Topik: neraca perdagangan

  • Peluang di Balik Tarif Trump, Indonesia Bisa Bidik BRICS & ASEAN

    Peluang di Balik Tarif Trump, Indonesia Bisa Bidik BRICS & ASEAN

    Mataram, Beritasatu.com – Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Akbar Himawan Buchari melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan tarif impor era Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Ia menilai kebijakan tersebut tidak berdasar pada ilmu ekonomi dan cenderung bersifat “asal tembak”.

    Secara khusus, Akbar menyoroti tarif 32% yang dikenakan pada produk Indonesia, yang menurut Trump didasarkan pada surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$ 17 miliar. Bagi Akbar, alasan tersebut tidak masuk akal dan tidak mencerminkan pemahaman atas dinamika perdagangan internasional.

    “Kita melihat kebijakan Trump ini tidak ada dasar ilmunya. Pemerintah AS melihat surplus perdagangan US$ 17 miliar lalu mengenakan tarif 32%, padahal tak ada perhitungan ekonominya,” ujar Akbar di Mataram saat pelantikan Hipmi NTB, Sabtu (12/4/2025).

    Ia menilai tarif tinggi Trump tersebut hanya langkah taktis untuk membuka ruang negosiasi, terbukti dengan penurunan tarif menjadi 10% baru-baru ini. Ini dianggap sebagai sinyal dibukanya kembali dialog dagang antara kedua negara.

    “Artinya, ini kebijakan sementara untuk membuka ruang negosiasi. Sekarang sudah ada keputusan sela dari AS menurunkan tarif menjadi 10%,” jelasnya.

    Hipmi mendorong pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan momentum ini guna menyusun kebijakan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak secara berimbang.

    “Kita harap pemerintah bisa bernegosiasi dengan baik, membuat formulasi kebijakan yang win-win dan tidak didominasi ego sektoral,” tegasnya.

    Akbar juga menyoroti pentingnya diversifikasi pasar ekspor bagi para pelaku usaha Indonesia, terutama yang selama ini bergantung pada AS. Ia menyarankan ekspansi ke negara-negara lain guna mengurangi ketergantungan.

    “Teman-teman pelaku ekspor perlu mulai mendiversifikasi pasar, tidak hanya ke satu negara,” katanya.

    Selain itu, ia mendorong penguatan pasar domestik sebagai respons atas tantangan eksternal. Kebijakan tarif AS disebutnya sebagai momentum untuk mempercepat hilirisasi industri dan mendorong konsumsi produk dalam negeri.

    “Kita perlu meningkatkan pasar domestik agar program hilirisasi bisa menyasar konsumen lokal secara maksimal.”

    Beberapa sektor industri, seperti tekstil dan alas kaki, disebut akan terdampak langsung akibat kebijakan tarif Trump tersebut. Meski kontribusi ekspor ke AS hanya sekitar 20% dari total ekspor nasional, dampaknya tetap signifikan bagi sektor terkait.

    Namun di balik tantangan, Akbar melihat peluang. Ia menyebut kemitraan Indonesia dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sebagai potensi besar, mengingat kelompok ini mewakili 40 persen pasar dunia.

    “BRICS adalah potensi market besar. Kita harus manfaatkan momentum ini untuk masuk ke sana,” ujarnya terkait tarif Trump.

    Tak hanya BRICS, kawasan ASEAN juga dinilai memiliki potensi yang belum tergarap optimal. Menurut Akbar, tekanan dari kebijakan AS justru bisa memperkuat solidaritas regional dan menciptakan pasar baru di Asia Tenggara.

    “Jangan lupa kita bagian dari ASEAN. Kebijakan Trump ini justru bisa jadi pemicu lahirnya market baru di kawasan.”

    Pernyataan Akbar menyajikan perspektif kritis sekaligus konstruktif terkait dampak kebijakan tarif AS terhadap ekonomi Indonesia. Ia menekankan pentingnya adaptasi strategis, baik melalui perluasan pasar ekspor, penguatan pasar domestik, maupun pemanfaatan potensi kerja sama dengan BRICS dan ASEAN.

    Pemerintah Indonesia diharapkan dapat merespons secara cermat tarif Trump ini demi mencapai kesepakatan dagang yang adil dan saling menguntungkan.

  • Kementerian ESDM belum berencana impor LNG dari AS

    Kementerian ESDM belum berencana impor LNG dari AS

    Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana (tengah) dalam penutupan posko nasional di BPH Migas, Jakarta, Jumat (11/4/2025). (ANTARA/Putu Indah Savitri)

    Kementerian ESDM belum berencana impor LNG dari AS
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 11 April 2025 – 16:38 WIB

    Elshinta.com – Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan bahwa Indonesia belum berencana mengimpor liquefied natural gas (LNG) dari Amerika Serikat, sebab produksi dalam negeri masih memenuhi kebutuhan nasional.

