Topik: Orde Baru

  • Mirip Kasus Thomas More vs Raja Inggris

    Mirip Kasus Thomas More vs Raja Inggris

    GELORA.CO  – Pakar hukum tata negara Feri Amsari menuding ada sosok “raja Jawa” di balik vonis pidana 4,5 tahun yang didapatkan oleh mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

    Feri adalah staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas di Sumatra Barat. Dia meraih gelar sarjana dan magister hukum di kampus yang sama.

    Tom divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada hari Jumat, (18/7/2025), dalam kasus korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015—2016.

    Vonis itu menimbulkan reaksi beragam. Ada pihak yang sangat kontra lantaran tidak ditemukan mens rea atau niat jahat dari Tom. Di samping itu, Tom tidak terbukti mendapat keuntungan pribadi dalam kasus itu.

    Seperti banyak pakar hukum lainnya, Feri menganggap ada kejanggalan dalam kasus Tom.

    Menurut Feri, para hakim dan jaksa di Indonesia mengetahui kejanggalan yang terjadi. Mereka memberikan clue atau petunjuk kepada masyarakat Indonesia mengenai “kekonyolan hukum” dalam kasus Tom.

    “Jadi, ngasih tahu kami (hakim dan jaksa) sebenarnya kami diperintah orang, maka lahirlah kekonyolan itu, paham kapitalisme dijadikan argumentasi,” ujar Feri dalam podcast yang tayang di kanal YouTube Forum Keadilan, Minggu, (27/7/2025).

    Feri menduga para hakim dan jaksa yang menangani kasus Tom sedang ditekan atau dipaksa oleh pihak tertentu.

    Kata dia, ada dugaan kuat bahwa peradilan terhadap Tom adalah political trial atau peradilan sesat. Dia menyebut peradilan sesat adalah peradilan yang menargetkan dan membungkam lawan politik.

    Feri berujar peradilan seharusnya bersih dari politik.

    “Peradilan harus bebas dari kepentingan politik, emosi, nuansa-nuansa yang mengganggu kemurnian,” kata Feri.

    Akademisi itu lalu menyinggung banyaknya rakyat kecil yang diadili pada masa Orde Baru karena kepentingan politik kekuasaan.

    Adapun saat ini pihak Tom sudah memutuskan mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Feri berharap pihak Tom dalam memori bandingnya bisa membuktikan bahwa putusan terhadap Tom adalah putusan peradilan sesat.

    Feri menyebut kasus Tom mirip dengan kasus yang menimpa Sir Thomas More, seorang penasihat Raja Inggris Henry VIII yang bertakhta dari tahun 1491 hingga 1547.

    Awalnya More bersahabat baik dengan Henry. Namun, More dihukum oleh Henry setelah keduanya memiliki pandangan berbeda mengenai pernikahan Henry. More didakwa melakukan pengkhianatan dan berujung dieksekusi.

    “Ceritanya agak mirip-mirip Tom Lembong. Orang dekat raja yang berkuasa, lalu berbeda pandangan, dan dihukum,” kata Feri.

    Feri lalu mengatakan yang menghukum Tom adalah raja Jawa. Namun, dia tidak menjelaskan identitas raja Jawa yang disebutnya.

    Istilah raja Jawa pernah pula disebut oleh Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia saat menyampaikan pidato perdananya sebagai ketua umum di JCC, Jakarta, (21/8/2024).

    Saat itu di depan kader Golkar, Bahlil meminta agar kader tidak bermain-main dengan raja Jawa karena bisa memunculkan celaka.

    Adapun mengenai peradilan politik, Feri mengatakan peradilan seperti itu lumrah dalam peradaban politik ketatanegaraan.

    “Selalu dianggap perbuatan yang zalim karena raja atau penguasa tidak nyaman dengan perbedaan cara pandang dan melakukan berbagai cara untuk menghentikan lawan politik,” kata Feri menjelaskan.

    Vonis Tom

    Majelis hakim telah memvonis Tom dengan hukuman 4,5 tahun.

    “Mengadili terdakwa Thomas Trikasih Lembong telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer,” kata hakim ketua.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Thomas Trikasih Lembong oleh karena itu dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan.”

    Selain dijatuhi pidana kurungan, Tom juga dijatuhi pidana denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara. 

    Adapun vonis Tom Lembong yang diputus oleh majelis hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa.

    Sebelumnya, dalam sidang di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Jumat, (4/7/2025), jaksa penuntut umum (JPU) menuntut agar Tom dihukum dengan 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Dalam amar tuntutannya Jaksa penuntut umum (JPU) menilai Tom terbukti terlibat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula  tersebut.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Thomas Trikasih Lembong oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 tahun,” kata jaksa membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (4/7/2025).

    Tak hanya itu, jaksa juga meminta agar majelis hakim menjatuhkan pidana denda kepada Tom Lembong sebesar Rp750 juta. Apabila denda tersebut tak dibayar, akan diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

    Tom dinilai jaksa telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Kasus korupsi impor gula ini telah merugikan keuangan negara sebesar Rp578 miliar dan memperkaya 10 orang akibat menerbitkan perizinan importasi gula periode 2015-2016.

