Teka-teki Sosok di Belakang Topan Ginting yang Beri Perintah Terima Suap
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) menelusuri sosok di balik
Topan Obaja Putra Ginting
(TOP), Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi
Sumatera Utara
nonaktif, dalam kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan jalan.
KPK menduga Topan menerima suap dalam proyek pembangunan jalan tersebut atas perintah pihak lain.
“Kami juga menduga-duga bahwa TOP ini bukan hanya sendirian. Oleh sebab itu, kami akan lihat ke mana yang bersangkutan berkoordinasi dengan siapa, atau mendapat perintah dari siapa,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Lantas, siapa sosok tersebut?
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, penyidik masih melakukan pendalaman untuk menelusuri siapa pihak yang diduga memberikan perintah tersebut.
“Terkait hal tersebut masih didalami penyidik,” kata Budi kepada Kompas.com, Minggu (27/7/2025).
Budi menyebutkan, proses penyidikan perkara terkait kasus ini masih terus berjalan.
Dia juga mengatakan, pemeriksaan terhadap para saksi masih dilakukan untuk menguatkan petunjuk dan keterangan yang dibutuhkan.
Namun, dia tak menyebutkan lama proses pendalaman berlangsung.
“Penyidikan perkara masih berjalan, pemeriksaan para saksi masih terus berlangsung, dengan pendalaman-pendalaman keterangan yang dibutuhkan penyidik untuk mengungkap dan membuat terang perkara ini,” ujar Budi.
Berdasarkan catatan Kompas.com, hingga kini, KPK telah memeriksa sejumlah saksi dalam kasus proyek jalan di Sumut ini.
Mereka yang telah diperiksa di antaranya, sebagai berikut:
KPK mengungkap, penyidik mendalami keterangan Yasir Ahmadi terkait adanya aliran uang dalam proyek jalan tersebut.
“Tentu bagaimana proses pengadaannya, kemudian aliran uangnya ke pihak mana saja, itu semua ditelusuri oleh penyidik sehingga dalam perkembangannya tidak hanya terkait dengan proyek-proyek di Balai Besar PJN 1 Wilayah Sumut dan juga di PUPR Provinsi Sumatera Utara,” ujar Budi di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (23/7/2025).
KPK juga menemukan petunjuk terkait proyek yang dikerjakan oleh salah satu tersangka dalam kasus proyek jalan tersebut, yaitu Akhirun Efendi (KIR).
KPK juga menjadwalkan pemeriksaan Kajari Mandailing Natal, Muhammad Iqbal pada 18 Juli 2025 lalu.
Namun, pemeriksaan belum bisa dilakukan karena membutuhkan koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
KPK juga telah memanggil eks Bupati Mandailing Natal periode 2021-2024, Muhammad Jafar Sukhairi pada 16 Juli 2025.
Namun, KPK belum menyampaikan hasil pemeriksaannya.
KPK telah memeriksa eks Penjabat (PJ) Sekretaris Daerah Sumatera Utara (Sumut) M.
Ahmad Effendy Pohan pada Selasa (22/7/2025).
Dalam pemeriksaan tersebut, penyidik mendalami proses pergeseran anggaran dalam proyek pembangunan jalan di Sumut.
Selain itu, penyidik juga belum memastikan apakah Gubernur Sumut Bobby Nasution mengetahui adanya pergeseran anggaran tersebut.
“Kami belum bisa sampaikan secara detail materi penyidikan ini namun, secara umum yang didalami terhadap saksi yang hari ini dipanggil adalah terkait dengan pergeseran anggaran tersebut,” ujar Budi.
KPK juga telah memeriksa istri Topan Ginting, Isabella Pencawan pada 21 Juli 2025.
Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih, Jakarta.
Dalam pemeriksaan tersebut, penyidik mendalami keterangan Isabella terkait dengan temuan uang Rp 2,8 miliar dari penggeledahan di rumahnya pada Rabu (2/7/2025).
Dalam perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut) pada 28 Juni 2025.
Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting (TOP); Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, Rasuli Efendi Siregar (RES); Pejabat Pembuat Komitmen di Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto (HEL); Direktur Utama PT DNG, M. Akhirun Efendi Siregar (KIR); serta Direktur PT RN, M. Rayhan Dulasmi Pilang (RAY).
Penindakan ini menyeret pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut.
KPK sebelumnya menggelar dua operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek jalan di Sumatera Utara.
