Topik: neraca perdagangan

  • Harapan Kepala BPJH Babe Haikal soal tertib halal

    Harapan Kepala BPJH Babe Haikal soal tertib halal

    Babe Haikal, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) RI, yang juga bernama lengkap Ahmad Haikal Hasan Foto: Istimewa

    Tertib halal dorong capaian target pertumbuhan ekonomi 8 %

    Harapan Kepala BPJH Babe Haikal soal tertib halal
    Dalam Negeri   
    Editor: Nandang Karyadi   
    Selasa, 14 Januari 2025 – 16:46 WIB

    Elshinta.com – Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) RI, Ahmad Haikal Hasan atau Babe Haikal memastikan kepatuhan ekosistem industri halal terhadap Jaminan Produk Halal atau tertib halal akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi 8% sebagaimana ditargetkan oleh pemerintah.

    “Jika ekosistem halal kita dari hulu ke hilir tertib halal, saya pastikan cita-cita menjadi produsen produk halal nomor satu di dunia akan terwujud. Dan, sektor halal kita dipastikan berkontribusi penting dalam menopang target pertumbuhan ekonomi 8%, sebagaimana dicanangkan oleh Bapak Presiden Prabowo,” Babe Haikal, di Jakarta, Senin (13/1/2025) dikutip dari keterangan tertulis.

    “Saya jamin kita pasti nomor satu. Kalau kita tertib halal, pasti (peringkat) kita melambung,” tambahnya.

    Babe Haikal menjelaskan optimisme tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, besarnya potensi ekonomi halal sangat terbuka lebar.  State of the Global Economy (SGIE) Report 2023 melaporkan pengeluaran konsumen muslim global adalah sebesar US$2,29 triliun di enam sektor ekonomi riil (2022) dan diproyeksikan mencapai US$3,1 triliun pada tahun 2027.

    Perkembangan enam sektor rill tersebut didukung sektor keuangan syariah sebagai enabler yang pada 2021/2022, asetnya mencapai US$3,9 triliun. Diproyeksikan meningkat hingga US$5,9 triliun pada 2025/2026.

    Data perdagangan juga menunjukkan bahwa Indonesia mencatatkan ekspor produk halal senilai USD 41,42 miliar, atau setara Rp673,90 triliun di periode Januari–Oktober 2024. Di periode yang sama, surplus neraca perdagangan produk halal Indonesia mencapai USD 29,09 miliar.

    Menilik kinerja ekspor produk halal Januari-Oktober 2024, sektor makanan olahan mendominasi nilai ekspor sebesar USD 33,61 miliar, diikuti pakaian muslim USD 6,83 miliar, farmasi USD 612,1 juta, dan kosmetik USD 362,83 juta.

    “Potensi perdagangan produk halal dunia terus meningkat. Ditandai data yang menunjukkan bahwa angka belanja masyarakat muslim dunia diproyeksikan akan terus meningkat. Dan, itu merupakan potensi besar ekonomi halal yang tak boleh kita lewatkan,” jelas Babe Haikal.

    “Sekarang, apa yang harus kita lakukan untuk ekonomi Indonesia. Tentu kita harus sama-sama perkuat ekosistem halal kita dari hulu hingga ke hilir. Dari usaha mikro, kecil, menengah hingga besar. Dari sektor makanan, minuman, kosmetik, obat, produk kimiawi, biologi, bahkan rekayasa genetik, hingga hingga barang gunaan. Ingatlah, ini akan menjadi amal jariyah kita,” katanya.

    Untuk itu, lanjut Babe Haikal, sinergi-kolaborasi penguatan ekosistem halal harus diperkuat.

    “Upaya edukasi dan literasi halal juga harus kita tingkatkan bersama melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, lintas kementerian, lembaga, pemda, perguruan tinggi, halal center, ormas, termasuk juga para ulama, asatidz, dan tokoh masyarakat di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

     

    Penulis: Suwiryo/Ter

    Sumber : Radio Elshinta

  • China kembali tegaskan tidak mengejar surplus perdagangan

    China kembali tegaskan tidak mengejar surplus perdagangan

    China tidak menargetkan surplus perdagangan

    Beijing (ANTARA) – China tidak mengejar surplus perdagangan, dan neraca perdagangan negara tersebut dipengaruhi oleh kekuatan pasar internasional yang lebih luas alih-alih intervensi yang disengaja, kata seorang pihak berwenang.

    Wang Lingjun, selaku wakil kepala Administrasi Umum Kepabeanan (General Administration of Customs/GAC) China, menyampaikan pernyataan itu sebagai respons atas pertanyaan mengenai surplus perdagangan dalam sebuah konferensi pers mengenai kinerja perdagangan China pada 2024, Senin (13/1).

    “China tidak menargetkan surplus perdagangan. Tingkat ekspor, impor, dan neraca perdagangan yang spesifik adalah hasil dari dinamika penawaran dan permintaan internasional, pembagian kerja industri, dan kompetisi pasar,” kata Wang.

    Wang menyatakan bahwa surplus perdagangan China, jika dilihat secara persentase dari produk domestik bruto, berada dalam rentang yang wajar dan telah menurun secara signifikan dari level tertinggi dalam sejarah. Selain itu, tingkat surplus perdagangan China masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara pengekspor besar lainnya.

    Wang juga mengkritik beberapa negara yang memberlakukan kontrol ekspor yang lebih ketat terhadap China, menyebut kebijakan tersebut kontradiktif.

    “China ingin meningkatkan impor, tetapi jika Anda tidak mengizinkan barang itu masuk, dan kemudian Anda khawatir tentang surplus perdagangan kami, maka hal itu secara inheren tidak konsisten,” ujarnya.

