Topik: Orde Baru

  • TAP MPRS Soal Soekarno Dicabut, Megawati Menangis

    TAP MPRS Soal Soekarno Dicabut, Megawati Menangis

    loading…

    Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menangis saat mengucapkan terima kasih usai TAP MPRS 33/1967 tentang tuduhan terhadap Presiden Soekarno dicabut MPR RI. Foto/YouTube PDIP

    JAKARTA – Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri menangis saat mengucapkan rasa terima kasih ke rakyat Indonesia dan Presiden Prabowo Subianto usai TAP MPRS 33/1967 tentang tuduhan terhadap Presiden Soekarno dicabut oleh MPR RI.

    Diketahui HUT PDIP ke-52 mengusung tema ‘Satyam Eva Jayate: Api Perjuangan Nan Tak Kunjung Padam’.

    “Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada seluruh rakyat Indonesia dimanapun kalian berada atas pelurusan sejarah Bung Karno,” ucap Megawati dengan suara lirih dan meneteskan air mata saat momen HUT PDIP ke-52 di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2025) siang.

    “Terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto yang telah merespons surat pimpinan MPR RI terkait tindaklanjut pemulihan nama baik dan hak-hak bung Karno sebagai Presiden RI pertama,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Pencabutan TAP MPRS No 33/MPRS/1967 dianggap sebuah momen mengembalikan martabat proklamator, Soekarno. Ini menjadi sebuah langkah awal meluruskan sejarah dan pemulihan keadilan bagi Presiden pertama Indonesia itu.

    “Pencabutan TAP MPRS ini membuka jalan bagi rehabilitasi nama baik Soekarno dan mengembalikan pengakuan atas peran besarnya dalam sejarah bangsa,” ujar Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo, dalam keterangannya, Rabu (11/9/2024).

    TAP MPRS yang dikeluarkan pada era Orde Baru itu diketahui mencabut kekuasaan Soekarno karena tuduhan keterlibatannya dalam peristiwa G30S/PKI tahun 1965.

  • PDIP Surabaya Gelar Cap Jempol Darah untuk Megawati di HUT ke-52

    PDIP Surabaya Gelar Cap Jempol Darah untuk Megawati di HUT ke-52

    Surabaya (beritajatim.com) – Seluruh pengurus hingga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Surabaya bersiap membubuhkan cap jempol dari darah sebagai bukti ikrar setia kepada Megawati Soekarnoputri. Acara ini akan digelar pada peringatan HUT ke-52 PDIP, Jumat (10/1/2024).

    E Purwadi, Wakil Ketua DPC PDIP Kota Surabaya Bidang Organisasi, mengungkapkan bahwa cap jempol darah tersebut akan dibubuhkan pada media banner spanduk saat upacara berlangsung.

    Dia menjelaskan bahwa momen ini diciptakan sebagai wujud ikrar setia dan dukungan kader banteng kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjelang Kongres PDIP yang dijadwalkan pada bulan April mendatang.

    “Kita akan melakukan upacara peringatan HUT ke-52 PDIP pukul 06.30 WIB. Saat upacara akan ada prosesi pembubuhan cap jempol oleh pengurus partai dan kader PDIP dari darah,” terang Purwadi.

    Purwadi menambahkan bahwa pembubuhan cap jempol darah ini sarat makna, yaitu sebagai simbol bahwa PDIP siap melawan siapa saja yang mengganggu Kongres PDIP pada April 2025 nanti.

    “Cap jempol dari darah ini nyata sebagai simbol perlawanan,” tegas dia.

    Selain itu, Purwadi juga mengaitkan aksi tersebut dengan sejarah peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) yang terjadi pada tahun 1996.

    “Ini yang kedua, artinya kami harus melakukan ini. Karena ada indikasi-indikasi munculnya intervensi di tingkat nasional, ‘parcok-parcok’ yang terlibat dalam proses pilkada dan juga banyak hal lainnya. Artinya, narasi-narasi orde baru itu kuat untuk bangkit kembali dan mengganggu demokrasi hari ini,” jelas dia.

    Namun demikian, Purwadi menegaskan bahwa aksi ini murni inisiatif DPC PDIP Surabaya dan bukan instruksi dari DPP PDIP. Dia juga menyebutkan bahwa aksi ini akan diikuti oleh DPC-DPC PDIP di sejumlah daerah lain.

    “Ini inisiatif DPC, enggak ada instruksi dari pusat. Sama halnya seperti gerakan ‘Kudatuli’, tidak ada instruksi. Dan selalu pergerakan itu mulainya dari Surabaya,” ucap Wakil Ketua DPC PDIP Surabaya Bidang Organisasi itu. [ram/beq]

  • Mengenang Sosok Atmakusumah Asraatmadja dari Kacamata Jurnalis

    Mengenang Sosok Atmakusumah Asraatmadja dari Kacamata Jurnalis

    Bisnis.com, JAKARTA — Sudah berselang lima hari tokoh pers almarhum Atmakusumah Asraatmadja berpulang. Mendiang meninggal dunia pada 2 Januari 2025 pukul 13:05 WIB. Keluarga, kerabat, hingga murid-muridnya pun merasa sedih atas kepergian sosok Atmakusumah.

