Topik: parasit

  • Pengusaha Ingatkan Baju Bekas Impor Mematikan Pekerjaan Teman Sebangsa

    Pengusaha Ingatkan Baju Bekas Impor Mematikan Pekerjaan Teman Sebangsa

    Jakarta, CNBC Indonesia – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengingatkan masyarakat, terkait fenomena pakaian bekas impor. Sekretaris Jenderal HIPMI Anggawira mengatakan, baju bekas yang banyak dijual melalui pasar thrifting, bukan hanya memicu persoalan ekonomi karena harganya yang murah hingga mengganggu keseimbangan pasar, tetapi membawa risiko kesehatan dan keamanan yang serius.

    Karena itu, ujar Anggawira, perlu menggencarkan edukasi publik mengenai bahaya penggunaan pakaian bekas ilegal yang masuk tanpa proses sterilisasi dan tanpa pengawasan mutu.

    “Sebagai bentuk edukasi ke masyarakat, HIPMI perlu menyampaikan bahwa pakaian bekas impor bukan sekadar isu ekonomi, melainkan juga risiko kesehatan,” kata Anggawira kepada CNBC Indonesia, Jumat (14/11/2025).

    Ia menjelaskan, banyak pakaian bekas yang masuk ke Indonesia tidak melalui proses sterilisasi yang layak, sehingga berpotensi membawa jamur, bakteri, tungau, hingga parasit kulit. Kondisi tersebut, katanya, dapat menyebabkan berbagai penyakit, mulai dari scabies, dermatitis, hingga infeksi kulit.

    Selain risiko kesehatan langsung, Anggawira menyoroti persoalan higienitas yang melekat pada pakaian bekas impor. Ia menyebut tidak ada kontrol atas asal-usul barang yang dijual di pasar thrifting. Menurutnya, pakaian yang masuk secara ilegal bisa berasal dari gudang limbah tekstil, donasi bencana, pakaian dari rumah sakit, hingga sisa buangan pengepul di luar negeri.

    “Tidak ada jaminan dari mana pakaian itu berasal,” ucap dia.

    Anggawira juga menekankan potensi kerusakan lingkungan akibat aktivitas thrifting ilegal. Banyak dari pakaian bekas impor tersebut sebenarnya merupakan “limbah fesyen” dari negara maju. Jika tidak laku di pasar, barang-barang itu pada akhirnya hanya menjadi beban tambahan bagi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia.

    Dari sisi ekonomi nasional, ia mengingatkan bahwa membeli pakaian bekas ilegal berarti ikut merugikan pelaku usaha dalam negeri. Ia menilai praktik ini mematikan lapangan pekerjaan masyarakat sendiri, melemahkan industri nasional, serta menghilangkan penerimaan negara karena barang-barang tersebut masuk tanpa pajak dan bea masuk.

    “Masyarakat perlu memahami bahwa membeli pakaian bekas ilegal berarti mematikan pekerjaan teman sebangsa,” ujarnya.

    Ia juga menyoroti persoalan keamanan produk. Menurut Anggawira, pakaian bekas impor yang masuk secara ilegal tidak melalui uji mutu apa pun, tidak memenuhi standar SNI, dan tidak memiliki jaminan keamanan bahan.

    “Tidak ada uji mutu, tidak ada standar SNI, tidak ada jaminan bahan aman,” kata dia.

    Karenanya, Anggawira menyambut positif langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menertibkan dan memberantas impor pakaian bekas ilegal.

    “HIPMI melihat langkah Pak Purbaya untuk menertibkan dan memberantas impor pakaian bekas ilegal sebagai kebijakan yang tepat dan strategis. Ini bukan hanya soal penegakan aturan perdagangan, tetapi juga soal kedaulatan industri nasional dan perlindungan konsumen,” ujarnya.

    Menurutnya, peredaran pakaian bekas ilegal selama ini telah memukul industri tekstil dalam negeri dan menciptakan persaingan tidak sehat bagi pengusaha yang patuh pajak. Karena itu, penindakan terhadap para importir balpres perlu dilakukan dengan tegas.

    “Penegakan hukum yang tegas memang diperlukan, karena selama ini masuknya pakaian bekas ilegal telah memukul industri tekstil dalam negeri dan menciptakan unfair competition bagi pengusaha yang patuh pajak,” terang dia.

    “HIPMI mendukung langkah tegas Pak Purbaya untuk memberantas impor pakaian bekas ilegal. Ini bagian dari upaya menghidupkan kembali industri tekstil nasional, melindungi UMKM, serta menjaga kesehatan dan keamanan konsumen. Penegakan hukum yang konsisten dan edukasi publik sangat penting agar pasar kita kembali sehat dan kompetitif,” pungkasnya.

    Foto: Mendag Budi Santoso dalam pemusnahan 500 Balpres di PT Prasadha Pamunah Limbah Industri di Kabupaten Bogor, Jumat (14/11/2025). (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)
    Mendag Budi Santoso dalam pemusnahan 500 Balpres di PT Prasadha Pamunah Limbah Industri di Kabupaten Bogor, Jumat (14/11/2025). (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Lalat Pemakan Daging Serang Amerika, Manusia dan Hewan Peliharaan Bisa Kena

    Lalat Pemakan Daging Serang Amerika, Manusia dan Hewan Peliharaan Bisa Kena

    Jakarta

    Lalat parasit pemakan daging sedang menginvasi Amerika Utara dan Tengah. Hal ini mengancam industri peternakan, tetapi parasit ini juga tidak pilih-pilih. Dia akan menginfeksi berbagai macam inang, termasuk manusia dan hewan peliharaan.

    Cochliomyia hominivorax atau New World screwwor sebelumnya telah diberantas dari wilayah ini. Terus, kok dia bisa kembali sih?

    Melansir Science Alert, Lalat memiliki fungsi ekologis yang penting, seperti penyerbukan dan penguraian bahan organik mati. Namun, beberapa telah berevolusi untuk memakan makhluk hidup.

