Topik: neraca perdagangan

  • Mengapa Nilai Tukar Rupiah Bisa Naik dan Turun? Ini Sebabnya

    Mengapa Nilai Tukar Rupiah Bisa Naik dan Turun? Ini Sebabnya

    Nilai tukar memiliki peran krusial dalam tingkat perdagangan suatu negara. Faktor ini sangat penting bagi hampir semua negara yang menerapkan ekonomi pasar bebas.

    Oleh karena itu, nilai tukar menjadi salah satu indikator ekonomi yang paling diperhatikan dan dianalisis oleh pemerintah. Selain itu, nilai tukar juga berpengaruh pada tingkat yang lebih kecil, yaitu berdampak pada hasil nyata dari portofolio investor.

    Indikator kesehatan nilai rupiah dapat dilihat dari pergerakannya, baik naik maupun turun. Namun, ada berbagai alasan yang mendasari fluktuasi nilai rupiah.

    Berikut alasan mengapa nilai tukar rupiah bisa naik dan turun yang menarik diketahui.

    1. Inflasi

    Alasan nilai rupiah dapat naik atau turun yang pertama adalah inflasi. Ketika harga barang dan jasa meningkat secara terus-menerus dalam jangka waktu lama, kondisi ini disebut inflasi.

    Inflasi yang tinggi mengurangi daya beli, sehingga penggunaan dan perputaran rupiah menjadi berkurang. Hal ini juga berdampak negatif pada daya saing produk ekspor Indonesia.

    2. Perbedaan suku bunga

    Turunnya nilai rupiah juga dapat disebabkan oleh perbedaan suku bunga. Investor cenderung mencari bunga bank yang lebih tinggi untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih baik.

    Jika bunga bank di dalam negeri lebih tinggi dibandingkan negara lain, hal ini dapat meningkatkan nilai rupiah.

    3. Neraca perdagangan

    Neraca perdagangan merupakan faktor lain yang memengaruhi nilai rupiah. Ini adalah selisih antara nilai ekspor dan impor dalam periode tertentu.

    Jika ekspor lebih tinggi dari impor, negara mengalami surplus. Sebaliknya, jika impor lebih tinggi, terjadi defisit. Defisit neraca perdagangan dapat menurunkan nilai tukar rupiah karena meningkatnya permintaan untuk mata uang asing.

    4. Stabilitas politik dan ekonomi

    Petugas menghitung mata uang rupiah di Ayu Masagung Money Changer, Jakarta, Senin (26/8/2024). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

    Nilai rupiah juga dipengaruhi oleh stabilitas politik dan ekonomi. Faktor-faktor seperti kebijakan pemerintah hingga kondisi konflik geopolitik berperan penting dalam menentukan nilai mata uang. Agar nilai mata uang tetap stabil, negara perlu memiliki kebijakan yang mendukung perekonomian dan menjaga perdamaian.

    5. Jumlah utang negara

    Jumlah utang negara Indonesia juga dapat memengaruhi nilai rupiah. Penambahan utang di saat utang yang sudah banyak dapat menimbulkan kekhawatiran bagi investor. Ketika investor merasa tidak yakin, mereka cenderung menahan diri dari berinvestasi, yang bisa menyebabkan penurunan nilai rupiah.

    6. Kebijakan ekonomi di negara lain

    Kebijakan ekonomi negara lain juga berkontribusi terhadap penurunan nilai rupiah. Misalnya, jika Amerika Serikat (AS) mengalami krisis dan mencetak lebih banyak Dolar, nilai dolar bisa menurun, dan investor asing mungkin lebih memilih untuk berinvestasi di negara lain.

    Namun, ketika ekonomi AS membaik, nilai dolar dapat meningkat dan menarik investor untuk kembali, sehingga memengaruhi nilai rupiah.

    7. Defisit negara

    Defisit yang dialami suatu negara dapat menyebabkan penurunan nilai rupiah. Kondisi ini terjadi ketika suatu negara lebih banyak menaruh aktivitas pada perdagangan asing dengan pemasukan dana yang bernilai rendah, sehingga hal ini akan memicu defisit.

