Topik: Orde Baru

  • Aktivis: Penulisan sejarah versi baru momentum rekonsiliasi bangsa

    Aktivis: Penulisan sejarah versi baru momentum rekonsiliasi bangsa

    “Ya, enggak boleh ada yang dihilangkan, justru harus diluruskan sejarah itu. Penulisan sejarah itu, pelurusan sejarah itu juga bagian dari momentum kita untuk merekonsiliasi bangsa ini,”

    Jakarta (ANTARA) – Aktivis 1998 Masinton Pasaribu menilai penulisan sejarah Indonesia versi baru sebagai momentum rekonsiliasi bangsa sehingga tidak boleh ada sejarah yang dihilangkan.

    “Ya, enggak boleh ada yang dihilangkan, justru harus diluruskan sejarah itu. Penulisan sejarah itu, pelurusan sejarah itu juga bagian dari momentum kita untuk merekonsiliasi bangsa ini,” kata Masinton.

    Hal itu disampaikannya usai menghadiri acara Sarasehan Aktivis Lintas Generasi Memperingati Reformasi 1998 bertema “Dari Demokrasi Politik Menuju Transformasi Demokrasi Ekonomi” di Jakarta, Rabu.

    Sebab, menurut dia, sejarah cenderung memiliki subjektivitas tinggi lantaran ditulis dari pandangan yang dimiliki oleh pihak pemenang.

    “Penulisan ulang sejarah tadi itu harus diletakkan dalam rangka pelurusan sejarah, meletakkan sejarah kita kembali dalam bingkai merah putih, apalagi itu tentang sejarah ke-Indonesiaan,” ucapnya

    Untuk itu, dia memandang penulisan sejarah Indonesia versi baru tersebut justru seharusnya dimaksudkan untuk meluruskan sejarah yang ada di Tanah Air.

    “Umpama, ada banyak hal ya dari mulai peristiwa (tahun) ’48 peristiwa ’66, ’67, dan beberapa peristiwa lainnya yang menurut kita itu harus kita letakkan dalam kerangka sejarah yang benar tadi itu,” ucapnya.

    Dia lantas berkata, “Itu yang kita maksud dengan pelurusan sejarah begitu lho, sehingga penulisan ulang sejarah dan pelurusan sejarah itu adalah bagian dari merekonsiliasi sejarah bangsa kita.”

    Adapun terkait polemik yang muncul atas rencana pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Presiden Ke-2 RI Soeharto, dia meminta agar rencana tersebut untuk tidak diteruskan.

    “Maka ketika muncul polemik pemberian gelar, ya menurut saya ya itu jangan diteruskan ya, gitu lah,” tuturnya.

    Dia meminta para aktivis 1998 untuk merenungkan kembali mengenai rencana pemberian gelar pahlawan tersebut, berkaca atas aksi menuntut reformasi yang dilakukan justru untuk menggulingkan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.

    “Kalau Pak Harto diberikan gelar pahlawan ya, nah terus yang memperjuangkan aktivis gerakan reformasi itu pada saat itu, ya berarti pengkhianatan?” kata Bupati Tapanuli Tengah itu.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Aktivis lintas generasi gelar sarasehan peringati 27 tahun reformasi

    Aktivis lintas generasi gelar sarasehan peringati 27 tahun reformasi

    “Jadi demokrasi politik sudah bisa kita capai dengan segala macam kekurangan dan kelebihan. Nah, yang patut kita cermati kita sebagai aktivis tahun 1998 dan generasi sebelumnya adalah soal demokratisasi ekonominya, yang menurut kami masih jauh pangga

    Jakarta (ANTARA) – Aktivis lintas generasi menggelar sarasehan memperingati 27 tahun reformasi 1998 dengan tema “Dari Demokrasi Politik Menuju Transformasi Demokrasi Ekonomi” di Jakarta, Selasa.

    Aktivis 1998 Haris Rusly Moti selaku koordinator fasilitator acara tersebut menjelaskan tema itu diangkat lantaran kemajuan demokrasi ekonomi tertinggal bila dibandingkan dengan capaian demokrasi politik pascareformasi.

    “Jadi demokrasi politik sudah bisa kita capai dengan segala macam kekurangan dan kelebihan. Nah, yang patut kita cermati kita sebagai aktivis tahun 1998 dan generasi sebelumnya adalah soal demokratisasi ekonominya, yang menurut kami masih jauh panggang dari api,” kata Haris.