Dari hasil penelusuran, total nilai proyek yang diduga bermasalah mencapai Rp 231,8 miliar.
Dugaan korupsi bermula saat Direktur Utama PT DNG, Akhirun Efendi Siregar (KIR) bersama Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting (TOP), dan Kepala UPTD Gunung Tua merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Rasuli Efendi Siregar (RES), meninjau lokasi proyek secara langsung di Sipiongot pada April 2025.
Dalam pertemuan itu, Topan (TOP) memerintahkan agar proyek senilai Rp 157,8 miliar diberikan langsung kepada Akhirun Efendi (KIR) tanpa lelang resmi.
Selanjutnya, Akhirun Efendi (KIR) dan timnya melakukan pengaturan agar PT DNG menang dalam sistem e-katalog.
Prosesnya diduga diatur bersama Rasuli Efendi Siregar (RES) dan staf UPTD.
Untuk menutupi jejak, mereka bahkan menyarankan agar proyek lain ditayangkan terpisah agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Sebagai imbalan atas pengaturan itu, Rasuli Efendi Siregar (RES) diduga menerima uang dari Akhirun Efendi (KIR) dan Rayhan Dulasmi (RAY), anak KIR yang menjabat Direktur PT RN, melalui transfer rekening.
KPK juga menduga Topan Ginting (TOP) menerima aliran dana serupa lewat perantara.
Dalam konstruksi kedua, KPK menyebut bahwa Heliyanto (HEL), PPK Satker PJN Wilayah I Sumut, juga diduga menerima uang sebesar Rp 120 juta dari Akhirun Efendi (KIR) dan Rayhan Dulasmi (RAY) sepanjang Maret 2024 hingga Juni 2025.
Dana itu diberikan sebagai bentuk imbalan atas pengaturan proyek dalam sistem e-katalog agar PT DNG dan PT RN milik keluarga Akhirun Efendi (KIR) ditetapkan sebagai pemenang.
Proyek-proyek yang dimenangkan di antaranya juga mencakup jalan-jalan strategis dengan nilai ratusan miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: OTT KPK
-
/data/photo/2025/07/09/686e1ab81bdbc.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Teka-teki Sosok di Belakang Topan Ginting yang Beri Perintah Terima Suap Nasional
-

23 Pejabat Kecamatan dan Desa Terjaring OTT saat Sedang Rapat Persiapan Kemerdekaan RI
Fajar.co.id, Lahat — 23 orang pejabat yang terdiri dari kepala desa, camat, serta pengurus Kecamatan Pagar Gunung, Kabupaten Lahat terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Kejari Lahat, Sumatera Selatan (Sumsel).
Melansir kantor berita nasional Antara, rombongan kades dan camat yang terjaring OTT tiba menggunakan mobil ke Kantor Kejati Sumsel, Kamis (24/7/2025), pukul 22.17 WIB.
Saat turun dari mobil para kades dan camat berbaris dan tampak tertunduk lesu. Neberapa dari mereka bahkan masih menggunakan pakaian dinas.
2 orang di antara yang terjaring operasi tangkap tangan Kejari Lahat, ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga memeras kepala desa lain sebesar Rp7 juta untuk kepentingan pribadi.
Setelah diperiksa secara intensif oleh penyidik, dua kepala desa di Kecamatan Pagar Gunung ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan.
Kedua tersangka diduga melakukan pemerasan terhadap kepala desa lain sebesar Rp7 juta, dengan alasan kontribusi kegiatan sosial serta forum silaturahmi dengan instansi pemerintah.
Namun dalam pelaksanaannya, aliran dana tersebut tidak jelas penggunaannya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Kejari Lahat melakukan OTT terhadap para kades dan camat saat sedang melakukan rapat koordinasi menyambut HUT ke-80 Kemerdekaan RI di Kantor Camat Pagar Gunung, Kabupaten Lahat.
Dari hasil operasi itu aparat penyidik turut menyita barang bukti berupa uang tunai lebih dari Rp60 juta.
Dana itu diduga berasal dari praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan atas permintaan camat kepada para kades dengan berbagai alasan. (bs-sam/fajar)
-

KPK Diminta Periksa Tim Transisi Gubernur Bobby Nasution
GELORA.CO -Tim transisi Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution perlu diperiksa KPK untuk menguliti kasus suap korupsi Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting.
Presidium Mimbar Rakyat Anti Korupsi (Marak), Arief Tampubolon berujar, tim transisi diduga terlibat melakukan pergeseran APBD Sumut sehingga menyebabkan praktik rasuah.
