Topik: neraca perdagangan

  • Produk Pakaian-Alas Kaki RI Tertinggi Diekspor ke AS, Ini Buktinya

    Produk Pakaian-Alas Kaki RI Tertinggi Diekspor ke AS, Ini Buktinya

    Jakarta

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Amerika Serikat (AS) menjadi pasar utama bagi produk pakaian dan alas kaki Indonesia. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan misalnya saja ekspor pakaian dan aksesorisnya (rajutan) HS61 pada Januari-Maret 2025 ke AS sebesar 36,62 ribu ton.

    “Dari seluruh ekspor pakaian dan aksesorisnya atau yang berupa rajutan HS61 ini bangsa ekspor kita ke AS adalah yang tertinggi yaitu sebesar 63,40%,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor BPS Jakarta, Senin (21/4/2025).

    Indonesia juga memiliki pasar lain yang besarannya tidak setinggi ke AS. Contohnya ekspor pakaian rajutan dan aksesorisnya ke Jepang hanya 3,3 ribu ton atau 5,41%, sementara ke Korea Selatan 3,1 ribu ton atau 5,14%, dan negara lainnya 15,87 ribu ton atau 26,05%.

    Kemudian untuk pakaian dan aksesoris yang bukan rajutan atau HS62, pangsa ekspor Indonesia ke AS 42,96% dengan jumlah 17,7 ribu ton produk. Sementara ekspor ke Jepang 4,28 ribu ton atau 10,39%, Korea Selatan 2,89 ribu ton atau 7%, dan negara lainnya 16,34 ribu ton atau 39,65%.

    Sementara pangsa pasar alas kaki, Indonesia juga paling banyak ke AS sebanyak 33,27 ribu ton selama periode Januari-Maret 2025 atau 34,16%. Kemudian ke Belanda 8,18 ribu ton (8,40%), Belgia 6,95 ribu ton (7,14%), Jepang 5,75 ribu ton (5,90%), dan Tiongkok 5,47 ribu ton (5,61%).

    “Terakhir untuk alas kaki atau HS64 ekspor kita ke AS memberikan pangsa sebesar 34,16% dari total ekspor alas kaki, kemudian disusul negara kedua terbesar tujuan ekspor alas kaki dari Indonesia adalah ke Belanda, Belgia, Jepang dan juga Tiongkok,” terangnya.

    BPS juga mencatat dalam 10 tahun terakhir, AS menjadi salah satu negara yang menyumbang surplus perdagangan Indonesia. Negara pertama penyumbang surplus perdagangan yakni India, kedua Filipina, dan posisi ketiga ditempati oleh AS.

    “Surplus neraca perdagangan total tertinggi dengan Amerika Serikat terjadi pada tahun 2022 sebesar US$ 16,57 miliar,” ujar dia.

    (ada/kil)

  • Tren Ekspor RI ke AS Tumbuh Pesat Sejak 2015, Ini Barang Penyumbangnya

    Tren Ekspor RI ke AS Tumbuh Pesat Sejak 2015, Ini Barang Penyumbangnya

     Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) sejak 2015-2025 mengalami tren kenaikan.

    Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan tren kenaikan ini ditopang kenaikan pesat ekspor nonmigas Indonesia. Dari catatan 10 tahun ini, surplus tertinggi terjadi pada tahun 2022, yakni sebesar US$ 14,54 miliar dan terendah pada US$ 8,04 miliar pada 2016.

    “Adapun untuk perdagangan migas Indonesia mengalami defisit,” kata Amalia, dalam rilis BPS, Senin (21/4/2025).

    Sementara itu, pada Januari-Maret 2025, surplus neraca perdagangan mencapai US$ 4,32 miliar. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebesar US$ 3,61 miliar. Sepanjang Januari-Maret 2025, Amalia menuturkan komoditas utama yang diekspor Indonesia ke AS a.l. mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian, aksesoris rajutan, dan alas kaki.

    “Sememtara itu, untuk migas Indonesia melakukan impor migas terutama crude petroleum oil dan liquified propane dan liquified butanes,” kata Amalia. Adapun, impor nonmigas AS ke Indonesia, a.l. mesin dan peralatan mekanik,

    biji dan buah mengandung minyak, ampas dan sisa industri makanan, mesin/perlengkapan elektrik dan instrumen optik, fotografi dan sinematografi.

    Jika dikategorikan ke dalam HS dua digit, setidaknya ada lima komoditas utama yang diekspor RI ke AS selama periode Januari sampai Maret 2025. Pertama, mesin dan perlengkapan elektrik (HS85). Komoditas ini mencatatkan nilai ekspornya US$ 1.220 juta atau mencakup 16,71% dari total ekspor RI ke AS.

    Kedua, alas kaki atau HS64. Komoditas ini memiliki nilai ekspor hingga US$ 657,9 juta dan share-nya 9,01% dari total ekspor RI ke AS. Ketiga, pakaian dan aksesoris rajutan HS61. Pangsa ekspornya 8,61% dan nilai ekpor mencapai US$ 629 juta. Keempat adalah pakaian dan aksesoris bukan rajutan atau HS62 dengan share sebesar 7,78% dan nilai ekspor mencapai US$ 568 juta.

    Kelima adalah lemak dan minyak hewan nabati atau HS15. Ini masuk ke dalam kategori minyak sawit. Pangsa pasarnya mencapai sebesar 6,94% dan nilai ekspor US$ 507 juta.

