Topik: Pelanggaran HAM

  • Kisah Natalius Pigai Menolak Pelanggar HAM Jadi Pahlawan Nasional

    Kisah Natalius Pigai Menolak Pelanggar HAM Jadi Pahlawan Nasional

    JAKARTA – Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo sempat heboh. Jenderal penumpas simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965-1966 dianggap belum layak jadi pahlawan nasional.

    Protes itu disampaikan oleh Natalius Pigai. Komisioner Komnas HAM era 2012-2017 menolak pelanggar HAM jadi pahlawan nasional. Ia menganggap tak etis memberikan penghargaan kepada Sarwo yang punya dosa masa lalu.

    Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo dikenal sebagai duet yang mematikan eksistensi Partai Komunis Indonesia (PKI). Keduanya bergerak menumpas pemberontakan Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tragedi pemberontakan berdarah itu segera dibereskan secara terukur.

    Soeharto kala itu sebagai Pangkostrad. Sarwo Edhie sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) – kini Kopassus. Soeharto yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat Indonesia mencoba mengamankan negara dari jeratan PKI.

    Narasi itu membuatnya bergerak menyingkirkan simpatisan PKI di seantero negeri – utamanya di Pulau Jawa-Bali. Sarwo Edhie pun kebagian peran. Ia mencoba memimpin operasi penumpasan simpatisan PKI. Sarwo Edhie pun memandang operasi itu memakan korban jiwa hingga tiga juta orang dari 1965-1966.

    Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (tengah) mendampingi Pangkostrad Mayjen Soeharto (kiri). (Istimewa/Dok. Pribadi) 

    Upaya itu dianggap Sarwo Edhie sebagai ajian menyelamatkan negara. Namun, tak sedikit yang melihat penumpasan itu sebagai pelanggaran HAM berat. Banyak yang mengungkap bahwa tak semua simpatisan PKI terlibat dalam G30S. Belum lagi banyak pula mereka yang dituduh PKI dan ditumpas.

    Mereka harus tanggung akibat. Apalagi, sampai nyawa melayang. Keluarga mereka pun tak bisa hidup tenang di masyarakat. Sarwo Edhie sendiri memang sudah meninggal dunia pada 1989. Soeharto juga sudah meninggal dunia pada 2008.

    Namun, Sarwo Edhie yang notabene dianggap punya dosa masa lalu malah diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional sedari 2013. Proyek itu dikenang bak aji mumpung. Semuanya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi Presiden Indonesia era 2004-2014 adalah menantu Sarwo Edhie.

    “(Secara peraturan) gelar diusulkan oleh pemerintah daerah tapi masih menunggu (tindak lanjut), karena masih banyak yang harus ditanyakan ke pemerintah pusat mengenai usulan itu. Soal pencalonan tersebut, saya akan tanyakan ke Bupati.”

    “Semuanya karena yang mengusulkan adalah Bupati dan masyarakat Purworejo. Gelar diusulkan memang oleh Pemerintah Daerah tapi saya masih menunggu, dan akan berkomunikasi dengan Bupati mengenai pertimbangannya,” ucap adik ipar SBY, Pramono Edhie sebagaimana dikutip laman ANTARA, 9 November 2013.

    Tolak Pelanggar HAM

    Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie banjir protes. Mereka yang mengecam dan mengkritik bejibun. Mereka meminta pula kepada Presiden SBY tak menjadikan Sarwo sebagai pahlawan karena nantinya berpotensi memunculkan konflik kepentingan.

    Reaksi paling keras muncul dari Natalius Pigai. Komisioner itu jadi orang yang paling berisik menolak rencana Sarwo Edhie jadi pahlawan. Pigai menegaskan andil Sarwo dalam operasi penumpasan PKI seraya noda hitam sejarah.

    Wacana itu dianggapnya dapat menyakiti perasaan keluarga, anak, hingga cucu korban. Alih-alih mendukung wacana pahlawan ke Sarwo Edhie, Pigai justru meminta pemerintah segera menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat 1965-1966.

    Pemerintah diminta untuk adili pelaku dan meminta maaf kepada keluarga korban. Kondisi itu membuat pemerintah tak lagi punya utang kepada keluarga korban. Pandangan Pigai didukung oleh banyak pihak. Kondisi itu membuat orang yang meneken petisi penolakan Sarwo Edhie jadi pahlawan nasional bejibun.

    Pemerintah SBY akhirnya bergerak merespons. SBY memilih takkan mengangkat Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional di era kepemimpinannya. Namun, jika pemimpin Indonesia ke depan ingin mengangkat, SBY tak masalah.

    Pigai pun terhitung paling berisik kala Sarwo Edhie yang dianggapnya pelanggar HAM jadi pahlawan nasional. Namun, sebaliknya, Pigai yang kemudian jadi Menteri HAM sedari 2024 tak banyak bicara kala Soeharto diangkat jadi pahlawan nasional pada 10 November 2025.

    “Terkait dengan pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie, kami berpandangan bahwa sangat tidak etis gelar tersebut diberikan kepada seseorang yang diduga ikut berperan atas peristiwa 1965 karena akan menyakiti perasaan keluarga, anak, cucu korban peristiwa itu. Komnas HAM telah berupaya agar hasil penyelidikan kami ditindaklanjuti oleh pemerintah namun justru Presiden sendiri belum pernah merespons secara positif.”

    “Bagaimanapun Jendral Sarwo Edhie memegang posisi yang penting pada saat itu, karenanya nama beliau tetap dianggap masyarakat sebagai salah satu orang yang ikut terlibat di dalam Peristiwa 1965-1966, yang menjadi noda hitam bangsa Indonesia. Oleh karena itu saya menolak tegas jika gelar pahlawan nasional diberikan kepada Sarwo Edhie Wibowo sebelum dilalukan dengan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar Pigai sebagaimana dikutip laman Wartakota, 28 November 2013.

