Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana
Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
KONTROVERSI
soal pemaafan
koruptor
, amnesti untuk koruptor, dan penerapan denda damai untuk koruptor, mempertontonkan salah satunya, ada problem besar komunikasi di seputar Istana, selain problem subtansi.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Kairo yang akan memaafkan koruptor asal mengembalikan kekayaannya menimbulkan kontroversi meluas.
Menteri Koordinator Hukum Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa Presiden punya hak konstitusional memberikan amnesti, abolisi, dan grasi untuk terpidana.
Yusril juga mengatakan, dari 44.000 terpidana yang akan mendapatkan amnesti, jumlah terpidana
korupsi
hanya beberapa ribu orang.
Tidak ada yang membantah bahwa Presiden punya hak konstitusional untuk memberikan amnesti, abolisi, dan grasi.
Pernyataan Yusril itu menunjukkan ada proses hukum yang mendahului sebelum kemudian dihentikan penuntutannya.
Namun, pembelaan Yusril itu bisa kurang sinkron ketika Presiden Prabowo sudah berbicara soal mekanisme pengembalian kekayaan secara diam-diam.
Pernyataan Yusril kemudian disusul pernyatan Menteri Hukum Supratman Andi Atgas yang menawarkan solusi denda damai untuk koruptor.
Sayangnya, pernyataan politisi Partai Gerindra ini juga kurang tepat karena denda damai yang dimiliki Jaksa Agung hanya untuk tindak pidana ekonomi, seperti kepabeanan atau bea cukai, bukan untuk korupsi.
Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Harli Siregar juga membantah. “Denda damai tidak untuk koruptor,” kata Harli.
Soal amnesti untuk koruptor, Supratman juga meluruskan pernyataan Yusril bahwa tidak ada pemberian amnesti untuk terpidana korupsi yang diberikan Presiden Prabowo.
Sengkarut komunikasi di kalangan pembantu Presiden Prabowo itu bisa merugikan citra Presiden yang pemerintahannya belum berusia 100 hari.
Sengkarut komunikasi bisa dibaca publik sebagai belum adanya kajian komprehensif soal pemaafan koruptor yang akan diambil Presiden Prabowo. Selayaknya kebijakan didasarkan ada
evidence based policy.
Apresiasi harus diberikan kepada Menteri Supratman yang secara cepat meluruskan dan membatalkan gagasan denda damai untuk koruptor.
Pembatalan gagasan denda damai – yang memang tidak tepat diterapkan untuk tindak pidana korupsi – sedikit meredakan perbedaan pendapat yang tidak produktif di antara pembantu Presiden.
Publik bertanya-tanya di mana peran Kantor Komunikasi Presiden dengan sejumlah juru bicara presiden?
Sejumlah juru bicara presiden yang sebelum ini begitu piawai berbicara di televisi memberikan analisa politik, mengapa tidak terdengar kiprahnya mengatasi sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor?
Selain substansinya yang sangat sensitif, komunikasi publik menjadi penting. Terlebih, meminjam istilah Jakob Oetama, kita berkomunikasi di masyarakat yang tidak tulus sehingga dibutuhkan strategi komunikasi yang
ngepas
.
Pesan komunikasi bukan hanya teks, tapi konteks. Ketika konteks tak diberikan, jangan memaksa pubik harus memahami konteks masalahnya. Dan, jangan terlalu cepat menghakimi publik dengan ungkapan, “tokoh gagal”.
Isu korupsi adalah masih menjadi isu sensitif. Belum saatnya negara memaafkan koruptor.
Mengutip esai Aswar Hasan di
Kompas
, 27 Desember 2024, “…
Korupsi
bukan hanya kejahatan individu, melainkan juga ancaman serius terhadap kedaulatan, keadilan, dan masa depan suatu bangsa. Ketika korupsi dibiarkan atau dianggap remeh, negara kehilangan legitimasi, kepercayaan rakyat, dan koruptor berpotensi untuk berkembang. Negara harus menunjukkan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk kepada pejabat tinggi dan tokoh berpengaruh yang terlibat korupsi. Korupsi telah merampas hak masyarakat atas pendidikan, kesehatan, dan pembangunan yang layak. Negara wajib melindungi rakyat dari dampak buruk tersebut…”
Psikologi publik dihadapkan pada rasa perasaan ketidakadilan ketika majelis hakim menjatuhkan vonis 6,5 tahun terhadap Harvey Moeis atas kerugian perekonomian negara Rp 300 triliun dalam kasus korupsi timah di Bangka.
Publik juga gerah ketika kasus mafia peradilan bekas pejabat MA Zarof Ricar ditangani secara biasa-biasa saja. Istana juga tidak bereaksi atas berbagai peristiwa hukum yang melukai perasaan publik.
Mengambil terobosan atau kebijakan di luar kebiasaan selayaknya mempertimbangkan sentimen dan rasa perasaan publik.
Pada masa Orde Baru, Istana kerap mengundang secara terbatas sejumlah pemimpin redaksi untuk mendiskusikan kebijakan baru yang diambil pemerintah disertai latar belakangnya.
Pemimpin redaksi ditempatkan sebagai “devil advocate” untuk men-
challenge
—kebijakan yang diambil pemerintah.
Dari situlah, strategi dan mitigasi komunikasi dipersiapkan sehingga reaksi yang timbul sudah bisa dimitigasi. Fase ini bisa disebut fase “building understanding” antara pemerintah dan media.
Tahapan ini tidak dilakukan. Pemerintah tampaknya sangat percaya diri dengan dukungan mayoritas partai politik di DPR.
Partai politik memang seperti mengalami disfungsi menghadapi isu kepublikan, termasuk program pemaafan koruptor.
