Topik: neraca perdagangan

  • Berkontribusi Signifikan Terhadap PDB, Pemerintah Diminta Perhatikan Industri Manufaktur

    Berkontribusi Signifikan Terhadap PDB, Pemerintah Diminta Perhatikan Industri Manufaktur

    Fajar.co.id, Jakarta — Industri manufaktur di Indonesia butuh perhatian dan dukungan dari pemerintah. Pemerintah pun diminta untuk mendukung dan memperhatikan sektor tersebut.

    Pasalnya, sektor ini dinilai sangat berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan ekspor nasional.

    “Neraca perdagangan kita dengan negara lain sangat ditentukan oleh sektor ini,” kata Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, Kamis (5/5/2025).

    “Produk industri manufaktur ini banyak diekspor ke negara lain. Karena itu, selisih jumlah ekspor dan impor Indonesia ditentukan juga oleh nilai besaran ekspor kita ke luar. Kalau selama ini, kita hanya tahu banyak barang impor. Sekarang saatnya kita memikirkan agar barang-barang produksi Indonesia merambah lebih luas di pasar global,” ujar Saleh melalui keterangan tertulisnya kepada fajar.co.id.

    Selain itu, lanjut Wakil Ketua Umum DPP PAN ini, pemerintah juga harus memperhatikan bahwa industri manufaktur menciptakan jutaan lapangan pekerjaan di tengah masyarakat.

    Ada pekerja yang langsung, ada juga pekerja yang merupakan bagian dari multi effect dari jaring distribusi produk yang ada. Artinya, sektor industri manufaktur ini jelas sangat membantu pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan daya beli masyarakat.

    Berkenaan dengan itu, pemerintah diminta untuk mendukung upaya sektor industri manufaktur untuk tetap hidup di tengah persaingan pasar global yang semakin kompetitif. Dalam beberapa hari belakangan ini, kami mendapatkan informasi ada beberapa perusahaan yang kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. Katakanlah, misalnya, industri pulp dan kertas, industri keramik, dan beberapa industri lain.

  • DPR minta pemerintah perhatikan industri manufaktur guna sokong PDB

    DPR minta pemerintah perhatikan industri manufaktur guna sokong PDB

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengingatkan kepada pemerintah untuk mendukung dan memperhatikan industri manufaktur di Indonesia karena sektor itu mampu berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan ekspor nasional.

    Dia menilai bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan negara lain sangat ditentukan oleh sektor tersebut melalui produk industri manufaktur banyak diekspor ke negara lain.

    “Kalau selama ini, kita hanya tahu banyak barang impor. Sekarang saatnya kita memikirkan agar barang-barang produksi Indonesia merambah lebih luas di pasar global,” kata Saleh saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Menurut dia, selisih jumlah ekspor dan impor Indonesia ditentukan oleh nilai besaran ekspor ke luar.

    Menurut dia, pemerintah juga harus memperhatikan bahwa industri manufaktur mampu menciptakan jutaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

    Dari sektor itu, dia menilai ada lapangan pekerjaan yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung sebagai multiplier effect dari jaringan distribusi produk.

    Artinya, kata dia, sektor industri manufaktur ini jelas sangat mampu membantu pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan daya beli masyarakat.

    Selain itu, dia meminta pemerintah mendukung upaya industri manufaktur tetap hidup di tengah persaingan pasar global yang semakin kompetitif.

    Pasalnya dalam beberapa hari belakangan, dia mendapatkan informasi bahwa ada beberapa perusahaan yang kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, misalnya industri pulp dan kertas, industri keramik, dan beberapa industri lainnya.

    “Kalau bahan baku penolong utama itu dibatasi, tentu akan mengurangi produksi mereka,” katanya.

    Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus mendengar permasalahan yang dialami oleh sektor industri manufaktur tersebut.

    Dia meminta jangan sampai ada kebijakan pemerintah yang justru mempersulit dunia usaha.

    “Justru sebaliknya, pemerintah diharapkan dapat memberikan kemudahan sehingga investasi di Indonesia semakin baik dan meningkat,” kata dia.

    /

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mendag Respons Volume Impor dari China Melesat, Imbas Tarif Trump?

    Mendag Respons Volume Impor dari China Melesat, Imbas Tarif Trump?

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menanggapi laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait meningkatnya impor non-migas dari China pada April 2025.