    Lalat betina Cochliomyia hominivorax tertarik pada bau luka apa pun untuk bertelur. Larva (belatung) kemudian memakan jaringan hidup secara agresif, menyebabkan penderitaan yang tak terkira bagi inangnya, bahkan sampai kematian jika tidak diobati.

    Para peternak sapi di Texas memperkirakan pada tahun 1960-an bahwa mereka menangani sekitar 1 juta kasus per tahun.

    Antara tahun 1960-an dan 1990-an, para ilmuwan dan pemerintah bekerja sama untuk memanfaatkan biologi lalat tersebut, memberantasnya dari AS dan Meksiko menggunakan teknik serangga steril (SIT).

    Jadi begini. Lalat betina hanya kawin sekali sebelum bertelur, sementara lalat jantan bersifat promiskual. Selama proses pemberantasan, miliaran lalat jantan steril dilepaskan dari pesawat, mencegah lalat betina yang kawin dengan mereka menghasilkan telur yang layak.

    Dikombinasikan dengan perlakuan kimia pada ternak dan cuaca dingin, populasi Cochliomyia hominivorax pun akhirnya punah di AS pada tahun 1982. Kampanye pemberantasan dilaporkan menelan biaya USD 750 juta.

    Selama beberapa dekade, sebuah fasilitas di Panama secara rutin melepaskan jutaan lalat steril untuk bertindak sebagai penghalang bagi lalat ini menyebar ke utara dari selatan.

    Namun, sejak 2022 — setelah puluhan tahun pemberantasan — Cochliomyia hominivorax kembali menyebar ke utara melalui beberapa negara di Amerika Tengah. Kasusnya meledak di Panama pada 2023 dan lalat tersebut telah mencapai Meksiko pada November 2024.

    Para ilmuwan telah mengajukan beberapa hipotesis untuk penyebaran ini. Misalnya, lalat yang menumpang pada pergerakan ternak, suhu yang lebih tinggi meningkatkan perkembangan dan kelangsungan hidup lalat, dan kemungkinan bahwa lalat betina menyesuaikan perilaku seksual mereka untuk menghindari jantan yang mandul.

    Sekitar 17 juta ternak kini terancam di Amerika Tengah. Sementara Meksiko memiliki jumlah ternak dua kali lipat lebih banyak, dan penyebaran ke AS terus berlanjut, di mana sekitar 14 juta ternak akan terancam di Texas dan Florida saja.

    Manusia pun tak luput, dengan setidaknya delapan kasus lalat yang menginfestasi manusia di Meksiko sejak April.

    (ask/rns)

  • Ancaman Jerat dan Pencari Gaharu Bayangi Badak Kalimantan Terakhir

    Ancaman Jerat dan Pencari Gaharu Bayangi Badak Kalimantan Terakhir

    Liputan6.com, Jakarta Hutan di Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu tampak sunyi, tetapi patroli monitoring pada Mei 2025 menunjukkan ancaman yang semakin dekat. Di jalur jelajah Badak Kalimantan terakhir di alam liar bernama Pari, tim menemukan bekas pondok baru yang usianya kurang dari sebulan sebagai penanda ada aktivitas manusia di hutan nan sunyi itu.

    Tak hanya itu, ditemukan pula sisa jerat dengan tulang belulang kijang, bulu burung rangkong, dan tempurung kura-kura sungai. Semua itu berada hanya sekitar seratus meter dari kubangan aktif, ruang penting bagi badak untuk berkubang, menjaga kulit, dan menyingkirkan parasit.

    Tak hanya itu, bekas tali, rintisan jalur, dan barang-barang konsumsi yang ditinggalkan menunjukkan bahwa para pelintas hutan tersebut bermukim dalam jangka waktu lama. Di pondok itu juga ditemukan serutan kayu sehinga dipastikan manusia yang masuk hutan ini adalah pencari gaharu. Selain membawa makanan awet, mereka juga mencari satwa liar menjadi sumber protein instan.

    Di lanskap yang sama, kamera jebak mencatat jejak-jejak satwa kecil. Kombinasi ini mengubah hutan menjadi ruang berbagai gangguan antropogenik yang saling tumpang tindih.

    Dari punggungan bukit terdengar suara alat berat, menandakan pembukaan jalur logging. Akses ini tersambung hingga Kalimantan Tengah dan digunakan oleh para pencari gaharu yang berbulan-bulan bermukim di dalam hutan.

    Selain itu, ketika logistik menipis, aktivitas berburu menjadi pilihan. Gangguan ini dikategorikan serius, karena dapat menggeser jalur jelajah, menyulitkan pemantauan, dan meningkatkan risiko perburuan satwa liar.

    Kepala Resor Suaka Badak Kelian BKSDA Kaltim, Jono Adiputro, menyebut perubahan pola jelajah sudah terdeteksi. Ia menilai badak mulai menghindari area yang biasanya dikunjungi.

    “Pada wilayah perbatasan tempat pencari gaharu ini beraktivitas, kehadiran pari mulai jarang ditemukan. Sepertinya pari merasa terganggu,” ujarnya.

    Jika gejala ini berulang, badak dapat masuk lebih dalam ke hutan, menjauhi titik kamera jebak, dan keluar dari rencana pit trap. Pada populasi kritis, satu pergeseran kecil saja bisa berdampak fatal.