  • Dilaporkan ke Polisi, Ini Tanggapan Ribka Tjiptaning Terkait Gelar Pahlawan Soeharto

    Dilaporkan ke Polisi, Ini Tanggapan Ribka Tjiptaning Terkait Gelar Pahlawan Soeharto

    Jakarta (beritajatim.com) – Ketua PDI Perjuangan, Dr. Ribka Tjiptaning, menyatakan kesiapannya menghadapi pemeriksaan di Bareskrim Polri terkait laporan terhadap dirinya setelah menyebut Soeharto tidak layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.

    Ribka menegaskan bahwa pernyataannya didasarkan pada pengalaman pribadi sebagai korban dan hasil penyelidikan resmi yang pernah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

    “Selain pengalaman saya sendiri sebagai korban, saya juga akan meminta kesaksian Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM yang menyelidiki peristiwa 1965. Kita bisa dengar kesaksian bagaimana mereka menemukan korban-korban pelanggaran HAM Soeharto itu. Apa benar atau cuma fiksi?” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (15/11).

    Menurut Ribka, temuan utama Tim Ad Hoc Komnas HAM menunjukkan adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara luas dan sistematis pada masa tersebut. Pelanggaran itu meliputi pembunuhan massal, penghilangan orang secara paksa, penahanan sewenang-wenang terhadap sekitar 41 ribu orang, penyiksaan, perampasan kemerdekaan fisik, hingga kekerasan seksual.

    Ia menambahkan, data investigasi Komnas HAM mencatat sekitar 32.774 orang hilang, sementara sejumlah lokasi di berbagai daerah diidentifikasi sebagai tempat pembantaian.

    Masih merujuk laporan Komnas HAM, Ribka menegaskan bahwa pihak yang dianggap paling bertanggung jawab adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga yang berada langsung di bawah kendali Soeharto.

    “Itu bisa di-googling dan diunduh hasil laporannya. Dan itu penyelidikan pro yustisia lho. Itu sesuai perintah undang-undang, tetapi sampai sekarang belum ditindaklanjuti oleh negara. Silakan cari, ada itu ‘ringkasan eksekutif tim ad hoc peristiwa 65’.” tegasnya.

    Ribka juga menyampaikan bahwa anggota Tim Ad Hoc Komnas HAM yang menyusun laporan tersebut masih hidup dan dapat dimintai keterangan apabila proses hukum memerlukan. “Ketua timnya adalah Nur Kholis, wakilnya Kabul Supriadi, dan ada juga Johny Nelson Simanjuntak serta Yosep Adi Prasetyo,” paparnya.

    Ia menilai, kesaksian tidak hanya bisa datang dari tim penyelidik Komnas HAM, namun juga dari korban penculikan era Orde Baru yang hingga kini masih hidup—termasuk yang kini berada dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto.

    “Ini kesempatan bangsa ini kembali membuka sejarah kelam yang sedang berusaha ditutup oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon,” pungkasnya. (ted)

  • Silakan Adu Data & Fakta

    Silakan Adu Data & Fakta

    GELORA.CO  – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Ribka Tjiptaning, menyatakan siap menghadapi laporan polisi yang dilayangkan Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) terkait ucapannya yang menyebut Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai “pembunuh jutaan rakyat”. 

    Ucapan itu disampaikan Ribka di tengah menguatnya usulan untuk menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    Ribka, yang akrab disapa Mbak Ning, menjelaskan bahwa dalam negara demokrasi, semua orang bebas berpendapat. 

    Perbedaan pandangan, menurut dia, tidak semestinya merusak prinsip-prinsip demokrasi yang telah disepakati bersama.

    Ribka juga mengingatkan bahwa Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, secara resmi telah mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di berbagai daerah.

     

    “Presiden Jokowi atas nama negara secara resmi telah mengakui dan menyesali atas 12 pelanggaran HAM berat dari Aceh sampai Papua,” kata Ribka dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).

    Ia menuturkan, perbedaan pandangan merupakan hal wajar. Bahkan, menurut dia, pandangan Jokowi mengenai pelanggaran HAM bisa berbeda dengan Presiden Prabowo Subianto yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    “Pendapat Anda boleh berbeda dengan saya. Pandangan Presiden Jokowi tentang pelanggaran HAM berat saja bisa berbeda dengan Presiden Prabowo yang mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional,” ucap Mbak Ning.

    Oleh karena itu, Ribka Tjiptaning mengajak publik untuk berdiskusi secara sehat dan berbasis fakta.

    “Silakan adu data dan fakta, agar bangsa ini cerdas,” tegasnya. 

    Diketahui, pelaporan itu dilayangkan oleh ARAH ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada Rabu (12/11/2025).

    ARAH adalah sebuah kelompok masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai “aliansi rakyat” yang menolak penyebaran informasi palsu atau menyesatkan (hoaks) di ruang publik. 

    “Kami datang ke sini membuat laporan polisi terkait pernyataan salah satu politisi dari PDIP yaitu Ribka Tjiptaning yang menyatakan bahwa Pak Soeharto adalah pembunuh jutaan rakyat,” kata Koordinator ARAH, Iqbal, saat wawancara di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta.

    Pelapor membawa sejumlah bukti dari media atas pernyataan terlapor yang dinilai menyesatkan.

    Tak cuma itu, Iqbal menilai pernyataan Ribka mengandung ujaran kebencian serta penyebaran berita bohong. 

    Menurut Iqbal, pernyataan itu tidak berdasar sebab tidak terdapat putusan pengadilan yang menyatakan Soeharto melakukan pembunuhan terhadap jutaan rakyat.

    “Apakah ada putusan hukum atau putusan pengadilan yang menetapkan bahwa almarhum Presiden Soeharto melakukan pembunuhan terhadap jutaan masyarakat?” jelasnya. 

    Pihak pelapor melaporkan kasus ini ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

    Adapun laporan ini tidak mengatasnamakan nama keluarga Cendana, namun inisiatif pelapor untuk menjaga ruang publik dari penyebaran informasi tidak benar.

  • Politisi PDIP, Ribka Tjiptaning Dilaporkan ke Bareskrim, Ini Awal Mulanya

    Politisi PDIP, Ribka Tjiptaning Dilaporkan ke Bareskrim, Ini Awal Mulanya

    Jakarta: Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) melaporkan politikus PDIP, Ribka Tjiptaning ke Bareskrim Polri, Rabu, 12 November 2025. Laporan itu berkaitan dengan pernyataan Ribka yang menyebut Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai “pembunuh jutaan rakyat” dalam polemik pengusulan almarhum Soeharto menjadi pahlawan nasional.

