Topik: Orde Baru

  • Lapkesdam PWNU Jatim Kecam Tayangan “Xpose Uncensored” Trans 7

    Lapkesdam PWNU Jatim Kecam Tayangan “Xpose Uncensored” Trans 7

    Surabaya (beritajatim.com) – Pengurus Lembaga Advokasi dan Kajian Strategis dan Demokrasi (Lapkesdam) PWNU Jawa Timur, Aam Waro’ Panotogomo, mengecam keras tayangan program “Xpose Uncensored” di Trans7 yang menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

    Aam menilai tayangan tersebut merupakan pelanggaran etika media yang merendahkan marwah pesantren serta para kiai di Indonesia.

    “Tayangan itu menunjukkan kecerobohan dan kebodohan kultural yang lahir dari upaya mencari sensasi. Pesantren bukan ruang misteri atau tempat kelam yang pantas dicurigai,” ujar Aam di Surabaya, Selasa (14/10/2025).

    Menurutnya, pesantren selama ini merupakan ruang ilmu, moral, dan spiritual yang menjaga keutuhan bangsa sejak masa Orde Baru hingga sekarang. Karena itu, langkah Trans7 yang menayangkan pesantren dengan narasi negatif sama saja dengan menyinggung para kiai dan santri se-Indonesia.

    “Kalau tidak tahu soal budaya pesantren, lebih baik diam atau belajar dulu. Jangan membuat tayangan yang menyinggung para penjaga moral bangsa,” tegasnya.

    Aam menjelaskan bahwa tayangan “Xpose Uncensored” telah melanggar prinsip dasar jurnalistik, seperti cover both sides dan do no harm. Ia menilai Trans7 gagal menghadirkan klarifikasi, konteks historis, dan penghormatan terhadap nilai-nilai pesantren.

    “Yang ditampilkan hanyalah potongan gambar dan narasi insinuatif yang membangun kesan negatif. Itu bukan jurnalisme, tapi propaganda visual yang berpotensi menimbulkan fitnah sosial,” kata Aam.

    Ia juga mengingatkan bahwa Pondok Pesantren Lirboyo adalah lembaga besar yang telah melahirkan ribuan ulama dan tokoh bangsa. Menurutnya, menggambarkan pesantren sebagai ruang penuh “isu tersembunyi” adalah penghinaan terhadap institusi penjaga moral bangsa. “Mengarahkan persepsi publik seolah pesantren seperti Lirboyo punya sisi gelap adalah tindakan tidak beretika dan sangat menyinggung,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Aam menegaskan bahwa kritik terhadap pesantren boleh dilakukan, namun harus berbasis pengetahuan dan empati kultural. Ia menilai Trans7 telah terjebak dalam gaya pemberitaan sensasional yang hanya mengejar rating tanpa tanggung jawab moral. “Kebebasan pers bukan kebebasan menghina. Demokrasi bukan alasan untuk melukai martabat budaya lain,” tandasnya.

    Aam meminta Trans7 segera melakukan klarifikasi dan permintaan maaf terbuka kepada masyarakat pesantren. Menurutnya, langkah ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap media arus utama serta menjaga kehormatan dunia pesantren.

    “Kalau media tidak belajar menghormati pesantren, maka sesungguhnya merekalah yang pantas di-Xpose karena telah kehilangan akal sehat dan rasa hormat terhadap bangsanya sendiri,” pungkas Ketua Lapkesdam PCNU Tuban itu. (asg/kun)

  • Menimbang Penguatan MPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        13 Oktober 2025