    Dalam dakwaannya, jaksa menyebut kerugian negara itu diakibatkan adanya aktivitas impor gula yang dilakukan Tom Lembong dengan menerbitkan izin impor gula kristal mentah periode 2015-2016 kepada 10 perusahaan swasta tanpa adanya persetujuan dari Kementerian Perindustrian

  • PDIP tabur bunga di Diponegoro 58 peringati 29 tahun Kudatuli

    PDIP tabur bunga di Diponegoro 58 peringati 29 tahun Kudatuli

    Kader PDI Perjuangan menggelar tabur bunga di kantor pusat DPP PDIP di Jalan Diponegoro No.58, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025). (ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat)

    PDIP tabur bunga di Diponegoro 58 peringati 29 tahun Kudatuli
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 27 Juli 2025 – 14:15 WIB

    Elshinta.com – Kader PDI Perjuangan (PDIP) menggelar tabur bunga di kantor pusat DPP PDIP yang beralamat di Jalan Diponegoro No.58, Jakarta Pusat, Minggu pagi, dalam rangka memperingati kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli.

    Dalam kegiatan tersebut Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning meminta kepada jajaran DPP PDIP yang kini menjadi anggota DPR RI untuk memperjuangkan nasib keluarga korban serta menertibkan arsip peristiwa Kudatuli agar tidak hilang dari sejarah bangsa.

    “Kader itu harus tidak boleh lupa dengan Kudatulii,” kata Ribka di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Minggu.

    Ribka juga mengenang peran Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjadi simbol perlawanan rakyat atas represi Orde Baru, terutama setelah kekuasaan mencoba menggulingkannya lewat rekayasa dualisme kepemimpinan partai.

    Ia juga menyebut kantor DPP PDIP sebagai saksi bisu berbagai peristiwa seputar Kudatuli.

    “Bukan cuma Diponegoro 58. Di daerah-daerah pun terjadi perampasan kantor-kantor partai. Harusnya seluruh fraksi ingat akan hal ini,” ujarnya.

    Sebelum prosesi tabur bunga dimulai, acara diawali dengan doa bersama untuk para korban yang gugur dalam peristiwa Kudatuli.

    Terlihat hadir dalam rangkaian acara ini jajaran DPP PDIP seperti Ribka Tjiptaning, Bonnie Triyana, Sadarestuwati, Wiryanti Sukamdani, Ronny Talapessy, dan Deddy Yevri Sitorus.

    Hadir pula Wakil Sekjen DPP PDIP Yoseph Aryo Adhi Darmo serta Wakil Bendahara Umum PDIP Yuke Yurike.

    Usai doa, Ribka mengajak seluruh elite PDIP untuk memulai prosesi tabur bunga, dimulai dari gerbang depan kantor DPP PDIP, lalu dilanjutkan ke halaman dan area parkir kantor partai.

    Ribka juga mengajak peserta menabur bunga di titik-titik di mana para korban Kudatuli gugur.

    Acara kemudian dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng sebagai bentuk penghormatan kepada para korban dan keluarga mereka.

    Sumber : Antara

  • Peringati Kudatuli, PDI-P Tabur Bunga di Kantor DPP
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Juli 2025

    Peringati Kudatuli, PDI-P Tabur Bunga di Kantor DPP Nasional 27 Juli 2025

    Peringati Kudatuli, PDI-P Tabur Bunga di Kantor DPP
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
    PDI Perjuangan
    menggelar acara peringatan 29 tahun peristiwa kerusuhan 27 Juli atau
    Kudatuli
    di Kantor DPP PDI-P, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (27/7/2025).
    Peringatan itu diisi dengan tabur bunga di halaman kantor partai yang menjadi lokasi bentrokan berdarah pada 1996 silam.
    Sejumlah elite partai dan keluarga korban turut hadir dalam acara tersebut.
    Pantauan Kompas.com, tampak hadir elite partai di antaranya
    Ribka Tjiptaning
    , Bonnie Triyana, Sadarestuwati, Wiryanti Sukamdani.
    Terlihat pula Ronny Talapessy, Deddy Sitorus, Yoseph Aryo Adhi Darmo, dan Yuke Yurike.
    Dalam sambutannya, Ribka mengingatkan kembali peristiwa Kudatuli sebagai bagian penting dari sejarah perjuangan partai melawan represi Orde Baru.
    Ia menyebut tragedi itu tidak hanya memakan korban jiwa, tetapi juga menjadi momentum kebangkitan rakyat.
    Karena itu, ia mengajak para kader untuk terus memperingati Kudatuli sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang masih berlangsung hingga hari ini.
    “Jadi perjuangan kita belum selesai, reformasi ini masih reformasi angan-angan aja. Tapi masih sama dengan Orde Baru, bahkan lebih parah,” tegas Ribka.
    Sebagai informasi, pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi kerusuhan berdarah di Jakarta atau dikenal dengan Peristiwa Kudatuli (akronim dari kerusuhan dua puluh tujuh Juli).
    Insiden ini menewaskan 5 orang dan menyebabkan 149 orang luka-luka serta 23 orang dinyatakan hilang.
    Kudatuli terjadi saat pengambilalihan paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat.
    Kerusuhan ini menjadi sejarah kelam dalam dunia politik Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Peringati Peristiwa Kudatuli 1996, PDIP Gelar Prosesi Tabur Bunga dan Doa Bersama – Page 3

    Peringati Peristiwa Kudatuli 1996, PDIP Gelar Prosesi Tabur Bunga dan Doa Bersama – Page 3

    Oleh sebab itu, lanjut Ribka perjuangan PDIP belum usai karena reformasi masih perlu diperjuangkan. Menurut dia, reformasi yang ada di Indonesia saat ini masih reformasi angan-angan semata.