    Untuk menutupi kekurangan tersebut, Indonesia mungkin meminta modal dari negara lain. Hal ini bisa membuat investor asing menarik modal dari Indonesia, sehingga nilai rupiah berkurang.

    Demikianlah beberapa alasan kenapa nilai tukar rupiah bisa naik dan turun.

  • Kemendag Catat Nilai Ekspor RI Tembus Rp4.335 Triliun pada 2024

    Kemendag Catat Nilai Ekspor RI Tembus Rp4.335 Triliun pada 2024

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) melaporkan total nilai ekspor Indonesia mencapai US$264,70 milliar atau sekitar Rp4.335 triliun (asumsi kurs Rp16.380 per dolar AS) sepanjang 2024. Nilainya naik 2,29% dibandingkan 2023.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso memaparkan nilai ekspor nonmigas mencapai US$248,83 miliar atau naik 2,46% dibanding 2023. Adapun, kenaikan ekspor nonmigas secara tahunan terjadi pada sektor pertanian dan industri. Sementara itu, ekspor sektor pertambangan menurun.

    “Sektor dengan peningkatan ekspor paling signifikan dibanding tahun sebelumnya terjadi pada sektor pertanian sebesar 29,81%, diikuti industri 5,33%. Sedangkan, ekspor sektor pertambangan turun 10,2%,” kata Budi dalam keterangan tertulis, dikutip pada Sabtu (18/1/2025).

    Beberapa produk utama ekspor nonmigas dengan kenaikan tertinggi pada tahun di antaranya kakao dan olahannya (HS 18) sebesar 118,63%, barang dari besi dan baja (HS 73) 101,10%, aluminium dan barang daripadanya (HS 76) 70,07%.

    Kemudian, kopi, teh, dan rempah-rempah (HS 09) 67,27%. Serta, tembaga dan barang daripadanya (HS 74) 51,11% (CtC).

    Dari sana, Budi menyampaikan bahwa China, Amerika Serikat (AS), dan India masih menjadi pasar utama ekspor nonmigas Indonesia pada 2024 dengan nilai mencapai US$106,86 miliar. Ketiga negara ini berkontribusi sebesar 42,94% dari total ekspor nonmigas nasional.

    Sementara itu, ekspor nonmigas Indonesia ke beberapa negara pada 2024 dengan peningkatan terbesar antara lain, ke Australia sebesar 60,58%, Rusia 44,04%, Brasil 34,84%, Turki 25,97%, dan Vietnam 25,04%.

    Lebih lanjut, dia mengungkap bahwa kawasan tujuan ekspor nonmigas yang meningkat signifikan terdiri dari Eropa Timur dengan 113,92%, Australia 60,58%, dan AS 20,37%.

    Untuk periode Desember tahun lalu, total ekspor Indonesia mencapai US$23,46 miliar, atau turun 2,24% dibanding ekspor November 2023. Namun, nilai ini naik 4,78% dibanding Desember 2023.

    Nilai ekspor nonmigas Desember 2024 tercatat sebesar US$21,92 miliar dan migas US$1,54 miliar. Di mana, terjadi peningkatan nilai ekspor nonmigas Desember 2024 sebesar 4,83% jika dibandingkan dengan Desember 2023.

    Secara keseluruhan, Mendag Budi menuturkan bahwa Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$31,04 miliar pada 2024. Surplus tersebut dihasilkan dari surplus nonmigas sebesar US$51,44 miliar dan defisit migas sebesar US$20,4 miliar. Artinya, surplus tahunan ini melanjutkan tren surplus untuk lima tahun berturut-turut sejak 2020.

    “Surplus ini telah mencapai target surplus neraca perdagangan untuk 2024, yaitu US$30,30 miliar—US$38,80 miliar. Surplus tahun ini melanjutkan tren surplus tahunan selama lima tahun terakhir sejak 2020,” pungkasnya.

  • Kemendag Beberkan Dampak Kemenangan Trump ke Perdagangan RI

    Kemendag Beberkan Dampak Kemenangan Trump ke Perdagangan RI

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2024 memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia. 

    Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kemendag Rusmin Amin menyampaikan Trump dalam kampanyenya mengusulkan tarif impor di kisaran 60%-100% untuk barang-barang dari China serta tambahan tarif sebesar 10%-20% terhadap semua barang yang masuk ke AS.

    “Adanya kebijakan tersebut diperkirakan akan berdampak pada perdagangan Indonesia,” kata Rusmin kepada Bisnis, dikutip Sabtu (18/1/2025).

    Rusmin menuturkan peningkatan tarif dan hambatan perdagangan antara kedua negara dapat mengurangi permintaan terhadap produk-produk yang diekspor oleh Indonesia ke China dan AS. 

    Secara langsung, tarif impor yang lebih tinggi di pasar AS dapat berdampak pada penurunan kinerja produk/eksportir Indonesia yang bergantung dengan pasar AS.

    Selain itu, kata dia, ketidakpastian global yang diakibatkan oleh potensi perang dagang antara kedua negara akan memicu menurunnya permintaan global. “Kondisi ini dapat memengaruhi ekspor Indonesia ke negara-negara lain,” ujarnya.

    Dampak lainnya, lanjut dia, impor produk China di pasar Indonesia berpotensi melonjak, utamanya produk-produk China yang tidak dapat masuk ke pasar AS. Dengan kata lain, China akan mengalihkan pasarnya ke Indonesia.

    Kendati begitu, Rusmin menilai hal tersebut juga dapat menjadi peluang bagi Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia dapat menjadi alternatif supplier dan investasi bagi perusahaan AS yang ingin mengurangi ketergantungan pada China.

    Sebagai gambaran, Rusmin menuturkan bahwa pada masa pemerintahan Trump (2017-2020), rata-rata surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS sebesar US$9,14 miliar. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan dibandingkan surplus pada era pemerintahan Biden (2021-2023) yang rata-rata mencapai US$14,36 miliar.

    Pada 2024, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat mencapai US$14,34 miliar, lebih tinggi dibandingkan tahun lalu sebesar US$11,97 miliar. 

    Hal yang sama juga terjadi pada kinerja ekspor. Pada pemerintahan Trump, kinerja nilai ekspor rata-rata Indonesia ke AS senilai US$18,18 miliar, lebih rendah dibandingkan ketika pemerintahan Biden dengan rata-rata nilai ekspor sebesar US$25,74 miliar. 

    Pada tahun 2024 (angka sementara), nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai US$26,31 miliar, meningkat 13,18% (Year on Year/YoY).

    Di sisi lain, Rusmin menyebut bahwa pemerintah berupaya menyiapkan beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi pelemahan ekspor pasca kemenangan Trump.

    Di antaranya, diversifikasi pasar ekspor, memperkuat daya saing dan pengamanan pasar dalam negeri, meningkatkan akses pasar melalui perjanjian perdagangan, dan melakukan upaya untuk memanfaatkan peluang dari perang dagang.

    “Kemendag juga akan mencoba melakukan pendekatan melalui kerja sama bilateral agar tarif dapat diturunkan dan produk lokal Indonesia mampu menembus pasar AS,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Rusmin menyebut bahwa Indonesia juga akan meningkatkan keikutsertaan dalam Global Value Chain (GVC) dengan memberikan nilai tambah dan kemudahan dalam melakukan produksi dan berbisnis di Tanah Air. Hal ini dilakukan untuk menarik investor global brand agar dapat memindahkan basis produksinya ke Indonesia.

  • Jelang Pelantikan Trump, Neraca Dagang RI Diramal US Miliar pada Kuartal I/2025

    Jelang Pelantikan Trump, Neraca Dagang RI Diramal US$7 Miliar pada Kuartal I/2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) memperkirakan neraca perdagangan Indonesia pada kuartal I/2025 mencapai US$6 miliar – US$7 miliar.

    Kendati begitu, Ekonom LPEM UI Teuku Riefky menyampaikan bahwa proyeksi tersebut masih sangat dinamis lantaran pihaknya belum mengetahui kebijakan apa yang akan dikeluarkan oleh Donald Trump usai dilantik sebagai Presiden AS.