    “Untuk tiga bulan pertama ini, kita sudah berhasil memastikan suplai-suplai LNG di dalam negeri itu dengan mengoptimalkan produksi yang ada di dalam negeri,” ucap Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana ketika ditemui setelah penutupan posko nasional di BPH Migas, Jakarta, Jumat (11/4).

    Meskipun berhasil memenuhi kebutuhan dalam negeri pada tiga bulan ke belakang, Dadan tidak menampik adanya tantangan ihwal ketersediaan LNG.

    Perhitungan kini, tutur Dadan, memang masih terdapat tantangan dari sisi suplai nasional untuk memenuhi peningkatan konsumsi LNG di Indonesia.

    Selain itu, Dadan juga menyampaikan bahwa sebagian dari LNG yang diproduksi di dalam negeri bertujuan untuk diekspor.

    Tantangan pemerintah kini adalah bagaimana Indonesia bisa mengoptimalkan ketersediaan LNG di dalam negeri sambil menghormati kontrak-kontrak ekspor LNG yang sudah ada.

    “LNG itu sebagian diekspor, itu perjanjian kontraknya sudah terjadi pada saat sebelumnya (sebelum peningkatan kebutuhan), bukan sekarang. Sekarang, konsumsi kita naik. Ini yang sedang kami coba lakukan,” ucap Dadan.

    Secara ideal, Indonesia ingin meningkatkan kemandirian energi dalam negeri. Oleh karena itu, akan sangat bagus kalau Indonesia memproduksi LNG-nya sendiri dan dimanfaatkan sendiri.

    Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Airlangga Hartarto berencana untuk mengimpor LNG dari Amerika Serikat, sebagai salah satu upaya untuk menyetarakan neraca perdagangan antara Amerika Serikat dengan Indonesia.

    Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, pada 2024 Indonesia mencatatkan surplus perdagangan 14,34 miliar dolar AS dengan Amerika Serikat.

    Surplus itu sebagian besar berasal dari ekspor mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan aksesori pakaian, serta alas kaki.

    Keinginan menyetarakan neraca perdagangan dilandasi oleh kebijakan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.

    Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia.

    Indonesia terkena tarif resiprokal 32 persen, sementara negara-negara ASEAN lainnya, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen.

    Akan tetapi, pada Rabu (9/4/2025) sore waktu AS, Trump telah mengumumkan penundaan selama 90 hari atas tarif resiprokal ke berbagai negara mitra dagang, namun tetap menaikkan bea masuk kepada China sebesar 125 persen.

    Negara yang rencananya akan dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, yang mana untuk baja, aluminium, dan mobil akan sama.

    Sumber : Antara

  • Salah Langkah Hadapi Tarif Trump, Durian Runtuh Hilang-RI Kena Sial

    Salah Langkah Hadapi Tarif Trump, Durian Runtuh Hilang-RI Kena Sial

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kebijakan perdagangan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang kembali mengetatkan tarif impor terhadap produk asal China menuai dampak global, termasuk ke Indonesia. Di tengah derasnya arus impor dan wacana pelonggaran kuota impor oleh pemerintah Indonesia, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa menyebut RI bisa kena sial akibat tarif tinggi yang diterapkan Trump. 

    Apalagi, kebijakan Trump itu juga dibalas Presiden China, Xi Jinping, dengan memberlakukan tarif lebih tinggi atas AS. China kembali melakukan manuver signifikan dalam menanggapi perang tarif dengan Amerika Serikat dengan menaikkan tarif atas impor AS menjadi 125% pada Jumat (11/4/2025). Tarif ini akan mulai berlaku pada Sabtu, 12 April 2025.

    Seharusnya Indonesia bisa menikmati efek positif, kata Jemmy, tapi RI bisa terancam jadi “jalan tikus” baru bagi barang-barang China untuk menembus pasar AS.

    “Harusnya dengan dampak kebijakan Trump ini, kita itu dapat windfalls (durian runtuh). Ini kesempatan emas buat industri kita, dan nggak akan datang dua kali,” kata Jemmy dalam Profit CNBC Indonesia, Jumat (11/4/2025).

    Menurutnya, kebijakan Presiden Trump sejatinya bertujuan menurunkan defisit dagang AS terhadap negara-negara mitra, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya lebih cermat dan berhati-hati dalam menyesuaikan kebijakan dalam negeri.

    “Jangan sampai malah Indonesia dijadikan tempat transhipment atau tempat ganti certificate trade origin,” tegasnya.

    Adapun transhipment yang dimaksud adalah praktik memindahkan barang dari China ke Indonesia hanya untuk diubah dokumen asalnya, lalu dikirim ke Amerika seolah-olah buatan Indonesia.

    Praktik ini tidak hanya mencederai integritas dagang, tetapi juga berisiko memperlebar defisit perdagangan Indonesia dengan Amerika, sesuatu yang justru ingin dikoreksi oleh kebijakan Trump.

    “Neraca perdagangan ekspor ke Amerikanya harus real produk Indonesia, hasil anak bangsa. Itu yang diinginkan. Bukan barang dari China yang kita bantu lepas ke sana,” kata Jemmy.

