Topik: Orde Baru

  • Kita Tak Boleh Lupakan Jasa Beliau

    Kita Tak Boleh Lupakan Jasa Beliau

    JAKARTA- Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Singgih Januratmoko, mendukung usulan Kementerian Sosial untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Di tengah polemik usulan tersebut, Singgih menilai, pemberian gelar terhadap Soeharto perlu dikaji secara objektif dan proporsional, dengan melihat capaian dan kontribusinya terhadap bangsa Indonesia. 

    “Sejarah perjalanan bangsa mencatat dengan tinta emas peran sentral Alm. Soeharto. Dari sisi historis, beliau adalah tokoh yang memimpin proses peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, yang pada masanya berhasil mengembalikan stabilitas nasional dan pondasi ekonomi bangsa yang sempat porak-poranda,” ujar Singgih kepada wartawan, Sabtu, 8 November. 

    “Kita tidak boleh melupakan jasa beliau dalam menancapkan tonggak pembangunan nasional melalui berbagai program yang terstruktur,” sambungnya. 

    Singgih juga menekankan pentingnya melihat jasa dan kontribusi Soeharto secara komprehensif. Dalam masa kepemimpinannya selama lebih dari tiga dekade, Soeharto dianggap meletakkan dasar-dasar stabilisasi politik, swasembada pangan, dan pembangunan ekonomi nasional melalui program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). 

    Legislator Golkar itu mengingatkan, pada tahun 1984, Indonesia diakui oleh FAO (Food and Agriculture Organization) sebagai negara yang berhasil mencapai swasembada beras, sebuah pencapaian monumental di bidang ketahanan pangan yang memberikan dampak sosial dan ekonomi besar bagi jutaan rakyat.

    “Revolusi Hijau dan program Keluarga Berencana (KB) adalah dua dari banyak kebijakan strategis yang tidak hanya memajukan sektor pertanian tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Ini adalah data dan fakta yang tidak terbantahkan,” jelas Singgih. 

    Dari perspektif keagamaan, Singgih menegaskan peran Soeharto dalam menciptakan ruang yang harmonis bagi kehidupan beragama. Di era pemerintahannya, kata dia, dukungan dari berbagai ormas, seperti Muhammadiyah dan NU merupakan cerminan dari penilaian kolektif akan jasa-jasa besar Soeharto.

    “Dukungan yang luas ini menunjukkan bahwa banyak elemen bangsa melihat kontribusi positif Alm. Soeharto. Tentu, setiap periode kepemimpinan memiliki dinamika dan catatannya masing-masing. Namun, dalam menilai gelar Pahlawan Nasional, kita harus berani melihat jasa dan sumbangsih terbesarnya bagi tanah air, yang telah meletakkan dasar-dasar penting bagi Indonesia modern,” ungkap anggota komisi yang membidangi keagamaan itu. 

    Singgih menyadari bahwa setiap tokoh besar pasti memiliki dua sisi mata uang yang menuai pro dan kontra. Tetapi, menurutnya, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto harus dipandang sebagai penghargaan atas jasa-jasa besarnya tanpa meniadakan kritik terhadap kekurangannya.

    “Sejarah harus dilihat secara utuh, jujur, dan berimbang. Gelar Pahlawan Nasional adalah bentuk apresiasi tertinggi negara atas kontribusi luar biasa yang melebihi panggilan tugas,” katanya. 

    “Dalam tradisi Islam, kita diajarkan untuk menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik (Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah). Jasa Pak Harto dalam perjuangan kemerdekaan, stabilisasi, dan pembangunan fondasi ekonomi nasional adalah warisan yang tidak dapat diabaikan,” sambungnya. 

    Menurut Singgih, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah langkah tepat untuk rekonsiliasi sejarah dan penguatan nilai kebangsaan, serta memberikan apresiasi yang proporsional atas pengabdiannya demi kemajuan dan keutuhan NKRI.

    “Kami berharap proses pengkajian oleh pemerintah dan DPR dapat berjalan dengan seksama, mengedepankan kelengkapan data historis, serta mendengarkan berbagai perspektif untuk mencapai keputusan yang arif dan bijaksana bagi keutuhan bangsa,” pungkasnya. 

  • Kita Tak Boleh Lupakan Jasa Beliau

    Kita Tak Boleh Lupakan Jasa Beliau

    JAKARTA- Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Singgih Januratmoko, mendukung usulan Kementerian Sosial untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Di tengah polemik usulan tersebut, Singgih menilai, pemberian gelar terhadap Soeharto perlu dikaji secara objektif dan proporsional, dengan melihat capaian dan kontribusinya terhadap bangsa Indonesia. 

