Topik: Pelanggaran HAM

  • Korban Tuntut Keadilan, TSI Enggan Dikaitkan

    Korban Tuntut Keadilan, TSI Enggan Dikaitkan

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik setelah sejumlah korban menyampaikan aduan ke Kementerian Hukum dan HAM, pada Selasa, 15 April 2025.

    Mereka mengaku pernah menjadi korban kekerasan, kehilangan identitas, hingga tidak mendapatkan hak pendidikan saat bekerja sebagai bagian dari sirkus tersebut.

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespons laporan ini dengan serius. Dalam keterangan resminya, Komnas HAM meminta agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur hukum dan pemberian kompensasi kepada para korban.

    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, di Jakarta, Jumat 18 April 2025.

    Sejarah Panjang Pelanggaran di Lingkungan OCI

    Komnas HAM sebenarnya telah menyoroti praktik-praktik di lingkungan OCI sejak tahun 1997. Saat itu, mereka menemukan setidaknya empat jenis pelanggaran hak anak:

    Anak-anak tidak mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan keluarganya. Terjadi eksploitasi ekonomi terhadap anak-anak. Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan umum yang layak. Tidak ada jaminan perlindungan keamanan dan sosial bagi anak-anak.

    Namun, penyelidikan terhadap dua tokoh yang disebut bertanggung jawab, yakni FM dan VS, dihentikan oleh Direktorat Reserse Umum Polri berdasarkan Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um pada 22 Juni 1999.

    Kasus ini kembali mencuat setelah Komnas HAM menerima aduan dari Ari Seran Law Office pada Desember 2024, yang menyebutkan belum adanya penyelesaian atas tuntutan kompensasi sebesar Rp3,1 miliar kepada pihak OCI.

    Uli menegaskan bahwa pelatihan keras kepada anak-anak dalam sirkus tidak boleh menjurus pada penyiksaan.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” tuturnya.

    Wamenkumham: Ada Kemungkinan Banyak Tindak Pidana

    Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, menerima langsung audiensi para korban. Ia mengatakan bahwa pengakuan yang disampaikan mengarah pada potensi pelanggaran pidana berat, termasuk kekerasan dan penghilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya. Ada aspek penting yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka,” kata Mugiyanto.

    Dia juga menyatakan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut. Rencana pemanggilan kepada pihak-pihak terkait, termasuk pihak Taman Safari Indonesia, telah disiapkan.

    “Kami akan meminta keterangan dari pihak Taman Safari Indonesia. Pemanggilan itu akan dilakukan secepatnya,” ujarnya.

    Taman Safari Indonesia Tolak Dihubungkan

    Menanggapi sorotan publik, Taman Safari Indonesia (TSI) Group menyatakan dengan tegas bahwa pihaknya tidak memiliki keterkaitan atau hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus OCI.

    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” kata Head of Media and Digital TSI Group, Finky Santika Nh, di Kabupaten Bogor.

    Finky juga meminta publik untuk tidak menyebarkan informasi yang tidak berdasar, karena dapat berdampak hukum terhadap reputasi perusahaan.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tuturnya.

    Penjelasan Tony Sumampau: TSI dan OCI Adalah Entitas Berbeda

    Komisaris TSI Group, Tony Sumampau, yang diketahui pernah menjadi pelatih hewan di OCI, juga memberikan klarifikasi. Dia menyatakan bahwa TSI dan OCI adalah dua badan hukum yang berbeda, meski dirinya aktif di keduanya pada masa lalu.

    Menurut Tony, anak-anak memang tinggal sepenuhnya di lingkungan sirkus pada masa itu, namun semua kegiatan termasuk makan, tidur, dan belajar tetap ada porsinya.

    “Ketika itu memang bekerja semua, anak-anak makan, istirahat, show, sampai belajar ada waktunya. Kalau ada kekerasan mungkin saya juga kena karena saya kan di sana juga,” ujarnya.

    Upaya Negara Menjembatani Korban dan Pihak Terlapor

    Kementerian Hukum dan HAM berkomitmen untuk menjadi penghubung antara para korban dan pihak-pihak yang diduga terlibat. Meskipun peristiwa ini terjadi puluhan tahun lalu, pemerintah menegaskan bahwa tidak ada daluwarsa terhadap pelanggaran HAM.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujar Mugiyanto.

    Dia juga menambahkan bahwa pihaknya akan memberi ruang bagi korban yang ingin menempuh jalur hukum secara formal.

    “Kalau memang mau ditempuh jalur hukum, ya silakan jika korban mau menempuh jalur itu,” ucap Mugiyanto.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Mengungkap Kasus Pelanggaran HAM Anak yang Menggegerkan 1997

    Mengungkap Kasus Pelanggaran HAM Anak yang Menggegerkan 1997

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap anak-anak di lingkungan Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik.

    Dugaan eksploitasi terhadap anak-anak pemain sirkus ini pertama kali ditindaklanjuti oleh Komnas HAM pada 1997 dan kini kembali ramai dibicarakan setelah sejumlah informasi simpang siur menyebar di media sosial.

    Laporan Dugaan Pelanggaran HAM terhadap Anak di OCI

    Pada 1 April 1997, Komnas HAM menerbitkan pernyataan resmi yang ditandatangani oleh Ketua Komnas HAM saat itu, Munawir Sjadzali. Dalam pernyataan tersebut, Komnas HAM menyebutkan telah menerima sejumlah laporan terkait kemungkinan terjadinya pelanggaran hak anak oleh pihak Oriental Circus Indonesia di Cisarua, Bogor.

    “Komnas HAM setelah menerima beberapa laporan tentang kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM terhadap anak-anak (child abuse) pemain sirkus di lingkungan Oriental Circus Indonesia, telah membentuk Tim untuk memantau kasus tersebut,” tutur Komnas HAM dalam dokumen resminya.