    Ia menegaskan, segala bentuk kebijakan baru, termasuk soal impor, harus diterjemahkan secara arif dalam konteks misi Presiden Prabowo untuk menciptakan lapangan kerja dan menjaga pertumbuhan ekonomi.

    “Kita jangan asal membuka keran impor, jangan seperti membalikkan telapak tangan. Harus tetap jaga keseimbangan,” imbuhnya.

    Meski begitu, Jemmy juga menyampaikan optimisme, sejalan dengan pemerintah yang sebenarnya paham betul sensitivitas isu ini dan akan menjaga kehati-hatian.

    “Kalau pembicaraan saya dengan berbagai kementerian, mereka tidak akan melakukan hal yang gegabah. Mereka tahu pentingnya balancing antara hulu dan hilir,” tukas dia.

    Ia pun mengajak semua pihak, termasuk pelaku industri dan pembuat kebijakan, untuk tidak panik namun tetap waspada.

    “Jadi mungkin jangan terlalu dikhawatirkan, jangan terlalu dibesar-besarkan juga, ya,” pungkasnya.

    (dce)

  • Gubernur Jabar susun insentif industri antisipasi Tarif Trump

    Gubernur Jabar susun insentif industri antisipasi Tarif Trump

    Bandung (ANTARA) – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengungkapkan tengah menyusun langkah-langkah pemberian insentif untuk industri berbasis ekspor di Jabar, guna mengantisipasi tarif resiprokal dari AS (Tarif Trump) yang kini tengah ditangguhkan.

    Dedi mengatakan berbagai langkah strategis yang disiapkan untuk menghadapi tekanan ekonomi global, termasuk dampak kebijakan Tarif Trump itu akan diumumkan pada pekan depan.

    “Kita menyiapkan strategi, salah satunya dengan mengkonsolidasikan seluruh industri di Jawa Barat, terutama yang mengekspor produksinya ke Amerika,” ujar Dedi dalam keterangan di Bandung, Jumat.

    Sejumlah insentif itu, lanjut dia, dirancang untuk meringankan beban biaya produksi industri, yang bertujuan menjaga daya saing sektor manufaktur dan mendorong stabilitas ekonomi daerah.

    “Pemerintah harus membuka berbagai insentif untuk meringankan beban produksi. Banyak opsi yang akan kita umumkan minggu depan,” ujarnya.

    Salah satu yang tengah dirancang, disebut Dedi, adalah insentif fiskal. Namun selain itu, dia juga mendorong perluasan pasar ekspor non-tradisional sebagai alternatif dari pasar AS.

    Pasalnya, menurut Dedi, potensi pasar Indonesia sangat luas dan terbuka, hanya perlu penguatan diplomasi dan negosiasi dagang yang lebih agresif.

    “Pasar kita ini terbuka dan luas. Negosiasinya harus dilakukan agar produk-produk kita tetap bisa bersaing,” ujarnya.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mengungkapkan kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan Amerika Serikat (Tarif Trump) berpotensi mengganggu kinerja ekspor Jabar meski sampai saat ini belum terlihat efek dari pengenaan bea masuk baru tersebut.

    Plt Kepala BPS Jabar, Darwis Sitorus, menyampaikan pengenaan tarif impor sebesar 32 persen oleh Amerika Serikat terhadap produk dari negara lain termasuk Indonesia, bisa berdampak pada berbagai lini termasuk ketenagakerjaan di Jabar, mengingat sejauh ini AS merupakan tujuan ekspor Jabar, bahkan neraca perdagangan dengan AS kerap surplus di mana per Maret 2025 terjadi surplus sekitar 478,67 juta dolar AS.

    “Kebijakan ini jika diterapkan, dampaknya bisa sangat besar bagi Jawa Barat, mengingat produk ekspor yang berasal dari Jabar itu salah satu yang tertinggi adalah ke AS, seperti rajutan, alas kaki, dan bahan karet. Kita bisa bayangkan jutaan warga Jabar sebagian besar pada sektor industri yang terkait ekspor ke AS,” kata Darwis, Selasa (8/4).

    Pewarta: Ricky Prayoga
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

  • Penghapusan Kuota Impor Dinilai Akan Buat Perdagangan Lebih Kompetitif

    Penghapusan Kuota Impor Dinilai Akan Buat Perdagangan Lebih Kompetitif

    Jakarta, Beritasatu.com – Permintaan Presiden Prabowo Subianto yang ingin menghapus kuota impor dinilai bakal membuat perdagangan menjadi kompetitif dan harga-harga produk menjadi terjangkau.

    Menurut mantan Wakil Menteri Perdagangan 2019-2024 Jerry Sambuaga, kebijakan ini akan membuka jalan bagi setiap pengusaha untuk melakukan impor, sehingga kesempatan bisa diperoleh secara merata dan terbuka bagi setiap pelaku usaha, khususnya bagi mereka yang baru memulai usaha. 