“Kami meminta KPK juga segera memeriksa tim transisi Bobby yang kabarnya menjadi para pelaku pergeseran anggaran APBD, salah satunya adalah proyek infrastruktur yang di-OTT KPK. Selain itu juga proyek jembatan Idano Nayo di Nias yang juga tidak tertulis dalam APBD Sumut 2025 dan lainnya,” ungkap Arief dikutip dari RMOLSumut, Sabtu, 26 Juli 2025.
Selain tim transisi Gubernur Sumut, KPK juga diminta memeriksa para Kepala OPD Pemprov Sumut, terkhusus yang dinonaktifkan Bobby dan yang mengundurkan diri.
“Dari pemeriksaan tim transis dan kepala OPD, kita meyakini akan terungkap benang merah korupsi Kadis PUPR Sumut Topan Ginting yang ditangkap KPK,” katanya.
Menurut Arief, keberadaan tim transisi Gubernur Sumut telah menggantikan posisi dan peran tim anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprov Sumut yang bertanggung jawab atas APBD.
Pergeseran anggaran yang dilakukan telah mengubah program kerja satu tahun anggaran. Termasuk anggaran pokir (pokok pikiran) dari 100 anggota DPRD Sumut yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat.
“Kita dukung semua diperiksa KPK agar kasus korupsi Topan Ginting yang ditangkap KPK terang-benderang, siapa saja yang menerima, dan menikmati aliran dananya,” jelas Arief.
-
/data/photo/2025/07/02/6864b18b60886.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Duga Topan Ginting Tak Kerja Sendiri, Dapat Perintah untuk Terima Suap Nasional 26 Juli 2025
KPK Duga Topan Ginting Tak Kerja Sendiri, Dapat Perintah untuk Terima Suap
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com-
Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) menduga Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara nonaktif Topan Obaja Putra Ginting (TOP) mendapatkan perintah untuk menerima suap dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek pembangunan jalan.
“Kami juga menduga-duga bahwa TOP ini bukan hanya sendirian. Oleh sebab itu, kami akan lihat ke mana yang bersangkutan berkoordinasi dengan siapa, atau mendapat perintah dari siapa,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (25/7)/2025), dikutip dari
Antara
.
Asep menjelaskan penelusuran tersebut dilakukan dengan menggali informasi melalui keluarga Topan Obaja Putra Ginting.
“Misalkan yang bersangkutan sampai saat ini masih belum memberikan keterangan, kami juga tidak akan berhenti sampai di sana. Kami akan mencari keterangan dari pihak-pihak yang lain, termasuk juga informasi dari barang bukti elektronik yang saat ini masih sedang kami buka di laboratorium forensik kami,” kata Asep.
Oleh karena itu, KPK saat ini sedang mendalami dua hal dalam penyidikan kasus di Sumut itu, yakni alur perintah serta aliran dana terkait tindak pidana korupsi.
“Alur perintahnya tentunya mendahului dari proses tadi kan. Pasti perintahnya dulu kan awalnya, memerintahkan gini-gini, baru dieksekusi. Setelah dieksekusi, baru uangnya dibagikan,” ujar dia.
Sebelumnya, pada 26 Juni 2025, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus dugaan korupsi pada proyek pembangunan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Sumut, dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut.
Selanjutnya, pada 28 Juni 2025, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus yang terbagi menjadi dua klaster tersebut, yakni Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting (TOP), Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Gunung Tua Dinas PUPR Sumut merangkap pejabat pembuat komitmen Rasuli Efendi Siregar (RES).
Kemudian, PPK di Satker PJN Wilayah I Sumut Heliyanto (HEL), Dirut PT Dalihan Natolu Group M. Akhirun Efendi (KIR), dan Direktur PT Rona Na Mora M. Rayhan Dulasmi Piliang (RAY).
Klaster pertama berkaitan dengan empat proyek pembangunan jalan di lingkungan Dinas PUPR Sumut, sedangkan klaster kedua terkait dua proyek di Satker PJN Wilayah I Sumut.
Total nilai enam proyek di dua klaster tersebut sekitar Rp231,8 miliar.
Untuk peran para tersangka, KPK menduga M. Akhirun Efendi dan M. Rayhan Dulasmi Piliang sebagai pemberi dana suap.