    “Proyeksi neraca dagang di kuartal I/2025 ini mungkin kita melihat bisa mencapai US$6-7 miliar, tapi ini memang masih sangat dinamis ya angkanya,” kata Riefky kepada Bisnis, dikutip Sabtu (18/1/2025).

    Dia mengatakan, Trump dalam kampanyenya sempat menyatakan akan memberlakukan tarif impor di kisaran 60%-100% untuk barang-barang dari China serta tambahan tarif sebesar 10%-20% terhadap semua barang yang masuk ke AS.

    Menurutnya, dengan Indonesia bergabung ke dalam BRICS – aliansi negara yang dibentuk oleh Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan – hal ini dapat menjadi risiko tambahan untuk neraca perdagangan Indonesia usai kemenangan Trump. 

    “Dengan Indonesia bergabung ke BRICS, tentu ini menjadi risiko tambahan untuk neraca perdagangan Indonesia,” pungkasnya.

    Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) optimistis dapat mencapai target ekspor senilai US$294,45 miliar tahun ini, meski ada ancaman perang dagang antara AS-China pascakemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) AS.

    Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kemendag Rusmin Amin menyampaikan optimistis itu sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.

    “Kemendag optimistis dapat mencapai target nilai ekspor US$294,45 miliar dengan pertumbuhan 7,1% pada 2025,” kata Rusmin kepada Bisnis.

    Pihaknya juga berupaya menyiapkan beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi pelemahan ekspor usai kemenangan Trump.

    Di antaranya, diversifikasi pasar ekspor, memperkuat daya saing dan pengamanan pasar dalam negeri, meningkatkan akses pasar melalui perjanjian perdagangan, dan melakukan upaya untuk memanfaatkan peluang dari perang dagang.

    “Kemendag juga akan mencoba melakukan pendekatan melalui kerja sama bilateral agar tarif dapat diturunkan dan produk lokal Indonesia mampu menembus pasar AS,”  tuturnya.

    Lebih lanjut, Rusmin menyebut bahwa Indonesia juga akan meningkatkan keikutsertaan dalam Global Value Chain (GVC) dengan memberikan nilai tambah dan kemudahan dalam melakukan produksi dan berbisnis di Tanah Air. Hal ini dilakukan untuk menarik investor global brand agar dapat memindahkan basis produksinya ke Indonesia.

  • Kemendag Optimistis Capai Target Ekspor 2025 di Tengah Ancaman Perang Dagang AS-China

    Kemendag Optimistis Capai Target Ekspor 2025 di Tengah Ancaman Perang Dagang AS-China

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) optimistis dapat mencapai target ekspor senilai US$294,45 miliar tahun ini, meski ada ancaman perang dagang antara AS-China pasca kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) AS.

    Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kemendag Rusmin Amin menyampaikan, optimistis itu sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.

    “Kemendag optimistis dapat mencapai target nilai ekspor US$294,45 miliar dengan pertumbuhan 7,1% pada 2025,” kata Rusmin kepada Bisnis, dikutip Sabtu (18/1/2025).

    Rusmin mengakui, kemenangan Trump memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Apalagi dalam kampanyenya, Trump mengusulkan tarif impor di kisaran 60%-100% untuk barang-barang dari China serta tambahan tarif sebesar 10%-20% terhadap semua barang yang masuk ke AS.

    Rusmin mengatakan, peningkatan tarif dan hambatan perdagangan antara kedua negara dapat mengurangi permintaan terhadap produk-produk yang diekspor oleh Indonesia ke China dan AS. 

    Secara langsung, tarif impor yang lebih tinggi di pasar AS dapat berdampak pada penurunan kinerja produk/eksportir Indonesia yang bergantung dengan pasar AS.

    Selain itu, kata dia, ketidakpastian global yang diakibatkan oleh potensi perang dagang antara kedua negara akan memicu menurunnya permintaan global. 

    “Kondisi ini dapat memengaruhi ekspor Indonesia ke negara-negara lain,” ujarnya.