Elite partai politik berupaya main aman dengan mengamini semua kebijakan pemerintah. Partai politik yang saat kampanye garang terhadap korupsi, kini
mlempem.
Bahkan, anggota DPR menghardik dengan kata-kata kasar, termasuk menyebut gagal terhadap tokoh di luar pemerintahan yang gencar mengkritik dan program pemerintah.
Bangsa ini masih beruntung masih ada secercah harapan pada minoritas kreatif yang tetap menjaga akal sehat dan nurani publik.
Di tengah disfungsi partai politik, masih ada suara kritis seperti disuarakan Zaenur Rohman dari Pukat UGM atau pun Mahfud MD yang dinilai “tokoh gagal” oleh Ketua Komisi III Habiburohman.
Masih ada suara kenabian dari Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo soal dijadikannya korupsi sebagai alat sandera politik.
Saya bertanya pada Chat GPT soal sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor. Dan ini jawabannya:
“…
Pernyataan pembantu presiden soal pemafaan koruptor memiliki pengaruh langsung terhadap persepsi publik tentang keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Misalnya, jika pola komunikasinya cenderung membela koruptor dengan dalih seperti usia lanjut atau kesehatan, publik bisa menganggap pemerintah tidak berkomitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Persepsi negatif ini dapat melemahkan legitimasi pemerintah dan memperkuat narasi bahwa ada pelemahan sistemik terhadap institusi antikorupsi seperti KPK
…”
Hati-hati berkomunikasi karena komunikasi membentuk persepsi. Jangan sampai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kian anjlok.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: Orde Baru
-
/data/photo/2024/12/11/67595969763b1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana Nasional
-

Ini Jalan Tol Pertama di Indonesia, Begini Asal-usulnya
Jakarta –
Siapa yang tak tahu jalan tol Jagorawi? Buat yang suka bolak balik Jakarta, Cibubur, Citeureup, Bogor hingga Ciawi pasti pernah melewati jalan tol tersebut. Tapi, tahukah kamu, jalan tol Jagorawi ternyata adalah jalan tol yang pertama dibangun di Indonesia?
Jalan tol Jagorawi diresmikan sejak 9 Maret 1978 lalu oleh Presiden Soeharto. Pembangunan jalan tol sepanjang lebih kurang 50 kilometer ini memakan waktu lima tahun dengan biaya sebesar Rp 16 miliar. Lalu, seperti apa sejarah pembangunan jalan tol pertama di Indonesia tersebut?
Wacana pembangunan jalan tol ini sebenarnya bukan murni ide dari Soeharto maupun rezim Orde Baru. Melainkan, digagas oleh Wali Kota (setingkat Gubernur) Jakarta Periode 1953-1960, Raden Soediro. Soediro waktu itu mengusulkan adanya jalan berbayar agar pemerintah daerah Kotapraja Jakarta mendapatkan dana tambahan. Lantaran saat itu, anggaran pemerintah daerah Kotapraja Jakarta mulai menipis pasca pembangunan Jalan Soedirman dan M.H. Thamrin.
Akhirnya, pada 1955, Soediro bersama Badan Pemerintah Harian Kotapraja Jakarta mengusulkan pembangunan jalan tol ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS). Namun, usulan Sudiro ditolak oleh anggota dewan. Alasannya beragam, ada yang menganggap jalan tol justru bisa menghambat kelancaran lalu lintas, yang lainnya menilai penarikan tarif tol merupakan kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik, sebab pola itu dianggap kuno seperti yang pernah diterapkan di masa kolonial Belanda.
Pada 1970, kondisi lalu lintas di Jakarta macet karena semakin bertambahnya jumlah kendaraan. Pada tahun itu, tercatat ada 222.000 kendaraan. Akhirnya, usulan Sudiro untuk membangun jalan tol akhirnya dipertimbangkan.
Menteri PUT Sutami, pada 9 Januari 1970, mengusulkan pembangunan Djakarta By Pass dari Cililitan-Ciawi sepanjang 50 kilometer kepada Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Pada 1973, tak lama setelah Soeharto ditetapkan MPR sebagai Presiden RI untuk periode keduanya, mega proyek jalan tol pertama ini pun dimulai pembangunannya.
Awalnya, jalan ini sebenarnya direncanakan memiliki dua fungsi, yakni untuk sipil dan militer. Selain dimanfaatkan sebagai jalan raya pada umumnya, jalan ini juga akan digunakan sebagai landing-strip darurat bagi pesawat-pesawat tempur jika sewaktu-waktu terjadi perang. Maka, dilihat dari fungsi awalnya, pembangunan jalan Jakarta-Bogor ini bukan dimaksudkan sebagai jalan bebas hambatan dan tidak dikenakan biaya sama sekali (pada masa uji coba).
Namun, setelah pembangunan jalan selesai, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) saat itu, Sutami mengusulkan agar jalan ini dijadikan tol berbayar dengan tujuan yang serupa dengan Soediro. Tujuannya untuk membiayai pengoperasian dan pemeliharaan tanpa membebani anggaran pemerintah pusat. Usulan itu pun diterima Soeharto.
Selanjutnya, Presiden Soeharto meresmikan jalan tol Jagorawi pada 1978. Untuk pengelolaannya, per 25 Februari 1978, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 4/1978 tentang Penyertaan Modal Negara RI untuk pendirian persero yang mengurusi dan mengelola infrastruktur jalan raya. Tak lama setelah itu, tepatnya per 1 Maret 1978, terbentuklah PT Jasa Marga untuk mengelola tol pertama Indonesia tersebut. Saat itu, Jasa Marga langsung menerima guyuran dana kurang lebih Rp 2 miliar.
