Topik: parasit

  • Hati-hati, Konsumsi Makanan Ini Bisa Picu Seseorang Cacingan

    Hati-hati, Konsumsi Makanan Ini Bisa Picu Seseorang Cacingan

    Jakarta

    Orang dapat tertular parasit melalui makanan atau air yang terkontaminasi. Parasit membutuhkan inang hidup untuk bertahan, dan bisa hidup di dalam sistem pencernaan manusia dalam waktu lama tanpa terdeteksi. Infeksi parasit dapat menyebabkan penyakit serius, sehingga perannya sebagai ancaman kesehatan manusia tidak boleh diremehkan.

    Sebagian besar hewan ternak biasanya diobati untuk mencegah infeksi parasit. Hal ini membuat penularan parasit seperti cacing pita dan cacing gelang melalui produk daging menjadi relatif jarang.

    Namun, parasit tetap dapat masuk ke makanan di berbagai titik dalam rantai pasokan, mulai dari proses pertanian dan produksi, pengiriman, pengemasan, hingga sampai di rak-rak toko. Misalnya, Makanan bisa dicuci dengan air yang terkontaminasi dan membawa parasit ke sepanjang rantai pasokan, tanah tempat tanaman tumbuh dapat terkontaminasi parasit, atau bahkan ditularkan dari orang ke orang melalui pekerja makanan yang terinfeksi tetapi tidak menyadarinya.

    Ketika seseorang akhirnya mengalami gejala infeksi parasit, biasanya mereka tidak mengetahui kapan atau bagaimana sebenarnya infeksi tersebut terjadi. Dikutip dari Canadian Institute of Food Safety, berikut makanan yang bisa memicu seseorang cacingan atau terpapar parasit.

    daging babi setengah matangdaging lain yang kurang matang atau mentah, seperti daging sapibuah-buahan dan sayuran mentahikan air tawar atau laut mentah atau setengah matangkrustasea atau moluska mentah atau setengah matangtanaman air mentah seperti selada airsari apel dan susu yang tidak dipasteurisasi

    Jenis Parasit dan Cacing

    Makanan yang tidak ditangani atau dimasak dengan benar dapat menjadi sumber berbagai infeksi dan penyakit. Beberapa parasit yang dapat menginfeksi manusia melalui makanan atau air antara lain:

    Giardia: Ini adalah parasit usus yang paling umum ditemukan di Kanada. Penularan biasanya berasal dari air minum yang tidak diolah.Cyclospora: Parasit ini ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi. Telurnya (oosista) dikeluarkan lewat tinja orang yang terinfeksi.Cacing kremi: Cacing ini dapat ditularkan kepada pelanggan oleh pekerja makanan yang tidak mencuci tangan dengan benar setelah menggunakan toilet. Cacing gelang, sejenis cacing kremi, juga umum ditularkan ke manusia melalui jalur feses ke mulut.Cacing pita: Cacing ini biasanya menyerang manusia yang mengonsumsi daging sapi, daging babi, atau ikan yang tidak dimasak sempurna yang mengandung larva yang kemudian tumbuh menjadi cacing pita utuh di dalam usus seseorang.Taenia: Ini adalah jenis cacing pita, sering disebut sebagai ‘cacing pita babi’ karena umumnya berasal dari produk daging babi mentah atau setengah matang.Trichinella: Seperti cacing pita, cacing ini tertelan dalam bentuk larva saat orang memakan daging mentah atau setengah matang.

    Toksoplasma: Parasit ini dapat berasal dari daging yang terkontaminasi dan kurang matang serta produk mentah yang terinfeksi dan tidak dibersihkan secara memadai sebelum dikonsumsi.Anisakis: Cacing ini dapat ditemukan di sushi atau sashimi yang tidak dimasak dengan benar. Ikan laut yang kurang matang (misalnya ikan kod, ikan flounder, ikan haddock, salmon Pasifik) dan cumi-cumi biasanya menjadi penyebabnya.Phocanema: Seperti anisakis, parasit ini juga ditularkan ke manusia melalui ikan laut mentah atau setengah matang.Clonorchis dan Paragonimus: Kadang-kadang disebut cacing hati, parasit ini berasal dari ikan air tawar dan krustasea yang tidak dibersihkan atau dimasak dengan benar.Cryptosporidium: Parasit ini menginfeksi manusia yang mengonsumsi sari buah apel dan susu yang tidak dipasteurisasi, serta kerang mentah atau setengah matang.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/suc)

  • Kata Dekan FK UI soal Menkes Sebut Kematian Balita Sukabumi Bukan karena Cacingan

    Kata Dekan FK UI soal Menkes Sebut Kematian Balita Sukabumi Bukan karena Cacingan

    Jakarta

    Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, MMB buka suara soal pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait kasus cacingan yang menimpa Raya, balita di Sukabumi.

    Menkes sebelumnya menegaskan pemicu utama kematian Raya tidak terkait cacingan, melainkan kemungkinan infeksi lain seperti meningitis, atau tuberkulosis (TBC). Mengingat, Raya juga memiliki riwayat batuk berdahak selama tiga bulan yang tidak kunjung sembuh.