    Koordinator ARAH, Muhammad Iqbal, menjelaskan bahwa laporan itu dibuat karena pernyataan Ribka dinilai menyesatkan dan berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

    “Pernyataan itu lebih menjurus pada ujaran kebencian dan berita bohong, karena sampai hari ini tidak ditemukan putusan terkait yang menyatakan almarhum Soeharto membunuh jutaan rakyat,” ujar Iqbal di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu.

    Iqbal menyebut, pelaporan tersebut didasari video pernyataan Ribka yang beredar di berbagai platform media, termasuk TikTok dan pemberitaan sejumlah media nasional pada 28 Oktober 2025.

    Ia menegaskan, langkah ARAH tidak mewakili keluarga Cendana, melainkan atas nama masyarakat yang peduli terhadap kebenaran informasi publik. “Tidak (bukan keluarga Soeharto). Kami dari Aliansi Rakyat Anti-Hoaks,” tegas Iqbal.
     

    ARAH melaporkan Ribka dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 UU ITE tentang penyebaran informasi bohong yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan di masyarakat.
     
    Ucapan Ribka tentang Soeharto

    Sebelumnya, Ketua DPP PDIP, Ribka Tjiptaning menyampaikan penolakannya atas pengusulan nama Presiden ke-2 RI, Soeharto sebagai pahlawan nasional. 

    “Kalau pribadi (Soeharto dapat gelar pahlawan), oh saya menolak keras. Iya kan? Apa sih hebatnya si Soeharto itu sebagai pahlawan. Hanya membunuh jutaan rakyat Indonesia,” katanya. 

    Ia juga menyinggung soal dugaan pelanggaran HAM di era Soeharto.”Udahlah pelanggar HAM. Belum ada pelurusan sejarah, udahlah enggak pantas jadi pahlawan nasional,” ujar Ribka. 

    Jakarta: Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) melaporkan politikus PDIP, Ribka Tjiptaning ke Bareskrim Polri, Rabu, 12 November 2025. Laporan itu berkaitan dengan pernyataan Ribka yang menyebut Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai “pembunuh jutaan rakyat” dalam polemik pengusulan almarhum Soeharto menjadi pahlawan nasional.
     
    Koordinator ARAH, Muhammad Iqbal, menjelaskan bahwa laporan itu dibuat karena pernyataan Ribka dinilai menyesatkan dan berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
     
    “Pernyataan itu lebih menjurus pada ujaran kebencian dan berita bohong, karena sampai hari ini tidak ditemukan putusan terkait yang menyatakan almarhum Soeharto membunuh jutaan rakyat,” ujar Iqbal di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu.

    Iqbal menyebut, pelaporan tersebut didasari video pernyataan Ribka yang beredar di berbagai platform media, termasuk TikTok dan pemberitaan sejumlah media nasional pada 28 Oktober 2025.
     
    Ia menegaskan, langkah ARAH tidak mewakili keluarga Cendana, melainkan atas nama masyarakat yang peduli terhadap kebenaran informasi publik. “Tidak (bukan keluarga Soeharto). Kami dari Aliansi Rakyat Anti-Hoaks,” tegas Iqbal.
     

     
    ARAH melaporkan Ribka dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 UU ITE tentang penyebaran informasi bohong yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan di masyarakat.
     

    Ucapan Ribka tentang Soeharto

    Sebelumnya, Ketua DPP PDIP, Ribka Tjiptaning menyampaikan penolakannya atas pengusulan nama Presiden ke-2 RI, Soeharto sebagai pahlawan nasional. 
     
    “Kalau pribadi (Soeharto dapat gelar pahlawan), oh saya menolak keras. Iya kan? Apa sih hebatnya si Soeharto itu sebagai pahlawan. Hanya membunuh jutaan rakyat Indonesia,” katanya. 
     
    Ia juga menyinggung soal dugaan pelanggaran HAM di era Soeharto.”Udahlah pelanggar HAM. Belum ada pelurusan sejarah, udahlah enggak pantas jadi pahlawan nasional,” ujar Ribka. 
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (PRI)

  • Reformasi Polri Dinilai Percuma Jika Roy Suryo Cs Ditahan

    Reformasi Polri Dinilai Percuma Jika Roy Suryo Cs Ditahan

    GELORA.CO – Pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian akan sia-sia jika polisi tetap menetapkan Roy Suryo dan tujuh orang lainnya sebagai tersangka serta menahan mereka  atas tuduhan ijazah palsu mantan presiden RI Joko Widodo alias Jokowi.

    Hal itu disampaikan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi, merespons langkah Polda Metro Jaya atas laporan yang dilayangkanmantan presiden Joko Widodo (Jokowi).

    “Reformasi Kepolisian percuma saja dibentuk kalau polisi dengan semena-mena menetapkan tersangka terhadap Roy Suryo Cs dan menahan mereka,” kata Muslim kepada RMOL, Kamis, 13 November 2025.

    Muslim menekankan, di dalam tim Komisi Reformasi Kepolisian terdapat tokoh seperti Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD, yang pernah menegaskan bahwa keaslian ijazah Jokowi harus ditentukan oleh pengadilan, bukan polisi. Pernyataan ini sempat viral di media sosial.

    Ia pun mempertanyakan sikap Presiden Prabowo Subianto yang hingga kini belum memberi komentar, meskipun isu ijazah palsu Jokowi ramai dibahas masyarakat dan para ahli.

    Muslim menjelaskan bahwa ijazah asli Jokowi tidak pernah muncul di publik maupun di pengadilan. 

    “Polisi menetapkan tersangka kepada Roy Suryo Cs dengan tuduhan manipulasi dan mengedit ijazah Joko Widodo. Publik tahu, ijazah asli Jokowi tidak pernah muncul di publik maupun di pengadilan. Bahkan putusan Pengadilan Negeri Solo hanya foto copy ijazah yang dilegalisir saja yang muncul. Bahkan saat gelar perkara khusus di Bareskrim pun ijazah asli Jokowi tidak muncul,” jelas Muslim.