Sementara penerima dana di klaster pertama adalah Topan Obaja Putra Ginting dan Rasuli Efendi Siregar, sedangkan di klaster kedua adalah Heliyanto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/25/6883409c3145a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Vonis Hasto: Tak Terbukti Rintangi Kasus Harun Masiku, Dihukum karena Suap Nasional 26 Juli 2025
Vonis Hasto: Tak Terbukti Rintangi Kasus Harun Masiku, Dihukum karena Suap
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sidang kasus suap dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku yang menjerat Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan
Hasto Kristiyanto
telah berakhir.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara terhadap Hasto karena dinilai terbukti menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 Wahyu Setiawan.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” kata ketua majelis hakim Rios Rahmanto di ruang sidang Kusumah Atmaja, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
Selain pidana badan, Hasto juga dihukum membayar denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan penjara.
Vonis terhadap Hasto ini lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni 7 tahun penjara.
Hakim menilai, Hasto terbukti menyiapkan uang Rp 400 juta untuk menyuap Wahyu agar Harun Masiku dapat menjadi anggota DPR periode 2019-2024 lewat mekanisme pergantian antarwaktu.
Namun, hakim berpandangan bahwa Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan Harun Masiku sebagaimana dakwaan pertama jaksa KPK.
Bagaimana jelasnya putusan hakim pada
sidang vonis Hasto
Kristiyanto kemarin?
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan
kasus Harun Masiku
.
Anggota majelis hakim dalam sidang tersebut, Sunoto, menyampaikan, majelis sependapat dengan ahli pidana Khairul Huda dan Mahrus Ali bahwa Pasal 21 itu merupakan delik materiil yang mensyaratkan adanya bukti nyata penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang yang gagal.
“Namun dalam perkara ini tidak terbukti adanya kegagalan penyidikan karena faktanya penyidikan terhadap Harun Masiku tetap berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku,” kata Sunoto.
Menurut hakim, fakta persidangan menunjukkan bahwa KPK yang mengusut perkara ini, pada kenyataannya, melanjutkan penyidikan kasus Harun Masiku.
Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) tanggal 9 Januari 2020 yang menetapkan sejumlah tersangka terkait Harun Masiku.
Di sisi lain, tudingan jaksa bahwa Hasto memerintahkan stafnya, Kusnadi, untuk merendam handphone pada 6 Juni 2024 juga terbantahkan karena perangkat keras itu disita KPK pada 10 Juni 2024.
“(Handphone) dapat disita KPK pada 10 Juni 2024, pengakuan saksi penyidik bahwa koordinat Harun Masiku sudah diketahui KPK,” tutur Sunoto.
Menurut hakim, jaksa hanya berasumsi bahwa sosok “Bapak” yang memerintahkan Harun Masiku merendam handphone adalah Hasto.
Adapun kata “Bapak” menjadi salah satu materi yang dinilai sebagai indikasi dan terkait bukti bahwa Hasto mengarahkan Harun sehingga lolos dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 8 Januari 2020.
Pesan untuk merendam
handphone
disampaikan petugas keamanan Rumah Aspirasi, Nurhasan, kepada Harun melalui telepon yang disadap KPK.
“Menimbang bahwa terhadap replik JPU yang menyatakan Nurhasan dan Harun Masiku sudah jelas memahami siapa ‘Bapak’ yang dimaksud tanpa perlu bertanya lebih lanjut, majelis perlu mempertimbangkan bahwa interpretasi ini bersifat asumtif dan tidak didukung bukti konkrit yang menunjukkan langsung kepada terdakwa,” ujar hakim Sunoto.
Sementara, majelis hakim menyatakan Hasto terbukti menyediakan dana Rp 400 juta untuk menyuap Wahyu Setiawan guna memuluskan pengurusan PAW Anggota DPR Harun Masiku.
“Menimbang berdasarkan analisis komprehensif terhadap bukti komunikasi yang otentik, inkonsistensi pernyataan saksi antara persidangan terdahulu dengan persidangan ini serta analisis linguistik yang memperkuat interpretasi komunikasi, majelis berkesimpulan bahwa dana Rp 400 juta yang diserahkan Kusnadi kepada Doni Tri Istiqomah pada 16 Desember 2019 berasal dari terdakwa (Hasto) bukan dari Harun Masiku sebagaimana yang dipersidangkan terlebih dahulu,” kata hakim.
Hakim mengatakan, pernyataan Hasto yang menyebutkan tidak menyerahkan uang Rp 400 juta tidak dapat diterima dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.