    “Sejarah perjalanan bangsa mencatat dengan tinta emas peran sentral Alm. Soeharto. Dari sisi historis, beliau adalah tokoh yang memimpin proses peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, yang pada masanya berhasil mengembalikan stabilitas nasional dan pondasi ekonomi bangsa yang sempat porak-poranda,” ujar Singgih kepada wartawan, Sabtu, 8 November. 

    “Kita tidak boleh melupakan jasa beliau dalam menancapkan tonggak pembangunan nasional melalui berbagai program yang terstruktur,” sambungnya. 

    Singgih juga menekankan pentingnya melihat jasa dan kontribusi Soeharto secara komprehensif. Dalam masa kepemimpinannya selama lebih dari tiga dekade, Soeharto dianggap meletakkan dasar-dasar stabilisasi politik, swasembada pangan, dan pembangunan ekonomi nasional melalui program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). 

    Legislator Golkar itu mengingatkan, pada tahun 1984, Indonesia diakui oleh FAO (Food and Agriculture Organization) sebagai negara yang berhasil mencapai swasembada beras, sebuah pencapaian monumental di bidang ketahanan pangan yang memberikan dampak sosial dan ekonomi besar bagi jutaan rakyat.

    “Revolusi Hijau dan program Keluarga Berencana (KB) adalah dua dari banyak kebijakan strategis yang tidak hanya memajukan sektor pertanian tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Ini adalah data dan fakta yang tidak terbantahkan,” jelas Singgih. 

    Dari perspektif keagamaan, Singgih menegaskan peran Soeharto dalam menciptakan ruang yang harmonis bagi kehidupan beragama. Di era pemerintahannya, kata dia, dukungan dari berbagai ormas, seperti Muhammadiyah dan NU merupakan cerminan dari penilaian kolektif akan jasa-jasa besar Soeharto.

    “Dukungan yang luas ini menunjukkan bahwa banyak elemen bangsa melihat kontribusi positif Alm. Soeharto. Tentu, setiap periode kepemimpinan memiliki dinamika dan catatannya masing-masing. Namun, dalam menilai gelar Pahlawan Nasional, kita harus berani melihat jasa dan sumbangsih terbesarnya bagi tanah air, yang telah meletakkan dasar-dasar penting bagi Indonesia modern,” ungkap anggota komisi yang membidangi keagamaan itu. 

    Singgih menyadari bahwa setiap tokoh besar pasti memiliki dua sisi mata uang yang menuai pro dan kontra. Tetapi, menurutnya, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto harus dipandang sebagai penghargaan atas jasa-jasa besarnya tanpa meniadakan kritik terhadap kekurangannya.

    “Sejarah harus dilihat secara utuh, jujur, dan berimbang. Gelar Pahlawan Nasional adalah bentuk apresiasi tertinggi negara atas kontribusi luar biasa yang melebihi panggilan tugas,” katanya. 

    “Dalam tradisi Islam, kita diajarkan untuk menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik (Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah). Jasa Pak Harto dalam perjuangan kemerdekaan, stabilisasi, dan pembangunan fondasi ekonomi nasional adalah warisan yang tidak dapat diabaikan,” sambungnya. 

    Menurut Singgih, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah langkah tepat untuk rekonsiliasi sejarah dan penguatan nilai kebangsaan, serta memberikan apresiasi yang proporsional atas pengabdiannya demi kemajuan dan keutuhan NKRI.

    “Kami berharap proses pengkajian oleh pemerintah dan DPR dapat berjalan dengan seksama, mengedepankan kelengkapan data historis, serta mendengarkan berbagai perspektif untuk mencapai keputusan yang arif dan bijaksana bagi keutuhan bangsa,” pungkasnya. 

  • Pimpinan Komisi VIII Singgih Januratmoko dukung Soeharto jadi pahlawan

    Pimpinan Komisi VIII Singgih Januratmoko dukung Soeharto jadi pahlawan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Singgih Januratmoko mendukung usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 Republik Indonesia (RI) Soeharto.

    Dukungan itu disampaikan dengan mempertimbangkan berbagai capaian dan kontribusi mendasar Soeharto bagi bangsa Indonesia, yang perlu dikaji secara obyektif, proporsional, dan berimbang.