    Dampak lainnya, lanjut dia, impor produk China di pasar Indonesia berpotensi melonjak, utamanya produk-produk China yang tidak dapat masuk ke pasar AS. Dengan kata lain, China akan mengalihkan pasarnya ke Indonesia.

    Kendati begitu, pemerintah meyakini bahwa tantangan tersebut tidak menghambat Indonesia dalam mencapai target ekspor di 2025. 

    Untuk mencapai target tersebut, Rusmin menuturkan bahwa pihaknya memiliki fokus program yaitu perluasan pasar ekspor dengan meningkatkan pangsa pasar produk ekspor Indonesia di pasar global dan peningkatan UMKM ‘Berani Inovasi, Siap Adaptasi (BISA) Ekspor’ untuk mendorong kontribusi ekspor UMKM terhadap ekspor nasional.

    Di sisi lain, pemerintah juga meyakini bahwa neraca perdagangan Indonesia tahun ini masih mencatatkan surplus seiring dengan target ekspor US$294,45 miliar di 2025.

    Tahun ini, Rusmin mengharapkan terjadi peningkatan permintaan terhadap produk-produk Indonesia, utamanya komoditas dan produk manufaktur serta masuknya investasi yang dapat meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing produk dalam negeri.

  • Pemerintah Mau Kurangi Impor LPG yang Tembus 7 Juta Ton Per Tahun – Halaman all

    Pemerintah Mau Kurangi Impor LPG yang Tembus 7 Juta Ton Per Tahun – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah tengah berupaya mengurangi impor Liquefied Petroleum Gas (LPG).

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang juga Ketua Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa impor LPG Indonesia mencapai 7 juta ton per tahun.

    “Impor kita sekitar 6-7 juta ton per tahun,” katanya di kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (17/1/2025).

    Sementara itu, kebutuhan konsumsi LPG Indonesia mencapai 8 juta ton per tahun. Produksi dalam negeri hanya sebesar 1,4 juta ton.

    Maka dari itu, Presiden Prabowo Subianto telah memberi arahan untuk mempercepat proses pengurangan impor dengan mengembangkan industri dalam negeri.

    Beberapa upaya pengembangan industri dalam negeri antara lain adalah dengan memanfaatkan gas C3 (propane) dan C4 (butana) serta mendorong  jaringan gas untuk rumah rakyat.

    “Nah caranya adalah kita membangun LPG dengan mempergunakan gas C3-C4, kurang lebih sekitar 1,7 juta ton yang sudah ada,” ujar Bahlil.

    “Selebihnya kita akan dorong pada gasifikasi untuk jargas, jaringan gas kepada rumah rakyat,” sambungnya.

    Sebelumnya, Bahlil pernah mengungkap bahwa saat ini Indonesia mengeluarkan devisa yang signifikan untuk impor LPG, sekitar Rp 450 triliun keluar setiap tahun untuk membeli minyak dan gas, termasuk LPG.

    Hal ini berdampak langsung pada neraca perdagangan dan pembayaran negara, sehingga pembangunan industri domestik dianggap sebagai solusi yang tepat untuk mengurangi beban tersebut.

    Untuk pengembangan jaringan gas rumah tangga sebagai bagian dari upaya pelayanan pemerintah kepada masyarakat, saat ini Bahlil menyebut pemerintah tengah membangun pipa gas dari Aceh hingga Pulau Jawa.

    “Ini sebagai bagian daripada instrumen untuk memediasi ketika gas kita di Jawa lebih banyak, bisa kita kirim ke Aceh atau ke Sumatera. Atau gas kita di Sumatera lebih banyak bisa kita kirim ke Pulau Jawa,” ujar Bahlil dalam keterangannya, Kamis (12/9/2024).

    Lebih lanjut, untuk mendorong investasi di sektor hulu migas, Pemerintah sedang merumuskan langkah-langkah komprehensif yang melibatkan penyederhanaan regulasi perizinan.

    “Perizinan kita terlalu banyak. Ada kurang lebih sekitar 300 lebih izin. Nah ini kita akan pangkas, kita akan potong,” kata Bahlil.