    Foto: Rilis BPS Senin, (21/4/2025). (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)
    Rilis BPS Senin, (21/4/2025). (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)

    Komoditas Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, Januari-Maret 2025:

    1. Mesin dan perlengkapan elektrik US$ 1.220 juta dengan share 16,71%
    2. Alas Kaki US$ 657,9 juta dengan share 9,01%
    3. Pakaian dan aksesorisnya (rajutan) US$ 629,2 juta dengan share 8,61%
    4. Pakaian dan akesorisnya bukan rajutan US$ 568,4 juta dengan share 7,78%
    5. Lemak dan minyak hewan/nabati US$ 507,19 juta dengan share 6,94%
    6. Perabotan dan alat penerangan US$ 410,48 juta dengan share 5,62%
    7. Karet dan barang dari karet US$ 397,61 juta dengan share 5,44%
    8. Ikan dan udang US$ 287,3 juta dengan share 3,93%
    9. Mesin dan peralatan mekanis US$ 244,5 juta dengan share 3,35%
    10. Kakao dan olahannya US$ 235,9 juta dengan share 3,23%
    11. Lainnya US$ 2.145 juta dengan share 29,37%

    (haa/haa)

  • Neraca Perdagangan Indonesia Surplus 59 Bulan Beruntun

    Neraca Perdagangan Indonesia Surplus 59 Bulan Beruntun

    Jakarta, Beritasatu.com – Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus sebesar US$ 4,33 miliar pada Maret 2025. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat surplus US$ 3,10 miliar, tetapi sedikit lebih rendah dibandingkan surplus pada Maret 2024 yang sebesar US$ 4,58 miliar.

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan, surplus perdagangan ini memperpanjang tren positif neraca perdagangan Indonesia selama 59 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

    Pada Maret 2025, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 23,25 miliar. Angka ini naik 5,95% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan tumbuh 3,16% secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara itu, nilai impor tercatat sebesar US$ 18,92 miliar, naik tipis 0,38% mtm dan meningkat 5,34% yoy.

    “Surplus pada Maret 2025 terutama ditopang oleh ekspor nonmigas yang cukup kuat,” ujar Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Senin (21/4/2025).

    BPS mencatat surplus perdagangan nonmigas mencapai US$ 6 miliar. Komoditas utama penyumbang surplus antara lain lemak dan minyak hewan/nabati, bahan bakar mineral, besi dan baja.

    Sementara itu, neraca perdagangan migas mengalami defisit sebesar US$ 1,67 miliar, terutama disebabkan oleh impor hasil minyak dan minyak mentah.

    Tiga negara penyumbang surplus terbesar bagi neraca perdagangan Indonesia adalah Amerika Serikat US$ 1,98 miliar, India US$ 1 miliar, Filipina US$ 714,1 juta. Sedangkan negara mitra dagang dengan kontribusi defisit terbesar adalah Tiongkok US$ 1,1 miliar, Australia US$ 353,2 juta, dan Thailand US$ 195,4 juta.

    Secara kumulatif, neraca perdagangan Indonesia pada periode Januari–Maret 2025 mencatatkan surplus sebesar US$ 10,92 miliar, naik US$ 3,51 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

  • AS Sumbang Surplus Dagang Terbesar ke RI pada Maret 2025

    AS Sumbang Surplus Dagang Terbesar ke RI pada Maret 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Amerika Serikat menjadi negara yang memberi surplus perdagangan terbesar dengan Indonesia pada Maret 2025, meski ada ancaman tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS Donald Trump.

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan surplus perdagangan nonmigas Indonesia dengan AS senilai US$1,98 miliar.

    Surplus tersebut lebih besar dari bulan sebelumnya atau Februari 2025, yang mana AS menyumbang surplus perdagangan ke Indonesia sebesar US$1,57 miliar.

    “Komoditas penyumbang surplus terbesar dengan Amerika seperti biasa ini didorong oleh komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagian [US$465 juta], alas kaki [US$239,7 juta], dan lemak dan minyak hewan nabati [US$238,7 juta],” ungkap Amalia dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).

    Negara selanjutnya yang penyumbang surplus perdagangan terbesar ke Indonesia adalah India yaitu sebesar US$1,04 miliar, yang kemudian diikuti oleh Filipina yaitu sebesar US$714,1 juta.

    Di sisi lain, Indonesia juga mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara. Tiga negara penyumbang defisit terbesar yaitu China (US$1,11 miliar), Australia (US$353,2 juta) dan Thailand (US$195,4 miliar).

    Sementara itu, secara keseluruhan BPS mengumumkan neraca perdagangan tercatat surplus senilai US$4,33 miliar pada Maret 2025. Amalia mengatakan nilai surplus tersebut naik US$1,23 miliar secara bulanan. “Indonesia mencatatkan surplus 59 bulan beruntun sejak Mei 2020,” ujarnya.

    Amalia menyebutkan surplus ditopang komoditas nonmigas dengan surplus perdagangan senilai US$6 miliar. Sejumlah komoditas pendorong surplus antara lain lemak dan hewan minyak nabati, bahan bakan mineral, serta besi dan baja.

    “Pada saat yang sama, neraca perdagangan migas defisit US$1,67 miliar dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah,” jelasnya.

    Sebagai informasi, pemerintah sendiri sedang melakukan negosiasi tarif resiprokal Trump. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto resmi menyerahkan proposal tawaran negosiasi ulang penerapan tarif resiprokal yang dikenakan ke Indonesia sebesar 32% ke Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick di Washington DC, AS pada Sabtu (19/4/2025) waktu setempat.

    Airlangga menyampaikan Indonesia menawarkan untuk meningkatkan pembelian dan impor barang AS agar menyeimbangkan defisit perdagangan antar kedua negara. Memang, Indonesia merupakan negara penyumbang defisit terbesar ke-15 ke neraca perdagangan AS pada tahun lalu.

  • Surplus Neraca Dagang US,33 Miliar pada Maret 2025, Rekor 59 Bulan Beruntun

    Surplus Neraca Dagang US$4,33 Miliar pada Maret 2025, Rekor 59 Bulan Beruntun

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan mencatatkan surplus senilai US$4,33 miliar pada Maret 2025.

    Sebagai informasi, pada Februari 2025 surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$3,12 miliar. Secara kumulatif, neraca perdagangan selama Januari hingga Maret 2025 mencapai US$10,92 miliar.

    Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan nilai surplus tersebut naik US$1,23 miliar secara bulanan. “Indonesia mencatatkan surplus 59 bulan beruntun sejak Mei 2020,” ujarnya dalam Rilis BPS, Senin (21/4/2025).

    Amalia menyebutkan surplus ditopang komoditas nonmigas dengan surplus perdagangan senilai US$6 miliar. Sejumlah komoditas pendorong surplus antara lain lemak dan hewan minyak nabati, bahan bakan mineral, serta besi dan baja.

