Topik: OTT KPK

  • 5
                    
                        Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
                        Nasional

    5 Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid Nasional

    Jatah Preman “Tujuh Batang” Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Setelah rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin (3/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan, pada Rabu (5/11/2025).
    Dua tersangka lain adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
    Gubernur Riau
    Dani M Nursalam.
    Abdul Wahid
    dan dua tersangka ditampilkan di ruang konferensi pers Gedung Merah Putih, Jakarta.
    Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi tahanan
    KPK
    dengan tangan diborgol.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    Dalam konferensi pers, KPK juga memamerkan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam pecahan dollar AS, poundsterling, dan rupiah yang disita dalam operasi senyap tersebut.
    Johanis mengatakan, kasus ini berawal dari
    Gubernur Riau Abdul Wahid
    yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
    fee
    sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
    KPK mengatakan,
    fee
    tersebut diberikan atas adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
    “Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
    fee
    sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ujar Johanis.
    “Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambung dia.
    Johanis mengatakan, pertemuan yang menyepakati besaran
    fee
    untuk Abdul Wahid dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
    Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah preman untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
    Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
    Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
    Selanjutnya, pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
    Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
    Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
    KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta, serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
    Pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, berserta 5 Kepala UPT.
    “Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
    Kemudian, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP meminjam uang di bank demi memenuhi setoran jatah preman tersebut.
    “Jadi, informasi yang kami terima dari para Kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain,” kata Asep.
    Asep juga mengatakan, uang hasil
    pemerasan
    tersebut digunakan Abdul Wahid untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara.
    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tutur dia.
    Adapun ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025 di Rutan KPK.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 5
                    
                        Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
                        Nasional

    5 Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid Nasional

    Jatah Preman “Tujuh Batang” Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Setelah rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin (3/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan, pada Rabu (5/11/2025).
    Dua tersangka lain adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
    Gubernur Riau
    Dani M Nursalam.
    Abdul Wahid
    dan dua tersangka ditampilkan di ruang konferensi pers Gedung Merah Putih, Jakarta.
    Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi tahanan
    KPK
    dengan tangan diborgol.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    Dalam konferensi pers, KPK juga memamerkan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam pecahan dollar AS, poundsterling, dan rupiah yang disita dalam operasi senyap tersebut.
    Johanis mengatakan, kasus ini berawal dari
    Gubernur Riau Abdul Wahid
    yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
    fee
    sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
    KPK mengatakan,
    fee
    tersebut diberikan atas adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
    “Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
    fee
    sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ujar Johanis.
    “Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambung dia.
    Johanis mengatakan, pertemuan yang menyepakati besaran
    fee
    untuk Abdul Wahid dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
    Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah preman untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
    Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
    Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
    Selanjutnya, pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
    Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
    Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
    KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta, serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
    Pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, berserta 5 Kepala UPT.
    “Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
    Kemudian, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP meminjam uang di bank demi memenuhi setoran jatah preman tersebut.
    “Jadi, informasi yang kami terima dari para Kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain,” kata Asep.
    Asep juga mengatakan, uang hasil
    pemerasan
    tersebut digunakan Abdul Wahid untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara.
    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tutur dia.
    Adapun ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025 di Rutan KPK.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Abdul Wahid Ditangkap KPK, Wagub SF Hariyanto Ditunjuk Jadi Plt Gubernur Riau

    Abdul Wahid Ditangkap KPK, Wagub SF Hariyanto Ditunjuk Jadi Plt Gubernur Riau

    Bisnis.com, PEKANBARU — Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menindaklanjuti situasi di Pemerintah Provinsi Riau pasca penetapan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT).

    Hanya dalam hitungan jam setelah pengumuman resmi KPK pada Rabu (5/11/2025), Kemendagri langsung menerbitkan radiogram bernomor 100.2.1.3/8861/SJ yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi Riau. 

    Dalam surat tersebut, Wakil Gubernur Riau SF Hariyanto secara resmi ditugaskan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau untuk mengambil alih seluruh kewenangan gubernur hingga adanya kebijakan lebih lanjut.

    Penunjukan tersebut ditegaskan dalam radiogram yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri, Tomsi Tohir, atas nama Menteri Dalam Negeri. 

    “Penunjukan Plt Gubernur ini dilakukan untuk memastikan roda pemerintahan dan pelayanan publik di Provinsi Riau tetap berjalan dengan baik,” demikian isi poin penting dalam surat tersebut.