    Menurut Prof Ari yang juga dokter spesialis penyakit dalam, cacingan sebetulnya juga termasuk infeksi, yakni infeksi parasit. Bila dilihat dari riwayat perjalanan klinis Raya, tenaga medis saat itu sempat mengeluarkan cacing dari hidungnya yang menandakan ada kemungkinan penyumbatan sudah sampai ke saluran napas.

    “Apalagi dikeluarkan sampai 1 kllogram, itu artinya sudah menyumbat saluran ususnya, pencernaannya, sehingga terjadi suatu penyumbatan yang menimbulkan infeksi pada anak tersebut yang bertambah berat, infeksi parasit menyumbat menjadi infeksi sekunder dan bisa saja menyebabkan pasien sepsis, pasien tidak sadar,” tutur dia.

    “Atau bisa juga larvanya menyebar ke otak yang membuat pasien tidak sadar,” lanjutnya.

    Berbeda halnya dengan TBC, menurut Prof Ari, kasus TBC murni jarang sekali yang bisa memicu sepsis. Jenis batuknya juga tidak selalu berdahak.

    “Ascariasis atau cacing gelang bisa menyebabkan meningoensefalitis dan gangguan kesadaran karena larva cacing bisa masuk ke sistem saraf pusat,” sorot Prof Ari.

    Sebelumnya diberitakan, Menkes Budi menegaskan kematian Raya tidak disebabkan langsung oleh cacingan. Meski dari tubuh bocah tersebut ditemukan lebih dari satu kilogram cacing gelang, penyebab kematian utama adalah infeksi lain.

    “Yang bersangkutan meninggal bukan karena cacingan. Kematian disebabkan oleh infeksi,” beber Budi saat ditemui di Kampus Unpad Dipatiukur, Bandung, Jumat (22/8/2025).

    Budi menjelaskan, infeksi yang dialami Raya diduga berkaitan dengan penyakit yang sudah diidapnya cukup lama. Salah satunya, batuk berdahak selama sekitar tiga bulan yang tidak kunjung sembuh.

    “Infeksinya bisa karena meningitis, masih dugaan. Bisa juga karena TBC. Karena selama tiga bulan dia terus-menerus batuk berdahak, tubuhnya melemah, dan kemudian bakterinya menyebar ke seluruh tubuh. Dalam istilah medis disebut sepsis,” jelasnya.

    (naf/kna)

  • Cacing Pita Bersarang di Otak Pria gegara Doyan Makan Daging Babi Tak Matang

    Cacing Pita Bersarang di Otak Pria gegara Doyan Makan Daging Babi Tak Matang

    Jakarta

    Seorang pria 52 tahun di Amerika Serikat mengeluhkan migrain yang tidak kunjung sembuh. Kondisi ini dialaminya selama empat bulan terakhir.

    Selama itu, ia mengonsumsi berbagai obat-obatan tetapi tidak lagi efektif mengobati migrainnya. Keluhan yang dirasakannya itu muncul lebih sering dari biasanya, sekitar seminggu sekali, dan menjadi semakin parah.

    Ia pun segera memeriksakan diri ke rumah sakit. Di sana, pasien juga mengeluhkan nyeri yang semakin parah di bagian belakang tengkoraknya.

    Dalam jurnal yang dikutip dari Live Science, dokter langsung memeriksa tanda-tanda vital pada pasien, tetapi tidak menunjukkan adanya kelainan. Setelah melakukan CT scan pada otaknya, dokter melihat adanya banyak lesi mirip kista yang tersebar di kedua hemisfer atau kedua bagian besar otak.

    Secara spesifik, pertumbuhan ini muncul di substansia alba organ tersebut, yakni jaringan terisolasi yang memanjang dari sel-sel otak.

    Pasien segera dirawat di rumah sakit untuk melakukan konsultasi bedah saraf. Hasil MRI pun mendukung apa yang terlihat di CT scan.

    Bahkan, dokter melihat adanya penumpukan cairan di sekitar kista di otak pria tersebut. Karena menduga adanya parasit, departemen bedah saraf merujuk pasien ke spesialis penyakit menular dan melakukan sejumlah tes.

    Salah satu tes menunjukkan bahwa darah pasien mengandung antibodi terhadap Taenia solium, cacing pita yang biasanya ditemukan pada babi yang bersarang di usus dan otot babi, lalu keluar melalui fesesnya.

    Dalam kasus ini, larva cacing tersebut telah menguasai otaknya dan tertanam di dalam kista pada jaringan otaknya. Saat T. solium menginfeksi sistem saraf dengan cara ini, kondisi tersebut dikenal sebagai neurosistiserkosis.

    Penanganan yang Dilakukan

    Sebagai penanganannya, pasien diberikan obat antiparasit dan antiinflamasi sambil dipantau di unit perawatan intensif selama beberapa minggu. Setelah itu, pasien dirawat di klinik rawat jalan penyakit menular.

    “Pasien berhasil diobati, dengan regresi lesi dan perbaikan sakit kepala,” tulis dokter dalam laporan kasus medis tersebut.

