Topik: Omicron

  • Mengenal Varian COVID-19 LF.7 yang Merebak di RI, Ini Gejalanya

    Mengenal Varian COVID-19 LF.7 yang Merebak di RI, Ini Gejalanya

    Jakarta

    Laporan Pengawasan Kasus Influenza dan COVID-19 pada 18 Oktober 2025 atau Minggu ke 42 yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), mencatat proporsi positif COVID-19 di Indonesia meningkat menjadi 3 persen dari 1 persen di minggu sebelumnya.

    Berdasarkan laporan mingguan M42 (periode 12-12 Oktober 2025), dari total 258 pemeriksaan yang dilakukan, ditemukan 11 kasus positif COVID-19 yang terdiri atas 7 kasus sentinel SARI dan 4 kasus non-sentinel, dengan tingkat positivitas (positivity rate) sebesar 4,26 persen.

    Adapun varian tengah merebak di Indonesia saat ini adalah XFG (57 persen), LF.7 (29 persen), XFG 3.4.3 (14 persen) di bulan Agustus.

    “Varian dominan COVID-19 yang ada di Indonesia saat ini termasuk dalam kategori varian dengan risiko rendah, sehingga tidak perlu panik, namun tetap penting menjaga protokol kesehatan,” kata laporan Kemenkes, dikutip Rabu (22/10/2025).

    Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman mengatakan LF.7 adalah subvarian Omicron yang awalnya terdeteksi di India, khususnya di Gujarat.

    “Diklasifikasikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai Variant Under Monitoring,” katanya saat dihubungi detikcom, Rabu (22/10).

    Aji mengatakan, gejala LF. 7 serupa dengan varian COVID-19 lainnya, bahkan mirip seperti flu biasa. Varian ini juga tergolong lebih ringan dibandingkan varian Delta.

    Meski demikian, lanjutnya, kewaspadaan tetap diperlukan, terutama bagi kelompok rentan, seperti lanjut usia hingga komorbid.

    “Mirip flu biasa tapi perlu waspada untuk kelompok rentan,” ucapnya lagi.

    Adapun gejala COVID-19 di antaranya:

    Demam atau menggigilBatukSesak napas atau kesulitan bernapasSakit tenggorokanHidung tersumbat atau berairKehilangan rasa atau penciuman baruKelelahanNyeri otot atau badanSakit kepalaMual atau muntahDiare

    Tonton juga video “Menkes saat Konpers KLB gegara MBG: Teringat Covid Dulu” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (suc/kna)

  • Cerita Pasien Positif COVID-19 Lebih dari 750 Hari, Gejala Tak Sembuh-sembuh

    Cerita Pasien Positif COVID-19 Lebih dari 750 Hari, Gejala Tak Sembuh-sembuh

    Jakarta

    Seorang pria di Amerika Serikat mencatat rekor baru sebagai pasien positif COVID-19 terlama. Diketahui, ia mengidap COVID-19 yang berkelanjutan selama lebih dari 750 hari.

    Pasien tersebut memiliki riwayat positif HIV. Ia termasuk kelompok yang lebih rentan tertular virus SARS-CoV-2.

    Akibat infeksi COVID itu, pasien tidak bisa menerima terapi antiretroviral (ART). Ia juga tidak dapat mengakses perawatan medis yang diperlukan, meski mengalami sejumlah gejala pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, hingga lemas.

    Diketahui, pria berusia 41 tahun itu memiliki jumlah sel T pembantu imun hanya 35 sel per mikroliter darah. Normalnya, jumlah sel tersebut berkisar antara 500 hingga 1.500 sel per mikroliter.

    Selama lebih dari 750 hari itu, pasien mengalami gejala pernapasan yang persisten atau berkelanjutan dan dirawat di rumah sakit sebanyak lima kali. Meski durasi infeksinya panjang, kondisi yang dialaminya ini berbeda dengan long COVID.

    Itu karena gejala yang dialaminya bukanlah gejala yang menetap setelah virus menghilang dari tubuh. Kondisi itu adalah fase virus SARS-CoV-2 yang berlanjut selama lebih dari dua tahun.

    Hasil Penelitian

    Menurut ahli epidemiologi Universitas Harvard, William Hanage, kondisi ini biasanya terjadi hanya pada orang yang rentan. Namun, kondisi serupa bisa terjadi pada siapa saja.

    “Infeksi jangka panjang memungkinkan virus untuk mengeksplorasi cara menginfeksi sel secara lebih efisien. Dan (studi ini) menambah bukti bahwa varian yang lebih mudah menular telah muncul dari infeksi semacam itu,” terang Hanage, yang dikutip dari ScienceAlert.

    “Oleh karena itu, menangani kasus-kasus seperti itu secara efektif merupakan prioritas bagi kesehatan individu dan masyarakat,” sambungnya.