“Menimbang bahwa dengan demikian, pernyataan terdakwa yang tidak menyerahkan dana Rp 400 juta tidak dapat diterima dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah terdakwa yang menyediakan dana tersebut untuk operasional suap kepada Wahyu Setiawan,” ujarnya.
Hakim juga menyebut Hasto Kristiyanto sejak awal berkomitmen menyediakan dana talangan suap sebesar Rp 1,5 miliar untuk Harun Masiku.
“Menimbang pola komunikasi yang konsisten pada rekaman percakapan 13 Desember 2019 yang menyebutkan ‘jadi mas Hasto nalangi full 1,5 (Rp 1,5 miliar)’ menunjukkan sejak awal terdakwa (Hasto Kristiyanto) berkomitmen untuk menyediakan dana talangan penuh apabila diperlukan,” kata hakim Sigit Herman Binaji
Sigit mengatakan, komitmen Hasto tersebut terbukti saat adanya penyerahan dana sebesar Rp 400 juta melalui staf pribadinya.
“Realisasinya terbukti pada penyerahan dana Rp 400 juta pada 16 Desember 2019,” ujar Sigit.
Majelis hakim menilai Hasto telah merusak citra lembaga Pemilu.
Selain itu, Hasto dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Perbuatan terdakwa dapat merusak citra lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya independen dan berintegritas,” tutur hakim.
Di sisi lain, ada sejumlah hal yang meringankan
vonis Hasto
.
Hasto telah bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dihukum, dan memiliki tanggungan keluarga.
“Terdakwa (juga) telah mengabdi pada negara melalui berbagai posisi publik,” ucap Hakim.
Hal meringankan selanjutnya adalah Hasto punya tanggungan keluarga.
“Terdakwa memiliki tanggungan keluarga,” ujar Hakim Ketua Rios Rahmanto di tempat yang sama.
Menanggapi putusan tersebut, Hasto menilai dirinya telah menjadi korban dari komunikasi anak buahnya.
“Saya menjadi korban dari komunikasi anak buah, di mana di dalam persidangan ini juga, seluruh dana, di bawah sumpah ya, itu dana berasal dari Harun Masiku,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa di dalam Putusan Nomor 18 dan 28 Tahun 2020 terkait perkara yang sama telah terungkap bahwa seluruh dana yang diduga dipakai untuk menyuap penyelenggara pemilu berasal dari Harun Masiku.
“Termasuk ada suatu fakta yang sangat penting, bahwa dana dari Harun Masiku yang pertama itu bukanlah Rp 400 juta, sebagai hasil utak atik gathuk Rp 600 (juta) dikurangi Rp 200 (juta) menjadi Rp 400 (juta),” kata Hasto.
“Tetapi adalah Rp 750 juta. Dan itu yang juga kami tegaskan di pleidoi juga di dalam sidang Nomor 18 dan 28/2020 tersebut,” ucap dia.
Kendati demikian, ia menerima vonis tersebut dengan kepala tegak.
“Karena itulah kepada simpatisan anggota PDI-P khususnya dari DPP, DPD, DPC, seluruh anak ranting, ranting PAC, rapdam hingga satgas partai kami mengucapkan terima kasih atas dukungannya, dengan putusan ini kepala saya tegak,” ujar Hasto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5295478/original/078028600_1753444332-5c9deeb5-46db-42f3-91cd-02a4f4ae891a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto Kristiyanto: Kepala Saya Tegak, Kita Lawan Ketidakadilan! – Page 3
Meski demikian, Hasto merasa putusan hakim tersebut sarat kepentingan politik. Dia menduga ada upaya pihak tertentu untuk mengganggu konsolidasi PDIP jelang Kongres 2025.
“Apalagi ini berkaitan juga dengan agenda konsolidasi partai Sejak awal dikatakan bahwa ada yang mau mengganggu Kongres PDI Perjuangan. Mau mengawut-awut Kongres PDI Perjuangan,” ungkap Hasto.
Hasto juga menyinggung peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Januari 2020. Menurut dia, OTT tersebut telah dimanfaatkan secara politis sejak awal.
“Proses ini ketika bulan Januari 2020, terjadi OTT itu sudah ada motif politik saat itu headline-nya di salah satu majalan yang terkenal: operasi yang gagal. Karena mengapa gagal, karena yang ditarget adalah saya,” ujar dia.
Reporter: Nur Habibie
Sumber: Merdeka.com
-

Hakim Sebut Jaksa Tak Bisa Buktikan Hasto Rintangi Penyidikan Kasus Harun Masiku
Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menyatakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa membuktikan dakwaan perintangan penyidikan oleh Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, pada kasus Harun Masiku.