    “Masih sama dengan Orde Baru, bahkan lebih parah. Jadi, tetap kuatkan soliditas kita. Banteng tidak boleh ngambek, banteng tidak boleh cengeng,” kata Ribka. Selanjutnya prosesi tabur bunga berlangsung sekitar 15 menit dan diiringi dengan lagu Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki. Prosesi tabur bunga itu berjalan dengan khidmat dan penuh rasa haru.

  • Soeharto Ketum Kabinet Ampera I, transisi menuju Orde Baru

    Soeharto Ketum Kabinet Ampera I, transisi menuju Orde Baru

    Potret Terakhir Presiden Soekarno Pimpin HUT RI 1966, Didampingi Soeharto Ketua Presidium Kabinet Ampera. (https://tinyurl.com/ycy9u7mh)

    25 Juli 1966: Soeharto Ketum Kabinet Ampera I, transisi menuju Orde Baru
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 25 Juli 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Pada tanggal 25 Juli 1966, Kabinet Ampera I resmi dilantik di bawah Presiden Soekarno, dengan Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presidium. Pelantikan ini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia, karena menandai dimulainya transisi kekuasaan dari Presiden Soekarno menuju Soeharto, serta terbentuknya pemerintahan awal di era Orde Baru.

    Kabinet Ampera dibentuk untuk menggantikan Kabinet Dwikora yang dinilai tidak lagi efektif pasca meletusnya peristiwa G30S/PKI dan berbagai tekanan sosial-politik yang menyusul setelahnya. Nama “Ampera” sendiri merupakan singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat, yang menjadi landasan moral utama pembentukan kabinet ini.

    Struktur Kabinet Ampera lebih ramping dibandingkan kabinet sebelumnya yang beranggotakan sekitar 100 menteri. Kabinet ini hanya terdiri dari sekitar 28 menteri, yang dikoordinasikan melalui empat menteri utama (menutama), yakni bidang politik, kesejahteraan rakyat, ekonomi dan keuangan, serta industri dan pembangunan. Jenderal Soeharto menjabat sebagai Ketua Presidium sekaligus Menteri Utama Pertahanan dan Keamanan, menunjukkan perannya yang semakin dominan dalam pemerintahan.

    Kabinet ini mengusung agenda utama yang disebut Dwi Dharma dan Catur Karya. Dwi Dharma berisi dua misi pokok: menegakkan stabilitas politik dan memperbaiki kondisi ekonomi rakyat. Sedangkan Catur Karya mencakup empat target utama, yakni: memperbaiki kebutuhan sandang dan pangan rakyat, menyelenggarakan pemilu selambat-lambatnya 5 Juli 1968, melaksanakan politik luar negeri bebas aktif, serta menindak tegas sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme di Indonesia.

    Seiring berjalannya waktu, kekuasaan Soeharto terus menguat. Meskipun pada saat pelantikan Kabinet Ampera Soekarno masih menjabat sebagai presiden, namun kewenangan pemerintahan secara de facto banyak dijalankan oleh Soeharto. Setahun kemudian, melalui sidang MPRS pada Maret 1967, Soekarno secara resmi diberhentikan dari jabatannya dan Soeharto ditunjuk sebagai Pejabat Presiden.

    Pelantikan Kabinet Ampera I tidak hanya menjadi awal terbentuknya struktur pemerintahan yang baru, tetapi juga membuka jalan bagi kelahiran Orde Baru, sebuah era pemerintahan yang akan berlangsung selama lebih dari tiga dekade ke depan.

    Sumber : Sumber Lain

  • Prabowo: Koperasi harus bersih dari praktik “Ketua Untung Duluan”

    Prabowo: Koperasi harus bersih dari praktik “Ketua Untung Duluan”

    Jakarta (ANTARA) – Presiden RI Prabowo Subianto menyindir praktik lama yang merusak citra koperasi, termasuk plesetan lama dari era Orde Baru terkait Koperasi Unit Desa (KUD), yang disebut “Ketua Untung Duluan”.

    Kepala Negara saat meluncurkan kelembagaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, di Desa Bentangan, Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin, mengingatkan pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan koperasi.

    “Dulu ada plesetan, waktu Orde Baru juga dibentuk KUD, tapi akhirnya diplesetin, KUD singkatan ketua untung duluan, dan ini tidak boleh terjadi,” katanya diikuti dalam jaringan (daring) Sekretariat Presiden di Jakarta.

