Topik: neraca perdagangan

  • Surplus Perdagangan RI-AS US$ 4,32 Miliar, Komoditas Ini Paling Laris

    Surplus Perdagangan RI-AS US$ 4,32 Miliar, Komoditas Ini Paling Laris

    Jakarta, Beritasatu.com – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) mencatatkan surplus sebesar US$ 4,32 miliar pada periode Januari hingga Maret 2025. Selama kuartal I tahun ini, nilai ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam mencapai US$ 7,3 miliar, sementara impornya hanya sebesar US$ 2,98 miliar.

    Kontribusi terbesar terhadap ekspor Indonesia ke AS berasal dari sejumlah komoditas unggulan, seperti mesin dan perlengkapan elektrik, alas kaki, serta pakaian dan aksesorisnya baik yang berbahan rajutan maupun bukan rajutan.

    Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, ekspor keempat komoditas tersebut mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    “Mesin dan perlengkapan elektrik mencatat nilai ekspor sebesar US$ 1,2 miliar, menyumbang 16,71% dari total ekspor ke AS, dengan pertumbuhan 17,65%. Sementara itu, ekspor alas kaki mencapai US$ 657,9 juta atau 9,01% dari total ekspor,” ucapnya pada Senin (21/4/2025).

    Ia melanjutkan, produk alas kaki Indonesia juga paling banyak diekspor ke AS, yakni mencapai 34,16% dari total ekspor alas kaki nasional, disusul oleh Belanda, Belgia, Jepang, dan China.

    Kemudian, produk pakaian rajutan juga menjadi primadona dengan nilai ekspor sebesar US$ 629,25 juta atau setara 8,61% dari total ekspor ke AS.

    “Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi pertumbuhan sebesar 20,46%. Pangsa pasar ekspor pakaian rajutan Indonesia ke Amerika Serikat mencapai 63,4%, menjadikannya yang tertinggi, diikuti Jepang dan Korea Selatan,” tambah Amalia terkait surplus perdagangan.

    Untuk produk pakaian bukan rajutan, ekspor ke AS tercatat sebesar US$ 568,46 juta atau 7,78% dari total ekspor, dengan pertumbuhan 1,47%. Pangsa ekspor komoditas ini ke Amerika Serikat mencapai 42,96%, disusul Jepang dan Korea Selatan sebagai pasar utama berikutnya.

    Amalia menegaskan bahwa AS masih menjadi pasar utama bagi produk tekstil dan alas kaki Indonesia hingga catat surplus perdagangan. Hal ini juga menunjukkan kekuatan industri nasional di sektor tersebut dalam persaingan global.

  • Neraca Dagang RI di Tengah Pertarungan 2 Gajah: China Defisit, AS Surplus

    Neraca Dagang RI di Tengah Pertarungan 2 Gajah: China Defisit, AS Surplus

    Bisnis.com, JAKARTA — Perdagangan Indonesia berada di tengah-tengah perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China. Meski ekspor ke kedua negara memiliki nilai yang sama besar, di atas kertas, berdagang dengan AS menghasilkan surplus, berbanding terbalik saat berdagang dengan China.

    Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan bahwa Amerika Serikat (AS)  menjadi salah satu penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia selama 2015 hingga 2025 atau satu dekade terakhir, bersama dengan India dan Filipina.

    Dia mengatakan pihaknya melakukan tinjauan khusus perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat untuk memberikan gambaran yang relevan terkait penerapan tarif resiprokal oleh negara tersebut.

    Apabila dilihat dari neraca dagang, menurut Amalia volume perdagangan dengan AS mengalami tren peningkatan dalam 10 tahun terakhir yang ditopang peningkatan pesat ekspor nonmigas.

    “Surplus neraca perdagangan tertinggi dengan Amerika Serikat terjadi pada tahun 2022, yakni sebesar 16,57 miliar dolar AS (Rp278,54 triliun, kurs Rp16.810),” katanya.

    Defisit China

    Sementara itu, perdagangan Indonesia dengan China mengalami defisit perdagangan nonmigas pada Maret 2025, bahkam menjadi salah satu defisit yang terdalam. 

    Amalia menyampaikan, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara, dengan China menjadi negara penyumbang defisit perdagangan nonmigas mencapai US$1,11 miliar pada Maret 2025.

    “Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara dan yang terbesar adalah China US$1,11 miliar,” kata Amalia.

    Secara terperinci, Amalia mengungkap bahwa defisit perdagangan dengan China utamanya disumbang oleh mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya (HS 84) yakni -US$1,41 miliar, mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) -US$1,30 miliar, dan kendaraan dan bagiannya (HS 87) -US$351 juta.

    Pekerja sedang merakit mesin

    Selain dengan China, Australia dan Thailand menjadi dua negara lainnya sebagai penyumbang defisit terbesar pada Maret 2025. Amalia mengungkap, Australia menyumbang defisit sebesar US$0,35 miliar, dan Thailand US$195 juta pada Maret 2025.

    Untuk Australia, Amalia menuturkan bahwa defisit terbesar dikontribusikan oleh komoditas serealia (HS10) terutama dari komoditas gandum yakni sebesar -US$103 juta, kemudian logam mulia dan perhiasan (HS71) -US$91,2 juta, dan bahan bakar mineral (HS27) -US$83,4 juta.

    Sementara untuk Thailand, BPS mencatat bahwa komoditas penyumbang defisit nonmigas terbesar yakni defisit terbesar dikontribusikan oleh gula dan kembang gula (HS17) -US$96,5 juta, plastik dan barang dari plastik (HS39) -US$68,7 juta, serta mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya (HS84) -US$68,5 juta. 

    Sementara itu, Indonesia tercatat mengalami surplus perdagangan barang pada kelompok nonmigas dengan beberapa negara. Tiga terbesar diantaranya adalah AS US$1,98 miliar, India US$1,04 miliar, Filipina US$714 juta.

    Hubungan RI dengan China dan AS

    Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono menjelaskan bahwa pada dasarnya Indonesia akan tetap membangun hubungan positif dengan sejumlah mitra dagang, termasuk China.

    Pernyataan tersebut juga tanggapan atas pernyataan China yang memperingatkan negara-negara untuk tidak bernegosiasi dengan AS. 

    “Berkait dengan pemerintah RRT [China], saya rasa Indonesia dan RRT juga kita selalu menjunjung tinggi, ya, prinsip perdagangan multilateral. Kita saling menghormati hak dan kewajiban kita masing-masing,” kata Djatmiko dalam Konferensi Pers di Jakarta, Senin (21/6/2025).

    Dia juga mengaku enggan berspekulasi mengenai nasib hubungan dagang RI baik dengan Amerika maupun dengan Tiongkok ke depan. 

    Satu hal yang dia pastikan, pada dasarnya pemerintah Indonesia akan menjalin hubungan dengan mitra dagang sebaik mungkin. Djatmiko juga menyebut, pemerintah tidak segan menggelar forum diplomasi dan perdagangan dengan negara-negara mitra.

    “Kalau pun ada isu, ya, di lapangan selalu akan kita selesaikan di forum diplomasi dan negosiasi perdagangan. Tapi nanti praktiknya seperti apa, kita tunggu saja nanti. Karena ini masih perlu dibicarakan antara pemerintah Indonesia dan AS,” pungkasnya. 

    Untuk diketahui sebelumnya, pemerintah China menegaskan bakal tetap berpegang teguh dengan keputusannya dan menolak untuk melaksanakan negosiasi dengan AS terkait keputusan tarif baru yang dicanangkan Donald Trump. 

    Melansir AFP, pemerintah China tegas bakal menentang negara-negara yang bakal bersepakat negosiasi dengan AS. 

    “Cina dengan tegas menentang pihak mana pun yang mencapai kesepakatan dengan mengorbankan kepentingan Cina,” kata juru bicara Kementerian Perdagangan China.