    “Ketika terdapat banyak kesempatan bagi setiap pelaku usaha untuk melakukan impor, maka akan meningkatkan semangat perdagangan yang kompetitif, harga produk yang lebih terjangkau, dan tentunya produktivitas pelaku usaha dalam melakukan aktivitas perdagangan,” ujar Jerry kepada wartawan, Jumat (11/4/2025).

    “Ini tentunya akan memberikan banyak alternatif produk untuk para konsumen. Sehingga dalam jangka waktu yang panjang akan membentuk ekosistem perdagangan yang lebih stabil, terbuka, transparan, efisien, dan produktif,” kata Jerry menambahkan.

    Jerry menegaskan, yang penting untuk ditekankan adalah kesempatan dan keterbukaan bagi setiap pelaku usaha untuk berusaha, bukan kepada barang atau produknya. 

    “Sudah tentu terkait dengan komoditas, ada beberapa komoditas strategis dan bahan pokok penting yang menjadi prioritas untuk pengembangan ekspor. Karena memang ada beberapa produk yang bisa diproduksi dan potensial untuk menjadi produk eskpor, bukan impor, berhubung banyak permintaan terhadap produk tersebut di luar negeri,” jelas Jerry.

    Jerry juga menyinggung soal kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat, Donald Trump sebesar 32% untuk Indonesia. Terbaru, Trump menunda pemberlakuan tarif impor untuk 56 negara selama 90 hari ke depan, salah satunya Indonesia.

    Menurut Jerry, kebijakan tarif Trump ini tentu akan memberikan dampak, tetapi tidak akan seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak. Pasalnya, kinerja perdagangan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat beberapa tahun terakhir mengalami surplus dari sisi Indonesia. 

    “Perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia tidak hanya dengan Amerika Serikat, melainkan juga dengan banyak negara-negara lain di semua benua di mana secara umum produk Indonesia cukup mendominasi dengan surplus neraca perdagangan yang dicetak total sebanyak US$ 31,04 miliar pada Desember 2024 lalu dan pada saat yang sama tersebut, Indonesia juga mencapai surplus neraca perdagangan selama 56 bulan secara berturut-turut,” jelas dia.

  • Kementerian ESDM serahkan kontrak impor LPG ke badan usaha

    Kementerian ESDM serahkan kontrak impor LPG ke badan usaha

    Urusan komersialnya nanti kan ada di badan usaha. Kami selalu menghormati, baik sebagai badan usaha maupun sebagai negara

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menyerahkan persoalan kontrak impor LPG ke badan usaha, terkait rencana peningkatan volume impor LPG dari Amerika Serikat.

    “Urusan komersialnya nanti kan ada di badan usaha. Kami selalu menghormati, baik sebagai badan usaha maupun sebagai negara,” ucap Dadan ketika ditemui setelah penutupan Posko Nasional Lebaran 2025 di BPH Migas Jakarta, Jumat.

    Dadan menyampaikan bahwa saat ini Indonesia sedang menjajaki rencana tersebut dengan Amerika Serikat. Hal tersebut meliputi pembahasan kontrak antara badan usaha untuk LPG.

    Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan tidak ada penambahan kuota impor secara keseluruhan. Yang ada, lanjut dia, adalah alih impor dari negara lain ke Amerika Serikat.

    “Tidak nambah yang kuota ke masyarakatnya,” kata Dadan.

    Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa pemerintah sedang menghitung kemungkinan meningkatkan impor minyak dan LPG dari Amerika Serikat.

    Rencana untuk menggenjot impor minyak dan LPG dari Amerika Serikat bertujuan untuk menyetarakan neraca perdagangan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.

    Bahlil menyampaikan bahwa Neraca Perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat surplus 14–15 miliar dolar AS atau sekitar Rp237,06 triliun–Rp253,99 triliun (kurs Rp16.933 per dolar AS).

    Untuk mengurangi kesenjangan tersebut, maka Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Bahlil untuk melihat potensi apa saja yang bisa dibeli dari Amerika Serikat.

    Langkah ini merupakan salah satu bentuk negosiasi yang akan ditawarkan ke Amerika Serikat setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia sebesar 32 persen.

    Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia.

    Indonesia terkena tarif resiprokal 32 persen, sementara negara-negara ASEAN lainnya, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen dan Vietnam 46 persen.

    Akan tetapi, pada Rabu (9/4/2025) sore waktu AS, Trump telah mengumumkan penundaan selama 90 hari atas tarif resiprokal ke berbagai negara mitra dagang, namun tetap menaikkan bea masuk kepada China sebesar 125 persen.

    Negara yang rencananya dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, yang mana untuk baja, aluminium dan mobil akan sama.