    Pesan itu dititipkan Presiden kepada jajaran kementerian dan lembaga terkait serta para kepala desa dan kelurahan, terutama dalam program nasional pendirian 80 ribu unit Koperasi Desa (Kopdes) dan Kelurahan (Kopkel) Merah Putih.

    Dalam sambutannya, Presiden Prabowo menegaskan bahwa model koperasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak, tidak boleh terulang di era sekarang.

    “Saya ingatkan semua pengurus melaksanakan tugas dengan baik. Buktikan propaganda bahwa koperasi tidak mungkin berhasil, itu salah,” ujarnya.

    Prabowo juga menyinggung pengalamannya dalam membentuk koperasi di lingkungan militer.

    Menurut dia, pernah ada fenomena di mana ketua koperasi justru menikmati keuntungan pribadi, seperti memiliki mobil mewah hingga tiga unit, sementara kesejahteraan anggota terabaikan.

    Namun, Prabowo optimistis kondisi seperti itu kini sudah tidak ada lagi, khususnya di lingkungan TNI, di bawah komando Panglima TNI Agus Subianto.

    “Sekarang yakin, di bawah Panglima TNI sudah nggak seperti itu ya Pak Subianto? Sudah nggak ada kan di TNI? Sudah enggak ada? Bagus. Kalau saya cek ada, bagaimana?” ucap Prabowo sambil bergurau yang disambut tawa para hadirin.

    Presiden pun berharap koperasi-koperasi yang dibentuk ke depan menjadi lembaga ekonomi rakyat yang transparan, jujur, dan benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat di tingkat desa dan kelurahan.

    Pewarta: Andi Firdaus
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Prabowo Ogah Istilah Koperasi ‘Ketua Untung Duluan’ Muncul Lagi!

    Prabowo Ogah Istilah Koperasi ‘Ketua Untung Duluan’ Muncul Lagi!

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto menginginkan agar manajemen Koperasi Desa Merah Putih bisa bekerja lebih baik dan bersih. Dia mengingatkan agar pengawasan pengurus koperasi bisa dijalankan dengan baik usai dirinya melakukan Peluncuran kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

    Prabowo bercerita dulu ketika gerakan Koperasi Unit Desa (KUD) digalakkan di era orde baru, seringkali terdengar cerita penyelewengan oleh manajemen koperasi. Bahkan istilah KUD sampai dipelesetkan jadi ‘Ketua Untung Duluan.’

    “Dulu orde baru ada KUD. Cuma akhinya diplesetin, KUD itu jadi singkatan ‘Ketua Untung Duluan,’ ini tak boleh terjadi lagi,” sebut Prabowo dalam peluncuran Koperasi Desa/Kelurahan d KDMP Bentangan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin (21/7/2025).

    Menurut pengalamannya, khususnya saat masih jadi tentara, memang seringkali koperasi dijadikan obyek bancakan oleh manajemen. Dana yang dikumpulkan untuk anggota justru diselewengkan untuk kepentingan dan keuntungan pengelola.

    Dia bercerita saat dirinya masih jadi tentara, dia sempat bertugas untuk memimpin di Batalyon Infanteri 328. Suatu hari, Prabowo sempat meminta laporan koperasi yang ada di tempat itu. Dirinya pun memanggil Ketua Koperasi tersebut, untuk dimintai laporan. Namun, anehnya pengelola koperasi itu justru takut bertemu Prabowo, bahkan sampai gemetaran ketika membawa dokumen laporan tersebut.

    Presiden Prabowo akan meluncurkan 80 ribu koperasi desa/kelurahan merah putih Foto: Dok. detikcom

    “Ini kejadian tak boleh dicontoh, saya pernah jadi Komandan Batalion Cilodong Kostrad, sudah sekian bulan saya belum pernah dapat laporan Ketua Koperasi, niatnya baik, gimana kondisi koperasi kita, tolong panggil ketua koperasi, ketuanya seorang kapten,” kisah Prabowo.

    “Tok, tok, tok… Masuk dia masuk dia bawa map. Lho kok dia gemetaran? Kertasnya bergetar. Pasti ada sesuatu yang dia takutin kan,” katanya melanjutkan sambil memperagarkan gerakan bawahannya yang membawa dokumen sambil gemetaran.

    Melihat ada yang tidak beres, akhirnya Prabowo pun langsung meminta Intel untuk mengaudit apa yang terjadi di koperasi tersebut. Dia khawatir ada penyelewengan yang dilakukan oleh bawahannya karena untuk melapor saja sampai harus ketakutan.

    “Kasih intel periksa ini koperasi. Niatnya tidak diperiksa, niatnya mau dapat laporan, tapi dia sendiri (gemeteran),” lanjut Prabowo.

    Namun dia meyakini peluncuran kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih akan memberikan warna baru bagi perkoperasian di Indonesia. Koperasi Merah Putih disebut Prabowo akan menjadi milik masyarakat luas bukan cuma segelintir pengelola seperti praktik buruk zaman dahulu.

    Dia berpesan kepada Menteri dan Wakil Menteri Koperasi agar pengawasan pada tiap koperasi diperketat. Kalau perlu, semua kemajuan teknologi digunakan untuk melakukan pengawasan. Dan untuk kesekian kalinya dia kembali menegaskan jangan sampai lagi anggapan koperasi ‘Ketua Untung Duluan’ muncul lagi.