    Dugaan Penyebab Kondisi

    Analisis genetik Joseline Velasquez-Reyes, ahli bioinformatika Universitas Boston dan rekan-rekannya melakukan penelitian lebih lanjut terkait kondisi pasien. Mereka mengumpulkan sampel virus dari pasien di periode Maret 2021 dan Juli 2022 untuk melihat pergerakan virus selama invasi yang meluas.

    “Hanya dalam satu orang, jenis mutasi yang sama yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang berkembang biak lebih cepat sedang dalam proses pengulangan,” jelas mereka dalam studi yang dipublikasikan di The Lancet.

    “Hal ini mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang dari tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh kita.”

    Meski infeksinya masih menetap pada pasien, para ahli melihat tidak adanya infeksi lanjutan. Menurut Velasquez-Reyes, itu mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama adaptasi terhadap satu inang.

    Namun, bukan berarti infeksi lain tidak bisa menetap di dalam tubuh dalam jangka panjang. Temuan ini membuat para ahli waspada dan menyerukan pemantauan ketat COVID-19 yang berkelanjutan dan akses layanan kesehatan untuk semua orang.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)

  • Cerita Pasien Positif COVID-19 Lebih dari 750 Hari, Gejala Tak Sembuh-sembuh

    Catat Rekor Baru, Pria Ini Positif COVID-19 Selama 2 Tahun!

    Jakarta

    Seorang pria dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah mengidap COVID-19 akut yang berkelanjutan selama lebih dari 750 hari. Selama periode ini, ia mengalami gejala pernapasan yang persisten dan dirawat di rumah sakit sebanyak lima kali.

    Meski durasinya panjang, kondisi pria ini berbeda dengan long COVID. Sebab, gejalanya bukanlah gejala yang menetap setelah virus menghilang, melainkan fase virus SARS-CoV-2 yang berlanjut selama lebih dari dua tahun.

    Kondisi ini mungkin hanya terjadi pada orang yang rentan. Tetapi, para ahli di Amerika Serikat memperingatkan dalam studi baru mereka.

    “Infeksi jangka panjang memungkinkan virus untuk mengeksplorasi cara menginfeksi sel secara lebih efisien. Dan (studi ini) menambah bukti bahwa varian yang lebih mudah menular telah muncul dari infeksi semacam itu,” terang ahli epidemiologi Universitas Harvard, William Hanage, yang dikutip dari ScienceAlert.

    “Oleh karena itu, menangani kasus-kasus seperti itu secara efektif merupakan prioritas bagi kesehatan individu dan masyarakat,” sambungnya.

    Analisis genetik Joseline Velasquez-Reyes, ahli bioinformatika Universitas Boston dan rekan-rekannya terhadap sampel virus yang dikumpulkan dari pasien antara Maret 2021 dan Juli 2022, mengungkapkan apa yang dilakukan virus tersebut selama invasi yang meluas.

    “Hanya dalam satu orang, jenis mutasi yang sama yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang berkembang biak lebih cepat sedang dalam proses pengulangan,” jelas mereka.

    “Hal ini mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang dari tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh kita.”

    Pasien Didiagnosis HIV-1

    Pasien yang telah mengalami HIV-1 stadium lanjut ini yakin telah tertular SARS-CoV-2 pada pertengahan Mei 2020. Selama masa tersebut, ia tidak menerima terapi antiretroviral (ART).

    Ia juga tidak dapat mengakses perawatan medis yang diperlukan, meskipun mengalami gejala pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, dan lemas.

    Pria berusia 41 tahun itu memiliki jumlah sel T pembantu imun hanya 35 sel per mikroliter darah, yang menjelaskan bagaimana virus tersebut dapat bertahan begitu lama. Kisaran normalnya adalah 500 hingga 1.500 sel per mikroliter.

    Untungnya, setidaknya dalam kasus ini virus COVID-19 yang membandel ini tidak terlalu menular.

    “Tidak adanya infeksi lanjutan yang diduga terjadi mungkin mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama adaptasi terhadap satu inang,” beber Velasquez-Reyes dan tim yang dipublikasikan di The Lancet.

    Namun, tidak ada jaminan bahwa infeksi lain yang menetap dalam jangka panjang di dalam tubuh kita akan mengikuti jalur evolusi yang sama. Hal ini yang membuat para ahli waspada dan menyerukan pemantauan ketat COVID-19 yang berkelanjutan dan akses layanan kesehatan yang memadai bagi semua orang.

    “Membersihkan infeksi ini harus menjadi prioritas bagi sistem layanan kesehatan,” simpul para peneliti.