  • Pemerintahan Prabowo pilih jalur negosiasi ketimbang balas tarif Trump – Perbanyak impor produk energi dan agrikultur dari AS – Halaman all

    Pemerintahan Prabowo pilih jalur negosiasi ketimbang balas tarif Trump – Perbanyak impor produk energi dan agrikultur dari AS – Halaman all

    Pemerintah Indonesia secara resmi menawarkan peningkatan pembelian produk energi dan agrikultur dari Amerika Serikat. Langkah ini dilakukan Indonesia saat Presiden AS Donald Trump menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari sejak 10 April.

    Trump mengumumkan menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia. Penundaan ini tidak berlaku untuk China yang mereka anggap menantang kebijakan AS.

    Di tengah situasi ini, Indonesia memilih jalur negosisasi ketimbang membalas menaikan tarif impor dari AS.

    Dalam keterangan terbaru, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia akan membeli produk energi dari AS seperti “LPG, kemudian US crude oil (minyak mentah), dan gasoline (bensin)”.

    “Juga Indonesia berencana untuk terus memberi produk agrikultur, antara lain gandum, soya bean (kedelai), soya bean milk (susu kedelai), dan juga Indonesia akan meningkatkan pembelian barang-barang modal dari Amerika,” kata Airlangga, Jumat (18/04).

    Selain itu, Airlangga juga akan memberikan insentif terhadap perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia.

    “Indonesia juga menawarkan kerjasama terkait dengan mineral strategis atau critical mineral, dan juga terkait dengan mempermudah, terkait dengan prosedur dari pada impor untuk produk-produk, termasuk produk hortikultura dari Amerika,” tambahnya.

    Airlangga berkata, produk ekspor utama dari Indonesia ke AS seperti garmen, alas kaki, tekstil, furnitur, dan udang “mendapatkan tarif masuk yang lebih tinggi” dibandingkan negara-negara kompetitor.

    Tarif masuk ke AS untuk produk ekspor ini antara 10%-37%. Dengan penangguhan selama 90 hari, maka tetap dikenakan terjadi tarif tambahan 10%.

    “Dengan tambahan 10% ini ekspor kita biayanya lebih tinggi karena tambahan biaya itu diminta oleh para pembeli agar di-sharing dengan Indonesia, bukan pembelinya saja yang membayar pajak tersebut,” tambah Airlangga.

    Ia menambahkan, Indonesia dan AS terus berdiskusi tentang tarif resiprokal ini selama 60 hari ke depan sampai mencapai kesepakatan kedua pihak.

    Dalam keterangan sebelumnya, Airlangga menyampaikan Pemerintahan Prabowo mengambil jalur negosiasi ketimbang membalas tarif resiprokal AS sebesar 32%.

    “Arahan Bapak Presiden, Indonesia memilih jalur negosiasi, karena AS adalah mitra strategis,” ujar Airlangga, Selasa (08/04).

    Airlangga mengakui adanya ketidakpastian ekonomi menyusul pengenaan tarif dasar dan bea masuk atas barang-barang dari lebih 180 negara yang diumumkan Trump beberapa waktu lalu.

    Salah satu poin utama yang disorot Airlangga adalah revitalisasi Perjanjian Kerja Sama Perdagangan dan Investasi atau Trade & Investment Framework Agreement (TIFA).

    Airlangga juga mengatakan Indonesia sudah melakukan pendekatan ke perwakilan diplomatik AS serta berkomunikasi dengan asosiasi pedagang dan pengusaha seperti Kadin dan Apindo.

    Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menggarisbawahi Indonesia sebetulnya punya banyak alternatif untuk mendiversifikasi tujuan ekspor.

    “Dependensi kita terhadap AS tidak terlalu besar dibandingkan [sejumlah] negara-negara lain,” ujarnya.

    Menanggapi hal itu, pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyayangkan sikap pemerintah yang disebutnya “tidak berani melakukan retaliasi” sedari awal.

    “Negara manapun semestinya menunjukkan bahwa opsi retaliasi akan selalu on the table [dimungkinkan],” ujar Andri ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Selasa (08/04).

    Sementara pengamat ekonomi pembangunan dari Universitas Andalas di Sumatra Barat, Syafruddin Karimi, mengatakan absennya perwakilan diplomatik Indonesia di AS melemahkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi bilateral.

    “Tanpa duta besar yang aktif di Washington, upaya Indonesia untuk menjaga akses pasar ekspor dan meredam dampak proteksionisme Amerika akan selalu tertinggal satu langkah dibanding negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand,” ujarnya.

    ‘Menimbulkan ketidakpastian di dunia’

    Dalam pidato pembukanya di sarasehan ekonomi itu, Prabowo menyatakan bahwa goncangan dunia saat ini disebabkan oleh AS yang memberlakukan peningkatan tarif tinggi kepada banyak negara.

    “Banyak negara yang cemas, padahal sebenarnya pendiri-pendiri bangsa kita dari sejak dulu—dan termasuk saya bertahun-tahun—saya sudah ingatkan mari kita bangun ekonomi kita dengan sasaran berdiri di atas kaki kita sendiri,” ujar Prabowo, pada Selasa (08/04).

    Prabowo menyampaikan bahwa swasembada pangan dan swasembada energi merupakan sasaran utama dari strategi ekonomi pemerintahannya, sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) PBB.

    Dalam sarasehan tersebut, Prabowo mengapresiasi masukan dari sejumlah asosiasi pegiat ekonomi, khususnya mengenai perizinan.

    Dia meminta kepada jajarannya untuk lebih efisien dan mempermudah birokrasi untuk para pegiat ekonomi.

    “Sebetulnya Presiden Trump mungkin membantu kita. Dia memaksa kita, supaya kita ramping, efisien, tidak manja. Ini kesempatan,” ujar Prabowo

     

    Sementara Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menggarisbawahi bahwa dari Indonesia sebetulnya punya banyak alternatif untuk mendiversifikasi tujuan ekspor.

    “Dilihat dari sisi neraca perdagangan, AS adalah yang terbesar kedua. Tapi dibandingkan dengan mitra paling besar, yaitu China, AS tidak jauh berbeda dengan destinasi ekspor lainnya,” ujar Sri Mulyani.

    “Destinasi ekspor kita masih bisa kita diversifikasi. Dependensi kita terhadap AS tidak terlalu besar dibandingkan [sejumlah] negara-negara lain.”

    Sri Mulyani juga mengatakan dampak dari tarif AS saat ini membuat muncul wacana di negara-negara seluruh dunia untuk mencari tujuan ekspor dan investasi alternatif untuk memunculkan “perdagangan tanpa Amerika”.

    Apa yang akan dilakukan pemerintah Indonesia?

    Pemerintah telah menyiapkan langkah diplomasi ekonomi yang terkoordinasi dan komprehensif menanggapi kebijakan AS, sebagaimana diucapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

    Salah satu fokus utama adalah revitalisasi Perjanjian Kerja Sama Perdagangan dan Investasi atau Trade & Investment Framework Agreement (TIFA) yang ditandatangani pada 1996.

    Di sisi lain, Airlangga mengatakan bergabungnya Indonesia ke New Development Bank (NDB) yang didirikan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) membuat Indonesia sudah punya aliansi perekonomian alternatif.

    Airlangga menambahkan wakil perdana menteri Rusia akan berkunjung ke Indonesia pada tanggal 14 April sehingga membuka peluang pasar Indonesia di negara itu.

    Sebelumnya, sebagaimana dilansir kantor berita Antara, Airlangga pada Senin (07/04) mengatakan negara-negara ASEAN berencana untuk bertemu pada Kamis (10/04) untuk menyamakan sikap.

    “Indonesia sendiri akan mendorong beberapa kesepakatan dan dengan beberapa negara ASEAN, menteri perdagangan juga berkomunikasi selain dengan Malaysia juga dengan Singapura, dengan Kamboja dan yang lain untuk mengkalibrasi sikap bersama ASEAN,” ujar Airlangga.