    “Semua ada sistemnya, aliran uang masuk keluar semua pakai teknologi. Kata-kata ‘Ketua Untung Duluan,’ jangan berlaku lagi di era sekarang. Kepala Desa juga harus sanggup, Kepala Desa mengawasi? Ketua Koperasi harus diawasi semua,” tegas Prabowo.

    Peluncuran kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih menjadi tonggak penting dalam mewujudkan kemandirian ekonomi rakyat, sebuah inisiatif besar yang diinisiasi langsung oleh Presiden Republik Indonesia.

    Capaian ini tak lepas dari kerja serius dan kolaborasi solid Tim Satgas Koperasi Merah Putih yang terdiri dari unsur lintas kementerian, di antaranya Kementerian Koordinator Pangan, Kementerian Koperasi, Kementerian Desa, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Hukum, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Nasional, Kementerian Sosial, Kementerian BUMN, Kementerian Komunikasi dan Digital, Badan Pangan Nasional, Badan Gizi Nasional, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, para gubernur, serta para bupati dan wali kota.

    Selain itu, pelaksanaan program ini juga berkolaborasi dengan sejumlah BUMN, seperti PT Pupuk Indonesia (Persero), PT Pertamina (Persero), Bank Mandiri, Bank BRI, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., Bank Syariah Indonesia, Pos Indonesia, PT Telkom Indonesia, InJourney, ID FOOD, dan Bulog.

    Tonton juga video “Sentilan Prabowo ke Orang Kaya Ogah Buat Koperasi: Maunya PT” di sini:

    (hal/rrd)

  • PKB rayakan HUT ke-27 dengan gelar `Kalokarya`

    PKB rayakan HUT ke-27 dengan gelar `Kalokarya`

    Sekretaris Panitia Hari Lahir (Harlah) ke-27 PKB Abdullah ANTARA/HO-Humas PKB

    PKB rayakan HUT ke-27 dengan gelar `Kalokarya`
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Sabtu, 19 Juli 2025 – 12:31 WIB

    Elshinta.com – Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merayakan hari ulang tahun ke-27 dengan menggelar hajatan budaya bertajuk “Kolakarya” atau Kolaborasi Kelola Karya di Pos Bloc, Jakarta Pusat, Sabtu. Kegiatan bertemakan kebudayaan ini digelar PKB untuk mendorong semangat pembangunan agar tidak bersandar pada ekonomi dan politik saja, melainkan juga melalui jalur budaya.

    “PKB percaya bahwa kemajuan bangsa tidak bisa dilepaskan dari kekuatan budaya. Budaya adalah roh peradaban, bahkan di masa totaliter orde baru pun, budaya menjadi alat perjuangan. Di era reformasi sekarang, ia menjadi corong kritik dan aspirasi masyarakat,” kata Sekretaris Panitia Hari Lahir (Harlah) ke-27 PKB Abdullah dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu.

    Abdullah melanjutkan dalam acara ini, masyarakat dan seniman dapat berinteraksi aktif dalam berbagai aktivitas, seperti workshop seni lintas medium, pameran seni, kolaborasi pertunjukan seni, hingga talk show budaya. Pihaknya juga menghadirkan ragam pelaku budaya, seperti komedian, musisi dan beberapa filsuf kebudayaan.

    Dari komika bergabung Sammy not slim boya, Fajar Mukti, Aji Pratama, hingga Faizal Agung. Kemudian dari musisi hadir Ikhsan Skuter dan grup musik Float. Dari jagat budaya dan filsafat populer hadir Sujiwo Tejo sebagai budayawan senior yang akan hadir memberikan perspektif mendalam tentang seni dan peran sosialnya.

    Gus Abduh, sapaan Abdullah, melanjutkan Kolakarya adalah bagian dari kontribusi partai politik dalam memberi ruang kreasi kepada seniman dan budayawan. Menurut dia, PKB sejak awal berdiri terus berusaha memberikan ruang budaya termasuk ekosistem yang terlibat terus tumbuh menjadi saluran suara publik.

    “Partai politik tidak boleh absen dalam urusan kebudayaan. Justru sebaliknya, harus menjadi ruang aman dan produktif bagi seniman untuk menyuarakan keresahan masyarakat,” katanya.

    Dalam sejarah politik Indonesia, lanjut Gus Abduh, peran budaya kerap menjadi penggerak perubahan sosial. Dia memastikan PKB ingin melanjutkan semangat dengan menjadikan budaya sebagai pilar penting dalam pembangunan berkelanjutan.

    Sumber : Antara

  • Menata peran strategis instrumen pangan negara

    Menata peran strategis instrumen pangan negara

    Foto udara petani mengoperasikan mesin potong padi modern saat panen padi di areal persawahan Sambutan, Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (10/9/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/Spt.

    Menata peran strategis instrumen pangan negara
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Sabtu, 19 Juli 2025 – 07:45 WIB

    Elshinta.com – Diskusi mengenai eksistensi Perum Bulog sebagai lembaga parastatal di negara berkembang memunculkan pertanyaan penting tentang bagaimana posisi ideal Bulog dalam ekosistem ketahanan pangan nasional?. Sebagaimana diketahui, lembaga parastatal merupakan institusi yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, beroperasi layaknya perusahaan swasta, namun tetap berada dalam pengawasan negara.