    Untuk mengurangi kemungkinan mutasi yang bermasalah, dokter dan peneliti mengimbau masyarakat untuk terus melakukan vaksinasi dan tetap menggunakan masker di area tertutup yang ramai.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Sembuh dari Covid Bukan Berarti Aman”
    [Gambas:Video 20detik]
    (sao/kna)

  • 6 Fakta Menarik di Balik Struktur SARS-CoV-2, Virus Corona Penyebab COVID-19

    6 Fakta Menarik di Balik Struktur SARS-CoV-2, Virus Corona Penyebab COVID-19

    Jakarta

    Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyebabkan penyakit COVID-19 (Coronavirus Disease 2019). Nama COVID-19 sendiri merupakan singkatan dari:

    CO = coronaVI = virusD = disease (penyakit)19 = tahun ditemukannya, yaitu 2019.

    Awalnya, virus ini dikenal sebagai 2019-nCoV (novel coronavirus) dan menjadi penyebab pandemi global pada akhir 2019. Pada Mei 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status darurat kesehatan global (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC). Meski demikian, virus ini masih tetap ada dan dapat menimbulkan gejala mulai dari ringan hingga berat.

    Dikutip dari Baylor College of Medicine, SARS-CoV-2 merupakan salah satu dari banyak jenis virus dalam keluarga coronavirus, yang dinamai demikian karena bentuknya yang seperti mahkota (corona) saat dilihat dengan mikroskop. Kelompok virus ini terdiri dari virus-virus yang saling berkerabat secara genetik, namun berbeda satu sama lain.

    Coronavirus bisa menyebabkan berbagai penyakit saluran pernapasan pada manusia,mulai dari yang ringan seperti flu biasa, hingga yang berat. Selain itu, beberapa jenis coronavirus juga bisa menginfeksi hewan dan menyebabkan berbagai penyakit.

    1. Coronavirus Sebelumnya yang Pernah Muncul

    Dalam dua dekade sebelum 2019, dua jenis coronavirus telah muncul dan menyebabkan infeksi pernapasan serius pada manusia:

    SARS-CoV – Muncul pada akhir 2002 di Provinsi Guangdong, China, menyebabkan penyakit SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome).MERS-CoV – Muncul di Timur Tengah tahun 2012, menyebabkan MERS (Middle East Respiratory Syndrome).

    Berbeda dengan SARS-CoV-2, kedua virus ini tidak menyebabkan wabah global yang berkepanjangan. Ini karena orang yang terinfeksi SARS atau MERS umumnya hanya menularkan virus setelah menunjukkan gejala. Hal ini memudahkan isolasi dan pencegahan penularan. Sebaliknya, SARS-CoV-2 dapat menular bahkan saat penderitanya belum bergejala, sehingga lebih sulit dikendalikan.

    2. Asal Usul SARS-CoV-2

    Virus SARS-CoV-2 muncul pada akhir 2019 di Wuhan, China. Hingga kini, belum diketahui secara pasti bagaimana manusia pertama kali terinfeksi virus ini. Namun, semua bukti mengarah pada asal alami. Virus ini sangat mirip dengan coronavirus yang ditemukan pada kelelawar.

    Kemungkinan besar, virus berpindah dari kelelawar ke hewan perantara, lalu menular ke manusia yang berinteraksi dekat dengan hewan tersebut. Virus hewan umumnya tidak langsung bisa menular antarmanusia, kecuali sudah mengalami adaptasi tertentu. Proses perpindahan dari hewan ke manusia ini disebut zoonosis, dan juga terjadi pada penyakit lain seperti influenza dan HIV.

    3. Penularan COVID-19

    SARS-CoV-2 sangat mudah menular dari satu orang ke orang lain. Virus ini menyebar lebih efisien dibandingkan influenza, tapi tidak secepat campak (measles), salah satu virus paling menular yang diketahui.

    Orang yang terinfeksi akan melepaskan partikel virus melalui mulut dan hidung saat batuk, bersin, berbicara, bernyanyi, atau bernapas berat. Partikel virus ini terbawa dalam tetesan pernapasan besar dan kecil (aerosol). Tetesan besar akan cepat jatuh ke permukaan, sedangkan aerosol bisa bertahan lebih lama di udara dan menjangkau jarak yang lebih jauh.

    Penularan COVID-19 umumnya terjadi saat tetesan pernapasan dihirup atau menempel pada selaput lendir di mulut dan hidung orang yang berada dekat dengan penderita (kurang dari 2 meter).

    Dalam kondisi tertentu, terutama di ruangan tertutup dengan ventilasi buruk, penularan melalui aerosol juga bisa terjadi hingga jarak lebih dari 2 meter.

    Penularan melalui permukaan benda yang terkontaminasi juga mungkin terjadi, walau tidak umum. Jika seseorang menyentuh permukaan yang terkontaminasi lalu menyentuh mulut, hidung, atau mata, ia bisa tertular. Meskipun risiko ini rendah, mencuci tangan secara teratur tetap dianjurkan.

    Risiko penularan tertinggi terjadi di tempat yang ramai, tertutup, dan berventilasi buruk, seperti bar, restoran, atau ruangan pertemuan. Risiko meningkat saat tidak ada yang menggunakan masker, baik pengidap maupun orang di sekitarnya.