    Salah satunya adalah Warief Djajanto Basorie, sesama jurnalis yang telah mengenal almarhum Atma, sapaan akrabnya, sejak 1974 silam atau selama kurang lebih 52 tahun. Persahabatannya ini dimulai sejak mereka bertemu di lapangan untuk meliput demo-demo anti pemerintah yang tak mendukung program atau kebijakan orde baru.

    “Di demo-demo itu, saya sebagai wartwan di KNI [Kantor Nasional Indonesia] dan Pak Atma wartawan yang juga turun ke lapangan dari [media] Indonesia Raya, suka ketemu,” katanya kepada Bisnis seusai mengikuti acara doa bersama untuk alamrhumah Atmakusumah, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/1/2025).

    Di mata Warief, sosok Atma merupakan tokoh pers yang memiliki empat tabiat, watak, dan perilaku yang mencirikannya sebagai seorang wartawan, guru, dan penggiat asasi. 

    Pertama, Warief menceritakan bahwa Atma adalah sosok yang berkomitmen dalam memajukan kemerdekaan pers atau disebut pers merdeka.

    Dikatakan Warief, Atma berpandangan bahwa pers merdeka artinya memiliki kebebasan untuk menyingkap isu-isu yang hendak disembunyikan pihak berkuasa dan mengakibatkan kerugian bagi rakyat. Misalnya, mengenai korupsi dan tata pemerintahan yang salah kaprah. 

    Kemudian, katanya, Atma juga menilai pers merdeka merupakan pembangkit energi untuk demokrasi, sebab mengajak orang yang ingin ikut berperan dalam memajukan kepentingan negara.

    “Ini adalah hal-hal yang diutarakan Pak Atma, perlunya kebebasan Pers itu maunya supaya pemerintah transparan dan bisa accountable, harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakannya, itu baru bisa kalau ada kemerdekaan pers,” ungkap Warief.

    Kedua, Warief melihat bahwa Atma adalah seorang yang inovatif dalam diklat jurnalisme. Hal ini tercermin dalam gagasannya saat bergabung dengan LPDS (Lembaga Pers Dr.Soetomo) pada 1992 untuk mengadakan lokakarya-lokakarya tematik dengan berbagai tema bagi wartawan aktif supaya mendalami bidang yang diliput.

    Lebih lanjut, poin ketiga yang disebutkan Warief berkaitan dengan sisi produktivitas Atma yang dinilainya sangat hebat sekali. Dia berpandangan demikian lantaran Atma kaya akan karya tulisnya.

    “Pak Atma itu menghasilkan tulisan-tulisan kolom sampai di 20 penerbitan [majalah, koran, pamflet]. Terus menulis dan mengedit buku itu paling sedikit sudah 12 judul. Terus di luar itu masih suka diminta menyumbang esai atau bab, dalam buku itu sampai ada 30 buku yang ada esai dari Pak Atma,” urainya.

    Adapun, poin keempat yang menurut Warief sangat penting dan bangga pada Atma, berprinsip tidak bisa dibeli. Warief mengemukakan prinsip Atma ini membuat wartawan yang  sudah lama pun sadar akan artinya wartawan profesional yang tahu etika dan harus dipercaya masyarakat.

    Diceritakan Warief, prinsip ini terlihat pada Pilpres 2014. Pada saat itu, ada satu partai politik (parpol) yang menyambangi dan mengajak Atma untuk menghidupkan kembali media Indonesia Raya yang sudah ditutup Presiden ke-2 RI Soeharto pada 1974 silam.

    “Maunya parpol itu, Pak Atma menjadi pemimpin redaksi dan koran itu Indonesia Raya yang dihidupkan kembali dijadikan corong, menjadi pengeras suara bagi partai itu. Pak Atma menolak dengan mentah-mentah,” pungkasnya.

    Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja meninggal dunia pada usia 86 tahun, Kamis (2/1/2025) pukul 13.05 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta, Atmakusumah wafat setelah setelah menjalani perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU). 

    Atmakusumah adalah Ketua Dewan Pers 2000—2003, yang disebut pula Dewan Pers “independen” hasil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dari Gerakan Reformasi. Sebutan “independen” tersebut karena Dewan Pers pertama kalinya diketuai tokoh masyarakat. 

    Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (UU Pokok Pers) Dewan Pers notabene diketuai Menteri Penerangan Republik Indonesia.

  • Kasus Hasto Jadi Kado Pahit HUT ke 52 Tahun PDIP?

    Kasus Hasto Jadi Kado Pahit HUT ke 52 Tahun PDIP?

    Bisnis.com, JAKARTA — PDI Perjuangan (PDIP) akan merayakanan Hari Ulang Tahun alias HUT ke 52 pada Jumat (10/1/2025). Namun demikian, perayaan HUT kali ini akan berlangsung di tengah kasus yang menjerat Sekretaris Jenderal alias Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

    Hasto saat ini berstatus sebagai tersangka di KPK. Dia dijerat dua pasal sekaligus. Selain penyuapan, Hasto ditengarai turut melakukan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku. 

    Di sisi lain, muncul juga dugaan mengenai adanya politisasi dalam kasus Hasto. Hasto menjadi tersangka karena dianggap kritis terhadap Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintahan Prabowo Subianto.

    Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto memastikan bahwa proses penegakan hukum terhadap Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto sudah sesuai prosedur.