Hal itu disampaikan berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim pada surat putusan terhadap Hasto, Jumat (25/7/2025).
“Dapat disimpulkan, pertama meskipun unsur setiap orang telah terpenuhi pada terdakwa Hasto Kristiyanto sebagai individu yang mampu berbuat dan bertanggung jawab secara hukum, namun unsur kedua yang merupakan unsur inti dari delik tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan,” ujar Hakim Anggita Sunoto di PN Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
Sunoto lalu memaparkan bahwa unsur dengan sengaja merintangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di persidangan tidak terbukti, lantaran tidak adanya alat bukti konkret dari JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Upaya perintangan dimaksud yakni pada 8 Januari 2020, di mana Hasto didakwa menyuruh Harun Masiku melalui Nur Hasan untuk menenggelamkan ponselnya ke dalam air ketika OTT terhadap anggota KPU 2017-2022, Wahyu Setiawan.
“Sebagaimana dikonfirmasi ahli forensik yang tidak pernah memeriksa HP dalam keadaan terendam air,” terang Hakim.
Kemudian, Hakim juga menyatakan tidak terbukti adanya kegagalan penyidikan lantaran KPK tetap bisa melakukan penyidikan terhadap kasus Harun Masiku. Selain itu, pendapat Hakim turut didukung oleh kesaksian penyelidik KPK, Arif Budi Raharjo, bahwa tidak melihat Hasto di PTIK, pada saat malam terjadinya OTT KPK.
Di samping itu Hakim Anggota Sunoto juga menjelaskan bahwa perbuatan obstruction of justice pada 8 Januari 2020 yang didakwakan ke Hasto terjadi saat perkara masih dalam tahap penyelidikan. Harun Masiku pun baru ditetapkan tersangka pada 9 Januari 2020.
Hakim menyimpulkan dari pendapat ahli bahwa pasal 21 UU Tipikor adalah delik materiil yang mensyaratkan adanya akibat konkret berupa terganggunya atau gagalnya proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di persidangan.
“Di mana akibat konkret itu tidak terbukti di dalam perkara ini,” ujar Sunoto.
Selain pasal 21, Hakim menyatakan bahwa pasal 65 ayat (1) KUHP tidak bisa diterapkan karena tidak ada kejahatan yang terbukti.
Dengan demikian, Majelis Hakim berpendapat bahwa Hasto harus dibebaskan dari dakwaan kesatu pasal perintangan penyidikan.
“Menimbang bahwa berdasarkan pasal 191 ayat 1 KUHAP, jika dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan sehingga Majelis berkesimpulan bahwa terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kesatu, melanggar pasal 21 UU Tipikor juncto pasal 65 ayat (1) KUHP,” terangnya.
Meski demikian, JPU sebelumnya turut menyampaikan dakwaan alternatif yakni pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor r jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Hasto didakwa ikut memberikan uang suap kepada Wahyu Setiawan bersama-sama dengan Harun Masiku, untuk keperluan pencalonan anggota DPR PAW 2019-2024.
Sebelumnya, pada sidang pembacaan tuntutan dari JPU KPK, Kamis (3/7/2025), Hasto dituntut hukuman pidana penjara selama tujuh tahun dan denda Rp600 juta subsidair enam bulan kurungan.
JPU meminta Majelis Hakim menyatakan Hasto terbukti melakukan obstruction of justice, yakni mencegah penyidikan pada 8 Januari 2020, serta merintangi penyidikan pada 6 Juni 2024.
Hakim juga diminta menyatakan Hasto terbukti ikut memberikan suap kepada Wahyu Setiawan, di antaranya senilai Rp400 juta.
-
/data/photo/2025/07/25/6883409c3145a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Hasto Kristiyanto Divonis 3,5 Tahun Penjara Terkait Kasus Suap Harun Masiku Nasional
Hasto Kristiyanto Divonis 3,5 Tahun Penjara Terkait Kasus Suap Harun Masiku
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan
Hasto Kristiyanto
divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap perkara
Harun Masiku
.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Rios Rahmanto menyebutkan, Hasto terbukti bersalah terlibat menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 Wahyu Setiawan.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” kata hakim Rios di ruang sidang Kusumah Atmaja, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
Majelis hakim menyimpulkan, berdasarkan fakta persidangan, tindakan Hasto terbukti memenuhi unsur Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur delik pemberi suap.