  • Pertamina untuk Rakyat, Bukan Mafia

    Pertamina untuk Rakyat, Bukan Mafia

    Pertamina untuk Rakyat, Bukan Mafia
    Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Wasekjend Dewan Energi Mahasiswa, Wakil Bendahara Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
    ISU
    dugaan penyalahgunaan penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite yang terjadi beberapa minggu terakhir telah mengguncang kepercayaan publik terhadap tata kelola energi nasional.
    Munculnya konten masyarakat di berbagai media sosial mengenai dugaan penurunan kualitas bahan bakar yang berakibat pada kerusakan mesin di sejumlah daerah bukan hanya  kerugian ekonomi bagi pengguna, tetapi juga mengancam kredibilitas Pertamina sebagai badan usaha milik negara yang memikul tanggung jawab strategis dalam menjamin ketersediaan energi bagi seluruh rakyat Indonesia.
    Dugaan praktik manipulasi kualitas bahan bakar, yang diduga melibatkan jaringan mafia migas di tingkat distribusi, menjadi refleksi nyata lemahnya pengawasan internal dan potensi penyimpangan yang telah berulang kali menghantam sektor energi nasional.
    Ketika masyarakat sebagai konsumen menghadapi kenyataan bahwa bahan bakar yang mereka beli tidak sesuai dengan standar mutu yang dijanjikan, maka kepercayaan publik terhadap institusi pengelola energi negara pun terancam runtuh.
    Dalam konteks hukum, persoalan ini dapat dibaca melalui kacamata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) yang menegaskan prinsip dasar tentang itikad baik antara pelaku usaha dan konsumen. Pasal 7 huruf a mengatur kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam menjalankan usahanya, sementara Pasal 5 huruf b mengatur kewajiban konsumen untuk beritikad baik dalam melakukan transaksi.
    Penerapan asas itikad baik ini merupakan jaminan hukum agar tidak terjadi pelanggaran yang merugikan salah satu pihak. Dalam konteks Pertamina, asas ini bermakna bahwa perusahaan negara wajib menjaga keaslian, keamanan, dan mutu produk bahan bakar yang didistribusikan kepada publik.
    Ketika terjadi penurunan kualitas bahan bakar akibat penyalahgunaan wewenang atau manipulasi di tingkat tertentu, maka sesungguhnya telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip perlindungan konsumen yang diatur undang-undang.
    Pengguna Pertamina, sebagai konsumen, berhak memperoleh perlindungan hukum atas kerugian yang mereka alami akibat turunnya kualitas bahan bakar yang seharusnya dijamin oleh negara. Masalah ini tidak dapat dilepaskan dari persoalan klasik dalam tata kelola energi di Indonesia, yakni lemahnya pengawasan dan penetrasi kelompok kepentingan dalam rantai distribusi BBM.
    Mafia migas bukanlah istilah baru, mereka adalah jaringan kepentingan ekonomi dan politik yang beroperasi di ruang abu-abu antara kebijakan, birokrasi, dan bisnis energi. Praktik manipulasi stok, penurunan kadar oktan, hingga dugaan praktik-praktik pengoplosan bahan bakar merupakan manifestasi dari kegagalan sistem pengawasan internal dan lemahnya integritas tata kelola di lapangan.
    Ketika praktik seperti ini dibiarkan berulang tanpa tindakan tegas, maka negara sejatinya telah gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekayaan publik yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
    Penerapan prinsip
    good corporate governance
    (tata kelola perusahaan yang baik) menjadi batu ujian utama dalam menilai kredibilitas Pertamina sebagai perusahaan milik rakyat. Prinsip ini meliputi transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan keadilan, yang keseluruhannya harus menjadi panduan dalam setiap lini operasional perusahaan.
    Ketika salah satu prinsip itu diabaikan, seperti dalam kasus lemahnya pengawasan kualitas BBM, maka integritas perusahaan menjadi dipertanyakan. Pertamina harus menegakkan transparansi bukan hanya dalam pelaporan kinerja keuangan, tetapi juga dalam mekanisme produksi, distribusi, dan pengawasan mutu produk.
    Dalam konteks akuntabilitas, setiap penyimpangan dalam rantai distribusi harus dapat ditelusuri dan diusut hingga ke akar permasalahan, termasuk apabila ditemukan indikasi keterlibatan oknum internal. Teori tata kelola perusahaan menegaskan bahwa pengawasan internal yang lemah akan membuka ruang bagi terjadinya
    fraud
    (kecurangan) yang sistemik.
    Oleh karena itu, reformasi tata kelola Pertamina harus diarahkan pada penguatan sistem audit internal, digitalisasi rantai pasok, dan pengawasan mutu berbasis teknologi agar tidak ada lagi celah manipulasi. Sistem digitalisasi distribusi bahan bakar seperti
    fuel tracing
    dan
    real-time monitoring
    harus menjadi instrumen wajib dalam memastikan keaslian produk dan integritas rantai distribusi.
    Selain itu, penguatan peran masyarakat dan lembaga pengawas independen perlu ditingkatkan agar pengawasan terhadap Pertamina tidak hanya bersifat internal, melainkan partisipatif dan terbuka. Dalam konteks perlindungan konsumen, peran pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menjadi sangat penting. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap bentuk pelanggaran terhadap mutu bahan bakar mendapatkan sanksi tegas dan proses hukum yang transparan.
    Pertamina sebagai badan usaha milik negara harus diberikan dukungan politik dan kelembagaan untuk melakukan reformasi struktural tanpa intervensi kelompok kepentingan, karena pelemahan Pertamina berarti pelemahan kedaulatan energi nasional itu sendiri. Dalam situasi ini, penguatan Pertamina harus berjalan seiring dengan penegakan hukum terhadap mafia migas yang selama ini menjadi parasit dalam tubuh industri energi nasional.
    Usut tuntas mafia migas bukan hanya jargon moral, melainkan kewajiban konstitusional dalam menjaga kekayaan negara agar tidak dikuasai oleh segelintir orang. Asas itikad baik dalam UU Perlindungan Konsumen juga perlu dipahami sebagai prinsip moral dan hukum yang membangun relasi etis antara negara, pelaku usaha, dan masyarakat.
    Itikad baik pelaku usaha bukan hanya soal kepatuhan formal terhadap aturan, tetapi juga kesadaran moral bahwa setiap produk yang dijual adalah bagian dari tanggung jawab sosial untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan publik.
    Dalam konteks ini, Pertamina harus memperkuat nilai-nilai etik korporasi yang berpijak pada semangat kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Hanya dengan cara itulah Pertamina dapat menjaga posisinya sebagai perusahaan energi yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga berkeadilan secara sosial.