    “Dari sisi historis, beliau adalah tokoh yang memimpin proses peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, yang pada masanya berhasil mengembalikan stabilitas nasional dan pondasi ekonomi bangsa yang sempat porak-poranda. Kita tidak boleh melupakan jasa beliau dalam pembangunan nasional melalui berbagai program yang terstruktur,” ujar Singgih dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

    Ia juga menekankan pentingnya melihat jasa dan kontribusi Soeharto secara komprehensif. Dalam masa kepemimpinannya selama lebih dari tiga dekade, Soeharto meletakkan dasar-dasar stabilisasi politik, swasembada pangan, dan pembangunan ekonomi nasional melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

    Pada 1984, Indonesia diakui oleh Food and Agriculture Organization (FAO) sebagai negara yang berhasil mencapai swasembada beras, sebuah pencapaian di bidang ketahanan pangan yang memberikan dampak sosial dan ekonomi besar bagi jutaan rakyat.

    “Revolusi Hijau dan program Keluarga Berencana (KB) adalah dua dari banyak kebijakan strategis yang tidak hanya memajukan sektor pertanian tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Ini adalah data dan fakta yang tidak terbantahkan,” katanya.

    Dari perspektif keagamaan, Singgih yang juga pernah aktif di Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), salah satu ormas Golkar, menegaskan peran Soeharto dalam menciptakan ruang yang harmonis bagi kehidupan beragama.

    Pemerintahan Orde Baru dikenal dengan kebijakannya yang mendukung pembangunan rumah ibadah dan fasilitas keagamaan, pembentukan Forum Kerukungan Umat Beragama (FKUB) serta memfasilitasi hubungan yang konstruktif antara berbagai elemen umat beragama.

    “Stabilitas yang diciptakan pada era itu memungkinkan umat Islam dan pemeluk agama lain untuk menjalankan ibadah dengan tenang. Banyak kebijakan yang mendukung pengembangan dakwah dan pendidikan agama, yang turut membentuk karakter bangsa,” ujar Singgih.

    Sebagai wakil rakyat dari Partai Golkar, yang merupakan partai yang lahir dan besar pada era kepemimpinan Soeharto, Singgih mengatakan dukungan dari berbagai ormas, seperti Muhammadiyah dan NU, serta partai politik, termasuk Golkar, merupakan cerminan dari penilaian kolektif akan jasa-jasa besar beliau.

    “Dukungan yang luas ini menunjukkan bahwa banyak elemen bangsa melihat kontribusi positif almarhum Soeharto. Tentu, setiap periode kepemimpinan memiliki dinamika dan catatannya masing-masing. Namun, dalam menilai gelar pahlawan nasional, kita harus berani melihat jasa dan sumbangsih terbesarnya bagi tanah air, yang telah meletakkan dasar-dasar penting bagi Indonesia modern,” ungkapnya.

    Namun, ia juga menyadari bahwa setiap tokoh besar pasti memiliki dua sisi mata uang yang menuai pro dan kontra, penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto harus dipandang sebagai penghargaan atas jasa-jasa besarnya tanpa meniadakan kritik terhadap kekurangannya.

    “Sejarah harus dilihat secara utuh, jujur, dan berimbang. Gelar pahlawan nasional adalah bentuk apresiasi tertinggi negara atas kontribusi luar biasa yang melebihi panggilan tugas. Dalam tradisi Islam, kita diajarkan untuk menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik (Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah),” tuturnya.

    Menurut Singgih, Partai Golkar meyakini bahwa penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah langkah tepat untuk rekonsiliasi sejarah dan penguatan nilai kebangsaan, memberikan apresiasi yang proporsional atas pengabdiannya demi kemajuan dan keutuhan NKRI.

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • JAKA Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Khianati HAM dan Semangat Reformasi

    JAKA Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Khianati HAM dan Semangat Reformasi

    Surabaya (beritajatim.com) – Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto menuai penolakan tegas dari kalangan akademisi.

    Jaringan Ksatria Airlangga (JAKA), yang mewadahi beberapa alumnus Universitas Airlangga (UNAIR), menyatakan penolakan tersebut dalam Pernyataan Sikap resmi mereka yang dirilis pada Sabtu (8/11/2025) hari ini.

    ​Jaringan alumnus UNAIR ini menegaskan penolakan mereka didasarkan pada penilaian rasional dan tanggung jawab moral, bukan kebencian pribadi. Mereka menyoroti empat alasan utama yang berkaitan dengan integritas sejarah dan marwah Reformasi 1998.

    ​Koordinator JAKA, Teguh Prihandoko, menjelaskan bahwa penolakan ini berakar dari catatan kelam selama Orde Baru.