    Langkah cepat ini diambil Kemendagri sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus memberikan kepastian hukum dan administratif pasca penetapan tersangka terhadap kepala daerah aktif.

    Dengan penugasan tersebut, SF Hariyanto kini resmi memimpin jalannya pemerintahan di Riau sebagai Plt Gubernur, termasuk mengoordinasikan seluruh kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik di tingkat provinsi.

    Sementara itu, Kemendagri juga menegaskan akan terus memantau perkembangan situasi di Riau serta berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk memastikan proses hukum terhadap Gubernur nonaktif Abdul Wahid berjalan sesuai ketentuan tanpa mengganggu stabilitas pemerintahan daerah.

    Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan tiga orang termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) karena diduga memeras dan atau melakukan korupsi terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. 

     “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudara DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers, Rabu (5/11/2025). 

    Johanis menjalankan bahwa, mulanya disepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 2,5%, sehingga penambahan anggaran yang semulanya Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar, naik Rp106 miliar.

  • Kisah Ustaz Abdul Somad Jadi Jurkam Abdul Wahid di Pilgub Riau

    Kisah Ustaz Abdul Somad Jadi Jurkam Abdul Wahid di Pilgub Riau

    JAKARTA – Tiada yang meragukan eksistensi Ustaz Abdul Somad (UAS) di dunia dakwah. Ia jadi sosok ulama yang berkarisma dan memiliki banyak pengikut. Prabowo Subianto saja pernah kepincut menjadikan UAS sebagai cawapres dalam Pilpres 2019 dan ditolak.

    UAS merasa hidupnya sudah cukup pada jalan dakwah. Ia tak mau sibuk dengan urusan politik Indonesia. Belakangan sikap UAS hindari dunia politik dipertanyakan. Ia justru jadi juru kampanye (jurkam) pasangan Abdul Wahid-Sf Hariyanto di Pilgub Riau.

    Kiprah UAS dalam dunia dakwah Indonesia mentereng. Kedalaman ilmu agama dan kejenakaan UAS jadi daya tarik utamanya. Kondisi itu membuat UAS mendapatkan tempat di hati umat Islam di Indonesia. Popularitas itu membuat kaum ulama kepincut.

    Ia diajukan mayoritas ulama lewat Ijtima Ulama jadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019. Keinginan segenap ulama disambut baik oleh Prabowo. Pasangan Prabowo-UAS dianggap mampu membendung jalan Joko Widodo (Jokowi) kembali berkuasa.

    Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) digiring petugas saat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/11/2025). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membawa sembilan orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Provinsi Riau pada Senin (3/11), salah satunya Gubernur Riau Abdul Wahid. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc/pri)

    Semuanya berubah kala UAS memilih jalannya sendiri. Ia tak bermaksud mengecilkan hati ulama dan mengecewakan Prabowo. Namun, UAS merasa jalan hidupnya bukan di dunia politik. Ia memilih mengabdi untuk dunia dakwah saja.

    Narasi itu bak ikhtiarnya mencerdaskan anak bangsa supaya cinta kepada agama dan negara. Keputusan UAS didukung banyak pihak. Kaum ulama dan Prabowo menghargai keputusan UAS. Ia juga tak ingin masuk jadi Jurkam dari Prabowo yang kemudian berpasangan dengan Sandiaga Uno.

    Namun, beberapa tahun setelahnya sikap UAS berubah. Ia dikabarkan menjadi jurkam dari tim kampanye pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati Hafit-Erizal di Pilkada Rokan Hulu 2020. Keputusan itu membuat UAS dikritik habis-habisan.

    Banyak yang menganggap UAS harusnya mengambil sikap yang sama seperti dirinya menolak jadi cawapres atau jurkam Prabowo. Ulama tak perlu ikut politik.

    “Harusnya ulama ya jadi ulama, bukan justru ikut terjun ke dalam pertarungan kepentingan. Motifnya bisa kita pahami, yakni untuk melakukan syiar Islam. Namun dengan cara mendorong orang tertentu yang dianggap sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan mereka. Sementara, jika berbicara agama, ya bisa saja. Sebab, semua calon beragama Islam.”