    Menimbang Penguatan MPR Nasional 13 Oktober 2025

    Menimbang Penguatan MPR
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    SETELAH
    amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama empat tahap (1999–2002), lanskap ketatanegaraan Indonesia berubah secara fundamental.
    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang semula menjadi “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia” dan disebut secara eksplisit dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai lembaga tertinggi negara, kini menempati posisi sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya: Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
    Perubahan ini dimaksudkan untuk menghindari konsentrasi kekuasaan politik sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, ketika MPR memiliki kewenangan nyaris absolut—mulai dari menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hingga mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.
    Melalui amandemen tahap pertama hingga keempat UUD 1945, pasal-pasal yang mengatur MPR diubah secara signifikan.
    Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
    Sementara Pasal 3 UUD 1945 kini membatasi kewenangan MPR hanya pada tiga hal: mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden, serta memberhentikan presiden/wakil presiden dalam masa jabatannya sesuai ketentuan konstitusi.
    Akibatnya, dalam praktik ketatanegaraan modern, MPR kehilangan fungsi strategisnya sebagai lembaga yang memberikan arah ideologis dan haluan kebijakan jangka panjang.
    Ia menjadi lembaga seremonial: bekerja menjelang Sidang Tahunan, pelantikan presiden, atau ketika wacana amandemen muncul.
    Padahal, sejarah menunjukkan bahwa eksistensi MPR sejak awal kemerdekaan tidak hanya bersifat formal, tetapi konseptual—ia dimaksudkan sebagai wadah tertinggi bagi musyawarah kebangsaan dan penjabaran cita-cita konstitusi.
    Dari sinilah muncul wacana baru: perlu atau tidak MPR diperkuat kembali?
    Dalam konteks hukum tata negara, MPR merupakan lembaga konstitusional yang diatur dalam Bab II UUD 1945.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memperjelas strukturnya, yakni terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu.
    Namun, UU MD3 tidak menambah kewenangan substantif MPR sebagaimana diatur dalam UUD. Karena itu, jika ingin memperkuat MPR secara kelembagaan, jalur konstitusional yang tersedia ada dua: melalui Amandemen UUD 1945 atau perubahan terbatas UU MD3.
    Wacana yang berkembang di internal MPR, sebagaimana tercermin dalam Rapat Konsultasi Pimpinan MPR dan DPD (2023–2024), adalah menghidupkan kembali semangat haluan negara dalam bentuk baru yang disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
    Dasar rasionalnya jelas: sistem pemerintahan presidensial tanpa arah pembangunan jangka panjang yang mengikat antarpemerintahan berpotensi menimbulkan disorientasi kebijakan nasional.
    Setiap pergantian pemerintahan membawa prioritas baru, kadang bertentangan dengan visi jangka panjang negara. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ketidakefisienan pembangunan dan kebingungan birokrasi.
    Gagasan PPHN sebenarnya berakar pada GBHN yang pernah ditetapkan MPR di masa lalu. Bedanya, PPHN tidak dimaksudkan untuk mengintervensi kewenangan eksekutif, tetapi memberi kerangka ideologis dan strategis bagi pembangunan nasional.
    Dengan demikian, PPHN akan menjadi dokumen politik kenegaraan yang memandu arah kebijakan, bukan mengatur teknis pelaksanaan program.
    Kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN dapat dirancang melalui Amandemen kelima secara Terbatas UUD 1945.
    Wacana ini telah dibahas sejak periode MPR 2019–2024, bahkan pernah masuk ke dalam Rekomendasi MPR Tahun 2021 tentang Perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara.
    Secara hukum, rekomendasi ini merujuk pada Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 yang memberi wewenang kepada MPR untuk “mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”
    Artinya, secara konstitusional, MPR dapat memperluas perannya dengan melakukan amandemen yang bersifat terbatas untuk memasukkan kembali kewenangan penetapan haluan negara.
    Selain itu, Pasal 37 UUD 1945 memberikan mekanisme amandemen yang sah: usulan perubahan dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga anggota MPR, disetujui dua pertiga anggota yang hadir, dan disahkan oleh setidaknya separuh dari seluruh anggota MPR.
    Dengan dasar hukum ini, gagasan penguatan MPR tidak melanggar prinsip konstitusionalitas—asal dilakukan secara transparan, bertahap, dan mendapat dukungan politik yang memadai.
    Lebih jauh, secara filosofis, penguatan MPR dapat dipahami sebagai usaha untuk menyambung kembali tradisi permusyawaratan dan ideologisasi negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: “…yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
    Dalam kerangka itu, MPR bukan sekadar lembaga administratif, melainkan lembaga ideologis yang menjaga agar arah bangsa tetap sejalan dengan cita-cita kemerdekaan.
    Gagasan memperkuat MPR tentu tidak lepas dari kekhawatiran akan kemunduran demokrasi. Kritik paling keras datang dari kalangan yang khawatir bahwa penguatan MPR akan membuka jalan bagi kembalinya sistem otoritarian seperti masa Orde Baru—terutama bila diikuti gagasan agar presiden kembali dipilih oleh MPR.
    Namun, pandangan semacam ini tidak seluruhnya berdasar. Penguatan MPR yang kini dibicarakan tidak dimaksudkan untuk mengurangi legitimasi rakyat, melainkan untuk memperkuat fondasi ideologis dan keberlanjutan kebijakan negara.
    Dalam sistem demokrasi modern, lembaga semacam State Policy Council atau National Planning Commission lazim ditemukan di banyak negara.
    Di China, peran arah kebijakan jangka panjang dipegang oleh National Development and Reform Commission.
    Di Singapura, fungsi itu diemban oleh Ministry of National Development yang merumuskan Strategic National Directions lintas pemerintahan.
    Bahkan di Amerika Serikat, National Security Council dan Office of Management and Budget menjadi penentu arah kebijakan lintas presiden.
    Dengan kata lain, memiliki lembaga yang mengawal arah negara bukanlah hal yang bertentangan dengan demokrasi, selama lembaga itu tidak mengambil alih kedaulatan rakyat, melainkan menjaganya dalam bingkai konsistensi nasional.
    Jika MPR diberi kembali mandat untuk menetapkan PPHN, maka arah pembangunan nasional akan memiliki kesinambungan lintas pemerintahan.
    Visi jangka panjang seperti pembangunan sumber daya manusia, kedaulatan pangan, penguatan pertahanan nasional, serta transformasi energi dan teknologi, tidak akan lagi bergantung pada selera politik lima tahunan.
    Lebih dari itu, MPR dapat berperan sebagai penjaga konsensus kebangsaan. Dalam situasi politik yang makin fragmentaris dan pragmatis, keberadaan lembaga yang memiliki fungsi ideologis dan kebangsaan menjadi penting. Ia bisa menjadi ruang musyawarah nasional yang melampaui kepentingan partai politik.
    Sesuai amanat Pasal 3 UUD 1945 dan UU MD3, MPR juga berwenang menyampaikan rekomendasi hasil kajian konstitusional kepada lembaga negara lain.
    Kewenangan ini dapat diperluas melalui revisi undang-undang agar MPR dapat memantau pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi dalam setiap kebijakan nasional.
    Dengan begitu, MPR kembali menjadi lembaga moral konstitusional yang tidak sekadar bersidang, tetapi juga berhikmat dalam memandu bangsa.
    Namun, penguatan MPR harus dilakukan dengan prinsip keterbatasan konstitusional. Artinya, MPR tidak boleh mengintervensi pelaksanaan pemerintahan harian (eksekutif), tidak boleh menjadi lembaga politik praktis.
    Selain itu, MPR tidak boleh memiliki kewenangan yang tumpang tindih dengan Mahkamah Konstitusi atau DPR. Ia harus berdiri sebagai lembaga penjaga arah, bukan pengendali kekuasaan.
    Dalam konteks politik kekinian, penguatan MPR justru bisa menjadi momentum rekonsolidasi nasional.
    Ketika polarisasi politik semakin tajam dan ideologi negara sering dipelintir oleh kepentingan pragmatis, MPR dapat menjadi rumah besar kebangsaan yang meneguhkan kembali nilai dasar persatuan.
    Seperti ditegaskan Ketua MPR dalam Sidang Tahunan 2024, “Penguatan MPR bukan untuk mengambil kekuasaan, tetapi untuk menjaga arah dan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.”
    Pada akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu ke mana ia menuju. Dalam kerangka itu, penguatan MPR bukan nostalgia masa lalu, melainkan penegasan peran masa depan.
    Ia bukan antitesis dari demokrasi, tetapi fondasi bagi demokrasi yang berhaluan dan makin bermartabat.
    Dua puluh tahun lebih setelah amandemen UUD 1945, bangsa ini telah belajar banyak dari dinamika demokrasi yang cair. Namun, demokrasi tanpa arah dapat kehilangan substansi kebangsaannya.
    Dalam situasi dunia yang kian tidak pasti, Indonesia membutuhkan lembaga yang menjaga kesinambungan, arah, dan jiwa bangsa.
    MPR, dengan sejarah dan landasan konstitusionalnya, memiliki potensi untuk mengisi kekosongan itu.
    Penguatan MPR bukan berarti menghidupkan kembali supremasi lembaga, tetapi membangun kembali kesadaran bersama bahwa negara memerlukan haluan—sebuah kompas moral dan ideologis yang menuntun setiap pemerintahan agar tidak tersesat dalam pragmatisme politik jangka pendek.
    Jika bangsa ini ingin bertahan dalam arus globalisasi dan gejolak ideologis, maka memperkuat MPR berarti memperkuat kompas bangsa itu sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wamensos Agus Jabo Ziarah ke Makam Aktivis Buruh Marsinah

    Wamensos Agus Jabo Ziarah ke Makam Aktivis Buruh Marsinah

    Marsinah adalah perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur. Ia lahir pada 10 April 1969 dari pasangan Astin dan Sumini.