Sementara itu, majelis hakim menyatakan Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan terhadap Harun Masiku sebagaimana dakwaan pertama jaksa KPK.
Selain pidana badan, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda Rp 250.000.000.
“Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 3 bulan,” ujar Rios.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 7 tahun penjara.
Sebelumnya, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengacara Hasto telah bertarung sengit selama beberapa bulan terakhir pada tahap pembuktian, penuntutan, pleidoi, replik, dan duplik.
Selama persidangan, jaksa KPK meyakini Hasto menghalangi operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020 yang membuat Harun Masiku lolos.
Ia disebut memerintahkan Harun melalui orang lain agar merendam handphone.
Selain itu, ia juga dituding memerintahkan staf pribadinya, Kusnadi, untuk merendam handphone beberapa hari menjelang pemeriksaan di KPK pada 10 Juni 2024.
Jaksa KPK juga meyakini Hasto menalangi dana suap Harun Masiku
Dari Rp 1,5 miliar yang dibicarakan, baru Rp 400 juta yang cair.
Jaksa KPK kemudian menuntut Hasto 7 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Sementara itu, kubu Hasto membantah tuduhan KPK.
Menurut mereka, tidak ada satupun saksi di persidangan yang menyatakan keterlibatan Hasto dalam suap Harun Masiku.
Pihak Hasto menilai jaksa KPK menyelundupkan fakta dengan menghadirkan penyelidik dan penyidiknya sebagai saksi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

KPK Periksa Mantan Kapolres Tapsel di Kasus Proyek Jalan Sumut
Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap identitas polisi yang diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di lingkungan Dinas PUPR Sumatera Utara (Sumut) dan Satker Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumut.
Dia adalah mantan Kapolres Tapanuli Selatan (Tapsel) AKBP Yasir Ahmadi. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, Yasir sudah digeser ke jabatan lain di lingkungan Polda Sumut dan digantikan oleh AKBP Yon Edi Winara.
“Itu mantan Kapolres Tapanuli Selatan,” ungkap Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Asep menyebut AKBP Yasir sudah diperiksa oleh KPK, namun tidak diperinci lebih lanjut kapan.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebut anggota kepolisian itu diperiksa terkait dengan proyek-proyek pembangunan jalan di Sumut, proses pengadaannya, serta ke mana saja aliran uang dari proyek dimaksud.
“Itu semuanya ditelusuri oleh penyidik sehingga dalam perkembangannya juga tidak hanya terkait dengan proyek-proyek di balai besar PJN 1 wilayah Sumut, dan juga di PUPR provinsi Sumatera Utara ya,” ungkapnya.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, KPK telah menetapkan lima orang tersangka yaitu Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting, Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Rasuli Efendi Siregar, serta PPK Satker PJN Wilayah I Sumut Heliyanto.
Kemudian, dua orang tersangka swasta meliputi Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup M. Akhirun Efendi Siregar, serta Direktur PT Rona Na Mora Rayhan Dulasmi Pilang.
Terdapat empat proyek di lingkup Dinas PUPR Sumut yang diduga terkait dengan suap dimaksud, sedangkan dua proyek di lingkungan Satker PJN Wilayah I Sumut. Total nilai proyek yang tengah diusut KPK yaitu Rp231,8 miliar.
Para tersangka penyelenggara negara diduga melakukan penunjukan langsung kepada para tersangka swasta untuk menggarap sejumlah proyek pembangunan jalan itu.
Para tersangka swasta lalu diduga memberikan uang melalui transfer atas pengaturan proses e-katalog.
Penyidikan kasus tersebut berangkat dari kegiatan operasi tangkap tangan beberapa waktu lalu usai memperoleh informasi terkait dengan pertemuan dan penyerahan sejumlah uang.
Kemudian, terdapat informasi penarikan uang sebesar Rp2 miliar tersangka swasta untuk dibagi-bagikan ke pihak terkait. Untuk itu, KPK memutuskan untuk segera melakukan tangkap tangan kepada para pihak terkait untuk mencegah para tersangka swasta memeroleh proyek pembangunan jalan senilai total Rp231,8 miliar itu.
Hal tersebut kendati barang bukti yang berhasil diamankan masih sedikit yakni Rp231 juta, yang diduga sebagian atau sisa dari commitment fee proyek-proyek tersebut.