    Manusia dapat terinfeksi T. solium saat tidak sengaja mengonsumsi larva atau telur cacing tersebut. Orang dapat terpapar jika mereka mengonsumsi daging babi yang kurang matang, atau minum air yang telah terkontaminasi.

    Mengonsumsi daging babi kurang matang yang mengandung larva dapat menyebabkan infeksi usus yang disebut taeniasis. Sementara mengonsumsi feses yang mengandung telur memicu infeksi pada jaringan lain, termasuk otak.

    “Telur-telur tersebut awalnya masuk ke pembuluh darah otak dan kompartemen untuk cairan serebrospinal, cairan bening yang membasahi otak, dan kemudian memicu respons imun inflamasi yang merusak lapisan pelindung otak,” demikian pernyataan dari laporan yang dipublikasikan dalam American Journal of Case Reports.

    Namun, dalam kasus ini pasien tidak melakukan perjalanan ke daerah yang berisiko tinggi terhadap infeksi cacing tersebut.

    “Setelah diinterogasi, pasien mengaku terbiasa makan bacon atau daging babi yang dimasak sebentar dan tidak kering hampir di sepanjang hidupnya,” kata laporan itu, dikutip dari Live Science.

    Bahaya Makan Daging Tak Matang

    Berdasarkan kebiasaan makan pria tersebut, dokternya menyimpulkan bahwa ‘kecenderungan seumur hidupnya untuk mengonsumsi daging babi asap yang masih lunak’ mungkin telah membuatnya sesekali mengonsumsi daging babi asap setengah matang. Kondisi itu yang menyebabkan taeniasis, bentuk infeksi cacing pita di usus.

    Dari situ, para dokter berspekulasi bahwa pasien mungkin secara tidak sengaja tertular sistiserkosis melalui kebiasaan mencuci tangan yang tidak benar. Dengan kata lain, ia mungkin secara tidak sengaja terpapar telur cacing tersebut dalam fesesnya sendiri.

    “Konsumsi daging babi setengah matang merupakan faktor risiko teoretis untuk neurosistiserkosis melalui autoinokulasi, seperti yang kami duga dalam kasus ini,” tim medis menyimpulkan.

    “Secara historis, sangat jarang menemukan daging babi yang terinfeksi di Amerika Serikat, dan kasus kami mungkin memiliki implikasi kesehatan masyarakat.”

    Halaman 2 dari 3

    (sao/kna)

  • Stop BABS dan jaga sanitasi cegah infeksi cacing pada tubuh

    Stop BABS dan jaga sanitasi cegah infeksi cacing pada tubuh

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Penyakit Menular WHO Kantor Regional Asia Tenggara 2018-2020 Prof. Tjandra Yoga Aditama mengingatkan masyarakat agar berhenti buang air besar sembarangan dan menjaga sanitasi guna mencegah infeksi cacing pada tubuh.

    “Sanitasi dijaga dan Stop BABS (buang air besar sembarangan) jadi aspek penting kesehatan masyarakat, termasuk mencegah kecacingan,” kata Tjandra saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dia mengatakan penyakit akibat cacing adalah infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis parasit cacing, seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang yang dapat berupa Necator americanus dan Ancylostoma duodenale, serta Strongyloides stercoralis.

    Infeksi pada tubuh manusia, sambung dia, terjadi akibat penularan melalui telur cacing yang terdapat pada tinja, kemudian mengkontaminasi tanah, terutama di daerah yang buruk sanitasinya.

    “Telur cacing tersebut dapat tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, lalu memasukkan tangan mereka ke dalam mulut tanpa mencucinya. Tentu saja ada cara penularan lain, seperti melalui air yang tercemar,” jelas Tjandra.

    Salah satu bagian tubuh yang dapat mengalami akibat buruk dari infeksi cacing itu adalah paru-paru. Namun infeksi tersebut secara umum lebih sering terjadi pada saluran pencernaan.

    Jika infeksi itu menyerang paru-paru, maka ada berbagai kemungkinan gejala, seperti batuk, sesak napas dan suara mengi. Pada kondisi lebih berat, dapat terjadi nyeri dada, batuk darah bahkan batuk keluar cacing.

    Apabila seorang anak terkena infeksi cacing, maka harus ditangani dengan konsumsi obat cacing secara berkala, penyuluhan kesehatan, dan perbaikan sanitasi.

    “Kalau sudah terjadi penyakit, maka sebenarnya sudah tersedia obat yang aman dan efektif untuk mengobatinya,” ujar Tjandra.

    Sementara itu, terkait BABS, per Juli 2025 tercatat sekitar 850 kepala keluarga (KK) dari sembilan kelurahan di Jakarta masih menerapkan perilaku tersebut.

    Tjandra menegaskan penanganan BABS harus menjadi salah satu prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya dengan membantu membangun fasilitas mandi cuci kakus (MCK) dan tangki septik komunal di lahan yang tersedia.

    “Jadi caranya akan tergantung dari masalah di lapangan yang mungkin berbeda-beda satu dengan lainnya, tapi jelas perlu jadi prioritas penanganan,” ucap Tjandra.

    Sebelumnya, Raya (4), bocah asal Kampung Padangenyang, Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia dengan kondisi tubuh dipenuhi cacing.