    China secara aktif berupaya untuk mendiversifikasi impor, kata Wang, dengan menyebutkan bahwa Pameran Impor Internasional China (China International Import Expo/CIIE) tahunan, tarif yang lebih rendah, dan akses pasar yang diperluas sebagai langkah kunci.

    Langkah-langkah ini tidak hanya mendorong volume impor yang mencapai rekor tertinggi, tetapi juga memungkinkan lebih banyak negara dan bisnis untuk mendapatkan keuntungan dari peluang di pasar China, mendorong pertumbuhan perdagangan yang lebih seimbang.

    Wang lebih lanjut membahas kekhawatiran tentang meningkatnya proteksionisme perdagangan, dengan merujuk pada Laporan Perdagangan Global 2024 yang diterbitkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Laporan tersebut memperingatkan bahwa kebijakan proteksionis akan merugikan pertumbuhan ekonomi semua negara.

    Meskipun menghadapi hambatan eksternal, Wang mengatakan bahwa China tetap berkomitmen memperluas keterbukaan, menentang proteksionisme, dan memperjuangkan kerja sama yang saling menguntungkan.

    China akan terus membuka pintunya lebih lebar dengan tekad yang tak tergoyahkan, kata Wang, seraya menyatakan bahwa melalui tindakan praktis, China akan mendorong kolaborasi, berbagi peluang, dan mendukung pembangunan dengan semua negara.

    Pewarta: Xinhua
    Editor: Junaydi Suswanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Rupiah dinilai sulit untuk “rebound” secara signifikan

    Rupiah dinilai sulit untuk “rebound” secara signifikan

    Jakarta (ANTARA) – Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong mengatakan nilai tukar (kurs) Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) susah untuk rebound secara signifikan.

    “Hingga penutupan, Rupiah diperkirakan hanya dapat bertahan dan susah untuk rebound secara signifikan,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

    Kurs Rupiah sulit rebound karena indeks dolar AS berada di level tertinggi baru dalam dua tahun terakhir, yakni 109,96 pada Jumat (10/1) dan 109,65 pada hari ini.

    Antisipasi investor terhadap data inflasi AS yang bakal dirilis pekan ini diprediksi bakal menjadi faktor penting penguatan dolar AS pada pekan ini dan menekan nilai tukar rupiah.

    Inflasi utama AS diperkirakan akan naik 0,3 persen month to month (MoM) dan meningkat dari 2,7 persen menjadi 2.8 persen year on year (YoY).

    Pada umumnya, Rupiah dan mata uang regional melemah cukup besar terhadap dolar AS karena data tenaga kerja AS Non Farm Payrolls (NFP) pada Desember 2024 tercatat sebesar 256 ribu, lebih baik dari bulan sebelumnya yang sebesar 212 ribu.

    “Data perdagangan China yang kuat dan lebih baik dari perkiraan sedikit menahan pelemahan lebih lanjut dari rupiah,” kata Lukman.

    Tercatat, data neraca perdagangan China yang rilis pagi tadi surplus sebesar 104,84 miliar dolar AS atau lebih baik dari perkiraan yang sebesar 99,80 miliar dolar AS.

    “Aktivitas ekonomi China meningkat oleh permintaan yang tinggi dari AS dalam antisipasi sebelum Trump menjabat dan penambahan tarif diberlakukan,” ungkap dia.

    Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada penutupan perdagangan hari ini melemah 93 poin atau 0,57 persen menjadi Rp16.283 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.290 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Senin turut melemah ke level Rp16.281 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.194 per dolar AS.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Adi Lazuardi
    Copyright © ANTARA 2025

  • Rupiah melemah karena data ekonomi AS yang solid

    Rupiah melemah karena data ekonomi AS yang solid

    Peluang pelemahan rupiah hari ini terbuka ke arah Rp16.250 dengan potensi support di kisaran Rp16.150

    Jakarta (ANTARA) – Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang solid dapat memicu Federal Reserve (The Fed) menahan diri tak pangkas suku bunga, sehingga mendorong kenaikan dolar AS dan melemahkan nilai tukar (kurs) rupiah.

    “Peluang pelemahan rupiah hari ini terbuka ke arah Rp16.250 dengan potensi support di kisaran Rp16.150,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

    Pada Jumat (10/1), data tenaga kerja AS Non Farm Payrolls (NFP) pada Desember 2024 tercatat sebesar 256 ribu, lebih dari bulan sebelumnya yang sebesar 212 ribu.

    Data tingkat pengangguran AS juga mengalami penurunan menjadi 4,1 persen untuk Desember 2024 dari 4,2 persen pada bulan sebelumnya.

    “Solidnya data tenaga kerja bisa memicu The Fed menahan diri tidak memangkas suku bunga acuannya lagi, sehingga ekspektasi ini mendorong kenaikan dolar AS,” ungkap Ariston.

    Rilis dari dua data ekonomi tersebut turut meningkatkan indeks dolar AS yang berada di level tertinggi baru dalam dua tahun terakhir, yakni 109,96 pada Jumat (10/1) dan 109,65 pada hari ini.

    Menurut dia, capaian yang baik dari ekonomi AS karena pengeluaran konsumsi personal di negara tersebut mencapai 68,24 persen atau di atas rata-rata sebesar 64,32 persen.

    “Konsumsi yang masih kuat di AS mendukung pertumbuhan ekonomi AS, roda ekonomi berjalan masih bagus. Ekonomi yang bertumbuh bagus membuka kesempatan kerja yang lebih banyak,” ucapnya.

    Untuk pekan ini, Ariston tidak melihat ada rilis data ekonomi Indonesia. Namun, akan ada rilis data neraca perdagangan pada hari ini dan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal IV pada Jumat (17/1) dari China.