    Menurutnya, pemaksaan penetapan tersangka dan penahanan terhadap Roy Suryo Cs merupakan pelanggaran HAM, perusakan sistem hukum, dan pengkhianatan terhadap sistem pendidikan nasional.

    “Jika polisi tetap bertindak demikian, maka pembentukan Tim Reformasi Polri hanya formalitas belaka. Lebih baik tim itu dibubarkan saja, dan biarkan polisi bertindak sesuka hati mereka,” pungkas Muslim. 

  • 10
                    
                        Ribka Tjiptaning Dilaporkan akibat Pernyataan soal Soeharto, Politikus PDI-P Membela
                        Nasional

    10 Ribka Tjiptaning Dilaporkan akibat Pernyataan soal Soeharto, Politikus PDI-P Membela Nasional

    Ribka Tjiptaning Dilaporkan akibat Pernyataan soal Soeharto, Politikus PDI-P Membela
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Politikus PDI Perjuangan Guntur Romli mengaku heran dengan pelaporan terhadap rekan separtainya, Ribka Tjiptaning, ke Bareskrim Polri oleh Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH).
    Guntur menyebutkan, pernyataan Ribka soal korban pembantaian 1965-1966 merupakan fakta sejarah yang telah tercatat dalam berbagai laporan resmi sehingga tak semestinya dilaporkan ke polisi.
    “Itu fakta sejarah dan hasil Tim Pencari Fakta Komnas HAM kok malah dilaporkan ke polisi,” kata Guntur kepada
    Kompas.com
    , Rabu (12/11/2025).
    Menurut Guntur, data tentang jumlah korban tragedi 1965-1966 juga pernah diungkapkan oleh Sarwo Edhi Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada masa itu, yang baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional.
    “Korban pembantaian tahun ’65-’66 ada 3 juta versi Sarwo Edhi Wibowo yang waktu itu menjadi Komandan Pasukan RPKAD. Itu ada di buku G30S: Fakta atau Rekayasa yang ditulis Julius Pour,” ujar dia.
    Guntur bilang, laporan Tim Pencari Fakta Komnas HAM tahun 2012 juga memperkirakan jumlah korban pembantaian 1965-1966 berkisar antara 500 ribu hingga 3 juta orang.
    Berdasarkan laporan tersebut, pihak yang disebut paling bertanggung jawab adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga yang berada langsung di bawah komando Presiden Soeharto saat itu.
    “Kopkamtib dibentuk pada 10 Oktober 1965 untuk melakukan pembasmian terhadap unsur yang dicap PKI atau komunis di masyarakat,” kata Guntur.
    Ia menegaskan, penyelidikan Komnas HAM tersebut merupakan penyelidikan pro justicia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang kemudian direkomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
    Oleh karena itu, lanjut Guntur, PDI-P memandang pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai bentuk pemutihan terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu.
    Ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut telah diakui sebagai pelanggaran HAM berat oleh pemerintah pada era Presiden Joko Widodo tahun 2023.
    “Gelar pahlawan pada Soeharto kami anggap sebagai pemutihan terhadap pembantaian rakyat Indonesia tahun ’65-’66 yang jumlahnya diperkirakan 500 ribu sampai 3 juta orang versi Komnas HAM,” kata Guntur.
    “Belum lagi pelanggaran HAM berat lainnya seperti Tragedi Tanjung Priok, Talangsari, Petrus, DOM di Aceh, penculikan aktivis, dan Kerusuhan Mei 1998,” imbuh dia.
    Diberitakan sebelumnya, politikus PDI-P
    Ribka Tjiptaning
    dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH).
    Laporan itu terkait pernyataan Ribka yang menyebut Presiden ke-2 RI, Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat” dalam polemik pengusulan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
    “Kami datang ke sini untuk membuat laporan polisi terkait pernyataan salah satu politisi dari PDI-P, yaitu Ribka Tjiptaning, yang menyatakan bahwa Pak Soeharto adalah pembunuh terkait polemik pengangkatan almarhum Soeharto sebagai pahlawan nasional,” kata Koordinator ARAH, Iqbal, saat ditemui di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, Rabu (12/11/2025).
    “Ribka Tjiptaning menyatakan bahwa Soeharto itu adalah pembunuh jutaan rakyat,” kata Iqbal.
    Iqbal mengatakan, laporan tersebut dibuat karena pihaknya menilai pernyataan Ribka bersifat menyesatkan dan mengandung unsur ujaran kebencian serta penyebaran berita bohong.
    Menurut Iqbal, pernyataan itu tidak berdasar karena tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan Soeharto terbukti melakukan pembunuhan terhadap jutaan rakyat.
    “Tentu ini juga pernyataan seperti ini, kalau dibiarkan tentu akan menyesatkan informasi publik,” kata dia.
    Iqbal menyebut video pernyataan Ribka yang beredar di media sosial menjadi barang bukti utama dalam laporannya.
    Kata dia, pernyataan itu disampaikan Ribka pada 28 Oktober 2025 , tetapi dia tak menjabarkan detail di mana lokasi Ribka mengatakan hal itu.
    ARAH melaporkan kasus ini ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
    Iqbal menegaskan laporan ini bukan atas nama keluarga Cendana, melainkan murni inisiatif ARAH untuk menjaga ruang publik dari penyebaran informasi yang dianggap menyesatkan. “Bukan, kami dari Aliansi Rakyat Anti Hoax (ARAH),” ucapnya.
    Diberitakan sebelumnya, Ketua DPP PDI-P Ribka Tjiptaning menolak keras pengusulan nama Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional. Ribka mempertanyakan apa kehebatan Soeharto sehingga bisa diusulkan sebagai salah satu pahlawan nasional.
    “(Gelar pahlawan Soeharto) Kalau pribadi, oh saya menolak keras. Iya kan? Apa sih hebatnya si Soeharto itu sebagai pahlawan,” ujar dia saat ditemui di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
    “Hanya bisa membunuh jutaan rakyat Indonesia,” kata Ribka.
    Ribka lalu menyinggung soal dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto. Ia menilai, kasus dugaan pelanggaran HAM harus diluruskan lebih dulu sampai semuanya jelas.
    “Udah lah pelanggar HAM. Belum ada pelurusan sejarah, udah lah enggak ada pantasnya dijadikan pahlawan nasional,” ucap Ribka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        Ribka Tjiptaning Dilaporkan akibat Pernyataan soal Soeharto, Politikus PDI-P Membela
                        Nasional

