Topik: OTT KPK

  • KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Usai Tahan Abdul Wahid dkk  

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Usai Tahan Abdul Wahid dkk  

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah sejumlah lokasi setelah menetapkan tiga tersangka kasus pemerasan terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Salah satunya adalah rumah dinas Gubernur Riau.

    “Dalam lanjutan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi di wilayah pemprov Riau, hari ini penyidik melakukan penggeledahan di rumah dinas gubernur dan beberapa lokasi lainnya,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Oktober.

    Budi belum memerinci soal penggeledahan itu. Ia hanya memastikan segala temuan bakal disampaikan ke publik.

    Selain itu, semua pihak diminta kooperatif terhadap proses hukum yang berjalan. “KPK mengimbau agar para pihak mendukung proses penyidikan ini, agar dapat berjalan efektif,” tegas Budi.

    “Kami akan sampaikan perkembangannya secara berkala sebagai bentuk transparansi dalam proses hukum ini,” sambung dia.

    Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan tiga tersangka dugaan pemerasan terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mereka adalah Gubernur Riau Abdul Wahid; M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; serta Dani M. Nursalam selaku tenaga ahli Gubernur Riau.

    Adapun penetapan tersangka ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 3 November. Mereka sudah dilakukan penahanan selama 20 hari pertama hingga 23 November 2025.

    Kasus ini bermula saat adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

    Diduga ada kesanggupan pemberian fee yang sebesar 2,5 persen yang kemudian dibahas di sebuah kafe di kawasan Kota Pekanbaru, Riau. Pembahasan dilakukan antara Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP bersama enam UPT.

    Kemudian Ferry menyampaikan hasil pertemuan itu kepada M. Arief selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dan representatif Abdul Wahid. Tapi, Arief justru minta sebesar 5 persen atau sebesar Rp7 miliar dan mengancam akan mencopot Kepala UPT yang tak menyetor.

    Akibat perbuatannya, para tersangka melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Ikahi: Perlindungan Hakim Minim, Harap Prabowo Beri Atensi

    Ikahi: Perlindungan Hakim Minim, Harap Prabowo Beri Atensi

    Ikahi: Perlindungan Hakim Minim, Harap Prabowo Beri Atensi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum (Ketum) Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Yasardin menyebut perlindungan hakim di Indonesia masih sangat minim.
    Hal ini ditegaskannya saat merespons kasus terbakarnya rumah Hakim Pengadilan Negeri Medan, Khamazaro Waruwu, pada Selasa (4/11/2025).
    “Nah itu jadi intinya pengamanan hakim sampai dengan saat ini sangat minim,” kata
    Yasardin
    dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
    Oleh karenanya, ia berharap Presiden
    Prabowo
    Subianto bisa memberikan atensi terkait perlindungan dan keamanan hakim.
    “Ya mudah-mudahan ke depan dengan pemerintah Bapak Prabowo, pemerintahan Bapak Prabowo ini sangat concern kepada dunia peradilan. Mudah-mudahan ini bisa terpecahkan pada saatnya nanti,” ujarnya.
    Dia mengatakan perihal keamanan hakim sudah diatur dalam Undang-Undang 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
    Namun, kenyataannya, hakim saat ini masih diamankan oleh pihak keamanan kantor apabila sedang ada di kantornya. Sementara pengamanan di rumah hakim masih tidak ada.
    “Tapi realisasinya sekarang ini, hakim hanya diamankan oleh security kantor. Kalau dia sedang berada di kantor. Kalau di rumah tidak ada sama sekali pengamanan,” ujar Yasardin.
    Menurutnya, pengamanan dari pihak Kepolisian baru ada ketika ada permintaan.
    Sebab, aparat Kepolisian juga memiliki keterbatasan jumlah dan tugas yang banyak.
    “Kecuali ada ancaman misalnya kita minta kepada kepolisian agar mengamankan. Itu baru ada pengamanan biasanya. Dan itu incidental,” ungkapnya.
    Sebagai informasi, rumah hakim Khamozaro yang terbakar pada Selasa lalu berlokasi di Komplek Taman Harapan Indah, Jalan Pasar II, Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, Sumatera Utara.
    Adapun bagian rumah yang terbakar adalah bagian kamar. Saat terbakar, rumah sedang dalam keadaan kosong sehingga tak ada korban jiwa.
    Khamozaro diketahui merupakan hakim yang beberapa kali menangani perkara korupsi di Sumatera Utara.
    Sejak akhir September 2025, ia memimpin sidang kasus korupsi proyek pembangunan jalan senilai Rp 231,8 miliar yang menyeret sejumlah pejabat di antaranya Topan Ginting, mantan Kepala Dinas PUPR Pemprov Sumut.
    Selain itu, turut terlibat eks Kepala UPTD Dinas PUPR Gunung Tua, Rasuli Efendi Siregar; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto; serta dua kontraktor, Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG) Akhirun Piliang dan Direktur Utama PT Rona Mora, Reyhan Dulsani.
    Kedua kontraktor itu dijadwalkan menjalani sidang tuntutan pada Rabu (3/11/2025).
    Mereka sebelumnya ditangkap dalam dua operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek jalan di Sumatera Utara dengan total nilai proyek yang diduga bermasalah mencapai Rp 231,8 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Ungkap Gubernur Riau Gunakan Uang Hasil Pemerasan untuk Plesiran ke Malaysia, Brasil, hingga Inggris