    “Sinyal pelambatan ekonomi China juga bisa menekan rupiah karena relasi dagang yang besar antara China dan Indonesia,” kata dia.

    Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin pagi melemah 60 poin atau 0,37 persen menjadi Rp16.250 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.190 per dolar AS.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Faisal Yunianto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Membaca Peluang dan Tantangan Perekonomian Global 2025

    Membaca Peluang dan Tantangan Perekonomian Global 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Tahun 2025 adalah tahun yang penuh dengan agenda politik global berupa pemilihan umum (pemilu)–melanjutkan peristiwa yang sama di tahun 2024 lalu. Risiko politik sangat akut untuk pasar keuangan global pada tahun ini, dengan sekitar 40 negara mengadakan pemilu. Dengan semua itu, muncul lingkungan pasar baru, dengan berbagai implikasinya secara ekonomi dan politik.

    Dalam beberapa tahun terakhir, para pengambil kebijakan dan pemimpin bisnis global telah menguasai kemampuan untuk tetap nyaman dengan ketidakpastian tentang masa depan. Ketahanan ini menjadi pertanda baik saat tahun 2025 mulai ditapaki.

    Lanskap makroekonomi global makin sulit diprediksi, sebab —salah satu alasannya—keterpilihan Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat (AS), masa jabatan keduanya di Gedung Putih. Yang lain, sebut saja risiko geopolitik—disebut juga sebagai ancaman terbesar bagi bisnis untuk tahun ketiga berturut-turut sejak 2022—akan terus mengganggu pasar dan rantai pasokan global.

    Risiko geopolitik telah menjadi fitur permanen dari lanskap makroekonomi global. Ada 56 konflik bersenjata yang saat ini terjadi, jumlah tertinggi sejak Perang Dunia II, menurut lembaga think tank Institute for Economics & Peace.

    Pada tahun ini, kalangan institusi pemerintah dan swasta di berbagai negara berharap melihat beberapa perubahan yang dapat berdampak pada aktivitas ekonomi yang lebih luas, termasuk penyesuaian arah kebijakan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, berkesinambungan dan inklusif dalam artian mampu menyerap tenaga kerja lebih besar.

    PELUANG PERTUMBUHAN

    Ekonomi global diproyeksikan tetap cukup tangguh meskipun masih dibayangi risiko geopolitik yang belum bergeser. Prognosis pertumbuhan global sebesar 3,1%—3,2% untuk tahun 2024, akan berlanjut lebih baik pada proyeksi 3,2%—3,3% di tahun ini atau setidaknya 3,0%—3,1% sekiranya eskalasi risiko geoolitik berlanjut dan ekonomi China terus melemah.

    Kemampuan negara per negara untuk beradaptasi dan menghadapi tekanan ekonomi—baik karena efek pandemi Covid-19, perang di Ukraina dan Timur Tengah hingga isu fragmentasi global—menjadi modal berharga dalam mengarungi tahun 2025 yang menantang.

    Perang Rusia-Ukraina adalah salah satu sumber risiko bagi kawasan Eropa, karena potensi pengurangan dukungan AS untuk Ukraina akan menempatkan beban lebih besar di kawasan tersebut. Mengingat ruang fiskal terbatas, tekanan ini dapat memaksa bank sentral Eropa (ECB) bergerak lebih cepat pada penurunan suku bunga acuan yang akan memperlebar perbedaan suku bunga dengan AS.

    Ekonomi AS diproyeksikan mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan yang stabil pada 2025 (berkisar 2%), sambil menavigasi perubahan politik, setelah kinerja tahun 2024 yang tangguh (berkisar 2,5%) di tengah suku bunga acuan yang masih tinggi (5,25%—5,50%).

    Tumpuan untuk tahun ini ada pada konsumsi yang kuat, kebijakan fiskal longgar, dan suku bunga acuan lebih rendah. Terbukti Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur tercatat 49,3 pada Desember lalu, atau 0,9 lebih tinggi dibandingkan dengan 48,4 pada November. Alhasil, perekonomian AS secara keseluruhan berlanjut dalam fase ekspansi untuk bulan ke-56 setelah pada April 2020 mengalami kontraksi.

    Sementara kawasan euro terus berjuang menghadapi hambatan ekonomi, terutama di Jerman, di mana sektor industri bermanuver untuk mempertahankan daya saing. Reformasi struktural mungkin penting untuk menghidupkan kembali kawasan utama ini. Pertumbuhan ekonomi tidak merata dan lemah, meskipun lebih kuat dari tahun 2024.

    Ekonomi Jerman—negara produsen yang dikenal amat efisien dengan tenaga kerja terampil dan ekspor manufaktur kelas atas—terus berjuang meningkatkan pertumbuhan. Sektor otomotif yang melemah menjadi simbol utama kejatuhan ekonomi terbesar di Eropa ini, karena dihadapkan pada tiga tantangan struktural. Pertama, ketergantungan yang berlebihan pada permintaan eksternal. Kedua, demografi yang tidak menguntungkan. Ketiga, produktivitas yang stagnan.

    Sebagai ekonomi terbesar ketiga di dunia dan merupakan seperempat dari produk domestik bruto (PDB) kolektif Uni Eropa, Jerman memiliki dampak sangat besar pada kesehatan ekonomi Eropa. Efek limpahan dari pertumbuhan yang lemah di Jerman akan menjadi hambatan, bahkan jika negara-negara di Eropa lainnya terus tumbuh.

    Krisis energi yang dipicu oleh perang di Ukraina disebut sebagai sumber kesengsaraan Jerman. Meskipun pandangan ini benar untuk sebagian besar pada tahun 2022 dan 2023, namun bukti terkini menunjukkan narasi yang berbeda pada tahun 2024 dan 2025.

