Topik: OTT KPK

  • Breaking News! Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Terjaring OTT KPK

    Breaking News! Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Terjaring OTT KPK

    Jakarta (beritajatim.com) – Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, dikabarkan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabar tersebut dibenarkan langsung oleh Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto.

    “Benar,” kata Fitroh saat dikonfirmasi beritajatim.com, Jumat (7/11/2025).

    Meski demikian, Fitroh belum menjelaskan lebih lanjut siapa saja yang turut diamankan dalam operasi tersebut maupun kasus apa yang menjerat Sugiri Sancoko.

    Sebagai informasi, Sugiri Sancoko dan Lisdyarita sebelumnya dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Ponorogo periode 2025–2030 oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 20 Februari 2025 lalu.

    Pelantikan itu dilakukan secara serentak bersama 961 kepala daerah lainnya, yang terdiri atas 33 gubernur dan wakil gubernur, 363 bupati dan wakil bupati, serta 85 wali kota dan wakil wali kota. [kun]

  • Breaking News! Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Terjaring OTT KPK

    Baru 9 Bulan Dilantik Periode Kedua, Bupati Ponorogo Kena OTT KPK

    Jakarta (beritajatim.com) – Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko terjerat operasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto.

    “Benar,” kata Fitroh saat dikonfirmasi beritajatim.com, Jumat (7/11/2025).

    Fitroh belum menjelaskan, siapa saja yang ikut diamankan dalam OTT ini. Begitu juga, kasus apa yang menjerat Sugiri.

    Seperti diketahui, Pasangan Sugiri Sancoko dan Lisdyarita resmi dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Ponorogo periode 2025-2030 oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025 lal

    Pelantikan itu dilakukan secara serentak yang diikuti 961 kepala daerah yang terdiri atas 33 gubernur dan 33 wakil gubernur, 363 bupati, 362 wakil bupati, 85 wali kota, dan 85 wakil wali kota. (hen/ted)

  • Gelar OTT, KPK Tangkap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko

    Gelar OTT, KPK Tangkap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengadakan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Ponorogo, Jawa Timur.

    Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto mengonfirmasi bahwa pihaknya mengadakan giat terhadap kasus di lingkungan Bupati Ponorogo.

    Dalam OTT tersebut, Fitroh membenarkan salah satu yang terjaring adalah Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko.

    “Benar,” katanya kepada wartawan, Jumat (7/11/2025).

    Dilansir dari Antara, sebelumnya KPK melakukan OTT dan menjaring anggota DPRD dan pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, yakni pada Maret 2025.

    Kedua, pada Juni 2025, OTT terkait dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Sumut, dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut.

    Ketiga, OTT selama 7-8 Agustus 2025, di Jakarta; Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Makassar, Sulawesi Selatan. OTT tersebut terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.

    Keempat, OTT di Jakarta pada 13 Agustus 2025, mengenai dugaan suap terkait dengan kerja sama pengelolaan kawasan hutan.

    Kelima, pada 20 Agustus 2025, OTT terkait kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan yang melibatkan Immanuel Ebenezer Gerungan selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan pada saat itu.

    Keenam, OTT terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid pada 3 November 2025, yakni mengenai dugaan pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

  • KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Abdul Wahid, Sita CCTV hingga Dokumen

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Abdul Wahid, Sita CCTV hingga Dokumen

    GELORA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Gubernur Riau Abdul Wahid pada Kamis (6/11/2025) terkait pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Dalam penggeledahan ini, KPK menyita CCTV hingga beberapa dokumen.

    “Dalam penggeledahan tersebut, di antaranya penyidik menyita CCTV,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo dalam keterangannya, Jumat (7/11/2025). 

    Selain itu, tim penyidik juga mengamankan sejumlah dokumen, serta barang bukti (barbuk) elektronik. Budi tidak merincikan apa saja dokumen dan barang bukti yang disita itu. 