    4. Gejala dan Komplikasi COVID-19

    Gejala COVID-19 sangat bervariasi, mulai dari ringan hingga berat. Beberapa gejala yang umum meliputi:

    Demam dan menggigilBatukSesak napasKelelahanNyeri otot dan tubuhHilang penciuman atau perasa

    Gejala biasanya muncul 2-14 hari setelah terpapar. Orang dengan usia lanjut atau memiliki penyakit penyerta (komorbid) seperti diabetes, penyakit jantung, paru, atau obesitas berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi serius.

    Meski kebanyakan orang pulih dalam beberapa hari, sebagian pasien mengalami gejala berkepanjangan yang disebut long COVID. Gejalanya bisa berupa:

    KelelahanSesak napasBrain fog atau kesulitan konsentrasiNyeri kepalaGangguan pada jantung, paru, atau saraf

    Bahkan pasien dengan gejala awal yang ringan pun bisa mengalami gejala jangka panjang ini.

    5. Klasifikasi dan Struktur Virus

    Virus dari famili Coronaviridae dibagi menjadi empat kelompok: alfa, beta, gamma, dan delta. Virus dari kelompok alfa dan beta biasanya menginfeksi mamalia, sementara gamma dan delta umumnya menyerang burung. Dari tujuh jenis coronavirus yang diketahui dapat menginfeksi manusia (semuanya dari kelompok alfa dan beta), empat di antaranya hanya menyebabkan infeksi saluran pernapasan ringan dan menyumbang 10-30 persen dari kasus flu biasa. Tiga lainnya, SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2 , dapat menyebabkan penyakit berat dan termasuk dalam kelompok beta.

    Virus diklasifikasikan berdasarkan berbagai karakteristik, seperti jenis materi genetik yang dibawanya (DNA atau RNA) dan apakah virus tersebut diselimuti oleh lapisan lemak (envelope) atau tidak. Informasi genetik virus corona berada pada untaian RNA positif sepanjang 30.000 nukleotida, salah satu genom terbesar di antara virus RNA. Genom ini dilindungi oleh lapisan envelope.

    Partikel virus corona terdiri dari empat protein struktural utama:

    N (nukleokapsid): membungkus RNA genom.S (spike/duri): menonjol keluar dari envelope dan memberi virus bentuk seperti mahkota.M (membran) dan E (envelope): terintegrasi dalam envelope lipid.

    Protein S memainkan peran penting dalam proses infeksi karena berfungsi mengenali reseptor sel inang dan memungkinkan virus masuk ke dalam sel untuk mereplikasi diri. Oleh karena itu, protein ini menjadi target utama dalam pengembangan vaksin COVID-19.

    6. Varian COVID-19

    Dikutip dari Yale Medicine, satu hal yang pasti tentang SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, adalah sifatnya yang terus berubah. Sejak awal pandemi, kita telah melihat sejumlah varian menonjol, termasuk Alpha, Beta, Delta, dan Omicron.

    Meskipun kemunculan varian baru merupakan bagian alami dari evolusi virus, pemantauan terhadap setiap varian yang muncul tetap sangat penting. Hal ini bertujuan agar dunia selalu dalam kondisi siap siaga.

    Pemantauan menjadi semakin krusial jika varian baru tersebut terbukti lebih agresif, lebih mudah menular, kebal terhadap vaksin, menyebabkan gejala lebih parah, atau bahkan memiliki semua karakteristik tersebut dibandingkan varian asli virus.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan nama pada varian baru virus corona menggunakan huruf-huruf dari alfabet Yunani, dimulai dari varian Alpha yang muncul pada tahun 2020.

    (suc/suc)

  • Eks Pejabat WHO Beberkan Ciri-ciri Suara Parau karena COVID-19 Stratus

    Eks Pejabat WHO Beberkan Ciri-ciri Suara Parau karena COVID-19 Stratus

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI menyebut varian XFG atau yang belakangan dikenal Stratus sudah mendominasi setidaknya 75 persen dari total kasus COVID-19 di Indonesia pada Mei 2025. Bahkan meningkat menjadi 100 persen di Juni 2025.

    Meski sudah dominan, sejauh ini kasus yang bergejala berat atau membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit dan ICU relatif tetap rendah. Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama mengingatkan laporan tersebut menandakan COVID-19 memang belum sepenuhnya lenyap.

    “Dengan itu, maka kita harus terima kenyataan bahwa dari waktu ke waktu akan ada saja laporan varian atau sub varian baru dari SARS-COV-2, baru2 ini ada Nimbus dan sekarang ada Stratus,” beber Prof Tjandra, yang juga seorang profesor pulmonologi, saat dihubungi detikcom Senin (28/7/2025).