    Setyo menyatakan bahwa penersangkaan Hasto dalam kasus Harun Masiku selalu diawasi oleh pimpinan KPK. Hasilnya, sepanjang pengawasannya, penyidik lembaga antirasuah itu telah melakukan penegakan hukum dengan benar.

    “Prinsipnya kami pimpinan itu melakukan pengawasan sepanjang sudah dilakukan dengan benar, sudah dilakukan dengan sesuai dengan ini, secara administrasi ada suratnya ada tugasnya dan lain lain,” ujarnya di Mabes Polri, Rabu (8/1/2025).

    Dengan demikian, mantan Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta seluruh pihak agar menunggu hasil dari deputi penindakan KPK dalam membuat terang kasus yang menyeret Hasto tersebut.

    “Intinya tinggal menunggu saja, prosesnya dilakukan oleh kedeputian penindakan yaitu teknisnya, detailnya semuanya dilakukan oleh orang penyidik,” jelasnya.

    Sejarah PDIP

    Dalam catatan Bisnis, PDIP adalah pewaris dari PDI. Partai ini lahir dari sebuah upaya ‘kawin paksa’ Orde Baru terhadap kubu atau partai politik yang berhaluan nasional dan agama selain Islam. Partai ini lahir pada 10 Januari 1973.

    Secara genealogis, PDI tidak pernah lepas dari PNI. Basis pemilih PDI pun juga mewarisi lumbung suara PNI di wilayah Bali, Jawa Tengah hingga Jawa Timur, khususnya kawasan Mataraman.

    Sayangnya sejak kemunculannya, capaian suara PDI tidak pernah mengulang kejayaan PNI. Pada Pemilu 1977, misalnya, PDI hanya memperoleh 8,6 persen suara atau 29 kursi di DPR. 

    Perolehan kursi ini terpaut jauh dibandingkan PPP yang memperoleh 99 kursi atau penguasa parlemen Golkar yang meraup 232 kursi. Kondisi itu terulang pada Pemilu 1982. Capaian suara PDI tak pernah tembus di angka 10 persen. 

    Nasib PDI di parlemen mulai moncer pada Pemilu 1987. Suara PDI melesat dibandingkan dua pemilu lalu. Partai berlambang kepala banteng itu memperoleh lebih dari 10 persen suara. Jumlah kursi di parlemen menjadi 40 kursi atau naik 16 kursi dari periode pemilu sebelumnya.

    Tren peningkatan suara PDI kembali terulang pada Pemilu 1992. Golkar partai penguasa Orde Baru kendati masih dominan suaranya turun 5,1 persen. Suara PPP naik menjadi 17 persen. PDI partai yang menjadi anak tiri Orde Baru suaranya meroket dari 10,9 persen menjadi 14,9 persen atau naik 4 persen.

    Trah Sukarno 

    Banyak pihak yang berpendapat meroketnya suara PDI adalah implikasi dari keberadaan trah Sukarno di partai kepala banteng. Trah Sukarno yang dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri. 

    Mega dalam sekejap menjadi tokoh di PDI. Suara PDI langsung melesat. Kongres PDI di Surabaya pada tahun 1993, bahkan memilih Megawati sebagai Ketua PDI. 

    Popularitas Mega rupanya mulai mengusik Orde Baru. Soeharto menganggap Megawati sebagai ancaman. Dia kemudian berupaya sekeras mungkin untuk menyingkirkan Megawati. Salah satunya dengan memilih Soerjadi sebagai Ketua PDI dalam Kongres Medan. 

    Kubu Megawati menolak Soerjadi, konflik internal di PDI kemudian berkecamuk. Kritik terhadap Orde Baru semakin deras meluncur dari PDI Mega. Puncaknya, peristiwa 27 Juli 1996 terjadi. Saat itu massa PDI Soerjadi, dibantu ABRI, menyerang kantor PDI yang dikuasai kubu Megawati. Puluhan orang tewas dan hilang.

    Meski demikian, MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008 menulis bahwa represi dan aksi kekerasan yang dijalankan Orde Baru ternyata gagal membendung laju PDI Megawati. Sebaliknya, nama Megawati justru semakin populer. 

    PDIP Setelah Reformasi 

    Popularitas Megawati kelak menjadi kunci bagi kesuksesan PDI, yang kemudian pada tahun 1999 berubah namanya menjadi PDI Perjuangan (PDIP). 

    Lewat tangan dingin Megawati partai berlambang banteng moncong putih tersebut menikmati pait getirnya reformasi. Pada Pemilu multi partai tahun 1999, PDIP berhasil menjadi partai pemenang dengan 33,7 persen suara. Sayangnya meski tampil sebagai pemenang pemilu, Megawati gagal menjadi presiden setelah kalah voting melawan Gus Dur.

    Kesuksesan PDIP juga tak berlangsung lama, pada Pemilu 2004, suara PDIP turun cukup signifikan.PDIP hanya memperoleh suara sebanyak 18,9 persen, tren ini berlanjut pada tahun 2009 yang hanya sebanyak 14 persen suara.

    Anjloknya suara PDIP tersebut pararel dengan turunnya popularitas sosok sentral Megawati Soekarnoputri karena perubahan pola politik dan sejumlah skandal selama dia menjabat sebagai Presiden menggantikan Gus Dur.