Setelah diresmikan, tarif jalan tol mulai berlaku. Tarifnya, Rp 13/km untuk mobil sedan dan sejenisnya. Sementara, untuk truk dan sejenisnya Jasa Marga menerapkan tarif Rp 20/km.
Hasil yang didapatkan dari retribusi ini digunakan untuk biaya perawatan jalan tol. Setelah proyek tol Jagorawi, pemerintah melanjutkan pembangunan tol lainnya, yaitu Jakarta-Merak pada 1984. Hingga 2016, panjang tol yang sudah beroperasi di Indonesia tercatat mencapai 984 kilometer. Panjang itu belum termasuk ratusan kilometer lainnya untuk ruas-ruas jalan tol baru yang sedang digenjot pada masa pemerintahan Joko Widodo.
(fdl/fdl)
-

Kaleidoskop 2024: Kemenangan Keluarga Jokowi hingga Dipecat PDIP
Bisnis.com, JAKARTA – Sepanjang 2024 menjadi tahun yang penuh asam dan manis bagi perjalan politik keluarga Joko Widodo (Jokowi).
Pasalnya, meski menjadi tahun terakhirnya menjabat sebagai Presiden ke-7 RI, estafet politiknya masih dapat dilanjutkan oleh keluarganya yang berkontestasi dalam pemilihan presiden dan pemilihan gubernur.
Namun perjalan politik keluarga Jokowi harus berujung pemecatan di pengujung tahun dari partai yang telah membesarkan namanya dan keluarga yakni PDI Perjuangan.
Pada 14 Februari 2024, anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mengikuti kontestasi Pilpres mendampingi Prabowo Subianto yang maju sebagai calon presiden.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada akhirnya menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024 dengan raihan suara terbanyak yakni 96.214.691 suara atau 58,59% total suara sah nasional.
“KPU menetapkan pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih 2024-2029,” kata Ketua KPU Hasyim Asy’ari pada Rabu (24/4/2024).
Perjalanan Gibran hingga akhirnya terpilih menjadi orang nomor 2 di republik ini menuai banyak polemik, terutama dari PDIP yang merupakan parpol tempat dia bernaung.
Hal tersebut membuat hubungan antara partai berlambang banteng bermoncong putih dengan keluarga Jokowi menjadi tidak baik.
Salah satu tanda keretakan hubungan antara keluarga Jokowi dan PDIP di antaranya adalah pada saat digelarnya Rakernas PDIP pada 26 Mei 2024.
Kendati masih berstatus kader dan masih menjabat sebagai presiden, Jokowi tidak masuk dalam daftar undangan.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengungkap alasan tidak mengundang Presiden Joko Widodo (Jokowi) di rapat kerja nasional (Rakernas) ke-V PDIP karena dianggap tak menjaga demokrasi dan tegakkan hukum.
Hasto mengatakan, Rakernas ke-V ini diadakan dalam momentum melawan sisi gelap kekuasaan. Apalagi, menurutnya, publik bisa melihat buruknya penyelenggaraan Pemilu 2024.
Oleh sebab itu, Hasto menyatakan PDIP hanya akan mengundang figur yang memiliki semangat dalam menjaga hukum dan demokrasi dalam Rakernas V PDIP
“Spirit itu yang tentu diundang adalah mereka, mereka yang memiliki spirit di dalam menjaga demokrasi hukum, menegakkan negara hukum menegakkan demokrasi yang berkedaulatan rakyat,” ujarnya di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu (22/5/2024).
Hasto mengingatkan bahwa PDIP merupakan partai politik dengan sejarah panjang. Apalagi, lanjutnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga punya pengalaman melawan rezim Orde Baru yang tidak hargai hukum dan demokrasi.
“Itu lah yang akan diundang PDI Perjuangan di dalam Rapat Kerja Nasional yang ke-V,” katanya.
-

Sri Mulyani ke IMF: Hilirisasi Bukan Kebijakan Baru, Sudah Mulai sejak 1990an
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan hilirisasi bukanlah kebijakan baru dari pemerintah Indonesia, melainkan sudah diwacanakan sejak Era Orde Baru.
Pernyataan itu disampaikan Sri Mulyani kepada Finance and Development Magazine edisi Desember 2024, jurnal terbitan International Monetary Fund (IMF). Dia menekankan pentingnya Indonesia memanfaat sumber daya alamnya yang berlimpah.
“Kami [Indonesia] butuh lebih banyak modal untuk membangun fondasi yang lebih kuat. Itulah kami mengapa memilih kebijakan hilirisasi. Itu bukan sesuatu yang kami lakukan secara tiba-tiba. Dalam beberapa kasus, diskusi sudah mulai pada 1990-an,” ungkap Sri Mulyani dikutip dari situs IMF pada Kamis (26/12/2024).
Pemerintah Indonesia, sambungnya, ingin nilai tambah berbagai sumber daya alam tercipta di dalam negeri. Oleh sebab itu, pemerintah melarang ekspor sejumlah bahan mentah logam dasar.
Kendati demikian, mantan Kepala Bappenas itu mengaku pemerintah Indonesia tidak memaksa perusahaan untuk membangun industri hilirisasi seorang diri. Menurutnya, pemerintah memberi bantuan dengan membangun infrastruktur pendukung, mempermudah iklim investasi, hingga insentif fiskal.
“Pada saat yang sama, kami memberi tahu perusahaan pertambangan bahwa mereka tidak dapat mengekspor mineral yang belum diolah, dan mereka harus membangun pabrik peleburan [smelter],” ujar Sri Mulyani.
Dia mengaku kolaborasi antara pemerintah dan swasta menjadi ciri pendekatan Indonesia dalam membangun perekonomian. Kebijakan hilirisasi, klaim Sri Mulyani, menguntungkan semua pihak.