    KPK Ungkap Gubernur Riau Gunakan Uang Hasil Pemerasan untuk Plesiran ke Malaysia, Brasil, hingga Inggris

    GELORA.CO  – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan fakta kasus dugaan pemerasan yang menjerat Gubernur Riau, Abdul Wahid. Lembaga antirasuah menyebut, uang hasil pungutan atau pemerasan yang dikumpulkan dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR PKPP Riau digunakan untuk kepentingan pribadi sang gubernur, termasuk membiayai perjalanan ke luar negeri.

    Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan uang tersebut bersumber dari pungutan terhadap para pejabat di lingkungan Dinas PUPR PKPP Riau. 

    “Sejak awal yang bersangkutan sudah meminta. Untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya, Dani M. Nursalam,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

    Asep mengungkap, dana yang terkumpul dari pemerasan tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan operasional di dalam negeri, tetapi juga membiayai perjalanan Abdul Wahid ke sejumlah negara. 

    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris,” ujarnya.

    Selain perjalanan ke Inggris, Abdul Wahid disebut juga menggunakan sebagian uang hasil pemerasan itu untuk kunjungan ke Brasil. Menurutnya, perjalanan tersebut bukan bagian dari kegiatan resmi pemerintahan, melainkan agenda pribadi sang gubernur.

    “Selain ke Inggris, ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tegasnya.

    Sebelumnya, KPK resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan/penerimaan hadiah atau janji di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau Tahun Anggaran 2025. Penetapan tersangka ini terhadap Abdul Wahid setelah dirinya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Senin (3/11).

    Selain Abdul Wahid, KPK juga menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) M. Arief Setiawan; serta Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam yang merupakan kader PKB sebagai tersangka.

    Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menjelaskan, kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang kemudian ditindaklanjuti melalui kegiatan penyelidikan hingga berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Abdul Wahid dan sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Riau.

    Tanak memaparkan, praktik suap itu bermula pada Mei 2025 ketika Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau, Ferry Yunanda, menggelar pertemuan dengan enam Kepala UPT Wilayah I–VI di salah satu kafe di Pekanbaru. 

    Dalam pertemuan tersebut, para peserta membahas kesanggupan memberikan fee yang akan disetorkan kepada Abdul Wahid sebagai imbalan atas penambahan anggaran tahun 2025. 

    “Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR PKPP,” ucap Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

    Dari hasil penyelidikan, KPK menemukan bahwa anggaran program pembangunan jalan dan jembatan itu mengalami lonjakan signifikan sebesar 147 persen, dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar. Setelah pertemuan awal, Ferry kemudian melapor kepada Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, Muhammad Arief Setiawan, mengenai kesanggupan memberikan fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek

    Namun, Arief yang diduga mewakili Abdul Wahid menolak besaran tersebut dan meminta peningkatan menjadi 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar.

    “MAS (Muhammad Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid) meminta fee sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar,” ungkap Tanak. 

    Menurutnya, Abdul Wahid juga menggunakan tekanan jabatan untuk memastikan permintaan tersebut dipenuhi. Melalui Arief, Abdul Wahid mengancam akan mencopot atau memutasi pejabat Dinas PUPR-PKPP yang tidak bersedia menyetujui permintaan tersebut. 