    Beruntung pada tahun 2014, situasinya agak berbalik, sosok Joko Widodo berhasil meningkatkan elektabilitas partai. Jokowi effect mengantarkan kembali PDIP sebagai partai mayoritas dengan suara 18,9 persen suara. Kinerja positif tersebut berhasil mengantarkan Joko Widodo sebagai Presiden RI.

    Tren positif perolehan suara berlanjut pada tahun 2019. PDIP memperoleh 19,3 persen dan mengantarkan Jokowi untuk kedua kalinya menjabat sebagai presiden.

    Sementara itu tahun 2024 PDIP tampaknya sedang menghadapi situasi yang cukup pelik. Jokowi telah berpaling dan diisukan mendukung rival lama PDIP, yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Suara PDIP di legislatif tersisa 16%.

    Megawati Dituntut Mundur

    Sementara itu, mantan politisi PDI Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon meminta Megawati Soekarnoputri mengundurkan diri buntut penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    Hasto adalah Sekretaris Jendersl alias Sekjen PDIP. Dia telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024. Advokat dan kader PDIP Donny Tri Istiqomah juga ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan Hasto. 

    Effendi mengaku prihatin dengan status hukum Hasto saat ini. Dia menyebut perkembangan kasus Harun Masiku itu merupakan petaka bagi partai yang lama menjadi rumahnya. Untuk itu, dia pun menilai perlu adanya perubahan kepemimpinan hingga level ketua umum di PDIP. 

    “Harus diperbaharui ya semuanya mungkin sampai ke ketua umumnya juga harus diperbaharui bukan hanya level sekjen ya. Sudah waktunya lah sudah waktunya pembaharuan yang total ya, karena ini kan fatal ini, harusnya semua kepemimpinan juga harus mengundurkan diri,” katanya kepada wartawan, Rabu (8/1/2025). 

    Menurut Effendi, partai memiliki pertanggungjawaban kepada publik yang tinggi sesuai dengan Undang-undang (UU) Partai Politik. Dia menyebut harus ada pertanggungjawaban dari ketua umum karena kasus yang menjerat Hasto. 

    Mantan anggota Komisi I DPR yang sebelumnya dicalonkan PDIP itu menyebut, pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh Megawati adalah mengundurkan diri dari jabatan yang sudah dipegangnya sejak berdirinya partai. 

    “Dia harus mengundurkan diri, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas, ini kan masalah serius masalah hukum, bukan masalah sebatas etika yang digembar-gemborkan. Ini hukum, ya harus seperti Perdana Menteri Kanada aja mengundurkan diri,” ucapnya. 

    Di sisi lain, Effendi mengkritik sikap PDIP yang dinilai kerap mencaci maki Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi. Dia menilai justru presiden bekas kader PDIP itu justru membantu Hasto melalui political will-nya. 

    “Di satu sisi caci maki terus pak Jokowi, ini ya memalukan partai itu, masa partai kerjanya caci maki sih. Tapi ketika ada persoalan hukum, gak usah dicari-cari lagi pembelaannya,” terang politisi asal Sumatera Utara itu. 

    Dia bahkan menyebut pernah menegur Hasto bahwa Jokowi berperan dalam menjaga elite PDIP itu.”Saya sampaikan juga ke mas Hasto begitu ‘Mas setahu saya pak Jokowi itu yang ikut menjaga anda loh’, ya silakan saja tapi ini enggak hanya sebatas seorang Hasto saya kira ini harus pertanggungjawaban nya dari Ketua Umumnya dong,” ungkapnya.

  • Profil Johnny Wong, Ayah dari Baim Wong yang Meninggal Hari Ini

    Profil Johnny Wong, Ayah dari Baim Wong yang Meninggal Hari Ini

    Jakarta, Beritasatu.com – Kabar duka datang dari dari aktor dan YouTuber terkenal Baim Wong. Ayah tercinta, Johnny Djaelani atau Johnny Wong meninggal dunia, Selasa (7/1/2025). Berikut profil Johnny Wong yang meninggal pada usia 78 tahun.

    Mendiang diketahui mengembuskan napas terakhir pada pukul 04.27 WIB di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat. Kabar ini juga disampaikan langsung oleh Baim Wong melalui akun Instagram pribadinya.

    “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, Papa kami tercinta,” tulis Baim Wong, dikutip Selasa (7/1/2025).

    Jenazah Johnny Wong direncanakan bakal disemayamkan di rumah duka yang terletak di Jalan Teuku Cik Ditiro 2 Nomor 1A, Gondangdia, Jakarta Pusat.

    Profil Johnny Wong

    Johnny Wong lahir sebagai non-muslim dan kemudian menjadi mualaf. Ia mualaf ketika menikah dengan ibu Baim Wong, mendiang Kartini Marta Atmadja. Setelah mualaf, Johnny Wong mengubah namanya menjadi Johnny Jailani, tetapi ia tetap terkenal dengan nama Johnny Wong.

    Johnny Wong dikenal luas sebagai seorang desainer ternama di era Orde Baru. Kariernya sebagai pengusaha sukses membawa Johnny berhubungan dengan berbagai tokoh penting, termasuk Bambang Trihatmodjo, putra dari Presiden Soeharto, serta cendekiawan muslim Quraish Shihab dan tokoh pejuang Palestina Yasser Arafat.