    “Beliau seorang ustaz, tokoh yang sifatnya sebagai referensi semua kalangan. Tetapi kalau berdiri di salah satu calon, dia berada dalam sebuah partai, sehingga dia berada di luar konteks sebagai ustaz atau ulama,” ungkap Pengamat politik Saiman Pakpahan sebagaimana dikutip laman detik.com, 27 November 2020.

    Jurkam Abdul Wahid-SF Hariyanto

    Andil UAS sebagai jurkam bukan melulu hadir kala Pilkada Rokan Hulu saja. UAS lagi-lagi jadi jurkam kala pasangan politisi Abdul Wahid-SF Hariyanto akan mengikuti Pilgub Riau 2024. UAS menganggap junjungannya dapat mendukung kemajuan agenda umat Islam di Riau.

    Dukungan juga diberikan UAS karena program dan visi misi junjungannya yang berpihak pada masyarakat. UAS pada dasarnya memahami posisinya sebagai ulama masuk dunia politik. Kondisi itu jelas mendatangkan kecaman dan kritik.

    Kritik itu mengalir deras lewat media sosial, dari Facebook hingga YouTube. Saban hari UAS selalu mendapatkan komentar buruk terkait langkahnya mendukung salah satu calon. Namun, UAS menganggap angin saja.

    Pendakwah, Ustaz Abdul Somad. (ANTARA/Muhammad Iqbal)

    Ia menegaskan Indonesia negara demokrasi. Wajar jika ulama juga menyatakan dukungan demi masa depan bangsa dan negara. Ada pula yang menganggap bahwa kadidat cagub dan cawagub Riau itu hanya memanfaatkan UAS belaka. Alias, kala mereka menang, segala bentuk janji politik atau nota kesepakatan yang disepakati takkan ditepati.

    UAS pun terus memberikan dukungan hingga Abdul Wahid-SF Hariyanto menang. Abdul Wahid dan SF Hariyanto jadi Gubernur dan Wakil Gubernur Riau yang baru. Belakangan Abdul Wahid jadi salah satu orang yang kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsi pada 3 November 2025.

    “Tetapi dengan ikut menyuarakan bang Abdul Wahid yang mengejek, yang mengolok, yang membuli di grup-grup orang kita sendiri, kawan kita sendiri. Tetapi bagi saya tidak peduli, karena niat saya supaya Riau ini lebih baik di masa yang akan datang. Kalau bapak ibu baca di YouTube, Facebook, Instagram orang mengejek saya, mencaci maki saya jangan balas. Kumpulkan sakit hati, balas pada 27 November coblos bang Abdul Wahid-SF Hariyanto,” ujar UAS sebagaimana dikutip laman detik.com, 17 Oktober 2024.

  • Kader PKB Gubernur Riau kena OTT KPK, Cak Imin: Jadi pembelajaran

    Kader PKB Gubernur Riau kena OTT KPK, Cak Imin: Jadi pembelajaran

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid yang juga kader partai tersebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan sebuah pembelajaran agar tidak terulang kembali.

    “Ya semua harus belajar dari pengalaman agar tidak terulang lagi,” kata Cak Imin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu.

    Dia menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada permintaan bantuan hukum dari yang bersangkutan kepada partai yang dipimpinnya

    Terkait status Abdul Wahid di PKB, Cak imin menyebut akan ada proses internal yang dijalankan sesuai mekanisme organisasi.

    “Pasti akan ada proses internal ya,” kata dia.

    Cak Imin tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kemungkinan pemberhentian Abdul Wahid dari keanggotaan partai itu.

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

    Selain Wahid, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka, yakni MAS selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau, serta DAN selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

    Ketiga tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

    Pewarta: Fathur Rochman
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Parah, Gubernur Riau Korupsi Demi Liburan ke Inggris-Brasil

    Parah, Gubernur Riau Korupsi Demi Liburan ke Inggris-Brasil

    Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan untuk pergi ke luar negeri mulai dari ke Inggris hingga Brasil. 

    Hal itu terungkap usai Abdul Wahid ditangkap dalam operasi tangkap tangan hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik lembaga antirasuah. 

    Adapun uang tersebut diperoleh dari fee 5% atau Rp7 miliar atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Fee tersebut naik satu kali lipat dari kesepakatan awal sebesar 2,5%.

    Namun, total uang penyerahan pada Juni – November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal.