    ​”Pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang berkaitan dengan rentetan kekerasan politik berarti melukai ingatan keluarga para korban dan mengabaikan prinsip keadilan sejarah,” ujar Teguh dalam pernyataan tertulisnya kepada media.

    ​JAKA menyoroti pelanggaran HAM sistematis, seperti Peristiwa 1965-1966, kasus Tanjung Priok, Marsinah, hingga Penculikan Aktivis 1997-1998 dan Tragedi Mei.

    ​Selain isu HAM, JAKA juga mempermasalahkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang identik dengan era kepemimpinan Soeharto.

    ​”Mengangkat tokoh yang identik dengan KKN sebagai pahlawan berarti memberikan legitimasi moral terhadap praktik korupsi,” tegasnya.

    ​Jaringan alumni UNAIR ini juga melihat pemberian gelar pahlawan sebagai instrumen pendidikan historis. Mereka khawatir, gelar tersebut akan mengirimkan pesan keliru kepada generasi muda bahwa kekuasaan yang korup dan melanggar HAM dapat ditolerir.

    ​Menurut dia, Reformasi 1998 adalah puncak perjuangan rakyat menuntut akhir dari kekuasaan yang korup dan otoriter. ​”Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengkhianati semangat reformasi, melemahkan perjuangan mahasiswa dan rakyat, serta membuka jalan normalisasi otoritarianisme,” pungkasnya.

    ​JAKA mendesak Pemerintah serta Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan untuk mempertimbangkan secara objektif jejak pelanggaran HAM dan korupsi sebelum membuat keputusan. ​”Kita menolak glorifikasi pelanggaran moral dan kemanusiaan. Sejarah harus menjadi pelajaran, bukan alat pembenaran,” demikian sikap JAKA. [tok/beq]

  • Bonnie: Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto adalah Pertempuran Memori Publik

    Bonnie: Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto adalah Pertempuran Memori Publik

    Sebelumnya, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhadjir Effendy, menyatakan dukungan penuh terhadap rencana pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.

    Menurutnya, langkah tersebut sejalan dengan semangat menghargai jasa besar tokoh bangsa yang telah berkontribusi dalam perjalanan Indonesia.

    “Kalau tidak salah, PP Muhammadiyah melalui Pak Dadang sudah menyampaikan dukungan resmi. Jadi ini bisa dijadikan pegangan bahwa Muhammadiyah mendukung pemberian gelar pahlawan kepada Pak Soeharto,” ujar Muhadjir di Jakarta, Kamis (6/11/2025).

    Ia menjelaskan, dukungan Muhammadiyah terhadap Soeharto sama halnya seperti saat organisasi Islam tertua di Indonesia itu mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden pertama, Soekarno, pada 2012 silam.

    Keduanya, kata Muhadjir, memiliki jasa luar biasa yang tidak bisa dipungkiri terhadap bangsa dan negara.

    “Baik Bung Karno maupun Pak Harto, keduanya memiliki alasan objektif yang kuat. Tidak ada yang bisa menolak andil besar mereka terhadap Indonesia,” kata Muhadjir. 

    Mengutip prinsip Presiden Prabowo, kata dia, bangsa Indonesia harus memahami falsafah mikul duwur mendem jero yang artinya menjunjung tinggi jasa para pahlawan dan menanam sedalam mungkin kekurangan mereka. Termasuk untuk Soeharto.

    Terkait adanya pihak yang menolak dengan alasan pelanggaran HAM atau pembungkam kebebasan berpendapat di era Orde Baru, Muhadjir mengajak masyarakat untuk menilai secara seimbang. 

    “Kalau yang kita cari kekurangannya, tentu banyak. Tapi kalau kita lihat kebaikannya, juga sangat besar. Kita harus objektif,” ajak dia.

  • Prabowo Umumkan Penerima Gelar Pahlawan Nasional Senin 10 November 2025

    Prabowo Umumkan Penerima Gelar Pahlawan Nasional Senin 10 November 2025

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto akan mengumumkan tokoh penerima gelar pahlawan nasional pada Senin, 10 November 2025. Pengumuman akan disampaikan bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional yang jatuh setiap tanggal 10 November.

    “Untuk gelar pahlawan rencana akan Insya Allah mungkin hari Senin. Nanti akan ada semacam keputusan pemberian gelar pahlawan nasional” kata Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat 7 November 2025.

    Dia menyampaikan jumlah penerima gelar pahlawan nasional, Prasetyo menyampaikan hal tersebut akan diputuskan Presiden Prabowo. Adapun Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan mengusulkan 49 nama kepada Prabowo, salah satunya Presiden kedua RI Soeharto.