    Pemerintah juga akan mengajukan proposal deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs), termasuk relaksasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di sektor teknologi informasi dan komunikasi, ujar Airlangga.

    Selain itu, evaluasi terkait pelarangan dan pembatasan barang ekspor maupun impor AS juga menjadi bagian dari rencana negosiasi.

    Solusi lain yang dipertimbangkan Indonesia adalah meningkatkan impor dan investasi dari AS melalui pembelian minyak dan gas (migas).

    Pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal dan non-fiskal melalui berbagai strategi, seperti penurunan bea masuk, PPh impor, atau PPN impor dengan tujuan mendorong impor dari AS sekaligus mempertahankan daya saing ekspor Indonesia ke negara tersebut.

    Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa Indonesia mencatatkan surplus perdagangan dengan AS sebesar US$14,34 miliar (sekitar Rp241 triliun) pada tahun 2024.

    Surplus terbesar Indonesia berasal dari mesin dan perlengkapan elektrik (US$4,18 miliar atau Rp 70,37 triliun), pakaian dan aksesori pakaian (US$2,84 miliar atau Rp47,81 triliun), serta alas kaki (US$2,39 miliar atau Rp40,2 triliun).

    Sementara AS mencatat defisit perdagangan dengan Indonesia sebesar US$17,9 miliar (sekitar Rp301 triliun) pada tahun yang sama.

    Airlangga menambahkan bahwa para diplomat Indonesia telah berkomunikasi dengan U.S Trade Representative, yang saat ini masih menunggu proposal konkret dari pihak Indonesia.

    ‘Tertinggal satu langkah’

    Sejak tahun 2023, Indonesia tidak memiliki Duta Besar untuk Amerika Serikat.

    Posisi itu terakhir kali dipegang Rosan Roeslani yang kemudian ditunjuk sebagai Wakil Menteri BUMN pada Juli 2023.

    Pengamat ekonomi pembangunan dari Universitas Andalas di Sumatra Barat, Syafruddin Karimi, mengatakan absennya perwakilan diplomatik Indonesia di AS ini melemahkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi bilateral “di tengah meningkatnya tensi dagang akibat kebijakan tarif Presiden Trump”.

    “Tanpa duta besar yang aktif di Washington, upaya Indonesia untuk menjaga akses pasar ekspor dan meredam dampak proteksionisme Amerika akan selalu tertinggal satu langkah dibanding negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand,” ujarnya.

    Di sisi lain, Syafruddin menekankan pentingnya bagi pemerintah Indonesia untuk belajar dari Vietnam yang berupaya melakukan pendekatan bilateral tetapi ditanggapi dingin oleh Gedung Putih.

    Sebelumnya, pemerintah Vietnam meminta penundaan tarif selama 46 hari.

     

    Akan tetapi, penasihat utama Presiden Trump, Peter Navarro, mengatakan kepada Fox News, mitra BBC di AS, bahwa “ini bukan negosiasi” meski kemudian menambahkan pihaknya “selalu bersedia mendengarkan”.

    “Penolakan terhadap Vietnam menunjukkan bahwa Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Trump, mengedepankan strategi proteksionisme yang tidak mudah dinegosiasikan, bahkan dengan mitra dagang utama sekalipun,” ujarnya.

    Oleh karena itu, Syafruddin menyarankan agar Indonesia tidak hanya mengandalkan diplomasi formal, tetapi juga memperkuat posisi tawar melalui strategi konkret yang mencerminkan kepentingan bersama dan daya saing jangka panjang.

    Dia menekankan perlunya memastikan setiap proposal ke Washington memiliki nilai strategis dan ekonomi yang signifikan, bukan sekadar kompromi politik.

    “Tanpa pendekatan yang cermat dan persiapan matang, Indonesia berisiko mengalami nasib serupa dengan Vietnam: gagal meraih kepercayaan mitra strategis dan kehilangan momentum dalam arena perdagangan global,” ujarnya.

    Terpisah, pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyayangkan sikap pemerintah yang disebutnya “tidak berani melakukan retaliasi” sedari awal.

    “Negara manapun semestinya menunjukkan bahwa opsi retaliasi akan selalu on the table [dimungkinkan],” ujar Andri ketika dihubungi pada Selasa (08/04).

    Andri menekankan opsi retalisi di sini bukanlah semata ancaman, melainkan benar-benar harus disiapkan Indonesia dengan melakukan diversifikasi mitra dagang menjauh dari AS jika negosiasi tidak imbang.

    Lebih lanjut, Andri menilai Trump menunjukkan ketidaksukaannya terhadap negara mana saja yang berencana untuk melakukan pembalasan tarif terhadap kebijakan perdagangan AS.

    Kebijakan tarif global yang diterapkan Trump didasarkan pada asumsi bahwa negara-negara lain akan bersikap patuh dan memberikan konsesi kepada Amerika Serikat dalam negosiasi untuk menurunkan tarif tersebut, papar Andri.

    Namun, Andri menegaskan langkah tarif ini bersifat merugikan bagi kedua belah pihak yang terlibat.

    Jika negara-negara lain memilih untuk tidak tunduk dan justru melakukan retaliasi, Trump berpotensi besar merugikan perekonomian negaranya sendiri tanpa alasan yang substansial.

    “Ini skenario yang sangat ingin dihindari oleh Trump,” ujar Andri.

    Andri menyoroti pernyataan Trump terhadap respons China terhadap kebijakan tarif AS sebagai contoh.

    Seperti diketahui, Trump dilaporkan mengancam untuk meningkatkan tarif hingga 50?ngan tujuan memaksa Beijing membatalkan langkah pembalasannya.

    “Di sisi lain, ketakutan Trump ini justru menunjukkan bahwa Indonesia tidak pernah boleh melepaskan opsi retaliasi dari meja negosiasi. AS akan mencoba apa saja agar retaliasi tidak dilakukan, dan Indonesia harus paham itu,” ujarnya.

    Andri menggarisbawahi poin dari Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Indonesia tidak terlampau dependen terhadap AS.

    “AS memang negara destinasi ekspor kedua terbesar, tapi selisihnya dengan yang terbesar [China] sangat jomplang, sehingga posisi AS ini sebenarnya tidak banyak lebih penting dengan negara mitra dagang lainnya,” ujar Andri.

    “Kalau melihat dari peta mitra dagang Indonesia selama ini, Indonesia masih punya sangat banyak alternatif. Mitra dagang Indonesia masih sangat bisa didiversifikasi sehingga ketergantungan ataupun dependensi terhadap AS sebenarnya tidak terlalu besar.”

    Lebih lanjut, Andri menggaris bawahi pidato Presiden Prabowo yang menyebut “swasembada energi” tetapi bertolak belakang dengan langkah negosiasi Indonesia dengan AS.

    “Sangat lucu ketika presiden berbicara tentang ‘swasembada energi’ namun dalam negosiasi dengan AS, Indonesia diminta untuk membeli lebih banyak minyak mentah dari AS untuk mengurangi surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS,” ujarnya.

    IHSG dan bursa saham Asia alami penurunan drastis

    Pada Selasa (08/04) IHSG menunjukkan tren penurunan di awal perdagangan setelah libur Lebaran.

    Pada pukul 09.01 WIB, IHSG bergerak di posisi 5.912. Posisi ini berarti IHSG melemah 598,55 poin (9,19%) dibanding penutupan sebelumnya pada level 6.510.

    Sesuai dengan ketentuan baru, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan sementara atau trading halt selama 30 menit karena IHSG mengalami penurunan sebanyak 8%.

    Meski demikian, seperti dilansir Kompas.com, IHSG tetap berada di posisi 5.987 atau turun 522,92 poin (8,03%) pada pukul 09:38 WIB setelah trading halt dicabut.

    Seperti diberitakan BBC News sebelumnya, saham di Asia seperti di Shanghai, Tokyo, dan Hong Kong mengalami penurunan drastis pada Senin (07/04).