    Pria yang akrab disapa Busan ini mengatakan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan China bersifat fluktuatif dan tidak menentu.

    “Memang perdagangan kita dengan China itu kan cukup besar ya. Ekspor kita terbesar juga ke China. Misalnya tahun lalu itu ekspor kita US$ 60 miliar, tetapi impor kita US$ 70 miliar,” ujar Busan di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (4/6/2025).

    Ia menyebut, pada beberapa tahun sebelumnya Indonesia sempat mencatat surplus perdagangan dengan China sebesar US$ 2 miliar. Namun, belakangan kembali mencatat defisit akibat tingginya angka impor.

    Menanggapi kemungkinan lonjakan impor sebagai dampak dari kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) terhadap negara mitra dagang, Busan menilai hal tersebut belum terbukti secara konkret.

    “Kalau indikasi (transhipment) itu belum ada ya. Karena begini, indikasi transhipment bisa kita kontrol melalui SKA (surat keterangan asal) kita. Jadi itu belum ada indikasi seperti itu,” tegasnya.

    Sebagaimana diketahui, AS telah memberlakukan kebijakan tarif resiprokal yang tinggi kepada beberapa negara, termasuk China. Kondisi ini mendorong produsen dari Negeri Tirai Bambu mencari pasar alternatif di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

    Terkait menyusutnya surplus neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 yang tercatat sebagai yang terendah dalam 60 bulan terakhir, Busan menjelaskan beberapa penyebabnya.

    “Jadi ekspor Januari-April dibanding tahun lalu kan naik memang ya 6,65% tetapi Maret-April mengalami penurunan,” ujarnya.

    Menurutnya, penurunan tersebut dipengaruhi oleh libur panjang Idulfitri yang menghambat aktivitas ekspor. Selain itu, ketidakpastian akibat kebijakan tarif dari AS turut membuat pelaku pasar bersikap hati-hati.

    “Setelah kita analisa, yang pertama kemarin kan awal April itu masih libur Lebaran ya. Jadi masih banyak libur sehingga ekspor juga berkurang,” sambung Busan.

    Ia menambahkan, fenomena serupa juga terjadi di negara-negara tetangga. Dalam pertemuan dengan para menteri perdagangan ASEAN di Kuala Lumpur saat KTT ASEAN, mereka menyampaikan bahwa penyusutan surplus perdagangan turut dialami oleh Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

    “Kemarin waktu kami ketemu teman-teman mendag di Kuala Lumpur waktu KTT ASEAN. Ya kita juga ngobrol, ternyata pengaruhnya bagi masing-masing sangat besar. Bahkan banyak eksportir yang cenderung masih menunggu,” pungkasnya.

  • Menko Airlangga Tegaskan Kemitraan Strategis Indonesia-Jepang untuk Kemakmuran dan Stabilitas Kawasan

    Menko Airlangga Tegaskan Kemitraan Strategis Indonesia-Jepang untuk Kemakmuran dan Stabilitas Kawasan

    Paris, Beritasatu.com – Dalam rangka OECD Ministerial Council Meeting di Paris, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menghadiri pertemuan bilateral dengan State Minister for Foreign Affairs Jepang Fujii Hisayuki, Selasa (3/6/2025). Pertemuan ini menegaskan kembali hubungan strategis yang kokoh antara kedua negara, khususnya dalam bidang perdagangan, investasi, dan pembangunan berkelanjutan. 

    Salah satu topik utama dalam pertemuan ini adalah dukungan Jepang terhadap proses Indonesia dalam bergabung sebagai anggota penuh OECD. Indonesia telah menyampaikan Initial Memorandum dalam waktu kurang dari satu tahun setelah menerima Accession Roadmap, dan menargetkan penyelesaian proses aksesi dalam waktu tiga tahun. Jepang juga memberikan dukungan melalui lokakarya dan studi mengenai OECD Anti-Bribery Convention, yang menjadi instrumen penting dalam mendorong reformasi tata kelola dan penguatan sistem hukum di Indonesia. 

    “Proses aksesi Indonesia ke OECD bukan hanya tentang integrasi ekonomi, tetapi juga tentang memperkuat komitmen kami dalam menciptakan sistem pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel,” ungkap Menko Airlangga.