    Pewarta: Putu Indah Savitri
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Ekonom ingatkan RI agar tidak tawarkan tarif 0 “sensitive list” ke AS

    Ekonom ingatkan RI agar tidak tawarkan tarif 0 “sensitive list” ke AS

    Yang perlu dicatat, ketika kita negosiasi tarif, itu ada produk namanya sensitive list. Kalau sensitive list jangan dinolkan

    Jakarta (ANTARA) – Research Associate CORE Indonesia Sahara mengingatkan Pemerintah Indonesia agar tidak menawarkan tarif impor nol persen dalam negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) khusus untuk produk-produk yang masuk dalam kategori sensitive list.

    “Yang perlu dicatat, ketika kita negosiasi tarif, itu ada produk namanya sensitive list. Kalau sensitive list jangan dinolkan,” kata Sahara saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

    Ia mencontohkan produk dalam sensitive list di antaranya beras, minuman beralkohol, senjata dan seterusnya. Apabila tarif impor nol persen berlaku untuk komoditas beras, misalnya, maka dikhawatirkan dapat mengancam ketahanan pangan nasional dan tidak memberi perlindungan bagi petani Indonesia.

    “Jadi, ada produk yang kita tawarkan tetap jadi sensitive list buat Indonesia, tetapi ada produk yang bisa kita negosiasi,” ujar Sahara.

    Terkait dengan tantangan non-tariff measures (NTMs), sebelumnya Presiden AS Donald Trump menganggap ada perlakuan yang tidak adil di dalam NTMs.

    Dalam hal ini, ujar Sahara, Indonesia harus memetakan setiap komoditas dan memetakan regulasi apa saja yang dianggap AS menghambat ketika produk mereka akan masuk ke Indonesia.

    “Regulasi tersebut perlu diharmonisasi untuk masing-masing komoditas. Dan ini tidak mudah untuk masing-masing komoditas yang kita impor. Akan beda-beda kebijakannya, regulasinya, itu harus dilihat,” kata Sahara.

    Selanjutnya, dalam berbagai kesempatan, Trump juga sering menyebutkan bahwa AS telah mengalami defisit perdagangan barang.

    Merespons hal ini, Sahara meminta pemerintah Indonesia untuk memeriksa kembali data perdagangan jasa antara Indonesia dan AS, sehingga negosiasi yang dilakukan tidak hanya mencakup perhitungan perdagangan barang saja.

    Ia mencontohkan berbagai perdagangan jasa AS yang selama ini sudah masuk ke Indonesia, terutama dalam konteks digital seperti Adobe, Google termasuk Cloud, hingga berbagai layanan hiburan dan game digital, serta jasa logistik dari AS.

    Oleh sebab itu, ia mendorong agar tim Indonesia yang akan melakukan negosiasi tarif dengan AS harus bisa menggali data perdagangan sektor jasa antara Indonesia dengan AS sehingga mengetahui posisi Indonesia apakah surplus atau defisit.

    “Saya tidak tahu datanya seperti apa, Indonesia harus punya data perdagangan jasa antara Indonesia dengan Amerika. Jangan-jangan, kalau digabungkan perdagangan barang dengan jasa, jangan-jangan Indonesia itu defisit. Cuma memang tidak ada datanya saya sudah berusaha untuk mencari,” kata Sahara.

    Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Indonesia mempersiapkan sejumlah paket negosiasi yang akan dibawa ke perundingan untuk menghadapi kebijakan tarif timbal balik atau resiprokal AS di Washington D.C.

    Beberapa di antaranya termasuk revitalisasi revitalisasi Indonesia-US Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), deregulasi NTMs melalui relaksasi TKDN sektor informasi dan komunikasi dari AS, menyeimbangkan neraca perdagangan barang, serta insentif fiskal dan nonfiskal untuk mendorong impor produk AS dan menjaga daya saing produk ekspor Indonesia ke AS.

    Pemerintah Indonesia juga mengajak negara-negara ASEAN dalam ASEAN Economic Ministers (AEM) Special Meeting pada 10 April 2025 untuk melakukan negosiasi bersama guna menghadapi tarif resiprokal AS.

    Pada 2 April lalu, Trump mengumumkan kenaikan tarif ke banyak negara. Indonesia berada di urutan kedelapan di daftar negara-negara yang terkena kenaikan tarif AS, dengan besaran 32 persen.

    Pada Rabu (9/4) waktu setempat, Trump mengumumkan penundaan kebijakan tarif impor hingga 90 hari ke berbagai mitra dagang, kecuali untuk China sebesar 125 persen.

    Negara yang rencananya akan dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, yang mana untuk baja, aluminium dan mobil akan sama.

    Namun memasuki Kamis (10/4) waktu setempat, Trump merevisi tarif impor ke China menjadi 145 persen, yang merupakan batas bawah atau masih berpotensi meningkat ke depan.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Trump Kenakan Tarif Impor 32%, Ini Kuncian Negosiasi RI

    Trump Kenakan Tarif Impor 32%, Ini Kuncian Negosiasi RI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan sejumlah upaya negosiasi guna menghadapi kebijakan tarif impor resiprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

    Adapun salah satu bahan untuk negosiasi dengan Pemerintah AS yaitu dengan menaikkan pembelian Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan minyak mentah dari Amerika Serikat.