    Dalam perspektif ideologis, penguatan tata kelola Pertamina dan pemberantasan mafia migas harus dikembalikan pada nilai fundamental Pancasila sebagai pedoman etika dan politik ekonomi nasional. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” memberikan fondasi moral dan filosofis bahwa setiap kebijakan pengelolaan sumber daya alam, termasuk energi, harus berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat, bukan keuntungan segelintir pihak.
    Pancasila menegaskan bahwa sumber daya alam yang dikuasai negara bukanlah komoditas politik, melainkan amanah konstitusional untuk kemakmuran bersama. Karena itu, ketika terjadi penyalahgunaan dalam pengelolaan energi, maka yang dirugikan bukan hanya masyarakat sebagai konsumen, melainkan juga martabat ideologi bangsa.
    Keadilan sosial dalam pengelolaan energi menuntut adanya sistem tata kelola yang bersih, transparan, dan akuntabel. Negara, melalui Pertamina, memiliki mandat moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap tetes bahan bakar yang dikonsumsi masyarakat mencerminkan keadilan ekonomi dan kejujuran dalam pengelolaan.
    Ketika mafia migas memanipulasi sistem untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka mereka sejatinya sedang mencederai keadilan sosial dan mengkhianati amanah rakyat. Oleh karena itu, pemberantasan mafia migas harus ditempatkan sebagai agenda nasional dalam membangun kemandirian energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
    Tanpa penegakan hukum yang tegas terhadap mafia migas, semua upaya reformasi tata kelola hanya akan menjadi kosmetik tanpa makna substantif.
    Belajar dari negara lain seperti Norwegia, yang sukses mengelola sumber daya minyak melalui Norwegian Government Pension Fund Global, dapat menjadi cermin bagi Indonesia. Norwegia menunjukkan bahwa integritas sistem, transparansi kebijakan, dan pengawasan publik yang kuat dapat menghindarkan industri energi dari praktik korupsi dan penyalahgunaan.
    Semua penerimaan negara dari minyak dikelola secara terbuka, dengan mekanisme pelaporan publik yang dapat diakses setiap warga negara. Prinsip ini sejalan dengan konsep
    good governance
    yang menempatkan rakyat sebagai pemilik sah sumber daya negara, bukan sekadar penerima manfaat pasif.
    Dalam konteks Indonesia, penguatan Pertamina harus diarahkan pada model tata kelola yang sejalan dengan semangat tersebut yakni terbuka, profesional, dan berpihak kepada rakyat. Lebih jauh, pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan energi harus menegaskan kembali posisi Pertamina bukan sebagai entitas bisnis semata, melainkan sebagai perusahaan rakyat yang mengemban fungsi sosial dan ekonomi strategis.
    Pertamina tidak boleh dibiarkan berkompetisi dalam logika pasar bebas yang brutal tanpa perlindungan politik negara, karena energi adalah urat nadi kehidupan bangsa. Negara wajib hadir untuk melindungi Pertamina dari penetrasi kepentingan mafia dan oligarki bisnis yang selama ini menunggangi kebijakan energi demi keuntungan pribadi.
    Keberpihakan kepada Pertamina bukan berarti menutup kritik, melainkan menguatkan fondasi moral dan kelembagaan agar perusahaan ini dapat benar-benar menjadi instrumen kedaulatan energi nasional.
    Dalam kerangka yang lebih luas, teori
    good governance
    yang dikemukakan Sachs (2021) juga menegaskan bahwa keberhasilan negara-negara Skandinavia dalam mengelola sumber daya publik terletak pada kombinasi antara transparansi, pengawasan ketat, dan partisipasi masyarakat. Prinsip ini sejalan dengan kebutuhan Indonesia untuk menegakkan tata kelola energi yang inklusif dan berbasis keadilan sosial.
    Negara tidak boleh hanya menjadi regulator yang pasif, melainkan harus aktif memastikan bahwa pengelolaan energi dilakukan secara etis, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil. Dalam konteks ini, pemberantasan mafia migas harus menjadi prioritas bersama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil. Mafia migas tidak boleh lagi dibiarkan hidup di ruang abu-abu antara kebijakan dan keuntungan pribadi, karena mereka adalah simbol pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
    Penguatan Pertamina dan pemberantasan mafia migas sejatinya adalah dua sisi dari satu mata uang: kedaulatan energi nasional. Tanpa tata kelola yang bersih, Pertamina akan terus menjadi korban infiltrasi kepentingan ekonomi-politik yang menggerogoti kemampuan negara untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam sektor energi.
    Reformasi tata kelola Pertamina harus diarahkan pada pembenahan struktural yang mencakup integritas manajemen, efisiensi operasional, serta pengawasan publik yang kuat. Pemerintah harus memberikan dukungan penuh kepada Pertamina untuk membenahi diri, sekaligus memastikan bahwa praktik mafia migas dibongkar hingga ke akar-akarnya melalui penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tanpa kompromi.
    Pertamina perlu memperluas inovasi dengan memanfaatkan teknologi digital dalam seluruh aspek bisnisnya, mulai dari produksi, distribusi, hingga pelayanan publik. Transparansi berbasis data akan menjadi benteng utama melawan praktik manipulatif di sektor distribusi. Sistem pelaporan digital yang terintegrasi antara kilang, terminal, dan SPBU akan menutup ruang bagi pelaku kejahatan energi yang selama ini memanfaatkan celah informasi.
    Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Pertamina harus menjadi prioritas agar tercipta budaya korporasi yang berintegritas dan profesional. Pada akhirnya, penguatan Pertamina dan pemberantasan mafia migas bukan hanya soal manajemen perusahaan, melainkan juga soal keberpihakan negara terhadap rakyatnya.
    Energi adalah hak dasar setiap warga negara, bukan komoditas yang dapat dimonopoli oleh kelompok tertentu. Maka, memperjuangkan tata kelola energi yang bersih berarti memperjuangkan kedaulatan bangsa itu sendiri.
    Pertamina harus berdiri kokoh sebagai simbol kemandirian dan keadilan sosial dalam sektor energi. Hanya dengan cara itulah cita-cita Pancasila, khususnya sila kelima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat benar-benar terwujud dalam praktik pengelolaan sumber daya alam nasional. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Viral Purbaya Sikat Mafia Baju Bekas, Ini Kata Dokter Kulit soal Baju Thrifting

    Viral Purbaya Sikat Mafia Baju Bekas, Ini Kata Dokter Kulit soal Baju Thrifting

    Jakarta

    Isu soal pelarangan impor pakaian bekas kembali mencuat pasca pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait komitmen pemerintah untuk menindak tegas praktik impor balpres (bal pakaian bekas).