    1 Ribka Tjiptaning Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Pernyataan soal Soeharto Nasional

    Ribka Tjiptaning Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Pernyataan soal Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Aliansi Rakyat Anti-Hoaks (ARAH) melaporkan politisi PDI-P Ribka Tjiptaning ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
    Laporan itu terkait pernyataan Ribka yang menyebut almarhum Presiden ke-2 RI,
    Soeharto
    sebagai “pembunuh jutaan rakyat” dalam polemik pengusulan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
    “Kami datang ke sini untuk membuat laporan polisi terkait pernyataan salah satu politisi dari PDI-P, yaitu
    Ribka Tjiptaning
    , yang menyatakan bahwa Pak Soeharto adalah pembunuh terkait polemik pengangkatan almarhum Soeharto sebagai pahlawan nasional,” kata Koordinator
    ARAH
    , Iqbal, saat ditemui di
    Bareskrim
    , Mabes Polri, Jakarta, Rabu (12/11/2025).
    “Ribka Tjiptaning menyatakan bahwa Soeharto itu adalah pembunuh jutaan rakyat,” lanjutnya.
    Iqbal mengatakan laporan tersebut dibuat karena pihaknya menilai pernyataan Ribka bersifat menyesatkan dan mengandung unsur ujaran kebencian serta penyebaran berita bohong.
    Menurut Iqbal, pernyataan itu tidak berdasar karena tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan Soeharto terbukti melakukan pembunuhan terhadap jutaan rakyat.
    “Kalau betul almarhum Soeharto adalah pembunuh jutaan rakyat, pertanyaannya di mana dia membunuh, kan? Apakah ada putusan hukum atau putusan pengadilan yang menetapkan bahwa almarhum Presiden Soeharto melakukan pembunuhan terhadap jutaan masyarakat?” jelasnya.
    “Tentu ini juga pernyataan seperti ini, kalau dibiarkan tentu akan menyesatkan informasi publik,” katanya.
    Iqbal menyebut video pernyataan Ribka yang beredar di media sosial menjadi barang bukti utama dalam laporannya.
    Kata dia, pernyataan itu disampaikan Ribka pada 28 Oktober 2025. Namun dia tak menjabarkan detail di mana lokasi Ribka mengatakan hal itu.
    ARAH melaporkan kasus ini ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan dugaan pelanggaran Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
    Iqbal menegaskan laporan ini bukan atas nama keluarga Cendana, melainkan murni inisiatif ARAH untuk menjaga ruang publik dari penyebaran informasi yang dianggap menyesatkan.
    “Bukan, kami dari Aliansi Rakyat Anti Hoax (ARAH),” ucapnya.
    Kompas.com
    telah menghubungi Ribka Tjiptaning untuk mendapatkan klarifikasinya atas materi pelaporan ini.
    Namun hingga berita ini diunggah Ribka hanya menyampaikan terima kasih atas informasi soal adanya pelaporan ini.
    “Thanks infonya,” tulis Ribka via pesan singkat.
    Diberitakan sebelumnya, Ketua DPP PDI-P Ribka Tjiptaning menolak keras pengusulan nama Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional.
    Ribka mempertanyakan apa kehebatan Soeharto sehingga bisa diusulkan sebagai salah satu pahlawan nasional.
    “(Gelar pahlawan Soeharto) Kalau pribadi, oh saya menolak keras. Iya kan? Apa sih hebatnya si Soeharto itu sebagai pahlawan,” ujar dia saat ditemui di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
    “Hanya bisa membunuh jutaan rakyat Indonesia,” kata Ribka.
    Ribka lalu menyinggung soal dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto. Ia menilai, kasus dugaan pelanggaran HAM harus diluruskan lebih dulu sampai semuanya jelas.
    “Udah lah pelanggar HAM. Belum ada pelurusan sejarah, udah lah enggak ada pantasnya dijadikan pahlawan nasional,” ucap Ribka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan

    Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan

    Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    KETIKA
    rakyat berjuang menegakkan keadilan, sebagian pejabat menjadikannya komoditas. Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi hukum, korupsi terus berulang, seperti upacara tahunan.
    Penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sejatinya hanyalah cermin dari wajah kekuasaan yang lama: jabatan diperjualbelikan, tanggung jawab publik digadaikan.
    Dalam lanskap politik yang penuh retorika moral, terbentuk sebuah tatanan baru—Republik Tikus Berdasi.
    Tikus berdasi bukan sosok pencuri kelas bawah. Mereka berjas, berpidato tentang integritas, menandatangani pakta antikorupsi, bahkan mengutip ayat moralitas di depan publik.
    Namun, di balik dasi dan pidato, berlangsung perampokan uang rakyat secara sistematis. Lubang gelap tidak lagi berada di gudang beras, tetapi di proyek infrastruktur, anggaran daerah, dan mutasi jabatan.
    Ketika kekuasaan berubah menjadi sarana perampasan,
    korupsi
    menjelma pelanggaran terhadap
    hak asasi
    manusia.
    Korupsi sejatinya bukan sekadar penggelapan keuangan negara. Tindakan tersebut merampas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak.
    Setiap rupiah yang disedot dari kas publik berarti hilangnya kesempatan anak untuk belajar, pasien untuk sembuh, dan warga miskin untuk hidup bermartabat.
    Korupsi menjadi bentuk kekerasan struktural yang tidak menumpahkan darah, tetapi mematikan harapan dan martabat manusia secara perlahan.
    Fenomena korupsi di republik ini telah melampaui batas penyimpangan moral. Praktik tersebut telah bertransformasi menjadi budaya kekuasaan: dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga birokrasi kecil. Pergantian pejabat hanya mengganti wajah, bukan sistem.
    Ketika hukum kehilangan wibawa dan pengawasan menjadi seremonial, republik ini hanya menukar pelaku, bukan menghentikan kejahatan.
    Dalam tatanan semacam itu, tikus berdasi bukan lagi pengecualian, melainkan representasi paling jujur dari kekuasaan yang gagal menjaga amanat rakyat.
    Korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga merusak sendi-sendi kemanusiaan. Tindakan tersebut meniadakan kemampuan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia.
    Dalam perspektif hukum internasional, korupsi digolongkan sebagai salah satu penghalang utama bagi penikmatan hak-hak dasar warga negara, sebagaimana ditegaskan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
    Bahkan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit mengaitkan praktik korupsi dengan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
    Kasus operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah di wilayah Sumatra menunjukkan bahwa kekuasaan publik telah berubah menjadi instrumen rente.
    Jabatan yang seharusnya menjadi sarana pengabdian publik justru dimanfaatkan untuk menekan bawahan dan mengutip “jatah” dari anggaran pembangunan infrastruktur.
    Praktik tersebut mengakibatkan hak masyarakat atas pembangunan, mobilitas, dan kesejahteraan sosial dirampas oleh struktur kekuasaan yang korup.
    Korupsi semacam ini adalah bentuk kekerasan struktural yang menghambat pemenuhan hak ekonomi dan sosial warga secara langsung.
    Kasus lain di daerah Jawa Timur mengungkap pola serupa. Operasi tangkap tangan yang melibatkan kepala daerah di wilayah tersebut menyingkap praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan.
    Fenomena ini tidak hanya melanggar prinsip meritokrasi dan keadilan administratif, tetapi juga mengingkari hak warga negara atas pemerintahan yang bersih dan adil.
    Ketika jabatan diperdagangkan, sistem pelayanan publik kehilangan nilai moralnya, dan hukum kehilangan kemampuan korektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
    Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024, dari skor 34 menjadi 37, sering dijadikan penanda keberhasilan pemberantasan korupsi. Namun, di balik kenaikan itu, terdapat catatan penting yang tidak dapat diabaikan.
    Laporan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan penurunan skor pada indikator penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik lintas cabang kekuasaan, serta penyuapan dalam pengadaan dan bisnis publik.
    Sementara itu, kajian lembaga masyarakat sipil mengungkap bahwa selama tahun 2024 hingga awal 2025, tidak ada kebijakan antikorupsi yang diimplementasikan secara sistematis.
    Kenaikan skor IPK tidak dapat dibaca sebagai tanda pulihnya integritas bangsa. Skor tersebut lebih merefleksikan persepsi global yang fluktuatif ketimbang kemajuan substantif dalam penegakan hukum.
    Indikator kuantitatif tidak mampu menutupi kenyataan bahwa praktik korupsi di tingkat pemerintahan pusat dan daerah masih berulang.
    Ketika angka persepsi dijadikan ukuran keberhasilan, pemberantasan korupsi berisiko terjebak pada simbolisme statistik tanpa reformasi yang nyata.
    Dalam kerangka hak asasi manusia, korupsi memenuhi unsur pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimuat dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) yang telah diaksesi oleh Indonesia.
    Setiap penyalahgunaan anggaran publik berarti meniadakan hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
    Korupsi dalam pelayanan publik mengakibatkan keterlantaran sosial yang bersifat sistematis, di mana hak hidup layak dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
    Oleh karena itu, korupsi pantas disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan sekadar pelanggaran hukum administratif.
    Negara hukum kehilangan maknanya ketika hukum berhenti menjadi instrumen keadilan dan berubah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang korup.
    Dalam situasi seperti ini, pelanggaran terhadap hukum bukan lagi tindakan menyimpang, melainkan bagian dari mekanisme kekuasaan itu sendiri.
    Seperti dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya “mengabdi kepada manusia,” bukan kepada struktur kekuasaan yang menindas.
    Namun, ketika kepentingan politik dan ekonomi mendominasi, hukum kehilangan jiwa sosialnya, dan negara hukum berubah menjadi sekadar negara peraturan tanpa keadilan.
    Kondisi tersebut menggambarkan regresi moral yang serius dalam politik hukum pemberantasan korupsi.
    Reformasi hukum yang diharapkan mampu menegakkan akuntabilitas justru stagnan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa pada tahun 2024 tidak ada langkah strategis yang menunjukkan kemauan politik kuat dalam memperkuat sistem antikorupsi.
    Ketiadaan kemauan politik ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jeremy Pope sebagai “the politics of tolerance toward corruption”—politik yang secara diam-diam menoleransi korupsi demi stabilitas kekuasaan.
    Korupsi yang dibiarkan tanpa perbaikan sistemik menggerus legitimasi negara di mata rakyat. Seperti dikemukakan Robert Klitgaard, korupsi tumbuh subur ketika terdapat
    monopoly of power, discretion, and absence of accountability.
    Ketiga unsur tersebut masih menjadi karakter utama birokrasi dan politik Indonesia. Ketika pengawasan internal hanya bersifat administratif dan lembaga penegak hukum terjebak dalam kompromi politik, pengendalian terhadap korupsi hanya menjadi formalitas.
    Dalam keadaan semacam ini, hukum kehilangan daya korektifnya, dan aparat penegak hukum kehilangan otoritas moral di hadapan publik.
    Fenomena ini menegaskan pandangan Eko Riyadi bahwa korupsi merupakan bentuk pelanggaran HAM struktural karena melibatkan relasi kuasa yang timpang antara penguasa dan warga.
    Pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menihilkan hak atas pemerintahan yang bersih dan partisipatif.
    Ketika korupsi merasuk ke dalam sistem politik dan birokrasi, pelanggaran HAM tidak lagi bersifat insidental, melainkan sistemik.
    Dalam hal ini, pemberantasan korupsi tidak cukup berhenti pada penegakan hukum pidana, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari agenda kemanusiaan untuk memulihkan keadilan sosial.
    Negara hukum sejatinya berdiri di atas dua fondasi: legitimasi moral dan integritas kelembagaan. Tanpa keduanya, hukum hanya menjadi instrumen kekuasaan yang menindas, bukan yang membebaskan.
    Negara yang gagal menegakkan hukum terhadap korupsi sesungguhnya telah gagal menegakkan hak asasi manusia.
    Karena itu, pertarungan melawan korupsi bukan semata perang terhadap pencurian uang negara, melainkan perjuangan mempertahankan kemanusiaan dalam wajah negara yang telah lama kehilangan moralnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jaringan Gusdurian Menolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

    Jaringan Gusdurian Menolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

    Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menegaskan menolak pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto.