    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang Poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri, ke Inggris, ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Asep mengatakan uang yang diminta Abdul Wahid dikumpulkan melalui tenaga ahli yang bernama Dani M Nursalam. 

    Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan bahwa pemberian fee telah direncanakan sejak bulan Mei 2025. Fee 2,5% saat Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau bertemu dengan 6 kepala UPT wilayah I-VI. 

    Hasil pertemuan disampaikan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan, di mana kemudian Arief sebagai representasi Abdul Wahid menaikan fee sebesar 5%.

    Johanis menuturkan bahwa Abdul Wahid memberikan ancaman pencopotan jabatan bagi pejabat yang tidak memberikan fee tersebut.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” ujarnya.

    Setelah mengumpulkan barang bukti, KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau Dani M Nursalam.

    Diketahui, Dani berperan menginstruksikan Ferry untuk mengumpulkan uang dari para Kepala UPT. Kendati demikian, KPK masih melakukan pendalaman terhadap Ferry untuk menemukan barang bukti yang cukup.

    KPK juga telah mengamankan uang senilai Rp800 juta. Kemudian melakukan penggeledahan di rumah Abdul Wahid di Jakarta Selatan dan mengamankan 9.000 poundsterling serta US$3.000 atau jika dirupiahkan sebesar Rp800 juta. Sehingga hasil penyitaan dari hasil tangkap tangan, KPK mengamankan Rp1,6 miliar.

  • Kadis PUPR Riau Pernah Ancam Copot Jabatan Kepala UPT jika Tidak Setor

    Kadis PUPR Riau Pernah Ancam Copot Jabatan Kepala UPT jika Tidak Setor

    GELORA.CO -Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau, M Arief Setiawan ternyata pernah mengancam akan mencopot atau mutasi Kepala UPT jika tidak memberikan fee 5 persen atas penambahan anggaran untuk Gubernur Riau Abdul Wahid.

    Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak yang menjelaskan soal kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 3 November 2025. 

    Ia menjelaskan, KPK mendapatkan informasi bahwa pada Mei 2025 terjadi pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara Ferry Yunanda (FRY) selaku Sekretaris Dinas PUPR PKP Pemprov Riau dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP untuk membahas kesanggupan pemberiaan fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid, yakni sebesar 2,5 persen.

    “Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar, terjadi kenaikan Rp106 miliar,” terang Tanak kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu, 5 November 2025.

    Ia menyebut Ferry telah menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Arief. Namun, Arief yang merepresentasikan Abdul Wahid meminta fee 5 persen atau sebesar Rp7 miliar.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” jelasnya.

    Lanjut Tanak, seluruh Kepala UPT beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 5 persen atau sebesar Rp7 miliar.

    “Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode ‘7 batang’,” ungkapnya.

    Dari kesepakatan tersebut, setidaknya terjadi 3 kali setoran fee jatah Abdul Wahid. Pada Juni 2025 terjadi setoran pertama, Ferry sebagai pengepul uang dari Kepala UPT mengumpulkan total Rp1,6 miliar. 

    Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara, yakni Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau. Kemudian, Ferry juga memberikan uang Rp600 juta kepada kerabat Arief.

    Selanjutnya pada Agustus 2025, atas perintah Dani sebagai representasi Abdul Wahid melalui Arief, Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT dengan uang terkumpul Rp1,2 miliar. Atas perintah Arief, uang tersebut di antaranya didistribusikan untuk driver Arief sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan Ferry senilai Rp300 juta.

    Kemudian pada November 2025, tugas pengepul dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, di antaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta, serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.

    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar,” kata Tanak.

    Dari hasil OTT, KPK resmi menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni Abdul Wahid, M Arief Setiawan, dan Dani M Nursalam. Ketiganya langsung ditahan sejak Selasa, 4 November 2025 di Rutan KPK. 

  • KPK Ungkap Modus “Jatah Preman” Gubernur Riau, Padahal APBD Defisit

    KPK Ungkap Modus “Jatah Preman” Gubernur Riau, Padahal APBD Defisit

    Jakarta, CNBC Indonesia – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap fakta operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyoroti praktik yang disebut sebagai “jatah preman”.

    Maksudnya adalah para kepala unit pelaksana teknis (UPT) Dinas PUPR-PKPP Riau sampai ada yang terpaksa meminjam uang ke bank demi menyetorkan dana kepada sang gubernur. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan mengenai dana dan alirannya dalam pemerasan ini.