    Hal ini menyusul kemerosotan saham global pekan lalu setelah Trump mengumumkan tarif baru antara 10?n 46% di sebagian besar negara.

    Bursa saham Nikkei di Jepang ditutup dengan penurunan 7,8%, sementara bursa saham ASX 200 di Australia turun 4,2%.

    Sedangkan bursa saham Kospi di Korea Selatan ditutup 5,6% lebih rendah. Adapun pasar saham Shanghai Composite di China anjlok 7,3?n Indeks saham Taiwan turun drastis sebesar 9,7%.

    Sementara itu, bursa saham Hang Seng turun 12,5?lam penutupan perdagangan saham pada Senin (07/04) sore.

    Langkah Trump ini tidak hanya menyasar rival dagang utama seperti China, tetapi juga sekutu dekat AS seperti Jepang dan Korea Selatan, serta negara-negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi pesat seperti Vietnam.

    Jepang dan Korea Selatan akan menghadapi tarif sebesar 26%, sementara Vietnam, yang oleh Trump disebut sebagai “pelanggar terburuk”, bersiap untuk tarif 46%.

    Negara-negara lain dalam daftar sasaran termasuk Kamboja (49%), Thailand (36%), dan China yang akan dikenai tarif total mencapai 54%.

    Selain tarif tinggi yang menargetkan negara-negara tertentu, AS juga memberlakukan tarif dasar sebesar 10% untuk sejumlah negara lain di kawasan tersebut, termasuk Singapura, Selandia Baru, dan Australia.

    Kebijakan ini memicu kekhawatiran luas akan potensi perang dagang global yang dapat menyeret ekonomi dunia ke dalam perlambatan, atau bahkan resesi.

    Kawasan Asia, yang sangat bergantung pada perdagangan internasional, dinilai sangat rentan terhadap dampak negatif dari kebijakan AS ini.

  • Dari Trump Tower Moskow hingga Logam Tanah Jarang, Saat Ukraina Cuma Jadi Alat Tawar Rusia ke AS – Halaman all

    Dari Trump Tower Moskow hingga Logam Tanah Jarang, Saat Ukraina Cuma Jadi Alat Tawar Rusia ke AS – Halaman all

    Dari Trump Tower Moskow hingga Logam Tanah Jarang, Saat Ukraina Jadi Alat Tawar Rusia ke AS

    TRIBUNNEWS.COM – Ukraina adalah alat tawar berharga bagi Rusia dalam negosiasi besar dengan Amerika Serikat (AS).

    Begitu kira-kira kesimpulan dari ulasan yang dilansir media independent Rusia, TMT, Senin (21/4/2025) mengenai wacana gencatan senjata yang digaungkan AS dalam perang Rusia-Ukraina.

    Ada misi besar Rusia dalam negosiasi ini, bukan sekadar berhentinya perang.

    Moskow ingin menciptakan equilibrium (keseimbang) baru dunia di mana isi dan dominasinya tak melulu soal AS, Barat, dan sekutu mereka.

    Sebagai garis bawah, hipotesis ulasan ini bersandar kalau Rusia, sebagai pihak yang melakukan invasi (Moskow lebih suka memilih diksi Operasi Militer Khusus), adalah pihak yang cenderung dominan dalam perang.

    Sementara Ukraina, yang terbukti sudah keliling ‘memohon’ bantuan dari negara-negara Barat, adalah pihak yang terpojok.

    Terlebih saat AS saat ini dipimpin Donald Trump yang menggaungkan kebijakan ‘cuan’, ‘pelit.’ dan ‘kencangkan ikat pinggang’ demi frasa ‘Make America Great Again’.

    “Saat Moskow mempersiapkan kemungkinan negosiasi dengan Washington yang bertujuan mengakhiri invasi besar-besaran ke Ukraina, Moskow menginginkan hasil yang jauh lebih ambisius daripada sekadar gencatan senjata: penataan ulang lingkup pengaruh secara global,” kata ulasan tersebut.

    Dalam pandangan Kremlin, negosiasi semacam itu secara efektif berarti pengakuan AS atas dominasi Rusia di kawasan pasca-Soviet — termasuk Ukraina — dan, sampai batas tertentu, pengakuan atas pengaruhnya di Eropa.

    “Untuk mencapai tujuan tersebut, Kremlin kini tengah mencari insentif yang diyakininya dapat menarik — dan mempertahankan — perhatian Presiden AS Donald Trump, mulai dari kesepakatan tanah jarang dan pengaruh geopolitik di Iran dan Korea Utara hingga Trump Tower yang telah lama diimpikan Trump di Moskow,” kata ulasan tersebut menjelaskan tujuan besar Moskow dalam perundingan damai dengan Ukraina dengan AS sebagai penengah.

    Lima pejabat pemerintah Rusia saat ini, termasuk dua diplomat, tiga sumber yang dekat dengan Kremlin dan karyawan tiga perusahaan besar milik negara mengonfirmasi hal ini kepada TMT, semuanya berbicara dengan syarat anonim karena sensitivitas masalah tersebut.

    “Yang terpenting adalah mereka (Amerika) tidak mencampuri urusan kami dan tidak memberi tahu kami cara hidup,” kata seorang pejabat senior Rusia yang memahami logika negosiasi Kremlin.

    “Mereka tidak menghalangi kami melakukan apa yang sedang kami lakukan.”

    Beberapa pejabat di Moskow juga membayangkan gerakan simbolis pengakuan sebagai bagian dari kesepakatan potensial — seperti kunjungan Presiden Vladimir Putin ke Washington dan bertemu Trump di Gedung Putih.

    “Jika bos kami [Putin] sesekali datang ke Washington untuk bertemu dengan Trump — itu juga akan menyenangkan,” kata seorang pejabat pemerintah saat ini.

    Meski begitu, para pejabat mengakui bahwa era pertemuan puncak besar — ​​seperti yang terjadi selama Perang Dingin atau tahun-tahun awal pasca-Soviet — telah berakhir. 

    “Sulit untuk mengandalkan itu sekarang,” kata pejabat pemerintah itu.

    DONALD TRUMP PRIMA – Presiden AS Donald Trump saat menghadiri UFC 314 pada Sabtu (13/4/2025) malam di Miami di Kaseya Center. (Tangkap layar YouTube TNT Sports)

    Mencari Leverage

    Kremlin, yang menyadari keterbatasan posisi negosiasinya, telah menugaskan pejabat dan pakar untuk menganalisis dan mengidentifikasi semua kemungkinan insentif yang dapat menarik minat Trump dan menjaga agar pembicaraan tidak menyempit menjadi agenda terbatas, cuma soal perdamaian dengan Ukraina.

    Menyusul kemenangan pemilu Trump pada bulan November, Kremlin memerintahkan perusahaan-perusahaan besar untuk menyiapkan proposal terperinci untuk kerja sama ekonomi dengan Washington.

    “Pekerjaan berjalan lancar di pemerintahan, kementerian, dan perusahaan besar, termasuk di malam hari dan di akhir pekan: proposal sedang dipersiapkan di seluruh sektor ekonomi utama,” kata seorang pejabat pemerintah saat ini kepada TMT. 

    “Rosatom dan Rosneft menyampaikan inisiatif mereka, dan (produsen emas) Polyus mengirimkan informasi intelijen terbaru tentang endapan emas ke Kremlin. Rusal dan entitas lain ikut bergabung,” kata pejabat itu.

    Dia menambahkan bahwa wakil kepala administrasi kepresidenan Maxim Oreshkin dan utusan khusus Putin, Kirill Dmitriev, termasuk di antara mereka yang mengoordinasikan upaya ini.

    Karyawan di tiga perusahaan besar milik negara dan sumber yang dekat dengan Kremlin mengonfirmasi hal ini.

    Pendekatan baru ini mencerminkan runtuhnya model kaku hubungan AS-Rusia sebelumnya. 