    “Total? Total. Belum tahu,” ucap Prasetyo.

    Dia menekankan bahwa pengusulan nama penerima gelar pahlawan nasional sudah melewati semua prosedur. Terkait adanya penolakan pemberian gelar kepada Soeharto, Prasetyo mengajak semua pihak untuk melihat dan menghargai jasa pemimpin terdahulu.

    “Bahwa ada pro kontra, bahwa ada yang mungkin setuju mungkin tidak itu bagian dari aspirasi. Tetapi marilah sekali lagi kita mengajak semuanya untuk melihat yang positif. Melihat yang baik. Apalagi kalau bicaranya adalah itu pemimpin-pemimpin kita terdahulu,” jelasnya.

    “Marilah kita arif dan bijaksana belajar menjadi dewasa sebagai sebuah bangsa untuk kita menghormati dan menghargai jasa-jasa para pendahulu. mari kita kurangi untuk selalu melihat kekurangan-kekurangan,” sambung Prasetyo.

    Sebelumnya, Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, Tanda Kehormatan Fadli Zon menyampaikan usulan tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional bertambah dari 40 menjadi 49 nama. Adapun 40 tokoh dianggap telah memenuhi syarat mendapat gelar Pahlawan Nasional, sementara 9 nama lainnya usulan dari tahun sebelumnya.

    “Ada 40 nama calon pahlawan nasional yang dianggap telah memenuhi syarat dan ada sembilan nama yang merupakan bawaan, carry over, dari yang sebelumnya. Jadi totalnya ada 49 nama,” kata Fadli Zon usai menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).

    Dari 49 nama itu, Fadli Zon menyampaikan kepada Prabowo bahwa ada 24 tokoh yang masuk daftar prioritas untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Dia tak menjelaskan secara rinci siapa saja 24 nama tersebut.

    “Karena kita juga mendekati Hari Pahlawan, kita telah menyampaikan ada 24 nama dari 49 itu yang menurut, Dewan Gelar Tanda Kehormatan memerlukan, telah diseleksi mungkin bisa menjadi prioritas,” ujarnya.

    Menteri Kebudayaan itu menyampaikan Presiden kedua RI Soeharto masuk dalam daftar 49 nama calon Pahlawan Nasional yang dilaporkan kepada Prabowo. Dia menuturkan Soeharto telah tiga kali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional dan kembali dipertimbangkan pada tahun ini.

    “Nanti kita lihatlah ya (Soeharto). Untuk nama-nama itu memang semuanya seperti saya bilang itu memenuhi syarat ya, termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” jelas Fadli.

    Sementara itu, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masuk daftar calon Pahlawan Nasional yang diseleksi Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan. Selain itu, kata Fadli Zon, ada nama aktivis buruh perempuan yang gugur saat masa Orde Baru, Marsinah.

    “Itu (Gus Dur) juga termasuk yang kita seleksi ya, semuanya saya kira memenuhi syarat juga,” ujar dia.

    Menurut dia, nama Marsinah diusulkan oleh organisasi buruh untuk menjadi Pahlawan Nasional. Namun, nantinya Dewan Gelar tetap menyeleksi 24 nama yang masuk daftar prioritas sebelum ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.

    “Ya itu kan termasuk yang diusulkan juga ya, diusulkan oleh tokoh-tokoh buruh ya dan banyak juga organisasi buruh yang mendukung itu dan juga diusulkan dari pemerintah, kabupaten, kota, dari provinsi. Itu termasuk nama dari 49 nama itu,” tutur Fadli Zon.

     

  • Soeharto Berjasa dalam Program Transmigrasi

    Soeharto Berjasa dalam Program Transmigrasi

    Jakarta

    Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia kembali membicarakan jasa Presiden ke-2 RI Soeharto menjelang rencana pemberian gelar pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada 10 November. Bahlil mengatakan Soeharto berjasa dalam pembangunan RI lewat program transmigrasi.

    Hal itu disampaikan saat dirinya membuka Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Papua Selatan di Merauke, Jumat (7/11/2025). Program transmigrasi era Orde Baru itu dinilainya berperan besar membentuk potret kebinekaan dan persatuan bangsa di Tanah Papua.

    “Begitu indahnya kita melihat keragaman, saudara kita dari Jawa memiliki peran bagi kemajuan di Merauke. Yang menampilkan tarian tadi anak-anak (dari orang tua asal) Jawa-Merauke, Manado-Merauke, bahkan sudah bercampur semua suku Nusantara di tanah ini. Itu bagian dari jasa Pak Harto dengan program transmigrasi. Potret persatuan Indonesia tercermin di Merauke. Papua Selatan provinsi NKRI. Itu semua proses yang panjang, jasa Pak Harto,” kata Bahlil dilansir Antara.