    Dia diketahui tinggal di rumah bilik panggung dengan bagian bawahnya yang dipenuhi kotoran ayam sehingga diduga menjadi sumber infeksi cacing.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sepatu Raksasa Berumur 2.000 Tahun Ditemukan, Pemiliknya Misterius

    Sepatu Raksasa Berumur 2.000 Tahun Ditemukan, Pemiliknya Misterius

    Jakarta

    Perbatasan utara Britania Romawi baru saja menambahkan data tak terduga, yaitu ukuran sepatu. Para arkeolog di Benteng Magna Romawi telah menemukan alas kaki kulit berukuran besar untuk periode tersebut.

    Skala penemuan ini menonjol dalam arkeologi Romawi dan menimbulkan pertanyaan baru tentang siapa dan mengenakan apa di Tembok Hadrian pada masa itu. Penemuan ini bukan penemuan yang hanya terjadi sekali.

    Dikutip dari Earth.com, dari koleksi musim ini di Magna, sekitar seperempat sepatu berukuran lebih dari 30 cm, sementara situs terdekat, Vindolanda, hanya menampilkan sebagian kecil contoh sepatu berukuran super dalam koleksi yang telah lama diteliti. Perbedaan ini mendorong perbandingan yang cermat, alih-alih kesimpulan yang terburu-buru.

    Dr Elizabeth Greene, Associate Professor di Western University dan spesialis alas kaki di Vindolanda Trust, serta Dr Andrew Birley, CEO dan Direktur Penggalian di Vindolanda Trust, termasuk di antara para peneliti yang menafsirkan material baru tersebut.

    Ukuran yang Mengejutkan

    Alas kaki Romawi biasanya lebih mencerminkan kaki modern daripada yang disiratkan mitos. Itulah sebabnya sepatu-sepatu langka di Magna mendapat perhatian. Penemuan delapan sepatu dengan panjang lebih dari 30 cm telah dicatat sejauh musim ini, termasuk rekor Trust saat ini sekitar 32 cm yang diambil dari parit pertahanan tepat di luar tembok benteng.

    Salah satu hipotesisnya adalah adanya garnisun atau komunitas dengan tipe tubuh atau kebiasaan pasokan yang berbeda, tetapi kumpulan datanya masih kecil dan dalam tahap konservasi, jadi para arkeolog memilih untuk menahan diri mengungkap lebih banyak data.

    Sepatu bukan sekadar ukuran dan sol. Tukang sepatu Romawi membuat lapisan-lapisan kulit sapi pada sepatu yang kokoh dan memasangnya dengan paku besi, sehingga sol luarnya mencengkeram dan tahan lama di permukaan kasar, yang membantu para arkeolog memahami penggunaan, keausan, dan gaya berjalan.

    Ketika kulit masih utuh dengan jahitan, jepit rambut, dan pola kuku, hal itu dapat menunjukkan tradisi bengkel, rute pasokan, dan bahkan pangkat atau peran dalam suatu unit atau rumah tangga. Hal-hal tersebut merupakan garis penyelidikan yang dapat diuji di Magna seiring kemajuan konservasi.

    Petunjuk dari Tanah

    Sepatu tersebut bertahan karena timbunan parit di Magna sebagian besar bersifat anaerobik, yang berarti oksigen terbatas dan pembusukan melambat.

    Rendahnya oksigen, tingginya muka air tanah, dan sedimen halus bersama-sama menciptakan pelestarian sehingga temuan organik itu bisa bertahan selama berabad-abad.

    Kondisi tersebut juga menyegel jejak kehidupan sehari-hari yang rapuh, seperti bagian serangga, benih, dan telur parasit.

    Tim di Vindolanda, yang dapat dicapai dengan berjalan kaki sebentar ke arah timur di sepanjang perbatasan, sebelumnya menemukan telur cacing gelang dan cacing cambuk dari sedimen saluran air yang terhubung ke jamban, yang menambahkan dimensi kesehatan pada studi kultur material.

    Melestarikan Sepatu Romawi Kuno

    Kimia yang sama yang melindungi kulit dapat rusak oleh pengeringan tanah, fluktuasi permukaan air tanah, dan pergeseran potensial reduksi oksidasi.

    Pemantauan lokasi di Tembok Hadrian telah mendokumentasikan kerentanan arkeologi yang tergenang air terhadap pola cuaca modern, yang merupakan cara sopan untuk mengatakan bahwa variabilitas iklim dapat mempercepat hilangnya informasi dalam satu musim panas dan kering.

    Di Vindolanda, para ilmuwan telah memasangkan fluoresensi sinar-X portabel dengan survei DNA mikroba untuk melacak bagaimana kondisi terkubur membentuk pengawetan.

    Pekerjaan itu menyediakan dasar teknis untuk menafsirkan keadaan artefak organik dan untuk merencanakan cara menstabilkan endapan sebelum berubah menjadi aerobik dan mulai hancur.

    “Kita hanya bisa merayakan dan mengagumi keberagaman dan perbedaan orang-orang ini jika kita masih bisa melihat mereka dalam data arkeologi yang kita kumpulkan saat ini,” kata Birley, sambil menunjuk gambaran yang lebih besar di balik sebuah telapak kaki besar.