    “Informasi yang kami terima, ada kepala UPT yang pakai uang sendiri, bahkan ada yang sampai gadai sertifikat dan pinjam ke bank untuk memenuhi permintaan itu,” kata Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

    KPK menilai, kasus ini sangat ironis karena terjadi saat keuangan daerah sedang krisis. Berdasarkan data, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau mengalami defisit Rp3,5 triliun. Angka itu terdiri dari defisit kas Rp1,3 triliun dan penundaan pembayaran sebesar Rp2,2 triliun.

    “APBD-nya defisit, uang daerah sedang seret. Tapi di saat seperti itu, justru masih ada permintaan uang dari bawahan. Ini benar-benar ironi,” ujar Asep.

    Kondisi defisit tersebut, lanjutnya, membuat sejumlah kepala UPT kesulitan mencari sumber dana. Sebagian akhirnya memotong dari rekanan proyek hingga meminjam dari pihak swasta agar bisa memenuhi setoran yang diminta.

    Modus “Jatah Preman” 5 Persen
    Dalam konstruksi perkara yang disampaikan KPK, Abdul Wahid diduga meminta setoran 5 persen atau sekitar Rp7 miliar dari tambahan anggaran proyek jalan dan jembatan senilai Rp177,4 miliar pada 2025. Permintaan itu awalnya disebut 2,5 persen, namun dinaikkan oleh Kepala Dinas PUPR-PKPP menjadi 5 persen. Di internal dinas, praktik ini kerap dinamakan dengan istilah jatah preman.

    Setoran dilakukan tiga kali antara Juni hingga November 2025, dengan total mencapai Rp4,05 miliar. Dana itu dihimpun oleh para kepala UPT dan mengalir ke Abdul Wahid melalui Kepala Dinas PUPR-PKPP serta tenaga ahli gubernur.

    Sementara itu Johanis Tanak menegaskan, perbuatan ini dikategorikan sebagai pemerasan, bukan suap. Sebab, inisiatif permintaan datang dari pejabat berwenang, bukan dari bawahan.

    “Kalau suap itu datang dari pihak bawah yang ingin sesuatu dari pejabat. Tapi dalam kasus ini justru pejabatnya yang meminta. Jadi ini pemerasan,” ujarnya. Tanak menyebut fenomena seperti ini bukan hal baru. “Mungkin istilah ‘jatah preman’ itu karena praktik seperti ini sudah lama terjadi di lingkungan mereka,” tambahnya.

    Selain Abdul Wahid, KPK juga menahan Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau dan tenaga ahli gubernur. Ketiganya dijerat pasal 12 huruf e, 12 huruf f, dan 12 huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

    KPK menyebut kasus ini sebagai peringatan serius bagi kepala daerah lain agar memperkuat integritas dan tidak menjadikan jabatan sebagai alat pemerasan.

    (miq/miq)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Dituntut 3 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Jalan Sumut, Akhirun Piliang: Berat
                
                    
                        
                            Medan
                        
                        5 November 2025

    Dituntut 3 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Jalan Sumut, Akhirun Piliang: Berat Medan 5 November 2025