    “Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,

  • KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid dan beberapa lokasi lainnya di Riau, pada Kamis (6/11/2025).
    “Dalam lanjutan
    penyidikan
    perkara dugaan tindak pidana korupsi di wilayah Pemprov Riau, hari ini penyidik melakukan penggeledahan di rumah dinas gubernur dan beberapa lokasi lainnya,” kata Juru Bicara
    KPK
    Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Kamis.
    Budi mengatakan, KPK mengimbau agar para pihak mendukung proses penyidikan agar dapat berjalan efektif.
    Dia juga memastikan akan menyampaikan perkembangan proses penggeledahan secara berkala sebagai bentuk transparansi dalam proses hukum ini.
    “KPK juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh masyarakat, khususnya di wilayah Riau, yang terus mendukung penuh pengungkapan perkara ini. Karena korupsi secara nyata menghambat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan
    Gubernur Riau Abdul Wahid
    sebagai tersangka terkait kasus dugaan pemerasan atau penerimaan hadiah atau janji di Pemprov Riau Tahun Anggaran 2025, pada Rabu (5/11/2025).
    Diketahui, Abdul Wahid terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Riau, pada Senin (3/11/2025).
    KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    Johanis mengatakan, total uang hasil pemerasan dengan modus jatah preman yang disetor untuk Gubernur Riau Abdul Wahid dari Kepala UPT Dinas PUPR PKPP sebesar Rp 4,05 miliar.
    Dia mengatakan, setoran itu dilakukan setelah ada kesepakatan untuk memberikan fee sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar untuk Gubernur Riau Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
    Johanis mengatakan, ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025.
    “Terhadap saudara AW ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sementara terhadap DAN dan MAS ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK,” ucap dia.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Terungkap Jatah Preman dalam Kasus Korupsi Pemprov Riau, Gubernur Ancam Copot Pejabat yang Tak Ikuti Perintah

    Terungkap Jatah Preman dalam Kasus Korupsi Pemprov Riau, Gubernur Ancam Copot Pejabat yang Tak Ikuti Perintah

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap menyorot tajam Gubernur Riau.

    KPK menahan Gubernur Riau Abdul Wahid. Dia ditahan setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT).

    Diketahui, para pihak yang terjaring OTT dibawa dalam dua kloter ke KPK pada Selasa kemarin. Salah satunya adalah Gubernur Riau Abdul Wahid. Total ada 10 orang yang diperiksa KPK terkait OTT ini.

    Lewat unggahan di akun media sosial Threads pribadinya, ia menyebut Gubernur Riau akhirnya sah yang dinyatakan terlibat.

    “Sah, Akhirnya Gubernur Riau ke-4 yang kena kasus korupsi di KPK,” tulisnya dikutip Kamis (6/11/2025).

    Gubernur Riau itu dinyatakan terlibat karena terungkap memiliki jatah preman dari nilai proyek anggaran.

    “Terungkap jatah preman dari nilai proyek anggaran,” tuturnya.

    Sementara itu, Abdul Wahid disebut mengancam bawahannya jika tak memberikan uang yang disebut ‘jatah preman’.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di gedung KPK

    Dua tersangka lainnya ialah Kadis PUPR Riau M Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.

    Tanak mengatakan kasus ini berawal dari pertemuan antara Sekdis PUPR Riau Ferry Yunanda dan enam kepala UPT wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP pada Mei 2025.

    (Erfyansyah/fajar)

  • Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil

    Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil

    Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan atau disebut jatah preman dari penambahan anggaran 2025 untuk pergi ke luar negeri.
    Uang yang seharusnya dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR-PKPP) justru digunakan untuk pergi ke Inggris hingga Brasil.
    Hal tersebut diungkap oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi
    KPK
    Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers pada Rabu (5/11/2025).
    “Sejak awal yang bersangkutan sudah meminta. Nah, untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya (Dani M. Nursalam). Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang Poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri,” ujar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta.
    “Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” sambungnya.
    Abdul Wahid menjadi satu dari tiga tersangka dalam kasus pemerasan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Dua nama lainnya adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
    Gubernur Riau
    Dani M Nursalam.
    Kasus ini berawal dari pertemuan Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau Ferry Yunanda dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas kesanggupan memberikan
    fee
    kepada Abdul Wahid.
    Fee
    tersebut sebesar 2,5 persen berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.
    Kemudian Ferry Yunanda menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Arief Setiawan. Namun, Arief meminta fee 5 persen atau setara Rp 7 miliar untuk Abdul Wahid.
    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘
    jatah preman
    ‘,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.
    Dari kesepakatan tersebut, KPK menemukan tiga kali setoran jatah fee untuk Abdul Wahid. Pertama pada Juni 2025, ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
    Dana sejumlah Rp 1 miliar kemudian mengalir kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
    Setoran kedua pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
    Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut, didistribusikan untuk supirnya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
    Kemudian pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar. KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar,” ujar Johanis.
    Dalam pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan berserta lima Kepala UPT.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sederet Fakta Kasus Pemerasan oleh Gubernur Riau Abdul Wahid dkk

    Sederet Fakta Kasus Pemerasan oleh Gubernur Riau Abdul Wahid dkk

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan dan menahan Gubernur Riau sebagai tersangka dalam dugaan kasus pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

    Tak sendiri, penetapan tersangka juga menjerat Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M.Nursalam. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (5/11/2025) setelah melakukan pemeriksaan intensif.