“Perekonomian Indonesia menjadi lebih tangguh, dan investor dapat memperoleh keuntungan. Kami [pemerintah dan swasta] tumbuh lebih kuat bersama-sama,” katanya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menilai ketahanan fundamental perekonomian Indonesia telah terbangun. Dia meyakini pencapaian terpenting pemerintah Indonesia adalah mengembalikan stabilitas dan kredibilitas kebijakan ekonomi makro usai krisis moneter 1997—1998.
Bendahara negara era Presiden SBY, Jokowi, dan kini Prabowo itu mencontohkan, stabilitas dan kredibilitas perekonomian Indonesia tercipta karena pemerintah berhasil mendirikan bank sentral yang independen.
Pemerintah, sambungnya, juga selalu bersikap hati-hati mengatur defisit anggaran dan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PBD).
-

Mohammad Farid Fad: Merabuk Civil Courage
Merabuk Civil Courage
Oleh: Mohammad Farid Fad, MSi
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo
SELEPAS riuh pengumuman resmi pemenang Pilkada 2024 oleh KPU, publik mulai menunggu kinerja dan menagih janji para pemenang kontestasi. Tak peduli apakah betul-betul memenangkan pertarungan melawan kontestan ataukah sekedar memusuhi kotak kosong. Terkhusus yang kalah, dalam kompetisi adalah hal yang lumrah.
Di lain kesempatan, Presiden Prabowo mulai mempertimbangkan soal reformulasi mekanisme pemilihan, yakni mengembalikan skema pemilihan lewat DPRD. Selain terkait efisiensi untuk menekan pengeluaran anggaran, juga menimbang ongkos politiknya yang tinggi.
Terlepas dari itu, yang harus disadari, data dari Freedom House menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 (2019) menjadi 57 (2024). Dalam Pemilu, masyarakat kita dinilai hanya suka selebrasinya namun abai dengan rasionalitas demokrasi. Padahal gramatika demokrasi adalah otentisitas kehendak umum (volonte generale) yang dilandasi rasionalitas publik.
Nilai demokrasi mengalami resesi akut sebab dimaknai hanya persoalan angka survey elektabilitas. Pencitraan bisa mudah dipoles oleh dengusan para pengendors. Endorsement public figure menjadi madu elektoral. Tak pelak indicator numerikal menjadi urgen. Jumlah follower menjadi penentu “harga” diri. Tak segan dana segar digelontorkan sebagai pemenuhan hajat mendulang citra.
Suara Parau
Ruang publik yang semestinya penuh riuh kontestasi ide dan nilai menjadi wacana omon-omon janji yang hampa makna. Hal ini diperparah dengan ketimpangan kekayaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang telah menciptakan privilege dan dapat dipergunakan sebagai sumber daya politik. Mereka bisa saja cawe-cawe turut memengaruhi proses pembuatan kebijakan politik agar sejalan dengan kepentingannya (state capture).
Rumusannya sederhana, asal oligarki politik berkehendak, soal eksekusi semua mudah diatur. Sebaliknya, bila tidak berkenan, segenting apapun pertimbangannya akan tersingkir dengan pasti.
Suara-suara kritis semakin lama semakin parau. Ditimbun oleh isu-isu ad hoc yang diorkrestasi hingga siap berganti tema setiap saat. Kepekaan publik kian hari kian kebal rasa. Sensifitas kemanusiaan makin lama makin kebas.
Sipil Berdaya
Di antara kekuatan ekstra-parlemen yang bisa diharapkan ialah jejaring warga yang berdaya dengan menggalakkan civil courage. Hal ini bisa terjadi bila publik mulai bergerak meninggalkan kursi nyaman sebagai penonton demokrasi sembari mulai mengintervensi ruang publik dan menyatakan pendiriannya secara lugas dan otonom. Disinilah peran NU dan Muhammadiyah sebagai dinamo penggeraknya.
Tentu civil society berdaya yang dimaksud disini bukanlah seperti System der Bedurfnisse (Hegel) serta bukan preferensi nilai milik Walzer ataupun konsep asosiasi bebas warga dalam ruang publik-nya Habermas.
Bila meminjam logika Gramsci, bisa atau tidak terbentuknya masyarakat sipil yang berdaya sangat bergantung pada tersedianya ruang pertarungan ide atau gagasan.
Oleh sebab itu, ekosistem ini dapat tumbuh subur bila ranah percakapan sehari-hari tak jauh dari komunikasi politik sebagai bagian dari partisipasi warga. Di ruang-ruang social inilah civil courage perlu dipupuk secara aktif dan progresif. Akibatnya, daya kritis dan kreatif masyarakat akan terbuka dengan sendirinya.
Masyarakat yang terbaik (al-ijtima al-fadhil), menurut Al-Farabi, ialah masyarakat yang hidup bekerjasama dan saling membantu untuk mencapai kebahagiaan, baik dunia maupun akhirat. Partisipasi rakyat juga menjadi elemen penting dalam pemikirannya.
Ia meyakini bahwa negara yang ideal (al-madinah al-fadhilah) bukan hanya institusi politik, tetapi juga ruang etis di mana individu dapat mengembangkan diri secara utuh, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual demi kesejahteraan bersama. Menurutnya setiap individu memiliki peran sesuai kapasitasnya untuk berkontribusi dan bekerjasama dalam mewujudkan kebahagiaan kolektif.
Sokongan Media
Selain itu, salah satu instrumen demokrasi yang tak kalah penting adalah kekuatan media yang informatif dan independen. Jangan sampai media terpuruk seperti zaman Orde Baru yang mengerang dalam takut. Hanya menjadi perpanjangan tangan penguasa yang menjadikan informasi sebagai alat penggiringan opini publik.