    Pemantauan dilakukan melalui pertemuan dengan pengelola OCI dan pelapor di kantor Komnas HAM. Dari hasil kajian mendalam, Komnas HAM menyimpulkan bahwa meski pihak OCI menunjukkan keterbukaan dan menjalin kerja sama dengan baik, sejumlah pelanggaran tetap terjadi.

    Komnas HAM menyatakan bisa memahami “budaya keras dan kekeluargaan dalam lingkungan sirkus,” serta “keinginan tulus pengelola OCI untuk menolong anak-anak terlantar.” Namun, hal itu dinilai tidak bisa dijadikan pembenar atas berbagai pelanggaran hak anak.

    Dalam kesimpulannya, Komnas HAM menyebutkan empat bentuk pelanggaran hak anak yang terjadi di lingkungan Oriental Circus Indonesia:

    Hak anak atas identitas dan asal-usulnya
    Anak-anak pemain sirkus disebut tidak mengetahui asal-usul, hubungan kekeluargaan, atau siapa orang tuanya. Eksploitasi ekonomi terhadap anak
    Anak-anak tersebut diduga dimanfaatkan secara ekonomis tanpa perlindungan hukum yang memadai. Pelanggaran hak atas pendidikan yang layak
    Komnas HAM menyoroti bahwa anak-anak tersebut tidak mendapatkan akses pendidikan umum yang dapat menjamin masa depannya. Pelanggaran hak atas keamanan dan jaminan sosial
    Anak-anak tidak memperoleh perlindungan hukum dan sosial yang layak sesuai peraturan yang berlaku. Rekomendasi Komnas HAM kepada Oriental Circus Indonesia

    Komnas HAM dalam pernyataan tahun 1997 memberikan beberapa rekomendasi yang ditujukan langsung kepada Oriental Circus Indonesia, bukan pihak lain. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain:

    OCI diminta bekerja sama secara koordinatif dengan Komnas HAM, Depdikbud, Menpora, dan instansi terkait untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM serupa. OCI diminta menjernihkan asal-usul anak-anak pemain sirkus yang belum jelas identitasnya. Latihan keras terhadap anak-anak agar tidak menjurus ke arah penyiksaan fisik maupun mental. Menyelesaikan sengketa antara OCI dan para mantan atlet sirkus secara kekeluargaan.

    Komnas HAM juga menekankan pentingnya menjadikan kasus ini sebagai pelajaran berharga.

    “Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, maka sudah waktunya kita meningkatkan perhatian terhadap nasib anak-anak,” ujar Komnas HAM.

    Klarifikasi PT. Taman Safari Indonesia: Bukan Subjek Hukum Kasus OCI

    Di tengah maraknya pemberitaan dan unggahan media sosial terkait kasus OCI, PT. Taman Safari Indonesia (TSI) merilis klarifikasi resmi pada Jumat, 18 April 2025. Klarifikasi ini menyanggah tuduhan yang menyebut bahwa TSI terlibat atau pernah diperiksa dalam kasus tersebut.

    “Subyek hukum dalam dokumen rekomendasi Komnas HAM adalah Oriental Circus Indonesia (OCI), dan tidak pernah sekalipun disebutkan PT. Taman Safari Indonesia,” kata Barata Mardikoesno, VP Legal dan Corporate Secretary TSI.

    TSI juga menegaskan bahwa dalam rekomendasi Komnas HAM tidak ada satu pun permintaan agar membayar kompensasi finansial kepada mantan atlet sirkus. Barata menyebut tuduhan tersebut tidak sesuai dengan dokumen resmi Komnas HAM yang justru meminta OCI bekerja sama dengan lembaga negara terkait.

    “Berdasarkan proses mediasi dan dokumen pernyataan Komnas HAM di atas, TSI bukanlah pihak yang dimintai tindakan atau pertanggungjawaban oleh Komnas HAM,” tutur Barata.

    TSI menegaskan pihaknya tidak membenarkan bahkan menolak segala bentuk kekerasan terhadap siapa pun, termasuk anak-anak.

    Taman Safari Indonesia: Profil Singkat dan Reputasi

    Taman Safari Indonesia dikenal sebagai tempat wisata keluarga berwawasan lingkungan dan konservasi satwa. Unit bisnis TSI tersebar di berbagai daerah seperti Taman Safari Bogor, Prigen, Solo Safari, Bali Safari & Marine Park, hingga Jakarta Aquarium & Safari.

    Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 3.000 karyawan dan telah memperoleh sejumlah penghargaan nasional seperti Indonesia Green Award dan Satyalancana Pembangunan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 April 2025

    Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum Nasional 18 April 2025

    Komnas HAM Minta Kasus Eksploitasi Pemain Sirkus Dituntaskan Secara Hukum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
    Komnas HAM
    ) merekomendasikan agar kasus dugaan eksploitasi eks pemain sirkus pada
    Oriental Circus Indonesia
    (OCI) diselesaikan secara hukum.
    Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyatakan, langkah itu perlu ditempuh karena kasus dugaan eksploitasi ini telah berlangsung sejak lama dan belum diselesaikan sebagaimana mestinya.
    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” kata Uli dalam siaran pers, Kamis (17/4/2025).
    Komnas HAM  juga meminta agar asal-usul para pemain sirkus OCI segera dijernihkan.
    “Hal ini sangat penting untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaannya,” imbuh Uli.
    Uli menjelaskan, Komnas HAM telah memantau kasus anak-anak pemain sirkus di lingkungan OCI, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1997.
    Ketika itu, Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran HAM berupa pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal-usul, identitas, hubungan kekeluargaan dan orang tuanya; elanggaran terhadap hak-hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis.
    Kemudian, pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak yang dapat menjamin masa depannya; serta pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
    “Namun, pada 22 Juni 1999, Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa Direktorat Reserse Umum Polri menghentikan penyidikan tindak pidana menghilangkan asal-usul dan perbuatan tidak menyenangkan atas nama FM dan VS,” kata Uli.
    Kasus ini pun kembali bergulir pada Desember 2024 ketika Komnas HAM menerima menerima pengaduan dari Ari Seran Law Office yang menyampaikan permasalahan kasus OCI belum terselesaikan.
    “Karena belum adanya upaya untuk memenuhi tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 3.1 milyar yang ditujukan kepada OCI,” ujar Uli.
    Di samping itu, Komnas HAM juga menegaskan bahwa pelatihan keras utamanya kepada anak-anak tidak boleh menjurus pada penyiksaan dan bilamana hal ini dilakukan maka telah terjadi pelanggaran hak anak.
    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” kata Uli.
    Diberitakan sebelumnya, sejumlah perempuan mantan pemain sirkus OCI mengadukan pengalaman pahit mereka selama menjadi pemain sirkus kepada Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Selasa (15/4/2025).
    Di hadapan Mugiyanto, mereka mengaku mengalami kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi selama bertahun-tahun, misalnya disetrum, dirantai, hingga dipisahkan dengan anaknya.
    Sebagian dari mereka pun mengaku tidak mengetahui identitas dan asal-usulnya karena sudah dilatih menjadi pemain sirkus sejak kecil.
    Respons Oriental Circus Indonesia
    Pendiri OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia Tony Sumampau membantah tudingan bahwa terdapat eksploitasi terhadap para pemain sirkus.
    Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
    Namun, ia menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
    Menurut Tony, hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
    “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya. Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus.
    Menurut dia, pernyataan yang disampaikan para eks pemain sirkus hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
    Tony pun menuding ada upaya pemerasan di balik tuntutan kompensasi senilai Rp 3,1 miliar.
    Menurut dia, ada sosok tertentu yang memprovokasi para mantan pemain sirkus untuk mengangkat narasi negatif.
    Tony juga mengaku telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
    Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
    “Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya
                        Nasional

    9 OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya Nasional

    OCI Akhirnya Buka Suara Soal Dugaan Eksploitasi Eks Pemain Sirkusnya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Oriental Circus Indonesia
    (OCI) buka suara terkait dengan perseteruannya dengan mantan pemain sirkus binaan mereka.
    Founder OCI sekaligus Komisaris Taman Safari Indonesia,
    Tony Sumampau
    , mengatakan, pembentukan OCI berawal dari situasi politik Indonesia yang memanas pasca peristiwa G30S pada tahun 1966.
    Saat itu, kebutuhan hiburan untuk prajurit yang bertugas menjaga keamanan mendorong lahirnya kelompok akrobatik yang akhirnya dikenal sebagai Oriental Circus.
    “ABRI waktu itu butuh hiburan. Kostrad punya band, kita punya tim akrobat. Gabung jadi satu, lalu keliling ke berbagai daerah pakai pesawat Hercules, tampil di markas-markas militer, mulai dari Tasik sampai Jawa Tengah,” ujar Tony, saat jumpa pers, Kamis (17/4/2025).
    Seiring berjalannya waktu, Tony menilai bahwa performa tim sirkus di bawah naungan OCI tidak cukup maksimal.
    Akhirnya, orangtua Tony mengajak anak-anak perempuan dari sebuah panti asuhan di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara untuk bergabung ke dalam kelompok tersebut.
    “Anak-anak itu dari bayi dibesarkan, usia 6-7 tahun baru diajak bergabung dan mulai berlatih di sirkus,” kata Tony.
    Tony mengakui bahwa pada medio tahun 1970-1980, didikan yang diberikan OCI kepada para pemain sirkusnya cukup keras, jika dibandingkan dengan upaya pendisiplinan pada saat ini.
    “Tahun 70-80-an itu, dan memang ada tindakan disiplin untuk mendisiplinkan anak-anak. Waktu itu kita bisa bilang eranya keras lah ya,” kata Tony.
    Namun, ia mengklaim bahwa pendisiplinan keras merupakan hal yang wajar bila melihat kultur sosial pada tahun tersebut. Ia pun mengklaim turut merasakan hal serupa.
    “Tapi kalau anak-anak itu malas, tidak mau keluar tenaga, kalau (dipukul) pakai rotan itu biasa (saat itu), dan konteksual pada masa tahun itu, memang begitu itu kulturnya. Bukan cuma di sirkus saja,” ujarnya.
    “Di luar sirkus pun kita di rumah pun mengalami gitu ya. Di sekolah juga gitu. Dipukul pakai rotan sama guru. Jadi konteksual pendidikan memang ada ketika itu,” tambahnya.
     
    Walaupun ada pendisiplinan keras, Tony membantah, pihaknya melakukan praktik eksploitasi dan perbudakan kepada para pemain sirkus di bawah naungan OCI.
    Tony menegaskan, proses latihan di sirkus memang memerlukan kedisiplinan tinggi yang kerap kali melibatkan tindakan tegas.
    Namun ia menyebut hal tersebut wajar dalam dunia olahraga dan bukan bentuk kekerasan yang disengaja.
    “Betul, pendisiplinan itu kan dalam pelatihan ya, pasti ada. Saya harus akui. Cuma kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin,” ujar Tony saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (17/4/2025). “Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujarnya.
    Tony juga menepis tudingan soal penyiksaan yang dialami mantan pemain sirkus. Menurutnya, pernyataan yang disampaikan mereka hanyalah pernyataan sensasional, yang tidak logis dan bertujuan untuk menarik simpati publik.
    “Kalau dibilang penyiksaan, ya itu membuat sensasi saja. Supaya orang yang dengar jadi kaget, serius gitu ya. Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” ujarnya.
    Di balik itu semua, Tony menilai ada sosok yang memiliki peran inti yang berusaha melakukan pemerasan kepadanya. Hanya saja, karena OCI sudah tidak beroperasi lagi, maka tuntutan disuarakan kepada Taman Safari Indonesia.
    Tony mencium adanya provokator yang diduga sengaja menggiring mantan pemain sirkus untuk membuat narasi negatif.
    “Ya, di belakang semua ini memang ada sosok provokator yang memprovokasi mereka. Kita sudah tahu siapa, karena sebelumnya juga dia sempat minta sesuatu kepada kami,” ujar Tony.
    Tony menyebut, pihaknya tidak berniat memperkarakan para mantan pemain sirkus, yang disebutnya sudah seperti anak sendiri.
    Namun berbeda dengan “aktor” yang berada di balik tuduhan tersebut.
    “Kalau anak-anak, ya kasihan. Tapi kalau provokatornya, itu lain cerita. Kita sedang mengupayakan langkah hukum terhadap pihak yang memanfaatkan mereka,” kata Tony.
    Menurut Tony, pihaknya telah mengantongi bukti-bukti terkait dugaan adanya upaya pemerasan yang sempat menuntut angka hingga lebih dari Rp 3,1 miliar.
    Namun, Tony menegaskan bahwa dari awal pihaknya memilih untuk diam agar tidak melukai perasaan mantan anak didiknya.
    “Kita memang tidak merespon, karena mau lihat siapa dalangnya. Anak-anak itu hanya ‘alat’. Kita nggak mau cederai mereka. Tapi siapa yang ada di belakang ini, ya itu yang jadi perhatian kami,” ungkap Tony.
     
    Tony mengaku sebagian bukti sudah dikantongi, meskipun belum sempat bertemu langsung dengan para korban.
    “Sebagian bukti sudah ada. Kalau mereka (anak-anak) yang kemarin itu, saya belum pernah ketemu lagi. Mungkin karena merasa malu setelah ramai bicara seperti ini,” ujarnya.
    Sementara itu, Vice President Legal & Corporate Secretary Taman Safari Indonesia, Barata Mardikoesno, menegaskan persoalan ini tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia.
    “Langkah hukum ini nanti akan diambil oleh OCI. Taman Safari Indonesia tidak ada hubungannya dengan persoalan ini, bisnisnya memang terpisah,” tegas Barata.
    Barata juga menilai ada motif tertentu yang berusaha menyeret nama Taman Safari ke dalam polemik yang seharusnya tidak terkait.
    “Kenapa mereka mengincar TSI, kami juga tidak paham. Yang jelas, secara posisi hukum dan dokumen, TSI berdiri terpisah dari OCI. Jadi kalau ada langkah hukum, itu murni dari Pak Tony, bukan atas nama TSI,” tandasnya.
    Pengacara para korban, Muhammad Soleh, mengungkapkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
    Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
    “Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
    “Kami bingung, karena dari 16 korban yang kami dampingi, hingga hari ini baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua mereka, itu pun hasil usaha pribadi. Sementara 11 orang lainnya masih belum mengetahui siapa orang tua kandung mereka,” tambah dia.
     
    Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia (RI), Uli Parulian Sihombing, mengatakan, di awal tahun pihaknya sempat memberikan saran kepada para mantan pemain sirkus OCI untuk menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
    Sebelumnya, para mantan pemain sirkus OCI, sempat melaporkan dugaan
    pelanggaran HAM
    berat yang dialami kepada Komnas HAM pada tahun 1997, atau tepat 28 tahun yang lalu.
    Sayangnya, kasus ini nyatanya tidak terselesaikan hingga saat ini.
    “Pada 6 Januari 2025, Komisioner pengaduan Komnas HAM memberikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” kata Uli saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
    Dia mengatakan, saat itu Komnas HAM sudah melakukan identifikasi masalah dan mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI Taman Safari Indonesia.
    Komnas HAM juga menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak.
    “Pelanggaran tersebut di antaranya, hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” ujarnya.
    “Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan, dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” tambah dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kisah Pilu Fifi Pemain Sirkus Taman Safari Yang Pernah Dihukum Makan Kotoran Gajah

    Kisah Pilu Fifi Pemain Sirkus Taman Safari Yang Pernah Dihukum Makan Kotoran Gajah

    TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA – Dibalik atraksi permainan sirkus yang memukau ternyata menyimpan kisah pilu yang menyeramkan.

    Hal itu diceritakan mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) yang telah dialaminya selama puluhan tahun beratraksi.

    Pemain sirkus tersebut sudah keliling di berbagai tempat, termasuk di Taman Safari Indonesia.

    Cerita memilukan itu diungkap para perempuan tersebut di hadapan Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Selasa (15/4/2025), saat mengadukan pengalaman pahit yang mereka alami selama bertahun-tahun, mulai dari kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi. 

    Butet, salah satu pemain sirkus, bercerita sering mendapatkan perlakuan kasar selama berlatih dan menjadi pemain sirkus. 

    “Kalau main saat show tidak bagus, saya dipukuli. Pernah dirantai pakai rantai gajah di kaki, bahkan untuk buang air saja saya kesulitan,” kata Butet di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa.

    Bahkan, ketika sedang mengandung, Butet juga tetap dipaksa tampil dan dipisahkan dari anaknya.

    “Saat hamil pun saya dipaksa tetap tampil. Setelah melahirkan, saya dipisahkan dari anak saya, saya tidak bisa menyusui. Saya juga pernah dijejali kotoran gajah hanya karena ketahuan mengambil daging empal,” ungkap Butet sambil menahan tangis.

    Butet pun mengungkapkan bahwa selama hidupnya ia tidak pernah mengetahui identitas aslinya, baik itu nama, keluarga, dan usia karena sudah ditempa sebagai pemain sirkus sejak kecil.

    Fifi, anak Butet, juga mengalami kisah serupa seperti sang ibu. 

    Sejak lahir, Fifi dibesarkan di lingkungan sirkus tanpa mengetahui siapa orangtuanya.

    Rupanya, Fifi diambil oleh salah satu bos OCI saat ia baru lahir.

    Ia baru sadar Butet adalah ibunya ketika sudah beranjak dewasa.

    Butet mengaku menyerahkan Fifi untuk diasuh orang lain karena belum memiliki kehidupan yang layak.

    Hidup di lingkungan sirkus sejak kecil rupanya membuat Fifi tak betah.

    Ia sempat kabur karena tidak tahan akan siksaan yang ia alami.

    “Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya nggak kuat, akhirnya saya kabur lewat hutan malam-malam, sampai ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi,” tutur Fifi.

    Nasib Fifi semakin tragis setelah ditangkap karena siksaan yang ia terima berkali-kali lebih kejam.

    “Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum. Kelamin saya disetrum sampai saya lemas. Rambut saya ditarik, saya ngompol di tempat, lalu saya dipasung,” kenangnya dengan suara lirih.

    Selain Butet dan Fifi, Ida juga punya kenangan buruk selama menjadi pemain sirkus.

    Ida  bercerita, ia pernah mengalami kecelakaan serius saat tampil di Lampung, tetapi tidak mendapatkan pertolongan serius.

    “Saya mengalami jatuh dari ketinggian saat show di Lampung. Setelah jatuh, saya tidak langsung dibawa ke rumah sakit,” kata Ida yang kini harus menggunakan kursi roda.

    “Setelah pinggang saya mulai bengkak, barulah saya dibawa ke Jakarta dan dioperasi,” ujar dia.

    Tuntut Keadilan Kuasa hukum para korban, Muhammad Soleh, berharap pemerintah segera membentuk tim pencari fakta untuk mengusut tuntas dugaan eksploitasi dan kekerasan terhadap para pemain sirkus.

    Soleh meyakini masih banyak pemain sirkus yang mengalami nasib serupa dan masih berada di lingkungan Taman Safari Indonesia.

    “Sekarang, para korban harus didengar, dan masih banyak korban yang masih ada di Taman Safari. Itu harus diungkap. Mereka pasti punya orang tua, baik yang masih hidup ataupun sudah tidak,” kata Soleh.

    Ia juga menyayangkan sikap pihak Taman Safari Indonesia yang menurutnya belum menunjukkan itikad baik atau pengakuan atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi selama bertahun-tahun. 

    “Sampai saat ini, Taman Safari Indonesia tidak mengakui kesalahan, seolah tidak ada pelanggaran dan kekejaman yang dilakukan. Menurut saya, ini jelas perlu ada keadilan,” kata Soleh.

    Sementara itu, Wakil Menteri HAM Mugiyanto menilai, testimoni para korban menunjukkan bahwa ada banyak hak asasi yang dirampas selama mereka menjadi pemain sirkus di OCI.

    Ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana, banyak kekerasan. 

    Salah satu yang penting adalah soal identitas. Identitas seseorang adalah hak dasar, dan beberapa dari mereka bahkan tidak tahu siapa orangtuanya,” kata dia.

    Mugiyanto meminta maaf kepada para korban karena harus menyampaikan testimoni yang memilukan dan traumatik.

    Namun, ia berjanji pemerintah akan berupaya agar peristiwa serupa tidak terulang. 

    “Setelah mendengar laporan dari para korban, kami juga akan mencari keterangan dari pihak yang dilaporkan sebagai pelaku. Ini harus kami lakukan secepatnya untuk mencegah hal yang sama terulang,” kata Mugiyanto

    Respons Taman Safari

    Sementara itu, pihak Taman Safari Indonesia mengklaim tidak punya keterkaitan dengan para mantan pemain sirkus yang mengaku mengalami kekerasan.

    Manajemen Taman Safari mengatakan bahwa masalah tersebut melibatkan individu tertentu. 

    “Taman Safari Indonesia Group sebagai perusahaan ingin menegaskan bahwa kami tidak memiliki keterkaitan, hubungan bisnis, maupun keterlibatan hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan dalam video tersebut,” tulis Manajemen Taman Safari Indonesia dalam keterangan resmi.

    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” ujar mereka.

    Taman Safari Indonesia meminta agar kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi tersebut tidak disangkutpautkan dengan pihak mereka. 

    “Hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya, namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami,” tuls Taman Safari Indonesia.

    “Terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum,” ujar mereka.

    Taman Safari Indonesia mengeklaim berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.

    Taman Safari Indonesia juga mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital. 

    “Dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tulis Taman Safari Indonesia. (*)

     

  • Taman Safari Indonesia Bantah Setrum dan Siksa eks Karyawan OCI yang Ngadu ke Komnas HAM

    Taman Safari Indonesia Bantah Setrum dan Siksa eks Karyawan OCI yang Ngadu ke Komnas HAM

    PIKIRAN RAKYAT – Citra Taman Safari Indonesia (TSI) sedang diguncang kabar tak sedap. TSI Group buka suara, meluruskan isu eksploitasi, penyiksaan hingga penyetruman terhadap sejumlah terduga mantan pemain sirkusnya.

    Isu tersebut mencuat setelah para mantan pemain melakukan audiensi dengan Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) beberapa hari lalu.

    Dalam pernyataan tertulis, TSI menegaskan bahwa mereka tidak memiliki hubungan bisnis apa pun dengan para mantan pemain sirkus yang dimaksud. Artinya, mereka membantah adanya ikatan hukum dengan para pengadu.

    “Perlu kami sampaikan bahwa Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud (eks pemain sirkus)” demikian bunyi pernyataan Manajemen TSI, dikutip dari keterangan resmi tertulis, Kamis, 17 April 2025.

    “Adalah hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya, namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkut pautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami, terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum,” ujar pernyataan itu lagi.

    Sebelumnya, Pada Selasa, 15 April 2025, Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, menerima kunjungan sejumlah mantan pekerja Oriental Circus Indonesia di Kantor Kementerian HAM, Jakarta.

    Dalam pertemuan tersebut, ia mendengarkan keluhan mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh para mantan pekerja.

    Walaupun dugaan kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM terjadi di masa lalu, menurutnya hal tersebut tidak berarti bahwa tindakan pidana yang terjadi tidak dapat diselidiki.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujarnya dikutip Antara.

    “Apalagi, kita sudah punya KUHP sejak Indonesia merdeka,” katanya.

    Kementerian HAM berencana memfasilitasi upaya pencarian keadilan bagi mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia yang diduga mengalami pelanggaran HAM selama bekerja di Taman Safari Indonesia sejak tahun 1970-an.

    Mugiyanto menyampaikan bahwa Kementerian HAM akan menjalin koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM, mengingat para korban telah menyampaikan laporan kepada kedua lembaga tersebut.

    Selain itu, guna memperoleh informasi yang lebih menyeluruh, Kementerian HAM juga berencana meminta penjelasan langsung dari pihak Taman Safari Indonesia.

    TSI Minta Masyarakat Bijak Saring Informasi

    Dalam pernyataan serupa, Manajemen TSI mengaku paham situasi sehingga forum terbentuk. Namun, TSI menilai bahwa yang diungkap merupakan bagian dari ranah pribadi dan tak berkelindaan apa pun dengan mereka secara kelembagaan.

    “Selama lebih dari 40 tahun, kami senantiasa mengutamakan konservasi, edukasi, dan pelayanan terbaik bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara,” ucapnya.

    Dengan begitu, TSI mengklaim bahwa mereka selalu berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.

    Oleh karena itu, TSI turut mengimbau masyarakat agar lebih cermat dan bijaksana dalam menanggapi berbagai informasi yang tersebar, khususnya di ranah digital.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan,” ucapnya menandaskan. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Taman Safari Indonesia Jawab Isu Eksploitasi Eks Pemain Sirkus, Seluruh Tudingan Hoaks?

    Taman Safari Indonesia Jawab Isu Eksploitasi Eks Pemain Sirkus, Seluruh Tudingan Hoaks?

    PIKIRAN RAKYAT – Taman Safari Indonesia (TSI) Group merilis pernyataan untuk mengklarifikasi berbagai tudingan terkait isu dugaan eksploitasi terhadap sejumlah eks pemain sirkus. Apa kata mereka?

    Sebelumnya, kabar negatif itu muncul usai sejumlah eks pemain sirkus bersangkutan melakukan audiensi di Kementerian Hak Asasi Manusia (Kementerian HAM) beberapa waktu lalu.

    Melalui pernyataan resminya, TSI mengaku tidak punya sama sekali hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus yang disebutkan dalam forum. Ia juga menegaskan tak ada ikatan hukum di antara kedua belah pihak berkonflik.

    “Perlu kami sampaikan bahwa Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud (eks pemain sirkus)” demikian bunyi pernyataan Manajemen TSI, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 17 April 2025.

    Meski mengaku memahami situasi sehingga forum terbentuk, TSI menilai bahwa yang diungkap merupakan bagian dari ranah pribadi dan tak berkelindaan apa pun dengan lembaga mereka.

    “Adalah hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya, namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkut pautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami, terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum,” ujar pernyataan itu lagi.

    “Selama lebih dari 40 tahun, kami senantiasa mengutamakan konservasi, edukasi, dan pelayanan terbaik bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara,” tegasnya.

    Dengan demikian, TSI mengklaim bahwa mereka selalu berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.

    Oleh karena itu, TSI turut mengimbau masyarakat agar lebih cermat dan bijaksana dalam menanggapi berbagai informasi yang tersebar, khususnya di ranah digital.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan,” ucapnya menandaskan.

    Sekilas Kasus TSI

    Pada Selasa, 15 April 2025, Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, menerima kunjungan sejumlah mantan pekerja Oriental Circus Indonesia di Kantor Kementerian HAM, Jakarta.

    Dalam pertemuan tersebut, ia mendengarkan keluhan mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh para mantan pekerja.

    Walaupun dugaan kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM terjadi di masa lalu, menurutnya hal tersebut tidak berarti bahwa tindakan pidana yang terjadi tidak dapat diselidiki.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujarnya dikutip Antara.

    “Apalagi, kita sudah punya KUHP sejak Indonesia merdeka,” katanya menegaskan.

    Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) berencana memfasilitasi upaya pencarian keadilan bagi mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia yang diduga mengalami pelanggaran HAM selama bekerja di Taman Safari Indonesia sejak tahun 1970-an.

    Mugiyanto menyampaikan bahwa Kementerian HAM akan menjalin koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM, mengingat para korban telah menyampaikan laporan kepada kedua lembaga tersebut.

    Selain itu, guna memperoleh informasi yang lebih menyeluruh, Kementerian HAM juga berencana meminta penjelasan langsung dari pihak Taman Safari Indonesia. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Puluhan Tahun Disiksa, Pemain Sirkus OCI Adukan Penyiksaan ke Kemenham

    Puluhan Tahun Disiksa, Pemain Sirkus OCI Adukan Penyiksaan ke Kemenham

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) mendatangi Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) untuk mengadukan dugaan penyiksaan dan eksploitasi yang mereka alami selama menjadi pemain sirkus. Mereka menuntut hak dan keadilan atas perlakuan tidak manusiawi yang telah mereka derita selama puluhan tahun.

    Salah satu mantan pemain, Ida, menceritakan pengalaman pahitnya sejak dibawa oleh pihak OCI pada tahun 1976 saat berusia lima tahun. Ia dipisahkan dari orang tuanya dan dibawa ke sebuah objek wisata kebun binatang di Cisarua, Bogor, untuk dilatih menjadi pemain sirkus.

    “Sejak kecil saya dilatih keras, dan jika melakukan kesalahan saat latihan, saya sering dipukul dan diperlakukan kasar,” tutur Ida kepada wartawan di Kemenham, Rabu (15/4/2025).

    Ida juga mengungkapkan, pada tahun 1989, ia mengalami kecelakaan saat tampil dalam pertunjukan akrobatik yang menyebabkan patah tulang belakang. Trauma fisik dan psikologis tersebut masih membekas hingga saat ini.

    Wakil Menteri HAM Mugiyanto menyatakan, pihaknya akan menindaklanjuti laporan ini dengan berkoordinasi dengan lembaga terkait.

    “Hari ini kami mendengarkan langsung dari para mantan pemain sirkus yang mengaku mengalami kekerasan, dan kisah ini juga sudah viral. Kami akan menelusurinya lebih lanjut,” katanya.

    Kuasa hukum korban, Muhammad Soleh, mendesak pemerintah untuk segera membentuk tim pencari fakta independen guna mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di salah satu objek wisata kebun binatang di Cisarua.

    Ia menambahkan, masih banyak korban lain yang mengalami perlakuan serupa, namun belum berani bersuara. Oleh karena itu, para korban meminta dukungan dan perhatian serius dari pemerintah.

    “Permasalahan ini sudah berlangsung lama, namun belum ada keadilan. Kami mendesak agar ada sinergi lintas sektoral, khususnya dari Kemenham serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA),” ujar Muhammad Soleh yang mendesak pemerintah untuk mengusut penyiksaan yang dialami pemain sirkus OCI.

  • Terima aksi demonstrasi mahasiswa DPRD Kota Bogor perjuangkan aspirasi

    Terima aksi demonstrasi mahasiswa DPRD Kota Bogor perjuangkan aspirasi

    Kota Bogor (ANTARA) – DPRD Kota Bogor Jawa Barat menyatakan komitmennya untuk menjalankan amanat sebagai wakil rakyat dengan menerima aspirasi dan tuntutan massa aksi demonstrasi yang tergabung dalam Aliansi Bogor Menggugat.

    Ketua DPRD Kota Bogor Adityawarman Adil di Bogor, Rabu, menjelaskan, pada aksi yang berlangsung pada Kamis (27/3) di halaman Gedung DPRD Kota Bogor itu sempat terjadi kericuhan dengan adanya pembakaran atribut-atribut partai yang ada di gedung tersebut.

    Namun, aspirasi dari puluhan mahasiswa diterima langsung Adityawarman Adil yang didampingi oleh Wakil Ketua I DPRD Kota Bogor M Rusli Prihatevy, Ketua BK Safrudin Bima, Ketua Komisi I Karnain Asyhar, Wakil Ketua Komisi II Benninu Argoebie, anggota Komisi III Subhan dan Abdul Rosyid.

    Para mahasiswa secara gamblang menyampaikan penolakan terhadap pengasahan Revisi Undang-Undang TNI, imunitas TNI, sekaligus meminta pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang perampasan aset, evaluasi total program makan bergizi gratis (MBG) dan penyelesaian pelanggaran HAM berat.

    Di hadapan seluruh mahasiswa, Adityawarman menyatakan sikap secara tegas bahwa DPRD Kota Bogor akan memperjuangkan aspirasi dengan menyampaikannya ke pemerintah pusat melalui DPR-RI.

    “Kami janji, insya Allah akan sampaikan langsung aspirasi mahasiswa Bogor kepada DPR-RI,” kata Adit.

    Anggota DPRD Kota Bogor menerima masa aksi demonstrasi di Gedung DPRD Kota Bogor, Jawa Barat. ANTARA/HO-DPRD Kota Bogor

    Setelahnya, jajaran pimpinan dan anggota DPRD Kota Bogor secara simbolis menerima tuntutan massa aksi.

    Gelombang penolakan pengesahan Revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga sempat terjadi di Kota Bogor beberapa hari sebelum aksi tersebut. Massa aksi yang tergabung dalam HMI MPO Cabang Bogor melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Kota Bogor, Senin (24/3).

    Aksi demonstrasi diawali dengan kelompok mahasiswa melakukan orasi dan membakar ban di depan gerbang DPRD.

    Melihat kondisi semakin panas, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Kota Bogor, Safrudin Bima, didampingi oleh anggota Komisi I DPRD Kota Bogor, Sugeng Teguh Santoso, Tri Kisowo Jumino dan Fajar Muhammad Nur serta Sekretaris Komisi IV, Juhana, langsung menemui massa aksi.

    Safrudin menegaskan kepada massa aksi, bahwa DPRD Kota Bogor akan turut memperjuangkan aspirasi mahasiswa dengan melaporkan aksi dan tuntutan dalam rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Kota Bogor, yang nantinya akan ditindaklanjuti oleh lembaga DPRD Kota Bogor dengan mengirim surat ke pemerintah pusat dan DPR-RI.

    “Kami tentunya akan menindaklanjuti aspirasi mahasiswa ini dengan menyampaikan di rapat Banmus nanti. Kami juga akan mengirimkan surat ke pusat atas tuntutan ini,” tegas Safrudin.

    Sugeng Teguh Santoso meminta kepada para mahasiswa juga mengambil bagian dari perjuangan melalui uji materil di Mahkamah Konstitusi (MK).

    Pria yang akrab disapa STS ini menyampaikan bahwa saat ini ada tujuh orang mahasiswa dari Universitas Indonesia yang sedang mengajukan uji materil di MK dan meminta mahasiswa di Bogor untuk mendukung pergerakan tersebut.

    “Karena ada banyak cara untuk menunjukkan perjuangan. Salah satunya melalui MK. Mari kita dukung mereka yang tengah berjuang di MK agar pergerakan kita bisa melahirkan hasil yang positif,” kata STS.

    Setelah massa aksi diterima, rombongan mahasiswa membubarkan diri dengan kondusif.

    Pewarta: M Fikri Setiawan
    Editor: Azhari
    Copyright © ANTARA 2025

  • Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 April 2025

    Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997 Nasional 16 April 2025

    Komnas HAM Pernah Beri Rekomendasi soal Eksploitasi Pemain Sirkus pada 1997
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
    Komnas HAM
    ) pernah mengeluarkan rekomendasi atas kasus dugaan eksploitasi pemain sirkus pada
    Oriental Circus Indonesia
    (OCI), tetapi tak membuahkan hasil.
    “Pada 1997, komisioner Komnas HAM pada waktu itu mengeluarkan rekomendasi atas kasus anak-anak atlet/eks-atlet OCI,” kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/4/2025).
    Uli menjelaskan, pada 28 tahun lalu, para mantan pemain sirkus sempat mengadukan pelanggaran HAM yang mereka alami ke Komnas HAM.
    Komnas HAM pun memantau mengeluarkan rekomendasi atas pengaduan pekerja OCI Taman Safari Indonesia, dan menyatakan adanya pelanggaran HAM atas hak-hak anak.
    “Pelanggaran tersebut di antaranya hak untuk mengetahui asal usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan. Kemudian, hak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi,” kata Uli.
    “Lalu, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dapat menjamin masa depannya, serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial, sesuai peraturan perundang-undangan,” ujar dia.
    Komnas HAM juga memberikan rekomendasi untuk mengakhiri dan mencegah terjadinya tindakan yang menimbulkan pelanggaran HAM tersebut.
    “Komnas HAM juga merekomendasikan untuk menjernihkan asal-usul pemain sirkus OCI yang belum jelas asal-usulnya,” kata Uli.
    Dia menjelaskan, dalam surat rekomendasi itu, disebutkan bahwa OCI akan bekerja sama dengan Komnas HAM untuk memberikan publikasi dan langkah-langkah yang diperlukan, termasuk praktik-praktik pelatihan anak-anak atlet sirkus.
    “Pelatihan dengan disiplin keras tidak boleh menjurus penyiksaan, baik fisik maupun mental. Sengketa antara OCI dengan anak-anak atlet/eks-atlet sirkus OCI hendaknya diselesaikan secara kekeluargaan,” ungkap dia.
    Uli menyebutkan, kasus ini juga sempat dilaporkan ke kepolisian pada 1999, tetapi dihentikan penyidikannya.
    “Menurut catatan Komnas HAM, memang ada SP3 atas penyidikan dugaan pelanggaran pasal 277 KUHP pada tahun 1999. Tapi hal ini mohon juga diklarifikasi ke kepolisian,” kata dia.
    Setelah 28 tahun berlalu, Komnas HAM kembali menyarankan para korban untuk menyelesaikan permasalahan mereka lewat jalur hukum.
    “Pada 6 Januari 2025, komisi pengaduan Komnas HAM memebrikan saran menyelesaikan permasalahannya melalui jalur hukum,” ujar Uli.
    Kuasa hukum para mantan pemain sirkus, Muhammad Soleh, menyebutkan bahwa salah satu kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan pelanggaran itu ke Mabes Polri sejak tahun 1997, dengan sangkaan pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penghilangan asal-usul.
    Namun, kasus tersebut dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
     
    “Dulu Bu Fifi pernah melaporkan ke Mabes Polri tentang penghilangan asal-usul, tapi akhirnya SP3 dikeluarkan. Alasannya, bukti tidak ada,” kata Soleh usai melaporkan kasus ini ke Kementerian HAM, Selasa (15/4/2025).
    Fifi, salah satu korban yang melapor sejak tahun 1997, mengaku kecewa atas hasil penanganan kasusnya di kepolisian.
    Ia bahkan tidak memahami prosedur hukum saat pertama kali membuat laporan, termasuk ketika polisi memintanya melakukan visum.
    “Saya pernah melaporkan kekerasan dan penghilangan asal-usul. Polisi waktu itu minta visum, tapi saya tidak tahu harus seperti apa. Saya kecewa, karena saya disiksa dan sakit, tapi tidak ada yang bisa membela saya,” ujar Fifi.
    Sementara itu, pihak Taman Safari Indonesia mengeklaim tidak punya keterkaitan dengan para mantan pemain sirkus yang mengaku mengalami kekerasan.
    Manajemen Taman Safari mengatakan bahwa masalah tersebut melibatkan individu tertentu.
    “Taman Safari Indonesia Group sebagai perusahaan ingin menegaskan bahwa kami tidak memiliki keterkaitan, hubungan bisnis, maupun keterlibatan hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan dalam video tersebut,” tulis Manajemen Taman Safari Indonesia dalam keterangan resmi.
    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” ujar mereka.
    Taman Safari Indonesia meminta agar kasus dugaan kekerasan dan eksploitasi tersebut tidak disangkutpautkan dengan pihak mereka.
    “Hak setiap individu untuk menyampaikan pengalaman pribadinya, namun kami berharap agar nama dan reputasi Taman Safari Indonesia Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami,” tuls Taman Safari Indonesia.
    “Terutama tanpa bukti yang jelas karena dapat berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum,” ujar mereka.
    Taman Safari Indonesia mengeklaim berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, serta etika bisnis yang bertanggung jawab.
    Taman Safari Indonesia juga mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital.
    “Dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tulis Taman Safari Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.