    Sebagai catatan, stratus sebenarnya masuk ke dalam varian yang dipantau WHO atau variant under monitoring (VUM) sejak 25 Juni 2025. Sama seperti COVID-19 varian Nimbus yang ditetapkan masuk kategori tersebut di 23 Mei.

    “XFG atau Stratus dan juga nimbus adalah subvarian dari Omicron. Saat ini di dunia memang Nimbus yang dominan di dunia, tetapi Stratus juga makin banyak dan bukan tidak mungkin akan jadi paling banyak di dunia juga. Karena itu tidaklah heran kalau sekarang ada laporan bahwa Stratus jadi yang dominan di Indonesia,” lanjutnya.

    Meski gejala khas varian Stratus sulit dikenali, Prof Tjandra mewanti-wanti beberapa gejala yang perlu diwaspadai.

    “Gejala Stratus adalah suara parau, atau bahasa Inggrisnya hoarseness, scratchy, raspy voice,” tutur dia.

    Sejumlah pasien di Inggris bahkan mengaitkan keluhan tersebut dengan nyeri tak tertahankan seperti terkena benda tajam di bagian leher. Meski begitu, tidak semua gejala tersebut selalu berkaitan dengan infeksi COVID-19 varian Stratus.

    Untuk benar-benar memastikannya, tetap diperlukan tes atau pemeriksaan COVID-19 melalui rapid test maupun PCR.

    “Stratus atau XFG merupakan rekombinasi dari LF.7 dan LP.8.1.2. XFG juga punya empat mutasi. Secara keseluruhan hal ini dapat berdampak pada kemungkinan peningkatan kasus serta kemungkinan melemahnya proteksi,” sorot dia.

    “Walau sejauh ini vaksin COVID-19 yang sekarang masih dapat digunakan, khususnya untuk yang simtomatik dan kasus yang berat,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • COVID-19 Stratus Dominan di RI, Masih Mempan Dilawan Vaksin? Ini Kata Kemenkes

    COVID-19 Stratus Dominan di RI, Masih Mempan Dilawan Vaksin? Ini Kata Kemenkes

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI melaporkan varian baru COVID-19 bernama XFG atau dikenal Stratus, kini menjadi varian dominan di Indonesia. Pada Mei 2025, varian Stratus tercatat menyumbang 75 persen kasus COVID-19 di Tanah Air. Angka ini meningkat drastis hingga mencapai 100 persen pada Juni. Varian XEN juga sempat terdeteksi dengan kontribusi sebesar 25 persen pada Mei.

    Meski begitu, Kemenkes menegaskan varian yang saat ini beredar di Indonesia masih termasuk dalam kategori risiko rendah. Masyarakat diminta tetap tenang dan tidak panik, tetapi tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan, terutama bagi kelompok yang rentan seperti lansia dan pengidap penyakit penyerta.

    “Varian dominan COVID-19 yang ada di Indonesia saat ini termasuk dalam kategori varian dengan risiko rendah, sehingga tidak perlu panik, namun tetap penting menjaga protokol kesehatan,” demikian laporan Kemenkes RI, dikutip Senin (28/7/2025).

    “XFG menjadi variant nomor 1 dalam hal Spread di mana per 13 Juni sudah terdeteksi di 130 negara (paling banyak dari Eropa dan Asia) per Juni 2025,” lanjut laporan tersebut.

    Adapun varian Stratus diketahui masuk ke dalam varian yang dipantau WHO atau variant under monitoring (VUM) sejak 25 Juni 2025. Sama seperti COVID-19 varian Nimbus yang ditetapkan masuk kategori tersebut di 23 Mei.

    Di sisi lain, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama juga mengatakan laporan terbaru Kemenkes menandakan COVID-19 memang belum sepenuhnya lenyap.

    “Dengan itu, maka kita harus terima kenyataan bahwa dari waktu ke waktu akan ada saja laporan varian atau sub varian baru dari SARS-COV-2, baru2 ini ada Nimbus dan sekarang ada Stratus,” beber Prof Tjandra, yang juga seorang profesor pulmonologi, saat dihubungi detikcom Senin (28/7/2025).

    Apakah Vaksin Saat Ini Efektif Lawan Varian Stratus?

    Terkait efektivitas vaksin, Prof Tjandra menegaskan vaksin COVID-19 yang tersedia saat ini masih dapat digunakan, terutama dalam mencegah gejala berat dan kasus yang bersifat simtomatik.

    Hal serupa juga diungkapkan oleh Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian kesehatan RI (Kemenkes), Aji Muhawarman. Menurutnya, XFG atau Stratus masih merupakan turunan dari varian Omicron, dengan demikian vaksin yang ada masih efektif digunakan.

    “Dengan demikian vaksin yang ada masih bisa digunakan dan ampuh untuk membangun imunitas tubuh terhadap COVID,” tuturnya saat dihubungi detikcom, Senin (28/7).