    Purbaya menilai, selain merugikan industri tekstil dalam negeri, peredaran pakaian bekas impor juga menimbulkan beban ekonomi baru karena negara harus mengeluarkan biaya tambahan untuk proses hukum dan pemusnahan barang ilegal.

    Langkah ini turut didukung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menegaskan pihaknya akan melarang praktik thrifting (jual beli baju bekas) di pasar-pasar ibu kota.

    “Kami mendukung kebijakan pemerintah pusat, termasuk melarang thrifting di pasar-pasar Jakarta,” kata Pramono kepada wartawan, Jumat (24/10/2025).

    Ia juga meminta dinas terkait memberikan pelatihan usaha bagi pedagang UMKM agar tidak bergantung pada jual beli barang bekas impor.

    Terlepas dari pro kontra kebijakan tersebut, apakah membeli baju thrifting aman untuk kulit?

    Menurut dr Arini Widodo, SpDV, dokter spesialis kulit dan kelamin dari PERDOSKI, pakaian bekas memiliki risiko tinggi menularkan penyakit kulit karena kebersihannya tidak dapat dijamin.

    “Pakaian bekas bisa membawa agen infeksi seperti bakteri, jamur, virus, maupun parasit (tungau dan kutu) yang berpotensi menular ke pemakainya,” jelas dr Arini.

    Beberapa penyakit yang dapat timbul antara lain:

    Scabies (kudis), akibat tungau yang bersarang di serat kain dan menyebabkan gatal hebat, terutama di malam hari.

    Eksim dan dermatitis kontak, muncul ketika pakaian berdebu atau lama disimpan, menyebabkan kulit gatal, merah, bahkan melepuh bila terus digaruk.

    Infeksi sekunder, akibat berpindahnya cairan tubuh seperti keringat atau air liur dari orang yang sebelumnya mencoba pakaian.

    “Pernah ditemukan virus pernapasan seperti influenza yang menempel pada pakaian bekas. Barang yang berpindah-pindah tangan ini bisa menjadi jalur penularan infeksi,” tambahnya.

    Selain itu, bahaya lain juga datang dari bahan kimia pembersih atau disinfektan yang digunakan penjual untuk mensterilkan pakaian.

    “Uap bahan kimia tersebut bisa menyebabkan sakit kepala, pusing, mual, atau bahkan kejang bila terhirup terus-menerus,” kata dr Arini.

    Meski begitu, risiko tersebut sebetulnya bisa diminimalisir dengan cara mencucinya. Terlebih, thrifting tetap punya sisi positif bagi lingkungan dan ekonomi, selama masyarakat memahami cara menjaga kebersihannya.

    “Membeli baju thrifting boleh saja, asal dicuci dengan benar sebelum digunakan,” ujar dr Ruri saat dihubungi detikcom, beberapa waktu lalu.

    Ia menyarankan beberapa langkah penting sebelum mengenakan pakaian bekas:

    Cuci dengan air panas dan deterjen sesegera mungkin setelah dibeli.Rendam dengan desinfektan khusus pakaian atau gunakan pengaturan mesin cuci bersuhu tinggi.Keringkan dan setrika hingga panas, agar sisa mikroorganisme mati sempurna.

    “Hindari memakai pakaian bekas sebelum dicuci, terutama untuk pakaian dalam, handuk, dan pakaian tidur. Idealnya jenis ini tidak dibeli dalam kondisi bekas,” tegasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Analisis Feses Purba Ungkap Penyakit Usus yang Dialami Manusia 1.300 Tahun Lalu

    Analisis Feses Purba Ungkap Penyakit Usus yang Dialami Manusia 1.300 Tahun Lalu

    Jakarta

    Para ilmuwan menganalisis kotoran manusia berusia 1.300 dari gua Dead Children di Meksiko. Mereka menemukan bahwa lebih dari 1000 tahun lalu, orang-orang sering mengalami infeksi usus yang parah.

    “Bekerja dengan sampel-sampel kuno ini seperti membuka kapsul waktu biologis yang masing-masing mengungkap wawasan tentang kesehatan manusia dan kehidupan sehari-hari, kata penulis utama studi, seorang asisten profesor kesehatan lingkungan di Indiana University, Drew Capone, dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Live Science.

    Bersama rekan-rekannya, Capone menggunakan teknik analisis molekuler untuk mempelajari 10 sampel feses kuno, atau yang disebut dengan paleofeces. Feses yang berada di sebuah gua di Lembah Rio Zape, Meksiko, tepat di utara kota Durango di Meksiko Barat Lau tersebut berasal dari tahun 725 hingga 920 M. Para peneliti menerbitkan temuan mereka di jurnal PLOS One pada 22 Oktober 2025.

    Pada akhir tahun 1950-an, para arkeolog menggali gua Dead Children dan menemukan fosil feses manusia dan non manusia, sisa-sisa tumbuhan, serta tulang hewan dan manusia dari tumpukan sampah besar. Gua ini digunakan oleh orang-orang dari budaya prasejarah Loma San Gabriel, yang mempraktikkan pertanian skala kecil, memproduksi keramik unik, tinggal di desa-desa kecil dan terkadang melakukan pengorbanan anak. Para arkeolog menamakan gua tersebut berdasarkan kerangka anak-anak yang ditemukan di sana.