    Selama Perang Dingin, negara-negara adikuasa mempraktikkan “keterkaitan”, di mana isu-isu yang tampaknya tidak berhubungan menjadi konsesi dalam kerangka negosiasi yang lebih besar. 

    “Anda memberi kami gandum — kami akan memberi Anda lebih sedikit radikal di Amerika Latin. Anda memberi saya aspirin, saya memberi Anda Valocordin,” kata seorang diplomat senior Rusia mencontohkan model keluwesan yang coba dibangun Moskow dengan Washington.

    “Jika Anda memiliki berbagai macam masalah di atas meja, lebih mudah untuk menemukan keseimbangan dan menyeimbangkan asimetri,” kata diplomat itu.

    Namun tidak seperti era Perang Dingin, Rusia kini memegang lebih sedikit kartu.

    Perjanjian pengendalian senjata strategis yang pernah menjadi dasar dialog — dari Perjanjian Rudal Anti-Balistik hingga New START — mulai terurai.

    Dengan berakhirnya New START pada Februari 2026, pembicaraan tentang perpanjangannya bahkan belum dimulai .

    “Dulu kami mengadakan pertemuan puncak, menandatangani perjanjian — pertama Pembicaraan Pembatasan Senjata Strategis (SALT), kemudian Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (START). Seluruh ekosistem konsultasi dan mekanisme bersama dibangun di sekitar itu,” kenang seorang diplomat Rusia saat ini.

    “Ini meluncurkan mekanisme kerja sama antara Moskow dan Washington di berbagai bidang.”

    Saat ini, bangun rancang seperti itu sudah tidak ada lagi, dan pengendalian senjata hanya menarik minat Trump dalam konteks persaingannya dengan China.

    Akibatnya, Moskow dan Washington semakin melihat satu sama lain sebagai pesaing, bukan mitra. 

    “Kami bersaing di pasar hidrokarbon di Eropa, pasar makanan, dan penjualan senjata. Dan konfrontasi ini hanya akan semakin memanas,” kata seorang pejabat pemerintah Rusia.

    Kolase foto Vladimir Putin dan Donald Trump (TASS, Instagram Donald Trump)

    Ukraina Sebagai Alat Tawar-menawar

    Dengan sedikit daya ungkit yang tersisa, Moskow melihat perang di Ukraina sebagai alat tawar-menawar yang paling ampuh.

    Para pejabat Rusia pun berharap untuk memanfaatkan keinginan Trump untuk mengamankan gencatan senjata.

    “Kita perlu memeras Trump sebanyak mungkin, sambil menggantungkan kemungkinan gencatan senjata seperti wortel di hadapannya,” kata salah seorang peserta diskusi.

    Namun, tidak banyak ilusi tentang rapuhnya peluang ini.

    “Jendelanya mungkin tertutup rapat. Trump bisa kehilangan minat atau, lebih buruk lagi, menyimpan dendam,” para diplomat dan pejabat yang berbicara kepada TMT, sepakat.

    Namun, banyak pihak di Kementerian Luar Negeri Rusia dan pemerintahan pusat negara tersebut di Kremlin memiliki pandangan berbeda. 

    “Kami berada di jalur yang benar. Prioritasnya adalah mengkalibrasi ulang hubungan dengan Amerika Serikat — tugas yang sama sekali tidak sederhana — sambil menjaga dialog tentang Ukraina tetap berjalan,” kata seorang diplomat Rusia.

    “Dari sana, situasi di lapangan akan menentukan langkah selanjutnya. Pada akhirnya, semuanya tentang waktu, kesabaran, dan tetap pada jalur.”

    Secara formal, Kremlin telah mengisyaratkan kesediaan untuk membuat konsesi.

    Pada bulan Maret, Putin setuju untuk mematuhi moratorium yang diusulkan Trump atas serangan terhadap infrastruktur energi Ukraina.

    Namun, Rusia melanjutkan serangannya segera setelah moratorium berakhir pada tanggal 18 Maret.

    “Dalam situasi seperti ini, berbicara tentang gencatan senjata pada tahap ini sama sekali tidak realistis,” kata Vasily Nebenzya, perwakilan tetap Rusia untuk PBB, pada awal April.

    Para pejabat melihat dua skenario utama. Yang pertama adalah menyetujui gencatan senjata yang ditengahi Trump dengan imbalan konsesi seperti pembatasan pengiriman senjata AS ke Ukraina.

    “Meskipun ini tidak berarti senjata tidak akan masuk melalui Eropa,” seorang diplomat Rusia memperingatkan.

    Yang kedua: jika perundingan gagal, salahkan Kiev. 

    “Jika Rusia menolak gencatan senjata, kita harus siap menghadapi front Barat yang bersatu lagi — dan dalam konfigurasi yang bahkan kurang menguntungkan bagi kita,” pejabat lainnya memperingatkan.

    Mengatur Umpan

    Banyak ide telah dilontarkan sebagai kemungkinan insentif untuk menarik Trump ke dalam kesepakatan, mulai dari memediasi negosiasi AS-Tiongkok hingga misi bersama ke Mars.

    Namun, Kremlin hanya memiliki sedikit kartu truf yang nyata dalam perundingan ini.

    Proposal ekonomi Rusia terlihat lemah. Bahkan di tahun-tahun terbaiknya, perdagangan AS-Rusia hampir tidak mencapai $45 miliar.

    Pada tahun 2024, perdagangan anjlok menjadi hanya $3,5 miliar, level terendah sejak 1992.

    Saat ini, Moskow hanya dapat menawarkan beberapa komoditas yang masih dibutuhkan AS: titanium untuk pembuatan pesawat terbang, uranium untuk energi nuklir, dan minyak mentah berat untuk kilang minyak di sepanjang Gulf Coast.

    Namun, seperti yang dikatakan seorang pejabat, komoditas ini “tidak akan menyelamatkan neraca perdagangan Amerika — dan karenanya tidak ada nilainya bagi Trump.”

    Rusia merupakan pemasok utama logam tanah jarang seperti skandium, itrium, dan lantanum, yang penting untuk sistem elektronik dan pertahanan. Namun, hal ini juga dianggap tidak cukup untuk membuka konsesi politik besar.

    Proyek regional kedua negara yang bisa dijajaki bersama, juga terbatas. 

    Washington ingin Rusia menghentikan pengiriman senjatanya ke Korea Utara dan mematuhi sanksi PBB — tetapi Moskow, yang telah berinvestasi dalam aliansi yang berkembang dengan Pyongyang, tidak berniat untuk menghentikan kerja samanya.

    Iran juga telah diusulkan sebagai saluran yang mungkin untuk keterlibatan, mengingat peran Rusia dalam mengelola bahan bakar nuklir bekas Teheran dan dukungannya terhadap program nuklir damainya.

    “Ada keyakinan bahwa Trump memiliki rasa hormat tertentu terhadap Putin. Dan bahwa perkataan Putin dapat memengaruhi keputusan Amerika [mengenai Iran],” kata seorang pejabat pemerintah Rusia. 

    Tetapi bahkan diplomat Rusia mengakui kalau peran Moskow dalam perundingan AS-Iran paling banter hanya marjinal.

    “Teheran selalu ingin berbicara langsung dengan Amerika dan juga takut ‘dikhianati’ oleh kami dalam sebuah tawar-menawar besar,” kata seorang diplomat Rusia.

    Usulan yang lebih realistis melibatkan koordinasi energi dan gerakan simbolis.

    Salah satu usulan: misi kemanusiaan di Gaza dengan memanfaatkan infrastruktur buatan Rusia di Suriah.

    Usulan lain akan melibatkan kerja sama informal di pasar minyak yang melibatkan AS, Rusia, dan Arab Saudi.

    “Di sini, tiga negarawan besar bisa tampil di panggung: pemimpin AS, Rusia, dan Arab Saudi,” kata seorang diplomat Rusia.

    Lalu ada ide Trump Tower di Moskow.