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa pertimbangan untuk menaikkan impor LPG dan minyak dari AS ini sebagai upaya membuat neraca perdagangan RI dan AS berimbang.

    Dengan demikian, penerapan tarif bea masuk hingga 32% terhadap produk Indonesia ke AS diharapkan dapat dihindari.

    “Kita tahu bahwa data BPS, neraca perdagangan kita kan surplus 14,6 miliar dolar. Nah kemudian, keinginan dari pemerintah Amerika itu kan, pertama adalah bagaimana membuat balance sebenarnya,” ungkap Bahlil ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (11/4/2025).

    Bahlil mengatakan, pihaknya saat ini masih mengkaji rencana pembelian komoditas energi berupa LPG dan minyak mentah dari Amerika dengan skala yang cukup besar. Namun, ia belum dapat membeberkan secara rinci dari sisi volumenya.

    “Saya lagi meng-exercise dengan tim saya, agar kita bisa melakukan pembelian di sana, supaya bisa membuat neraca perdagangan kita balance,” ujarnya.

    Sebelumnya, Bahlil membeberkan porsi impor minyak mentah RI dari Amerika Serikat selama ini hanya sekitar 4 persen dari keseluruhan impor, sementara untuk LPG, saat ini berkisar 54%. Adapun, impor migas untuk konsumsi dalam negeri selama ini berasal dari Singapura, Timur Tengah, Afrika, hingga Amerika Latin.

    Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto percaya diri bisa menghadapi tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Bahkan, Prabowo menyebut Indonesia bisa mengatasi surplus dagang dengan AS yang diklaim mencapai US$ 17 miliar.

    Prabowo mengatakan, Pemerintah Indonesia akan menawarkan beberapa hal kepada Pemerintah AS untuk mengatasi surplus dagang RI tersebut, antara lain melalui penambahan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG), minyak, Bahan Bakar Minyak (BBM), hingga alat pengeboran minyak dan gas bumi (migas).

    “Surplus kita US$ 17 miliar dari AS, kita bukan negara miskin, apa yang kita butuh dari Amerika? kita butuh LPG, LPG US$ 9 miliar, kita butuh minyak, BBM impor lagi, kita butuh alat-alat teknologi drilling dari mereka, kita akan membuka 10 ribu sumur lama dengan teknologi baru, gandum apalagi kapas, pesawat terbang tapi sekarang pesawat terbang dari Tiongkok murah-murah, we have.. yang penting kita confidence,” tutur Prabowo saat menanggapi respons dari ekonom dan pelaku usaha dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

    (wia)

  • Ketum AMPI Ungkap Peluang Besar dari Kebijakan Impor Prabowo

    Ketum AMPI Ungkap Peluang Besar dari Kebijakan Impor Prabowo

    loading…

    Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Jerry Sambuaga. Foto/Istimewa

    JAKARTA – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia ( AMPI ) Jerry Sambuaga mengungkap peluang besar dari kebijakan impor Presiden Prabowo Subianto . Jerry menyambung positif pernyataan Prabowo terkait impor, terutama terkait akan membuka jalan bagi setiap pengusaha untuk melakukan impor.

    Hal itu diyakini bisa memperoleh kesempatan dan peluang secara merata dan terbuka bagi setiap pelaku usaha, khususnya bagi mereka yang baru memulai usaha. “Ketika terdapat banyak kesempatan bagi setiap pelaku usaha untuk melakukan impor, maka akan meningkatkan semangat perdagangan yang kompetitif, harga produk yang lebih terjangkau, dan tentunya produktivitas pelaku usaha dalam melakukan aktivitas perdagangan,” ujar Jerry dalam keterangan persnya, Jumat (11/4/2025).

    “Ini tentunya akan memberikan banyak alternatif produk untuk para konsumen. Sehingga dalam jangka waktu yang panjang akan membentuk ekosistem perdagangan yang lebih stabil, terbuka, transparan, efisien, dan produktif,” kata Wakil Menteri Perdagangan era 2019-2024 ini.

    Jerry menegaskan, yang penting untuk ditekankan adalah kesempatan dan keterbukaan bagi setiap pelaku usaha untuk berusaha, bukan kepada barang atau produknya. “Sudah tentu terkait dengan komoditas, ada beberapa komoditas strategis dan bahan pokok penting yang menjadi prioritas untuk pengembangan ekspor,” imbuhnya.

    “Karena memang ada beberapa produk yang bisa diproduksi dan potensial untuk menjadi produk eskpor, bukan impor, berhubung banyak permintaan terhadap produk tersebut di luar negeri,” sambungnya.

    Diketahui, Presiden Amerika Serikat Donald Trump sempat menentukan kebijakan tarif untuk Indonesia sebesar 32 persen. Namun, belakangan Trump menunda pemberlakuan tarif impor untuk 56 negara selama 90 hari ke depan, salah satunya Indonesia.