    Perekonomian Jerman sangat bergantung pada ekspor. Meskipun harga energi tetap tinggi, tetapi sekarang neraca perdagangan Jerman dan ukuran daya saing globalnya telah kembali mendekati level terakhir sebelum krisis energi.

    Ekonomi negara ini telah menunjukkan kemampuan beradaptasi yang luar biasa dalam menemukan alternatif untuk sumber energi minyak dan gas Rusia. Krisis energi tidak lagi menjadi penyebab kelesuan Jerman. Sebaliknya, kelemahan ekonomi Jerman pada paruh kedua 2024 sebagian besar dapat dikaitkan dengan penurunan signifikan dalam permintaan eksternal, terutama dari China.

    Sebagian besar kawasan Eropa akan terus menghadapi tantangan pada 2025 di tengah ketidakpastian politik domestik dan peristiwa global, seperti ancaman tarif pemerintahan baru AS dan perlambatan ekonomi China. Faktor-faktor ini kemungkinan terus membebani kinerja pasar, terutama di sektor manufaktur otomotif dan perbankan.

    Untuk Inggris, perekonomian diperkirakan tumbuh 2% tahun ini, didorong oleh penurunan inflasi dan potensi pelonggaran suku bunga kebijakan didukung oleh kebijakan fiskal yang berfokus pada pemulihan melalui pengembangan inovasi dan teknologi digital berkelanjutan.

    Ketegangan perdagangan global yang sedang dan akan terus berlangsung antara AS dan China dapat mengganggu ekspor Inggris, di tengah laporan serangan siber terus meningkat, karena para sindikat hacker jahat menemukan cara baru untuk mencuri data dan mendatangkan kerugian.

    KAWASAN ASIA

    Di belahan lain, negara-negara di Asia relatif sehat, meskipun pertumbuhan di level regional agak moderat. Secara keseluruhan, rata-rata pertumbuhan tahunan PDB Asia—kecuali Jepang—akan moderat ke 3,9% pada 2025 dari sebelumnya 4,3% pada 2024.

    Pertumbuhan ekonomi Jepang diperkirakan meningkat menjadi 1,1% pada 2025 (dari sebelumnya minus 0,2% pada 2024) didorong oleh upah dan konsumsi yang lebih tinggi, dengan prospek kenaikan suku bunga acuan yang sudah diantisipasi sejak awal 2025.

    Perekonomian Asean dan India akan unggul karena dorongan belanja infrastruktur yang kuat, manfaat dari relokasi rantai pasokan, dan integrasi perdagangan-investasi yang lebih besar dengan China. Namun, outlook pertumbuhan untuk tahun ini diperkirakan sedikit melambat dibandingkan dengan 2024 karena kebijakan moneter ketat dan prospek ekonomi yang moderat untuk mitra dagang utama mere—yaitu AS, kawasan euro, dan China.

    India dan Indonesia kemungkinan mengalami pertumbuhan yang tetap terjaga karena demografi yang menguntungkan dan risiko tarif oleh AS yang lebih rendah. India diperkirakan tumbuh 6,5% dan Indonesia berkisar 5,1%. Kedua negara ini diperkirakan tetap mampu mempertahankan posisinya sebagai dua negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

    Sedangkan China—dengan perkiraan pertumbuhan 4,5%—kemungkinan menanggung beban kebijakan tarif AS sehingga menuntut pemerintahnya bersiap menghadapi potensi kejatuhan dengan menyediakan stimulus tambahan agar ekonomi domestik melalui jalur konsumsi tetap bergerak ke depan.

    Bank sentral China (PBoC) diperkirakan tetap melanjutkan kebijakan moneter longgar, disinergikan dengan kebijakan fiskal ekspansif, untuk menjadi sumber pendorong terbesar pertumbuhan di tahun 2025. Suku bunga acuan yang rendah dimaksudkan untuk menggerakkan dunia usaha sekaligus memacu tingkat permintaan konsumsi domestik tanpa harus khawatir inflasi melonjak karena baseline inflasi yang amat rendah di bawah 1% .

    Pemerintah China mematok target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5%, tetapi para ekonom melihat proyeksi realistis adalah 4,5% untuk tahun ini dan 4,2% untuk 2026. Maklum, tantangan struktural China masih belum terselesaikan. Pasar real estat terus menderita kelebihan pasokan rumah yang tidak terjual atau belum selesai, menekan harga dan menciptakan efek spiral bagi bank-bank kreditur dan pemegang hipotek.

    Itulah sebabnya garis besar kebijakan ekonomi diarahkan agar mampu menahan perlambatan (disebut dengan countercyclical policy) untuk meningkatkan konsumsi dan permintaan domestik.

    CATATAN PENUTUP

    Dengan prognosis pertumbuhan ekonomi dunia berkisar 3,1%—3,2% tahun ini—ditandai tetap terjaganya momentum pertumbuhan Asia dan membaiknya ekonomi Eropa—menjadi pemicu bagi para pengambil kebijakan di setiap negara untuk menyiapkan bauran kebijakan strategis yang terarah, terukur, adaptif dan reviewable.

    Dengan melandainya inflasi global secara keseluruhan, momentum pelandaian suku bunga kebijakan juga terbuka luas, meskipun dibayang-bayangi oleh tertahannya ritme penurunan suku bunga acuan The Fed seiring dengan menguatnya ekonomi AS di bawah pemerintahan Presiden Trump yang condong “proteksionis”.

    Ekonomi Indonesia sendiri berpeluang melanjutkan momentum pertumbuhan pada rentang 5,0%—5,2% tahun ini (setelah tumbuh pada angka prognosis 5,0% tahun lalu) dengan ekspektasi inflasi sedikit menguat ke kisaran 2,0%—2,5% (setelah inflasi yang amat rendah 1,57% di tahun 2024).