    “Pada saat yang sama, neraca perdagangan migas defisit US$1,67 miliar dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah,” jelasnya.

    Surplus tersebut juga didorong oleh kinerja ekspor Indonesia yang tumbuh 3,16% YoY menjadi US$23,25 miliar pada Maret 2025. Sementara, total nilai impor mencapai Us$18,92 miliar atau naik 5,34% YoY.

    Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memperkirakan surplus neraca perdagangan yang berasal dari kinerja ekspor dan impor akan melanjutkan tren penurunan pada Maret 2025.

    Josua menilai meski pada bulan tersebut belum terdampak efek tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump, tetapi penurunan mulai terjadi akibat faktor musiman. Umumnya, selama bulan Ramadan menyebabkan kinerja ekspor melemah dan impor meningkat.

    “Setelah mencatat surplus sebesar US$3,12 miliar pada Februari 2025, kami memproyeksikan surplus akan turun menjadi US$2,62 miliar pada Maret 2025,” ujarnya, Senin (21/4/2025).

    Proyeksi tersebut sedikit lebih rendah dari konsensus 15 ekonom yang dihimpun Bloomberg, nilai tengah atau median surplus neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2025 diproyeksikan sebesar US$2,9 miliar.

  • Dulu Pemerintahan Prabowo Tolak Didikte Asing, Balik Arah usai Kena Tarif Trump?

    Dulu Pemerintahan Prabowo Tolak Didikte Asing, Balik Arah usai Kena Tarif Trump?

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto sejak awal pemerintahan menekankan kepada jajaran kabinetnya supaya tidak didikte asing. Namun demikian, pernyataan itu seolah bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah ketika menghadapi tarif Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

    Prabowo seperti diketahui tidak menempuh jalur retaliasi. Dia memilih untuk menempuh jalur negosiasi atas tarif impor 32% oleh pemerintah Amerika Serikat (AS), yang kini dipimpin Presiden Donald Trump. Jalur negosiasi diambil kendati Prabowo pernah berpesan agar Indonesia jangan mau didikte oleh negara asing. 

    Pernyataan Prabowo kembali mencuat setelah delegasi pemerintah Indonesia melawat ke AS guna membahas paket-paket negosiasi perdagangan dengan pemerintahan Trump. Salah satu pokok negosiasi yang ditawarkan Indonesia ke Negeri Paman Sam adalah untuk menambah impor sejumlah komoditas guna menyeimbangkan neraca dagang antara kedua negara. 

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menorehkan capaian surplus perdagangan atas AS sekitar US$14,5 miliar. Hal itu menjadi salah satu alasan AS mengenakan tarif impor atas sejumlah produk maupun komoditas dari Indonesia, di tengah upaya Trump menekan defisit neraca dagang negaranya serta menggenjot industri dalam negeri. 

    Keputusan Indonesia itu kontras dengan instruksi Prabowo kepada kabinetnya tahun lalu. Saat itu, pada awal-awal periode pemerintahannya, Presiden ke-8 itu meminta kepada menterinya agar jangan sampai mau didikte oleh pihak asing. 

    Hal itu diungkap oleh Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto, yang mengungkap pesan Prabowo ke kabinetnya saat Retreat Kabinet Merah Putih di Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah, Oktober 2024. 

    “Bapak meminta lanjutkan hilirisasi, swasembada pangan, swasembasa energi, dan jangan mau didikte oleh kepentingan asing,” ujarnya kepada wartawan melalui pesan singkat, Jumat (25/10/2024).

    Prabowo diketahui sering tidak segan-segan menyinggung pihak asing dalam pernyataan terbuka, baik soal ekonomi hingga politik.

    Teranyar, Ketua Umum Partai Gerindra itu sempat mempertanyakan apabila sejumlah demo yang dilakukan masyarakat terhadap kebijakan pemerintahannya murni pergerakan dari masyarakat atau didanai pihak luar. 

    Pada wawancara eksklusif bersama sejumlah jurnalis senior di Hambalang, Minggu (6/4/2025), dia mengaku khawatir atas potensi intervensi asing yang ingin menciptakan ketegangan di dalam negeri. 

    “Selalu dalam pengelolaan suatu negara kita waspada apakah ada kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan asing yang ingin adu domba,” tambahnya.  

    Prabowo kemudian menyoroti keberadaan organisasi nonpemerintah yang dibiayai oleh lembaga asing seperti USAID, dan menyatakan bahwa fakta ini bukan lagi rahasia umum. 

    “Pemerintah (AS) telah membubarkan USAID dan di situ ketemu bukti-bukti bahwa USAID membiayai banyak LSM-LSM di mana-mana. Bahkan ini kan keluar semua — it’s public knowledge. Jadi saya mengajak kita berpikir dengan jernih demo itu hak tapi juga kalau demo dibuat untuk menimbulkan kekacauan dan kerusuhan ini menurut saya adalah melawan kepentingan nasional dan melawan kepentingan rakyat,” tegas Kepala Negara.

    Di sisi lain, Prabowo juga kerap menyampaikan narasi kemandirian di negara sendiri. Dia berharap pemerintahannya bisa mewujudkan kemandirian ekonomi yang tidak banyak bergantung dengan asing.

    Oleh sebab itu, dia pun ikut mendorong kebijakan hilirisasi sumber daya alam atau SDA sebagaimana yang pertama didorong oleh pendahulunya, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). 

    Namun, pada waktu yang sama, pemerintahan Prabowo juga tidak dapat menampik ihwal dibutuhkannya investasi asing untuk berbagai program-program yang ingin digarap lima tahun ke depan. Mulai dari Danantara hingga proyek perumahan rakyat. 

    Strategi Tambah Impor 

    Strategi untuk menambah impor guna menyeimbangkan neraca dagang dengan AS sudah pernah dikemukakan Prabowo, ketika menghadiri acara Sarasehan Ekonomi bersama dengan investor maupun ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025). 

    Anak dari Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu mengatakan bakal menggunakan strategi ‘Pak Pok’.