    Di bidang ekonomi, tercatat total nilai perdagangan barang antara Indonesia dan Jepang mencapai US$ 35,67 miliar pada tahun 2024, melampaui tingkat sebelum pandemi. Neraca perdagangan Indonesia dengan Jepang mencatat surplus sebesar US$ 5,74 miliar. Jepang juga merupakan investor asing terbesar keenam di Indonesia dengan nilai investasi mencapai US$ 3,46 miliar, tersebar di lebih dari 12.800 proyek di sektor strategis seperti transportasi, mesin, elektronik, dan industri kimia. 

    Menko Airlangga juga menambahkan bahwa kerja sama dengan Jepang di sektor investasi menunjukkan bahwa kedua negara sangat berkomitmen untuk mendukung pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan memperkuat perekonomian nasional Indonesia. Terkait kebijakan perdagangan global, Indonesia menyampaikan ketertarikan atas pendekatan Jepang dalam menghadapi kebijakan tarif dari Amerika Serikat. Pendekatan Jepang yang berbasis pada comprehensive package dianggap sejalan dengan strategi Indonesia dalam menjajaki pembicaraan perdagangan bilateral dengan AS, termasuk isu tarif dan hambatan non-tarif. Indonesia juga menyoroti pentingnya kerja sama dalam menjaga ketahanan rantai pasok (supply chain resilience) di kawasan Asia-Pasifik. 

    “Penting bagi Indonesia dan Jepang untuk terus mendukung satu sama lain dalam menghadapi tantangan tarif dan menjaga stabilitas ekonomi di kawasan Asia-Pasifik,” jelas Menko Airlangga.

    Kerja sama di bawah Asia Zero Emission Community (AZEC) semakin menguat, dengan sejumlah proyek penting seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Muara Laboh yang sudah memasuki tahap konstruksi. Pemerintah Indonesia dan Jepang membentuk joint task force untuk mengatasi hambatan pelaksanaan proyek. 

    Selanjutnya, Menko Airlangga mengakhiri pertemuan dengan optimisme bahwa kemitraan strategis Indonesia dan Jepang tidak hanya akan mendukung pertumbuhan ekonomi kedua negara, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan bagi stabilitas dan kemajuan kawasan Asia Pasifik.

    Turut mendampingi Menko Airlangga dalam kesempatan tersebut diantaranya yakni Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi Edi Priyo Pambudi, Duta Besar Republik Indonesia di Paris Mohamad Oemar, Staf Ahli Bidang Pembangunan Daerah Haryo Limanseto, serta Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral Ferry Ardiyanto. 

  • Mendag Ungkap Penyebab Surplus Neraca Perdagangan pada April Terendah Sejak 2020 – Page 3

    Mendag Ungkap Penyebab Surplus Neraca Perdagangan pada April Terendah Sejak 2020 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan penyebab utama di balik melambatnya surplus neraca perdagangan Indonesia yang hanya mencapai USD 160 juta pada April 2025. Angka ini merupakan yang terendah sejak Mei 2020, meskipun Indonesia tetap mencatatkan surplus selama 60 bulan berturut-turut.

    Menurut Budi, secara kumulatif ekspor Indonesia pada Januari hingga April 2025 memang meningkat 6,65% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, penurunan signifikan terjadi pada Maret dan April.

    “Jadi, kita ekspor Januari-April dibanding tahun lalu naik memang ya 6,65%. Tetapi Maret-April mengalami penurunan. Jadi setelah kami cek juga di beberapa negara Seperti di Malaysia, Filipina, Vietnam, kita analisa yang pertama kemarin awal April itu masih libur Lebaran ya Jadi masih banyak karena libur sehingga ekspor juga berkurang,”  kata Mendag saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Rabu (4/6/2025).

    Selain faktor domestik, kondisi global juga turut memengaruhi performa ekspor Indonesia. Budi menjelaskan kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump turut memberikan dampak yang luas, termasuk bagi negara-negara ASEAN.

    “Terkait kebijakan Trump. Ya apalagi kemarin waktu kami ketemu teman-teman Mendag di Kuala Lumpur waktu KTT ASEAN, kita juga ngobrol ternyata pengaruhnya bagi masing-masing sangat besar bahkan banyak eksportir yang cenderung masih menunggu,” jelasnya.

    Ia menambahkan, bukan hanya ekspor ke Amerika Serikat yang terdampak, melainkan ekspor ke negara lain pun ikut melambat karena efek domino dari ketidakpastian global tersebut. 