Media yang sewajarnya sebagai ruang publik yang obyektif, bila disandera oleh kepentingan-kepentingan tertentu, bisa-bisa kehilangan independensinya. Ruang publik bisa terkikis, kemudian lapuk.
Perlu direnungkan bersama: berapa banyak durasi dan eksemplar info yang Anda konsumsi setiap hari? Bukankah sepatutnya berisi informasi-informasi kontemplatif yang sarat makna dan layak didiskusikan? Mengapa bersalin rupa menjadi kabar-kabar kriminal berlimpah yang hanya menimbulkan fobia dan menyajikan derita korban?
Independensi
Tak dipungkiri, info-info kriminalitas memang perlu dan bernilai berita, namun apa kedalaman fungsi, makna dan nilai guna info tersebut dalam peningkatan kualitas manusia ketika didialogkan ataupun diperdebatkan. Yang terjadi adalah the death of meaning.
Memilih sikap netral, independen dan obyektif dalam menghadapi potensi tekanan politik merupakan sebuah kemewahan tersendiri bagi media belakangan ini. Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (2007) menggambarkannya sebagai fenomena hiperrealitas, dunia kesemuan yang sengaja menyembunyikan atau mendistorsi citra realitas sesungguhnya.
Tak keliru bila yang terjadi adalah menelurkan kesadaran semu (false consciousness) politik semata. Bila tidak segera diantisipasi, maka akan mengakibatkan pemutarbalikan semiotika dan semantika politik. Dimana setiap fragmen nilai-nilai luhur dalam politik menjadi lenyap tak berbekas, terjerembab dalam kedangkalan.
Tentu hal ini perlu diingatkan sejak dini agar demokrasi kita tak hanya berhenti pada tataran prosedural, namun naik kelas menjadi demokrasi substansial. Disebabkan kehendak Tuhan (vox Dei) yang adiluhung tak bisa hanya ditera berdasar indikator numerikal belaka tanpa penghayatan rasionalitas publik. Wallahu a’lam bis shawab. (*) -

Presiden Prabowo Wacanakan Pilkada Dipilih DPRD, Pakar Hukum: seperti Zaman Orba
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menggulirkan wacana agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat, melainkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Usulan ini menuai berbagai tanggapan, termasuk dari Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, yang memberikan pandangannya terhadap wacana tersebut.
Menurut Satria, sistem Pilkada melalui DPRD bukanlah hal baru, mengingat sistem serupa pernah diterapkan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, yang juga merupakan mertua Prabowo. Namun, ia menegaskan bahwa perubahan sistem Pilkada memerlukan evaluasi mendalam.
Satria menyoroti pentingnya mengevaluasi pelaksanaan Pilkada serentak yang dianggap memakan biaya besar dan belum tentu efektif.
“Khawatirnya, ide ini muncul bukan dari perspektif Presiden Prabowo, tetapi dari posisi beliau sebagai ketua partai yang mungkin merasa dirugikan akibat kekalahan di beberapa daerah strategis, seperti DKI Jakarta,” ujarnya.
Prabowo disebut membandingkan sistem Indonesia dengan negara-negara parlementer seperti Malaysia, India, dan Singapura. Namun, Satria menilai perbandingan ini tidak tepat karena Indonesia menganut sistem demokrasi langsung yang berbeda dari sistem parlementer.
“Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah salah satu hasil reformasi yang memperkuat otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa hak masyarakat untuk memilih pemimpin secara langsung merupakan pencapaian penting era reformasi.
-
/data/photo/2024/12/16/675f7baca9a9f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pilkada untuk Kesejahteraan Bersama
Pilkada untuk Kesejahteraan Bersama
Aktivis yang Nyambi Jadi Politisi. Selalu belajar dari sekitar. Politisi Partai Golkar, Anggota DPR RI, Koordinator Presidium MN KAHMI
PRESIDEN
Prabowo Subianto melempar wacana pentingnya kita mengkaji ulang sistem
Pilkada langsung
yang saat ini berjalan. Proposal itu disampaikan pada HUT ke-60 Tahun Partai Golkar, beberapa waktu lalu.
Inti dari pesan Presiden bahwa
demokrasi
harus berjalan beriringan dengan kesejahteraan rakyat. Barangkali itu berbasis dari Pembukaan UUD 1945, “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”.
Dalam konteks tersebut, pemborosan APBN untuk Pilkada harus dihindari.
“Berapa puluh triliun (rupiah) habis dalam satu-dua hari, baik anggaran dari negara maupun dari masing-masing tokoh politik. Kalau dilakukan oleh DPRD, negara bisa hemat dan efisien seperti di Malaysia dan Singapura,” kata Presiden.
Tak menunggu lama, isu ini menjadi debat publik dan memancing pro dan kontra.
Jauh sebelum polemik tersebut muncul, penulis dalam Kolom di
Kompas.com
, beberapa waktu lalu, sudah mengulas
pentingnya penyempurnaan sistem politik
.
Ibarat tubuh manusia, sistem politik merupakan jaringan yang hidup dan saling memengaruhi satu sama lain.
Saat tangan kita tergores, misalnya, maka mulut dan otak akan merasakan sakit. Begitu juga dengan sistem politik, bila virus moral hazard seperti
money politics
menjalar “merata” ke seluruh tubuh, maka demokrasi akan menjerit. Tak hanya itu, keuangan negara akan terpukul dan inflasi melejit.
Begitu juga dengan usia, di mana semakin lama (atau tua) sistem politik berlaku, maka perlu dilakukan penyempurnaan (evaluasi) untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah.