    Dukungan sektor keuangan —terutama perbankan—juga akan menjadi pendorong utama aktivitas pembiayaan sektor riil dengan proyeksi pertumbuhan kredit/pembiayaan berkisar 10%—12% dan dana pihak ketiga (DPK) berkisar 6%—8%. Investasi langsung—domestik (PMDN) dan asing (PMA)—diproyeksikan meningkat ke kisaran Rp1.900 triliun—Rp2.000 triliun sehingga membuka peluang perluasan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja lebih besar.

    Kelanjutan proyek-proyek strategis nasional juga menjadi ladang pembiayaan bagi lembaga keuangan dan sebagai sumber kegiatan investasi bagi investor dan pelaku usaha sehingga berpotensi menaikkan purchasing manager indeks (PMI) manufaktur Indonesia ke atas level 50 (zona ekspansi) secara berkesinambungan.

  • Target Penerimaan Meleset, Efisiensi Wajib

    Target Penerimaan Meleset, Efisiensi Wajib

    loading…

    Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/Dok SindoNews

    Candra Fajri Ananda. Staf Khusus Menkeu RI

    PENERIMAAN negara merupakan salah satu komponen vital dalam mendukung pembangunan dan stabilitas ekonomi nasional. Setiap tahunnya, pemerintah menetapkan target pendapatan yang harus dicapai melalui berbagai sektor, seperti pajak, cukai, bea masuk/keluar, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

    Target ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebutuhan pembiayaan negara, termasuk untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan berbagai program sosial lainnya, dapat terpenuhi. Sayangnya, pencapaian target tersebut sering kali menghadapi tantangan yang memengaruhi stabilitas fiskal negara. Faktor-faktor seperti kondisi ekonomi global, dinamika perdagangan internasional, serta tingkat kepatuhan wajib pajak turut memengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pendapatan yang telah ditargetkan.

    Sepanjang tahun 2024, perekonomian global bergerak sangat dinamis, terutama dipengaruhi Elnino, meningkatnya tensi geopolitik, perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dinamika USA, pelemahan Eropa, pemilu di lebih dari 70 negara. Kondisi tersebut memicu fragmentasi, proteksionisme, terganggunya rantai pasok, voltilitas harga komoditas, tekanan terhadap inflasi, nilai tukar dan suku bunga serta stagnasi pertumbuhan ekonomi global.

    Bayang-bayang gelap ekonomi dunia kian diperparah tatkala ketidakpastian arah kebijakan moneter global masih tetap tinggi, meski tekanan inflasi mereda dan suku bunga global mulai menurun. Alhasil, situasi tersebut mutlak memicu kerentanan rantai pasok dan gejolak pasar keuangan, terutama menimbulkan tekanan nilai tukar dan suku bunga di pasar negara berkembang. Meski demikian – di tengah ketidakpastian global – perekonomian Indonesia pada tahun 2024 tetap resilien, dengan pertumbuhan ekonomi tetap kuat, inflasi yang terkendali, surplus neraca perdagangan, serta tekanan nilai tukar dan suku bunga yang relatif moderat dibanding negara lain.

    Pada perkembangannya, target penerimaan pajak, cukai, bea masuk/keluar, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Tahun 2024 yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak sepenuhnya tercapai. Meski pendapatan negara mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 2,1% dengan total realisasi Rp2.842,5 triliun, capaian tersebut masih berada di bawah ekspektasi.

    Penerimaan perpajakan yang mencapai Rp2.232,7 triliun dan tumbuh 3,6% secara tahunan – tak lepas dari tantangan – khususnya dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang mengalami penurunan akibat merosotnya profitabilitas sektor pertambangan batu bara dan industri kelapa sawit karena moderasi harga komoditas. Di sisi lain, penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai hanya mampu mencatatkan angka Rp300,2 triliun atau tumbuh 4,9% dibandingkan tahun sebelumnya.

    Peningkatan ini didorong oleh aktivitas ekspor-impor, namun masih diwarnai oleh fenomena “downtrading” pada konsumsi hasil tembakau. Pun meski penerimaan dari bea keluar menunjukkan tren positif, namun bea masuk justru mengalami tekanan akibat pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) yang mengurangi tarif efektif. Begitu juga realisasi PNBP tahun 2024 yang tercatat mencapai Rp579,5 triliun atau 117,8% dari target APBN, namun masih menunjukkan tren kontraksi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Artinya, meskipun penerimaan negara tumbuh positif, tantangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian membuat capaian tersebut belum optimal.

    Tantangan Ekonomi 2025

    Tahun 2025 diproyeksikan akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi pemerintah dalam mengamankan pendapatan negara, terutama di tengah berbagai faktor eksternal yang dapat memengaruhi kinerja ekonomi nasional. Pasalnya, di tahun 2025, situasi ekonomi global yang tidak menentu diperkirakan akan memberikan tantangan besar bagi pencapaian penerimaan negara Indonesia.

  • RI perlu reformasi struktural agar ekonomi tumbuh 8 persen

    RI perlu reformasi struktural agar ekonomi tumbuh 8 persen

    Sumber foto: Antara/elshinta.com

    Ekonom: RI perlu reformasi struktural agar ekonomi tumbuh 8 persen
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 09 Januari 2025 – 23:58 WIB

    Elshinta.com – Chief India and Indonesia Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandari mengatakan, Indonesia perlu benar-benar melakukan reformasi struktural agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dapat tercapai.

    Untuk mencapai target yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto tersebut, ia mengakui bahwa hal ini merupakan tugas yang cukup berat bagi Indonesia. Oleh sebab itu, menurut dia, tidak cukup apabila hanya mengandalkan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter saja seperti biasanya.