    “Jadi, tidak hanya sekedar ekspor ke Amerikanya tetapi ekspor ke negara lain pun juga saling menunggu. Apalagi sekarang sepertinya belum ada kejelasan lagi begitu Kita juga masih menunggu untuk dijadwalkan negosiasi yang kedua,” ungkapnya.

     

  • Neraca Dagang Indonesia-AS Masih Surplus per April 2025 usai Kena Tarif Trump 32%

    Neraca Dagang Indonesia-AS Masih Surplus per April 2025 usai Kena Tarif Trump 32%

    Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat tercatat masih menjadi negara dengan penyumbang surplus neraca perdagangan nonmigas terbesar sepanjang Januari—April 2025, yang mencapai US$6,42 miliar dari surplus RI secara keseluruhan senilai US$11,07 miliar.

    Neraca perdagangan bahkan tetap mencatatkan surplus pada April—walaupun lebih rendah dari surplus Maret 2025—di saat Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif impor ke Indonesia hingga 32%. 

    “Total nilai ekspor ke Amerika Serikat bulan April 2025 US$2,08 miliar dan total nilai impor dari AS bulan April 2025 US$0,96 miliar,” ujar Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini, Senin (2/6/2025). 

    Alhasil surplus khusus April 2025 mencapai US$1,12 miliar, lebih rendah dari Maret yang senilai US$1,98 miliar. 

    Tercatat terdapat tiga komoditas penyumbang surplus terbesar, yakni mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) senilai US$1,25 miliar. 

    Kemudian komoditas unggulan alas kaki (HS 64) serta pakaian dan aksesorisnya (rajutan) (HS 61) yang masing-masing menyumbang US$838,4 juta dan US$801,4 juta. 

    Secara umum, kinerja ekspor Indonesia April 2025 mencapai US$20.743,8 juta (pembulatan US$20,74 miliar), lebih rendah dari Maret 2025 yang mencapai US$23,25 miliar atau turun 10,77% secara (MtM).

    Sementara khusus ekspor Indonesia ke AS pada April 2025 tercatat anjlok sebesar 20,87% (MtM), namun secara tahunan (year on year/YoY) masih meningkat 18,43%. 

    Mengacu data BPS, ketiga komoditas tersebut memang menyumbangkan surplus, tetapi secara bulanan nilai ekspornya lebih rendah dari Maret 2025. 

    Komoditas mesin dengan kode HS 85 nilainya mengalami kontraksi sebesar 24,91% pada April (month to month/MtM), sementara pakaian dengan kode HS 61 dan alas kaki masing-masing kontraksi sebesar 11,97% dan 19,5%. 

    Melihat dari sisi volume ekspor, hanya komoditas mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) yang naik tipis 0,01% dari 42.200 ton (Maret 2025) menjadi 42.300 pada April 2025. 

    Dua komoditas lainnya mengalami penurunan volume pengiriman dari Tanah Air ke AS pada April 2025 sebesar 4,27% (MtM) dan 23,61%. 

    Penurunan besaran surplus bukan hanya tertekan ekspor yang melandai, juga sejalan dengan meningkatnya impor dari AS sebesar 2,47% (MtM).

    Dari 10 komoditas utama impor dari AS ke Indonesia, mesin dan perlengkatan elektrik dan bagiannya (HS 85) mengalami peningkatan hingga 285,89% (MtM) dan 487,34% (YoY). 

    Kemudian komoditas biji dan buah mengandung minyak (HS 12) tercatat melonjak hingga 118,03% (MtM). Selain itu, komoditas pulp dan kayu (HS 47) nilainya melesat 74,25% (MtM).

    Sebelumnya, pemerintah memang berencana untuk meningkatkan impor barang asal AS untuk mengurangi surplus neraca dagang dan dalam rangka ‘merayu’ Trump agar menurunkan tarif resiprokal 32%. 

    Meski demikian, belum dapat dipastikan apakah peningkatan impor yang terjadi sejalan dengan rencana pemerintah atau bukan.