    Maka, pertanyaan mendasarnya adalah model manakah yang paling sesuai untuk Bulog sebagai lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), seperti pada era Orde Baru, atau sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti saat ini?. Perdebatan ini masih terus berlangsung, khususnya di kalangan yang pernah menyaksikan langsung kiprah Bulog dalam dua peran tersebut.

    Sebagian kalangan berpendapat, Bulog idealnya kembali menjadi “instrumen negara” dalam bentuk LPNK. Di sisi lain, ada pula yang menilai status BUMN lebih sesuai untuk menjawab tantangan zaman. Perum Bulog sendiri resmi berdiri pada 21 Januari 2003 melalui PP Nomor 7 Tahun 2003, yang kemudian diperbarui dengan PP Nomor 13 Tahun 2016.

    Transformasi ini merupakan bentuk perubahan status hukum dari lembaga pemerintah non-departemen (LPND) menjadi BUMN berbentuk perusahaan umum. Konsekuensinya, koordinasi vertikal Bulog yang sebelumnya langsung kepada Presiden, kini berada di bawah Kementerian BUMN dan kementerian teknis lainnya.

    Seiring dengan itu, kehadiran Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2021 turut memperkaya dinamika ini. Di satu sisi, kedua lembaga memiliki perbedaan struktur dan dasar hukum dengan Bulog berbasis peraturan pemerintah, sementara Bapanas berbasis peraturan presiden.

    Pada sisi yang lain, terdapat irisan tugas yang cukup signifikan, khususnya terkait pengelolaan cadangan pangan dan stabilisasi harga. Sesuai Perpres Nomor 66 Tahun 2021 Pasal 29, kewenangan penugasan Perum Bulog dalam pelaksanaan kebijakan pangan nasional, kini berada di tangan kepala Bapanas, atas pelimpahan dari Menteri BUMN.

    Ini menandai pergeseran penting dalam tata kelola pangan nasional yang perlu dijalankan dengan kehati-hatian, konsistensi, dan semangat sinergi antarlembaga. Masa transisi pembentukan Bapanas, sebagaimana diatur dalam ketentuan peralihan perpres tersebut, diberikan waktu maksimal satu tahun. Harapannya, proses ini dapat berjalan tertib dan tepat waktu.

    Semua pihak tentu berharap pengalaman panjang dalam penantian lahirnya Perpres 66/2021 tidak kembali terulang. Bapanas hadir bukan sekadar sebagai struktur baru, tetapi sebagai kebutuhan nyata untuk memperkuat kedaulatan pangan bangsa. Selama Bapanas belum sepenuhnya beroperasi penuh, Bulog diharapkan tetap menjalankan fungsinya dengan optimal.

    Sebagai BUMN, sekaligus pelaksana tugas pelayanan publik (PSO), Bulog memikul amanah ganda yang harus efisien secara korporasi dan tetap berpihak kepada petani dan masyarakat. Menyeimbangkan dua kepentingan ini memang bukan tugas yang ringan, apalagi jika di tengah jalan masih menghadapi tantangan, seperti defisit keuangan akibat penugasan yang belum dibayar pemerintah.

    Stabilitas harga

    Bulog memiliki sejarah panjang sebagai pilar ketahanan pangan nasional. Peranannya dalam menjaga stabilitas harga beras melalui kebijakan harga dasar dan harga atap pernah menjadi simbol keberpihakan negara kepada petani dan konsumen. Saat harga jatuh di bawah harga dasar, Bulog hadir membeli hasil petani. Ketika harga di pasar melambung di atas harga atap, Bulog juga hadir melalui operasi pasar untuk menjaga daya beli masyarakat.

    Namun, sejak kebijakan tersebut diganti dengan harga pembelian pemerintah (HPP), orientasi keberpihakan menjadi kurang terasa. HPP, yang tidak bersifat wajib serap, memang masih mampu menjaga harga gabah relatif stabil, tetapi menimbulkan pertanyaan tentang apakah ini instrumen yang paling tepat untuk menjamin stabilisasi harga dan melindungi produsen sekaligus konsumen?

    Pertanyaan lain yang tidak kalah penting adalah apakah status Bulog sebagai BUMN masih memungkinkan untuk menjadi garda terdepan pembela petani dan penjaga stabilitas harga pangan? Bagaimana pula tanggung jawab keuangan ketika Bulog mengalami kerugian akibat pelaksanaan PSO yang belum terbayarkan?

    Contohnya, hingga kini tercatat pemerintah masih memiliki kewajiban kepada Bulog sekitar Rp4 triliun. Ini termasuk biaya akibat disposal beras turun mutu, penyaluran beras untuk bantuan bencana, program PPKM, dan pengadaan gula untuk cadangan stabilisasi harga. Beban ini tentu sangat berat, mengingat bunga pinjaman berjalan dan biaya perawatan beras yang semakin mahal dari waktu ke waktu.