    Para konservator memperkirakan adanya penyusutan sedang selama perawatan, sehingga pengukuran akhir mungkin berkurang sedikit.

    Meski begitu, proporsi saat ini sudah melampaui batas alas kaki Romawi yang dikenal dari Inggris dan membenarkan perbandingan cermat dengan kumpulan data jangka panjang di Vindolanda.

    Pola pemakaian, tata letak kuku, dan bagian atas yang masih ada akan membantu membedakan sepatu bot musim dingin dari sepatu sehari-hari, dan bantalan medis dari perbedaan ukuran.

    Konteks itu penting, jadi tembikar dan fase konstruksi yang terkait di dalam benteng akan menentukan alas kaki dalam hal waktu dan penggunaan.

    (rns/rns)

  • VIDEO: Tragedi Balita Sukabumi Tewas, Dedi Mulyadi Murka!

    VIDEO: Tragedi Balita Sukabumi Tewas, Dedi Mulyadi Murka!

    Seorang balita di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia dalam kondisi memilukan. Tubuh mungilnya diduga dipenuhi cacing parasit. Kisah tragis ini membuat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, geram. Dalam momentum peringatan HUT ke-80 Provinsi Jawa Barat, ia menilai birokrasi dari atas hingga RT lalai dan tidak punya empati terhadap warganya.

    Ringkasan

  • Eks Pejabat WHO Ikut Soroti Kasus Cacingan di Balita Sukabumi, Wanti-wanti Ini

    Eks Pejabat WHO Ikut Soroti Kasus Cacingan di Balita Sukabumi, Wanti-wanti Ini

    Jakarta

    Belum lama ini balita di Sukabumi, Jawa Barat, dilaporkan terkena infeksi cacing nyaris di seluruh tubuhnya. Ia dalam kondisi kekurangan cairan berat saat mendatangi IGD RSUD Syamsudin.

    dr Irfan yang menangani balita bernama Raya tersebut, semula bahkan menemukan cacing keluar dari hidungnya. Endah (30), ibu Raya mengaku tidak pernah mengetahui riwayat infeksi cacing yang dialami anaknya, sebelum meninggal dunia.

    Raya kala itu diduga memiliki riwayat penyakit tuberkulosis (TBC).

    “Iya ada cacing, katanya ada yang ukuran sekilo, berarti udah besar dalam perut. Nggak tahu dari makanan atau dari mana itu cacingnya,” cerita Endah, kepada detikJabar, dikutip Rabu (20/8/2025).

    Pemeriksaan menunjukkan adanya cacing gelang atau ascaris lumbricoides di tubuh Raya, memicu kondisi tak stabil hingga meninggal.

    Menurut dr Irfan, infeksi bisa terjadi ketika telur cacing tertelan, baik melalui makanan, minuman, ataupun tangan yang kotor. “Telur akan menetas di usus, lalu berkembang menjadi larva yang bisa menyebar lewat aliran darah ke organ-organ, bahkan otak. Itu sebabnya pasien bisa tidak sadar,” jelas dr Irfan.

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama ikut menyoroti kasus terkait. Menurutnya, perlu ada pemantauan atau tindak lanjut pada sekitar pemukiman tempat raya tinggal.

    Terlebih, saat mengetahui adanya infeksi cacing. “Ini melihat kemungkinan cacing di lingkungan sekitarnya dan penanganan segera supaya tidak ada kasus yang menyedihkan lagi,” tandas dia, dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Rabu (20/8).

    Mengacu penjelasan WHO, Prof Tjandra menekankan penyakit cacing merupakan infeksi yang dipicu berbagai jenis parasit cacing. Salah satunya seperti yang dilaporkan pada kasus Raya, yakni cacing gelang ‘Ascaris lumbricoides.

    Adapula cacing cambuk Trichuris trichiura dan cacing tambang yang dapat berupa “Necator americanus” serta “Ancylostoma duodenale”.

    Ia mewanti-wanti penularan bisa terjadi melalui telur cacing yang ada dalam tinja kemudian mengkontaminasi tanah, utamanya saat sanitasi di daerah setempat relatif buruk.

    “Telur cacing tersebut dapat tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, lalu memasukkan tangan mereka ke dalam mulut tanpa mencucinya. Tentu saja ada cara penularan lain seperti melalui air yang tercemar dan lain-lain,” wanti-wantinya.

    Gangguan nutrisi anak yang cacingan

    Anak-anak yang terpapar infeksi cacing disebut Prof Tjandra bisa mengalami gangguan fisik dan nutrisi. Artinya, gizi tidak bisa diserap dengan baik.

    “Untuk penanganan kecacingan ini maka WHO menyampaikan setidaknya ada empat pendekatan, yaitu konsumsi obat cacing secara berkala, penyuluhan kesehatan, memperbaiki sanitasi dan kalau sudah terjadi penyakit maka sebenarnya sudah tersedia obat yang aman dan efektif untuk mengobatinya,” saran dia.