“Sehingga kita berharap nilai kontrak Rp231,8 miliar untuk membangun jalan di beberapa ruas jalan di Sumatra bisa dimenangkan perusahaan yang kredibel. Sehingga hasilnya nanti jalan yang dihasilkan bisa lebih baik, kualitasnya lebih baik, ini akan jadi hal positif untuk masyarakat,” papar Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers beberapa waktu lalu.
-

Hasto Kristiyanto Hadapi Vonis dengan Kepala Tegak, Guntur Romli: Keadilan Temukan Jalannya Sendiri
GELORA.CO – Politikus PDI Perjuangan (PDIP), Mohamad Guntur Romli, mengungkapkan Sekjen PDI Pejuangan Hasto Kristiyanto siap menghadapi vonis dengan kepala tegak.
Sidang putusan perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bakal digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (25/7/2025) siang nanti usai salat jumat.
“Bagi PDI Perjuangan, jika mempertimbangkan dari sisi hukum, fakta pengadilan melalui keterangan saksi dan alat bukti, seharusnya saudara sekjen bisa divonis bebas atau lepas. Karena tidak ada seorang pun keterangan saksi yang memberatkan,” kata Guntur Romli dalam keterangannya kepada Tribunnews Kamis (25/7/2025).
Diterangkannya dalam perkara perintangan penyidikan keterangan saksi Kusnadi dan Nurhasan membantah kalau ada perintah dari Hasto Kristiyanto. Untuk merendam dan menenggelamkan telepon gengam.
“Tidak ada barang bukti berupa telepon genggam yang dimasukkan ke air. Bahkan telepon genggam yang dimaksud telah dirampas oleh KPK,” imbuhnya.
Lanjutnya dari perkara suap, semua saksi di pengadilan menegaskan bahwa sumber uang suap dari Harun Masiku. Itu juga menegaskan putusan Pengadilan No 18 dan 28 tahun 2020 bahwa uang suap dari Harun Masiku.
“Bahkan menurut pengakuan Saeful Bahri, rencana suap dikreasi oleh dirinya dan Donny Tri Istiqomah. Hasto Kristiyanto tidak ada kepentingan pribadi terkait dilantiknya Harun Masiku sebagai anggota DPR RI,” terangnya.
Karena itu menurutnya Jaksa KPK juga gagal menunjukkan adanya mens rea dari Hasto Kristiyanto dalam perkara pidana yang dituduhkan yang sudah punya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (incracht) pada tahun 2020.
“Kalau dipaksakan divonis bersalah, maka kami memandang pertimbangannya bukan lagi hukum, namun pesanan dan intervensi politik, yang semakin menguatkan keyakinan kami sejak awal. Kasus ini penuh rekayasa, politisasi, krimininalisasi dan Hasto adalah Tahanan Politik,” tegasnya.
Lanjut Guntur, jika dipaksa dijebloskan ke penjara, bagi sekjen suatu kehormatan menapak-tilas jejak Bung Karno, bahwa segala risiko perjuangan harus dihadapi, meskipun harus masuk penjara.
“Karena penjara hanyalah tahanan buat fisik, namun ide dan pikiran bisa bebas terbang kemana pun. Perjuangan menegakkan keadilan, demokrasi dan kebebasan bersuara akan senantiasa berhadapan dengan mereka yang haus kekuasaan, penuh dendam politik dan menghalalkan segala cara meskipun dari bangsa sendiri,” ungkapnya.
Model perjuangan seperti itu kata dia yang disebut lebih sulit oleh Bung Karno melalui kata-katanya yang terkenal.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” kata Guntur menirukan ucapan Bung Karno.
Atas hal itu ia meyakini keadilan akan menemukan jalannya sendiri.
“Satyam Eva Jayate. Kebenaran Pasti Menang. Keadilan akan Menemukan Jalannya Sendiri,” tandasnya.
Sebagai informasi sidang putusan terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku dijadwalkan digelar pada Jumat, 25 Juli 2025, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jaksa sebelumnya menuntut Hasto 7 tahun penjara dalam kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku dan perintangan penyidikan.
Jaksa menganggap Hasto telah menghalangi KPK menangkap Harun Masiku, yang jadi buron sejak 2020.
Hasto diduga memberikan perintah pada Harun untuk berada di kantor DPP PDIP agar tak terlacak KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020.
Termasuk Hasto diduga memerintahkan Harun Masiku merendam handphone agar tak terlacak KPK. Sehingga aksi Hasto tersebut diduga membuat Harun Masiku belum tertangkap hingga saat ini