    Penelitian terdahulu pada feses purba di gua tersebut menunjukkan adanya telur cacing tambang, cacing cambuk, dan cacing kremi. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang menaruh fesesnya di gua tersebut terinfeksi oleh berbagai parasit.

    Dalam studi baru, para ilmuwan menggunakan teknik molekuler mutakhir untuk mendeteksi mikroba tambahan dalam feses purba dari 10 peristiwa buang air besar yang berbeda. Tujuannya adalah memperluas pemahaman mereka tentang beban penyakit di antara masyarakat Loma.

    “Ada banyak potensi dalam penerapan metode molekuler modern untuk menginformasikan studi-studi di masa lalu.” kata rekan penulis studi, seorang profesor ilmu lingkungan di University of North Carolina di Chapel Hill, Joe Brown.

    Para peneliti mengekstraksi DNA dari 10 sampel feses manusia purba dan menggunakan reaksi berantai polimerasi (PCR) untuk mengamplifikasi DNA mikroba dalam feses. Setiap sampel setidaknya mengandung satu patogen atau mikroba usus. Dua yang paling umum adalah parasit usus Blastocystis yang menyebabkan masalah gastrointestinal dan beberapa galur bakteri E.coli yang ditemukan pada 70 persen sampel. Selain itu, ditemukan cacing kremi, Shigella dan Giardia, yang menyebabkan penyakit usus.

    Tingginya jumlah mikroba menunjukkan sanitasi yang buruk di antara budaya Loma San Gabriel di antara tahun 600-800 M. Hal ini mengakibatkan paparan limbah feses di lingkungan. Tim menambahkan, manusia kemungkinan besar menelan mikroba tersebut dari air minum, tanah, atau makanan yang terkontaminasi feses.

    Sementara gen-gen terkait patogen ini bertahan dalam paleofeces hingga 1.300 tahun, kemungkinan ada lebih banyak patogen dalam sampel-sampel yang telah membusuk dan tidak lagi terdeteksi.

    Meski demikian, analisis baru mengungkap, DNA patogen yang sebelumnya tidak ditemukan dalam paleofeces, termasuk Blastocytis dan Shigella.

    “Penerapan metode ini pada sampel purba lainnya menawarkan potensi untuk memperluas pemahaman kita tentang cara hidup masyarakat purba dan patogen yang mungkin memengaruhi kesehatan mereka,” tulis para peneliti.

    Halaman 2 dari 2

    (elk/kna)

  • Kotoran Manusia 1.300 Tahun Ditemukan, Peneliti Ungkap Fakta Ngeri

    Kotoran Manusia 1.300 Tahun Ditemukan, Peneliti Ungkap Fakta Ngeri

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pengetahuan soal kehidupan masa lampau bisa didapatkan dari penelitian benda-benda peninggalan purba. Bahkan, kotoran manusia di masa lampau juga bisa mengungkap fakta tak terduga soal kehidupan manusia.

    Studi yang dipublikasikan di jurnal PLOS One mengungkap hasil penelitian dari kotoran manusia berusia 1.300 tahun. Para ilmuwan menganalisa sampel yang diambil dari La Cueva de los Muertos Chiquitos atau ‘Gua Anak-anak yang Telah Meninggal’ di Meksiko.

    Gue tersebut merupakan situs arkeologi yang menyingkap banyak fakta kehidupan. Salah satunya, para peneliti menemukan bukti ritual ‘pengorbanan anak’, termasuk sisa-sisa 17 anak di bawah umur yang dikuburkan secara kompleks.

    Terbaru, sampel kotoran manusia yang diambil dari gua tersebut menunjukkan fakta baru. Peneliti mengatakan orang-orang zaman itu kerap berhadapan dengan infeksi pencernaan yang mengerikan.

    “Bekerja dengan sampel-sampel kuno ini seperti membuka kapsul waktu biologis, yang masing-masing mengungkap wawasan tentang kesehatan manusia dan kehidupan sehari-hari,” ujar penulis utama studi Drew Capone, asisten profesor kesehatan lingkungan di Indiana University, dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Live Science, Kamis (23/10/2025).

    Capone dan timnya menggunakan teknik analisis molekuler untuk mempelajari 10 sampel feses kering purba, atau istilahnya ‘paleofeces’.

    Pada akhir 1950-an, para arkeolog menggali gua tersebut dan menemukan paleofeces manusia dan non-manusia, sisa-sisa tanaman, serta tulang hewan dan manusia dari tumpukan sampah besar.

    Gua itu digunakan oleh manusia pra-sejarah dalam budaya Loma San Gabriel. Mereka menjalankan aktivitas agrikultur skala kecil, memproduksi keramik yang uni, dan mempraktikkan ritual ‘pengorbanan anak’.

    Penelitian terdahulu terhadap paleofeces di gua tersebut mengungkap keberadaan telur cacing tambang, cacing cambuk, dan cacing kremi, yang menunjukkan orang-orang yang menaruh fesesnya di gua tersebut terinfeksi oleh berbagai parasit.

    Dalam studi baru ini, para ilmuwan menggunakan teknik molekuler mutakhir untuk mendeteksi mikroba tambahan dalam paleofeces dari 10 “peristiwa buang air besar yang berbeda”. Tujuannya memperluas pemahaman mereka tentang beban penyakit di antara masyarakat Loma.

    “Ada banyak potensi dalam penerapan metode molekuler modern untuk menginformasikan studi-studi di masa lalu,” ujar rekan penulis studi Joe Brown, seorang profesor ilmu lingkungan di University of North Carolina di Chapel Hill, dalam pernyataan tersebut.

    Para peneliti mengekstraksi DNA dari 10 sampel paleofeces dan kemudian menggunakan reaksi berantai polimerase (PCR) untuk mengamplifikasi DNA mikroba dalam feses.