    Jerry menekankan bahwa kebijakan tarif yang dikenakan Trump tentu akan memberikan dampak, namun tidak akan seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak. Pasalnya, kinerja perdagangan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat beberapa tahun terakhir mengalami suplus dari sisi Indonesia.

    “Perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia tidak hanya dengan Amerika Serikat, melainkan juga dengan banyak negara-negara lain di semua benua. Di mana secara umum produk Indonesia cukup mendominasi dengan surplus neraca perdagangan yang dicetak total sebanyak 31,04 miliar usd di bulan Desember 2024 lalu. Di bulan tersebut Indonesia juga mencapai surplus neraca perdagangan selama 56 bulan secara berturut-turut,” ungkapnya.

    Dia melanjutkan, tercatat hingga saat ini Indonesia sudah menyelesaikan kurang lebih 37 perjanjian dagang di seluruh dunia yang meliputi lima benua. Salah satunya adalah kerja sama perdagangan regional di ASEAN melalui Regional Comprehensive Partnership Agreement (RCEP). “Banyak sektor kerja sama perdagangan telah meningkat, salah satunya di ekonomi digital Indonesia yang mencapai 82 miliar USD sekitar 40% Ekonomi Digital ASEAN di tahun 2024,” kata dia.

    Dia menambahkan, salah satu pilar dasar perdagangan Indonesia juga banyak terkonsentrasi di sektor UMKM, karena memberikan kontribusi sekitar 61% terhadap PDB dan juga sekitar 97% terhadap ketenagakerjaan Indonesia. “Dari sisi ekspor, sektor UMKM tidak menjadi masalah karena memang belum banyak produk UMKM yang dikirim ke luar negeri, tidak mencapai 5% secara total keseluruhan. Oleh karena itu, kenaikan tarif yang dikenakan oleh Trump juga tidak memiliki banyak pengaruh kepda sektor UMKM,” katanya.

    Jerry yakin dan percaya secara umum Indonesia dari sudut pandang perdagangan tetap akan bisa menghadapi kenaikan tarif yang dilakukan oleh Trump. Di saat yang sama bisa mendapatkan peluang lebih banyak dalam kerja sama perdagangan dengan negara-negara mitra strategis di kawasan Asia yang sudah terjalin selama ini. “Serta sekaligus membuka eksplorasi kerja sama perdagangan di pasar nontradisional, salah satunya di kawasan Timur Tengah dan Afrika,” pungkas Jerry.

    (rca)

  • Akhir dari Era Perdagangan Bebas?

    Akhir dari Era Perdagangan Bebas?

    Bisnis.com, JAKARTA – Perdagangan global yang dibangun di atas sistem berbasis aturan (rules-based system) yang dipelopori antara lain oleh Amerika Serikat sejak tahun 1947 (GATT-General Agreement on Tariffs and Trade) dan dilanjutkan dengan pembentukan organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) tahun 1995 nampak bermasa depan suram.

    Pada tanggal 2 April 2025, dalam sebuah acara dramatis di Gedung Putih, Presiden Donald Trump mengumumkan tarif bea masuk baru untuk beberapa negara mitra dagang sebagai bagian dari upayanya untuk meningkatkan ekonomi Amerika dan melindungi industri dalam negeri. Sekaligus Trump juga mengumumkan tarif timbal balik untuk sejumlah 92 negara yang memiliki defisit perdagangan terbesar dengan AS, termasuk Indonesia.

    Tarif timbal balik ini akan diterapkan mulai tanggal 9 April 2025. Kebijakan ini seharusnya bukan suatu kejutan karena sejak menjabat di periode pertama, Presiden Trump telah menerapkan kebijakan tarifikasi sebagai bagian dari kebijakan “America First” untuk membuat Amerika hebat kembali. Namun, tetap saja skala dan cakupan tarif tersebut mengkonfirmasi bahwa dalam satu gebrakan hari pembebasan (“Liberation Day”), Washington telah membatasi laju arus perdagangan internasional secara signifikan.

    Apa Dasar Penetapan Tarif Timbal Balik AS?

    Trump nampaknya melakukan penilaian kebijakan perdagangan negara mitra–baik tarif, non-tarif, dan manipulasi mata uang yang dianggap menghambat ekspor AS–untuk menetapkan tarif timbal balik tersebut. Satu sumber mengungkapkan bahwa Washington mendasarkan diri kepada ‘bad math’ (matematika yang buruk) karena menggunakan rasio perbandingan antara defisit perdagangan AS dengan Tiongkok, sebagai contoh, dengan nilai ekspor negara dimaksud ke AS. Trump juga disebutkan telah bermurah hati memberikan diskon sebesar 50% kepada Tiongkok.

    Konkritnya, pada tahun 2024 defisit perdagangan AS dengan Tiongkok mencapai USD 295,4 miliar. Impor AS dari Tiongkok sendiri tercatat sebesar USD 438,9 miliar. Dari rasio dimaksud didapatkan angka 67%, yang kemudian didiskon 50% sehingga diperoleh tarif timbal balik sebesar 34%. Tarif ini merupakan tarif tambahan di atas tarif 20% yang sudah diberlakukan sebelumnya atas Tiongkok sehingga total tarif impor mencapai 54%. (https://www.foreignaffairs.com/united-states/age-tariffs-trump-global-economy).

    Lalu bagaimana dengan tarif 34% yang dikenakan terhadap Indonesia yang memiliki suplus sebesar USD 16,8 milyar pada tahun 2024 dengan AS? Dasar pengenaan ini perlu dimintakan klarifikasi ke pihak AS. Bagaimana pula nasib sejumlah 111 negara di mana AS mencatatkan posisi surplus pada neraca perdagangan bilateralnya? Negara-negara tersebut, di antaranya Australia dan Inggris, tetap dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen. Bagaimana pula halnya dengan perdagangan jasa–seperti pariwisata, pendidikan, asuransi dan keuangan, jasa komputer dan informasi dan jasa bisnis–di mana AS mengalami surplus dengan sebagian besar mitra dagangnya? Washington dengan mudahnya menafikan faktor perdagangan jasa ini.

    Langkah Strategis Indonesia

    Respons cepat Presiden Prabowo untuk mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington guna melakukan negosiasi patut diapresiasi. Meski neraca perdagangan bilateral Indonesia-AS tidak dapat diseimbangkan dalam waktu semalam, tetapi dalam engagement dimaksud kedua negara dapat menyepakati langkah awal untuk mencari solusi saling menguntungkan.

    Untuk keperluan tersebut Indonesia (pemerintah dan pelaku usaha) perlu mempersiapkan posisi trade-off yang spesifik dan terukur dengan memperhatikan kepentingan nasional dan skala prioritas pembangunan ekonomi di dalam negeri. Posisi trade-off dimaksud tentunya mempertimbangkan elemen penting surplus neraca perdagangan yang dinikmati Indonesia dan kebijakan Indonesia yang ditengarai oleh pihak AS sebagai hambatan non-tarif dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers tahun 2025.

    Meskipun demikian perlu diantisipasi juga pelajaran dari kebijakan Trump periode pertama yaitu kesepakatan perjanjian sektoral pengecualian tarif impor besi baja dan alumunium sebesar 25% dan 10% antara AS dengan antara lain Australia, Brazil, Canada, Mexico, Korea Selatan, Uni Eropa, Jepang, dan Inggris. Perjanjian-perjanjian dimaksud dibatalkan secara sepihak oleh Trump pada tanggal 12 Maret 2025 lalu karena terbukti pengecualian itu menyebabkan impor dari negara-negara dimaksud meningkat dari 74% pada tahun 2018 menjadi 82% pada tahun 2024.

    Langkah strategis berikutnya adalah Indonesia perlu segera mengoptimalisasikan kerjasama kemitraan dagang dengan negara-negara partner FTA baik bilateral (Australia, Jepang, Korea, Chile, Uni Emirat Arab) maupun regional (ASEAN, ASEAN-China, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-India, ASEAN-Australia-New Zealand, RCEP) untuk secara kolektif mengurangi dampak negatip tarif AS. Namun, perlu diwaspadai juga fenomena over capacity negara tertentu dan permintaan domestik maupun impor dunia yang lemah sehingga Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan bagi ekspor negara lain, atau sebagai negara ‘fasilitas produksi sementara’ guna menghindari tarif AS (circumvention) apabila Indonesia nantinya mendapatkan pengecualian.

    Akhirnya, sangat disayangkan bahwa Amerika Serikat telah mencederai kepemimpinannya selama ini dalam perdagangan bebas dan sebaliknya memimpin kebangkitan proteksionisme yang justru akan lebih membebani konsumen dan bisnis Amerika sendiri karena tarif tinggi akan meningkatkan harga barang impor dan mendorong inflasi. Hari-hari ini, karena tekanan publik di dalam negeri dan lobby negara mitra dagang, kita akan menyaksikan Gedung Putih menyepakati perjanjian-perjanjian bilateral yang bersifat transaksional.

    Karena perlakuan tersebut tidak bersifat MFN (Most-Favored Nation) sesuai dengan prinsip dasar WTO maka seluruh aturan dan ketentuan perdagangan internasional berbasis WTO akan terancam. Sementara itu, apabila negara mitra menempuh jalur gugatan melalui WTO (seperti Tiongkok dan Kanada) dan Panel memutuskan bahwa AS bersalah, putusan Panel itu tetap sulit memiliki kekuatan hukum yang tetap karena AS tidak akan menerima hasil Panel begitu saja, sementara badan banding WTO diblokir oleh AS. Trump juga dengan mudah dapat memutuskan untuk meninggalkan WTO—sama seperti AS meninggalkan WHO dan Perjanjian Paris.

    Apapun keputusan yang akan diambil Pemerintah Trump, era perdagangan bebas yang ditandai dengan upaya mengurangi hambatan perdagangan dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi nampaknya sulit untuk dikembalikan ke jalur semula.