    Para pejabat bertukar pikiran untuk membangun Trump Tower setinggi 150 lantai di Kota Moskow, distrik bisnis ibu kota.

    Proyek tersebut dapat segera diluncurkan, dan Trump sendiri dapat berpartisipasi dalam peletakan batu pertama.

    “Kecepatan, dampak, dan daya tarik: itulah hal-hal yang secara intuitif dihargai Trump,” kata seorang sumber yang dekat dengan Kremlin. Terlebih lagi mengingat tim Trump dan pejabat Rusia telah membahas proyek ini sebelumnya, tambahnya.

    Afrika, yang selama ini tidak terlalu penting dalam kebijakan luar negeri AS, dianggap tidak mungkin menarik perhatian Trump.

    Misi gabungan ke Mars juga tidak dianggap realistis.

    Dalam semua proposal ini, Kremlin berpedoman pada satu aksioma: inisiatif harus disesuaikan secara pribadi dengan Trump, dapat dicapai dalam satu masa jabatan, dan menawarkan daya tarik media yang kuat.

    “Tanpa itu, adalah naif untuk mengharapkan kemajuan apa pun,” kata seorang pejabat senior Rusia.

     

    (oln/tmt/*)

  • Neraca Perdagangan Jateng Maret 2025 Defisit 48,69 Juta US Dollar

    Neraca Perdagangan Jateng Maret 2025 Defisit 48,69 Juta US Dollar

    TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Nilai neraca perdagangan Jawa Tengah pada Maret 2025 tercatat defisit sebesar US$48,69 juta.

    Defisit nilai neraca perdagangan bulan tersebut dipicu defisit pada sektor migas yang sebesar US$437,94 juta. Sedangkan neraca perdagangan nonmigas mengalami surplus US$389,25 juta.

    Kepala BPS Jateng Endang Tri Wahyuningsih menjelaskan, nilai neraca perdagangan total Jawa Tengah pada Maret 2025 tak sedalam pada Februari 2025.

    Februari 2025, nilai neraca perdagangan Jateng mengalami defisit sebesar US$172,47 juta.

    “Meskipun defisit, ini tidak sedalam bulan kemarin. Ini juga cukup membantu kita dalam neraca perdagangan Jateng, yang defisit tipis sebesar US$48,69 juta,” katanya pada pemaparan secara daring, Senin (21/4/2025).

    Disebutkan, tiga negara penyumbang surplus tertinggi di Jawa Tengah pada Maret 2025, pertama adalah Amerika Serikat dengan surplus sebesar US$373,69 juta.

    Komoditas penyumbang terbesarnya adalah pakaian dan aksesorisnya (bukan rajutan) (HS 62); pakaian dan aksesorisnya (rajutan) (HS 61); dan alas kaki (HS 64).

    “Kita ekspor ke Amerika Serikat besar, sehingga menyebabkan surplus untuk Amerika Serikat,” jelasnya.

    Negara penyumbang surplus berikutnya yakni Jepang, senilai US$67,67 juta. Surplus ke negara tersebut ditopang mesin, perlengkapan elektrik dan bagiannya (HS 85); pakaian dan aksesorisnya (bukan rajutan) (HS 62); dan pakaian dan aksesorisnya (rajutan) (HS 61).

    Adapun negara penyumbang surplus ketiga, yakni Belanda, senilai US$39,09 juta.

    Surplus tersebut ditopang komoditas alas kaki (HS 64) senilai US$12,52 juta; pakaian dan aksesorisnya (bukan rajutan) (HS 62); dan perabotan, lampu, dan alat penerangan (HS 94).

    Di sisi lain, tiga negara penyumbang defisit terbesar Jawa Tengah pada Maret 2025 adalah Tiongkok, dengan neraca perdagangan -US$285,63 juta.

    Penyumbang defisitnya, yakni mesin, peralatan mekanis dan bagiannya (HS 84); mesin perlengkapan elektrik dan bagiannya (HS 85); serta plastik dan barang dari plastik (HS 39).

    Berikutnya adalah Saudi Arabia, dengan komoditas penyumbang terbesarnya adalah bahan bakar mineral (HS 27); dan plastik dan barang dari plastik (HS 39).

    “Ketiga, adalah Singapura. Penyumbang defisit terbesarnya adalah bahan bakar mineral (HS 27); plastik dan barang dari plastik (HS 39); dan mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya (HS 84),” jelasnya.

    Di sisi itu, dia melanjutkan, sepanjang Maret 2023 sampai dengan Maret 2025, neraca perdagangan nonmigas Jawa Tengah surplus berturut-turut.

    Ia menjelaskan, komoditas penyumbang surplus tertinggi masih di pakaian dan aksesorisnya (bukan rajutan) (HS 62); pakaian dan aksesorisnya (rajutan) (HS 61); dan alas kaki (HS 64).

    “Neraca perdagangan nonmigas, (Jateng) bersyukur tidak pernah defisit. Sepanjang Maret 2023 – Maret 2025 mengalami surplus dan surplus terakhir meningkat dibanding bulan kemarin.

    Sekarang tercatat US$389,25 juta kondisi maret 2025. Kondisi Maret sebelumnya hanya surplus US$351,41 juta,” jelasnya.

    Ia menambahkan, neraca perdagangan nonmigas Jawa Tengah secara kumulatif Januari – Maret 2025 surplus senilai US$1.001,32 juta. 

    Angka itu, ekspor Jawa Tengah tercatat mengalami peningkatan sebesar 6,86 persen. Adapun impor turun 7,21 persen.

    Sementara itu BPS Jateng mencatat, neraca perdagangan barang Jawa Tengah dengan Amerika Serikat di sepanjang tahun 2022 – 2024, tidak pernah mengalami defisit.

    “Kita selalu surplus. Kalau kondisi Oktober sampai Desember 2024, mengalami kenaikan. Kemudian Maret 2025, dari
    Amerika Serikat juga mengalami surplus cukup tinggi,” imbuhnya. (idy)

     

     

  • Jasa Besar AS untuk Perdagangan Indonesia, Inikah Alasan Sulit Lepas?

    Jasa Besar AS untuk Perdagangan Indonesia, Inikah Alasan Sulit Lepas?

    PIKIRAN RAKYAT – Selama satu dekade terakhir, Amerika Serikat konsisten menjadi salah satu mitra dagang terpenting bagi Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Negeri Paman Sam merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia sejak 2015 hingga 2025, sejajar dengan India dan Filipina.

    “India, Filipina dan Amerika Serikat merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia dalam 10 tahun terakhir,” ungkap Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Senin 21 April 2025.

    Amalia menjelaskan bahwa surplus terbesar perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat terjadi pada 2022, yakni mencapai 16,57 miliar dolar AS atau setara Rp278,54 triliun (kurs Rp16.810 per dolar). Surplus ini ditopang oleh ekspor nonmigas yang terus meningkat.

    Komoditas Ekspor Unggulan

    Pada kuartal I 2025, nilai ekspor Indonesia ke AS tercatat sebesar 7,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp122 triliun. Komoditas ekspor utama meliputi:

    Mesin dan perlengkapan elektrik: 1,2 miliar dolar AS (Rp20,1 triliun) Alas kaki: 657,9 juta dolar AS (Rp11 triliun) Pakaian dan aksesoris rajutan/non-rajutan: 1,19 miliar dolar AS (Rp20 triliun) Lemak dan minyak nabati: 507,19 juta dolar AS (Rp8,52 triliun)

    “Sepanjang Januari sampai dengan Maret 2025, nilai ekspor keempat komoditas ini mengalami peningkatan yang relatif baik dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu,” kata Amalia.

    Sementara itu, Indonesia juga mengimpor dari AS barang-barang seperti mesin, biji dan buah mengandung minyak, instrumen medis hingga ampas sisa industri makanan. Nilai total impor dari AS selama kuartal I 2025 mencapai 2,98 miliar dolar AS atau Rp50,12 triliun.