    Setiap sampel mengandung setidaknya satu patogen atau mikroba usus, dan dua yang paling umum adalah parasit usus Blastocystis, yang dapat menyebabkan masalah gastrointestinal, dan beberapa galur bakteri E. coli, yang ditemukan pada 70% sampel.

    Cacing kremi, Shigella, dan Giardia, yang menyebabkan penyakit usus, juga teridentifikasi. Banyaknya mikroba yang ditemukan dalam paleofeces tersebut menunjukkan sanitasi yang buruk dalam kehidupan masyarakat Loma San Gabriel di era 600-800 Masehi.

    Peneliti mengatakan orang-orang pada era itu kemungkinan besar menelan mikroba melalui air minum, tanah, atau makanan yang terkontaminasi tinja.

    Meskipun gen-gen terkait patogen ini bertahan dalam paleofeces hingga 1.300 tahun, peneliti mengatakan kemungkinan terdapat lebih banyak patogen dalam sampel yang telah membusuk dan tidak lagi terdeteksi.

    Namun, analisis baru ini mengungkapkan DNA patogen yang sebelumnya tidak ditemukan dalam paleofeces, termasuk Blastocystis dan Shigella.

    “Penerapan metode ini pada sampel purba lainnya menawarkan potensi untuk memperluas pemahaman kita tentang cara hidup masyarakat purba dan patogen yang mungkin memengaruhi kesehatan mereka,” tulis para peneliti.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Seram! Kotoran dari 1.300 Tahun Lalu Bongkar Penyakit Zaman Kuno

    Seram! Kotoran dari 1.300 Tahun Lalu Bongkar Penyakit Zaman Kuno

    Jakarta

    Para ilmuwan berhasil menemukan fakta mencengangkan dari sisa kotoran manusia berusia 1.300 tahun yang ditemukan di Meksiko. Analisis terhadap “paleofeces” atau feses purba ini mengungkap bahwa manusia prasejarah ternyata sering menderita berbagai penyakit usus akibat infeksi parasit dan bakteri.

    Penelitian ini dilakukan di Gua Anak-Anak Mati (Cueva de los Niños Muertos) di Lembah Rio Zape, Meksiko Barat Laut, dan hasilnya baru saja dipublikasikan di jurnal ilmiah PLOS One pada Rabu (22/10/2025). Temuan tersebut memberikan gambaran nyata tentang kondisi kesehatan dan sanitasi masyarakat kuno dari budaya Loma San Gabriel yang hidup sekitar tahun 600-800 Masehi.

    Tim peneliti yang dipimpin oleh Drew Capone, asisten profesor kesehatan lingkungan dari Universitas Indiana, menyebut analisis kotoran kuno sebagai “kapsul waktu biologis”. Dari total 10 sampel yang diteliti, para ilmuwan berhasil mengekstraksi DNA mikroba menggunakan teknik reaksi berantai polimerase (PCR).

    Hasilnya mencengangkan: setiap sampel mengandung setidaknya satu patogen atau mikroba berbahaya. Yang paling sering ditemukan adalah parasit usus Blastocystis dan beberapa galur bakteri Escherichia coli (E. coli) – ditemukan pada 70% sampel. Selain itu, DNA dari Shigella, Giardia, dan cacing kremi juga berhasil diidentifikasi.

    “Temuan ini menunjukkan bagaimana paparan limbah dan kondisi sanitasi yang buruk berperan besar dalam penyebaran penyakit di masa itu,” kata Capone dalam laporan tersebut.

    Sanitasi Buruk Jadi Pemicu Utama

    Menurut tim, masyarakat Loma San Gabriel kemungkinan besar terinfeksi melalui air, tanah, atau makanan yang terkontaminasi feses. Mereka hidup dalam komunitas pertanian kecil, membuat keramik, dan memiliki praktik ritual yang melibatkan pengorbanan anak.

    “Jumlah mikroba yang tinggi dalam paleofeces menunjukkan betapa buruknya kondisi sanitasi saat itu,” ujar Joe Brown, profesor ilmu lingkungan dari University of North Carolina di Chapel Hill, yang juga terlibat dalam penelitian ini.

    Brown menambahkan bahwa penerapan metode molekuler modern pada sampel kuno membuka peluang besar untuk memahami kesehatan masyarakat masa lalu secara lebih mendalam. Bahkan, tim menemukan DNA patogen seperti Blastocystis dan Shigella yang sebelumnya tidak pernah terdeteksi di gua tersebut.

    Jejak Penyakit dari 1.300 Tahun Lalu

    Gua Anak-Anak Mati sendiri dinamai setelah penemuan kerangka anak-anak di akhir 1950-an. Situs ini digunakan oleh masyarakat Loma San Gabriel yang hidup dengan pertanian skala kecil dan pemukiman sederhana. Dalam penelitian sebelumnya, ditemukan juga telur cacing tambang, cacing cambuk, dan cacing kremi, memperkuat bukti tingginya tingkat infeksi parasit.

    Para ilmuwan menyimpulkan bahwa analisis DNA kuno semacam ini bukan hanya membuka kisah penyakit manusia masa lalu, tetapi juga membantu memahami evolusi patogen dan bagaimana lingkungan berperan dalam penyebaran penyakit.

    Peneliti berharap teknik analisis DNA dari feses purba ini bisa diterapkan pada sampel-sampel arkeologis lain di seluruh dunia. “Metode ini seperti membuka jendela ke masa lalu – memperlihatkan cara hidup, kebersihan, dan tantangan kesehatan manusia ribuan tahun lalu,” tulis tim dalam kesimpulan riset.

    Temuan ini juga menunjukkan betapa teknologi modern mampu menghidupkan kembali kisah biologi masa lalu, menjawab pertanyaan tentang bagaimana manusia prasejarah bertahan hidup di tengah ancaman penyakit yang kini bisa diidentifikasi lewat jejak DNA sekecil apa pun.