    Hal itu dia ungkapkan usai acara Women in Sustainable Development (SDG’s) Action Award 2025 yang diselenggarakan Bisnis Indonesia Group, Selasa (11/11/2025).

    “Jaringan Gusdurian ini posisinya menolak,” kata Putri sulung Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu.

    Menurutnya, pemberian gelar kepada Soeharto adalah bentuk tidak hormat dan tidak berperikemanusiaan bagi korban-korban saat era kepemimpinan Soeharto. Penganugerahan gelar pahlawan juga dinilai memiliki ganjalan besar karena masih banyak masalah pelanggaran HAM yang belum dituntaskan di era Soeharto.

    Dia mengatakan seharusnya pemerintah melakukan rekonsiliasi lebih dulu menuntaskan berbagai polemik di zaman presiden yang menjabat selama 32 tahun itu.

    “Artinya orang yang melakukan pelanggaran HAM karena situasi, itu ada kok ruang untuk membersihkan diri kalau memang dipandang tidak bersalah gitu. Tapi kalau itu belum selesai, bagaimana ini tanggung jawabnya kepada publik,” ujarnya.

    Meskipun TAP MPRS terkait Soeharto dicabut, baginya itu hanya pandangan bagi MPR kala itu dan tidak menyelesaikan masalah hukum yang selama ini terjadi. Seharusnya, kata Alissa, persoalan hukum lebih dulu diselesaikan sehingga penetapan gelar pahlawan kepada Soeharto dapat dipertimbangkan.

    Dia menuturkan pemberian gelar pahlawan pada dasarnya melibatkan berbagai aspek seperti memiliki integritas moral, memperjuangkan integritas moral dan kepentingan bersama, bukan untuk diri sendiri.

    “Nah kalau kriteria ini aja tidak terpenuhi atau masih menjadi dispute. Ya selesaikan dulu dispute-nya, gitu,” pungkasnya.

    Sebelumnya, dalam rangka peringatan Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa di Istana Negara, Senin (10/11/2025), salah satunya adalah Soeharto.

    Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional tertuang 10 nama yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.

    Penganugerahan ini menjadi bentuk penghormatan negara atas jasa-jasa besar para tokoh yang dinilai berjasa luar biasa bagi perjuangan, kemerdekaan, dan pembangunan Republik Indonesia.

  • Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa

    Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa

    Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa
    Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute
    PADA
    peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Indonesia menambah 10 nama baru dalam daftar Pahlawan Nasional. Sejak gelar itu dianugerahkan pertama kali pada 1959 hingga 2023, negeri sudah memiliki 206 orang pahlawan nasional.
    Menariknya, dari daftar 10 nama baru itu, terselip dua nama yang jalan hidupnya berseberangan dalam panggung sejarah: Soeharto dan
    Marsinah
    .
    Soeharto adalah pendiri sekaligus penguasa tertinggi rezim Orde Baru yang mengangkangi negeri ini selama 32 tahun. Sebaliknya, Marsinah adalah sosok rakyat jelata yang dibunuh secara keji oleh sistem Orde Baru.
    Bayangkan, dalam beberapa tahun ke depan, ketika pelajaran sejarah akan dituturkan kepada generasi baru, bagaimana menceritakan Soeharto dan Marsinah?
    Bisahkah kisah Marsinah, yang dibunuh secara keji pada awal Mei 1993, dituturkan tanpa menyebut Soeharto dan Orde Baru-nya?
    Marsinah, yang lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, lahir dari keluarga miskin. Ia kemudian diasuh oleh nenek dan bibinya. Marsinah muda merasakan pahit-getirnya terlempar dari bangku sekolah karena biaya pendidikan.
    Marsinah adalah satu contoh dari mereka yang tersisih dari derap pembangunan era Orde Baru. Lahir dari keluarga miskin, bukan keluarga PNS atau ABRI, pilihan Marsinah untuk menaiki tangga sosial sangatlah terbatas. Pilihan yang terbuka hanya menjadi buruh pabrik.
    Awalnya, ia bekerja di pabrik sepatu bata di Surabaya. Lalu, setahun berselang, ia pindah tempat bekerja: menjadi buruh PT Catur Putra Surya (PT. CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
    Namun, ketika bekerja sebagai buruh, ia diperhadapkan dengan sistem perburuhan Orde Baru: politik upah murah, hubungan industrial Pancasila, dan pelibatan militer dalam konflik industrial (Dwi-Fungsi ABRI).
    Saat itu, upah Marsinah hanya Rp 1.700 per hari. Di tahun yang sama, harga beras adalah Rp 700/kg. Artinya, 41,18 persen upah hari buruh habis hanya untuk satu kilogram beras.
    Pada 1993, upah pekerja naik sebesar 20 persen berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Seharusnya upah Marsinah dan kawan-kawannya naik menjadi Rp 2.250 per hari. Namun, perusahan tempat Marsinah bekerja tak mengindahkan beleid itu.
    Situasi itulah yang membuat Marsinah dan kawan-kawannya memakai cara yang diakui oleh hukum perburuhan negara beradab: mogok kerja.
    Namun, politik perburuhan Orde Baru menekankan stabilitas di bawah panji-panji hubungan industrial Pancasila: buruh, bersama pengusaha dan pemerintah, dianggap ”satu keluarga besar” yang seharusnya hidup harmonis.
    Dalam cara pandang itu, aksi mogok dianggap sebagai tindakan yang tidak pancasilais dan tidak indonesia (Vedi Hadiz, 1998).
    Pada masa itu, untuk menegakkan politik stabilitas, termasuk menegakkan hubungan industrial Pancasila, penguasa Orde Baru melibatkan tentara. Dan itu dimungkinkan karena ada doktrin Dwifungsi ABRI.
    Pada 1986, Menteri Tenaga Kerja Sudomo mengeluarkan Keputusan Menteri 342/1986 yang mengharuskan aparat keamanan (Kodim dan Korem) terlibat dalam penyelesaian penyelesaian industrial.
    Bahkan, petugas Depnaker perlu berkoordinasi dengan Pemda, Polres dan Kodim ketika menanggulangi ancaman tindakan fisik dalam pemogokan (Rudiono, 1992: 80).
    Tahun 1990-an, ketika aksi mogok buruh mulai berkembang karena kondisi kerja yang buruk dan politik upah murah, Bakorstanas melalui Surat Keputusan Nomor 02/Satnas/XII/1990 memberi wewenang kepada militer untuk mendeteksi, mencegah, dan menekan gejolak buruh.
    Situasi itulah yang memberi pintu pada Koramil Porong dan Kodim Sidoarjo untuk bergerak mengintervensi aksi mogok yang digelar oleh Marsinah dan kawan-kawannya.
    Pada 5 Mei 1993, hari ke-3 aksi mogok kerja, sebanyak 13 buruh ditangkap dan digelandang ke Kodim Sidoarjo.
    Hari itu, Marsinah sempat mendatangi markas Kodim Sidoarjo untuk menanyakan nasib kawan-kawannya. Namun, setelah itu, keberadaan Marsinah tak diketahui lagi.
    Hingga, pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di hutan jati Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Sebelum meninggal, Marsinah mengalami penganiayaan dan penyiksaan super berat. Ia bahkan diperkosa sebelum dibunuh.
    Di sini jelas sekali bahwa Marsinah adalah korban dari sistem politik perburuhan Orde Baru. Dan penanggung jawab tertinggi dari sistem itu adalah Soeharto.
    Tentu saja, kita tak bisa hidup dalam situasi yang disebut oleh Paul Ricœur (2000) sebagai ”ingatan berlebihan”, yang membuat kita hanya berkutak dengan masa lalu dan tak berusaha mencari jalan keluar untuk menatap masa depan.
    Namun, ingatan bangsa tak boleh mengabaikan ”luka sejarah” atau ”memoria passionis” tetap menjadi luka yang menganga dan tak tersembuhkan.
    Di sini, Ricœur (2000) menawarkan dua jalan. Pertama, narasi sejarah yang benar, berpijak pada fakta-fakta yang bisa diuji secara ilmiah, sebagai jalan mengubur hantu-hantu masa lalu.
    Pemahaman sejarah yang benar akan menuntun kita untuk tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
    Kedua, pemulihan keadilan dengan meruntuhkan tembok impunitas dan pengakuan bersalah dari pelaku. Tanpa keduanya, rekonsoliasi nasional hanya ”kosmetik politik” dan proyek politik yang rapuh.
    Namun, keputusan mengangkat Marsinah bersanding dengan Soeharto justru berusaha menyusun ingatan bangsa dalam narasi sejarah yang bermasalah, mempertebal impunitas, dan memperlebar luka sejarah yang belum tersembuhkan.
    Tanpa narasi sejarah yang benar, Marsinah adalah korban politik perburuhan dan doktrin Dwifungsi ABRI era Orde Baru, bangsa ini tidak pernah belajar dari masa lalu.
    Dan seperti dikatakan penulis Spanyol, George Santayana, ”mereka yang tak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”
    Selain itu, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, tokoh yang bertanggung-jawab terhadap banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, hanya mempertebal tembok impunitias dan membuka luka sejarah semakin menganga.
    Kasus pembunuhan Marsinah, yang terjadi pada 32 tahun yang lampau, sampai sekarang belum terang-benderang. Saat itu, ada sembilan orang ditangkap, yang sebagian besar petinggi PT CPS dan Satpam.
    Pada tingkat kasasi, keputusan Mahkamah Agung mememutuskan para tersangka bebas murni karena tak terbukti membunuh Marsinah. Dalam kesaksiannya, para tersangka mengaku disiksa oleh aparat militer setempat untuk mengaku sebagai pembunuh Marsinah.
    Padahal, dari kronologi hingga temuan forensik, ada peran aparat yang sangat besar dalam kasus tersebut.
    Abdul Mun’im Idries, seorang saksi ahli yang menuliskan temuannya dalam Indonesian X-Files (2013), penyebab kematian Marsinah bukan karena sodokan balok tumpul, melainkan senjata api yang ditembakkan ke rongga kemaluan dan menghancurkan tulang di sekelilingnya.
    Padahal, Ricœur mengingatkan, ingatan kolektif bukan sekadar mengingat beberapa potongan kejadian di masa lalu, tetapi ingatan yang menagih agar kejahatan masa lalu diselesaikan secara adil.
    ”Setiap orang berhak atas keadilan, bahkan ketika ia sudah tiada,” kata Ricœur.
    Tentu saja, keputusan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan tak hanya melukai rasa keadilan bagi Marsinah, tapi juga membuat luka
    memoria passionis
    yang diderita oleh mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dari peristiwa 1965 hingga peristiwa Mei 1998, semakin mengangaga.
    Sebagai bangsa, ia hanya mempertebal ingatan kelam kita pada kebijakan pembangunan yang sentralistik (bertumpu di Jawa), politik pembangunan
    top-down
    yang menggilas rakyat jelata atas nama pembangunan, kapitalisme kroni, praktik KKN yang dianggap lumrah, budaya asal bapak senang (ABS), dan pembungkaman kebebasan berserikat dan berpendapat.
    Akhirnya, ingatan bangsa tak membuat kita melangkah maju, tetapi hanya berkutat dalam pertempuran masa lalu.
    Sebab, ada tagihan masa lalu, dalam hal ini pengungkapan kebenaran dan tegaknya keadilan, yang belum dibayar tunai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.