    “Kita bisa bikin pak pok, pak pok ada istilah bisnis bisa ya? Saya sudah tugaskan Menko Perekonomian dan Pak Luhut untuk bernegosiasi. Kita bisa bikin pak pok. Saya tawarin mereka pak pok, US$17 miliar surplus kita, US$17 miliar kita beli dari Amerika,” ucap Prabowo dalam acara Sarasehan Ekonomi, Selasa (8/4/2025).

    Adapun dalam pertemuan selama 1,5 jam antara Menko Perekonomian Airlangga dan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick pekan ini, pemerintah Indonesia menyampaikan proposal untuk meningkatkan pembelian impor dari AS dalam bentuk produk energi seperti minyak mentah/crude oil, LPG dan BBM; kedelai dan produknya serta gandum; dan mineral kritis. 

    “Kami berterima kasih kepada Secretary Lutnick yang memberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi tarif dan menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mewujudkan perdagangan yang adil dan berimbang,” kata Airlangga, dikutip dari siaran pers, Minggu (20/4/2025). 

    Menteri Lutnick pun mengapresiasi komitmen dan proposal konkret dari Indonesia, dan menilai apa yang ditawarkan dan dimintakan Indonesia ini sangat konkret dan saling menguntungkan kedua negara. Dia menyebut proposal Indonesia berbeda dengan beberapa negara lain yang juga baru saja mengajukan proposal, dan belum diterima oleh pihak AS. 

    Oleh sebab itu, Lutnick juga sependapat dengan rencana target negosiasi yang akan diselesaikan dalam 60 hari ke depan, dan menyarankan agar langsung menyusun jadwal pembahasan teknis secara detail dengan pihak Departemen Perdagangan AS dan United States Trade Representatives.

    “Kami mengapresiasi langkah konkret Indonesia untuk melakukan negosiasi tarif. Ke depan, AS dan Indonesia akan terus melanjutkan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan,” ujar Lutnick.

    Rencana Impor Minyak dan LPG AS

    Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sempat mengungkap rencana peningkatan impor crude oil, LPG dan BBM dari AS menyusul kebijakan tarif impor 32%. 

    Bahlil lalu mengungkap pemerintah akan mengimpor dengan nilai di atas US$10 miliar untuk barang-barang tersebut. 

    “[Nilai impornya, red] di atas US$10 miliar kalau dari sektor BBM. Crude oil, LPG, maupun BBM,” ujar pria yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (17/4/2025).

    Bahlil memaparkan, bahwa sebagian dari impor komoditas energi itu saat ini dipasok Indonesia dari negara-negara Timur Tengah, Afrika hingga Asia Tenggara. Sejalan dengan upaya untuk menyeimbangan neraca dagang dengan AS, maka pemerintah Indonesia akan mengalihkan sebagian porsi impor itu ke AS. 

    Adapun secara terperinci, rencana porsi impor energi yang akan dinaikkan oleh pemerintah dari AS yakni LPG dari sebelumnya 54% ke 80% hingga 85%. 

    Kemudian, minyak mentah atau crude yang awalnya impor dari AS hanya 4% rencananya bakal dikerek hingga 40% lebih. Teknis lebih lanjut, terang Bahlil, bakal dibahas dengan BUMN PT Pertamina (Persero). 

    “Crude oil kita di Amerika itu tidak lebih dari 4%, ini kita naikkan menjadi 40% lebih. BBM juga demikian, BBM di Amerika itu kan sedikit sekali, nanti detilnya setelah saya akan melakukan pembahasan teknis dengan tim teknis dan Pertamina,” terang mantan Menteri Investasi itu. 

    Bahlil mengakui bahwa upaya penaikan persentase impor energi dari AS itu dengan harapan agar pemerintahan Donald Trump akan menurunkan tarif impor yang dikenakan ke Indonesia. 

    Apalagi, seperti diketahui, AS adalah mitra dagang utama Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS merupakan terbesar kedua setelah China. 

    “Ini kan bagian daripada bagaimana membangun keseimbangan. Kalau dengan harapan neraca perdagangan kita sudah seimbang, bahkan mungkin bisa mereka surplus, katakanlah kalau itu terjadi, harapannya tarifnya diturunkan dong. Kalau tidak diturunkan untuk apa?,” katanya. 

  • Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terus berlangsung di tengah semakin memanasnya tensi perang dagang.

    Indonesia sejatinya dianggap AS sebagai pasar potensial, namun di sisi lain, negeri Paman Sam itu mengeluhkan beragam kebijakan baik berupa tarif maupun non tarif, yang dianggap menghambat kepentingan AS. AS kemudian menjatuhkan tarif sebesar 32% terhadap impor barang asal Indonesia.

    Dalam catatan Bisnis, AS adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia. Banyak produk Indonesia, terutama produk manufaktur, diserap oleh pasar Amerika. Pada tahun 2024 lalu, misalnya, neraca perdagangan Indonesia terhadap AS tercatat surplus sebesar US$17,9 miliar. 

    Surplus neraca perdagangan itu dipicu oleh nilai impor AS yang terlalu besar dibandingkan kinerja ekspornya. AS  tercatat mengimpor barang asal Indonesia sebesar US$28,1 miliar. Sedangkan ekspor AS ke Indonesia hanya senilai US$10,2 miliar.

    Adapun pengenaan tarif 32%, yang kemudian diketahui bertambah menjadi 47% khusus untuk tekstil dan garmen, selain untuk memperkecil defisit neraca perdagangan, juga ditujukan memperluas penyerapan produk AS ke pasar Indonesia. 

    Menariknya, di tengah proses negosiasi tarif yang telah berlangsung, AS melalui United States Trade Representative atau USTR menerbitkan sebuah laporan berjudul: 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreements Program.

    Laporan ini secara umum menyoroti kebijakan pemerintah di sejumlah negara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan AS. Ada banyak negara yang disorot dalam laporan itu, salah satunya Indonesia.

    Berikut daftar sorotan AS  terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap menghambat perdagangan. 

    1. Kebijakan impor atau import policies. 

    Tarif & Pajak 

    Kebijakan impor ini mencakup pengenaan tarif bea masuk dan pajak impor. Namun demikian, yang paling membuat stakeholder AS khawatir antara lain, penerapan tarif Indonesia yang melebihi nilai yang ditetapkan WTO untuk kategori produk teknologi informasi dan komunikasi tertentu. 