    Selain penyederhanaan perizinan, Bahlil menekankan pentingnya memberikan insentif menarik bagi investor di sektor hulu minyak dan gas.

    “Kita akan memperhatikan sweetener-sweetener yang mumpuni untuk kemudian bisa kita menawarkan kepada investor. Kemudian kita akan bicara sama K3S untuk sharing masalah dan sharing pendapatan dengan baik” pungkasnya.

  • Neraca Perdagangan Indonesia Surplus 5 Tahun Beruntun

    Neraca Perdagangan Indonesia Surplus 5 Tahun Beruntun

    Indonesia kembali mencatatkan surplus perdagangan pada 2024, melanjutkan tren yang sama selama lima tahun berturut-turut. Surplus perdagangan Indonesia sepanjang 2024 tercatat sebesar 31,04 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

    Posisi surplus ini mengalami penurunan dibandingkan dengan surplus pada 2023 yang mencapai 36,89 miliar dolar AS. Meski menurun, volume perdagangan ekspor maupun impor mengalami peningkatan dibanding tahun lalu. Hal itu menunjukkan dampak moderasi harga komoditas global yang cukup kuat sepanjang 2024.

    “Surplus perdagangan yang kita capai untuk tahun kelima ini mencerminkan ketahanan yang baik dari perekonomian Indonesia. Penurunan nilai surplus terutama disebabkan oleh tren moderasi harga komoditas global pada 2024,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dikutip dari keterangan resmi, Kamis (16/1).

    Ekspor Indonesia 2024 didominasi sektor nonmigas

    Kinerja ekspor Indonesia pada 2024 juga menunjukkan hasil positif. Nilai total ekspor tercatat mencapai 264,70 miliar dolar AS, naik 2,29% dibandingkan pada 2023. Volume ekspor mengalami kenaikan sebesar 5,37% (year-on-year/YoY).

    Peningkatan ini didorong terutama oleh ekspor nonmigas, khususnya dari sektor industri pengolahan yang berkontribusi sebesar 74,25% terhadap total ekspor nonmigas Indonesia. Hal ini mencerminkan perkembangan positif dalam industri manufaktur.

    Komoditas ekspor utama pada 2024 didominasi oleh bahan bakar mineral (HS27), lemak dan minyak nabati (HS15), serta besi dan baja (HS72). Kontribusi masing-masing sektor tersebut sebesar 15,94%, 10,78%, dan 10,37% terhadap total ekspor nonmigas.

    Adapun Cina tetap menjadi tujuan ekspor utama Indonesia dengan kontribusi sebesar 26,40%. Lalu, diikuti oleh Amerika Serikat dan Jepang dengan kontribusi masing-masing sebesar 11,22% dan 6,59%.

    Impor Indonesia pada 2024 juga meningkat

    Seiring dengan ekspor, kinerja impor Indonesia juga tercatat meningkat pada 2024, baik dari sisi nilai (naik 11,07% YoY) maupun volume (naik 3,37% YoY). Nilai impor tercatat sebesar 233,66 miliar dolar AS, didominasi oleh impor bahan baku/penolong dan barang modal yang menyumbang 90,28% dari total impor.

    Kenaikan impor ini berhubungan dengan peningkatan sektor industri pengolahan yang tercermin dari peningkatan kinerja ekspor. Berdasarkan komoditas, impor mesin atau perlengkapan elektrik dan mesin mekanis tercatat mengalami pertumbuhan. Sementara impor besi dan baja mengalami penurunan.

    Febrio menungkapkan, capaian ini memperkuat optimisme bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% dapat tercapai pada tahun 2024.

    “Ke depan, Pemerintah berkomitmen untuk terus mendorong keberlanjutan hilirisasi sumber daya alam, meningkatkan daya saing produk ekspor nasional, serta memperluas diversifikasi mitra dagang utama. Langkah-langkah ini sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah tantangan dan ketidakpastian global yang semakin kompleks,” tutup Febrio.