    Meski begitu, jumlah vaksin gratis yang disediakan saat ini sudah sangat terbatas. Di luar program pemerintah, vaksin COVID-19 masih bisa didapatkan secara mandiri.

    Dikutip dari laman Kemenkes RI, penerima vaksin gratis program pemerintah terbagi ke beberapa kelompok per 1 Januari 2024, yakni masyarakat lanjut usia, lanjut usia dengan komorbid, dewasa dengan komorbid, tenaga kesehatan yang bertugas di garda terdepan, ibu hamil, serta remaja usia 12 tahun ke atas dan kelompok usia lainnya dengan kondisi immunocompromised (orang yang mengalami gangguan sistem imun) sedang-berat.

    Sementara itu, sesuai Surat Edaran Dirjen Farmalkes HK.02.02/E/2571/2023 tentang Penyediaan Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksin COVID-19 Pilihan, bagi masyarakat yang tidak masuk dalam kriteria di atas, imunisasi COVID-19 menjadi imunisasi pilihan secara mandiri, dan bisa didapatkan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan layanan vaksinasi COVID-19.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Bagaimana dengan Indonesia?”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/naf)

    Varian Stratus Intai RI

    12 Konten

    COVID-19 di Indonesia kini didominasi varian XFG, atau dijuluki ‘varian stratus’. Varian ini mendominasi 75 persen kasus di bulan Mei 2025, dan 100 persen kasus di Juni.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • RI Dihantui COVID-19 ‘Stratus’, Ini Bedanya dengan Varian Lain

    RI Dihantui COVID-19 ‘Stratus’, Ini Bedanya dengan Varian Lain

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum lama ini mengungkapkan COVID-19 varian XFG atau Stratus sudah terdeteksi di Indonesia. Bahkan, disebutkan Stratus saat ini menjadi varian yang paling dominan di Indonesia.

    Temuan ini diungkapkan berdasarkan pemantauan rutin yang dilakukan Kemenkes terkait penyakit pernapasan di 39 puskesmas, 25 rumah sakit, dan 14 balai karantina kesehatan.

    “Pada bulan Juni varian dominan di Indonesia adalah XFG dengan 75 persen pada Mei dan 100 Mei pada Juni. Lalu ada XEN sebesar 25 persen pada Mei,” ujar pihak Kemenkes belum lama ini.

    Sebenarnya apa yang berbeda dari Stratus dibanding varian yang sudah ada sebelumnya?

    Menurut dokter umum di Harvey Street dan Hannah Clinic London, Dr Kaywaan Khan varian Stratus memiliki karakteristik khusus yang membuatnya lebih rentan menginfeksi.

    Meski begitu, ia mengingatkan dampak infeksi dari varian Stratus tidak lebih fatal bila dibandingkan dengan varian Omicron yang juga sempat bikin heboh sebelumnya. Vaksin yang sudah disetujui juga tetap disarankan untuk mencegah keparahan gejala.

    “Berbeda dengan varian lain, Stratus memiliki mutasi tertentu pada protein spike yang membantunya menghindari antibodi yang terbentuk dari infeksi sebelumnya atau vaksinasi,” ujar Khan dikutip dari Cosmopolitan, Senin (28/7/2025).

    “Meski demikian, penting diingat Stratus tampaknya tidak lebih parah dibandingkan varian Omicron sebelumnya dalam hal tingkat keparahan penyakit, rawat inap, atau kematian,” sambungnya.

    Gejala Varian Stratus

    Secara umum COVID-19 Stratus menimbulkan gejala yang mirip dengan varian-varian sebelumnya. Misalnya, hilangnya indera penciuman dan pengecap.

    Namun, varian ini juga memiliki gejala khas, yaitu suara serak atau parau. Dr Khan menuturkan pemeriksaan COVID-19 perlu dilakukan bila mengalami gejala-gejala tersebut.

    “Salah satu gejala yang paling terlihat dari varian Stratus adalah suara serak, termasuk suara yang kasar atau parau,” ujar Dr Khan.

    Senada, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan gejala Stratus dapat berupa suara parau atau bahasa Inggrisnya hoarseness, scratchy, raspy voice.

    Sejumlah pasien di Inggris bahkan mengaitkan keluhan tersebut dengan nyeri tak tertahankan seperti terkena benda tajam di bagian leher. Meski begitu, tidak semua gejala tersebut selalu berkaitan dengan infeksi COVID-19 varian Stratus.

    Untuk benar-benar memastikannya, tetap diperlukan tes atau pemeriksaan COVID-19 melalui rapid test maupun PCR.

    “Stratus atau XFG merupakan rekombinasi dari LF.7 dan LP.8.1.2. XFG juga punya empat mutasi. Secara keseluruhan hal ini dapat berdampak pada kemungkinan peningkatan kasus serta kemungkinan melemahnya proteksi,” sorot dia.