Saat pertama kali digelar, Juni 2005, Pilkada langsung membawa semangat demokratisasi pemilihan, yaitu memindahkan
votes right
dari meja parlemen ke meja rakyat di TPS.
Saat itu, konteks politiknya adalah bahwa kita baru keluar dari sistem Orde Baru yang otoriter, sehingga ruang untuk partisipasi publik di semua hal menjadi kebutuhan.
DPR saat Orde Baru tak lebih dari ornamen politik yang sulit melakukan terobosan. Tentu saja image parlemen hari ini berbeda dengan dahulu.
Setelah hampir dua dasawarsa berlangsung, benar bahwa Pilkada langsung menghasilkan kemajuan di beberapa daerah. Namun pada saat yang sama, terjadi penurunan kualitas demokrasi dan beban pembiayaan politik yang semakin besar.
Dampak negatifnya lebih massif daripada kemajuan di sejumlah titik tadi. Itu juga bukan preseden yang baru, karena di medio 2010-2012, Pilkada langsung juga sempat mendapat gugatan dari berbagai pihak.
Mengutip pandangan Ryas Rasyid, mantan Menteri Dalam Negeri, di
Kompas
tahun 2011, beliau mencatat setidaknya ada tiga dampak negatif Pilkada langsung yang memprihatinkan.
Yaitu penggunaan uang yang semakin marak untuk membeli suara konstituen (
vote buying
), tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang, dan potensi perilaku koruptif kepala daerah terpilih akibat
high costs
politik.
Kita harus berani mengakui bahwa tiga dampak negatif tersebut semuanya sudah terjadi hari ini.
Vote buying
misalnya, pada Pileg dan Pilpres lalu sebagian besar elite politik menyimpulkan bahwa praktik
money politics
tidak hanya terjadi, tapi dilakukan secara “ugal-ugalan”.
Kurang tegasnya penyelenggara Pemilu dalam melakukan pengawasan, membuat banyak pihak “menormalisasi” politik sembako, bantuan,
cash money
dan sebagainya.
Jumlahnya mencengangkan, mendekati Rp 1.000 Triliun di Pileg dan Pilpres lalu. Itu hitungan kasar dari penulis, yang terdiri dari Rp 200-an trilun biaya pelaksanaan dari APBN dan biaya yang dikeluarkan tiap caleg berjumlah ribuan.
Imbasnya, parlemen didominasi oleh mereka yang berlatar belakang pebisnis. Sepintas tidak salah dengan praktik tersebut. Namun, bila menengok frasa “ugal-ugalan” di atas, maka yang sesungguhnya terjadi adalah
unfairness competition
, pihak yang memiliki logistik berlebih (pengusaha) akan diuntungkan dari proses ini.
Hasilnya pun dapat dilihat pada Pileg terakhir (2024), di mana 61 persen anggota DPR terpilih terafiliasi dengan kelompok bisnis tertentu. Angka yang lebih besar bahkan terekam di Pemilu lima tahun sebelumnya.
Sementara para aktivis dan akademisi yang memiliki komitmen perjuangan, sering kali kalah di TPS dalam Pileg maupun Pilkada langsung, karena sulit bersaing dengan para pengusaha dalam mobilisasi logistik.
Di sisi lain, pemilih yang rata-rata lulusan SMP belum mencapai tahapan memilih secara rasional.
Akibatnya, keprihatinan kedua terjadi, di mana pemilih tidak mendapatkan pemimpin ideal yang bersih dan berpihak ke rakyat, karena
popular vote
sangat rentan dengan mobilisasi suara melalui
vote buying
tersebut.
Dampak lanjutannya, performance pembangunan di banyak daerah yang
busines as usual
selama rezim Pilkada langsung, menjadi bukti bahwa ada yang salah dengan sistem yang berlaku selama ini.
Alih-alih membangun, ratusan kepala daerah hasil Pilkada langsung justru menjadi tersangka kasus korupsi.
Data KPK menyebutkan, sejak 2004 hingga 2023, terdapat 601 kasus korupsi di pemerintah kabupaten, kota, melibatkan wali kota, bupati, dan jajarannya. Angka ini akan bertambah jika kasus di provinsi dimasukkan.
Artinya, kita tidak bisa lagi menganggap kasus-kasus tersebut sebagai moral hazard personal. Bila kejadiannya massal, maka itu menggambarkan sistem politik yang sakit atau terganggu.
Benar bahwa tidak selalu Pilkada langsung memacu seorang calon untuk melakukan korupsi. Namun, faktor politik biaya tinggi membuat mereka tidak punya pilihan. Ditambah hasrat berkuasa yang membuncah, maka korupsi tak terelakkan.
Sekali lagi, baik Pilkada langsung maupun perwakilan, dua-duanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Lebih dari itu, keduanya harus
relate
dengan kultur politik aktual di negara tersebut.
Menurut penulis, Pilkada langsung hanya akan efektif bila masyarakat imun terhadap
money politics
. Itu artinya pendapatan per kapita (IPC) warga negara harus meningkat dulu, sehingga roda demokrasi langsung akan berjalan di atas jalan pikiran, bukan di atas statistik kemiskinan dan pengangguran.
Fenomena ini juga mengingatkan kita pada pidato Prof Dr Boediono, yang juga Wapres 2009-2014, pada pengukuhan Guru Besarnya di UGM, 2007.
Beliau menganalisis bahwa
based on
pengalaman empiris di seluruh dunia selama 1950-1990, rezim demokrasi di negara-negara dengan IPC 1.500 dollar AS atau kurang hanya bertahan 8 tahun.
Lalu, negara dengan IPC 1.500-3.000 dollar AS, demokrasinya
average
stabil hanya dalam 18 tahun.