  • Surplus neraca perdagangan di 2024 dukung ketahanan eksternal

    Surplus neraca perdagangan di 2024 dukung ketahanan eksternal

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    BI: Surplus neraca perdagangan di 2024 dukung ketahanan eksternal
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 16 Januari 2025 – 00:03 WIB

    Elshinta.com – Bank Indonesia (BI) memandang bahwa surplus neraca perdagangan Indonesia pada 2024 positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut.

    Hal itu disampaikan BI untuk merespons rilis data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang diumumkan pada Rabu.

    “Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lain guna meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso, di Jakarta, Rabu.

    Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2024 tercatat surplus 31,04 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Sebelumnya pada 2023, neraca perdagangan Indonesia juga surplus sebesar 36,89 miliar dolar AS.

    Adapun pada Desember 2024, surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai 2,24 miliar dolar AS. Capaian ini melanjutkan capaian surplus pada November 2024 sebesar 4,37 miliar dolar AS.

    Surplus neraca perdagangan yang berlanjut terutama bersumber dari surplus neraca perdagangan nonmigas yang tetap baik.

    Neraca perdagangan nonmigas Desember 2024 mencatat surplus sebesar 4,0 miliar dolar AS. Hal ini juga seiring dengan tetap kuatnya ekspor nonmigas sebesar 21,92 miliar dolar AS.

    Kinerja positif ekspor nonmigas tersebut didukung oleh ekspor komoditas berbasis sumber daya alam seperti logam mulia dan perhiasan/permata serta bahan bakar mineral, maupun ekspor produk manufaktur seperti berbagai produk kimia serta kendaraan dan bagiannya.

    Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke Tiongkok, Amerika Serikat, dan India tetap menjadi kontributor utama ekspor Indonesia.

    Adapun defisit neraca perdagangan migas tercatat meningkat menjadi sebesar 1,76 miliar dolar AS pada Desember 2024, sejalan dengan peningkatan impor migas yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan ekspor migas.

    Sumber : Antara

  • Ekonom: Kebijakan Trump Berpotensi Picu Perlambatan Ekonomi Global

    Ekonom: Kebijakan Trump Berpotensi Picu Perlambatan Ekonomi Global

    Bisnis.com, JAKARTA – Perekonomian global diperkirakan menghadapi tantangan berat usai Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat. Pasalnya, Trump dinilai memiliki hubungan yang buruk dengan China sehingga bakal berdampak terhadap ketidakpastian perekonomian global.

    Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyampaikan, kondisi ini akan membuat perekonomian China semakin tertekan dan menyebabkan ekonomi negara lain terhambat termasuk Indonesia.

    “Kebijakan Trump berupa American First, bisa menghambat arus masuk produk ke pasar domestik AS. Barang tekstil Indonesia juga bisa semakin tertekan,” kata Nailul kepada Bisnis, Rabu (15/1/2025).

    Bagi Indonesia, kinerja ekspor nasional akan terganggu, baik ke China maupun ke AS. Nailul menuturkan, permintaan barang raw materials dari Indonesia akan berkurang seiring dengan perlambatan permintaan produk China dari AS. 

    Menurutnya, kondisi ini akan menyebabkan ekspor Indonesia ke China bisa menurun. Padahal Indonesia banyak mengekspor bahan baku ke China.

    “Pada akhirnya ekonomi sulit untuk tumbuh secara optimal karena faktor ekonomi global yang memanas dan saling blokade perdagangan,” ujarnya.

    Sama seperti periode pertama Trump, Nailul menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di angka 5% secara rata-rata. Perang dagang AS vs China membuat permintaan barang dari negara lain untuk masuk ke dua negara tersebut akan terhambat. 

    “Pasti dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi dari sisi perdagangan luar negeri akan tertekan,” pungkasnya. 

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso sebelumnya khawatir dengan kemenangan Trump dapat berimbas pada kebijakan pengenaan bea masuk tambahan.

    Kendati begitu, Budi menyebut bahwa selama ini produk ekspor Indonesia terus meningkat pada masa pemerintahan Trump. 

    “Ya memang kan isunya akan ada bea masuk tambahan ya, tetapi saya pikir kalau dulu kan ekspor kita juga meningkat terus waktu Donald Trump,” kata Budi di Pergudangan Kamal Muara, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2024). 