    Berikut 10 Komoditas Ekspor Nonmigas RI ke AS Terbesar pada April 2025:

    Komoditas 
    Maret 2025 (US$, juta)
    April 2025 (US$, juta) 

    Mesin dan perlengkapan elektrik (85)
    505,4
    379,5

    Pakaian dan aksesorinya (rajutan) (61)
    195,8
    172,4

    Alas kaki (64)
    243
    195,6

    Pakaian dan aksesorinya (bukan rajutan) (62)
    174,8
    138,4

    Lemak dan minyak hewan/nabati (15)
    238,7
    128,7

    Karet dan barang dari karet (40)
    135,3
    126,6

    Perabotan dan alat penerangan  (94)
    131,9
    92,7

    Ikan dan udang (03)
    95,7
    84,9

    Mesin dan peralatan  mekanis (84)
    87,2
    71,3

    Olahan dari daging dan ikan (16)
    71,5
    52,8

    Berikut 10 Komoditas Impor Nonmigas dari AS ke RI Terbesar pada April 2025:

    Komoditas
    Maret 2025 (US$, juta)
    April 2025 (US$, juta)

    Mesin/peralatan mekanis dan bagiannya (84)
    114,2
    99,7

    Biji dan buah mengandung minyak (12)
    41
    89,4

    Mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya (85)
    43,4
    167,3

    Bahan bakar mineral (27)
    69,7
    46,6

    Ampas dan sisa industri makanan (23)
    36,5
    43,7

    Instrumen optik, fotografi, sinematografi, dan medis (90)
    31,7
    27,8

    Pulp dari kayu (47)
    20,6
    35,9

    Plastik dan barang dari plastik (39)
    25
    27,7

    Bahan kimia anorganik (28)
    26,9
    13,9

    Serealia (10)
    28,8
    1,1

    Sumber: BPS, diolah

  • RI Kian ‘Tergantung’ China, Lebih Untung Mana dengan AS?

    RI Kian ‘Tergantung’ China, Lebih Untung Mana dengan AS?

    Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia memiliki hubungan yang cukup erat dengan China dan Amerika Serikat. Kedua negara itu memiliki pengaruh yang cukup besar baik dari sisi politik, ekonomi, dan keamanan.

    Namun demikian, hubungan itu mengalami sejumlah tantangan, terutama setelah pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, mengerek tarif bea masuk resiprokal barang dari Indonesia hingga di angka 32%. Indonesia, sampai harus berjibaku melobi Trump untuk menurunkan tarif tersebut.

    Tidak tanggung-tanggung, Presiden Prabowo Subianto bahkan mengirim delegasi ke AS. Timnya adalah birokrat papan atas. Ada nama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

    Tidak jelas hasil dari proses negosiasi tersebut. Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto telah melaporkan hasil kunjungannya ke Amerika Serikat (AS) kepada Presiden Prabowo Subianto terkait negosiasi tarif resiprokal yang dikeluarkan oleh Presiden AS Donald Trump.

    Airlangga mengaku bahwa dirinya bertemu dengan pejabat tinggi seperti USTR, Secretary of Commerce, Secretary of Treasury, dan Direktur National Economic Council. Dia juga berdiskusi dengan pelaku industri semikonduktor AS, US-Asean Business Council, Amazon, Boeing, Microsoft, dan Google.

    “Saya laporkan ke Presiden yang ditawarkan Indonesia secara prinsip, melalui surat yang disampaikan pada 7 April dan 9 April mendapatkan apresiasi ke Amerika,” tuturnya, Senin (28/4/2025) lalu.

    Dalam pertemuan tersebut, kata Airlangga, Indonesia menawarkan sejumlah proposal, termasuk keseimbangan neraca perdagangan dan penghapusan hambatan non-tarif.  “Karena surat kami relarif komprehensif, terkait non tarif, dan rencana Indonesia seimbangkan neraca perdagangan. Kami sebut fair and square. Mereka kan neraca perdagangannya sekitar US$19 miliar, kami berikan lebih dari US$19,5 miliar. Jual beli langsung US$19,5 miliar tetapi kami ada projek yang akan dibeli dari AS,” imbuhnya.

    Dia juga mengungkapkan bahwa perusahaan Indorama berencana berinvestasi US$2 miliar di Louisiana untuk proyek Blue Ammonia.  Selain itu, komoditas critical mineral yang juga turut dibahas dalam lawatannya tersebut dengan mengajukan permintaan untuk tarif yang sifatnya resiprokal atau untuk komoditas utama Indonesia yang melakukan ekspor ke AS. 

    Dia menekankan bahwa Indonesia mengajukan permintaan agar tarif ekspor utama Indonesia ke AS disetarakan dengan negara lain seperti Vietnam dan Bangladesh. “Kami minta tarif kita setara dengan negara lain. Apakah ke Vietnam, Bangladesh, sehingga dengan yang lain kami ada equal level playing field,” pungkas Airlangga.