    WHO sudah mencanangkan target global pengendalian kecacingan pada 2030, ia juga berharap Indonesia memberikan target eliminasi kasus yang jelas atas laporan kecacingan.

    “Apalagi kalau kita akan menyongsong Indonesia Emas 2045 yang tentu tidak elok kalau masih ada masalah kecacingan di masa itu nantinya,” pungkas dia.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Viral Bocah di Sukabumi Meninggal usai Tubuhnya Dipenuhi Cacing Gelang

    Viral Bocah di Sukabumi Meninggal usai Tubuhnya Dipenuhi Cacing Gelang

    Jakarta

    Baru-baru ini viral bocah di Sukabumi, Jawa Barat, bernama Raya, meninggal dunia setelah tubuhnya dipenuhi cacing gelang. Pihak keluarga mengungkap anak tersebut sempat didiagnosis dokter tuberkulosis (TB/TBC).

    “Saya yang bawa berobat, kata dokter (kena) TB,” kata Sarah (25), bibinya Raya, dikutip dari detikJateng.

    Tak disangka, Raya mengidap penyakit yang lebih serius. Pihak keluarga baru mengetahuinya saat bocah itu telah meninggal dunia. Menurut Sarah, keponakannya itu juga kerap bermain di tanah. Ia juga menyebut Raya terlihat kotor sehari-harinya.

    “Nggak tau, jadi begitu sampai di sini dikabari bahwa banyak cacing dan segala macamnya. Baru tahunya pas udah meninggal. Nggak tahu bisa seperti itu,” ungkap Sarah sambil terisak.

    “Dari pola hidup suka main di tanah si anak, di dapur suka cumang cemong, emang iya sehari-harinya begitu,” katanya lirih. Ia menambahkan Raya tak memiliki BPJS dan identitas administrasi kependudukan.

    Tak Pernah Dibawa ke Rumah Sakit

    Sementara itu, ibu Raya, Endah (30) duduk dengan tatapan kosong. Dalam video yang viral, disebutkan Endah mengalami gangguan mental sama seperti suaminya, Udin. Meski begitu, dia berusaha menjawab setiap pertanyaan awak media meski suaranya pelan.

    Endah melanjutkan, dirinya tidak pernah membawa Raya berobat ke rumah sakit atau puskesmas. Jika sakit, dia hanya mengobatinya dengan cara tradisional.

    Ia juga menceritakan bagaimana Raya akhirnya dibawa oleh relawan Rumah Teduh dengan ambulans.

    “Informasi dari orang sana, katanya anaknya sakit. (Relawan) datang ke sini dan (Raya) langsung dibawa sama ambulans, dirawat di rumah sakit. Sebelumnya nggak pernah ngecek ke puskesmas,” jelas Endah.

    Tentang penyebab kematian Raya, Endah mengaku baru tahu setelah mendapat kabar dari relawan.

    “Iya ada cacing, katanya ada yang ukuran sekilo, berarti udah besar dalam perut. Nggak tahu dari makanan atau dari mana itu cacingnya,” ucap Endah.

    Di sisi lain, Plt Camat Kabandungan, Budi Andriana, juga merespons soal kasus yang viral ini. Ia menyebut peristiwa itu terjadi di wilayahnya, tepatnya Kampung Padangenyang, Desa Cianaga.

    “Tadi mungkin sudah disampaikan oleh kepala desa, dari pembina desa, dari puskesmas. Sebetulnya itu terkait pola asuh, memang terkait pola asuh bukan kewenangan kami, karena terkait dengan keluarga. Mungkin tadi ketika ada kasus seperti itu, kami pun awalnya tidak tahu, alhamdulillah dengan koordinasi sebetulnya sudah berjalan,” kata Budi.

    Ia mengungkap, sejak kecil Raya sudah dilaporkan memiliki kondisi keluarga yang serba terbatas.

    Bagaimana Seseorang Bisa Terinfeksi Cacing Gelang?

    Jalur masuk cacing gelang ke dalam tubuh bergantung pada jenisnya. Banyak parasit ini masuk melalui mulut. Infeksi sering terjadi ketika seseorang menyentuh kotoran atau tanah yang terkontaminasi telur cacing, lalu tidak mencuci tangan (dikenal sebagai jalur fekal-oral).

    Infeksi cacing kremi misalnya, biasanya terjadi karena menyentuh telur yang diletakkan di sekitar anus, lalu tanpa sadar terbawa ke mulut.

    Seseorang juga bisa tidak sengaja menelan telur cacing gelang saat menyiapkan makanan atau menyentuh tanah yang tercemar. Setelah masuk ke tubuh, telur tersebut akan menetas di dalam usus.

    Untuk jenis cacing gelang lainnya, telur bisa tersembunyi di dalam makanan yang dikonsumsi. Dalam beberapa kasus, larva bahkan dapat masuk langsung melalui kulit.

    Apa pun jalur masuknya, sebagian besar cacing gelang akhirnya akan bermuara di usus dan menimbulkan infeksi atau penyakit.

    Siapa saja yang berisiko terkena cacing gelang?