Baru pada negara dengan IPC di atas 6.000 dollar AS, daya tahan sistem demokrasi jauh lebih besar.
Dalam hal ini, bila melihat IPC Indonesia saat ini sekitar 4.900 dollar AS, maka perlu strategi tertentu untuk mengawal demokrasi agar
on the tracks
dan memiliki daya tahan.
Termasuk keberanian kita melakukan transisi dan modifikasi, agar tidak “plek-ketiplek” meng-
copy
demokrasi yang berlaku di negara maju. Misalnya, demokrasi liberal di negara Barat yang dianggap ideal di sana, belum tentu sesuai dengan kultur masyarakat di Timur.
Pengalaman negara lain dalam Pilkada juga beragam, termasuk banyak juga yang memilih melalui parlemen, bahkan ditunjuk oleh kepala negara.
Misalnya India, di mana gubernur negara bagian ditunjuk oleh PM. Lalu Jerman, yang gubernurnya atau
Ministerpräsident
dipilih oleh parlemen. Begitu juga Spanyol, Italia dan banyak negara lainnya.
Memang sebagian negara-negara di atas menganut sistem parlementer. Namun, ada juga negara dengan sistem presidensial yang melakukannya.
Termasuk AS di masa-masa awal, di mana gubernur di sejumlah negara bagian sempat dipilih oleh parlemen.
Indonesia selama era Orde Baru menerapkan sistem presidensial. Saat itu pemilihan gubernur dilakukan melalui penunjukan oleh presiden. Terlepas dari image otoritarian, tapi semua mengakui bahwa pembangunan di era Orde Baru relatif lebih sistematis daripada era sekarang.
Poinnya adalah, selama pemerintah dan DPR berkomitmen menjaga segala bentuk potensi pelanggaran, pemilihan kepala daerah melalui DPRD belum tentu lebih buruk dari Pilkada langsung.
Begitu juga dengan
Pilkada Langsung
yang berjalan selama ini dan menghasilkan ratusan kasus korupsi.
Bila memang kita ingin mempertahankan sistem langsung, maka perlu penyempurnaan sistem penyelenggaraan Pilkada secara ketat. Tujuannya agar virus lama dapat diminimalkan, khususnya
money politics
dan keterlibatan birokrasi.
Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu juga memberikan 10 catatan dalam Perppu saat pembatalan Pilkada via DPRD. Pertanyaannya, apakah 10 catatan itu sudah dilaksanakan? Atau jangan-jangan kita tidak menghiraukannya?
Di atas semuanya, penulis memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo yang membuka diskursus ini di awal-awal pemerintahannya. Sehingga tidak memancing spekulasi adanya
vested interests
, sebagaimana rencana amandemen UUD 1945 yang gagal tahun lalu, karena terlalu dekat dengan Pemilu.
Dengan adanya perdebatan publik di awal pemerintahan, semua pihak dapat menyampaikan pikirannya, sehingga nantinya akan ditemukan formula terbaik untuk mendorong Pilkada yang prorakyat, prokesejahteraan, bukan hanya asal kelihatan demokratis.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/12/21/6766a94ba4bb3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ungkit Gus Dur Susah Payah Pisahkan Polri dari TNI, Yenny Wahid: Supaya Polisi Lindungi Rakyat, Bukan Menindas
Ungkit Gus Dur Susah Payah Pisahkan Polri dari TNI, Yenny Wahid: Supaya Polisi Lindungi Rakyat, Bukan Menindas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Putri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
Yenny Wahid
mengatakan pemisahan Polri dari TNI adalah salah satu keputusan terbesar ayahnya dalam menegakkan demokrasi di Indonesia, di mana langkah itu bukanlah hal yang mudah.
Sebab, di zaman Orde Baru, ketika tentara dan polisi masih berada dalam satu komando, potensi penyalahgunaan kekuasaannya begitu besar.
Hal tersebut Yenny sampaikan dalam acara Haul ke-15 Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12/2024) malam.
“Salah satu keputusan terbesar Gus Dur untuk tegakkan demokrasi di Indonesia adalah memisahkan kepolisian dari TNI, sebuah langkah yang tidak mudah untuk dilakukan. Pada masa lalu, di bawah kekuasaan Orde Baru, tentara dan polisi berada dalam satu komando, yang memberikan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan represi terhadap masyarakat,” ujar Yenny.
Yenny menjelaskan, dengan kejernihan pikirannya, Gus Dur ingin mewujudkan negara yang benar-benar demokratis.
Maka dari itu, Gus Dur menginginkan polisi menjadi pelindung rakyat, bukan penindas.
“Untuk wujudkan negara yang benar-benar demokratis, kita harus memastikan bahwa kepolisian menjadi institusi sipil yang berfungsi untuk melindungi rakyat, bukan sebagai alat kekuasaan yang menindas,” jelasnya.
Yenny kemudian memberi acungan jempol kepada TNI yang telah belajar dari kesalahan di masa lalu.
Menurutnya, TNI kini sudah menerapkan disiplin diri untuk tidak cawe-cawe dalam politik.
“Bahkan Presiden Prabowo Subianto terpilih melalui mekanisme demokrasi,” ucap Yenny.
Namun Yenny menilai, Polri justru mengalami fenomena sebaliknya. Dia melihat polisi kini menjadi ancaman di tengah masyarakat, bukan pelindung.
Dia pun memberi contoh beberapa kasus baru-baru ini, mulai dari siswa SMK di Semarang yang ditembak mati polisi, hingga saksi pelapor yang malah dijadikan tersangka.
“Mereka adalah contoh-contoh kecil dari para korban abuse of power dari aparat kepolisian,” katanya disambut tepuk tangan.