    AS atau China?

    Adapun jika melihat dari sisi data, Indonesia memang memiliki ekspor yang cukup besar ke AS. Namun demikian, eksportasi ke China juga jauh lebih besar. Impor juga demikian. Bedanya neraca perdagangan Indonesia dengan AS. Sementara itu dengan China mengalami defisit.

    Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kinerja perdagangan pada April 2025. Ekspor nonmigas Januari–April 2025 terbesar adalah ke China yaitu US$18,87 miliar. Komoditas utama yang diekspor ke China pada periode tersebut adalah besi dan baja, bahan bakar mineral, dan nikel dan barang daripadanya.

    Adapun, ekspor ke Amerika Serikat senilai US$9,38 miliar atau di peringkat kedua. Di tempat ketiga India US$5,59 miliar. Baik ke China maupun AS, eksportasi RI mengalami kenaikan lebih dari US$1 miliar year on year atau tepatnya ke AS US$1,34 miliar (16,73%); China US$1,23 miliar (7%).

    Berbeda dengan ekspor, importasi non migas RI juga didominasi oleh China. BPS mencatat bahwa 3 negara yang menjadi pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-April 2025 adalah China US$25,77 miliar (39,48%), Jepang US$5,04 miliar (7,72%), dan Thailand US$3,13 miliar (4,79%). Sementara itu AS hanya di angka sekitar US$2,9 miliar.

    Itu artinya, perdagangan antara Indonesia dengan China mengalami defisit sekitar US$6,7 miliar. Sebaliknya dengan AS, neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus sebesar US$6,48 miliar.

    Selain dari sisi perdagangan, China juga lebih mendominasi realisasi investasi selama kuartal 1/2025. Realisasi investasi China tercatat sebesar US$1,75 miliar. Namun kalau menggabungkan dengan Hong Kong, yang juga masih wilayah China, nilainya mencapai US$4 miliar. Sedangkan AS, realisasi investasinya selama kuartal 1/2025 hanya di angka US$802 juta. 

  • Sinyal Ekonomi RI Tertekan Tergambar dari Kinerja Ekspor dan Kontraksi PMI Manufaktur

    Sinyal Ekonomi RI Tertekan Tergambar dari Kinerja Ekspor dan Kontraksi PMI Manufaktur

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelambatan ekspor pada April 2025 dan diiringi PMI Manufaktur yang melambat menjadi sinyal ekonomi domestik menampakkan pelemahan. 

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede tidak menampik bahwa data ekspor yang anjlok 10,77% secara bulanan (month to month/MtM) dan kontraksi PMI Manufaktur ke level 47,4 pada Mei 2025 memang mencerminkan adanya tekanan lanjutan dari sisi eksternal maupun permintaan domestik yang lemah. 

    “Kedua indikator ini tidak bisa dipandang terpisah, karena saling mengonfirmasi pelemahan aktivitas industri yang ditopang oleh ekspor dan konsumsi,” ujarnya, Senin (2/6/2025). 

    Secara umum, kinerja ekspor Indonesia April 2025 mencapai US$20,74 miliar, lebih rendah dari Maret 2025 yang mencapai US$23,25 miliar atau turun 10,77% secara MtM. 

    Meskipun secara tahunan ekspor masih mencatat pertumbuhan 5,76% dan 7,17% untuk ekspor nonmigas, penurunan tajam secara bulanan (MtM) terjadi terutama pada komoditas unggulan seperti bahan bakar mineral (-6,23%), nikel dan turunannya (-21,28%), serta minyak nabati (-39,23%). 

    Josua melihat kondisi ini mencerminkan tekanan dari ketidakpastian perdagangan global, termasuk efek lanjutan dari tarif resiprokal yang diberlakukan AS di bawah kebijakan Trump, yang menurunkan ekspor Indonesia ke negara-negara utama seperti Jepang (-22,28% YoY) dan India (-19,07% YoY).

    Sementara itu, dari sisi PMI manufaktur, kontraksi dua bulan berturut-turut dan penurunan permintaan baru—terbesar sejak Agustus 2021—menunjukkan pelemahan permintaan domestik maupun ekspor.

    “Perusahaan manufaktur juga mulai menurunkan pembelian bahan baku dan mengurangi inventaris, tanda bahwa optimisme jangka pendek masih lemah,” lanjutnya. 