    Semasa hidupnya, Marsinah pernah bekerja sebagai buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Di pabrik ini, ia dikenal vokal memperjuangkan hak-hak buruh dan aktif sebagai aktivis Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) unit kerja PT CPS.

    Aktivis dan buruh pabrik pada masa Orde Baru ini menghilang dan ditemukan dalam kondisi meninggal pada 8 Mei 1993. Jenazahnya ditemukan di hutan wilayah Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dengan tanda-tanda dugaan penyiksaan berat.

    Setelah hampir 32 tahun berlalu sejak kepergiannya, nama Marsinah kini diusulkan menjadi pahlawan nasional. Usulan ini juga mendapatkan dukungan langsung dari Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan saat peringatan Hari Buruh 2025 pada 1 Mei lalu di Jakarta.

    “Setelah Pak Presiden menyampaikan hal tersebut dalam peringatan May Day di Monas, kemudian Kemensos  berkoordinasi dengan Pemkab Nganjuk, termasuk dengan tokoh-tokoh pemuda yang ada di Nganjuk untuk bisa mempersiapkan proses Mbak Marsinah ini sebagai pahlawan. Karena ujungnya nanti yang akan menentukan pahlawan dan tidak itu di istana (presiden),” jelas Agus Jabo.

    “Tapi prosesnya, syarat-syaratnya harus dimulai dari tingkat kabupaten, tingkat provinsi, yang kemudian diusulkan Kemensos,” sambung dia.

  • Wamensos Agus Jabo Ziarah ke Makam Aktivis Buruh Marsinah di Nganjuk

    Wamensos Agus Jabo Ziarah ke Makam Aktivis Buruh Marsinah di Nganjuk

    Nganjuk (beritajatim.com)  –  Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo Priyono berziarah ke makam aktivis buruh Marsinah di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Jumat (10/10/2025).

    Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya Kementerian Sosial (Kemensos) menindaklanjuti usulan masyarakat agar Marsinah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

    Dalam kesempatan itu, Agus Jabo mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui langkah tersebut dan memerintahkan Kemensos untuk segera memproses pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi almarhumah Marsinah.

    “Presiden sudah menyetujui dan memerintahkan Kemensos untuk segera memproses pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Mbak Marsinah. Beliau memiliki jasa besar dalam memperjuangkan hak-hak buruh dan membuka ruang demokrasi di Indonesia,” ujar Agus Jabo, Sabtu (11/10/2025).

    Agus menilai perjuangan Marsinah menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia. “Dengan hadirnya Mbak Marsinah, kaum buruh bisa berorganisasi dan mengekspresikan pendapat secara bebas. Ini merupakan warisan perjuangan yang harus kita hormati,” tambahnya.

    Dalam ziarah tersebut, Agus Jabo didampingi oleh Wakil Bupati Nganjuk Trihandy Cahyo Saputro. Ziarah dilakukan usai seminar bertajuk “Marsinah: Perjuangan, Kemanusiaan, dan Pengakuan Negara” di Front One Ratu Hotel, Nganjuk, yang digelar oleh Kemensos bekerja sama dengan Pemkab Nganjuk. Seminar tersebut sekaligus menjadi bagian dari uji publik sebagai salah satu tahapan pengusulan gelar Pahlawan Nasional.

    Agus menjelaskan, proses pengusulan Marsinah telah dimulai dari tingkat daerah. “Setelah Pak Presiden menyampaikan hal tersebut dalam peringatan May Day di Monas, Kemensos langsung berkoordinasi dengan Pemkab Nganjuk dan tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk mempersiapkan seluruh syarat administratif pengusulan. Karena ujungnya nanti keputusan ada di tangan Presiden,” jelas Agus Jabo.

    Ia menambahkan bahwa tahapan pengusulan gelar pahlawan harus melalui proses panjang, dimulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga ke Kementerian Sosial. “Prosesnya harus dimulai dari bawah, dari kabupaten dan provinsi, lalu baru diusulkan ke Kemensos untuk dibawa ke Dewan Gelar di Istana,” sambungnya.

    Lebih lanjut, Agus menyebut Kemensos akan membentuk Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) yang terdiri dari akademisi, sejarawan, dan pakar untuk melakukan asesmen mendalam terhadap pengusulan Marsinah. “Kemensos siap mengawal sesuai dengan perintah Presiden sampai Mbak Marsinah benar-benar ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional,” tegasnya.

    Dalam kesempatan itu, Agus juga mengungkapkan kekagumannya terhadap sosok Marsinah yang dikenal sebagai aktivis buruh pemberani di masa Orde Baru. “Saya secara pribadi sejak mahasiswa sudah mengidolakan Mbak Marsinah. Beliau seorang buruh yang berani memperjuangkan hak-hak kesejahteraan di tengah situasi politik yang sangat ketat saat itu,” ungkapnya.

    “Dulu berkumpul saja tidak bisa, tapi Mbak Marsinah tetap bangkit dan menuntut hak-hak buruh. Beliau gugur sebagai martir perjuangan rakyat Indonesia dalam menegakkan demokrasi dan keadilan,” lanjutnya.

    Sebagai informasi, Marsinah lahir di Nganjuk pada 10 April 1969. Ia merupakan buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, yang dikenal vokal memperjuangkan hak-hak buruh. Marsinah aktif di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan dikenal karena keberaniannya menentang ketidakadilan di tempat kerja.

    Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan meninggal dunia di hutan wilayah Kecamatan Wilangan, Nganjuk, setelah sebelumnya dilaporkan hilang. Kasus kematiannya menjadi simbol perjuangan buruh dan demokrasi di Indonesia. Kini, setelah lebih dari tiga dekade, perjuangannya kembali diangkat ke permukaan dengan dukungan langsung dari Presiden Prabowo untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. (tok/ted)

  • Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Oktober 2025

    Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini Nasional 10 Oktober 2025

    Evolusi Syarat Capres-Cawapres: Dari Era Soekarno hingga Kini
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Syarat untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia mengalami perjalanan panjang, mengikuti perubahan konstitusi dan dinamika politik sejak era Presiden Pertama RI, Soekarno hingga kini.
    Dari semula berlandaskan semangat revolusi dan perjuangan kemerdekaan, kini ketentuan itu kian kompleks, menyesuaikan sistem demokrasi elektoral yang diatur undang-undang dan peraturan pemilu.
    Pakar kepemiluan Titi Anggraini menilai, perubahan syarat pencalonan dari masa ke masa menunjukkan dua sisi mata uang antara demokratisasi dan pembatasan.
    “Kalau kita telusuri, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden memang mengalami pergeseran mengikuti dinamika politik dan perubahan konstitusi. Pada masa awal kemerdekaan, syaratnya sederhana dan menekankan integritas kebangsaan. Setelah reformasi, muncul penegasan baru seperti kewajiban dukungan partai serta syarat administratif dan moral yang lebih detail,” kata Titi kepada Kompas.com, Jumat (10/10/2025).
    Namun, menurutnya, perubahan itu tidak selalu identik dengan penguatan demokrasi.
    “Ada kecenderungan bahwa regulasi pencalonan semakin berfungsi sebagai instrumen kontrol politik dan pembatasan untuk ikut berkontestasi, bukan untuk penyaringan calon yang berkualitas,” kata dia.
    Pada masa awal kemerdekaan, konstitusi Indonesia masih sederhana.
    UUD 1945 sebelum amendemen menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
    Tidak ada mekanisme pemilihan langsung, dan tidak ada syarat elektoral yang rumit.
    Syarat utama seorang calon presiden saat itu hanya mencakup warga negara Indonesia sejak lahir, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
    Dalam praktiknya, Soekarno terpilih secara aklamasi oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagai presiden pertama RI, tanpa ada kompetisi politik atau mekanisme pencalonan seperti saat ini.
    Memasuki masa Orde Baru, mekanisme pemilihan presiden tetap dilakukan oleh MPR.
    Namun, prosesnya berubah menjadi sangat formalistik.
    Presiden Soeharto terpilih secara berulang melalui MPR dengan pencalonan yang praktis tanpa pesaing.
    Syarat calon presiden tetap merujuk pada UUD 1945, tetapi dalam praktiknya, dukungan politik di MPR yang didominasi Golkar dan ABRI memastikan Soeharto menjadi calon tunggal.
    Meski demikian, pada masa ini mulai diperkenalkan ketentuan administratif, seperti batas usia minimum 35 tahun dan kewajiban setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
    Perubahan besar terjadi setelah amendemen UUD 1945 pada awal 2000-an.
    Amandemen ketiga UUD mengubah sistem pemilihan presiden menjadi langsung oleh rakyat.
    Pasal 6A UUD 1945 hasil amendemen menegaskan, pasangan capres-cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
    Sejak saat itu, aturan teknis diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemilu.
    Pada Pemilu 2004, Indonesia untuk pertama kalinya menggelar pemilihan presiden secara langsung.
    Syarat pencalonan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003, yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai memiliki sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional.
    Ambang batas ini, yang dikenal sebagai presidential threshold, kemudian menjadi perdebatan panjang karena dianggap membatasi munculnya alternatif calon di luar partai besar.
    Titi menilai,
    presidential nomination threshold
    merupakan salah satu hambatan paling nyata terhadap demokratisasi elektoral di Indonesia.
    “Awalnya, aturan ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial agar tidak terlalu fragmentaris. Tapi dalam praktiknya justru membatasi jumlah calon, menghambat regenerasi elite, dan mempersempit pilihan rakyat,” ujarnya.
    Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden telah mengubah hak pencalonan menjadi privilege partai besar.
    “Dalam sistem presidensial yang demokratis, setiap partai peserta pemilu seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon. Membatasi pencalonan berbasis hasil pemilu legislatif sebelumnya sangat tidak relevan, baik secara konstitusional maupun demokratis,” jelas Titi.
    Ia menambahkan, untuk menjaga efektivitas pemerintahan presidensial, bukan jumlah calon yang harus dibatasi, melainkan sistem kepartaian dan proses pencalonannya yang diperkuat.
    “Caranya dengan mendorong koalisi berbasis platform serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pencalonan,” kata Titi.
    Dalam perkembangannya, peraturan pemilu terus berubah.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mempertegas kembali ambang batas pencalonan sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
    Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga beberapa kali memutus perkara yang berkaitan dengan syarat pencalonan, termasuk soal usia minimal capres-cawapres dan status pejabat kepala daerah.
    Putusan MK pada 2023, misalnya, membuka peluang bagi kepala daerah berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon wakil presiden, asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah terpilih.
    Putusan ini memicu perdebatan publik karena dianggap membuka ruang politik dinasti.
    Titi menilai, perdebatan batas usia menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia belum sepenuhnya mencapai meritokrasi dan keadilan kesempatan.
    “Batas usia dibenarkan jika tujuannya memastikan kematangan dan kapasitas calon. Tapi kalau digunakan secara politis untuk membuka jalan bagi pihak tertentu atau menutup peluang pihak lain, maka itu bentuk ketidakadilan baru,” katanya.
    Ia menegaskan, fenomena politik dinasti bukan semata soal hubungan keluarga, tetapi menyangkut etika kekuasaan.
    “Demokrasi akan tetap sehat selama peluang politik didasarkan pada kemampuan dan pilihan rakyat, bukan pada akses istimewa terhadap sumber daya negara,” ujar Titi.
    Untuk itu, menurutnya, arah regulasi ke depan perlu difokuskan pada pencegahan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar pelarangan hubungan keluarga semata.
    Titi juga menekankan pentingnya penguatan proses rekrutmen politik di internal partai.
    “Salah satu caranya dengan menerapkan syarat minimal sebagai kader bagi calon yang akan dinominasikan partai. Misalnya, berstatus sebagai kader minimal tiga tahun bagi calon anggota DPR dan DPRD. Dengan begitu, mereka yang dicalonkan benar-benar hasil proses kaderisasi,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Titik Balik Desentralisasi Fiskal, Benarkah RI Kembali ke Era Orde Baru?

    Titik Balik Desentralisasi Fiskal, Benarkah RI Kembali ke Era Orde Baru?

    Bisnis.com, JAKARTA – Puluhan kepala daerah menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Mereka memprotes kebijakan pemerintah pusat yang secara serta merta memangkas anggaran transfer ke daerah (TKD). 