    “Selanjutnya penyidik akan mengekstrasi dan menganalisis barbuk-barbuk tersebut,” ujarnya. 

     

    Dalam perkara ini, KPK menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid dan dua orang lainnya sebagai tersangka. 

    Dua orang lainnya yang ditetapkan tersangka adalah, M Arief Setiawan (MAS) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M Nursalam (DAN) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau. 

    Penetapan tersangka ini setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan di Riau pada Senin (3/11/2025). Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

  • Kronologi Lengkap Gubernur Riau Ditangkap KPK, Lagi Ngopi di Kafe

    Kronologi Lengkap Gubernur Riau Ditangkap KPK, Lagi Ngopi di Kafe

    Bisnis.com, PEKANBARU– Wakil Gubernur Riau, yang kini berstatus Plt Gubernur SF Hariyanto, mengungkapkan kronologi singkat saat terjadinya penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (3/11/2025) sore. 

    Dirinya menegaskan bahwa dia tidak mengetahui secara pasti permasalahan yang menjadi dasar penangkapan tersebut, karena kejadian itu berlangsung begitu cepat dan di luar dugaan.

    Menurut SF Hariyanto, saat kejadian dirinya sedang bersama Gubernur Abdul Wahid dan Bupati Siak Afnu Zulkifli di sebuah kafe di Pekanbaru.

    “Tapi saya jelaskan, saya tidak mengetahui masalah ini. Memang kebetulan hari itu saya dan Gubernur bersama Bupati Siak lagi ngopi, dan itulah yang saya ketahui,” ungkapnya saat ditemui di Pekanbaru, Kamis (6/11).

    Lokasi kafe yang dimaksud, menurutnya, juga bukan kafe seperti umumnya. Namun, hanya tempat ngopi di belakang rumah dinas Gubernur Riau di Jalan Diponegoro, Pekanbaru.

    Dia menuturkan suasana awalnya berbincang dan diskusi ketiganya berjalan normal sebelum kemudian ada beberapa tamu datang ingin menemui Gubernur. 

    “Lalu ada tamu di luar, dan saya bingung. Jadi saya memang tahu karena kami sama-sama di kafe itu bertiga dengan Bupati Siak. Hanya itu yang saya tahu,” ujarnya.

    SF Hariyanto mengaku tidak sempat melihat langsung proses penangkapan karena situasi di lokasi tiba-tiba ramai oleh kehadiran sejumlah orang yang belakangan diketahui merupakan tim dari KPK. 

    “Pas keluar, Gubernur melihat sudah ramai orang di luar. Jadi kalau ada yang bilang saya ikut diperiksa, saya jelaskan sekarang bahwa saya memang tidak ada diperiksa,” ungkapnya.

    Dia menambahkan barulah pada sore hari kira-kira setelah waktu salat Asar dirinya mengetahui lebih banyak informasi dari pemberitaan yang beredar di berbagai media. 

    “Barulah sore setelah Asar banyak berita macam-macam. Dari situ saya tahu kalau memang sudah ada proses hukum yang sedang berjalan,” katanya.

    Plt Gubernur SF Hariyanto menegaskan bahwa dirinya menghormati penuh proses hukum yang dilakukan oleh KPK dan berharap masyarakat tetap tenang menghadapi situasi tersebut. 

    “Kita serahkan sepenuhnya pada proses hukum. Saya minta masyarakat jangan berspekulasi. Pemerintah tetap berjalan dan pelayanan publik tidak akan terganggu,” ujarnya.

    Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid beserta sejumlah pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. 

    Pascakejadian tersebut, Kementerian Dalam Negeri langsung menunjuk Wakil Gubernur SF Hariyanto sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau untuk memastikan roda pemerintahan tetap berjalan normal.

    Setelah melakukan pemeriksaan intensif, terungkap bahwa pada Maret 2025, Sekretaris Dinas PUPR PKPP bernama Ferry menggelar rapat bersama 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP, untuk membahas kesanggupan pemberian fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid yakni sebesar 2,5%. 

    Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp106 miliar).

    Ferry melaporkan hasil pertemuan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan. Namun, Arief yang merupakan representasi Abdul Wahid meminta fee dinaikkan menjadi 5% atau Rp7 miliar. Laporan kepada Arief menggunakan kode “7 batang”.

    Abdul Wahid diduga mengancam para pejabat PUPR PKPP dengan dicopot jabatan jika tidak memberikan nominal uang tersebut. Permintaan ini dikenal sebagai “Jatah Preman”

  • Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
    Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
    Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
    Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
    Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
    Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
    extraordinary
    atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
    Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.

    Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
    Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
    “Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
    Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
    Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
    “Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
    Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
    Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
    “Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
    Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
    “Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
    Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
    Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
    Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
    “Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
    Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
    Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
    Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
    “Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
    Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
    “Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
    Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
    Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
    Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
    “Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
    Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
    Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
    Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
    Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
    Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
    “Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
    Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
    “KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR Minta Polisi Usut Kebakaran Rumah Hakim Khamozaro

    Anggota DPR Minta Polisi Usut Kebakaran Rumah Hakim Khamozaro

    Anggota DPR Minta Polisi Usut Kebakaran Rumah Hakim Khamozaro
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo meminta kepolisian mengusut kejanggalan dalam peristiwa kebakaran rumah milik hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Khamozaro Waruwu, di Medan, Sumatera Utara.
    Langkah tersebut diperlukan untuk memastikan ada atau tidaknya unsur kesengajaan dalam peristiwa kebakaran rumah yang disebut terjadi secara mendadak.
    “Kita tanpa suuzan berharap kebakaran yang dialami hakim Tipikor di PN Sumut ini polisi harus mengungkap motif, dalang, atau siapa pelaku kebakaran rumah yang dinilai janggal. Itu harapan kita,” ujar Rudianto saat dihubungi, Kamis (6/11/2025).
    Menurut Rudianto, pengusutan tuntas harus dilakukan agar hakim-hakim lain merasa terlindungi, dan tetap bisa independen dalam menangani perkara apapun termasuk kasus korupsi.
    “Jangan sampai teror yang dialami penegak
    hukum
    kemudian menurunkan tekad untuk memberantas korupsi. Supaya dalam memutus perkara betul-betul independensi terjaga,” ucapnya.
    Politikus Nasdem itu menegaskan bahwa negara berkewajiban menjamin keamanan dan keselamatan para hakim, termasuk anggota keluarganya.
    Dia juga mengingatkan bahwa hakim adalah benteng terakhir pencari keadilan, sehingga negara harus memastikan independensi mereka terjaga dari ancaman maupun tekanan.
    “Hakim itu adalah pejabat negara di bidang yudikatif. Karena itu penting untuk mendapatkan perlindungan, jaminan keamanan oleh negara,” kata Rudianto.
    “Bagaimanapun pidato Pak Presiden bahwa hakim itu benteng terakhir pencari keadilan, yang oleh beliau gajinya pun dispesialkan. Karena penghormatan negara terhadap profesi yudikatif,” sambungnya.
    Rudianto menambahkan, perlindungan yang dimaksud meliputi pengamanan bagi hakim dan keluarganya, termasuk tempat tinggal mereka.
    “Negara harus menjamin keamanannya supaya rumah tempat tinggalnya, keluarganya itu dijaga,” kata dia.
    Dia pun memandang perlu adanya penjagaan atau pengawalan oleh TNI-Polri bagi hakim.
    “Termasuk. Teknisnya seperti itu,” pungkasnya.
    Rumah milik hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Khamozaro Waruwu, di Komplek Taman Harapan Indah, Jalan Pasar II, Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, Sumatera Utara, terbakar, pada Selasa (4/11/2025).
    Peristiwa ini terjadi saat Khamozaro sedang memimpin sidang di pengadilan. Ia mengaku baru mengetahui kebakaran setelah dihubungi oleh tetangganya.
    Setelah menerima kabar tersebut, Khamozaro segera menutup sidang dan bergegas ke rumahnya.