    “Misalnya, meskipun memiliki tarif yang ditetapkan WTO sebesar nol persen untuk subpos di bawah kode Sistem Harmonisasi (HS) pos 8517, yang mencakup peralatan switching dan routing, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk sebesar 10 persen untuk produk-produk ini.”

    Dari sisi pajak, laporan itu menyoroti kekhawatiran perusahaan AS tentang proses audit pajak yang tidak transparan dan rumit, denda yang besar untuk kesalahan administratif, mekanisme sengketa yang panjang, dan kurangnya preseden hukum di Pengadilan Pajak. 

    Selain itu, AS juga menyebut rezim cukai saat ini mengenakan tarif pajak cukai yang lebih tinggi terhadap minuman beralkohol impor. Untuk minuman dengan kadar alkohol antara 5% dan 20%, tarif pajak cukai adalah 24% lebih tinggi untuk produk impor dibandingkan dengan produk domestik. 

    AS juga khawatir bahwa proses klaim pengembalian kelebihan atau restitusi pajak  penghasilan yang dibayar di muka pada saat impor dapat memakan waktu bertahun-tahun dan upaya yang cukup besar.

    Non Tarif

    Laporan USTR itu juga mengungkap bahwa sistem perizinan impor Indonesia terus menjadi hambatan non-tarif yang signifikan bagi bisnis AS karena banyaknya persyaratan perizinan impor yang tumpang tindih sehingga menghambat akses pasar.

    Selain itu, AS juga menyebut Indonesia memiliki rezim perizinan yang rumit dan memberatkan untuk impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewani.

    Tak hanya dari kebijakan, menurut laporan itu, perusahaan-perusahaan AS melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya dengan penilaian bea masuk. Pejabat bea cukai Indonesia sering mengandalkan harga referensi daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penilaian utama, seperti yang dipersyaratkan oleh Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO. 

    2. Hambatan Teknis Perdagangan

    Dalam poin ini, pemerintah AS menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap menghambat proses masuknya barang dari negeri paman Sam. Mereka menyoroti misalnya tentang syarat cek laboratorium untuk impor mainan, sertifikasi halal hingga kebijakan mengenai pengetesan produk yang berulang-ulang.

    Sementara itu, dari sisi aturan tentang kebersihan komoditas impor, AS menyoroti tentang aturan mengenai fasilitas registrasi untuk produk yang berasal dari hewan. AS bahkan menganggap bahwa di antara semua syarat pendaftaran mitra dagang, eksportir AS mengidentifikasi persyaratan Indonesia yang paling memberatkan. 

    Fasilitas produksi susu, misalnya, diharuskan untuk lulus audit yang panjang, tetapi tidak wajib audit untuk produk hewani lainnya. Fasilitas lain (misalnya, daging dan pengolahan) diharuskan untuk menjalani inspeksi fasilitas di tempat dan tinjauan meja pasca-audit. 

    Tak hanya itu, laporan itu menyebut, Indonesia mengenakan biaya untuk biaya transportasi dan penginapan bagi pejabat Kementerian Pertanian yang melakukan inspeksi di Amerika Serikat.

    Secara total, perusahaan yang ingin mengekspor ke Indonesia dapat membayar lebih dari US$10.000 untuk setiap inspeksi di tempat dan tinjauan meja pasca-audit fasilitas. Banyak perusahaan AS yang terpengaruh adalah usaha kecil yang melaporkan bahwa biaya tersebut merupakan hambatan yang signifikan.

    3. Proyek Pemerintah 

    Laporan USTR juga menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia yang memberikan preferensi khusus untuk mendorong pengadaan dalam negeri dan memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan pemerintah. 

    Indonesia juga menginstruksikan departemen, lembaga, dan perusahaan pemerintah untuk memanfaatkan barang dan jasa dalam negeri semaksimal mungkin.

    4. Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual 

    AS juga menyoroti tentang komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi kekayaan intelektual. Secara spesifik, laporan itu bahkan menyebut Pasar Mangga Dua di Jakarta masuk dalam daftar  tempat pemalsuan dan pembajakan (Daftar Pasar Terkenal) tahun 2024, bersama dengan beberapa pasar daring Indonesia. 

    Menurut laporan itu, kurangnya penegakan hukum masih menjadi masalah, dan Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk memanfaatkan gugus tugas penegakan hukum kekayaan intelektual untuk meningkatkan kerja sama penegakan hukum di antara lembaga penegak hukum dan kementerian terkait.

    5. Hambatan di sektor Jasa 

    Ada banyak yang disorot dalam bagian ini mulai dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan 60% kuota diberikan kepada film domestik, kebijakan terkait dengan layanan pengiriman kilat atau ekspres, industri jasa keuangan terutama tentang kepemilikan asing, jasa kesehatan, waralaba dan distribusi di sektor ritel, hingga terkait jasa telekomunikasi.

    Khusus sektor telekomunikasi, laporan itu menyebut bahwa sejumlah perusahaan AS telah melaporkan bahwa, dalam beberapa kasus, Kementerian Perindustrian yang jumlah impor berdasarkan lisensi untuk melindungi ponsel, komputer genggam, dan tablet yang diproduksi secara lokal.

    Secara keseluruhan, praktik perizinan Indonesia memberlakukan hambatan yang signifikan terhadap impor ponsel, perangkat genggam, dan perangkat elektronik lainnya.

    6. Hambatan Perdagangan Digital 

    Banyak yang disorot dalam bagian ini, salah satunya tentang kekhawatiran AS terhadap pengenaan tarif terhadap barang tak berwujud berupaya produk digital seperti software dan sejenisnya. Kendati tidak dikenakan tarif, kewajiban untuk melaporkan ke otoritas kepabeanan, dianggap akan membebani secara administrasi. Terkait kategori konten terlarang dalam layanan internet juga menjadi sorotan AS. 

    7. Hambatan Investasi

    Secara spesifik pemerintah AS menyoroti konsistensi pemerintah untuk menghapus daftar negatif investasi. Pemerintah, tulis laporan itu, memang telah daftar negatif investasi tahun 2016, namun masih menyisakan sektor-sektor tertentu yang masih tunduk terhadap pembatasan kepemilikan asing atau swasta. 

    Sektor media hingga transportasi udaraz misalnya, kepemilikan asing hanya dibatasi di angka 49%. Sementara itu di sektor penyedia layanan penyiaran hanya dibatasi di angka 20%. 

    8. Subsidi 

    Pemerintah AS menuding Indonesia telah terus memberikan insentif fiskal dan non fiskal untuk manufaktur dan ekspor terkait dengan program zona pemrosesan ekspor dan zona ekonomi khusus. Amerika Serikat akan terus mendesak Indonesia untuk menyerahkan pemberitahuan WTO untuk semua program subsidinya.

    9. Hambatan Lainnya 

    Di luar 8 poin di atas, Hambatan-hambatan lain yang memicu langkah tegas pemerintah AS terhadap Indonesia mencakup banyak aspek.

    Dalam penjelasannya USTR mengemukakan bahwa meskipun Pemerintah Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dan mengadili kasus-kasus korupsi besar, banyak pemangku kepentingan terus memandang korupsi sebagai hambatan signifikan untuk berbisnis di Indonesia. 

    Hambatan itu antara lain, koordinasi yang buruk dalam Pemerintah Indonesia; lambatnya perolehan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur; penegakan kontrak yang buruk; kerangka peraturan dan hukum yang tidak pasti; penilaian pajak yang tidak konsisten; dan kurangnya transparansi dalam pengembangan undang-undang dan peraturan. 

    Para pemangku kepentingan AS yang mencari bantuan hukum dalam sengketa kontrak telah melaporkan bahwa mereka sering dipaksa untuk mengajukan gugatan balik yang tidak sah dan telah menyuarakan kekhawatiran yang berkembang tentang kriminalisasi sengketa kontrak. 

    Selain itu, sejumlah kebijakan lain yang juga menjadi sorotan AS sebagai penghambat dalam perdagangan mencakup kebijakan domestic market obligation atau DMO batu bara, kontrak bagi hasil tambang minyak, hingga terkait ketentuan local content atau TKDN.

  • Deretan Kebijakan RI yang Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Deretan Kebijakan RI yang Masuk Daftar Hitam Pemerintahan Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terus berlangsung di tengah semakin memanasnya tensi perang dagang.

    Indonesia sejatinya dianggap AS sebagai pasar potensial, namun di sisi lain, negeri Paman Sam itu mengeluhkan beragam kebijakan baik berupa tarif maupun non tarif, yang dianggap menghambat kepentingan AS. AS kemudian menjatuhkan tarif sebesar 32% terhadap impor barang asal Indonesia.

    Dalam catatan Bisnis, AS adalah salah satu mitra dagang utama Indonesia. Banyak produk Indonesia, terutama produk manufaktur, diserap oleh pasar Amerika. Pada tahun 2024 lalu, misalnya, neraca perdagangan Indonesia terhadap AS tercatat surplus sebesar US$17,9 miliar. 

    Surplus neraca perdagangan itu dipicu oleh nilai impor AS yang terlalu besar dibandingkan kinerja ekspornya. AS  tercatat mengimpor barang asal Indonesia sebesar US$28,1 miliar. Sedangkan ekspor AS ke Indonesia hanya senilai US$10,2 miliar.

    Adapun pengenaan tarif 32%, yang kemudian diketahui bertambah menjadi 47% khusus untuk tekstil dan garmen, selain untuk memperkecil defisit neraca perdagangan, juga ditujukan memperluas penyerapan produk AS ke pasar Indonesia. 

    Menariknya, di tengah proses negosiasi tarif yang telah berlangsung, AS melalui United States Trade Representative atau USTR menerbitkan sebuah laporan berjudul: 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreements Program.

    Laporan ini secara umum menyoroti kebijakan pemerintah di sejumlah negara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan AS. Ada banyak negara yang disorot dalam laporan itu, salah satunya Indonesia.

    Berikut daftar sorotan AS  terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap menghambat perdagangan. 

    1. Kebijakan impor atau import policies. 

    Tarif & Pajak 

    Kebijakan impor ini mencakup pengenaan tarif bea masuk dan pajak impor. Namun demikian, yang paling membuat stakeholder AS khawatir antara lain, penerapan tarif Indonesia yang melebihi nilai yang ditetapkan WTO untuk kategori produk teknologi informasi dan komunikasi tertentu. 

    “Misalnya, meskipun memiliki tarif yang ditetapkan WTO sebesar nol persen untuk subpos di bawah kode Sistem Harmonisasi (HS) pos 8517, yang mencakup peralatan switching dan routing, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk sebesar 10 persen untuk produk-produk ini.”

    Dari sisi pajak, laporan itu menyoroti kekhawatiran perusahaan AS tentang proses audit pajak yang tidak transparan dan rumit, denda yang besar untuk kesalahan administratif, mekanisme sengketa yang panjang, dan kurangnya preseden hukum di Pengadilan Pajak. 

    Selain itu, AS juga menyebut rezim cukai saat ini mengenakan tarif pajak cukai yang lebih tinggi terhadap minuman beralkohol impor. Untuk minuman dengan kadar alkohol antara 5% dan 20%, tarif pajak cukai adalah 24% lebih tinggi untuk produk impor dibandingkan dengan produk domestik. 

    AS juga khawatir bahwa proses klaim pengembalian kelebihan atau restitusi pajak  penghasilan yang dibayar di muka pada saat impor dapat memakan waktu bertahun-tahun dan upaya yang cukup besar.

    Non Tarif

    Laporan USTR itu juga mengungkap bahwa sistem perizinan impor Indonesia terus menjadi hambatan non-tarif yang signifikan bagi bisnis AS karena banyaknya persyaratan perizinan impor yang tumpang tindih sehingga menghambat akses pasar.

    Selain itu, AS juga menyebut Indonesia memiliki rezim perizinan yang rumit dan memberatkan untuk impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewani.

    Tak hanya dari kebijakan, menurut laporan itu, perusahaan-perusahaan AS melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya dengan penilaian bea masuk. Pejabat bea cukai Indonesia sering mengandalkan harga referensi daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penilaian utama, seperti yang dipersyaratkan oleh Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO. 

    2. Hambatan Teknis Perdagangan

    Dalam poin ini, pemerintah AS menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap menghambat proses masuknya barang dari negeri paman Sam. Mereka menyoroti misalnya tentang syarat cek laboratorium untuk impor mainan, sertifikasi halal hingga kebijakan mengenai pengetesan produk yang berulang-ulang.

    Sementara itu, dari sisi aturan tentang kebersihan komoditas impor, AS menyoroti tentang aturan mengenai fasilitas registrasi untuk produk yang berasal dari hewan. AS bahkan menganggap bahwa di antara semua syarat pendaftaran mitra dagang, eksportir AS mengidentifikasi persyaratan Indonesia yang paling memberatkan. 

    Fasilitas produksi susu, misalnya, diharuskan untuk lulus audit yang panjang, tetapi tidak wajib audit untuk produk hewani lainnya. Fasilitas lain (misalnya, daging dan pengolahan) diharuskan untuk menjalani inspeksi fasilitas di tempat dan tinjauan meja pasca-audit. 

    Tak hanya itu, laporan itu menyebut, Indonesia mengenakan biaya untuk biaya transportasi dan penginapan bagi pejabat Kementerian Pertanian yang melakukan inspeksi di Amerika Serikat.

    Secara total, perusahaan yang ingin mengekspor ke Indonesia dapat membayar lebih dari US$10.000 untuk setiap inspeksi di tempat dan tinjauan meja pasca-audit fasilitas. Banyak perusahaan AS yang terpengaruh adalah usaha kecil yang melaporkan bahwa biaya tersebut merupakan hambatan yang signifikan.

    3. Proyek Pemerintah 

    Laporan USTR juga menyoroti kebijakan pemerintah Indonesia yang memberikan preferensi khusus untuk mendorong pengadaan dalam negeri dan memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan pemerintah. 

    Indonesia juga menginstruksikan departemen, lembaga, dan perusahaan pemerintah untuk memanfaatkan barang dan jasa dalam negeri semaksimal mungkin.

    4. Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual 

    AS juga menyoroti tentang komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi kekayaan intelektual. Secara spesifik, laporan itu bahkan menyebut Pasar Mangga Dua di Jakarta masuk dalam daftar  tempat pemalsuan dan pembajakan (Daftar Pasar Terkenal) tahun 2024, bersama dengan beberapa pasar daring Indonesia. 

    Menurut laporan itu, kurangnya penegakan hukum masih menjadi masalah, dan Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk memanfaatkan gugus tugas penegakan hukum kekayaan intelektual untuk meningkatkan kerja sama penegakan hukum di antara lembaga penegak hukum dan kementerian terkait.

    5. Hambatan di sektor Jasa 

    Ada banyak yang disorot dalam bagian ini mulai dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan 60% kuota diberikan kepada film domestik, kebijakan terkait dengan layanan pengiriman kilat atau ekspres, industri jasa keuangan terutama tentang kepemilikan asing, jasa kesehatan, waralaba dan distribusi di sektor ritel, hingga terkait jasa telekomunikasi.

    Khusus sektor telekomunikasi, laporan itu menyebut bahwa sejumlah perusahaan AS telah melaporkan bahwa, dalam beberapa kasus, Kementerian Perindustrian yang jumlah impor berdasarkan lisensi untuk melindungi ponsel, komputer genggam, dan tablet yang diproduksi secara lokal.

    Secara keseluruhan, praktik perizinan Indonesia memberlakukan hambatan yang signifikan terhadap impor ponsel, perangkat genggam, dan perangkat elektronik lainnya.

    6. Hambatan Perdagangan Digital 

    Banyak yang disorot dalam bagian ini, salah satunya tentang kekhawatiran AS terhadap pengenaan tarif terhadap barang tak berwujud berupaya produk digital seperti software dan sejenisnya. Kendati tidak dikenakan tarif, kewajiban untuk melaporkan ke otoritas kepabeanan, dianggap akan membebani secara administrasi. Terkait kategori konten terlarang dalam layanan internet juga menjadi sorotan AS. 

    7. Hambatan Investasi

    Secara spesifik pemerintah AS menyoroti konsistensi pemerintah untuk menghapus daftar negatif investasi. Pemerintah, tulis laporan itu, memang telah daftar negatif investasi tahun 2016, namun masih menyisakan sektor-sektor tertentu yang masih tunduk terhadap pembatasan kepemilikan asing atau swasta. 

    Sektor media hingga transportasi udaraz misalnya, kepemilikan asing hanya dibatasi di angka 49%. Sementara itu di sektor penyedia layanan penyiaran hanya dibatasi di angka 20%. 

    8. Subsidi 

    Pemerintah AS menuding Indonesia telah terus memberikan insentif fiskal dan non fiskal untuk manufaktur dan ekspor terkait dengan program zona pemrosesan ekspor dan zona ekonomi khusus. Amerika Serikat akan terus mendesak Indonesia untuk menyerahkan pemberitahuan WTO untuk semua program subsidinya.

    9. Hambatan Lainnya 

    Di luar 8 poin di atas, Hambatan-hambatan lain yang memicu langkah tegas pemerintah AS terhadap Indonesia mencakup banyak aspek.

    Dalam penjelasannya USTR mengemukakan bahwa meskipun Pemerintah Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dan mengadili kasus-kasus korupsi besar, banyak pemangku kepentingan terus memandang korupsi sebagai hambatan signifikan untuk berbisnis di Indonesia. 

    Hambatan itu antara lain, koordinasi yang buruk dalam Pemerintah Indonesia; lambatnya perolehan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur; penegakan kontrak yang buruk; kerangka peraturan dan hukum yang tidak pasti; penilaian pajak yang tidak konsisten; dan kurangnya transparansi dalam pengembangan undang-undang dan peraturan. 

    Para pemangku kepentingan AS yang mencari bantuan hukum dalam sengketa kontrak telah melaporkan bahwa mereka sering dipaksa untuk mengajukan gugatan balik yang tidak sah dan telah menyuarakan kekhawatiran yang berkembang tentang kriminalisasi sengketa kontrak. 

    Selain itu, sejumlah kebijakan lain yang juga menjadi sorotan AS sebagai penghambat dalam perdagangan mencakup kebijakan domestic market obligation atau DMO batu bara, kontrak bagi hasil tambang minyak, hingga terkait ketentuan local content atau TKDN.

  • Terungkap! Isi Tawaran RI ke Bos Mendag AS dalam Negosiasi Tarif

    Terungkap! Isi Tawaran RI ke Bos Mendag AS dalam Negosiasi Tarif

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menemui United States Secretary of Commerce Howard Lutnick dalam agenda rangkaian negosiasi tarif resiprokal yang dikenakan Presiden AS Donald Trump terhadap Indonesia sebesar 32%.

    Pertemuan dengan Lutnick telah terselenggara dua kali. Pertama ialah pertemuan secara online melalui Zoom Meeting pada Kamis (17/4), kedua ialah pertemuan secara langsung di Kantor Department of Commerce (DoC) AS pada Sabtu (19/4) waktu setempat.

    Dalam pertemuan kedua yang berlangsung selama 1,5 jam, Airlangga menawarkan sejumlah kebijakan perdagangan dengan AS, supaya tercipta perdagangan yang adil, sebagaimana permintaan Trump karena neraca perdagangan AS dengan Indonesia kerap defisit.

    “Kami berterima kasih kepada Secretary Lutnick yang memberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi tarif dan menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mewujudkan perdagangan yang adil dan berimbang,” kata Airlangga melalui siaran pers, dikutip Minggu (20/4/2025).

    Dalam negosiasi itu, Airlangga menawarkan pembelian dan impor Indonesia dari AS untuk menyeimbangkan defisit perdagangan AS, antara lain pembelian produk energi (crude oil, LPG dan gasoline) serta peningkatan impor produk pertanian dari AS (soybeans, soybeans meal dan wheat) yang memang sangat dibutuhkan dan tidak diproduksi di Indonesia.

    Airlangga juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk kerja sama di bidang critical minerals, dukungan investasi AS dan juga komitmen untuk menyelesaikan permasalahan Non-Tariff Barrier (NTB) yang menjadi concern pihak pengusaha AS di Indonesia.

    Lutnick pun kabarnya mengapresiasi tawaran Airlangga, termasuk proposal konkret terkait pembelian produk dari AS. Ia menganggap tawaran Indonesia saling menguntungkan antar kedua negara.

    Pada kesempatan itu, Lutnick juga sependapat dengan rencana target negosiasi yang akan diselesaikan dalam 60 hari ke depan, dan menyarankan agar langsung menyusun jadwal pembahasan teknis secara detail dengan pihak DoC dan USTR.

    “Kami mengapresiasi langkah konkret Indonesia untuk melakukan negosiasi tarif. Ke depan, AS dan Indonesia akan terus melanjutkan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan,” ujar Lutnick.

    Tim negosiasi RI yang turut hadir mendampingi Menko Airlangga yakni antara lain Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso, Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi dan Investasi Kemenko Perekonomian Edi Prio Pambudi, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, dan Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Washington DC Ida Bagus Made Bimantara.

    Sebelum Indonesia, ada beberapa negara seperti Jepang dan Argentina yang juga baru saja bertemu dan melakukan negosiasi mengenai tarif AS tersebut dengan Lutnick. Indonesia termasuk salah satu dari sedikit negara yang langsung diterima oleh Pemerintah AS.

    (haa/haa)

  • Tambah Impor Rp51,19 triliun ke AS, Airlangga Jamin Program Swasembada Pangan Indonesia Tak Terganggu

    Tambah Impor Rp51,19 triliun ke AS, Airlangga Jamin Program Swasembada Pangan Indonesia Tak Terganggu

    PIKIRAN RAKYAT – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto baru-baru ini menyampaikan bahwa pemerintah akan menjamin rencana untuk meningkatkan impor pangan dari Amerika Serikat (AS), seperti gandum, tidak akan mengganggu program swasembada pangan yang merupakan program unggulan di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Hal tersebut disampaikan oleh Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat melakukan konferensi pers bertajuk “Perkembangan Terkini Negosiasi dan Diplomasi Perdagangan Indonesia-Amerika Serikat”, Jakarta, Jumat, 18 April 2025.

    Seperti yang sudah diketahui bahwa Indonesia merupakan importir produk AS seperti gandum, kacang kedelai, maupun susu kedelai guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

    Produk-produk tersebut, Jelas Airlangga, biasanya diimpor Indonesia tidak hanya dari AS, tetapi juga dari Australia, Ukraina, dan negara-negara lainnya.

    Menurut Airlangga, Indonesia hanya melakukan pengalihan daripada impor bahan baku.

    Tambahnya, bahwa pemerintah Indonesia berencana untuk menambah impor dari AS senilai 18-19 miliar dollar AS (Rp51,19 triliun) sebagai bagian dari strategi negosiasi tarif timbal balik atau resiprokal dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

    Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga memastikan bahwa barang-barang yang akan dibeli merupakan komoditas yang memang dibutuhkan di Indonesia serta nantinya tidak mengganggu produksi dalam negeri.

    Sambungnya, dia lalu menuturkan bahwa sejumlah barang yang selama ini menjadi langganan impor dari AS adalah produk agrikultur seperti gandum dan kedelai.

    Melalui kebijakan itu, merupakan bagian dari upaya menyeimbangkan neraca perdagangan antara Indonesia dengan AS.

    Diketahui bahwa dalam data yang tercatat, AS sendiri mencatat defisit perdagangan dengan Indonesia sebesar 17,9 miliar dolar AS pada tahun 2024.

    Adapun data yang tercatat oleh Kementerian Perdagangan mencatat bahwa Indonesia surplus perdagangan dengan AS sebesar 14,3 miliar dolar AS pada tahun 2024.

    Dalam catatan data tersebut, kontributor utama surplus RI berasal dari mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian, dan alas kaki.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News