    “Walau sejauh ini vaksin COVID-19 yang sekarang masih dapat digunakan, khususnya untuk yang simtomatik dan kasus yang berat,” pungkasnya.

    Selain itu, gejala lain dari infeksi COVID-19 varian Stratus menurut Menurut National Health Service (NHS) Inggris meliputi:

    Suhu tubuh tinggiMenggigilKehilangan atau perubahan indera penciuman dan pengecapSesak napasKelelahanBadan pegal-pegalSakit kepalaSakit tenggorokanHidung tersumbat atau berairHilang nafsu makanDiareMual dan muntah

    Pencegahan Infeksi COVID-19 Stratus

    Berkaitan dengan dengan dominasi varian Stratus di Indonesia, Kemenkes mengimbau masyarakat untuk tetap menerapkan gaya hidup bersih dan sehat. Pastikan juga untuk menerapkan etika batuk atau bersin untuk menghindari risiko penularan pada orang lain.

    Selain itu, pastikan untuk selalu menjaga kebersihan tangan dengan cuci tangan pakai sabun atau menggunakan hand sanitizer.

    Jika sedang sakit dan mengalami gejala COVID-19, sebaiknya segera lakukan pemeriksaan ke dokter. Terlebih bila ada riwayat kontak dengan faktor risiko.

    Penggunaan masker juga sangat disarankan apabila mengalami masalah kesehatan seperti batuk, pilek, atau demam.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video Pernyataan Kemenkes Singapura Terkait Lonjakan Kasus Covid-19”
    [Gambas:Video 20detik]
    (avk/suc)

    Varian Stratus Intai RI

    13 Konten

    COVID-19 di Indonesia kini didominasi varian XFG, atau dijuluki ‘varian stratus’. Varian ini mendominasi 75 persen kasus di bulan Mei 2025, dan 100 persen kasus di Juni.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • COVID-19 Varian Stratus Naik di Asia, Pakar Soroti Gejala Khas Suara Parau

    COVID-19 Varian Stratus Naik di Asia, Pakar Soroti Gejala Khas Suara Parau

    Jakarta

    Muncul lagi varian COVID-19 baru yang dinamai ‘Stratus’. Varian ini dikategorikan menjadi strain rekombinan keturunan Omicron lantaran menginfeksi seseorang dengan dua strain COVID-19 sekaligus, alias menjadi varian hibrida baru.

    Namanya secara ilmiah dikenal sebagai XFG. Strain ini dianggap lebih menular daripada strain sebelumnya karena mutasi membuat varian tersebut mampu menghindari sistem kekebalan tubuh. Total kasusnya melonjak dari semula 10 persen menjadi hampir 40 persen dari keseluruhan kasus yang tercatat di Inggris. Peningkatan juga terjadi di India.

    “Strain COVID-19 Stratus menyebar dengan cepat,” kata Profesor Lawrence Young, seorang ahli virus di Universitas Warwick kepada MailOnline.

    “Mengingat kekebalan terhadap COVID-19 mulai menurun di masyarakat akibat menurunnya penerimaan vaksin booster dan penurunan infeksi COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir, lebih banyak orang rentan terhadap infeksi XFG dan XFG.3.”

    “Hal ini dapat menyebabkan gelombang infeksi baru, tetapi sulit untuk memprediksi sejauh mana gelombang ini,” tambahnya.

    Gejala Khas Suara Parau

    Sebagian besar gejala Stratus mirip dengan jenis sebelumnya. Menurut layanan kesehatan Inggris, gejala-gejala varian COVID-19 Stratus meliputi sesak napas, kehilangan atau perubahan pada indra penciuman atau perasa, merasa lelah atau letih, suhu tinggi atau menggigil, hidung tersumbat atau berair, badan pegal-pegal, batuk terus-menerus, sakit tenggorokan, sakit kepala, diare, gangguan nafsu makan, dan merasa mual.

    Namun, menurut Dr Kaywaan Khan, dokter umum Harley Street dan Pendiri Klinik Hannah London, salah satu gejala varian Stratus yang paling ketara adalah suara serak, yang meliputi suara parau atau hoarse voice.

    Dokter menambahkan gejalanya cenderung ringan hingga sedang secara umum dan jika seseorang dinyatakan positif, mereka harus tinggal di rumah dan mengisolasi diri karena COVID-19 varian Stratus sangat menular.

    Gejala khas yang sama juga disoroti pakar epidemiologi Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia. Meski begitu, kemunculan subvarian baru termasuk rekombinan menurutnya akan terus terjadi dan masyarakat tidak perlu panik.

    “Varian XFG kini telah masuk dalam kategori variant under monitoring (VuM) atau dalam pemantauan sejak akhir Mei 2025 karena penyebarannya yang cukup cepat. XFG merupakan varian rekombinan yang berasal dari subvarian JN.1. Kasusnya saat ini cukup tinggi di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk India,” jelasnya kepada detikcom saat dihubungi Senin (7/7/2025).