    Dalam dunia desain, Johnny dikenal sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar pada waktu itu, dan kiprahnya tidak hanya terbatas pada karya-karya desain, tetapi juga pada pengaruh sosial dan politik di Indonesia.

    Demikian profil dari Johnny Wong, ayah dari Baim Wong yang tutup usia pada Selasa (7/1/2025). Semoga amal ibadah beliau diterima Allah Swt.

  • Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, antara Aklamasi, Voting dan Musyawarah

    Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, antara Aklamasi, Voting dan Musyawarah

    JAKARTA – Partai Golkar akan menggelar Musyawarah Nasional untuk memilih ketua umum baru pada Desember. Ada empat tokoh yang mencuat jadi calon ketua umumnya, mereka adalah Airlangga Hartarto (petahana), Bambang Soesatyo, Ridwan Hisjam, dan Indra Bambang Utoyo. Dari empat nama itu, dua nama disebut jadi calon yang terkuat, Airlangga dan Bambang Soesatyo.

    Munasnya belum berjalan, tapi wacana proses pemilihan ketua umum sudah mengemuka. Yang pasti, aklamasi tak akan terjadi di partai berlambang beringin ini, kata Wakil Sekretaris Badan Kajian Strategis dan Intelijen Partai Golkar Djafar Ruliansyah Lubis yang menolak proses tersebut.

    Aklamasi baginya akan membuat partai ini hancur. Katanya, proses aklamasi ini terjadi di Partai Golkar hanya pada masa Orde Baru, setelahnya sudah tidak ada sama sekali. Klaimnya dia, Partai Golkar-lah yang pertama kali mempertontonkan pada rakyat Indonesia soal demokrasi pemilihan pemimpin partainya dengan meninggalkan pola jadul, ‘sistem aklamasi’.

    Ketakutan terjadinya aklamasi muncul ketika 33 dari 34 DPD I Partai Golkar menyuarakan dukungan untuk Airlangga Hartarto, pada Rapimnas Partai Golkar 14 November. Namun, peristiwa politik tersebut tak bisa dibaca sesederhana itu.

    “Kalau ada yang percaya diri terpilih karena didukung mayoritas DPD I, jelas hal tersebut keliru,”  Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago dilansir Antara, Senin 18 November.

    Kata dia, keberadaan 514 DPD II Partai Golkar akan menjadi penentu berjalannya atau gagalnya skenario aklamasi itu. Pangi mengatakan, dengan jumlah yang mencapai ratusan itu, pengurus Golkar tingkat kabupaten/kota jadi pemilik suara yang paling signifikan dalam Munas Golkar bila dibanding DPD I yang jumlahnya hanya 34.

    Contohnya saja pada Munas Golkar 2004, kata Pangi. Kala itu Akbar Tandjung sebagai calon ketua umum Partai Golkar sangat percaya diri karena sudah memegang penuh suara DPD I. Tapi belakangan, kalah dari Jusuf Kalla yang dapat suara dari mayoritas DPD II.

    Sementara, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Golkar Maman Abdurahman mengatakan, dorongan musyawarah mufakat dalam memilih calon ketua umum partai adalah bagian dari evaluasi dan proses perjalanan panjang. Sebab, katanya, Munas dengan cara voting selalu meninggalkan bekas luka dari sisa pertarungan berupa faksi (pemenang dan yang kalah) sehingga mewarisi konflik internal yang berkepanjangan. 

    “Jadi saya pikir kita harus upayakan agar ini terwujud. Kalau ada yang tidak setuju musyawarah mufakat justru patut dipertanyakan itu,” tuturnya.

    Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai ada sejumlah keuntungan bila pemilihan ketua umum Partai Golkar dilakukan secara musyawarah. Keuntungan itu di antaranya; partai menjalankan sila keempat dari Pancasila dan pembukaan UUD 1945, mencegah konflik di internal partai, memelihara soliditas di internal partai, biaya politik lebih murah, meniadakan kemungkikanan praktek politik karena tawaran ‘logistik’ yang lebih besar sehingga menjadi fokus pada perjuangan politik, hingga menghindari politik menang-kalah antar faksi.

  • DPD: Gubernur dipilih DPRD jangan terburu-buru

    DPD: Gubernur dipilih DPRD jangan terburu-buru

    Saya berharap kita tidak terburu memilih alternatif itu hanya karena biaya mahal.

    Semarang (ANTARA) – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta usulan gubernur kembali dipilih oleh DPRD jangan terburu-buru diputuskan, tetapi harus dipertimbangkan dengan benar-benar matang.

    Wakil Ketua Komite I DPD RI Dr. Muhdi di Semarang, Senin, mengingatkan bahwa alasan biaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang besar jangan menjadi satu-satunya pertimbangan.

    “Sebagaimana wacana Pak Prabowo ke depan pemilihan kepala daerah cukup DPRD. Saya berharap kita tidak terburu memilih alternatif itu hanya karena biaya mahal,” katanya.

    Menurut dia, mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada langsung memang perlu ada evaluasi, tetapi tidak lantas kemudian menjadikannya kembali ke sistem Orde Baru.