    Siapa pun bisa terkena cacing gelang. Infeksi cacing gelang lebih umum terjadi pada anak-anak dan orang-orang yang:

    Hidup dalam kemiskinan, terutama di wilayah terbelakang di dunia.Tinggal di daerah beriklim hangat.Tinggal di suatu lembaga, seperti penjara atau fasilitas kesehatan mental.Tidak menerapkan kebersihan yang baik.

    Halaman 2 dari 4

    (suc/suc)

  • Ngeri, Ada Cacing ‘Bersarang’ di Mata Wanita Ini! Begini Penampakannya

    Ngeri, Ada Cacing ‘Bersarang’ di Mata Wanita Ini! Begini Penampakannya

    Jakarta

    Seorang wanita 41 tahun di Beijing, China, mengelukan ada benda yang tersangkut di matanya. Ia juga sudah mengunjungi rumah sakit beberapa kali, tetapi keluhannya tidak kunjung sembuh.

    Dalam laporan yang dipublikasikan di BMC Ophthalmology, dalam pemeriksaan pertama dokter mencatat bahwa permukaan luar, kornea, tampak rusak. Tetapi, mereka tidak menemukan benda asing.

    Dokter pun meresepkan obat tetes mata kepada pasien itu. Salah satu jenis obat tete mata yang diberikan bertujuan untuk mengobati iritasi mata dan yang lainnya mengandung antibiotik, yang membantu mencegah infeksi.

    Namun, obat tetes mata itu tidak bisa meredakannya. Di bulan berikutnya, ia kembali ke rumah sakit dengan keluhan yang sama, yaitu merasa ada sesuatu yang tersangkut di matanya.

    Matanya memerah dan gatal terus-menerus. Dokter memeriksa ulang, dan kini melihat ada peradangan di jaringan kelopak mata bagian atasnya.

    “Terdapat juga benjolan besar seperti jerawat,” tulis laporan tersebut, dikutip dari The Sun.

    Dengan menggunakan alat retraktor kelopak mata, dokter menemuka empat cacing putih kecil merayap di sekitarnya. Tim medis memberikan anestesi topikal untuk mematikan rasa di area tersebut, lalu mengeluarkan cacing dengan forsep.

    Penampakan cacing yang bersarang di mata seorang wanita berusia 41 tahun di Beijing, China. Foto: BMC Opthalmology

    Cacing-cacing itu kemudian dikirim ke laboratorium untuk diperiksa. Analisis mikroskopis dan genetik cacing tersebut mengungkapkan bahwa itu adalah spesies yang disebut Thelazia callipaeda.

    Cacing itu juga dikenal sebagai cacing mata oriental, yang dapat menyebabkan infeksi parasit yang disebut Thelaziasis.

    Setelah dipastikan tidak ada lagi cacing di mata pasien, dokter membilas mata pasien dengan larutan dan meresepkan salep yang mengandung antibiotik, untuk mengurangi risiko infeksi bakteri berikutnya.

    “Seminggu kemudian, gejala pasien berkurang secara signifikan, dan tidak ada kekambuhan yang dilaporkan selama dua bulan berikutnya,” tulis para dokter.

    Thelaziasis jarang terjadi pada manusia, dan cenderung lebih umum pada hewan. Penyakit ini terutama ditularkan oleh lalat drosophila (lalat buah) yang bertindak sebagai inang perantara.

    Namun dalam kasus ini, sumber infeksi wanita tersebut tidak bisa dipastikan. Ia merupakan seorang pekerja kantoran dan tidak ingat pernah terpapar serangga terbang baru-baru ini.

    (sao/naf)

  • Kenali Penyebab Mata Kuning dan Cara Mengatasinya

    Kenali Penyebab Mata Kuning dan Cara Mengatasinya

    Jakarta

    Bagian putih mata bisa berubah menjadi kuning ketika tubuh memiliki terlalu banyak bilirubin, yaitu zat berwarna kuning yang terbentuk saat sel darah merah mengalami pemecahan. Dalam kondisi normal, hal ini bukan masalah. Liver atau hati menyaring bilirubin dari darah dan menggunakannya untuk membentuk cairan bernama empedu. Empedu mengalir melalui saluran-saluran kecil (disebut saluran empedu) menuju saluran pencernaan dan kemudian dibuang dari tubuh sebagai limbah.

    Namun, jika kadar bilirubin dalam darah terlalu tinggi atau liver tidak mampu membuangnya dengan cukup cepat, bilirubin akan menumpuk di dalam tubuh dan menyebabkan perubahan warna kuning pada mata. Kondisi ini disebut jaundice atau penyakit kuning.

    1. Penyebab Mata Kuning

    Terdapat sejumlah kondisi yang dapat memicu mata kuning. Dikutip dari WebMD, berikut informasinya.

    Hepatitis

    Hepatitis adalah kondisi saat hati mengalami peradangan. Penyebabnya sering kali adalah virus yang menginfeksi sel-sel hati, seperti virus hepatitis A, B, atau C. Infeksi ini bisa bersifat jangka pendek (akut) atau jangka panjang (kronis), yang berarti berlangsung setidaknya selama 6 bulan.