    Dia lantas berkata, “Kami ingin demokrasi kebebasan politik kita ini bukan hanya di TPS-TPS (tempat pemungutan suara), tapi juga akses terhadap sumber-sumber kekayaan negara kita ini juga dinikmati oleh masyarakat Indonesia, ini poin kunci.”

    Adapun terkait peringatan 27 reformasi, dia memberikan catatan bahwa perjuangan untuk menggapai reformasi sedianya tidak hanya berhasil dicapai oleh aktivis 1998, melainkan telah dirintis oleh para aktivis terdahulu sejak tahun 1970-an.

    “Generasi ’98 ini adalah generasi yang memfinalisasi perjuangan panjang itu dan mendapat untung dan dapat simbol sebagai aktivis yang menjatuhkan Soeharto, padahal sebetulnya yang berjuang itu jauh sebelumnya dari tahun 1970 sampai 1998,” ujarnya.

    Dengan demikian, lanjut dia, ketika Presiden Ke-2 RI Soeharto mundur maka aktivis generasi 1998 tinggal memetik buah perjuangan reformasi yang telah dirintis sejak lama, bersamaan dengan kekuasaan Orde Baru yang memang sudah memasuki masa uzurnya.

    “Orde Baru itu memang terlalu dipersonifikasi ke sosok yang namanya Soeharto itu sehingga ketika dia sudah mulai uzur, kekuasaannya sudah mulai lumpuh, nah disitulah momentum generasi baru yang biasa disebut sebagai generasi 1998 ini,” katanya.

    Sementara itu, aktivis senior sekaligus motor Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 (Malari) Hariman Siregar menilai demokrasi di Indonesia telah masuk dalam kategori demokrasi yang matang bila menilik pada transisi kepemimpinan di Tanah Air yang telah berjalan enam kali tanpa kekerasan.

    “Kalau kita cuma lihat di situ saja itu kita mature demokrasi, tapi kalau kita lihat dalam hari-harinya, (terdapat) kelemahan demokrasi dalam bentuk kelemahan civil society, sudah itu partai-partai yang rekrutmennya cuman milih artis, milih segala macam,” kata Hariman saat memberikan pidato kunci (keynote speech).

    Adapun terkait tema yang diusung dalam acara tersebut, dia memandang bahwa demokrasi ekonomi akan tercipta dengan sendirinya apabila prinsip-prinsip demokrasi dalam bernegara itu dijalankan dengan sungguh-sungguh.

    “Jadi enggak mungkin kita bicara demokrasi ekonomi, kalau dalam kehidupan sehari-hari kita demokrasi itu enggak kita praktikkan menjadi bagian dari apa state of mind kita,” kata dia.

    Pada kesempatan tersebut, turut hadir Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Pembaruan Jumhur Hidayat, Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Melkiades Laka Lena, hingga pengamat politik Rocky Gerung, dan aktivis lintas generasi lainnya.

    Sementara itu, Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR RI yang juga Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco yang dijadwalkan turut hadir sebagai pembicara kunci batal hadir pada acara tersebut.

    “Harusnya saya memberikan salam hormat pada dua keynote speaker saya juga, yaitu Ibu Puan Maharani dan Profesor Sufmi Dasco tadi, dan dia rupanya menitip pesan, ‘Abang saja deh yang ambil alih semuanya’. Saya berpikir-pikir, kenapa begitu ya? Rupanya mereka itu enggak mau mendahului bahwa hari ini Gerindra dan PDIP sudah jadi satu,” kata Hariman sambil berkelakar.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Gerindra dukung penulisan ulang sejarah berdasar fakta dan data

    Gerindra dukung penulisan ulang sejarah berdasar fakta dan data

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan bahwa partainya mendukung setiap upaya penulisan ulang sejarah Indonesia selama dilakukan berdasarkan fakta dan data.

    Hal itu disampaikan Muzani menanggapi pernyataan anggota Komisi III DPR RI Yasonna Laoly mengenai perlunya pelurusan narasi sejarah, khususnya terkait peristiwa 1965, yang selama ini dinilai membingungkan dan tidak konsisten.

    “Setiap upaya untuk meluruskan penulisan sejarah itu sesuatu yang baik dan saya kira makin banyak penulisan sejarah yang disajikan kepada generasi muda, generasi saat ini, itu sesuatu yang baik. Sehingga kita bisa mendapatkan kebenaran sejarah yang mendekati kebenaran,” kata Muzani saat ditemui awak media di Kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta, Rabu.

    Ia menegaskan penulisan sejarah sebaiknya dilakukan secara terbuka dengan menyajikan fakta-fakta sebagaimana adanya tanpa manipulasi.

    Dengan demikian, publik, khususnya generasi muda, dapat melakukan penilaian yang objektif terhadap peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan bangsa.

    “Sejarah itu tidak pernah mendapatkan kebenaran final, tetapi yang harus disajikan adalah fakta dan data yang apa adanya. Biar nanti pembaca, generasi, yang menilai tentang kebenaran sejarah itu,” ujarnya.

    Saat ditanya apakah Partai Gerindra juga mendukung pelurusan sejarah terkait peristiwa 1965 dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), Muzani menjawab singkat namun tegas, “Semua sejarah. Semua sejarah yang menjadi perjalanan bangsa ini.”

    Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Yasonna Laoly mengingatkan soal proyek penulisan ulang sejarah Republik Indonesia yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

    Yasonna yang merupakan mantan Menteri Hukum dan HAM itu mengingatkan sejarah tragedi berdarah pada 1965 silam.

    Menurutnya, peristiwa 1965 yang berkembang selama ini banyak bertentangan dengan hasil penelitian terbaru.

    “Pasca-Orde Baru kan banyak temuan yang, apa ya banyak temuan, baik dari data yang dirilis di Amerika kan semua bertentangan dengan apa yang terjadi, yang sejarah selama ini tentang G30S PKI,” kata Yasonna di kompleks parlemen, Senayan, Rabu (20/5).

    Yasonna mengaku tak mengkhawatirkan posisi Presiden pertama RI Soekarno dalam narasi sejarah tersebut. Terlebih setelah namanya dipulihkan lewat putusan MPR dan tak terbukti di balik tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).

    Namun, dia mewanti-wanti bagian lain. Yasonna terutama mengingatkan agar penulis bisa lebih terbuka sebab sejarah kerap kali bernuansa politis.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ini Tempat Jual Uang Kuno Rp1000 Kelapa Sawit Ditawarkan hingga Rp100 Juta

    Ini Tempat Jual Uang Kuno Rp1000 Kelapa Sawit Ditawarkan hingga Rp100 Juta

    JABAR EKSPRES – Fenomena mencengangkan kembali mencuat di media sosial dan platform e-commerce Indonesia. Uang kertas kuno pecahan Rp1.000 bergambar kelapa sawit yang populer di era 1990-an mendadak jadi buah bibir karena ditawarkan dengan harga fantastis bahkan tembus hingga Rp100 juta per lembar di beberapa marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak!

    Uang yang dulu hanya cukup untuk membeli segelas es teh kini disebut-sebut bisa mendatangkan “cuan” besar. Namun, apakah benar nilainya setinggi itu? Ataukah ini hanya strategi pedagang untuk menarik perhatian?

    Uang kertas ini pertama kali diterbitkan oleh Bank Indonesia pada masa Orde Baru. Di bagian depannya terpampang gambar pohon kelapa sawit, sementara di bagian belakang terdapat potret pahlawan nasional Kapitan Pattimura dari Maluku.

    Baca juga: 3 Waktu Terbaik Jual Uang Kuno di Kota Bandung

    Meskipun sudah tidak berlaku sebagai alat tukar resmi sejak kebijakan redenominasi dan penerbitan uang baru, ternyata uang ini masih punya daya tarik tersendiri—terutama di kalangan kolektor numismatik, atau penggemar uang kuno.

    Bagi kolektor, nilai sebuah uang kuno tidak hanya dilihat dari usia, tetapi juga dari keunikan dan kelangkaannya. Berikut beberapa faktor yang membuat harga uang kuno bisa melonjak:

    Kondisi Uncirculated (UNC)

    Uang yang belum pernah digunakan, tanpa lipatan, noda, atau sobekan tampil seperti baru dari percetakan.

    Contohnya nomor urut unik seperti 000001, 123456, atau pola berulang seperti 888888.

    Edisi Langka atau Salah Cetak

    Uang dari tahun cetakan terbatas atau memiliki kesalahan percetakan bisa sangat bernilai.

    Semakin banyak peminat, semakin tinggi pula harga yang bisa mereka tawarkan.

    Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua uang kelapa sawit otomatis bernilai puluhan juta rupiah. Harga fantastis yang terpampang di marketplace belum tentu mencerminkan nilai riil di komunitas kolektor.

    Baca juga: Titik Lokasi Tempat Jual Beli Uang Kuno di Kota Bandung

    Jika Anda memiliki uang kuno seperti Rp1.000 bergambar kelapa sawit dan ingin mencobanya di pasar, berikut langkah-langkah yang bisa Anda ikuti agar proses jual beli lebih menguntungkan:

  • Usul Mardigu Berantas Ormas Preman: Hidupkan Kembali ‘Pangkopkamtib’ era Soeharto

    Usul Mardigu Berantas Ormas Preman: Hidupkan Kembali ‘Pangkopkamtib’ era Soeharto

    TRIBUNJAKARTA.COM – Pengusaha asal Indonesia yang aktif di media sosial, Mardigu Wowiek Prasantyo menilai belum ada langkah jitu memberantas aksi premanisme yang merebak di Indonesia. 

    Ia pun teringat badan atau lembaga yang mampu menangani permasalahan tersebut. 

    “Kita semua tahu bahwa sejauh ini kebijakan nasional belum menyentuh masalah preman sampai dalam tindakannya yang nyata,” katanya seperti dikutip dari Instagramnya pada Rabu (7/5/2025). 

    Pria yang kerap disapa Bossman tersebut mengusulkan dibentuknya Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang berdiri di era Presiden Soeharto. 

    “Kita usulkan kepada negara untuk membuat badan atau lembaga yang dulu pernah sukses dibentuk untuk membumihanguskan premanisme narkoba dan judi yang namanya Pangkopkamtib, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban,” lanjutnya. 

    Lalu, Apa itu Kopkamtib?

    Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib adalah lembaga internal Pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru.

    Kopkamtib dibentuk oleh Soeharto pada 10 Oktober 1965 dengan tujuan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pascaperistiwa Gerakan 30 September.  

    Lembaga ini memiliki wewenang untuk melarang aksi unjuk rasa, melakukan penangkapan terhadap tokoh politik yang bermasalah, dan penyensoran media massa.

    Usai menyelesaikan tugasnya, Kopkamtib dibubarkan pada 5 September 1988 yang kemudian digantikan oleh Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas).

    Sejarah Pembentukan

    Pada 3 Oktober 1965, Presiden Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban usai peristiwa kudeta G30S/PKI. 

    Untuk melakukan operasi yang diminta, Mayjend Soeharto membentuk Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Kopkamtib dikomando langsung oleh Soeharto selaku panglima tertinggi, kemudian dikukuhkan dengan Surat Keputusan No. 162/KOTI 1965, 12 November 1965.  

    Dalam perkembangannya, Kopkamtib juga dijadikan sebagai lembaga di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan Panglima ABRI.  

    Pada peran ini, Kopkamtib bertugas untuk mewujudkan stabilitas nasional sebagai syarat mutlak berhasilnya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). 

    Tugas

    Semenjak dibentuk, Kopkamtib memiliki beberapa tugas utama, yaitu:

    Memulihkan kemanan dan ketertiban akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem, dan kegiatan subversi lainnya. 

    Mengamankan kewibawaan pemerintah beserta alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah dalam rangka mengamankan pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.  

    Selama melaksanakan tugas, Kopkamtib menggunakan dasar hukum sesuai dengan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar.  

    Dalam Supersemar, Presiden Soekarno memerintahkan kepada Mayjend Soeharto untuk mengambil langkah yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas keamanan nasional. 

    Pembubaran

    Pada 5 September 1988, Kopkamtib resmi dibubarkan, karena lembaga ini telah berhasil memelihara stabilitas nasional dengan sangat baik.

    Sebagai penggantinya, presiden membentuk badan nonstruktural baru, yaitu Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas).  

    Badan ini bertugas sebagai koordinator tugas-tugas departemen dalam rangka pemulihan stabilitas nasional.

    Ketua Bakorstanas dijabat oleh Panglima Angkatan Bersenjata RI.  Sedangkan untuk Bakorstanas daerah dipimpin oleh para Panglima Daerah Militer (Pangdam).

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • Mahfud MD Bicara Peluang Gibran Dimakzulkan Inkonstitusional, Ingatkan Lengsernya Sukarno & Gus Dur – Halaman all

    Mahfud MD Bicara Peluang Gibran Dimakzulkan Inkonstitusional, Ingatkan Lengsernya Sukarno & Gus Dur – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, berbicara peluang Gibran Rakabuming Raka bisa dimakzulkan sebagai Wakil Presiden RI, secara inkonstitusional.

    Mulanya, Mahfud menilai Gibran akan sulit untuk dimakzulkan jika dilakukan secara konstitusional ketika melihat hitung-hitungan politik saat ini.

    Pasalnya, koalisi pemerintah di parlemen begitu besar sehingga dianggap kecil peluang para anggota dewan mau untuk memakzulkan Gibran.

    “Praktiknya akan susah, karena apa? Untuk memakzulkan Presiden dan Wakil Presiden itu harus diputuskan dulu oleh sidang pleno DPR yang dihadiri oleh minimal dua pertiga dari seluruh anggota.”

    “Dua pertiga yang hadir ini harus setuju bahwa ini harus dimakzulkan karena terbukti melakukan hal tercela. Bayangkan secara politik… ndak mungkin karena koalisi Pak Prabowo sudah 81 (persen),” katanya, dikutip dari YouTube Mahfud MD Official, Rabu (7/5/2025).

    Namun, Mahfud mengingatkan, dalam sejarah, mayoritas pemakzulan terhadap Presiden tidak secara konstitusional.

    Lalu, dia mencontohkan dua peristiwa pemakzulan di Indonesia, yaitu terhadap Presiden pertama RI, Sukarno, dan Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

    Mahfud menjelaskan dalam pelengseran Sukarno tidak dilakukan sesuai aturan perundang-undangan.

    Sebab, sang Proklamtor dipaksa untuk menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) oleh Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (AD).

    Padahal, sambung Mahfud, secara aturan saat itu, MPRS yang seharusnya menjadi lembaga negara yang bisa memberhentikan Sukarno.

    Dia mengatakan Supersemar tersebut ternyata dijadikan alat untuk melengserkan Sukarno oleh Soeharto.

    Lalu, Mahfud mengungkapkan seluruh anggota MPRS saat itu diganti oleh pendukung Soeharto demi merontokkan dukungan politik terhadap Sukarno.

    “Ada ketentuan MPR bisa memberhentikan Presiden karena Presiden mandataris MPR. Lalu, pada waktu itu, Bung Karno dipaksa mengeluarkan Supersemar, dari Supersemar itu menjadikan alat untuk merampas kekuasaan melalui rekayasa-rekayasa ketatanegaraan secara politik.”

    “Anggota MPRS-nya diganti dulu dengan pendukung-pendukung Orde Baru lalu (Sukarno) disidang dua tahun setelah peristiwa G30S,” jelas Mahfud.

    Mahfud menjelaskan, setelah itu, Sukarno baru digantikan Soeharto pada 1967, agar terkesan estafet kepemimpinan dilakukan secara konstitusional.

    “Lalu Bung Karno menjadi ‘bebek lumpuh’ yang berkuasa Soeharto, lalu Bung Karno tahun 1967 baru diganti secara resmi setelah ada rekayasa-rekayasa politik itu,” lanjutnya.

    Mahfud juga mengatakan, sebenarnya keberhasilan Soeharto melengserkan Sukarno itu dianggap dilakukan secara konstitusional karena memperoleh dukungan rakyat saat itu setelah pecahnya peristiwa berdarah G30S.

    Dukungan itu, sambungnya, dapat dikonsolidasikan oleh Soeharto sehingga pelengseran terhadap Sukarno dianggap menjadi konstitusi baru saat itu.

    “Itulah sebabnya lalu perampasan kekuasaan terhadap Sukarno kemudian karena ada teorinya yaitu sebuah kekuasaan yang diperoleh dengan melanggar konstitusi tetapi kemudian bisa mengkonsolidasikan diri, itu menjadi konstitusi dan hukum baru,” katanya.

    Kemudian, Mahfud berpindah dengan menjelaskan pelengseran terhadap Gus Dur pada awal 2000-an.

    Ketika itu, jika Gus Dur ingin dimakzulkan secara konstitusional, maka harus terlebih dahulu dilayangkan memorandum pertama ketika memang terbukti telah melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam kepemimpinannya.

    Lalu, apabila Gus Dur masih melakukan pelanggaran, maka baru diberi memorandum kedua dan diberhentikan jika masih tidak ada perbaikan.

    Namun, Mahfud mengungkapkan pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden tidak secara konstitusional karena ketika itu baru berstatus terduga pelaku korupsi penyelewengan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) atau yang lebih dikenal dengan Bulog Gate, tetapi sudah dilayangkan memorandum pertama.

    “Nah, Gus Dur, pertama patut diduga mengetahui penyelewengan di Bulog, oleh sebab itu diberikan momerandum kesatu. Ini udah salah, baru patut diduga kok sudah memorandum.”

    “Menurut TAP MPR 378, kalau benar-benar melanggar haluan negara, tapi oke. Sudah itu, kan patut diduga, apa yang mau diperbaiki (Gus Dur) jika patut diduga?” tutur Mahfud.

    Lalu, Gus Dur menerima memorandum kedua setelahnya terkait kasus yang sama. 

    Namun, tiba-tiba, justru Gus Dur dilengserkan lewat Sidang Paripurna MPR bukan terkait kasus skandal Bulog Gate, tetapi kasus lain, yakni pemecatan Kapolri saat itu, Jenderal Surojo Bimantoro.

    Sebagai informasi, hubungan Gus Dur dengan Bimantoro memang memanas ketika itu akibat peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora di wilayah Papua.

    Mahfud menuturkan proses pemakzulan semacam ini melanggar konstitusi karena Gus Dur dilengserkan lewat kasus baru dan tanpa ada memorandum pertama dan kedua terlebih dahulu.

    “Ini langsung kasus baru (Gus Dur dilengserkan), kan melanggar konstitusi,” katanya.

    Namun, Mahfud mengungkapkan pelengseran Gus Dur tersebut dapat mulus terjadi tanpa adanya kecaman karena mayoritas masyarakat mendukung upaya tersebut.

    “Ketika itu, masyarakat yang mayoritas diwakili partai, mendukung. Akhirnya, Gus Dur itu jatuh,” ujarnya.

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

  • Zulhas: 29 Tahun Reformasi, Pertanian Kita Tertinggal dari Era Orde Baru
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        6 Mei 2025

    Zulhas: 29 Tahun Reformasi, Pertanian Kita Tertinggal dari Era Orde Baru Regional 6 Mei 2025

    Zulhas: 29 Tahun Reformasi, Pertanian Kita Tertinggal dari Era Orde Baru
    Tim Redaksi

    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator bidang Pangan
    Zulkifli Hasan
    menyatakan bahwa selama 29 tahun era reformasi, sektor pertanian Indonesia justru tertinggal dibandingkan masa pemerintahan
    Orde Baru
    .
    Hal itu ia sampaikan dalam sambutannya saat Peluncuran Percepatan Musyawarah Desa Khusus pembentukan
    Koperasi Desa Merah Putih
    bersama kepala desa se-Jawa Tengah di Holy Stadium, Kota Semarang, Selasa (6/5/2025).
    “Kita masih evaluasi selama 29 tahun kita reformasi. Banyak juga yang maju. Saya tidak bicara yang majunya, tetapi hampir 29 tahun kita hari-hari kita bicara mengenai perdebatan soal demokrasi, pertanian kita mulai ketinggalan,” kata Zulkifli Hasan.
    Menurut
    Zulhas
    , pada masa Orde Baru Indonesia telah mencapai
    swasembada pangan
    .
    Pemerintah saat itu intens membangun sektor pertanian, ditandai dengan pembangunan irigasi dan infrastruktur penunjang lainnya.
    “Zaman Pak Harto, pertanian dibangun begitu intens, dari irigasi primer, sekunder, tersier. Kita punya PT PAL, PT Pindad, Batang untuk tenaga nuklir. Kita punya satelit Palapa 2. Pertumbuhan ekonomi kita rata-rata 7,5 persen per tahun,” bebernya.
    Zulhas juga menyinggung pengalamannya saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan, di mana ia diperintahkan Presiden Joko Widodo untuk melakukan impor beras dan jagung karena rendahnya cadangan pangan nasional.
    “Atas perintah rapat yang dipimpin Bapak Presiden pada waktu itu, kita impor beras tahun lalu 3,6 juta. Kita impor jagung tahun lalu 2,8 juta. Oleh karena itu, program utama Bapak Presiden (Prabowo) adalah ketahanan pangan,” tuturnya.
    Meski demikian, ia menyebut bahwa menurut laporan Menteri Pertanian, stok beras nasional saat ini mencapai 3,5 juta ton, yang cukup hingga tahun depan.
    Presiden Prabowo pun memerintahkan Bulog menyerap gabah petani lokal dengan harga Rp6.500 per kilogram serta memangkas distribusi pupuk langsung dari pabrik ke petani.
    Zulhas juga menyoroti terjadinya ketimpangan ekonomi antara desa dan kota selama masa reformasi.
    Ia menilai bahwa desa tertinggal karena tidak memiliki ekosistem ekonomi yang tangguh. Salah satu indikatornya adalah perubahan status petani menjadi buruh tani.
    “Selama 29 tahun, reformasi, demokrasi, terjadi ketimpangan saudara-saudara. Yang kaya tambah-tambah, yang miskin enggak naik-naik. Data dari BPS, petani zaman
    orde baru
    punya sawah, punya kebun. Sekarang rata-rata petani berubah menjadi buruh tani,” jelasnya.
    Untuk mengatasi persoalan tersebut, Zulhas menegaskan pentingnya membangun ekosistem ekonomi pedesaan melalui pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes).
    Ia meyakini koperasi ini akan menciptakan lapangan kerja dan memangkas mata rantai distribusi yang tidak efisien.
    “Desa bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Berapa Pak Menteri? 2 juta akan terbentuk lapangan kerja baru di desa-desa. Akan memotong rantai pasok yang panjang dari pusat sampai ke desa. Akan memotong tengkulak-tengkulak. Akan memotong rentenir-rentenir. Itulah (pentingnya) dibentuknya Kopdes,” tandasnya.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Legislator PDIP sebut gelar pahlawan Soeharto akan lukai rasa keadilan

    Legislator PDIP sebut gelar pahlawan Soeharto akan lukai rasa keadilan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abidin Fikri mengatakan wacana pemberian gelar pahlawan bagi Presiden Ke-2 Republik Indonesia Soeharto di tengah belum tuntasnya kasus hukum terkait dugaan korupsi sejumlah yayasan pada era Orde Baru, justru akan melukai rasa keadilan rakyat Indonesia.

    Anggota Fraksi PDIP itu pun meminta Kementerian Sosial untuk mengkaji secara mendalam usulan pemberian gelar tersebut.

    “Kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang melibatkan Soeharto, sebagaimana ditetapkan pada tahun 2000, hingga kini belum menemui penyelesaian hukum yang jelas,” kata Abidin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Menurut ia, memberikan gelar pahlawan nasional di tengah adanya fakta itu bukan hanya bertentangan dengan prinsip keadilan, tetapi juga dapat mengikis kepercayaan publik terhadap integritas proses penganugerahan gelar.

    Ia mengatakan pemberian gelar pahlawan nasional harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, termasuk memiliki rekam jejak yang bersih dari tindakan melawan hukum.

    Selain korupsi, ia mengatakan masa kepemimpinan Soeharto juga diwarnai dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta praktik kolusi dan nepotisme. Masalah-masalah tersebut dinilai masih menyisakan luka bagi banyak korban dan keluarganya.

    “Mengabaikan fakta sejarah dan ketidaktuntasan kasus hukum Soeharto akan mencederai semangat antikorupsi dan keadilan sosial yang sedang kita perjuangkan bersama,” katanya.

    Oleh karena itu, Abidin meminta usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto agar dikaji ulang secara mendalam karena rakyat Indonesia mengharapkan pahlawan nasional adalah figur yang menjadi teladan moral dan integritas.

    Di sisi lain, ia juga mengapresiasi aspirasi masyarakat, termasuk dari berbagai elemen sipil yang menyerukan agar usulan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto ditinjau ulang.

    Ia mendesak Dewan Gelar dan pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat serta mempertimbangkan dampak sosial dan historis dari keputusan ini.

    Abidin pun memastikan Komisi VIII DPR RI akan terus mengawal proses ini dengan penuh tanggung jawab.

    Ia juga meminta semua pihak untuk mengedepankan dialog yang berujung pada rasa keadilan masyarakat.

    “Kami mengajak semua pihak untuk menjaga dialog yang konstruktif demi menjaga keutuhan sejarah dan keadilan bagi rakyat Indonesia,” katanya.

    Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan nama Soeharto berpeluang mendapat gelar pahlawan nasional pada tahun 2025. Peluang ini terbuka setelah MPR mencabut TAP MPR 11/1998 soal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • PDIP Minta Kaji Ulang Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto, Sorot Kasus Korupsi dan HAM

    PDIP Minta Kaji Ulang Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto, Sorot Kasus Korupsi dan HAM