    “Mari evaluasi kenapa menjadi mahal sehingga jawabannya kita punya alternatif yang cukup,” kata Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah itu.

    Artinya, kata dia, tidak boleh kemudian pilihan yang diambil justru membuat apa yang selama ini diperjuangkan dengan penuh pengorbanan pada Era Reformasi menjadi sia-sia.

    “Tidak boleh mengambil atau meniadakan sesuatu yang sementara ini kita bersama perjuangkan, yakni hak rakyat secara langsung memilih kepala daerah. Jadi, tidak begitu mudah diserahkan DPRD,” katanya.

    Seandainya ternyata pemilihan gubernur oleh DPRD menjadi alternatif, kata dia, tentunya harus melalui evaluasi yang mendalam juga untuk memastikan apa yang terjadi pada zaman dahulu tidak terulang.

    “Kalau itu (gubernur dipilih DPRD, red.) pun menjadi alternatif, kita harus evakuasi betul, analisis, apakah tidak akan kembali sama seperti Orde Baru?” katanya.

    Oleh karena itu, Muhdi memastikan bahwa Komite I DPD RI akan terus mengawal pembahasan wacana tersebut, termasuk dengan menggelar FGD (focus group discussion) di daerah-daerah untuk menjaring masukan.

    Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan gagasan tentang perbaikan sistem politik di Indonesia karena berbiaya tinggi dan tidak efisien jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

    Hal itu disampaikannya dalam sambutannya pada acara HUT Ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12) malam.

    Prabowo juga mengusulkan agar ke depan pemilihan kepala daerah melalui DPRD masing-masing sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya.

    “Saya lihat, negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih ya sudah DPRD itulah milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, keluar duit, keluar duit, kayak kita kaya,” katanya.

    Pewarta: Zuhdiar Laeis
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Korupsi dan Arah Menuju Despotisme