    Bahlil menilai program transmigrasi yang digagas Soeharto bukan hanya menggerakkan pembangunan wilayah timur Indonesia, tetapi juga menanamkan semangat persaudaraan lintas suku dan daerah.
    Dengan begitu, menurutnya, sudah sepantasnya Partai Golkar memperjuangkan agar Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional.

    “Oleh karena itu, dengan catatan panjang, dengan kemajuan yang ditorehkan Pak Harto, yang menjaga persatuan Indonesia, menciptakan swasembada pangan, menjadikan Indonesia disegani di Asia, maka Partai Golkar mengusulkan Pak Harto menjadi pahlawan nasional,” ujarnya.

    Selain menyoroti warisan Soeharto, Bahlil menegaskan bahwa kehadirannya bersama jajaran pengurus pusat Partai Golkar juga menjadi simbol konsolidasi dan komitmen terhadap persatuan nasional.

    “Kami datang dengan formasi lengkap untuk menunjukkan bahwa kami siap melayani rakyat di seluruh Indonesia,” kata Bahlil.

    Dengan semangat kebersamaan yang terinspirasi dari sejarah panjang pembangunan nasional, Partai Golkar menegaskan tekad untuk terus berkontribusi menjaga persatuan, memperkuat demokrasi, dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat di seluruh pelosok negeri.

    Dalam kesempatan itu, Bahlil didampingi sejumlah petinggi Partai Golkar, antara lain Sekjen Muhamad Sarmuji, Bendahara Umum Sari Yuliati, Wakil Ketua Umum Adies Kadir, Wakil Ketua Umum Emanuel Melkades Laka Lena, Ketua Muhammad Misbakhun, Ketua Puteri Komarudin, dan Ketua Mustafa Radja.

    (fca/fca)

  • Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Saling Sikut Gelar Pahlawan untuk Soeharto
    Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
    DI
    tengah upaya bangsa menata ingatan sejarah dan menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, publik kembali dihadapkan pada realitas yang menggugah nurani. Nama Soeharto, presiden dengan kekuasaan paling panjang di Indonesia, muncul dalam wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional.
    Wacana ini memunculkan perdebatan yang tajam: apakah negara layak memberi penghormatan tertinggi kepada sosok yang di satu sisi dikenal membawa stabilitas dan pembangunan, namun di sisi lain meninggalkan jejak kelam kekerasan dan represi?
    Transisi kekuasaan pada 1965–1966 menandai awal kekuasaan
    Soeharto
    . Namun masa itu juga menyisakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern Indonesia. Berbagai laporan menyebutkan, pembersihan terhadap mereka yang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menelan 500.000 hingga 1 juta korban jiwa. Ratusan ribu lainnya ditahan tanpa proses hukum, mengalami penyiksaan, dan hidup terpinggirkan selama puluhan tahun.
    Laporan Amnesty International, Human Rights Watch, hingga Komnas HAM menegaskan bahwa kekerasan itu bukan spontanitas rakyat, melainkan melibatkan struktur militer secara sistematis. Sejarawan Geoffrey Robinson dalam The Killing Season (2018) menulis, operasi kekerasan tersebut terencana, melibatkan aparat negara, dan difasilitasi oleh kepentingan politik global di masa Perang Dingin.
    Sebagian akademisi menyebut tragedi ini sebagai
    politicide
    , pembunuhan massal terhadap kelompok politik tertentu. Dalam terminologi hukum internasional, beberapa peneliti bahkan menilai unsur-unsurnya memenuhi kriteria genosida politik. Fakta ini memperkuat posisi bahwa pelanggaran HAM berat di masa awal kekuasaan
    Orde Baru
    tidak bisa dihapus begitu saja dengan alasan jasa pembangunan.
    Tak bisa dimungkiri, rezim Soeharto meninggalkan warisan pembangunan fisik dan ekonomi yang masif. Program swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, dan stabilitas politik menjadi pencapaian yang kerap dijadikan dasar untuk mengusulkan
    gelar pahlawan nasional
    . Namun, keberhasilan tersebut berdiri di atas kontrol ketat terhadap kebebasan sipil, pembungkaman oposisi, dan pelanggaran hak politik warga negara.
    Dalam logika utilitarianisme politik, seseorang bisa dianggap berjasa jika tindakannya membawa manfaat besar bagi rakyat banyak. Namun teori keadilan John Rawls mengingatkan bahwa keadilan tidak bisa diukur semata-mata dari hasil, tetapi juga dari cara mencapainya. Pembangunan ekonomi yang dibarengi pelanggaran HAM berat justru melanggar prinsip keadilan substantif.
    Di masa Orde Baru, negara juga membangun narasi tunggal sejarah. Buku pelajaran, media massa, hingga institusi budaya diarahkan untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan. Rakyat diajak untuk melupakan tragedi 1965, sementara para korban dilarang bersuara. Dalam konteks inilah, memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti memperpanjang politik ingatan yang timpang—mengingat jasa, tapi meniadakan luka.
    Sampai hari ini, proses rekonsiliasi nasional terkait pelanggaran HAM masa lalu masih jalan di tempat. Upaya hukum tidak pernah benar-benar tuntas. Komnas HAM memang telah menyelesaikan penyelidikan pro justisia terkait Tragedi 1965, namun Kejaksaan Agung belum juga melanjutkan ke tahap penuntutan. Di sisi lain, korban dan keluarga korban terus menuntut pengakuan, permintaan maaf negara, serta rehabilitasi sosial yang layak.
    Dalam teori
    transitional justice
    , penghormatan terhadap pelaku masa lalu hanya layak dilakukan jika telah melalui proses kebenaran dan akuntabilitas yang jelas. Negara-negara seperti Jerman atau Afrika Selatan memberi contoh: pengakuan terhadap masa lalu dilakukan bersamaan dengan keadilan bagi korban. Penghargaan tanpa akuntabilitas justru menjadi bentuk pengingkaran sejarah.
    Jika negara ingin menimbang tokoh-tokoh dengan rekam jejak kompleks seperti Soeharto, maka langkah yang lebih etis adalah memprioritaskan komisi kebenaran nasional dan kurikulum sejarah yang jujur, bukan pemberian gelar kehormatan. Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan masa lalunya, melainkan yang berani menghadapinya.
    Dalam konteks moral dan hukum, pahlawan nasional bukan sekadar orang yang berjasa besar, tetapi juga sosok yang menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 menegaskan, gelar pahlawan hanya dapat diberikan kepada tokoh yang memiliki integritas moral, nasionalisme tinggi, dan tidak pernah melakukan tindakan yang mencederai kemanusiaan.
    Jika kriteria itu dijalankan secara konsisten, maka sulit membayangkan bagaimana Soeharto memenuhi syarat tersebut tanpa terlebih dahulu ada kejelasan pertanggungjawaban terhadap korban pelanggaran HAM di masa kekuasaannya.
    Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan menjadi preseden buruk bagi pendidikan sejarah bangsa. Ia akan mengaburkan batas antara pelaku dan korban, antara pembangunan dan represi. Lebih jauh, langkah itu bisa mencederai luka sosial yang belum sembuh serta melemahkan upaya negara menegakkan keadilan bagi para penyintas.
    Karena itu, sebelum negara menulis nama Soeharto dalam daftar pahlawan nasional, sebaiknya negara terlebih dahulu menulis nama para korban dalam daftar yang lebih penting: daftar orang-orang yang perlu diakui, dipulihkan, dan diingat.
    Pemberian gelar pahlawan bukanlah soal menimbang jasa semata, tetapi menilai nilai. Ia menyangkut moral publik dan memori bangsa. Dalam kasus Soeharto, negara dihadapkan pada pilihan sulit: mengakui jasa pembangunan atau mengakui luka sejarah.
    Namun, bangsa yang berani menghadapi masa lalunya dengan jujur adalah bangsa yang benar-benar merdeka secara moral. Sampai proses kebenaran itu tuntas, gelar pahlawan nasional bagi Soeharto bukanlah penghormatan, melainkan pengingkaran.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4
                    
                        Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
                        Nasional