    Untuk itu, dia berharap tidak ada masalah dengan perdagangan ekspor maupun impor Indonesia pasca terpilihnya Trump sebagai Presiden AS.

    Budi juga mengaku efek dari kemenangan Trump belum berdampak pada neraca perdagangan Indonesia. “Tidak ada hambatan, bagi kita belum terasa. Tapi saya pikir kita optimis enggak ada masalah,” ungkapnya.

  • Mendag Klaim RI Siap Hadapi Dampak Perang Dagang AS vs China

    Mendag Klaim RI Siap Hadapi Dampak Perang Dagang AS vs China

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) buka suara terkait potensi perang dagang AS vs China terhadap neraca perdagangan Indonesia. Adapun, potensi perang dagang ini kembali mencuat menjelang dilantiknya Donald Trump sebagai Presiden AS.

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan bahwa pemerintah siap menghadapi situasi perdagangan yang terjadi, termasuk adanya potensi perang dagang. Apalagi, menurutnya, isu terkait potensi perang dagang antara AS dan China sudah lama bergulir.

    “Ya, itu kan [potensi perang dagang AS-China] sudah isu dari dulu terus. Paling kita siap aja,” kata Budi saat ditemui di Gedung Pusat Pelatihan Sumber Daya Manusia Ekspor dan Jasa Perdagangan Kemendag, Jakarta, Rabu (15/1/2025).

    Adapun, Mendag Budi mengaku siap dengan kebijakan pengenaan tarif perdagangan yang tinggi oleh Donald Trump terhadap mitra dagang, termasuk China.

    “Dulu juga hampir sama. Jadi kita harus siap, yang penting dulu kita punya daya saing. Jadi kalau misalnya kita punya daya saing, terus kita bersaing dengan negara lain, daya saing kita bagus, saya pikir nggak akan kalah,” ungkapnya.

    Lebih lanjut, Budi menyatakan bahwa Kemendag akan mencoba melakukan pendekatan melalui kerja sama bilateral agar produk lokal mampu menembus pasar di Negeri Paman Sam.

    “Nanti kita coba lakukan perdekatan lagi ya, seperti apa formulasi hubungan yang bagus sehingga kita bisa menembus pasar AS,” terangnya.

    Dalam catatan Bisnis, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menegaskan bahwa negaranya siap mengambil langkah balasan berupa tarif terhadap AS jika presiden terpilih Donald Trump mewujudkan ancamannya untuk melancarkan perang dagang di Amerika Utara.

    Melansir Bloomberg, Senin (13/1/2025), Trudeau menyatakan bahwa pemerintahnya tidak berniat memicu konflik perdagangan dengan pemerintahan baru AS di bawah Trump, melainkan akan bertindak tegas jika AS memberlakukan tarif pada produk-produk Kanada.

    Menurut data Departemen Perdagangan AS, Kanada merupakan mitra dagang terbesar barang-barang AS dengan nilai mencapai US$320 miliar dalam 11 bulan pertama 2024. Selama periode yang sama, defisit perdagangan barang AS dengan Kanada tercatat sebesar US$55 miliar.

    “Kami adalah mitra ekspor utama bagi sekitar 35 negara bagian AS. Setiap hambatan yang memperlambat arus perdagangan antar negara kita akan berdampak buruk bagi rakyat dan pekerjaan di Amerika,” ujarnya.

    Adapun, ketika pemerintahan Trump pertama memberlakukan tarif pada baja dan aluminium pada 2018, pemerintah Kanada merespons dengan mengenakan tarif pada sejumlah produk AS, seperti peralatan rumah tangga. Kali ini, Trump mengisyaratkan tarif 25% yang lebih luas terhadap barang-barang dari Meksiko dan Kanada.

    Sementara itu, China mengambil langkah persiapan yang berbeda guna mengantisipasi kebijakan Trump. Awal bulan lalu, para pemimpin utama China berencana melonggarkan kebijakan moneter dan memperluas pengeluaran fiskal pada 2025 sebagai bentuk persiapan Beijing menghadapi perang dagang kedua saat Trump menjabat sebagai Presiden AS.