    PDIP Minta Kaji Ulang Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto, Sorot Kasus Korupsi dan HAM
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi VIII DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
    PDI-P
    ) Abidin Fikri meminta adanya kajian ulang terhadap rencana pemberian gelar
    pahlawan nasional
    kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia
    Soeharto
    .
    Ia mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan banyaknya kasus yang diduga melibatkan Soeharto. Terutama yang berkaitan dengan dugaan korupsi di era Orde Baru.
    “Kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang melibatkan Soeharto, sebagaimana ditetapkan pada tahun 2000, hingga kini belum menemui penyelesaian hukum yang jelas,” ujar Abidin lewat keterangannya, Senin (5/5/2025).
    Selain korupsi, ia juga menyorot dugaan praktik kolusi dan nepotisme. Serta, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama kepemimpinan Soeharto.
    Pemberian gelar nasional kepada Soeharto, kata Abidin, hanya akan melukai perasaan para korban yang belum mendapatkan penyelesaian hukum.
    “Memberikan gelar pahlawan nasional di tengah fakta ini bukan hanya bertentangan dengan prinsip keadilan, tetapi juga dapat mengikis kepercayaan publik terhadap integritas proses penganugerahan gelar,” ujar Abidin.
    Ia pun meminta pemerintah, khususnya Kementerian Sosial (Kemensos), untuk tidak mengabaikan fakta sejarah dan belum tuntasnya kasus-kasus yang menyeret nama Soeharto.
    “Mengabaikan fakta sejarah dan ketidaktuntasan kasus hukum Soeharto akan mencederai semangat anti korupsi dan keadilan sosial yang sedang kita perjuangkan bersama,” ujar Abidin.
    “Kemensos perlu mengkaji secara mendalam usulan pemberian gelar
    Pahlawan Nasional
    kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto,” sambungnya.
    Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau karib disapa Gus Ipul mengatakan, usulan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat.
    “Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kita. Jadi memang prosesnya dari bawah,” ucap Gus Ipul, dikutip dari laman resmi Kemensos.
    Ia pun menargetkan keputusan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan diambil pada Mei 2025.
    “Sekarang masih berproses. Targetnya Mei. Apakah Mei bisa atau enggak, ya, nanti kami lihat,” ujar Gus Ipul.
    Diketahui, terdapat nama lain yang juga diusulkan mendapatkan gelar pahlawan nasional seperti KH Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).
    Lalu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini selain Soeharto adalah Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara), dan K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komentar Gus Ipul Soal Peluang Marsinah Jadi Pahlawan Nasional Tahun Ini

    Komentar Gus Ipul Soal Peluang Marsinah Jadi Pahlawan Nasional Tahun Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyatakan bahwa usulan untuk menjadikan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional tengah dalam proses pembahasan di tingkat daerah.

    Marsinah adalah aktivis buruh yang tewas dalam memperjuangkan hak-hak pekerja pada era Orde Baru, kembali diusulkan oleh kelompok buruh untuk mendapatkan penghargaan negara tertinggi tersebut.

    “Ya itu diproses ya, jadi memang sudah ada yang mulai menanyakan dan juga sudah mulai mendiskusikan di daerah, karena Nganjuk itu ya, nanti daerah mungkin ada tokoh tokoh di sana yang sudah merintis nanti tim daerah di sana tim gelar pahlawan kemudian nanti di provinsi baru,” kata Gus Ipul saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (5/5/2025).

    Gus Ipul menjelaskan bahwa proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional harus melalui tahapan berjenjang mulai dari bupati atau wali kota, lalu ke gubernur dan akhirnya ke Kementerian Sosial untuk ditelaah oleh tim ahli sebelum masuk ke Dewan Gelar Pahlawan Nasional yang berada di bawah kewenangan Presiden.

    Oleh sebab itu, dia pun menjawab perihal kemungkinan Marsinah dianugerahi gelar tersebut pada tahun ini, Gus Ipul menyebut bahwa hal itu kecil kemungkinannya.

    “Tidak memungkinan kalau tahun ini, mungkin tahun depan, ya kita lihat situasinya, kalau memungkinkan ya mungkin,” ujarnya.

    Apalagi, dia juga menyebut sejumlah tokoh lain yang sedang masuk dalam radar pengusulan pada tahun ini , seperti Presiden ke-2 Soeharto, Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sastrawan HB Jassin, dan mantan Panglima ABRI Jenderal M. Yusuf.

    Namun, dia menegaskan bahwa hanya nama-nama yang telah memenuhi syarat secara administratif dan historis yang akan diteruskan ke tingkat nasional.

    “Saya belum menerima laporan tuntas, tapi prosesnya berjalan terus. Kita lihat nanti siapa saja yang akhirnya diajukan resmi ke Kemensos,” pungkas Gus Ipul.