    “Tidak cukup hanya kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Stimulus saja tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ke tingkat tersebut. Menurut saya, reformasi struktural diperlukan, terutama dalam meningkatkan rantai nilai manufaktur. Lebih banyak hilirisasi,” kata Pranjul dalam media briefing secara hybrid, di Jakarta, Kamis.

    Pranjul menilai, Indonesia sejauh ini telah berhasil dengan meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri melalui hilirisasi industri seperti hilirisasi logam. Namun, ia juga mengingatkan agar Indonesia terus bergerak lebih jauh seperti masuk ke dalam rantai nilai global untuk produk baterai kendaraan listrik dan kendaraan listrik itu sendiri. Kemudian, ekspor produk-produk yang lebih beragam juga diperlukan.

    “Hal itu benar-benar perlu ditingkatkan. Jadi, Indonesia benar-benar perlu melakukan diversifikasi dan juga naik ke rantai nilai manufaktur. Menurut saya, itu akan menjadi penting jika ingin mendekati pertumbuhan 8 persen,” kata dia lagi.

    Pranjul memandang, Indonesia memiliki peluang misalnya untuk meningkatkan ekspor barang habis pakai (consumables) ke Amerika Serikat (AS). Apalagi, menurut dia, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS tidak begitu signifikan sehingga kecil kemungkinan berhadapan dengan ancaman tarif Donald Trump.

    “Menurut saya, ada banyak peluang yang terbuka. Tetapi Indonesia harus menyiapkan ‘panggungnya’ dengan benar dengan beberapa hal yang harus dilakukan, misalnya infrastruktur yang lebih baik dan menambah lebih banyak tenaga kerja terampil,” kata dia.

    Yang lebih penting dari itu, ujar Pranjul, Indonesia perlu mengakselerasi lebih banyak perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dan perjanjian bilateral dengan negara-negara maju. Hal ini akan membantu Indonesia dalam jangka menengah untuk meningkatkan ekspor yang beragam serta meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi.

    Terkait Indonesia yang resmi bergabung sebagai anggota penuh BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), Pranjul menilai bahwa partisipasi Indonesia ini penting untuk peluang ekonomi dalam jangka menengah.

    Namun, menurutnya, selama ini banyak negara anggota BRICS yang belum benar-benar memaksimalkan peluang kerja sama. Apabila peluang ini dapat dimaksimalkan melalui perjanjian perdagangan di antara negara anggora, maka keanggotaan BRICS ini menjadi langkah yang baik untuk meningkatkan ekspor bagi Indonesia dan meningkatkan pertumbuhan PDB riil Indonesia seiring berjalannya waktu.

    Adapun HSBC memproyeksikan pertumbuhan PDB dunia pada tahun ini kemungkinan sama seperti tahun sebelumnya, yakni sekitar 2,7 persen. Pertumbuhan ekonomi di Asia, di luar Jepang, diperkirakan tetap tangguh pada kisaran 4,4 persen pada 2025.

    Sementara pertumbuhan ekonomi di enam besar negara anggota ASEAN (ASEAN-6) diperkirakan akan mencapai 4,8 persen pada tahun ini. Dengan ketidakpastian global yang masih berlangsung, HSBC memperkirakan ekonomi Indonesia dapat tumbuh 5,1 persen pada 2025.

    Sumber : Antara

  • Ambisi Prabowo di BRICS Dibayangi Proteksionisme Trump

    Ambisi Prabowo di BRICS Dibayangi Proteksionisme Trump

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto ingin Indonesia lebih diperhitungkan dalam peta geopolitik global. Keanggotaan Indonesia di BRICS, menjadi salah satu representasi kebijakan luar negeri Prabowo. Lewat BRICS, dia ingin Indonesia kembali aktif dalam diplomasi luar negeri, termasuk berperan penting dalam mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif.

    “Pencapaian ini mencerminkan peningkatan peran aktif Indonesia dalam isu – isu global, serta komitmen untuk memperkuat kerja sama multilateral demi mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif dan berkeadilan,” demikian rilis resmi Kementerian Luar Negeri.

    Meski masuk BRICS, Indonesia tidak serta merta bersikap oposan terhadap Barat. Prabowo dalam beberapa kesempatan selalu menekankan bahwa Indonesia ingin menjalin hubungan yang baik dengan semua negara. Tidak ingin diombang-ambingkan oleh satu poros manapun. Tidak condong ke China, juga tidak terlalu pro ke Barat maupun Amerika Serikat alias AS. Ia ingin hubungan dengan kedua negara itu seimbang. Wajar jika, China dan AS menjadi dua negara yang pertama dikunjungi Prabowo usai dilantik sebagai Presiden ke 8 Indonesia.

    Donald TrumpPerbesar

    Namun demikian, keanggotaan Indonesia di BRICS bukannya tanpa risiko. Kemunculan sosok Donald Trump yang akan dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025, memicu ketidakpastian terkait kebijakan luar negeri AS, termasuk sikapnya terhadap BRICS. Apalagi, Trump juga telah mengancam akan menaikan tarif hingga 100%, jika negara-negara BRICS melanjutkan program dedolarisasi atau menciptakan mata uang sendiri.

    Trump selama ini dikenal sebagai seorang yang sangat konservatif dan memiliki sikap keras terhadap segala hal yang berpotensi menganggu kepentingan AS. Proteksionisme Trump para periode pertama memimpin AS, melalui instrumen tarif, pernah terbukti memicu gejolak dalam ekonomi global.