    4 Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto Nasional

    Bahlil Usul Semua Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Tak Hanya Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar semua presiden yang pernah memimpin Republik Indonesia mendapatkan gelar pahlawan nasional.
    Usulan tersebut disampaikannya ketika ditanya soal adanya penolakan pemberian gelar
    pahlawan nasional
    kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia
    Soeharto
    .
    “Bila perlu kami menyarankan semua tokoh-tokoh bangsa yang mantan-mantan presiden ini kalau bisa dapat dipertimbangkan untuk diberikan
    gelar pahlawan nasional
    , ya,” ujar Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
    Dalam daftar 40 nama yang diusulkan Kementerian Sosial (Kemensos), terdapat pula nama Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    Selain Gus Dur, Bahlil juga mengusulkan agar Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie diberikan gelar pahlawan nasional.
    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanya lah,” ujar Bahlil.
    Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu juga menjawab soal adanya penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
    Menurutnya, jasa yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun memimpin Indonesia menjadi indikator kelayakan untuk menerima gelar pahlawan nasional.
    “Negara ini, kita harus menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, ya. Jadi kita biasa saja. Kita tidak bisa melupakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Harto selama 32 tahun itu sesuatu yang luar biasa,” ujar Bahlil.
    Bahlil mengatakan, penolakan merupakan hal yang lumrah karena tidak ada manusia yang benar-benar sempurna.
    Kendati demikian, ia mengungkit jasa Soeharto yang menciptakan swasembada pangan, lapangan pekerjaan, hingga membuat Indonesia dijuluki Macan Asia.
    “Mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100 persen kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia di pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujar Bahlil.
    Dok. KOMPAS/Charles Dharapak Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998.
    Sementara itu, 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI itu.
    Penolakan itu ditegaskan dalam deklarasi di Kantor LBH, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). Aktivis HAM yang juga Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid mendesak agar usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional dibatalkan.
    Setidaknya ada empat alasan mengapa koalisi masyarakat sipil menolak gelar untuk Soeharto. Pertama, karena pemerintahan Soeharto selama 32 tahun dipenuhi berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
    Kedua, pemerintah Soeharto dipenuhi oleh berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    “Yang ketiga, juga diikuti dengan pemberangusan kebebasan berpendapat, kebebasan pers sampai dengan kebebasan akademik,” ungkap Usman.
    “Dan yang terakhir adalah adanya ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi selama pemerintahan Soeharto,” sambungnya menegaskan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bahlil Sebut Mantan Presiden Pantas Jadi Pahlawan Nasional: Soeharto, Gusdur, dan Habibie

    Bahlil Sebut Mantan Presiden Pantas Jadi Pahlawan Nasional: Soeharto, Gusdur, dan Habibie

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menanggapi wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang menuai perdebatan publik.

    Dia menilai, perbedaan pendapat terkait hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam demokrasi, tetapi bangsa Indonesia tetap harus menghargai jasa para tokoh yang telah berkontribusi besar bagi negara.

    “Ya, itu biasa saja. Persoalan negara ini kan kita harus menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, ya. Jadi kita biasa saja. Kita tidak bisa melupakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Harto selama 32 tahun itu sesuatu yang luar biasa,” kata Bahlil.

    Pria yang menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu menegaskan, Soeharto merupakan salah satu pendiri Partai Golkar yang memiliki peran penting dalam menjaga ideologi negara dari ancaman paham yang bertentangan dengan Pancasila.

    “Bagi kami, Pak Harto adalah seorang tokoh, kemudian pemimpin bangsa 32 tahun yang mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100% kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujarnya.

    Meski begitu, menurut Bahlil, tidak ada manusia yang sempurna, termasuk para pemimpin bangsa. Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak untuk menilai jasa para tokoh secara proporsional dan menghargai kontribusi positif yang telah mereka berikan bagi kemajuan Indonesia.

    Bahkan, Bahlil menilai bahwa apabila perlu partainya menyarankan agar seluruh tokoh-tokoh bangsa terkhusus mantan-mantan presiden agar dapat dipertimbangkan untuk meraih gelar pahlawan nasional.

    “Kalau kita mau bicara tentang manusia yang sempurna, kesempurnaan itu cuma Allah Subhanahu wa taala. Semua masih ada plus minus, sudahlah yang yang baik ya kita harus hargai semua para pendiri dan para tokoh bangsa,” imbuhnya.

    Termasuk saat ditanya mengenai usulan agar Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga diberi gelar serupa, Bahlil menegaskan bahwa Golkar bersikap terbuka terhadap penghargaan bagi seluruh mantan presiden yang telah wafat.

    “Kami itu terbuka. Bila perlu tokoh-tokoh bangsa yang mantan-mantan presiden, yang sudah selesai, yang sudah pergi, sudah dipanggil oleh Allah Subhanahu wa taala, mereka itu punya jasa. Sampai kapan bangsa ini kalau selalu melihat kekurangan daripada tokoh-tokohnya? Lihat dong ada kelebihan-kelebihannya.”

    Dia juga menilai Gus Dur dan BJ Habibie merupakan tokoh besar yang turut memberikan kontribusi penting bagi perjalanan bangsa.

    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanyalah ya,” pungkas Bahlil.