    Ketergantungan pada Pasar AS

    Ketergantungan Indonesia terhadap AS terlihat jelas dari posisi negara tersebut sebagai tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia pada 2024, setelah China. Nilai ekspor ke AS mencapai 26,31 miliar dolar AS (Rp442 triliun), jauh di bawah ekspor ke China sebesar 62,44 miliar dolar AS (Rp1.048 triliun), tetapi tetap sangat signifikan.

    Meski hubungan dagang terlihat menguntungkan, Indonesia kini berada dalam posisi sulit akibat rencana pemberlakuan tarif resiprokal oleh AS sebesar 32 persen. Kebijakan ini muncul sebagai bagian dari perang tarif global yang kian memanas, terutama antara AS dan China.

    Menurut Kepala Ekonom Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto, dampak kebijakan tersebut berpotensi besar mengubah peta perdagangan Indonesia.

    “Most likely implikasinya kita, apakah kita akan mengimpor lebih banyak barang-barang dari AS sekaligus kita juga akan terbanjiri oleh impor barang-barang dari China yang tadinya dikirim ke AS yang harganya sudah naik lebih dari dua, sampai tiga kali lipat,” tuturnya.

    Ancaman Terhadap Industri Manufaktur RI

    Negosiasi perdagangan yang dilakukan oleh delegasi Indonesia ke Washington DC dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, didampingi Menlu Sugiono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Namun, ada sejumlah kekhawatiran yang muncul dari para pengamat.

    Rully menyebut bahwa rencana impor tambahan dari AS senilai 18-19 miliar dolar AS bisa memberikan tekanan besar terhadap industri manufaktur domestik.

    “Kalau (impor) misalkan meningkat sampai 18 miliar dolar AS, ya pertama pasti impact-nya akan ada kepada trade balance kita. Jadi bisa dari tadinya surplus jadi ke defisit dan mungkin memang ini ada impact juga kepada produsen-produsen di dalam negeri terutama ya,” ujarnya.

    Selain itu, pelonggaran syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam negosiasi turut disoroti karena berisiko menghantam produsen lokal berskala kecil hingga menengah.

    “Kalau TKDN sendiri itu mungkin impact-nya akan mengganggu supplier manufaktur dari Indonesia sebenarnya,” ucap Rully.

    Jalan Tengah yang Menantang

    Pemerintah Indonesia membawa sejumlah usulan ke AS, termasuk revitalisasi perjanjian Trade and Investment Framework Agreement (TIFA), pelonggaran Non-Tariff Measures (NTMs), serta peningkatan impor migas.

    Pemerintah juga menjanjikan insentif fiskal dan non-fiskal untuk menjaga daya saing ekspor. Namun, dalam negosiasi global, posisi Indonesia tidak sekuat China atau Uni Eropa.

    “Memang sayangnya posisi Indonesia itu salah satu yang mungkin tidak terlalu kuat, beda dengan China atau mungkin dengan Eropa. Mereka mungkin bisa melakukan retaliasi,” kata Rully.

    Harus Perkuat Daya Tawar

    Menurut pengamat intelijen ekonomi Dr Stepi Anriani, Indonesia harus memperkuat intelijen ekonomi di tengah fragmentasi ekonomi global yang mengarah pada pembentukan blok-blok ekonomi baru.

    “Tarif 32 persen terhadap impor dari Indonesia bukan angka kecil. Tiongkok bahkan menghadapi situasi yang lebih parah akibat balasan perang tarif karena transhipment yang digagasnya,” tuturnya.

    Stepi Anriani menyebutkan, Indonesia harus memilih sikap tegas antara membentuk blok tandingan, tunduk pada AS, atau mengambil jalan netral yang penuh risiko ekonomi.

    Optimisme Ekonomi Tetap Ada

    Di tengah tekanan eksternal, sejumlah ekonom menilai Indonesia masih memiliki peluang untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang solid. Ekonom Bank Mandiri Dendi Ramdani menyebutkan tiga faktor kunci yang bisa membawa Indonesia tumbuh melampaui proyeksi IMF, yakni:

    Bonus demografi dan konsumsi domestik Optimalisasi sumber daya alam Peningkatan kualitas institusi dan tata kelola

    “Dalam situasi kualitas institusi dan governance yang belum baik saja Indonesia bisa tumbuh 5 persenan,” ujarnya.

    Dengan tata kelola yang lebih baik, Indonesia diyakini bisa mengejar target pertumbuhan hingga 8 persen seperti yang diharapkan Presiden terpilih Prabowo Subianto.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Ekspor Nonmigas Jadi Penyelamat, Surplus Dagang Indonesia Maret 2025 Naik Signifikan

    Ekspor Nonmigas Jadi Penyelamat, Surplus Dagang Indonesia Maret 2025 Naik Signifikan

    PIKIRAN RAKYAT – Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar 4,33 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp72,78 triliun pada Maret 2025. Angka ini meningkat 1,23 miliar dolar dibanding bulan sebelumnya.

    “Pada Maret 2025, neraca perdagangan barang mencatat surplus sebesar 4,33 miliar dolar. Angka tersebut berasal dari selisih ekspor pada Maret 2025 yang mencapai 23,25 miliar dolar atau Rp390,643 triliun dan impor yang mencapai 18,92 miliar dolar atau Rp317,94 triliun,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, Senin (21/4/2025).

    Ilustrasi Ekspor dan Impor. Pixabay

    Dengan capaian tersebut, Indonesia berhasil membukukan surplus perdagangan selama 59 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

    Amalia menjelaskan, surplus tersebut terutama ditopang oleh sektor non-migas yang mencatatkan surplus sebesar 6 miliar dolar. “Komoditas penyumbang surplus utama adalah lemak dan minyak hewan nabati (HS15), bahan bakar mineral (HS27), serta besi dan baja (HS72),” ujarnya.

    Sementara itu, sektor migas masih mengalami defisit sebesar 1,67 miliar dolar. Penyebab utama defisit ini adalah impor minyak mentah dan hasil olahannya.

    Surplus Perdagangan Kuartal I 2025 Naik

    Secara kumulatif, dari Januari hingga Maret 2025, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 10,92 miliar dolar. Angka ini naik 3,51 miliar dolar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 4,47 miliar dolar.

    Amalia juga menyebutkan tiga negara penyumbang surplus terbesar pada perdagangan non-migas, yakni Amerika Serikat sebesar 1,98 miliar dolar, India 1,04 miliar dolar, dan Filipina 0,71 miliar dolar.

    “Dengan Amerika Serikat ini didorong oleh komoditas mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya, alas kaki HS 64 dan lemak dan minyak hewan nabati HS 15,” katanya.

    Perdagangan Indonesia-AS Meningkat

    Amalia menambahkan, tren perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat terus meningkat sejak 2015 hingga 2024. Kenaikan ini terutama terjadi pada sektor non-migas.

    Hingga Maret 2025, Indonesia membukukan surplus perdagangan dengan AS sebesar 4,32 miliar dolar. Angka ini naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,61 miliar dolar.

    Ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh komoditas non-migas seperti mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85), pakaian rajutan (HS 61), dan alas kaki (HS 64). Sementara itu, impor migas Indonesia dari AS meliputi minyak mentah, gas propana cair, dan butana cair.

    Untuk sektor non-migas, Indonesia banyak mengimpor mesin dan peralatan mekanis (HS 84), biji dan buah berminyak seperti kedelai (HS 12), serta mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85).***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kemendag Proyeksikan Kebijakan Tarif Resiprokal AS Bakal Ganggu Kinerja Ekspor Impor – Halaman all

    Kemendag Proyeksikan Kebijakan Tarif Resiprokal AS Bakal Ganggu Kinerja Ekspor Impor – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyeksikan, kinerja ekspor impor Indonesia bakal menurun imbas kebijakan tarif resiprokal yang berlaku di Amerika Serikat.