    Hubungan antara AS dan China memanas. IMF pada tahun 2018-2019, sampai harus mengoreksi proyeksi dan memperkirakan ekonomi global melemah 0,2%. Pelemahan ekonomi global itu ikut berimplikasi terhadap realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melemah dari 5,17% pada 2018 menjadi 5,02% pada tahun 2019.

    Selain itu, Indonesia juga hampir saja terkena aksi retaliasi dari pemerintahan Trump, karena menerbitkan aturan pajak digital. Aturan ini akan memperlakukan perusahaan yang melakukan perdagangan menggunakan sistem elektronik (PMSE), sebagai subjek pajak berdasarkan significant economic presense. Mereka harus membayar pajak penghasilan bukan PPN ke otoritas lahan Indonesia. Sasaran utamanya adalah perusahaan over the top multinasional, yang mayoritas berasal dari AS.

    Aturan pajak digital Indonesia itu kemudian masuk dalam daftar investigasi otoritas perdagangan AS. Namun demikian, setelah pemerintahan Trump berakhir dan diganti dengan Joe Biden, isu tentang aturan pajak digital tidak lagi terdengar. Di sisi lain, pemerintah Indonesia sendiri juga tidak bersifat aktif untuk menarik pajak dari perusahaan multinasional asal AS. Pasalnya, aturan turunannya sampai sekarang juga belum diterbitkan oleh pemerintah.

    Presiden Prabowo SubiantoPerbesar

    Kini, peta politik AS dan Indonesia sama-sama sudah berubah. Trump dan Prabowo, sejatinya memiliki kesamaan untuk melindungi kepentingan nasional. Prabowo, misalnya berulangkali menekankan tidak terlalu mempedulikan dengan status G20 dan tetek bengek-nya. Dia juga ingin kembali menegaskan mazhab politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, tidak dikendalikan oleh asing, salah satunya dengan masuk sebagai anggota kelompok negara BRICS.

    Trump juga menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya. Slogannya yang terkenal ‘Make America Great Again’. Dia akan memperketat imigrasi. Menerapkan kebijakan proteksionis dan ekonomi agresif yang bisa berimplikasi terhadap hubungan dengan Indonesia yang kini telah tercatat sebagai anggota penuh BRICS. “Gagasan bahwa Negara-negara BRICS mencoba untuk menjauh dari dolar sementara kita berdiri dan menonton sudah berakhir,” kata Trump.

    Hubungan Dagang Indonesia dan AS

    Indonesia memiliki hubungan dagang yang cukup kuat dengan AS. Neraca perdagangan Indonesia dengan AS tercatat surplus. AS juga merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia, setelah China.

    Pada periode Januari – November 2024, defisit perdagangan AS dengan Indonesia mencapai US$16,3 miliar. Itu artinya AS memberikan keuntungan secara ekonomi bagi Indonesia.

    Data Neraca Perdagangan AS terhadap RI 2020-2024

    Tahun
    Ekspor
    Impor
    Defisit

    2020
    7.383
    20.198,2
    12.815,2

    2021
    9.380,8
    27.048
    17.667,3

    2022
    9.836
    34.542,8
    24.706,8

    2023
    9.838,3
    26.798,4
    16.960

    2024*
    9.236,9
    25.611,3
    16.374

    (dalam juta US$, 2024 Januari-November) sumber:Cencus.gov

    Menariknya angka yang disajikan oleh otoritas data AS dengan Badan Pusat Statistik (BPS) agak berbeda. BPS mencatat ada tahun 2021, surplus neraca perdangan antara Indonesia dengan AS mencapai US$14,5 miliar. Tahun 2022, terjadi lonjakan surplus hingga mencapai US$16,5 miliar. Namun pada tahun 2023, surplus negara perdagangan Indonesia dengan AS menyusut menjadi US$11,9 miliar.

    Pada tahun 2024, data sampai November, ekspor nonmigas Indonesia ke AS tercatat mencapai US$23,8 miliar. Adapun surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS dari Januari-November 2024 kalau mengacu kepada data Cencus.gov mencapai US$16,3 miliar.

    Dengan porsi hubungan dagang antara Indonesia dan AS yang cukup besar, pemerintah tetap perlu berhati-hati mengambil kebijakan luar negerinya. Salah mengambil dosis kebijakan, bisa menjadi bencana bagi perekonomian Indonesia.

    Direktur Desk China-Indonesia Celios Muhammad Zulfikar Rakhmat mengingatkan bahwa Trump merupakan pemimpin yang kerap membuktikan ucapannya. Tanpa kehati-hatian dalam mengambil keputusan bisa jadi bumerang bagi ekonomi Indonesia. “Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS,” ungkap Zulfikar.

    Di sisi lain, politikus Gerindra yang juga keponakan Prabowo Subianto, Budisatrio Djiwandono menegaskan bahwa keanggotaan di BRICS bukanlah langkah konfrontasi RI dengan Barat. Keanggotaan Indonesia di BRICS ini bukan bentuk konfrontasi dengan pihak manapun. Seperti pesan Presiden Prabowo, bahwa ‘seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.”

  • Trump Mau Umumkan Darurat Ekonomi buat Terapkan Tarif Impor

    Trump Mau Umumkan Darurat Ekonomi buat Terapkan Tarif Impor

    Jakarta

    Langkah ekstrem mau dilakukan Donald Trump usai dilantik jadi Presiden Amerika Serikat (AS). Dia mengatakan sedang mempertimbangkan untuk mendeklarasikan keadaan darurat ekonomi nasional.

    Mengutip CNN, Kamis (9/1/2025), langkah ini mau diambil Trump demi memberikan justifikasi hukum untuk mengotak-atik tarif perdagangan pada negara sekutu dan musuh. Saat sudah menjabat, Trump disebut memiliki rencana besar untuk mengatur ulang neraca perdagangan global AS.