    Hepatitis merusak hati sehingga organ ini tidak bisa menyaring bilirubin dengan baik. Akibatnya, bisa terjadi jaundice atau penyakit kuning. Selain virus, hepatitis juga bisa disebabkan oleh obat-obatan atau penyakit autoimun.

    Batu Empedu (Gallstones)

    Batu empedu adalah potongan kecil seperti kerikil yang keras dan terbentuk di kantong empedu, yaitu organ kecil di bawah hati. Batu empedu merupakan penyebab paling umum dari saluran empedu yang tersumbat.

    Jika saluran empedu tersumbat oleh batu empedu, bilirubin akan menumpuk dalam darah, menyebabkan bagian putih mata menguning. Kenali gejala batu empedu lebih lanjut.

    Konsumsi Alkohol Berlebihan

    Mengonsumsi alkohol dalam jumlah banyak dan dalam waktu lama (biasanya minimal 8 hingga 10 tahun), hal ini dapat menyebabkan kerusakan hati yang serius. Pada sebagian orang, hal ini dapat memicu peradangan yang merusak sel-sel hati. Lama-kelamaan, jaringan parut akan menggantikan jaringan hati yang sehat, sehingga hati kesulitan menjalankan fungsinya.
    Infeksi Hati

    Virus hepatitis adalah penyebab paling umum infeksi hati, tetapi bisa juga disebabkan oleh parasit seperti cacing hati (liver flukes). Seseorang bisa terkena infeksi ini dari konsumsi ikan mentah atau kurang matang, atau tanaman yang terkontaminasi.

    Anemia Sel Sabit (Sickle Cell Anemia)

    Penyakit ini lebih umum pada orang keturunan Afrika atau Karibia. Tubuh menghasilkan sel darah merah yang berbentuk sabit, lengket, dan menumpuk di hati. Sel-sel ini juga mati lebih cepat daripada kemampuan hati untuk menyaringnya.

    Malaria

    Parasit penyebab malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk atau kontak dengan darah yang terinfeksi. Sel darah merah bisa pecah atau rusak, lalu difilter oleh hati atau limpa. Kehilangan sel darah merah menyebabkan anemia dan jaundice.

    Sirosis Hati

    Kondisi ini menyebabkan jaringan parut menggantikan sel-sel hati yang sehat. Proses ini berlangsung perlahan dalam jangka waktu yang lama. Banyak jenis penyakit dan kondisi hati yang menyebabkan sirosis, termasuk hepatitis B dan C, hingga terlalu banyak minum alkohol.

    Kondisi Lainnya

    Beberapa kondisi kronis tertentu dapat menyebabkan mata menguning akibat penyakit kuning (jaundice). Contohnya meliputi:

    Anemia hemolitik autoimun, yaitu kondisi saat sistem kekebalan tubuh menyerang sel darah merah sendiri.Defisiensi G6PD dan kekurangan enzim lainnya, yang menyebabkan sel darah merah mudah rusak.Sindrom Gilbert, yang menyebabkan kadar bilirubin dalam darah sedikit lebih tinggi dari normal.Primary biliary cholangitis, penyakit autoimun yang merusak saluran empedu kecil di hati.Primary sclerosing cholangitis, peradangan dan penyempitan saluran empedu di dalam dan di luar hati.Kanker saluran empedu.Kanker pankreas.Penyakit Wilson, gangguan genetik langka yang menyebabkan penumpukan tembaga di hati dan organ lain.2. Cara Mengatasi Mata Kuning

    Dikutip dari Medical News Today, mata kuning umumnya berkaitan dengan penyakit kuning (jaundice). Pada bayi baru lahir, kondisi ini biasanya membaik dengan sendirinya. Namun pada anak-anak dan orang dewasa, mata kuning sering kali menandakan adanya kondisi medis serius yang memerlukan penanganan medis.

    Artinya, pengobatan rumahan saja umumnya tidak cukup untuk mengatasi penyebab utama dari mata kuning, serta diperlukan penanganan medis.

    Misalnya, jika mata kuning disebabkan oleh batu empedu yang menyumbat saluran empedu, penanganannya bisa berupa pemberian obat atau tindakan operasi ringan. Jika penyebabnya adalah hepatitis, dokter mungkin akan meresepkan obat untuk melawan virus tersebut.

    Meski begitu, beberapa perubahan gaya hidup dapat membantu organ-organ tubuh bekerja lebih baik, yang mungkin bisa mengurangi gejala atau mempercepat proses penyembuhan.

    Menurut organisasi nirlaba American Liver Foundation, beberapa langkah yang bermanfaat bagi kesehatan hati dan dapat menurunkan risiko penyakit hati meliputi:

    mengonsumsi makanan seimbang yang kaya buah, sayur, biji-bijian utuh, sereal, dan nasimenjaga tubuh tetap terhidrasi dengan minum cukup airmempertahankan berat badan yang sehatrutin beraktivitas fisik atau berolahragamenghindari kebiasaan merokokmembatasi konsumsi alkoholmenghindari paparan racun dari semprotan aerosol, produk pembersih, bahan kimia, dan insektisidatidak berbagi barang-barang kebersihan pribadiberkonsultasi dengan dokter untuk membahas vaksin hepatitis A dan hepatitis B

    (suc/suc)