    Fakta-fakta Kasus Pemerasan oleh Gubernur Riau Abdul Wahid

    1. KPK Menggelar OTT

    Pada Senin (3/11/2025), KPK melancarkan operasi tangkap tangan di lingkungan Provinsi Riau. Kala itu, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo belum dapat menjelaskan detail perkara yang mengharuskan penyidik menggelar operasi senyap. Namun, Budi mengatakan bahwa tim penyidik mengamankan 10 orang dan menyita sejumlah uang. 

    2. Abdul Wahid Ditangkap di Kafe dan Sita Rp1,6 Miliar

    Gelaran OTT tidak berjalan mulus. Pasalnya, penyidik harus mengejar Abdul Wahid yang sempat kabur dari OTT dan menangkapnya di salah satu kafe di Riau. Di sekitaran yang sama, orang kepercayaan Abdul Wahid bernama Tata Maulana juga ditangkap KPK.

    Dalam rangkaian operasi tangkap tangan, KPK juga menyita Rp800 juta ketika Kepala UPT 3 hendak bertemu dengan Arief dan Ferry beserta Kepala UPT lainnya untuk memberikan setoran. 

    Secara paralel, tim KPK juga melakukan penggeledahan dan menyegel rumah Abdul Wahid di wilayah Jakarta Selatan.

    Dari hasil penggeledahan tersebut, tim mengamankan sejumlah uang dalam bentuk pecahan asing, yakni: 9.000 pound sterling dan 3.000 USD atau jika dikonversi dalam rupiah senilai Rp800 juta. Sehingga total yang diamankan dari rangkaian kegiatan tangkap tangan ini senilai Rp1,6 miliar.

    3. Sekdis PUPR PKPP Gelar Rapat Bahas Fee untuk Abdul Wahid 

    Setelah melakukan pemeriksaan intensif, terungkap bahwa pada Maret 2025, Sekretaris Dinas PUPR PKPP bernama Ferry menggelar rapat bersama 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP, untuk membahas kesanggupan pemberian fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid yakni sebesar 2,5%. 

    Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp106 miliar).

    4. Fee Naik jadi 5%

    Ferry melaporkan hasil pertemuan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan. Namun, Arief yang merupakan representasi Abdul Wahid meminta fee dinaikkan menjadi 5% atau Rp7 miliar. Laporan kepada Arief menggunakan kode “7 batang”.

    5. Ancaman Copot Jabatan

    Abdul Wahid diduga mengancam para pejabat PUPR PKPP dengan dicopot jabatan jika tidak memberikan nominal uang tersebut. Permintaan ini dikenal sebagai “Jatah Preman”

    6. Pemerasan Tetap Dilakukan saat Defisit APBD sampai Anak Buah Jual Sertifikat

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur, mengatakan beberapa anak buah hingga terpaksa menjual sertifikat hingga pinjam ke bank untuk memenuhi keinginan sang Gubernur.

    “Ada yang pakai uang sendiri, pinjem ke bank, jual sertifikat, dan lain-lain,” katanya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2025) sore.

    Asep merasa prihatin terhadap perkara pemerasan ini. Sebab, dirinya menuturkan sekitar bulan Maret 2025, Abdul Wahid mengumumkan bahwa APBD Riau mengalami defisit Rp1,3 triliun dan terdapat penundaan pembayaran sebesar Rp2,2 triliun.

    7. Total Penyerahan Uang mencapai Rp4,05 miliar

  • Ini Respons Cak Imin Usai Gubernur Riau jadi Tersangka KPK

    Ini Respons Cak Imin Usai Gubernur Riau jadi Tersangka KPK

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menanggapi penetapan tersangka salah satu kadernya yang merupakan Gubernur Riau Abdul Wahid, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    Untuk diketahui, KPK menetapkan tiga orang tersangka pada kasus dugaan pemerasan terkait dengan penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan oleh UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Salah satunya adalah Abdul Wahid.