    Korupsi dan Arah Menuju Despotisme

    Korupsi dan Arah Menuju Despotisme
    Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.
    KORUPSI
    terus menjadi isu yang membakar kemarahan publik. Kekecewaan terhadap lemahnya pemberantasan
    korupsi
    semakin nyata ketika kasus besar seperti perkara
    Harvey Moeis
    —yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 300 triliun—dianggap tidak mencerminkan keadilan. Vonisnya hanya enam tahun penjara.
    Fenomena ini menyingkap paradoks yang mengganggu: koruptor kelas kakap seolah tak tersentuh, seperti siluman yang sukar ditangkap, sementara koruptor kecil menjadi kambing hitam untuk mempertahankan ilusi keberhasilan pemberantasan korupsi.
    Fenomena ini mengungkap dua pola besar yang mencolok. Pertama, pejabat dengan indikasi kuat terlibat korupsi sering kali berhasil berlindung di bawah kekuasaan, menikmati impunitas karena kedekatan mereka dengan lingkar kekuasaan.
    Kedua, oposisi politik kerap menjadi sasaran empuk untuk dikriminalisasi, dengan tuduhan korupsi dijadikan alat untuk meredam kritik.
    Dalam konteks ini, korupsi telah berkembang melampaui sekadar penyakit administratif menjadi instrumen strategis bagi elite untuk menjaga hegemoni kekuasaan mereka. Ini bukan sekadar persoalan etika, tetapi ancaman serius terhadap fondasi demokrasi.
    Korupsi
    tidak berhenti pada dampak material semata, tetapi menjalar hingga ke pelenturan konstitusi, hukum, dan undang-undang.
    Niccolò Machiavelli dalam Discorsi dengan tepat mencatat bahwa keberhasilan pelaksanaan konstitusi sangat bergantung pada tingkat korupsi dalam negara.
    Semakin tinggi korupsi, semakin rendah supremasi hukum. Pandangan ini sejalan dengan kenyataan di Indonesia, di mana korupsi material dan korupsi konstitusional saling mendukung satu sama lain.
    Contoh mutakhirnya adalah skandal perubahan batas usia minimum calon presiden dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang secara jelas memberikan keuntungan bagi Gibran Rakabuming Raka.
    Publik tidak hanya melihat ini sebagai bentuk pelanggaran etika politik, tetapi juga bukti bahwa hukum dapat ditekuk sesuai dengan kebutuhan penguasa.
    Jika konstitusi terus dilenturkan dengan mudah, kepercayaan publik terhadap institusi negara akan runtuh.
    Pelenturan hukum bukan sekadar masalah kepatuhan, tetapi merusak integritas yang menjadi dasar legitimasi negara.
    Dalam jangka panjang, ini dapat memicu instabilitas sistemik, di mana warga kehilangan kepercayaan pada hukum dan cenderung permisif terhadap pelanggaran, menciptakan lingkaran setan korupsi yang sulit dihentikan.
    Lebih dari itu, korupsi yang merusak konstitusi mencerminkan pergeseran nilai di antara elite politik. Hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat tawar-menawar kekuasaan.
    Prinsip
    rule of law
    tergantikan oleh
    rule of power
    , dengan keputusan yang diambil untuk melayani kepentingan politik jangka pendek.
    Pergeseran ini mengkhianati demokrasi dan membuka peluang eksploitasi, di mana hukum menjadi komoditas bagi kepentingan segelintir elite.
    Kondisi yang terjadi mencerminkan apa yang oleh Machiavelli disebut sebagai tanda republik yang sakit (
    ill-ordered republic
    ), di mana hukum tunduk pada kehendak penguasa.
    Sebaliknya, dalam republik yang sehat, hukum adalah pilar yang tidak boleh diganggu gugat. Ketika hukum kehilangan otoritasnya dan bergantung pada keinginan elite, korupsi tidak hanya merusak tatanan negara, tetapi juga membuka jalan bagi kemunculan despotisme.
    Korupsi dalam skala ini lebih dari sekadar pengkhianatan moral; ia adalah ancaman eksistensial bagi keberlanjutan republik itu sendiri.
    Despotisme adalah bayangan gelap yang muncul ketika hukum tidak lagi menjadi panduan utama pemerintahan.
    Dalam kondisi di mana korupsi merajalela, prinsip keadilan dan cinta republik yang dirumuskan Cicero perlahan lenyap.
    Penguasa despotis memerintah bukan berdasarkan aturan yang menjamin keadilan bagi semua, tetapi menurut kehendak pribadinya yang tak terkendali.
    Patriotisme yang sejatinya menjadi jiwa politik berubah menjadi egoisme kekuasaan yang mengekang rakyat dengan cara pahit, bukan manis seperti yang seharusnya terjadi dalam negara hukum.
    Machiavelli telah lama memperingatkan bahaya kekuasaan absolut. Kekuasaan tanpa batas tidak hanya melahirkan korupsi, tetapi juga menciptakan loyalitas semu, di mana rakyat tunduk kepada penguasa, bukan kepada konstitusi.
    John Dalberg-Acton menguatkan hal ini dengan pernyataannya bahwa kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (
    absolute power corrupts absolutely
    ).
    Dalam konteks ini, pelenturan konstitusi oleh elite menunjukkan sinyal kuat bahwa negara sedang melangkah menuju despotisme. Hukum menjadi fleksibel, bukan karena kebutuhan rakyat, melainkan karena hasrat kekuasaan yang tak terpuaskan.
    Reformasi 1998 seharusnya menjadi tonggak perubahan besar, membebaskan bangsa ini dari bayang-bayang Orde Baru yang korup dan otoriter.
    Namun, lebih dari dua dekade kemudian, cita-cita ini tampak terdistorsi oleh kenyataan bahwa korupsi masih mengakar dalam setiap lini institusi negara.
    Korupsi tidak hanya melemahkan sistem pemerintahan, tetapi juga menciptakan rasa muak kolektif, atau nausea, sebagaimana dijelaskan oleh Jean-Paul Sartre.
    Republik ini membutuhkan pemimpin yang mampu menjadi panasea, obat yang benar-benar mampu menyembuhkan penyakit kronis ini.
    Pemimpin yang dibutuhkan adalah seseorang yang teguh menjunjung prinsip republikanisme: menjadikan konstitusi sebagai landasan utama, memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok, dan menegakkan keadilan sosial.
    Dengan pemberantasan korupsi yang sungguh-sungguh, seorang presiden dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap negara, menjaga kesehatan institusi, dan membawa Indonesia menjadi bangsa kompetitif di panggung global.
    Lebih dari itu, keberanian untuk melawan korupsi akan mengembalikan cita-cita Reformasi dari sekadar janji menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Genjer-Genjer, Perjalanan Lagu Kritik Sosial dan Larangan Politik

    Genjer-Genjer, Perjalanan Lagu Kritik Sosial dan Larangan Politik

    Liputan6.com, Yogyakarta – Di tengah dinamika sejarah Indonesia, lagu Genjer-Genjer memiliki kisah yang mencerminkan kompleksitas perjalanan bangsa. Lagu ini diciptakan oleh Muhammad Arif, seorang seniman Banyuwangi pada tahun 1942.

    Mengutip dari berbagai sumber, lagu ini awalnya lahir sebagai bentuk kritik sosial terhadap penjajahan Jepang, ditulis dalam bahasa Using, bahasa lokal masyarakat Banyuwangi. Dalam konteks historisnya, lagu ini menggambarkan realitas pahit kehidupan petani Jawa di masa pendudukan Jepang.

    Liriknya menceritakan bagaimana masyarakat beradaptasi dengan kesulitan pangan hingga harus mengonsumsi tanaman genjer, sejenis tumbuhan air yang sebelumnya dianggap sebagai gulma. Kisah ini menjadi potret perjuangan rakyat menghadapi kerasnya masa penjajahan.

    Setelah kemerdekaan Indonesia, perjalanan lagu Genjer-Genjer mengambil arah yang berbeda ketika Muhammad Arif bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Memasuki awal dekade 1960-an, lagu ini mulai mendapatkan popularitas yang lebih luas ketika dibawakan oleh paduan suara Lekra Banyuwangi.

    Momentum popularitasnya semakin meningkat setelah dinyanyikan oleh artis-artis terkenal seperti Bing Slamet dan Lilis Suryani. Penyiaran lagu ini melalui televisi dan radio semakin memperluas jangkauan pendengarnya.