“Amnesty International mencatat, bahwa sepanjang 2024 saja, ada 116 kasus kekerasan yang libatkan polisi, 29 di antaranya adalah extra judicial killing atau pembunuhan di luar hukum. Dan 26 adalah kasus penyiksaan dan tindakan kejam,” sambung Yenny.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/12/22/67683e669e9e1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tak Setuju MLB NU, Yenny Wahid: Cukup Sekali Terjadi Kepada Gus Dur
Tak Setuju MLB NU, Yenny Wahid: Cukup Sekali Terjadi Kepada Gus Dur
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU),
Yenny Wahid
, menegaskan dirinya tak setuju terhadap pelaksanaan Musyawarah Luar Biasa (MLB) NU.
Menurutnya, NU sudah cukup mengalaminya sekali pada era
Gus Dur
, ketika eks Ketua Umum PBNU itu nyaris digulingkan.
Adapun, ketika itu, Gus Dur hampir dikudeta melalui Muktamar Cipasung pada 1994 yang disponsori rezim Orde Baru.
“Cukup terjadi sekali pada Gus Dur. Jangan diulangi lagi. Masa nggak belajar juga sih?” kata Yenny selepas peringatan haul Gus Dur dan Riyanto di kantor GP Ansor, Jakarta, Minggu (22/12/2024) malam.
Kegiatan Pra
MLB NU
sendiri sudah mulai berlangsung sejak 17 Desember lalu.
Ia pun meminta bila ada persoalan di tubuh NU, maka para kiai sepuh perlu mengumpulkan para elite organisasi tersebut untuk duduk bersama-sama dan menyelesaikan persoalan yang ada.
“Kalau ada aspirasi, ada masalah di NU, duduk bersama. Ayo minta kiai-kiai sepuh untuk mengumpulkan semua tokoh elite-elite NU,” kata
“Mau yang ada di NU, mau yang ada di banom (badan otonom), mau yang ada di politik, NU itu bukan organisasi politik. Kalau mau yang luar biasa-luar biasa itu tempatnya di organisasi politik. Jadi di NU nggak usah ada MLB-MLB-an. Itu posisi saya,” tegasnya.
Ia menambahkan, jika terdapat MLB dan muncul kesan dualisme, maka yang akan menjadi korban adalah para pengurus di tingkat ranting, cabang, dan pengurus wilayah.
“Bingung semua. Kalau melihat elitenya berantem kayak begini. Dan ini memberikan teladan yang tidak baik, memberikan contoh yang tidak baik, bahwa posisi di NU harus diperjuangkan sampai mati-matian sampai saling menjatuhkan, sampai harus melakukan upaya-upaya kudeta,” jelas putri Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu.
Ia pun menegaskan bahwa upaya-upaya semacam ini jangan sampai terjadi lagi.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/12/22/6767a1708ef39.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Revisi UU TNI Mungkinkan Prajurit Isi Jabatan Sipil, KSAD: Kita Tak Ambil Pekerjaan Orang Nasional
Revisi UU TNI Mungkinkan Prajurit Isi Jabatan Sipil, KSAD: Kita Tak Ambil Pekerjaan Orang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menyambut baik revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengakomodasi kemungkinan prajurit boleh menduduki jabatan sipil.
Maruli mengaku, dalam hal ini TNI tidak berupaya mengambil pekerjaan yang biasa diisi oleh sipil. Sebab, untuk TNI tidak serta merta langsung bisa mengisi jabatan sipil, melainkan harus melalui tes.
“Jadi bukannya kita mau ambil pekerjaan orang. Kasih peluang saja kalau memang nanti di situ, kan selalu ada istilahnya tes. Mungkin ada tentaranya di situ. Dilihat
qualified
-nya, silakan aja,” kata Maruli dalam Brigade Podcast yang tayang di Youtube
Kompas.com,
Sabtu (21/12/2024).
Maruli memahami, menurut aturan perundang-undangan, TNI bertugas untuk pertahanan. Namun, ia mengatakan, dalam perjalanannya, terdapat prajurit yang memiliki kualitas bagus di tempat lain.
Selain itu, TNI memiliki banyak prajurit, sehingga secara struktur organisasi terjadi penumpukan.
“Kita punya orang (prajurit) yang kebetulan secara struktur organisasi membuat penumpukan di atas. Pada kenyataannya untuk
job
di kita sulit, kualitas dia
overqualified
untuk digunakan di tempat lain. Kenapa tidak digunakan?” ujarnya.
“Daripada menganggur, dibandingkan orang asal menaruh hanya gara-gara tentara jangan, tentara jangan gitu. Padahal kalau tentara ini masuk, dia akan jauh lebih baik,” sambungnya.
Maruli juga tak menilai revisi TNI ini sebagai upaya untuk mengembalikan Orde Baru. Ia mengatakan, demokrasi di Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan Orde Baru.
“Sekarang tuh sudah semua pintu-pintunya sudah enggak bisa lagi, sudah di negara demokrasi. Mau nunjuk wali kota lagi, ya enggak bisa. Mau nunjuk gubernur, ya enggak bisa kan sudah ada pilkada,” ucap dia.
Sebelumnya diberitakan, draf terbaru revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (
RUU TNI
) mengakomodasi ketentuan yang membuka pintu bagi prajurit untuk menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga sesuai kebijakan presiden.
Pasal 47
UU TNI
yang berlaku saat ini mengatur, prajurit TNI bisa menduduki jabatan di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Sementara, dalam usulan perubahan UU, wewenang prajurit TNI aktif lebih luas lantaran bisa menjabat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, BNPT, BNPB, Badan Nasional Pengamanan Perbatasan, Kejaksaan Agung, dan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.