    Sekadar catatan, pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran dana transfer ke daerah sebesar Rp692,995 triliun dalam APBN 2026. Dana transfer ke daerah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun ini senilai Rp919,9 triliun, turun 24,7% atau setara Rp226,9 triliun.

    Pemangkasan anggaran ini memicu pertanyaan besar tentang nasib desentralisasi fiskal. Apalagi, pusat juga akan mengambil sebagian peran mereka meski dengan iming-iming dana berjuluk kompensasi lebih dari Rp1.000 triliun yang disalurkan dalam bentuk program, tentu saja programnya milik pemerintah pusat.

    “Daerah tentu banyak sekali yang merasakan dampak dari [pemotongan] TKD itu, di antaranya ada daerah yang mungkin sulit membayar belanja pegawai, besar sekali. Apalagi ada keharusan membayar P3K dan sebagainya. Nah, ini luar biasa berdampak terhadap APBD 2026,” ujar Gubernur Jambi Al Haris, Selasa (8/10/2025).

    Desentralisasi fiskal sendiri merupakan amanat dari Undang-undang Otonomi Daerah yang muncul dalam proses demokratisasi pasca reformasi 1998. Salah satu dalil dalam aturan itu adalah mengenai hak kewenangan keuangan yang dikelola oleh daerah. Selain itu, prinsip desentralisasi fiskal itu juga lahir dari implementasi UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

    Wujud desentralisasi fiskal itu adalah lahirnya kebijakan untuk memberikan dana transfer ke daerah, misalnya, melalui pengalokasian dana bagi hasil (DBH) hingga dana alokasi umum. Pada tahun 2009 muncul amandemen UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang memberikan kewenangan ke daerah untuk mengelola pajak khususnya pajak bumi dan bangunan, pajak restoran, hingga retribusi daerah. Tujuannya supaya daerah lebih mandiri dari sisi fiskal.

    Namun demikian, kebijakan itu memang tidak sepenuhnya berlangsung optimal. Banyak terjadi penyelewengan anggaran daerah entah itu anggarannya dikorupsi atau pengalokasiannya tidak sesuai dengan tujuan pemberian desentralisasi fiskal. Setidaknya ada 200 kepala dan wakil kepala daerah yang dicokok KPK sejak 2005 lalu.

    Tidak sampai di situ, sampai tahun 2024 lalu, masih banyak daerah yang memiliki kapasitas fiskal terbatas. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahkan mencatat masih ada sebanyak 166 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang memiliki pendapatan asli daerah alias PAD di bawah Rp100 miliar.

    Situasi semakin pelik, alih-alih memperbaiki governance-ya, pemerintah pusat justru memangkas kewenangan daerah. Lahirnya UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah alias HKPD menjadi salah satu buktinya. Pemerintah pusat, bisa mengintervensi kebijakan tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Tujuannya, konon adalah untuk mendorong efektivitas aktivitas perekonomian, meskipun faktanya sejak UU HKPD lahir, termasuk UU Cipta Kerja, ekonomi Indonesia masih stagnan di angka 5%.

    Purbaya Dorong Tata Kelola 

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak menampik terkait adanya isu desentralisasi fiskal di bakim kebijakan pemangkasan anggaran. Dia justru mendorong supaya pemerintah daerah memperbaiki tata kelola fiskal agar upaya desentralisasi tidak terhalang.

    Pernyataan itu Purbaya sampaikan usai puluhan gubernur dan wakil gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (Appsi) menyampaikan protes langsung atas pemotongan dana transfer ke daerah pada tahun depan.

    Purbaya mengakui bahwa desentralisasi merupakan semangat Reformasi ’98. Hanya saja, pemerintah pusat menganggap tata kelola fiskal pemerintah daerah masih kurang baik meski sudah dilakukan desentralisasi.

    “Desentralisasi enggak jelek-jelek amat, tapi pelaksanaan selama kemarin-kemarin mungkin ada kesan kurang bagus. Ada kesan ya, saya enggak tahu [aslinya],” ujar Purbaya di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis (7/10/2025).

    Oleh sebab itu, Purbaya mendorong agar pemerintah daerah memperbaiki tata kelola fiskalnya terlebih dahulu. Misalnya, dia mendorong pemerintah daerah mempercepat realisasi belanja. Jika dengan demikian maka tercipta kesan yang baik. Pemerintah pusat dan DPR pun tidak akan segan apabila dana transfer ke daerah kembali dinaikkan.

    “[Tapi] bukan saya. Kan bukan saya yang ambil keputusan. Ini DPR, di atas-atas sana. Nanti baru bisa dibalik lagi arahnya ke arah desentralisasi,” jelas Purbaya.

    Di samping itu, dia berjanji jika perekonomian sudah membaik yang ditandai dengan penerimaan pajak meningkat maka pemerintah pusat akan meningkatkan kembali dana transfer ke daerah. Purbaya mengaku akan melakukan evaluasi ulang pada pertengahan kuartal II/2026.

    “Kalau naik semua, kita bagi. Tapi saya tidak dalam posisi sekarang membahayakan sustainabilitas kebijakan fiskal,” tekannya.

    Kembali ke Zaman Orba? 

    Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Hairul, menilai kebijakan tersebut justru kontraproduktif di tengah kondisi perekonomian yang membutuhkan stimulus fiskal agresif. 

    Hariul bahkan mengatakan bahwa kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah pusat justru kembali mengingatkan kepada pola pikir sentralistik yang pernah berlaku kerika Orde Baru berkuasa.

    “Yang lebih penting itu bagaimana meyakinkan kelas menengah untuk kembali belanja bukan ngisi celengan untuk motif berjaga-jaga. Kalo gak gitu, jangan-jangan Rp200 Triliun hanya mutar-mutar di pasar uang, gak nyampe ke sektor riil,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (6/10/2025).

    Kebijakan pemotongan DBH ini, kata Hairul, mengacak-acak prinsip fundamental desentralisasi fiskal yang dikenal dengan istilah money follows function atau konsep yang menegaskan bahwa alokasi anggaran harus selaras dengan kewenangan yang diberikan kepada daerah. 

    Dalam konteks ini, ketika transfer dana dipangkas secara signifikan, maka secara logis kewenangan pemerintah daerah juga harus dikurangi secara proporsional.

    Namun demikian, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Menurutnya, Pemerintah daerah tetap dibebani tanggung jawab yang sama, sementara sumber pendanaan untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut mengalami penyusutan drastis. 

    Kondisi ini, kata dia, berpotensi melumpuhkan kapasitas pemerintah provinsi dalam menjalankan kewenangannya secara efektif.