    Dalam situasi seperti ini, para petani sangat berharap Bulog tetap dapat menjadi mitra terbaik mereka. Di masa panen raya, misalnya, Bulog diharapkan hadir menyerap gabah dengan harga layak, memberikan kepastian pasar, dan menjaga semangat petani untuk terus berproduksi.

    Namun, untuk menjalankan peran ini dengan baik, Bulog juga membutuhkan dukungan baik dari sisi regulasi, kelembagaan, maupun pembiayaan. Momentum pasca-pandemi menjadi refleksi penting. Ketahanan pangan harus dibangun, bukan hanya melalui produksi, tetapi juga manajemen cadangan dan distribusi yang andal.

    Dalam hal ini, Bulog terbukti memiliki pengalaman dan infrastruktur logistik yang kuat melalui pelaksanaan program Raskin dan Rastra selama bertahun-tahun. Kepercayaan publik terhadap Bulog sebagai operator distribusi pangan strategis masih sangat tinggi, dan ini modal penting untuk peran ke depan.

    Karena itu, keputusan tentang format kelembagaan Bulog ke depan, apakah tetap sebagai BUMN, kembali menjadi LPNK, atau kombinasi keduanya, memerlukan pertimbangan komprehensif. Hal yang terpenting bukan bentuk hukumnya, melainkan kemampuannya untuk tampil lebih tangguh, kredibel, dan siap menjawab kebutuhan pangan nasional dengan lebih efektif.

    Saat Badan Pangan Nasional tengah memperkuat fondasinya, Bulog dituntut untuk tetap gesit dan adaptif. Sinergi kedua lembaga ini, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi kekuatan besar dalam mewujudkan sistem pangan nasional yang kokoh, berkeadilan, dan berkelanjutan.

    Bulog, dengan pengalaman dan sejarah panjangnya, tetap memiliki tempat istimewa dalam perjalanan kemandirian pangan Indonesia. Hal yang perlu dijaga, kini adalah kepercayaan, ketulusan, dan keberanian untuk terus berbenah.

    Sumber : Antara

  • Ketika Suara Rakyat Ditukar dengan Liter Dolar

    Ketika Suara Rakyat Ditukar dengan Liter Dolar

    OLEH: DENNY JA

    PADA awal Januari 2012, Presiden Goodluck Jonathan mengumumkan penghapusan subsidi bahan bakar bensin. Maka harga yang selama ini sangat murah, sekitar ?65, naik menjadi ?141 per liter. 

    Kenaikan harga ini memicu kemarahan publik. Terutama ibu-ibu dan keluarga miskin protes.  Mereka mengandalkan transportasi murah untuk kebutuhan dasar seperti pergi ke pasar atau ke puskesmas.

    Seorang ibu di Lagos, Antonia Arosanwo, menggambarkan efeknya dengan jelas:

    “Saya marah. Biaya perjalanan saya di bus melambung dua kali lipat sejak subsidi dihapus.”   

    Gerakan ini meluas menjadi protes nasional yang dikenal sebagai Occupy Nigeria (2?”14 Januari 2012). 

    Unjuk rasa besar dilakukan. Bus dihentikan, jalan diblokir. Dan puluhan orang tewas akibat bentrokan dengan aparat  .

    Hanya dalam dua minggu, pemerintah tersentak, mengembalikan harga bensin ke level sekitar ?97 per liter. 

    Ketika pencabutan subsidi menentukan nasib pemimpin, apakah ini jenis demokrasi yang sehat?

    Dalam sejarah negara-negara berkembang, subsidi energi adalah candu politik. Ia menenangkan protes, menekan inflasi, dan membeli loyalitas instan. 

    Di Mesir, revolusi Arab Spring dipicu bukan hanya oleh otoritarianisme, tapi juga pencabutan subsidi bahan pokok. 

    Di Venezuela, rezim Chávez bertahan bertahun-tahun di atas fondasi bensin gratis. Di Indonesia, lebih dari Rp500 triliun anggaran pernah dikucurkan hanya untuk menjaga harga BBM tetap “terasa murah”.

    Padahal, data membongkar ilusi itu. Menurut Bank Dunia, 70% subsidi BBM di Indonesia justru dinikmati oleh 30% kelompok terkaya. 

    Pemilik mobil SUV mendapat porsi lebih besar dibanding pengayuh becak atau nelayan. Subsidi ini bukan keadilan sosial.

    Melainkan ini hadiah politik untuk kelas menengah urban yang paling vokal di media sosial dan paling menentukan di TPS kota.

    Kita dimenangkan hari ini. Tapi esok hari, sekolah anak kita kekurangan guru. Puskesmas tak punya vaksin. Jalan desa tetap berlubang.

    Inilah ironi: energi memberi panas yang cepat, tapi meninggalkan arang yang panjang. Subsidi memang populis. Tapi ia seringkali memiskinkan.

    Jauh di balik kampanye dan baliho, ada sumber uang yang lebih berkuasa daripada rakyat: sumur minyak dan tambang batu bara. 

    Kita hidup di era ketika industri energi bukan sekadar penggerak ekonomi, tapi pendonor utama pesta demokrasi.