    Dituntut 3 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Jalan Sumut, Akhirun Piliang: Berat
    Tim Redaksi
    MEDAN, KOMPAS.com
    – Muhammad Akhirun Piliang, terdakwa kasus korupsi jalan di Sumatera Utara, dituntut selama 3 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (5/11/2025).
    Selama pembacaan, Akhirun alias Kirun tampak tunduk saat duduk di kursi terdakwa dan suasana ruang sidang utama semakin hening ketika Jaksa Eko Wahyu Prayitno menegaskan tuntutan terhadap Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG) tersebut.
    Setelah selesai, Eko menyerahkan pembahasan lanjutan kepada Ketua Majelis Hakim, Khamozaro Waruwu. Khamozaro yang ditemani dua hakim anggota, Muhammad Yusafrihardi dan Fiktor Panjaitan, melanjutkan sidang.
    Dia langsung bertanya kepada Akhirun, mengenai tuntutan yang disampaikan oleh jaksa.
    “Kirun, apakah hukuman tersebut berat?” kata Khamozaro 
    “Berat,” ucap Kirun dengan nada pelan, yang duduk bersebelahan dengan anaknya, Reyhan Dulsani, Direktur Utama PT Rona Mora.
    Khamozaro kemudian berpesan kepada Kirun supaya ke depannya sudah harus bertanggung jawab menyikapi segala sesuatunya.
    Penasihat hukum Kirun, Rahmat Gunawan, berpendapat bahwa tuntutan yang diberikan jaksa kepada kliennya cukup berat.
    “Posisi klien kami kan bukan orang yang menginginkan memberikan suap itu. Kalau tidak diberikan kami tidak dapat proyek. Nanti kami sampaikan di pleidoi saja,” ucap Rahmat, singkat.
    Rahmat mengatakan, kliennya akan menyampaikan nota pembelaan (pleidoi) pada sidang selanjutnya, Rabu (12/11/2025).
    Sebelumnya, JPU KPK menuntut
    Akhirun Piliang
    selama 3 tahun penjara dan Reyhan selama 2,6 tahun penjara dalam kasus
    korupsi jalan
    di
    Sumatera Utara
    .
    “Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa pertama, Akhirun Piliang dengan pidana penjara 3 tahun, dan terdakwa dua, Reyhan Dulsani, 2 tahun 6 bulan,” kata JPU KPK, Eko Wahyu Prayitno.
    Menurut Jaksa, perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur dakwaan, yaitu alternatif pertama Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Kemudian dakwaan kedua, Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Atas pertimbangan di atas, penuntut umum menyatakan Akhirun Piliang dan Reyhan Dulsani telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif.
    Selain pidana penjara, Eko juga menjatuhkan hukuman denda terhadap Akhirun sebesar Rp 150 juta subsider kurungan 6 bulan, dan Reyhan Dulsani Rp 100 juta subsider kurungan 6 bulan
    Dalam kasus ini, para terdakwa memberikan sejumlah uang kepada pejabat PUPR
    Sumut
    sebesar Rp 100 juta pada tahun 2025 dan Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional (PJN) 1 Wilayah Sumut sebesar Rp 3,9 miliar.
    Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 28 Juni 2025 terkait dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara senilai total Rp 231,8 miliar.
    KPK menetapkan lima tersangka, yakni Topan Obaja Putra Ginting, eks Kepala UPTD Dinas PUPR Gunung Tua, Rasuli Efendi Siregar dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satker PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto.
    Lalu kontraktor dari pihak swasta yaitu Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG), Akhirun Piliang dan Direktur Utama PT Rona Mora, Reyhan Dulsani.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Sebut Gubernur Riau Ancam Copot Kepala UPT jika Tak Setor “Jatah Preman”

    KPK Sebut Gubernur Riau Ancam Copot Kepala UPT jika Tak Setor “Jatah Preman”

    KPK Sebut Gubernur Riau Ancam Copot Kepala UPT jika Tak Setor “Jatah Preman”
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Gubernur Riau Abdul Wahid yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
    fee
    sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
    KPK
    mengatakan,
    fee
    tersebut diberikan atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
    “Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
    fee
    sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” kata Wakil Ketua KPK
    Johanis Tanak
    , di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    “Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah “
    jatah preman
    ”,” sambung dia.
    Johanis mengatakan, pertemuan untuk menyepakati besaran
    fee
    untuk Abdul Wahid kemudian dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
    Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah
    fee
    untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
    Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
    Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sebesar Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
    Selanjutnya pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
    Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut, didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
    Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
    KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
    Johanis mengatakan, pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan berserta 5 Kepala UPT.
    “Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
    Sementara itu, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
    Johanis mengatakan, KPK menetapkan tiga tersangka dalam perkara pemerasan tersebut yaitu
    Gubernur Riau Abdul Wahid
    , Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam.
    Dia mengatakan, ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20

    hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025.
    “Terhadap saudara AW ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sementara terhadap DAN dan MAS ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK,” ucap dia.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sebelumnya, KPK menangkap 10 orang dalam operasi senyap di Riau pada Senin (3/11/2025).
    Mereka di antaranya, Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda, dan Tata Maulana yang merupakan orang kepercayaan Abdul Wahid.
    Kemudian satu orang lain atas nama Dani M. Nursalam yang merupakan Tenaga Ahli Gubernur Riau Abdul Wahid menyerahkan diri pada Selasa (4/11/2025) petang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.