    Adapun, dia menuturkan jika program-program strategis seperti pembangunan infrastruktur dialihkan kembali ke tangan pemerintah pusat melalui mekanisme K/L, fungsi dan relevansi keberadaan pemerintah provinsi berpotensi terdegradasi perannya dalam tata kelola pemerintahan.

    “Lah ini kan cara berpikir orba banget dengan sentralisasinya. Kalo begitu hapuskan aja provinsi, cukup K/L & kabupaten/kota, (maka) hilang fungsi kan provinsi,” pungkasnya. 

  • Wapres pimpin upacara militer pemakaman Karlinah Wirahadikusumah

    Wapres pimpin upacara militer pemakaman Karlinah Wirahadikusumah

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka memimpin upacara militer pemakaman istri Wapres ke-4 RI, Karlinah Djaja Atmadja Wirahadikusumah, di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMP) Kalibata di Jakarta, Senin.

    Dalam prosesi pemakaman itu, Wapres Gibran selaku inspektur upacara menerima lebih dulu laporan dari Komandan Upacara Letkol Cpm. Safiq.

    Kemudian, prosesi dilanjutkan dengan pembacaan riwayat hidup almarhumah Karlinah, yang selama hidupnya dikenal sebagai sosok pendamping setia untuk Wapres Ke-4 RI Umar Wirahadikusumah, penuh keteladanan, dan Karlinah juga disebut berjasa dan berperan besar dalam mendukung pengabdian almarhum Umar Wirahadikusumah.

    Prosesi selanjutnya, Wapres Gibran membacakan apel persada dan melakukan prosesi penimbunan tanah secara simbolis ke liang lahat mendiang Karlinah.

    “Apel persada, saya Wakil Presiden Republik Indonesia, atas nama negara bangsa dan Tentara Nasional Indonesia dengan ini mempersembahkan ke Persada Ibu Pertiwi, jiwa raga dan jasa-jasa, nama Karlinah Umar Wirahadikusumah,” kata Wapres Gibran saat membacakan apel persada dalam upacara pemakaman Karlinah Djaja Atmadja Wirahadikusumah di TMP Kalibata.

    “Semoga jalan darma bakti yang ditempuhnya dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua dan arwahnya mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya,” sambung Wapres RI.

    Selepas itu, Wapres Gibran lanjut meletakkan karangan bunga di atas pusara almarhumah Karlinah sebagai bentuk penghormatan terakhir atas nama negara, bangsa, dan Tentara Nasional Indonesia. Wapres kemudian menyerahkan bendera Merah Putih kepada putri almarhumah, Nila Shanti.

    Rangkaian upacara berlangsung selama kurang lebih sejam dan berakhir pada pukul 14.25 WIB.

    Di TMP Kalibata, Wapres Gibran juga menyampaikan ucapan duka cita secara langsung kepada keluarga Karlinah Djaja Atmadja Wirahadikusumah.

    Upacara militer pemakamah almarhumah Karlinah di TMP Kalibata turut dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Djamari Chaniago, Wakil Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Budi Prijono, dan beberapa pejabat negara lainnya.

    Karlinah menghembuskan napas terakhirnya pada usia 95 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Jasadnya kemudian disemayamkan di rumah duka di Jalan Teuku Umar Nomor 61, Menteng, Jakarta Pusat. Upacara persemayaman di rumah duka dipimpin Penasihat Khusus Presiden Bidang Pertahanan Nasional Jenderal TNI (Purn.) Dudung Abdurachman.

    Sejumlah tokoh dan pejabat negara melayat untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhumah, antara lain Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Ke-11 Boediono, Ketua DPR Puan Maharani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Agama Nasaruddin Umar, Ketua Komisi IV DPR yang juga putri Presiden Ke-2 Soeharto, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto.

    Karlinah Djaja Atmadja merupakan istri dari Wakil Presiden Ke-4 RI Umar Wirahadikusumah yang menjabat pada era Orde Baru periode 11 Maret 1983 – 11 Maret 1988.

    Karlinah, semasa hidupnya, aktif dalam berbagai organisasi sosial dan kemasyarakatan, dan pernah menerima anugerah Satya Lencana Kebaktian Sosial pada 1982 dari Pemerintah Indonesia.

    Tidak hanya itu, daftar penghargaan lainnya yang pernah diterima almarhumah semasa hidupnya, antara lain Bintang Mahaputera Adipradana pada tahun 1987, Lencana Melati – Gerakan Pramuka, kemudian Grand Cross of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany dari Pemerintah Jerman, dan Grand Cordon 1st Class of the Supreme Order of the Renaissane pada tahun 1986 dari Pemerintah Jordania.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Istri Wapres Ke-4 RI Karlinah Umar Wirahadikusumah Tutup Usia

    Istri Wapres Ke-4 RI Karlinah Umar Wirahadikusumah Tutup Usia

    Bisnis.com, JAKARTA – Karlinah Umar Wirahadikusumah, istri dari Wakil Presiden Ke-4 Republik Indonesia Umar Wirahadikusumah, dikabarkan meninggal dunia di Jakarta pada Senin.

    Adapun informasi tersebut di antaranya disampaikan oleh organisasi istri prajurit TNI yakni Pengurus Pusat Dharma Pertiwi melalui akun Instagram-nya. Karlinah wafat pada usia 95 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, setelah menjalani perawatan medis.

    “Semoga amal ibadah almarhumah diterima di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran serta keikhlasan,” tulis unggahan akun Dharma Pertiwi dikutip dari Antara, Senin (6/10/2025).

    Dari informasi yang diterima, almarhumah disemayamkan di rumah duka yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Nomor 61, Jakarta. Selanjutnya jenazah akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada Senin siang.

    Adapun dia merupakan perempuan kelahiran Bandung pada 30 Juli 1930 saat masih dalam masa penjajahan Hindia Belanda, dengan nama Karlinah Djaja Atmadja. Selain sebagai istri Wakil Presiden, Karlinah juga dikenal sebagai aktivis sosial di masanya.

    Karlinah mendampingi Umar Wirahadikusumah yang menjadi Wakil Presiden dalam kurun waktu 1983-1988 saat era Orde Baru Presiden Ke-2 Soeharto.

    Selama hidupnya, Karlinah pun mendapatkan sejumlah tanda kehormatan dari pemerintah, yakni Bintang Mahaputera Adipradana, Satyalancana Kebhaktian Sosial. Selain itu, dia juga mendapatkan tanda kehormatan dari Jerman dan Yordania.