    Contoh paling vulgar adalah Brasil: skandal Petrobras menyeret presiden, anggota parlemen, hingga eksekutif top ke penjara. 

    Di Nigeria, “oil bunkering” ilegal melahirkan tentara bayaran yang lebih setia pada pengusaha energi daripada konstitusi.

    Dan Indonesia? Kita punya cerita sendiri: Petral, anak usaha Pertamina yang pernah menjadi ladang mafia impor minyak. 

    Ada juga permainan tender yang membiayai koalisi politik. Surat izin tambang berubah menjadi mata uang politik: siapa mendukung siapa, akan dapat konsesi dimana.

    Banyak suara rakyat ditukar satu kontrak blok migas. Itulah mata uang baru demokrasi.

    Negara yang hidup dari rente minyak kerap menjadi negara yang malas. Pajak tak lagi dikembangkan secara adil. 

    Regulasi tunduk pada pemain besar. Dan pembangunan institusi demokrasi tertunda, karena yang diperlukan bukan sistem meritokrasi, tapi jaringan loyalis yang bisa mengamankan blok eksplorasi.

    Kita bisa belajar dari sejarah: di era Orde Baru, Soeharto membagikan ladang minyak kepada kroni dan militer. Dari sinilah tumbuh kekuatan bisnis-politik yang kini masih bertahan, dengan wajah baru.

    Di Malaysia, Petronas pernah menjadi ATM partai penguasa UMNO. Transparansi hanya menjadi etalase.

    Di Meksiko, selama puluhan tahun, minyak adalah milik negara?”tapi negara hanya milik satu partai.

    Negara tidak lagi rasional. Ia menjadi korporasi raksasa dengan dewan direksi yang dipilih bukan oleh rakyat, tapi oleh pemilik modal.

    Kita tahu kekayaan alam Indonesia melimpah. Tapi siapa yang menikmatinya? Di Aceh, ladang gas Arun mengalir ke Jakarta, tapi desa sekitar tak punya listrik. Konflik bersenjata ikut lahir dari rasa ketidakadilan itu.

    Di Papua, tambang emas dan eksplorasi migas berjalan, tapi kampung-kampung adat hanya menerima debu dan penggusuran. 

    Di sana, suara rakyat tak pernah diukur dalam desibel, hanya dalam meter kubik minyak yang bisa ditambang.

    Inilah luka struktural yang tak kunjung sembuh. Ketika energi tak dibagi secara adil, maka demokrasi tak akan lahir secara utuh.

    Kita tak perlu pesimis. Dunia telah menunjukkan jalan lain. Norwegia, negeri penghasil minyak, justru menjadi salah satu negara paling demokratis. 

    Dana abadi mereka menyimpan ratusan miliar dolar, dikelola secara transparan, dan setiap warga bisa mengakses informasi keuangan negara secara daring.

    Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) jadi standar global. Negara yang mau jujur, akan dihormati pasar dan rakyat sekaligus.

    Bahkan di Afrika, negara seperti Botswana berhasil mengelola kekayaan tambang secara relatif adil?”bukan karena mereka kaya, tapi karena mereka berani.

    Maka pertanyaannya bukan: apakah bisa? Tapi: apakah kita cukup berani?

    Indonesia: Di Persimpangan Sumur dan Suara

    Indonesia kini bukan lagi negara pengekspor minyak. Kita sudah menjadi importir. Tapi mentalitas elite kita masih seperti pemilik sumur raksasa.

    Politik masih didanai oleh bisnis batu bara, kontrak migas, dan rente eksplorasi. Transisi energi dibicarakan, tapi tak sungguh dijalankan, karena para pemilik warisan lama belum rela melepaskan kendali.

    Apakah koperasi energi lokal bisa lahir? Apakah rakyat bisa terlibat dalam tata kelola sumber daya? Apakah kita bisa menciptakan demokrasi yang tak lagi tunduk pada harga bensin?

    Jalan tengah itu masih belum jelas. Tapi sejarah menanti mereka yang berani menulis bab baru.

    Demokrasi bukan hanya pemilu lima tahunan. Ia hidup dari kontrol rakyat atas sumber dayanya. Jika sumur dimiliki rakyat, suara pun tak bisa dibeli.

    Tapi jika energi hanya dikuasai oleh elite yang takut kehilangan kuasa, maka demokrasi kita bukan sedang tumbuh?”melainkan dalam koma yang panjang.

    Apa yang bisa Indonesia pelajari?

    Bahwa kedaulatan energi bukan tentang siapa yang menguasai ladang, tapi siapa yang berani membagi hasilnya secara adil. 

    Bahwa demokrasi bukan soal harga BBM, tapi siapa yang menentukan anggaran negara: suara, atau rente?

    Indonesia wajib membentuk badan independen pengawas energi dengan kewenangan memveto kontrak merugikan. 

    Juga ia mengalokasikan 30% pendapatan migas langsung ke dana desa terpencil.”

    Jika kita ingin demokrasi yang sehat, maka energi harus kembali ke tangan rakyat.

    “(Energi adalah darah negara. Tapi jika darah itu hanya mengalir ke jantung oligarkhi elite, maka demokrasi kita bukan sedang hidup -melainkan koma.”)