    Tercatat bahwa kebijakan tarif resiprokal AS untuk Indonesia sebesar 32 persen. Serta kebijakan tarif dasar baru dipatok sebesar 10 persen. 

    Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, kebijakan itu dipastikan memberikan dampak pada Indonesia. Meskipun dia belum mengetahui persisi besaran dampaknya seperti apa.

    “Buat Indonesia, ini berdasarkan kalkulasi kami, ini juga bisa menurunkan kinerja ekspor maupun impor. Dengan range yang berbeda-beda untuk masing-masing sektor,” kata Djatmiko, di Kantor Kemendag, Senin (21/4/2025).

    Sebab menurutnya, Amerika sendiri telah menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia. Sehingga kebijakan yang diambil AS akan berdampak terhadap negara-negara lain termasuk Indonesia.

    “Tentunya kepada negara-negara yang memiliki tingkat integrasi yang dalam dengan ekonomi Amerika Serikat. Ya contoh misalnya Kanada, Meksiko. Ya meskipun mereka punya perjanjian, tapi diberikan tadi tarif yang new baseline tarif tentunya juga akan berdampak,” jelas dia.

    Meski demikian, Djatmiko memproyeksikan bahwa penerapan tarif resiprokal ini juga akan meningkatkan investasi asing masuk ke Indonesia. 

    Namun sayangnya, dia enggan menjelaskan lebih rinci besaran investasi yang masuk itu berapa. Namun dia menegaskan akan berdampak pada peningkatan investasi asing.

    “Tapi juga ada satu hasil kalkulasi yang kita peroleh bahwa justru dengan penerapan tarif ini juga akan meningkatkan kesempatan untuk ataupun kegiatan investasi,” ucap dia.

    “Secara kuantitatif tidak disebutkan angkanya, tapi diprediksi akan meningkatkan aliran investasi Asia ataupun FDI apabila tarif ini diberlakukan, baik reciprocal ataupun yang new baseline tarif,” sambungnya.

    Naik

    Sejak 2015 hingga 2024, nilai perdagangan kedua negara secara umum terus mengalami peningkatan.

    “Tren peningkatan neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika terlihat lebih didorong oleh tren peningkatan neraca perdagangan non-migas,” jelas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti.

    Berdasarkan data BPS, hingga Maret 2025, Indonesia membukukan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat sebesar 4,32 miliar dolar AS. Angka ini meningkat dibandingkan periode yang sama pada 2024, yakni sebesar 3,61 miliar dolar AS.

    Amalia menuturkan, ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh komoditas non-migas, dengan komoditas utama antara lain mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85), pakaian rajutan (HS 61), serta alas kaki (HS 64). Sementara itu untuk migas, Indonesia melakukan impor migas terutama untuk Crude Petroleum Oil, Liquefied Propane, dan Liquefied Butane.

    Di sisi impor non-migas dari AS, Indonesia banyak mengimpor mesin dan peralatan mekanis (HS 84), biji dan buah mengandung minyak seperti kedelai (HS 12), serta mesin perlengkapan elektrik (HS 85).

    59 Bulan 

    BPS mencatat neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar 4,33 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau naik 1,23 miliar dolar AS pada Maret 2025.

    Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 59 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

    “Surplus pada Maret 2025 lebih ditopang oleh surplus dari komoditas non-migas yang sebesar 6 miliar dolar AS,” kata Amalia.

     

  • Respons Tarif AS, Kemendag Bidik Pasar Alternatif Nontradisional

    Respons Tarif AS, Kemendag Bidik Pasar Alternatif Nontradisional

    PIKIRAN RAKYAT – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencari pasar alternatif merespons kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia.

    Saat ini sudah dijajaki pasar nontradisional, antara lain melalui kerja sama dagang Indonesia-Canada melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).

    Pasar nontradisional adalah yang tidak termasuk dalam kategori pasar tradisional atau pasar modern yang sudah dikenal. Pasar nontradisional sering kali merujuk pada pasar yang belum sepenuhnya digarap atau merupakan pasar baru yang sedang dikembangkan, seperti pasar-pasar di negara berkembang atau pasar yang belum banyak dikenal oleh produsen atau pedagang.

    “Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama bisa ditandatangani, ini bisa jadi pasar alternatif yang sangat menjanjikan yang didukung fasilitasi tarif dan nontarif di kawasan Amerika Utara,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono dalam keterangan di Jakarta, Senin (21/4/2025).

    Selain itu, lanjut dia, pasar lain yang akan dibidik yakni Arab Saudi. Dikatakan, negara ini merupakan pasar yang potensial, dibuktikan dari neraca perdagangan ekspor RI ke Arab Saudi yang sebelumnya defisit menjadi surplus.

    Kemendag juga menargetkan rampungnya pembahasan perjanjian dagang dengan Tunisia, salah satu negara di kawasan Afrika Utara. “Menurut hemat kami ini akan menjadi peluang yang besar kepada produk-produk yang berasal dari Indonesia untuk bisa dipasarkan di kawasan negara-negara Magribi,” ujar Djatmiko.

    Indonesia juga akan menyelesaikan perundingan kerja sama dagang dengan Peru. Menurutnya, Peru menjadi salah satu negara berkembang yang cukup progresif dan akan menjadi pasar yang menjanjikan untuk produk Indonesia.

    Kemudian, pemerintah juga masih menargetkan penyelesaian perjanjian dagang dengan Indonesia-Uni Eropa CEPA. Selain itu, pihaknya juga menargetkan penyelesain perjanjian dagang dengan Eurasia pada tahun ini.

    “Eurasia ini custom union, terdiri dari Rusia, Belarus, Kazakhstan, Tiri Istanbul. Ini juga punya potensi yang luar biasa besar, kalau kita bisa memiliki perjanjian-perjanjian Eurasia, akan memasukkan kita ke kawasan Eropa Timur dan sebagian dari kawasan Asia Tengah,” ujarnya memungkasi.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • AS Ternyata Penyumbang Terbesar Surplus Neraca Perdagangan Indonesia

    AS Ternyata Penyumbang Terbesar Surplus Neraca Perdagangan Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sebesar US$ 4,33 miliar pada Maret 2025. Amerika Serikat (AS) menjadi negara penyumbang surplus terbesar.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan sebesar US$ 1,9 miliar dalam perdagangan dengan AS. Nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai US$ 2,6 miliar, sementara impor dari AS sebesar US$ 1,9 miliar.

    “Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 1,9 miliar dengan Amerika Serikat,” ucap BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di kantor BPS, Senin (21/4/2025).

    Adapun komoditas utama penyumbang surplus perdagangan Indonesia dengan AS antara lain mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya US$ 465 juta, alas kaki US$ 239,7 juta, lemak dan minyak nabati US$ 238,7 juta.

    Meski mencatat surplus neraca perdagangan, Indonesia tetap mengalami defisit perdagangan dengan tiga negara utama pada Maret 2025, yaitu China sebesar US$ 1,1 miliar, Australia US$ 353,2 juta, dan Thailand US$ 195,4 juta.

    Tarif Impor Donald Trump

    Meskipun menjadi negara penyumbang surplus terbesar, produk ekspor Indonesia ke AS kini dikenakan tarif impor tinggi, setelah AS memberlakukan penambahan bea masuk sebesar 10% sejak awal April 2025. Hal ini menyebabkan tarif naik dari semula 10%–37% menjadi 20%–47%, terutama untuk produk unggulan seperti tekstil, garmen, furnitur, dan alas kaki.

    Sementara itu, tarif resiprokal era Presiden Donald Trump sebesar 32% yang sebelumnya sempat ditunda selama 90 hari, kini tengah dibahas kembali. Pemerintah Indonesia dan AS telah menyepakati negosiasi perdagangan selama 60 hari dalam kerangka kerja (framework) yang bertujuan menciptakan sistem perdagangan yang adil dan seimbang antara kedua negara. Kebijakan tarif impor trump ini tentu saja akan memengaruhi surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS.