Topik: Pelanggaran HAM

  • Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 – Halaman all

    Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Polisi kembali menelusuri kasus dugaan eksploitasi yang dialami para korban Oriental Circus Indonesia (OCI).

    Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak (PPA)-Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) Bareskrim Polri Brigjen Pol Nurul Azizah mengatakan kasus tersebut pernah dilaporkan 28 tahun silam.

    “Terkait dengan laporan di tahun 1997 tentu kami masih proses mencari datanya mengingat kejadian sudah sangat lama,” ungkapnya kepada wartawan, Kamis (24/4/2025).

    Polisi juga sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang turut mendampingi para korban.

    Beberapa pertemuan sudah dilakukan untuk memperbarui informasi dan mendalami penanganan kasus ini.

    “Dan kami sudah bersurat ke fungsi yang membidangi (Kemen PPPA),” tandasnya.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso mengungkapkan bahwa kasus dugaan pelanggaran HAM oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) mengandung unsur-unsur tindak pidana.

    Termasuk dugaan perdagangan anak, eksploitasi, dan penyiksaan. 

    Komisi XIII pun mendesak agar Polri membuka kembali kasus ini yang sebelumnya telah diberi status SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

    Hal itu disampaikannya usai audiensi Komisi XIII DPR bersama eks pegawai OCI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementerian HAM.

    “Ada banyak tindakan kejahatan yang terjadi terkait kasus ini. Misalnya, ditemukan bahwa sejak umur bayi, ada yang usia 2 tahun, 5 tahun, mereka diperdagangkan, katakanlah oleh oknum orang tuanya ke OCI dan dieksploitasi untuk bekerja sebagai pemain sirkus,” kata Sugiat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Sugiat mengungkapkan, dari berbagai keterangan para korban, ditemukan indikasi kuat adanya penyiksaan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dialami mereka selama bertahun-tahun.

    Bahkan, para korban telah memperjuangkan keadilan sejak tahun 1997, namun belum mendapatkan kejelasan hukum hingga kini.

    “Dan dari beberapa penjelasan mereka, ternyata banyak sekali tindak kejahatan, penyiksaan, dan sebagainya. Mereka sudah melakukan pencarian keadilan sejak tahun 1997,” ujarnya.

    Komisi XIII telah menyepakati untuk mendorong Polri membuka kembali penyelidikan kasus tersebut, dengan pintu masuk pada indikasi perdagangan manusia. 

    Sugiat mengakui bahwa untuk pembuktian kekerasan fisik mungkin sudah sulit, mengingat kasus ini terjadi puluhan tahun lalu.

    “Kalau pintu masuknya adalah tadi saya katakan, bisa saja terkait dengan kejahatan perdagangan manusia. Kalau penyiksaan fisik karena sudah 28 tahun, mungkin agak sulit menemukan bukti-bukti atau visum. Tapi OCI dan eks-karyawan ini sudah sepakat bahwa sejak umur bayi mereka sudah diperdagangkan di OCI. Saya pikir itu bisa jadi pintu masuk,” kata Sugiat.

    Ia juga menekankan pentingnya kehadiran negara dalam proses pemulihan para korban yang selama ini merasa ditelantarkan dan dieksploitasi sejak anak-anak.

    “Kehadiran negara dalam proses pemulihan itu penting. Mereka rakyat Indonesia, mereka sejak dari umur bayi sudah ditelantarkan dan dieksploitasi oleh oknum OCI. Saya pikir harus ada kehadiran negara untuk proses pemulihan itu,” ujar Sugiat.

    Menurutnya, berdasarkan keterangan korban, kuasa hukum, serta hasil investigasi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, kasus ini sudah layak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

    “Kalau dilihat dari temuan, saya pikir sudah dijelaskan kuasa hukum, para korban, dan dikuatkan oleh temuan investigasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan, ini pelanggaran HAM berat,” ucapnya.

    Sebagai tindak lanjut, Komisi XIII sepakat untuk berkolaborasi antara Kementerian HAM sebagai leading sector bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan guna mendorong Polri membuka kembali kasus ini.

    Kekerasan dan Pelecehan

    Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman pahit mereka menjadi korban kekerasan fisik, eksploitasi, hingga pelecehan seksual selama bertahun-tahun terlibat dalam pertunjukan.

    Pengakuan ini mereka sampaikan di hadapan Komisi XIII DPR RI pada Rabu (23/4/2025).

    Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini menghadirkan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

    Fifi Nurhidayah, korban yang hadir dalam audiensi, menuturkan bahwa ia dibawa ke OCI oleh Frans Manansang sejak usia belia, ia bahkan tidak mengetahui pasti umurnya saat itu.

    Kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, dan cambukan rotan, menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya jika ia gagal menampilkan pertunjukan dengan baik.

    Akibat penyiksaan yang terus-menerus selama bertahun-tahun, membuat Fifi akhirnya melarikan diri dari Taman Safari.

    Namun, pelariannya hanya berlangsung tiga hari sebelum ia ditangkap kembali oleh pihak keamanan dan dibawa pulang.

    Akibat pelarian itu, ia mengaku mendapatkan hukuman berupa setruman di badan hingga alat kelamin, yang kemudian membuatnya mengompol.

    “Setelah saya melarikan diri, 3 hari saya menghirup udara luar, saya ditangkap lagi dengan security. Di tengah jalan saya dipukulin, dikata-katain kasar seperti binatang. Sampai rumah saya dimasukkan ke kantor dan saya disetrum pakai setruman gajah. Sampai saya lemas. Sampai alat kelamin saya disetrum. Akhirnya saya jatuh, saya lemas, saya minta ampun, saya sakit. Tapi dia tidak mendengarkan omongan saya, malah dia menambahkan pukulan itu,” ungkap Fifi dengan suara bergetar.

    “Setelah itu, saya jatuh lemas, ditarik lagi rambut saya, dijedotin ke dinding, dan saya ditampar. Akhirnya saya ngompol di situ. Setelah itu, saya dirantai selama 2 minggu, dipasung. Setelah 2 minggu dipasung, saya dibebaskan. Dan seperti biasa, saya latihan seperti biasa,” lanjutnya.

    Bertahun-tahun kemudian, Fifi akhirnya menemukan celah untuk kabur dan meninggalkan Taman Safari dengan bantuan sang mantan kekasih.

    Hingga sekarang, menurut Fifi, rangkaian peristiwa di Taman Safari masih membekas dan meninggalkan trauma mendalam.

    Dalam kesempatan yang sama, Ida mengatakan bahwa ia pernah terjatuh dari ketinggian 13-14 meter saat melakukan atraksi di Bandar Lampung pada tahun 1989.

    Ironisnya, setelah jatuh, pihak sirkus tidak langsung membawanya ke rumah sakit.

    Ia mengaku hanya dipijat di belakang panggung.

    “Setelah kira-kira beberapa jam (setelah jatuh) baru saya dibawa ke rumah sakit. Kejadiannya di Bandar Lampung. Satu malaman saya menunggu rasa sakit, belum ditangani sama dokter. Pagi baru mendapat penanganan, di-gips. Di-gips itu saya sudah tidak merasa sakit, karena mungkin dibius ya,” katanya.

    Setelah di gips, Ida dibawa ke Jakarta oleh pihak OCI untuk menjalani operasi dan terapi.

    Ia kemudian tak lagi menjadi pemain sirkus.

    Dalam keterbatasan fisik, Ida kemudian bekerja dalam naungan manajemen Taman Safari dengan kondisi menggunakan kursi roda.

    Pada tahun 1997 ia akhirnya mengajukan diri untuk keluar dari Taman Safari.

    “Sekitar tahun 1997 saya lalu izin keluar. Saya sudah tidak mau ikut lagi di situ. Setelah saya keluar, saya diminta buat surat pengunduran diri. Padahal saya pikir untuk apa saya bikin, karena saya sebetulnya kan bagian dari keluarga katanya. Tapi saya dipaksa membuat surat sebelum saya meninggalkan Taman Safari. Jadi setelah saya tanda tangan, saya diizinkan keluar, tapi saya tidak menerima apa-apa. Jadi saya keluar, tidak dapat satu rupiah pun, saya keluar meninggalkan Taman Safari pada saat itu seperti itu gitu,” katanya.

    Lisa, mantan pemain sirkus OCI lainnya, mengungkapkan bagaimana pihak OCI tidak mengizinkannya untuk bertemu keluarga kandungnya.

    Menurut pengakuannya, istri dari Yansen, seorang pengelola sirkus, mengatakan bahwa Lisa adalah anak yang dijual oleh orang tuanya.

    “Setelah usia saya 12 tahun, saya minta sama Pak Tony untuk dipertemukan dengan keluarga saya. Tapi Tony bilang, nanti suatu saat kalau kamu ada waktunya, kamu akan saya pertemukan. Setelah 15 tahun, saya juga minta lagi dengan Ibu Yansen. Kita panggil dia Sausau. Sau, saya ingin ketemu orang tua saya. Sausau terus bilang, kamu itu dijual. Kamu itu anak yang dijual. Saya sedih dari saat itu,” ungkapnya.

    Lisa juga mengaku bahwa ia tidak diizinkan untuk memiliki KTP pada usia 17 tahun.

    Ia akhirnya berhasil keluar dari sirkus pada usia 19 tahun setelah memiliki seorang pacar, namun hingga kini ia tak tahu asal usul keluarganya dan tidak menerima upah sepeserpun selama menjadi pemain sirkus.

    “Sampai sekarang saya pun belum bisa ketemu orang tua saya. Identitas saya juga tidak tahu. Dari mana saya, nama orang tua saya itu siapa,” imbuh Lisa.

  • TNI AU tegaskan Puskopau Halim bukan bagian dari pemilik OCI

    TNI AU tegaskan Puskopau Halim bukan bagian dari pemilik OCI

    Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsma TNI Ardi Syahri di Mabes AU, Jakarta Timur, Rabu (11/12/2024). ANTARA/Walda Marison

    TNI AU tegaskan Puskopau Halim bukan bagian dari pemilik OCI
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 24 April 2025 – 12:42 WIB

    Elshinta.com – Markas Besar TNI Angkatan Udara menegaskan Pusat Koperasi Angkatan Udara (Puskopau) Lanud Halim Perdanakusuma bukan bagian dari pemilik Oriental Circus Indonesia (OCI).

    “TNI AU menegaskan bahwa Oriental Circus Indonesia (OCI) bukan merupakan unit usaha milik Puskopau Lanud Halim Perdanakusuma. Puskopau tidak pernah memiliki atau mengelola dari kegiatan sirkus yang dimaksud,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama TNI Ardi Syahri di Jakarta, Kamis.

    Ardi melanjutkan OCI dan Puskopau Halim Perdanakusuma memang pernah bekerja sama, tetapi terbatas hanya pada dukungan surat-menyurat untuk penyelenggaraan acara di area-area yang dikelola oleh Lanud Halim Perdanakusuma.

    “Yang pernah terjadi pada masa lalu adalah bentuk kerja sama operasional terbatas, terutama dalam bentuk perbantuan dukungan pengurusan surat-menyurat penyelenggaraan acara pertunjukan OCI di beberapa aset Lanud,” kata Kadispenau.

    Kerja sama itu, Ardi kembali menegaskan, bukan bentuk kepemilikan.

    “Puskopau Halim juga tidak turut campur di dalam manajemen, pembinaan, dan urusan dalam mitra,” kata Ardi.

    Terkait dugaan penyiksaan dan pelanggaran HAM yang saat ini ditujukan kepada OCI, Ardi menyatakan TNI AU siap kooperatif dan membantu memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan untuk membantu penelusuran fakta, serta penyelidikan terkait lainnya.

    “TNI AU menghargai dan mendukung upaya Komnas HAM dalam menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Apabila dibutuhkan, TNI AU siap memberikan keterangan tambahan secara transparan dan kooperatif untuk membantu penelusuran fakta secara adil dan berimbang,” kata Marsma Ardi.

    Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat audiensi dengan Komisi XIII DPR RI di Jakarta, Rabu (23/4), mencurigai ada keterkaitan OCI dengan Puskopau Lanud Halim Perdanakusuma. Kecurigaan itu karena adanya dokumen SK yang terbit pada 1997.

    Atnike, dalam acara audiensi, menyebutkan masih perlu menelusuri lebih lanjut karena tahun terbit dokumen yang cukup lama. Dia pun menyebut bakal meminta penjelasan kepada Markas Besar TNI AU terkait temuan Komnas HAM itu, karena ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi.

    Komnas HAM menyatakan ada empat pelanggaran HAM yang diduga terjadi di lingkungan OCI, yaitu pelanggaran hak anak untuk mengetahui asal usul identitas dan hubungan kekeluargaan baik dengan keluarga maupun dengan orang tuanya, pelanggaran hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis, pelanggaran hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak yang dapat menjamin masa depannya, pelanggaran hak anak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

    Sumber : Antara

  • PAN Nilai Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Patut Dipertimbangkan atas Capaiannya – Halaman all

    PAN Nilai Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Patut Dipertimbangkan atas Capaiannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Partai Amanat Nasional (PAN) menanggapi adanya usulan untuk menjadikan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

    Menurut Sekretaris Jenderal PAN, Eko Hendro Purnomo, usulan agar Soeharto menjadi Pahlawan Nasional ini adalah hal yang wajar.

    Bahkan Eko menilai usulan ini patut untuk dipertimbangkan, mengingat banyaknya pencapaian Soeharto selama menjadi Presiden RI.

    Di antaranya adalah pencapaian Soeharto dalam swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, pendidikan hingga koperasi usaha kecil.

    “Dari PAN, kami melihat usulan agar Presiden Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional sebagai hal yang wajar dan patut dipertimbangkan.”

    “Banyak capaian yang bisa dikenang, seperti swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, program sekolah dasar Inpres, dan dukungan terhadap koperasi serta usaha kecil,” kata Eko dilansir Kompas.com, Kamis (24/4/2025).

    Lebih lanjut Eko menyebut Soeharto adalah tokoh penting dalam sejarah Indonesia.

    Selain itu Soeharto juga menjadi presiden dalam periode panjang pembangunan nasional.

    Terkait penilaian gelar Pahlawan Nasional ini, Eko meyakini prosesnya pasti akan dilakukan secara menyeluruh oleh pihak berwenang.

    Terlebih harus ada mekanisme resmi yang dilalui, seperti Dewan Gelar hingga keputusan oleh Presiden RI, sebelum nantinya Soeharto bisa ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

    Eko menekankan, selama proses penilaian ini terbuka dan sesuai aturan, maka PAN akan menghormati apapun keputusan akhirnya.

    Eko melanjutkan, bagi PAN upaya menghargai tokoh bangsa seperti Presiden ke-2 RI adalah bagian dari merawat sejarah nasional.

    “Ini bukan soal politik semata, tapi soal bagaimana kita memberi tempat yang layak bagi sosok yang pernah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan Indonesia,” imbuh Eko.

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan usulan Soeharto jadi pahlawan nasional cederai amanat reformasi.

    Diketahui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan tidak ada masalah usulan Kementerian Sosial memasukkan Presiden kedua RI, Soeharto, sebagai calon Pahlawan Nasional.

    “Pernyataan Mensesneg Prasetyo Hadi ahistoris dan tidak sensitif terhadap perasaan korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi selama Orde Baru,” kata Usman Hamid, Rabu, (23/4/2025).

    Usulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, kata Usman Hamid mencederai amanat reformasi yang memandatkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Yang terjadi selama 32 tahun Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi. 

    “Keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu hingga hari ini masih mendambakan keadilan yang tak kunjung datang. Oleh karena itu, usulan tersebut harus ditolak jika negara masih memiliki komitmen terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu,” sambungnya.

    Kemudian dikatakan Usman Hamid bahwa Soeharto berperan dalam kekerasan negara yang bersifat sistematis terhadap rakyatnya, pembredelan media massa, pelanggaran berat HAM, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur. 

    “Tanpa mempertimbangkan semua masalah tersebut, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanyalah upaya menghapus dosa-dosa Soeharto dan memutarbalikkan sejarah,” tegasnya.

    Sebelumnya Istana melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa tidak ada masalah terkait usulan Kementerian Sosial yang memasukkan Presiden kedua RI, Soeharto, sebagai calon Pahlawan Nasional.

    Ia menilai bahwa para mantan Presiden layak mendapatkan penghormatan dari negara atas jasa-jasa yang telah mereka berikan.

    “Usulan dari Kementerian Sosial terhadap Presiden Soeharto, saya kira kalau kami merasa bahwa apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan Presiden itu sudah sewajarnya untuk kita mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita,” ujar Prasetyo di Wisma Negara, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/4/2025).

    Lebih lanjut, Prasetyo mengimbau agar masyarakat tidak selalu fokus pada kekurangan seseorang, melainkan melihat kontribusi dan pencapaian yang telah diberikan kepada bangsa. Ia menegaskan bahwa penghormatan kepada para pemimpin terdahulu penting untuk dijaga, sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pentingnya menghargai jasa para pendahulu.

    “Mulai dari Bung Karno dengan segala dinamika dan permasalahan yang dihadapi masing-masing, kemudian Pak Harto, Pak Habibie, dan seterusnya, Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY, Pak Jokowi, semua punya jasa. Tidak mudah menjadi Presiden dengan jumlah penduduk yang demikian besar,” lanjutnya.

    Terkait kritik terhadap Soeharto atas berbagai hal yang terjadi di masa lalu, Prasetyo berpandangan bahwa hal tersebut sangat bergantung pada perspektif masing-masing. Ia menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kekurangan.

    “Tapi sekali lagi yang tadi saya sampaikan, semangatnya pun Bapak Presiden bukan di situ. Semangatnya kita itu adalah kita itu harus terus menghargai, menghargai, memberikan penghormatan apalagi kepada para Presiden kita,” tambahnya.

    Meski demikian, ia menegaskan bahwa hingga kini belum ada pembahasan secara khusus mengenai usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

    “Jadi menurut saya tidak ada masalah. Tapi kita belum membahas itu secara khusus,” pungkas Prasetyo.

    Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

    Sementara itu Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) telah membahas pengusulan calon Pahlawan Nasional tahun 2025.

    Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengatakan semangat kerukunan dan kebersamaan menjadi dasar penentuan gelar kali ini.

    “Nah, semangatnya Presiden sekarang ini kan semangat kerukunan, semangat kebersamaan, semangat merangkul, semangat persatuan. Mikul duwur mendem jero,” kata Gus Ipul melalui keterangan tertulis, Rabu (19/3/2025).

    Gus Ipul memastikan proses pengusulan Pahlawan Nasional 2025 dipastikan berjalan transparan dan efektif.

    Kemensos dan TP2GP memastikan bahwa tokoh-tokoh yang diajukan memiliki kontribusi besar bagi bangsa, selaras dengan semangat persatuan dan kebersamaan yang dimiliki bangsa Indonesia.

    “Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kami. Jadi memang prosesnya dari bawah,” kata Gus Ipul.

    Sementara itu, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih mengungkapkan sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025.

    Dari jumlah tersebut, empat nama merupakan usulan baru, sementara enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya.

    “Untuk tahun 2025 sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira Riyati.

    Beberapa tokoh yang kembali diusulkan, antara lain K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Jenderal Soeharto (Jawa Tengah), K.H. Bisri Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).

    Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini, yaitu Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara), dan K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur).

    (Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Rahmat Fajar Nugraha)

  • Komnas HAM Temukan Dokumen Lama yang Tunjukkan Sirkus OCI Pernah Dimiliki TNI AU – Halaman all

    Komnas HAM Temukan Dokumen Lama yang Tunjukkan Sirkus OCI Pernah Dimiliki TNI AU – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Oriental Circus Indonesia (OCI) tercatat pernah dimiliki oleh TNI Angkatan Udara.

    Hal itu terungkap berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh tim Komnas HAM pada tahun 1997 lalu, saat kasus dugaan pelanggaran HAM tersebut terungkap.

    Demikian disampaikan Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Atnike Nova Sigiro, dalam rapat bersama Komisi XIII DPR RI, pada Rabu (23/4/2025).

    “Komnas HAM juga menerima SK Nomor SKep/20/VII/1997 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Pusat Koperasi Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma yang pada pasal 10 huruf (a) terkait Unit Usaha Jasa Niaga Umum milik Puskopau salah satunya sirkus,” kata Atnike, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

    Saat ditanya usai rapat, Atnike mengatakan bahwa perlu menelusuri lebih lanjut apakah saat ini TNI AU masih memiliki OCI atau tidak.

    Hal ini mengingat kasus dugaan pelanggaran HAM yang terungkap pada 1997 silam.

    “Badan Hukum Puskopau ya, salah satunya pemilikan atas sirkus. Itu perlu kita lihat, itu kan tahun 1997 dokumen itu,” ujarnya.

    Sebab itu, Atnike mengatakan, pihaknya bakal melakukan penelusuran kembali terhadap temuan-temuan Komnas HAM tahun 1997. 

    “Maka kita perlu melakukan penelusuran kembali atas informasi yang sudah pernah diperoleh oleh Komnas HAM di periode yang lalu, dan itu periode Komnas HAM yang masih sangat awal ya 1997,” pungkasnya.

    Diketahui, para mantan pemain sirkus itu belakangan buka suara soal kekerasan yang mereka dapat selama bekerja di tempat hiburan keluarga itu.

    Salah seorang korban, Fifi, mengaku mendapat perlakuan kejam. Ia sempat diseret hingga dikurung di kandang macan.

    Mendapati perlakuan kejam, ia mengaku sempat kabur.

    “Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya nggak kuat, akhirnya saya kabur lewat hutan malam-malam, sampai ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi,” tutur Fifi di hadapan Wakil Menteri HAM, Selasa, dilansir Tribun Jabar.

    Bukannya evaluasi, pihak atau oknum Taman Safari kembali memberikan siksaan kepada Fifi, bahkan berkali-kali lipat lebih kejam.

    Setelah kembali, ia diseret, dipasung hingga disetrum di bagian sensitifnya.

    “Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum,” ujar Fifi dengan suara lirih.

    Selain mendapatkan kekerasan, Fifi ternyata juga tak mengetahui identitas aslinya.

    Sejak lahir, Fifi memang dibesarkan di lingkungan sirkus tanpa mengetahui siapa orang tuanya.

    Ia diambil oleh salah satu bos sirkus saat ia baru lahir.

    Belakangan terungkap bahwa Fifi anak seorang pemain sirkus lainnya bernama Butet.

    Saat beranjak dewasa, Butet mengaku menyerahkan Fifi untuk diasuh orang lain lantaran belum memiliki kehidupan yang layak.

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

     

  • Eks Pemain Sirkus OCI Minta Dukungan Dedi Mulyadi Bongkar Kasus HAM

    Eks Pemain Sirkus OCI Minta Dukungan Dedi Mulyadi Bongkar Kasus HAM

    Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) berencana menemui Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pada Kamis (24/4/2025). Mereka meminta dukungan moral agar proses hukum atas dugaan pelanggaran HAM berat yang mereka alami tak mandek dan tidak diselewengkan.

    Hal tersebut disampaikan oleh kuasa hukum eks pemain sirkus OCI, Muhammad Soleh, seusai rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    “Insyaallah besok kami akan menemui KDM (Kang Dedi Mulyadi). Apalagi, Taman Safari Indonesia yang terkait kasus ini berlokasi di Jawa Barat, dan beberapa korban juga ber-KTP Jawa Barat,” ujar Soleh.

    Ia menambahkan bahwa Dedi Mulyadi telah menyatakan kesediaannya untuk bertemu. Menurut Soleh, dukungan moral dari berbagai elemen bangsa sangat dibutuhkan agar kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang telah terpendam selama 28 tahun bisa diungkap dan ditindak secara hukum.

    “Beliau sudah menyampaikan kesediaannya untuk bertemu. Maka besok pagi kami ke Bandung untuk meminta dukungan moral, supaya proses hukum kasus ini tidak mandek dan tidak diselewengkan,” tegasnya.

    Soleh menegaskan bahwa apa yang dialami para mantan pemain sirkus OCI sudah masuk kategori pelanggaran HAM berat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu, kata dia, kasus tersebut tidak bisa ditangani melalui mekanisme hukum pidana biasa, melainkan harus melalui pengadilan ad hoc HAM.

    “Tadi kami juga sampaikan ke Komisi III DPR agar dibentuk pengadilan HAM. Karena 60 anak dipisahkan secara paksa, itu sudah termasuk perampasan kemerdekaan dan pelanggaran HAM berat,” jelasnya.

    Menurut Soleh, para korban berharap para pelaku di balik kasus tersebut, yang diduga berasal dari internal OCI, bisa diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Pasalnya, selama 28 tahun kasus tersebut belum tersentuh penegakan hukum.

    “Kami berterima kasih kepada Komisi III DPR dan pemerintahan baru. Tidak ada pilihan lain, pengadilan HAM harus dibentuk agar sejarah kelam ini tidak terulang kembali,” pungkas Soleh.

  • Kasus Eks Pemain Sirkus OCI, Komnas HAM Akan Klarifikasi ke TNI AU

    Kasus Eks Pemain Sirkus OCI, Komnas HAM Akan Klarifikasi ke TNI AU

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait kasus eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) yang tengah menjadi sorotan publik.

    Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebutkan, pihaknya menemukan surat pada 1997 yang menunjukkan OCI pernah tercatat sebagai unit usaha milik TNI Angkatan Udara (AU), melalui Pusat Koperasi Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma (Puskopau).

    Atnike menyampaikan hal ini dalam rapat bersama Komisi XIII DPR dan para eks pemain sirkus OCI, Rabu (23/4/2025). Dalam dokumen tersebut tercantum Surat Keputusan Nomor SKep/20/VII/1997 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Puskopau Halim, yang menyebutkan unit usaha jasa niaga umum milik Puskopau termasuk sirkus.

    Akan Klarifikasi ke TNI AU

    Atnike menyatakan, Komnas HAM akan melakukan klarifikasi lebih lanjut ke TNI AU terkait status kepemilikan OCI yang kini menjadi bagian dari Taman Safari Indonesia.

    “Kami perlu menelusuri kembali apakah TNI AU masih memiliki keterkaitan dengan OCI sampai hari ini karena dokumen yang kami miliki itu berasal dari 1997,” jelasnya.

    Atnike menambahkan, Komnas HAM juga akan menggali kembali hasil temuan investigasi mereka dari periode awal lembaga tersebut berdiri, terutama karena munculnya kembali laporan dugaan pelanggaran HAM terhadap mantan pemain sirkus OCI pada akhir 2024.

    Dugaan Pelanggaran HAM Berat

    Kasus ini mencuat kembali setelah Komnas Perempuan dan sejumlah eks pemain melaporkan dugaan eksploitasi terhadap anak-anak dalam sirkus, termasuk pelanggaran hak atas pendidikan, kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

    “Temuan lama ini harus dikaitkan dengan laporan yang masuk baru-baru ini. Perlu investigasi menyeluruh untuk mengungkap apakah ada pelanggaran HAM berat yang terjadi secara sistemik,” tutup Atnike mengenai temuan Komnas HAM terkait kasus eks pemain sirkus OCI di Taman Safari Indonesia.

  • Kasus Eks Pemain Sirkus OCI, Komnas Perempuan Desak TPF Independen

    Kasus Eks Pemain Sirkus OCI, Komnas Perempuan Desak TPF Independen

    Jakarta, Beritasatu.com – Komnas Perempuan mendesak pemerintah segera membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) independen guna mengusut tuntas dugaan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). 

    Permintaan ini disampaikan Anggota Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor dalam rapat Komisi XIII DPR bersama para korban di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Menurut Maria, pembentukan TPF lintas lembaga sangat penting mengingat kasus ini telah berlangsung lama, sejak 1979. Tim ini diharapkan melibatkan Komnas HAM, LPSK, Kementerian Hukum, Kementerian HAM, KPPPA, Kemenaker, hingga Polri untuk mengusut dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami para korban.

    “Kasus ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga menyangkut pelanggaran hak-hak anak, identitas, pendidikan, hingga kekerasan berbasis gender dan eksploitasi ekonomi,” ujar Maria terkait desakan Komnas Perempuan terkait pembentukan TPF Independen kasus dugaan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus OCI.

    Komnas Perempuan juga merekomendasikan KPPPA untuk memberikan pendampingan psikologis serta pemulihan ekonomi korban. Kementerian Ketenagakerjaan turut diminta untuk melakukan investigasi kerugian kerja serta memberikan rekomendasi penegakan hukum terhadap pelaku.

    Pemilik OCI Diminta Beri Kompensasi

    Maria menegaskan, Jansen Manansang selaku pemilik Oriental Circus Indonesia harus bertanggung jawab memberikan kompensasi kepada para korban. Menurutnya, penentuan nilai kompensasi memerlukan kajian para ahli mengingat kompleksitas kerugian yang diderita korban, baik secara fisik, psikis, hingga ekonomi.

    “Beberapa korban mengalami trauma berat, bahkan bisa berlangsung seumur hidup. Maka pendampingan psikologis wajib dilakukan,” kata Maria.

    Komnas Perempuan juga menilai kasus dugaan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus OCI dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, baik menurut hukum nasional maupun internasional, terutama dalam konteks perbudakan anak (child slavery) dan kekerasan berbasis gender.

  • Anggota DPR Anggap Kasus Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus OCI Pelanggaran HAM Berat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 April 2025

    Anggota DPR Anggap Kasus Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus OCI Pelanggaran HAM Berat Nasional 23 April 2025

    Anggota DPR Anggap Kasus Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus OCI Pelanggaran HAM Berat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi XIII DPR
    Sugiat Santoso
    mengatakan, kasus eksploitasi mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat.
    Menurut dia, pengakuan para korban sudah dikuatkan oleh investigasi dari
    Komnas HAM
    .
    Hal tersebut disampaikan Sugiat usai menggelar rapat dengan
    pemain sirkus OCI
    dan Komisi XIII DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4/2025).
    “Kalau dari temuan, saya pikir tadi sudah dijelaskan oleh kuasa hukum dan para korban dan dikuatkan oleh temuan investigasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan, ini pelanggaran berat,” ujar Sugiat.
    “Ada beberapa pasal bahkan UUD 1945 dan beberapa pasal di ketentuan hukum kita bahkan hukum internasional, ini pelanggaran berat,” sambung dia.
    Sugiat menyesalkan tindakan eksploitasi yang bahkan dilakukan sejak korban masih berusia 2 tahun.
    Dia menyebut, penjualan yang dilakukan orangtua korban bisa menjadi pintu masuk menuju ranah pidana.
    “Bahwa mereka ternyata dari umur 5 tahun, 2 tahun, 3 tahun, bahkan ada yang 8 tahun itu sudah diperjualbelikan. Si OCI yang membeli, Oriental Circus Indonesia yang membeli. Penjualnya adalah orangtuanya. Saya pikir itu bisa pintu masuk ke tindak pidananya,” ujar Sugiat.
    Untuk itu, Sugiat mendorong agar kasus tersebut diusut kembali oleh Mabes Polri.
    Sugiat mengeklaim, akan mengawal ketat kasus
    eksploitasi pemain sirkus

    Taman Safari Indonesia
    ini.
    “Komisi XIII ingin mengawal kasus ini terkait dengan tindak kejahatannya. Bahwa Mabes Polri membuka kembali kasus ini dan menghukum pelaku kejahatan ini,” imbuh dia.
    Sebelumnya, sejumlah perempuan mantan pemain sirkus OCI menguak kisah kelam selama puluhan tahun menjadi pemain sirkus yang beratraksi di berbagai tempat, termasuk di Taman Safari Indonesia.
    Cerita memilukan ini diungkap para perempuan tersebut di hadapan Wakil Menteri HAM Mugiyanto, Selasa (15/4/2025), saat mengadukan pengalaman pahit yang mereka alami selama bertahun-tahun, mulai dari kekerasan fisik, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi.
    Butet, salah satu pemain sirkus, bercerita bahwa ia sering mendapatkan perlakuan kasar selama berlatih dan menjadi pemain sirkus.
    “Kalau main saat
    show
    tidak bagus, saya dipukuli. Pernah dirantai pakai rantai gajah di kaki, bahkan untuk buang air saja saya kesulitan,” kata Butet, di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa.
    Bahkan, ketika sedang mengandung, Butet juga tetap dipaksa tampil dan dipisahkan dari anaknya.
    “Saat hamil pun saya dipaksa tetap tampil. Setelah melahirkan, saya dipisahkan dari anak saya, saya tidak bisa menyusui. Saya juga pernah dijejali kotoran gajah hanya karena ketahuan mengambil daging empal,” ungkap Butet, sambil menahan tangis.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • RUU Polri Akan Dibahas Setelah RUU KUHAP, Ini 8 Poin yang Dinilai Berbahaya

    RUU Polri Akan Dibahas Setelah RUU KUHAP, Ini 8 Poin yang Dinilai Berbahaya

    PIKIRAN RAKYAT – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) akan dibahas usai RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Sebelumnya RUU Polri menuai banyak kritik, sebab revisi ini disebut-sebut berpotensi memberikan kekuasaan berlebihan kepada Polri dan mengancam prinsip demokrasi serta perlindungan hak asasi manusia (HAM).

    Pada Selasa, 28 Mei 2024, rapat paripurna DPR resmi menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif DPR. Namun, prosesnya dinilai terburu-buru dan tidak transparan. RUU Polri bahkan tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020–2024.

    Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengatakan bahwa RUU Polri kemungkinan baru akan dibahas setelah selesai. Menurutnya, RUU KUHAP saat ini menjadi prioritas karena harus selesai pada 2025 untuk mendampingi penerapan KUHP baru pada 2026.

    “Saya belum bisa kasih tanggapan soal itu (RUU Polri dan RUU Kejaksaan). Kami pertegas saat ini fokus penyelesaian RUU KUHAP,” ujar Rudianto di Jakarta, Selasa, 22 April 2025.

    Ia juga menyebut bahwa UU KUHAP yang berlaku saat ini sudah sangat tua karena dibuat pada tahun 1981, dan banyak pasalnya telah dibatalkan Mahkamah Agung.

    Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa pemerintah tetap menjadwalkan pengajuan RUU Polri dan Kejaksaan pada tahun ini.

    “Sesuai dengan agenda seperti itu,” kata Prasetyo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 21 April 2025, sambil menambahkan bahwa isi kedua RUU masih akan dibahas lebih lanjut.

    8 Poin RUU Polri yang Dinilai Bermasalah

    Berikut ini adalah poin-poin kontroversial dalam RUU Polri yang menuai kritik dari publik dan lembaga masyarakat sipil:

    Pengawasan Ruang Siber: Memberi kewenangan Polri untuk memblokir atau memperlambat akses internet, yang berisiko membatasi kebebasan berekspresi dan privasi warga. Penggalangan Intelijen: Polri dapat melakukan penggalangan dan meminta informasi dari lembaga lain tanpa kejelasan batas wewenang, berisiko tumpang tindih dengan BIN dan PPATK. Penyadapan Tanpa Izin: Polri diberi hak menyadap tanpa mekanisme izin seperti KPK, membuka peluang pelanggaran HAM. Intervensi Lembaga Penyidikan Lain: Polri bisa memberi arahan teknis ke penyidik lembaga lain, termasuk KPK, yang dinilai bisa melemahkan independensi. Penguatan Pam Swakarsa: Membuka jalan bagi kebangkitan Pam Swakarsa, yang memiliki catatan historis terkait represi terhadap masyarakat sipil. Perpanjangan Usia Pensiun: Usia pensiun anggota Polri diperpanjang hingga 65 tahun, yang dikhawatirkan menghambat regenerasi. Wewenang di Hukum Nasional dan Smart City: Polri terlibat dalam pembinaan hukum dan proyek smart city, menimbulkan tumpang tindih tugas dengan lembaga lain. Minimnya Mekanisme Pengawasan: Tidak ada penguatan signifikan terhadap pengawasan eksternal Polri. Kompolnas dan Komisi Etik masih diatur melalui peraturan internal, bukan undang-undang.

    Belum lama ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyebut bahwa RUU ini justru memperluas kewenangan Polri secara tidak proporsional, alih-alih melakukan perbaikan mendasar terhadap institusi tersebut.

    Dikhawatirkan, Polri akan menjadi lembaga “superbody” dengan kekuasaan besar namun minim pengawasan.

    Belum reda kritik terhadap revisi UU TNI, kini muncul kekhawatiran serupa terhadap RUU Polri.

    Banyak pihak mendesak agar pembahasannya ditunda dan dilakukan secara lebih terbuka serta melibatkan partisipasi publik. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • 3 Poin Pro dan Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ada yang Kenang Orde Baru – Halaman all

    3 Poin Pro dan Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ada yang Kenang Orde Baru – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Dukungan hingga penolakan alias pro dan kontra mencuat atas wacana pengusulan Presiden ke-2 RI, Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.

    Wacana tersebut sebelumnya diusulkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dengan mengajukan 10 nama, termasuk nama mantan mertua Presiden Prabowo Subianto.

    Istana dalam hal ini mendukung atas usulan tersebut.

    Sementara penolakan dilayangkan oleh sejumlah pihak, termasuk KontraS dan Amnesty Internasional Indonesia.

    Mereka membubuhkan sejumlah catatan yang menjadi alasan tak setuju dengan usulan tersebut.

    Berikut fakta-faktanya:

    1. Istana Tak Masalah

    Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, (29/10/2024). (Tribunnews.com/Taufik Ismail)

    Istana melalui Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyatakan bahwa tidak ada masalah terkait usulan Kementerian Sosial yang memasukkan Presiden kedua RI, Soeharto, sebagai calon Pahlawan Nasional.

    Ia menilai bahwa para mantan presiden layak mendapatkan penghormatan dari negara atas jasa-jasa yang telah mereka berikan.

    “Usulan dari Kementerian Sosial terhadap Presiden Soeharto, saya kira kalau kami merasa bahwa apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya untuk kita mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita,” ujar Prasetyo di Wisma Negara, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/4/2025).

    Lebih lanjut, Prasetyo mengimbau agar masyarakat tidak selalu fokus pada kekurangan seseorang, melainkan melihat kontribusi dan pencapaian yang telah diberikan kepada bangsa.

    Ia menegaskan bahwa penghormatan kepada para pemimpin terdahulu penting untuk dijaga, sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pentingnya menghargai jasa para pendahulu.

    “Mulai dari Bung Karno dengan segala dinamika dan permasalahan yang dihadapi masing-masing, kemudian Pak Harto, Pak Habibie, dan seterusnya. Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY, Pak Jokowi, semua punya jasa. Tidak mudah menjadi presiden dengan jumlah penduduk yang demikian besar,” lanjutnya.

    Terkait kritik terhadap Soeharto atas berbagai hal yang terjadi di masa lalu, Prasetyo berpandangan bahwa hal tersebut sangat bergantung pada perspektif masing-masing.

    Ia menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kekurangan.

    “Tapi sekali lagi yang tadi saya sampaikan, semangatnya pun Bapak Presiden bukan di situ. Semangatnya kita itu adalah kita itu harus terus menghargai, menghargai, memberikan penghormatan apalagi kepada para Presiden kita,” tambahnya.

    Meski demikian, ia menegaskan bahwa hingga kini belum ada pembahasan secara khusus mengenai usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

    “Jadi menurut saya tidak ada masalah. Tapi kita belum membahas itu secara khusus,” ucap Prasetyo.

    2. Amnesti Sebut Pelanggaran Ham Berat

    USMAN HAMID – Direktur Eksekuif Amnesty Internasional Usman Hamid bersama sejumlah unsur dari masyarakat sipil setelah beraudiensi dengan Komisi I DPR membahas RUU TNI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/3/2025) (Tribunnews.com/Reza Deni)

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritik pernyataan Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, yang tidak mempermasalahkan usulan menjadikan Presiden ke-2 RI, Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    Usman memandang pernyataan Prasetyo Hadi tidak sensitif terhadap perasaan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

    “Pernyataan Mensesneg Prasetyo Hadi ahistoris dan tidak sensitif terhadap perasaan korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi selama Orde Baru,” kata Usman saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (22/4/2025).

    Menurut dia usulan menjadikan Soeharto menjadi pahlawan nasional juga mencederai amanat reformasi yang memandatkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama 32 tahun Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi.

    Keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu, menurutnya, hingga hari ini masih mendambakan keadilan yang tak kunjung datang.

    Oleh karena itu, kata Usman, usulan tersebut harus ditolak jika negara masih memiliki komitmen terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu.

    “Apa yang salah? Yang salah adalah peranan Soeharto dalam kekerasan negara yang bersifat sistematis terhadap rakyatnya, pembredelan media massa, pelanggaran berat HAM, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur,” lanjut Usman.

    “Tanpa mempertimbangkan semua masalah tersebut, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanyalah upaya menghapus dosa-dosa Soeharto dan memutarbalikkan sejarah,” sambung dia.

    Ketimbang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan, menurut Usman, pemerintah seharusnya fokus menunaikan komitmen untuk mengusut berbagai pelanggaran berat HAM selama era Soeharto yang telah diakui negara lewat berbagai TAP MPR pada awal reformasi hingga pernyataan Presiden pada Januari 2023. 

    Pelanggaran berat HAM tersebut, kata Usman, di antaranya Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, dan Penyerangan kantor PDI 27 Juli 1996.

    Selain itu juga, lanjut dia, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999, kejahatan kemanusiaan di Aceh, Timor Timur, Papua.

    “Dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum diusut tuntas oleh negara,” paparnya.

    3. Alasan KontraS

    Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dengan tegas menolak usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

    Dalam penolakan tersebut, KontraS menyebutkan dua alasan utama yang berkaitan dengan pemerintahan Orba atau Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

    Pengingkaran terhadap Sejarah dan Kejahatan Masa Orde Baru

    Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina, menegaskan bahwa usulan pemberian gelar tersebut merupakan bentuk upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Soeharto selama masa pemerintahannya.

    Menurut Jane, Soeharto telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM), penyalahgunaan wewenang, dan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak pernah diadili hingga kini.

    “Kami menilai usulan ini adalah langkah mundur yang berisiko menghapuskan kejahatan yang telah dilakukan oleh Soeharto,” kata Jane saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (19/3/2025).

    Rekam Jejak Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan

    Selain itu, KontraS juga menyoroti rekam jejak Soeharto yang terkait dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

    Berdasarkan data dari Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UNODC) serta Bank Dunia pada 2007, Soeharto tercatat sebagai pemimpin yang paling korup di dunia pada abad ke-20, dengan jumlah aset yang dikorupsi mencapai sekitar USD 15 hingga 35 miliar.

    KontraS menyatakan bahwa Soeharto tidak memiliki integritas moral yang cukup untuk mendapatkan penghargaan seperti gelar Pahlawan Nasional.

    “Pengingkaran terhadap kemanusiaan dan demokrasi yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa ini, bukan alasan untuk memberikan gelar pahlawan kepada sosok yang telah menodai sejarah bangsa,” tambah Jane.

    Berdasarkan dua alasan utama tersebut, KontraS dengan tegas menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

    Mereka mendesak agar Menteri Sosial dan Dewan Gelar Pahlawan, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tidak mengusulkan nama Soeharto dalam daftar calon Pahlawan Nasional yang akan dikukuhkan pada tahun 2025.

    “Akhir kata, Soeharto tidak memiliki keteladanan dan integritas moral sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk diberikan gelar Pahlawan Nasional,” papar Jane.

    10 Nama Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

    KEMISKINAN EKSTREM – Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul di Gedung Aneka Bhakti Kemensos, Jakarta, Jumat (31/1/2025). Gus Ipul mengungkapkan Pemerintah masih menghitung besaran bantuan khusus untuk masyarakat miskin ekstrem. (Fahdi Fahlevi-Tribunnews.com) (Tribunnews.com/Fahdi Fahlevi)

    Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) membahas pengusulan calon Pahlawan Nasional tahun 2025.

    Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengatakan semangat kerukunan dan kebersamaan menjadi dasar penentuan gelar kali ini.

    “Nah, semangatnya Presiden sekarang ini kan semangat kerukunan, semangat kebersamaan, semangat merangkul, semangat persatuan. Mikul duwur mendem jero,” kata Gus Ipul melalui keterangan tertulis, Rabu (19/3/2025).

     Anggota TP2GP terdiri dari Staf Ahli, akademisi, budayawan, perwakilan BRIN, TNI, serta Perpustakaan Nasional.

    Selain lintas unsur sosial, mekanisme pengusulan Pahlawan Nasional juga harus melalui tahapan berjenjang dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat. 

    Gus Ipul memastikan proses pengusulan Pahlawan Nasional 2025 dipastikan berjalan transparan dan efektif.

    Kemensos dan TP2GP memastikan bahwa tokoh-tokoh yang diajukan memiliki kontribusi besar bagi bangsa, selaras dengan semangat persatuan dan kebersamaan yang dimiliki bangsa Indonesia.

    “Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kami. Jadi memang prosesnya dari bawah,” kata Gus Ipul.

    Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih mengungkapkan sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025.

    Dari jumlah tersebut, empat nama merupakan usulan baru, sementara enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya.

    “Untuk tahun 2025 sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira Riyati.

    Beberapa tokoh yang kembali diusulkan, antara lain:

    K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur)
    Jenderal Soeharto (Jawa Tengah)
    K.H. Bisri Sansuri (Jawa Timur)
    Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah)
    Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh)
    K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat)

    Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini, yaitu:

    Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali)
    Deman Tende (Sulawesi Barat)
    Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara)
    K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur)

    Nama-nama yang telah disepakati Dewan Gelar pada 2024 akan kembali diusulkan pada 2025.

    Hal ini dilakukan karena hingga saat ini belum ada keputusan dari Presiden terkait usulan tersebut.

    “Karena belum ada catatan apapun dari Presiden tentang usulan yang sudah dibuat oleh Menteri Sosial sebelumnya. Pastinya saya akan memberikan laporan agar pengangkatan gelar tahun ini bisa disertakan dengan tahun sebelumnya, tahun 2024. Jadi ada dua (usulan) bila Presiden berkenan,” kata Gus Ipul.

    Nama-nama yang telah disepakati Dewan Gelar pada 2024, antara lain Andi Makasau, Letjen Bambang Sugeng, Rahma El Yunusiah, Frans Seda, Letkol Muhammad Sroedji, AM Sangaji, Marsekal Rd. Soerjadi Soerjadarma, serta Sultan Muhammad Salahuddin. 

    Pengusulan calon pahlawan ini dibatasi sampai 11 April 2025.

    Setelah tahap verifikasi, dan sidang pleno TP2GP akan menyampaikan rekomendasi usulan calon Pahlawan Nasional dari Menteri Sosial kepada Presiden.

    Selanjutnya Presiden memilih daftar nama yang diajukan untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

    (Tribunnews.com/ Taufik Ismail, Gita Irawan, Fahdi Fahlevi)