  • 5 Oktober Memperingati Hari Apa? Ini Sejarah dan Tema HUT ke-80 TNI

    5 Oktober Memperingati Hari Apa? Ini Sejarah dan Tema HUT ke-80 TNI

    Jakarta: Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 pada 5 Oktober 2025 mendatang. Peringatan HUT TNI ini menjadi momentum refleksi atas kiprah para prajurit, sekaligus ruang untuk mempertegas komitmen menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.

    Sejarah TNI
    Sejarah TNI dimulai tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 22 Agustus 1945, dengan dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tujuan BKR bukan hanya untuk menjaga kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga untuk menyatukan berbagai laskar dan barisan bersenjata yang tersebar di berbagai daerah.

    BKR kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir TNI, meskipun dengan nama yang berbeda.

    Pada pada 23 Januari 1946, TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Perubahan ini menjadi langkah penting untuk mengkonsolidasikan kekuatan militer nasional di bawah satu komando, mengingat masih banyaknya laskar rakyat yang bergerak secara independen.

    Untuk memperkuat posisi Indonesia menghadapi Agresi Presiden Soekarno menggabungkan TRI dengan badan-badan perjuangan rakyat lainnya menjadi satu kesatuan, yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI).

    Pada tahun 1962, TNI digabungkan dengan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Peran ABRI pada masa Orde Baru menjadi sangat dominan di berbagai aspek pemerintahan. Namun, pasca-reformasi 1998, terjadi tuntutan untuk mengembalikan peran militer pada fungsi pertahanan negara.

    Pada 1 April 1999, TNI dan Polri secara resmi dipisahkan sebagai dua institusi yang berbeda. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sementara Polri kembali fokus pada tugas-tugas penegakan hukum dan keamanan masyarakat. Pemisahan ini menandai babak baru bagi TNI untuk kembali profesional dan berfokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.
     

     

    Tema HUT ke-80 TNI 
    Tema “TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju” dipilih untuk merefleksikan jati diri TNI sebagai kekuatan yang lahir dan besar bersama rakyat. Tema ini memiliki makna filosofis yang mendalam:

    TNI Prima

    Kata “Prima” adalah akronim dari Profesional, Responsif, Integratif, Modern, dan Adaptif. Ini mencerminkan komitmen TNI untuk terus meningkatkan kualitas prajuritnya agar mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks, mulai dari ancaman siber hingga dinamika geopolitik.
    TNI Rakyat

    Menggarisbawahi peran TNI sebagai penjaga kedaulatan yang lahir dari rakyat, mengabdi untuk rakyat, dan selalu hadir di tengah-tengah rakyat. Ini menegaskan kembali prinsip kemanunggalan TNI dengan rakyat sebagai kekuatan utama pertahanan negara.
    Indonesia Maju
    Merupakan tujuan akhir dari sinergi TNI dan rakyat. Dengan TNI yang profesional dan dekat dengan rakyat, diharapkan Indonesia dapat terus melangkah maju menjadi negara yang berdaulat, mandiri, dan sejahtera.

    Jakarta: Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 pada 5 Oktober 2025 mendatang. Peringatan HUT TNI ini menjadi momentum refleksi atas kiprah para prajurit, sekaligus ruang untuk mempertegas komitmen menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.

    Sejarah TNI
    Sejarah TNI dimulai tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 22 Agustus 1945, dengan dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tujuan BKR bukan hanya untuk menjaga kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga untuk menyatukan berbagai laskar dan barisan bersenjata yang tersebar di berbagai daerah.
     
    BKR kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir TNI, meskipun dengan nama yang berbeda.
     
    Pada pada 23 Januari 1946, TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Perubahan ini menjadi langkah penting untuk mengkonsolidasikan kekuatan militer nasional di bawah satu komando, mengingat masih banyaknya laskar rakyat yang bergerak secara independen.

    Untuk memperkuat posisi Indonesia menghadapi Agresi Presiden Soekarno menggabungkan TRI dengan badan-badan perjuangan rakyat lainnya menjadi satu kesatuan, yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI).
     
    Pada tahun 1962, TNI digabungkan dengan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Peran ABRI pada masa Orde Baru menjadi sangat dominan di berbagai aspek pemerintahan. Namun, pasca-reformasi 1998, terjadi tuntutan untuk mengembalikan peran militer pada fungsi pertahanan negara.
     
    Pada 1 April 1999, TNI dan Polri secara resmi dipisahkan sebagai dua institusi yang berbeda. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sementara Polri kembali fokus pada tugas-tugas penegakan hukum dan keamanan masyarakat. Pemisahan ini menandai babak baru bagi TNI untuk kembali profesional dan berfokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.
     

     

    Tema HUT ke-80 TNI 
    Tema “TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju” dipilih untuk merefleksikan jati diri TNI sebagai kekuatan yang lahir dan besar bersama rakyat. Tema ini memiliki makna filosofis yang mendalam:

    TNI Prima

    Kata “Prima” adalah akronim dari Profesional, Responsif, Integratif, Modern, dan Adaptif. Ini mencerminkan komitmen TNI untuk terus meningkatkan kualitas prajuritnya agar mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks, mulai dari ancaman siber hingga dinamika geopolitik.

    TNI Rakyat

    Menggarisbawahi peran TNI sebagai penjaga kedaulatan yang lahir dari rakyat, mengabdi untuk rakyat, dan selalu hadir di tengah-tengah rakyat. Ini menegaskan kembali prinsip kemanunggalan TNI dengan rakyat sebagai kekuatan utama pertahanan negara.

    Indonesia Maju

    Merupakan tujuan akhir dari sinergi TNI dan rakyat. Dengan TNI yang profesional dan dekat dengan rakyat, diharapkan Indonesia dapat terus melangkah maju menjadi negara yang berdaulat, mandiri, dan sejahtera.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (RUL)

  • Perjalanan dari BKR hingga ABRI

    Perjalanan dari BKR hingga ABRI

    Jakarta: Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 pada 5 Oktober 2025. Momen ini bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi juga pengingat tentang perjalanan panjang sebuah institusi yang lahir dari rahim perjuangan rakyat. 

    Sejak awal berdiri, TNI memikul tanggung jawab menjaga kedaulatan sekaligus menjadi bagian tak terpisahkan dari rakyat Indonesia.