    Deklarasi keadaan darurat ekonomi nasional memungkinkan Trump untuk menyusun program tarif perdagangan baru dengan menggunakan Undang-Undang Kekuasaan Darurat Ekonomi Internasional. Kebijakan ini secara sepihak memberi wewenang kepada Presiden AS untuk mengelola impor selama keadaan darurat nasional.

    Trump dinilai menyukai undang-undang tersebut karena memberikan yurisdiksi yang luas atas bagaimana tarif diterapkan tanpa persyaratan ketat. Hal itu membuktikan bahwa tarif perdagangan diperlukan atas dasar keamanan nasional.

    Pada 2019, Trump sempat menggunakan perangkat kebijakan yang sama untuk mengenakan tarif 5% pada semua impor dari Meksiko, bahkan dia mengancam menaikkan tarif menjadi 25% jika Meksiko tidak mengurangi jumlah imigran tanpa dokumen yang melintasi perbatasan AS.

    Setelah pejabat Meksiko melakukan perjalanan ke Washington selama seminggu untuk melakukan negosiasi langsung, kesepakatan dicapai untuk memberlakukan kembali kebijakan imigrasi. Ketegangan mereda dan tarif itu tidak pernah diterapkan.

    Belum ada keputusan akhir yang dibuat tentang apakah pemerintahannya akan mengumumkan keadaan darurat nasional. Intinya, tim Trump masih menjajaki jalur hukum lain untuk mendukung tarif yang diajukan saat kampanye.

    Para penasihat Trump sedang mengevaluasi kemungkinan penggunaan pasal 338 undang-undang perdagangan AS, yang memungkinkan presiden untuk mengenakan bea baru atau tambahan terhadap negara-negara yang dianggap melakukan diskriminasi terhadap perdagangan AS.

    Dalam kasus tersebut, undang-undang perdagangan mengizinkan presiden untuk mengenakan tarif baru sebagai balasan langsung terhadap negara-negara tersebut dalam kategori produk tertentu. Mereka juga mempertimbangkan untuk meninjau kembali undang-undang perdagangan yang mengawali tarif awal Trump terhadap China atas dasar keamanan nasional.

    (hal/ara)

  • BRICS buka akses RI dapat minyak mentah murah dengan Rusia

    BRICS buka akses RI dapat minyak mentah murah dengan Rusia

    Sumber foto: Antara/elshinta.com

    Ekonom: BRICS buka akses RI dapat minyak mentah murah dengan Rusia
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 08 Januari 2025 – 17:48 WIB

    Elshinta.com – Ekonom dan pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, keanggotaan resmi Indonesia dalam BRICS dapat membuka peluang untuk mengakses minyak mentah Rusia dengan harga yang lebih murah.

    Hal ini menimbang posisi Rusia sebagai salah satu produsen minyak mentah utama dunia yang tengah menghadapi embargo dari beberapa negara Barat.

    Dengan keanggotaan BRICS, Indonesia mendapatkan potensi keuntungan khususnya dalam mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas (migas).

    “Keuntungan utama dari perdagangan minyak dengan Rusia adalah potensi harga yang lebih murah dibandingkan harga pasar internasional. Embargo Barat terhadap minyak Rusia telah mendorong negara tersebut untuk menawarkan minyaknya ke pasar non-Barat dengan diskon yang signifikan,” ujar Achmad kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

    Selain itu, Achmad juga menyoroti peluang kolaborasi yang lebih luas di sektor energi.

    Kerja sama kedua negara dapat membuka jalan untuk investasi dalam infrastruktur energi, pengembangan teknologi, dan transfer pengetahuan. Langkah ini mampu mendukung diversifikasi energi Indonesia dalam jangka panjang.

    Namun, Achmad mengingatkan bahwa kerja sama ini tidak terlepas dari risiko.

    Mengingat adanya embargo dan sanksi yang diterapkan negara-negara Barat terhadap Rusia, salah satu tantangan utama adalah terbatasnya akses Rusia ke sistem pembayaran global seperti SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) yang dapat menyulitkan transaksi perdagangan.

    Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu mencari mekanisme pembayaran alternatif, seperti penggunaan mata uang lokal atau sistem pembayaran khusus. Namun, langkah ini juga berisiko memicu ketegangan diplomatik dengan negara-negara Barat yang juga merupakan mitra strategis Indonesia.

    Lebih lanjut, Achmad juga menyoroti risiko reputasi yang dapat memengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat.

    “Terlibat dalam perdagangan minyak dengan Rusia di tengah situasi geopolitik yang kompleks dapat dipersepsikan sebagai dukungan terhadap kebijakan luar negeri Rusia yang kontroversial. Hal ini dapat memengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, terutama di Barat, yang mungkin melihat langkah ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap Rusia,” tutur Achmad.

    Guna memitigasi risiko, Achmad menyarankan pemerintah Indonesia memastikan bahwa kerja sama energi dengan Rusia dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan transparansi.

    Kebijakan yang jelas perlu dirancang untuk mengelola risiko, termasuk langkah mitigasi untuk menghadapi dampak negatif dari sanksi atau tekanan diplomatik ke depan.

    Ia menambahkan, kerja sama ini harus dilakukan dalam kerangka yang mendukung kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

    “Pada akhirnya, membuka perdagangan minyak dengan Rusia melalui BRICS memang berpotensi membantu menyeimbangkan defisit neraca perdagangan migas Indonesia dan menurunkan biaya energi domestik. Namun, kerja sama ini juga menuntut perencanaan yang matang, diplomasi yang hati-hati, dan komitmen untuk menjaga prinsip independensi kebijakan luar negeri Indonesia,” tutupnya.

    Sumber : Antara