihapus dari kewenangan mereka.
“Kenapa penyidikan kasus HAM berat boleh, tapi kasus korupsi tidak? Justru lebih banyak lembaga yang menyidik akan meminimalisasi potensi abuse of power,” kata Prof. Ali Masyhar.
Dia juga menegaskan bahwa revisi RUU ini harus melibatkan diskusi mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan. Dia mengusulkan, pembentukan lembaga penyidik independen untuk menangani kasus-kasus khusus guna menghindari tarik ulur kepentingan.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News