    (afr/afr)

  • Buset! Ikan Mas Raksasa Ini Beratnya Setara Anak 10 Tahun

    Buset! Ikan Mas Raksasa Ini Beratnya Setara Anak 10 Tahun

    Jakarta

    Seorang pemancing di Prancis sukses mencetak rekor luar biasa setelah berhasil menangkap ikan mas hibrida raksasa seberat 30 kilogram, setara dengan berat rata-rata anak berusia 10 tahun. Ikan unik tersebut, yang dijuluki The Carrot, ditangkap di BlueWater Lakes, sebuah lokasi pemancingan terkenal di kawasan Champagne, Prancis.

    Ikan bernama The Carrot ini bukan ikan sembarangan. Ia merupakan hasil persilangan antara ikan mas dan ikan koi, dilepaskan ke perairan BlueWater sekitar 20 tahun lalu. Seiring waktu, The Carrot tumbuh menjadi salah satu ikan mas terbesar di dunia, menarik perhatian para pemancing internasional yang berburu rekor.

    Pemancing asal Inggris bernama Andy Hackett menjadi sosok beruntung yang berhasil menangkapnya pada 2022. Ia butuh waktu sekitar 25 menit untuk menarik ikan raksasa itu ke permukaan. Setelah berfoto dengan tangkapannya, Hackett dengan hati-hati melepaskan kembali The Carrot ke perairan agar tetap hidup dan berkembang.

    Mengapa Ikan Mas Bisa Tumbuh Sebesar Itu?

    Ukuran ikan mas sangat bergantung pada lingkungannya. Dalam akuarium kecil, ikan cenderung tetap kecil karena stres dan keterbatasan ruang. Namun jika dipelihara di tangki besar atau danau buatan dengan pakan melimpah, pertumbuhannya bisa sangat cepat.

    Lingkungan seperti BlueWater Lakes memberikan kondisi ideal bagi ikan seperti The Carrot untuk mencapai ukuran luar biasa-panjang lebih dari 1 meter dan berat 30 kilogram. Tak hanya luas, area perairan kaya nutrisi.

    Faktor lain, sebagai spesies hibrida karper-koi, The Carrot memiliki kemampuan adaptasi tinggi dan metabolisme cepat yang memungkinkan pertumbuhan ekstrem. Dalam kondisi ideal, ikan mas dapat terus tumbuh selama hidupnya.

    Ikan Mas, Si Penakluk Ekosistem

    Di berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Kanada, ikan mas telah dianggap sebagai spesies invasif. Mereka kerap mengaduk dasar danau, merusak tanaman air, serta mengganggu keseimbangan ekosistem. Dengan nafsu makan besar, ikan mas dapat memakan hampir semua jenis organisme kecil di perairan.

    Selain itu, ikan mas juga dapat membawa parasit dan penyakit yang berpotensi menular ke ikan lokal. Karena itu, sejumlah negara melarang keras praktik pembuangan ikan peliharaan ke sungai atau danau.

    (afr/afr)

  • Heboh! Nenek Ini Masuk RS Usai Makan 8 Katak Hidup, Niatnya Obati Sakit Punggung

    Heboh! Nenek Ini Masuk RS Usai Makan 8 Katak Hidup, Niatnya Obati Sakit Punggung

    Jakarta

    Seorang nenek berusia 82 tahun di China dilarikan ke rumah sakit setelah makan 8 ekor katak hidup. Awalnya, ia berniat mengobati masalah nyeri punggung bawahnya.

    Keputusan itu diambil oleh pasien karena mengetahui sebuah kepercayaan memakan amfibi hidup-hidup dapat meredakan rasa sakit, hernia nukleus pulposus (HNP). Pada bulan September, ia meminta keluarganya untuk menangkap katak, meski saat itu ia tak menjelaskan untuk apa katak tersebut.

    Setelah mendapatkan 3 katak, perempuan dengan nama keluarga Zhang itu langsung mengonsumsinya hidup-hidup. Keesokan harinya, ia mengonsumsi lima ekor lagi katak hidup.

    Tak lama berselang, Zhang mengalami keluhan nyeri perut luar biasa. Ia akhirnya dilarikan ke rumah sakit.

    “Ibu saya memakan delapan katak hidup. Sekarang rasa sakit yang tajam membuatnya tidak bisa berjalan,” ujar salah seorang putra Zhang, dikutip dari Metro, Minggu (12/10/2025).

    Melalui hasil pemeriksaan, dokter menyebut Zhang mengalami infeksi parasit. Dokter dari rumah sakit tersebut mengaku ini bukanlah kejadian yang pertama kali.

    Pada tahun 2015, seorang pasien wanita berusia 29 tahun menjalani operasi pengangkatan parasit sepanjang 10 cm, dari kepalanya. Belakangan diketahui pasien ini telah mengonsumsi katak hidup sejak usia 5 tahun.

    “Menelan katak hidup telah merusak sistem pencernaan pasien dan menyebabkan munculnya beberapa parasit di tubuhnya (pasien nenek-nenek), termasuk sparganum,” ujar dokter.

    Sparganum adalah bentuk larva dari cacing pita Spirometra yang dapat menginfeksi manusia melalui air atau daging hewan seperti katak, ular, atau ikan yang dikonsumsi mentah. Infeksi ini disebut sparganosis, dan dapat menyebabkan benjolan, nyeri, atau peradangan di jaringan tubuh, termasuk otak dan mata.

    Hewan memang sering digunakan dalam pengobatan tradisional China. Beberapa di antaranya termasuk katak, empedu ular, dan salamander, untuk mengatasi berbagai penyakit. Salamander raksasa dipercaya dapat membantu mengobati anemia dan disentri, sementara katak dan berudu sering digunakan untuk mengatasi masalah kulit.

    Namun, sebagian besar dokter memperingatkan bahwa mengonsumsi hewan-hewan ini dalam keadaan mentah atau hidup dapat menyebabkan komplikasi kesehatan yang serius.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)