    Bagian rumah yang terbakar adalah bagian kamar. Saat terbakar, rumah sedang dalam keadaan kosong sehingga tak ada korban jiwa.
    Khamozaro diketahui merupakan hakim yang beberapa kali menangani perkara korupsi di Sumatera Utara.
    Sejak akhir September 2025, ia memimpin sidang kasus korupsi proyek pembangunan jalan yang menyeret sejumlah pejabat, di antaranya Topan Ginting, mantan Kepala Dinas PUPR Pemprov Sumut.
    Selain itu, turut terlibat eks Kepala UPTD Dinas PUPR Gunung Tua, Rasuli Efendi Siregar; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto; serta dua kontraktor, Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG) Akhirun Piliang dan Direktur Utama PT Rona Mora, Reyhan Dulsani.
    Kedua kontraktor itu dijadwalkan menjalani sidang tuntutan pada Rabu (3/11/2025).
    Mereka sebelumnya ditangkap dalam dua operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek jalan di Sumatera Utara dengan total nilai proyek yang diduga bermasalah mencapai Rp 231,8 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tetapkan Tiga Tersangka Baru Kasus OTT Bupati Koltim

    KPK Tetapkan Tiga Tersangka Baru Kasus OTT Bupati Koltim

    GELORA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan telah menetapkan tiga orang tersangka baru pengembangan perkara yang menjerat Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abd Azis.

    Jurubicara KPK Budi Prasetyo mengatakan tim penyidik masih menelusuri peran pihak-pihak lainnya dalam perkara ini.

    “Benar, penyidik masih terus melakukan pengembangan, menelusuri peran pihak-pihak lainnya dalam pengadaan RS ini,” kata Budi kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 6 November 2025.

    Namun demikian, ia belum mengungkapkan identitas para pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

    Berdasarkan informasi yang diperoleh redaksi, Rabu, 5 November 2025, sebanyak 3 orang telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. KPK disebut telah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) untuk ketiga tersangka tersebut pada Jumat, 31 Oktober 2025.

    Ketiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka baru, yakni Hendrik Permana selaku Ketua Tim Kerja Sarana Prasarana Alat Labkesmas Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Yasin selaku PNS Bappenda Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang juga merupakan orang kepercayaan Abd Azis, dan Aswin Griksa Fitranto selaku Direktur Utama PT Griksa Cipta.

    Tersangka Hendrik diduga menerima suap mencapai Rp1,5 miliar.

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan 5 orang tersangka yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada Agustus 2025, yakni Abd Azis selaku Bupati Koltim, Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes untuk pembangunan RSUD, Ageng Dermanto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pembangunan RSUD di Koltim, Deddy Karnady dari PT Pilar Cerdas Putra (PCP), dan Arif Rahman dari KSO PT PCP.

    Sementara untuk dua orang pihak pemberi suap, yakni Deddy Karnady dan Arif Rahman sudah menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Kendari sejak 29 Oktober 2025.

  • SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        6 November 2025

    SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK Regional 6 November 2025

    SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK
    Tim Redaksi
    PEKANBARU, KOMPAS.com
    – Hubungan antara Gubernur Riau, Abdul Wahid, dan Wakil Gubernur, SF Hariyanto, diisukan retak sebelum penangkapan Abdul Wahid dalam OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Isu tersebut diperkuat oleh fakta bahwa keduanya jarang muncul bersama di publik setelah dilantik pada Februari 2025.
    SF Hariyanto
    , yang jarang terlihat dalam agenda penting pemerintahan, baru-baru ini muncul dalam sebuah video pertemuan dengan
    Abdul Wahid
    .
    Pertemuan tersebut berlangsung di kediaman
    Gubernur Riau
    di Jalan Diponegoro, Kota Pekanbaru, pada Kamis, 30 Oktober 2025.
    Dalam video tersebut, tampak juga Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, yang sedang melakukan video call dengan Ustadz Abdul Somad.
    Abdul Wahid dan Hariyanto terlihat saling menyapa, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada keretakan di antara mereka.
    Namun, hanya tiga hari setelah pertemuan tersebut, tepatnya pada Senin (3/11/2025), Abdul Wahid ditangkap
    KPK
    dalam operasi tangkap tangan (OTT).
    Selain Abdul Wahid, KPK juga menangkap Kadis PUPR Riau, M Arief Setiawan, dan Staf Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.
    Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.
    Menanggapi isu hubungan retak tersebut, SF Hariyanto membantahnya.
    “Ada yang tanya kenapa saya tidak tampil sejak dilantik. Saya tampil. Saya selalu bersama Pak Gubernur, kemarin kami ngopi, sudah salam-salaman,” kata Hariyanto saat pertemuan dengan media di Kantor Gubernur Riau, Kamis (6/11/2025).
    Ia menegaskan, tidak ada masalah antara dirinya dan Abdul Wahid.
    “Tidak ada masalah. Dia itu adik saya, tak ada masalah,” jelas Hariyanto.
    Menyangkut penangkapan Abdul Wahid oleh KPK, Hariyanto mengaku tidak mengetahui peristiwa tersebut.
    Ia menjelaskan bahwa sebelum penangkapan, ia sedang ngopi bersama Abdul Wahid dan Bupati Siak, Afni Zulkifli.
    “Saya tidak mengetahui (penangkapan) itu. Memang kebetulan pada saat itu saya sedang ngopi dengan Pak Gubernur dan Bupati Siak. Tiba-tiba ada ramai-ramai orang di luar. Setelah itu saya keluar dan pulang untuk shalat ashar. Setelah itulah banyak informasi penangkapan KPK,” ungkap Hariyanto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Usai Tahan Abdul Wahid dkk  

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Usai Tahan Abdul Wahid dkk  

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah sejumlah lokasi setelah menetapkan tiga tersangka kasus pemerasan terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Salah satunya adalah rumah dinas Gubernur Riau.

    “Dalam lanjutan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi di wilayah pemprov Riau, hari ini penyidik melakukan penggeledahan di rumah dinas gubernur dan beberapa lokasi lainnya,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Oktober.

    Budi belum memerinci soal penggeledahan itu. Ia hanya memastikan segala temuan bakal disampaikan ke publik.

    Selain itu, semua pihak diminta kooperatif terhadap proses hukum yang berjalan. “KPK mengimbau agar para pihak mendukung proses penyidikan ini, agar dapat berjalan efektif,” tegas Budi.

    “Kami akan sampaikan perkembangannya secara berkala sebagai bentuk transparansi dalam proses hukum ini,” sambung dia.

    Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan tiga tersangka dugaan pemerasan terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mereka adalah Gubernur Riau Abdul Wahid; M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; serta Dani M. Nursalam selaku tenaga ahli Gubernur Riau.

    Adapun penetapan tersangka ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 3 November. Mereka sudah dilakukan penahanan selama 20 hari pertama hingga 23 November 2025.

    Kasus ini bermula saat adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

    Diduga ada kesanggupan pemberian fee yang sebesar 2,5 persen yang kemudian dibahas di sebuah kafe di kawasan Kota Pekanbaru, Riau. Pembahasan dilakukan antara Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP bersama enam UPT.

    Kemudian Ferry menyampaikan hasil pertemuan itu kepada M. Arief selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dan representatif Abdul Wahid. Tapi, Arief justru minta sebesar 5 persen atau sebesar Rp7 miliar dan mengancam akan mencopot Kepala UPT yang tak menyetor.

    Akibat perbuatannya, para tersangka melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.