    Transformasi dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) hingga menjadi TNI yang modern hari ini adalah cerminan dari komitmen untuk terus menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa.
    Sejarah TNI

    Dari BKR ke TKR: Awal Lahir TNI
    Sejarah TNI dimulai tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 22 Agustus 1945, dengan dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tujuan BKR bukan hanya untuk menjaga kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga untuk menyatukan berbagai laskar dan barisan bersenjata yang tersebar di berbagai daerah. 

    Situasi yang semakin tidak aman akibat kedatangan kembali pasukan sekutu pasca-Jepang menyerah membuat pemerintah menyadari perlunya sebuah kekuatan militer yang lebih terorganisir. Melalui maklumat pemerintah pada 5 Oktober 1945, BKR resmi ditingkatkan fungsinya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir TNI, meskipun dengan nama yang berbeda.
    Tentara Republik Indonesia (TRI): Upaya Penyempurnaan Organisasi Militer
    Dalam perjalanannya, TKR masih memerlukan penyempurnaan agar sesuai dengan standar militer internasional. Oleh karena itu, pada 23 Januari 1946, namanya diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Perubahan ini menjadi langkah penting untuk mengkonsolidasikan kekuatan militer nasional di bawah satu komando, mengingat masih banyaknya laskar rakyat yang bergerak secara independen.

    Lahirnya TNI sebagai Angkatan Perang Nasional
    Penyatuan seluruh kekuatan bersenjata yang ada akhirnya terwujud pada 3 Juni 1947. Presiden Soekarno secara resmi menggabungkan TRI dengan badan-badan perjuangan rakyat lainnya menjadi satu kesatuan: Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembentukan TNI ini bertujuan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer Belanda dan menegaskan bahwa TNI adalah satu-satunya organisasi militer negara.
     

     

    Era ABRI dan Reformasi 1998
    Pada tahun 1962, TNI digabungkan dengan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Peran ABRI pada masa Orde Baru menjadi sangat dominan di berbagai aspek pemerintahan. Namun, pasca-reformasi 1998, terjadi tuntutan untuk mengembalikan peran militer pada fungsi pertahanan negara.

    Pada 1 April 1999, TNI dan Polri secara resmi dipisahkan sebagai dua institusi yang berbeda. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sementara Polri kembali fokus pada tugas-tugas penegakan hukum dan keamanan masyarakat. Pemisahan ini menandai babak baru bagi TNI untuk kembali profesional dan berfokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.
    Kemanunggalan TNI dengan Rakyat
    Melalui berbagai pasang surut sejarah, satu hal yang tidak pernah berubah adalah prinsip kemanunggalan TNI dengan rakyat. Dari BKR yang dibentuk oleh rakyat, hingga slogan HUT ke-80, “TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju”, menegaskan kembali bahwa kekuatan TNI yang sesungguhnya berasal dari dukungan dan kepercayaan rakyat. HUT ke-80 ini tidak hanya merayakan perjalanan panjang sebuah institusi, tetapi juga memperteguh komitmen TNI untuk terus mengabdi dan menjaga Indonesia bersama-sama rakyatnya.

    (Sheva Asyraful Fali)

    Jakarta: Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 pada 5 Oktober 2025. Momen ini bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi juga pengingat tentang perjalanan panjang sebuah institusi yang lahir dari rahim perjuangan rakyat. 
     
    Sejak awal berdiri, TNI memikul tanggung jawab menjaga kedaulatan sekaligus menjadi bagian tak terpisahkan dari rakyat Indonesia.
     
    Transformasi dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) hingga menjadi TNI yang modern hari ini adalah cerminan dari komitmen untuk terus menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa.
    Sejarah TNI

    Dari BKR ke TKR: Awal Lahir TNI

    Sejarah TNI dimulai tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 22 Agustus 1945, dengan dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tujuan BKR bukan hanya untuk menjaga kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga untuk menyatukan berbagai laskar dan barisan bersenjata yang tersebar di berbagai daerah. 

    Situasi yang semakin tidak aman akibat kedatangan kembali pasukan sekutu pasca-Jepang menyerah membuat pemerintah menyadari perlunya sebuah kekuatan militer yang lebih terorganisir. Melalui maklumat pemerintah pada 5 Oktober 1945, BKR resmi ditingkatkan fungsinya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir TNI, meskipun dengan nama yang berbeda.

    Tentara Republik Indonesia (TRI): Upaya Penyempurnaan Organisasi Militer

    Dalam perjalanannya, TKR masih memerlukan penyempurnaan agar sesuai dengan standar militer internasional. Oleh karena itu, pada 23 Januari 1946, namanya diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Perubahan ini menjadi langkah penting untuk mengkonsolidasikan kekuatan militer nasional di bawah satu komando, mengingat masih banyaknya laskar rakyat yang bergerak secara independen.

    Lahirnya TNI sebagai Angkatan Perang Nasional

    Penyatuan seluruh kekuatan bersenjata yang ada akhirnya terwujud pada 3 Juni 1947. Presiden Soekarno secara resmi menggabungkan TRI dengan badan-badan perjuangan rakyat lainnya menjadi satu kesatuan: Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembentukan TNI ini bertujuan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer Belanda dan menegaskan bahwa TNI adalah satu-satunya organisasi militer negara.
     

     

    Era ABRI dan Reformasi 1998

    Pada tahun 1962, TNI digabungkan dengan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Peran ABRI pada masa Orde Baru menjadi sangat dominan di berbagai aspek pemerintahan. Namun, pasca-reformasi 1998, terjadi tuntutan untuk mengembalikan peran militer pada fungsi pertahanan negara.
     
    Pada 1 April 1999, TNI dan Polri secara resmi dipisahkan sebagai dua institusi yang berbeda. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI, sementara Polri kembali fokus pada tugas-tugas penegakan hukum dan keamanan masyarakat. Pemisahan ini menandai babak baru bagi TNI untuk kembali profesional dan berfokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.

    Kemanunggalan TNI dengan Rakyat

    Melalui berbagai pasang surut sejarah, satu hal yang tidak pernah berubah adalah prinsip kemanunggalan TNI dengan rakyat. Dari BKR yang dibentuk oleh rakyat, hingga slogan HUT ke-80, “TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju”, menegaskan kembali bahwa kekuatan TNI yang sesungguhnya berasal dari dukungan dan kepercayaan rakyat. HUT ke-80 ini tidak hanya merayakan perjalanan panjang sebuah institusi, tetapi juga memperteguh komitmen TNI untuk terus mengabdi dan menjaga Indonesia bersama-sama rakyatnya.
     
    (Sheva Asyraful Fali)

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (RUL)