    Akan tetapi, popularitas ini membawa konsekuensi yang tidak terduga ketika lagu tersebut mulai mendapatkan makna politik baru. Partai Komunis Indonesia (PKI) mengadopsi lagu ini dalam berbagai kegiatan mereka yang mengubah persepsi publik terhadap makna asli lagu tersebut.

    Titik balik dalam sejarah lagu ini terjadi setelah peristiwa G30S 1965. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan terhadap lagu Genjer-Genjer karena dianggap sebagai simbol propaganda komunis.

    Larangan ini menciptakan ketakutan di masyarakat, hingga muncul anggapan bahwa menyanyikan atau memperdengarkan lagu ini bisa berakibat fatal bagi keselamatan seseorang. Selama lebih dari tiga dekade masa Orde Baru, lagu ini menjadi salah satu karya seni yang paling diawasi.

    Meskipun awalnya diciptakan sebagai kritik sosial terhadap penjajahan Jepang, asosiasi politiknya dengan PKI mengubah cara masyarakat memandang lagu ini. Larangan resmi terhadap lagu ini berlangsung hingga berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998.

    Pasca reformasi 1998, meskipun larangan formal terhadap lagu Genjer-Genjer telah dicabut dan kini dapat didengarkan secara bebas, dampak stigmatisasi politik masih terasa. Lagu yang awalnya merupakan ekspresi penderitaan rakyat ini tetap membawa beban sejarah yang kompleks dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia.

     

     

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Putusan MK Hapus Ambang Batas Presiden, LaNyalla: Momentum Perbaikan Demokrasi

    Putusan MK Hapus Ambang Batas Presiden, LaNyalla: Momentum Perbaikan Demokrasi

    Jakarta (beritajatim.com) – Sebagai salah satu pihak yang pernah mengajukan Judicial Review (JR) atas ambang batas dukungan pencalonan presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold atau PT) dari 20 persen menjadi 0 persen, Ketua DPD RI ke-5, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, memberikan apresiasi atas perubahan pandangan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya menghapuskan PT 20 persen tersebut.

    “Perubahan pandangan Hakim MK tentu harus diapresiasi, terutama setelah 33 kali menolak gugatan perkara yang sama, termasuk gugatan yang diajukan DPD RI, atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Terutama dalam putusan terbaru ini, majelis mendalilkan yang pada intinya demi menghindari kemunduran demokrasi, karena dominasi partai politik yang berkelompok, sehingga membatasi peluang warga negara untuk maju mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional,” tukas LaNyalla, Jumat (3/1/2025).

    LaNyalla menyebutkan, penghapusan PT 20 persen harus menjadi momentum untuk menata ulang sistem demokrasi Indonesia yang sesuai dengan Pancasila. Sistem ini, menurutnya, mengedepankan demokrasi perwakilan dan musyawarah mufakat untuk menghindari biaya politik yang mahal serta jebakan popularitas dan elektabilitas yang bisa difabrikasi.

    “Sudah seharusnya bangsa ini kembali ke sistem Pancasila, untuk menghasilkan perwakilan yang diisi para hikmat, untuk kemudian memilih putra-putri terbaik bangsa untuk menjadi pemimpin nasional,” lanjutnya.

    LaNyalla menegaskan bahwa putusan MK ini harus diikuti dengan perubahan undang-undang, terutama tentang Pemilu dan sistem tata negara. Hal ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk kembali ke Konstitusi asli, yaitu Demokrasi Pancasila, yang menurutnya belum pernah diterapkan secara tepat pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.

    “Banyak calon presiden, tidak masalah, tetapi yang memilih adalah para hikmat yang berada di MPR sebagai lembaga tertinggi, yang tidak hanya dihuni anggota DPR dari representasi partai saja,” tandasnya.

    Dia juga menyoroti kelemahan pemilihan presiden langsung oleh rakyat, yang menurutnya hanya menghasilkan biaya tinggi dan melibatkan bandar pembiaya, serta bergantung pada popularitas dan elektabilitas yang bisa diframing.

    “Berbeda bila evaluasi UU dan sistem tata negara dilakukan menyeluruh, sehingga bangsa ini mampu menghasilkan para hikmat sebagai penjelmaan rakyat di MPR untuk memilih, maka tentu batu ujinya terhadap calon di MPR menjadi integritas, intelektualitas, dan moralitas,” jelas LaNyalla.

    LaNyalla berharap Presiden Prabowo Subianto, yang menurutnya memiliki semangat kembali ke Pancasila dan UUD 1945, mendorong semua elemen bangsa untuk menggunakan momentum ini dalam memperbaiki sistem pemilu dan sistem tata negara Indonesia.

    “Bagi saya, setelah MK sadar, kita semua harus sadar juga,” tandas penggagas Dewan Presidium Konstitusi UUD 1945 itu.

    Latar Belakang

    DPD RI dalam Sidang Paripurna ke-8 Masa Sidang III Tahun 2021-2022, Jumat, 18 Februari 2022, memutuskan untuk mengajukan JR ke MK terkait Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7/2017 yang mengatur PT 20 persen. Namun, MK dalam putusan Nomor 52/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada Kamis, 7 Juli 2022, menolak gugatan DPD RI.

    Namun, Kamis, 2 Januari 2025, MK melalui putusan 62/PUU-XXII/2024 menyatakan menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau Presidential Threshold (PT). “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petikan putusan tersebut. [beq]