    “Namun, hingga kini tidak ada indikasi bahwa varian ini menyebabkan peningkatan keparahan atau angka kematian yang signifikan. Memang terjadi gejala khas suara serak atau pecah, tetapi tetap tergolong ringan. Masyarakat tidak perlu panik, karena protokol kesehatan dasar seperti pola hidup bersih dan sehat serta pemakaian masker masih efektif untuk mencegah penularan,” imbaunya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

    Habis Nimbus Terbit Stratus

    6 Konten

    Setelah Nimbus atau NB.1.8.1, variant baru COVID-19 muncul lagi dengan julukan Stratus yang mencakup varian XFG dan XFG.3. Disebut-sebut, salah satu gejala khasnya adalah suara serak dan parau.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Serasa Disiksa, Gejala Covid Varian Baru Lebih Parah dari Demam

    Serasa Disiksa, Gejala Covid Varian Baru Lebih Parah dari Demam

    Jakarta, CNBC Indonesia – Varian baru COVID-19 dengan nama kode NB.1.8.1 atau yang lebih dikenal sebagai “Nimbus” kini menjadi perhatian global. Varian turunan Omicron yang sangat menular ini telah menyebar cepat di berbagai belahan dunia dan menyebabkan lonjakan kasus, termasuk di Amerika Serikat dan Asia pada musim semi lalu atau sekitar bulan Maret.

    Gejala yang ditimbulkan oleh varian ini disebut-sebut lebih menyiksa dibanding varian sebelumnya.

    Sejumlah pasien yang terinfeksi melaporkan mengalami nyeri tenggorokan parah, bahkan digambarkan seperti “menelan pecahan kaca”. Rasa sakit ini bisa sangat intens hingga membuat penderita kesulitan bicara, makan, hingga minum.

    Varian Nimbus pertama kali terdeteksi di AS pada akhir Maret 2025 melalui program penyaringan di bandara bagi pelancong internasional.

    Saat ini, varian tersebut telah menyebar ke lebih dari selusin negara bagian di AS, dan diperkirakan terus bertambah.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengklasifikasikan NB.1.8.1 sebagai “variant under monitoring” (varian dalam pemantauan) pada 23 Mei 2025, karena penyebarannya yang cepat dan adanya mutasi pada protein spike yang berpotensi memengaruhi tingkat penularan.

    Nama “Nimbus” sendiri diperkenalkan oleh ahli biologi evolusioner asal Kanada, T. Ryan Gregory, yang juga dikenal sebagai pencetus nama-nama varian populer lainnya seperti “FLiRT”.

    Meski varian ini mendominasi lebih dari sepertiga kasus Covid-19 di AS, tren keseluruhan saat ini masih relatif stabil. Per 7 Juni 2025, tingkat positif tes Covid-19 di AS tercatat sebesar 3%, hanya naik tipis dari minggu sebelumnya. Rawat inap akibat Covid-19 pun dilaporkan menurun.

    Namun, para ahli memperingatkan bahwa situasi ini bisa berubah dengan cepat. Setiap musim panas sejak 2020, AS mengalami lonjakan kasus Covid-19. Munculnya varian baru seperti Nimbus meningkatkan kekhawatiran akan potensi lonjakan serupa pada tahun ini.

    Gejala Covid-19 varian baru NB.1.8.1 “Nimbus”

    Sejauh ini, gejala yang ditimbulkan oleh varian Nimbus tampaknya mirip dengan varian Omicron terbaru, yang mencakup:

    Sakit tenggorokan
    Batuk
    Hidung berair atau tersumbat
    Sesak napas
    Demam atau menggigil
    Sakit kepala
    Nyeri tubuh
    Kelelahan
    Kehilangan indera penciuman atau perasa secara tiba-tiba

    Siapa pun bisa tertular Covid-19, tetapi beberapa kelompok memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala berat, termasuk mereka yang berusia di atas 65 tahun, orang dengan sistem imun lemah, atau mereka yang memiliki penyakit penyerta, menurut CDC.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Cerita Pasien Positif COVID-19 Lebih dari 750 Hari, Gejala Tak Sembuh-sembuh

    Video Menkes soal Covid-19: Variannya Omicron yang Lemah, Jangan Khawatir

    Jakarta – Saat ditemui di pelantikan anggota PDGI di kawasan Senayan, Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan beri kabar terbaru soal Covid-19 di Indonesia. Menurutnya, kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia tidak terlampau banyak, pun belum ada laporan data kematian.

    Ia pun minta masyarakat tidak khawatir. Ia juga ingatkan masyarakat untuk rajin cuci tangan hingga jaga jarak.

    Cek berita lain soal Covid-19 di sini ya detikers!

    (/)

    covid-19 menkes budi gunadi sadikin budi gunadi sadikin