    “Ya semua harus belajar dari pengalaman agar tidak terulang lagi,” terang pria yang akrab disapa Cak Imin itu saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/11/2025). 

    Cak Imin mengaku sampai dengan saat ini belum ada permintaan dari Abdul Wahid terkait dengan bantuan hukum. Dia juga enggan merespons apabila partai sudah menentukan nasib keanggotaan Abdul Wahid di PKB. 

    “Ya pasti akan ada proses internal ya,” ujar pria yang juga menjabat Menko Pemberdayaan Masyarakat itu. 

    Sebelumnya, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Senin (3/11/2025). Pada operasi senyap itu, penyelidik KPK melakukan tangkap tangan kepada 10 orang. 

    Selain Abdul Wahid, dua orang yang ditetapkan tersangka adalah M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau, serta Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau. 

    Ketiga orang itu disangkakan melanggar pasal 12 e dan/atau pasal 12 f dan/atau pasal 12B Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau Tak Jadi Tersangka, KPK Jelaskan Alasannya

    Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau Tak Jadi Tersangka, KPK Jelaskan Alasannya

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulangkan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau Ferry Yunanda.

    Keterlibatannya dalam kasus pemerasan yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 3 November masih didalami.

    “Kami masih memperdalamnya (posisi Sekretaris Dinas PUPR PKPP, red),” kata pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 5 November.

    “Yang masih belum (tersangka, red) enggak apa-apa. Nanti kan sambil yang tiga (tersangka, red) ini berjalan (penyidikannya, red) sambil kita cari. Nanti kalau kami temukan alat bukti cukup tinggal kami naikkan saja statusnya,” sambung dia.

    Sementara itu, KPK sudah menetapkan tiga tersangka dugaan pemerasan terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mereka adalah Gubernur Riau Abdul Wahid; M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; serta Dani M. Nursalam selaku tenaga ahli Gubernur Riau.

    Adapun penetapan tersangka ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) di Provinsi Riau pada Senin, 3 November. Mereka sudah dilakukan penahanan selama 20 hari pertama hingga 23 November 2025.

    Kasus ini bermula saat adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

    Diduga ada kesanggupan pemberian fee yang sebesar 2,5 persen yang kemudian dibahas di kafe di kawasan Kota Pekanbaru, Riau. Pembahasan dilakukan antara Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP bersama enam UPT.

    Kemudian Ferry menyampaikan hasil pertemuan itu kepada M. Arief selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dan representatif Abdul Wahid. Tapi, Arief justru minta sebesar 5 persen atau sebesar Rp7 miliar dan mengancam akan mencopot Kepala UPT yang tak menyetor.

    Akibat perbuatannya, para tersangka melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau Tak Jadi Tersangka, KPK Jelaskan Alasannya

    Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau Tak Jadi Tersangka, KPK Jelaskan Alasannya

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulangkan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau Ferry Yunanda.

    Keterlibatannya dalam kasus pemerasan yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 3 November masih didalami.

    “Kami masih memperdalamnya (posisi Sekretaris Dinas PUPR PKPP, red),” kata pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 5 November.

    “Yang masih belum (tersangka, red) enggak apa-apa. Nanti kan sambil yang tiga (tersangka, red) ini berjalan (penyidikannya, red) sambil kita cari. Nanti kalau kami temukan alat bukti cukup tinggal kami naikkan saja statusnya,” sambung dia.

    Sementara itu, KPK sudah menetapkan tiga tersangka dugaan pemerasan terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mereka adalah Gubernur Riau Abdul Wahid; M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; serta Dani M. Nursalam selaku tenaga ahli Gubernur Riau.

    Adapun penetapan tersangka ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) di Provinsi Riau pada Senin, 3 November. Mereka sudah dilakukan penahanan selama 20 hari pertama hingga 23 November 2025.

    Kasus ini bermula saat adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

    Diduga ada kesanggupan pemberian fee yang sebesar 2,5 persen yang kemudian dibahas di kafe di kawasan Kota Pekanbaru, Riau. Pembahasan dilakukan antara Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP bersama enam UPT.

    Kemudian Ferry menyampaikan hasil pertemuan itu kepada M. Arief selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dan representatif Abdul Wahid. Tapi, Arief justru minta sebesar 5 persen atau sebesar Rp7 miliar dan mengancam akan mencopot Kepala UPT yang tak menyetor.

    Akibat perbuatannya, para tersangka melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.