    Namun demikian, Josua tetap melihat peluang untuk rebound tetap terbuka. Terlebih, keyakinan pelaku industri terhadap prospek 12 bulan ke depan meningkat, yang tercermin dari kenaikan ketenagakerjaan lima kali dalam enam bulan terakhir.

    Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal turut melihat bahwa untuk bulan-bulan yang akan datang, tren penurunan ekspor berpotensi masih terjadi karena kondisi manufaktur yang kontraksi dipengaruhi oleh faktor domestik dan global. 

    “Domestik ada pelemahan sisi permintaan, kami lihat indikasi pelemahan masih terus berlanjut, termasuk data-data yang dikeluarkan BPS hari ini, deflasi cukup tajam di luar kebiasaan. Begitu juga data lain yang berkaitan dengan permintaan, penjualan barang, termasuk barang ritel,” jelasnya. 

    Faisal melihat ekspor juga berpotensi mengalami tekanan dari sisi harga yang turun, termasuk ekspor komoditas andalan batu bara. Bahkan harga harga batu bara mencapai level terendah sejak Mei 2021. 

    Selain itu, potensi penurunan ekspor bakal terjadi sebagai konsekuensi dari pengenaan tarif oleh AS yang dihitung 90 hari atau mulai efektif pada Juli dan bergantung pada hasil negosiasi mendatang. 

    Sebelumnya, Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menyampaikan bahwa secara umum ekspor bulanan turun, utamanya akibat menurunnya nilai ekspor komoditas lemak dan minyak hewani/nabati (HS 15) sebesar 6,23% secara bulanan (month to month/MtM) atau 24,06% secara tahunan (year on year/YoY). 

    Sebagai catatan, pada April 2025 harga komoditas di pasar internasional secara umum bervariasi. Penurunan harga komoditas energi didorong oleh penurunan harga minyak mentah dan batu bara.

    Sementara itu, impor mencapai US$20.585 juta atau sekitar US$20,59 miliar pada April 2025, meningkat dari Maret 2025 yang senilai US$18,92 miliar. 

    Alhasil, neraca perdagangan barang Indonesia pada April 2025 yang berasal dari selisih ekspor dan impor mencatatkan angka sebesar US$158,8 juta (pembulatan US$160 juta atau US$0,16 miliar).

  • Surplus Neraca Dagang Makin Tipis, Sri Mulyani Ungkap Gegara Ulah Trump

    Surplus Neraca Dagang Makin Tipis, Sri Mulyani Ungkap Gegara Ulah Trump

    Jakarta

    Surplus neraca perdagangan Indonesia makin menyusut pada April 2025. Nilai surplus menyusut tajam dibanding bulan-bulan sebelumnya, hanya sebesar US$ 160 juta.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan biang kerok surplus neraca dagang makin tipis adalah kebijakan protektif yang dilakukan Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, Presiden Donald Trump mematok tarif tinggi untuk impor komoditas ke Negeri Paman Sam. Menurutnya, dampak dari kebijakan Trump membuat kinerja ekspor menurun. Khususnya, ekspor ke Amerika Serikat.

    “Kebijakan yang dilakukan di Amerika Serikat dari bulan April kan dampaknya terlihat di bulan April dan Mei ini, kalau di bulan April masih diumumkan shipment sudah jalan, kita lihat bulan Mei-nya dampak di seluruh dunianya,” beber Sri Mulyani ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (2/6/2025).

    Sri Mulyani menggarisbawahi sejauh ini impor ke Amerika memang menurun setelah Trump mematok tarif impor tinggi. Ini artinya, beberapa ekspor produk dari berbagai negara yang butuh bahan baku dari Indonesia juga turun, alhasil ekspor Indonesia pun jadi makin turun.

    “Jadi ekspor ke Amerika turun, ekspor ke berbagai negara juga turun jadi memang akan terasa terlihat,” sebut Sri Mulyani.

    Sementara itu, Badan Pusat Statistik sendiri menyatakan surplus neraca dagang yang makin tipis terjadi karena adanya lonjakan impor, terutama di sektor nonmigas, yang tumbuh hampir 30% secara tahunan.

    Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, mengatakan surplus perdagangan bulan April ditopang oleh ekspor nonmigas senilai US$ 1,51 miliar, sementara neraca perdagangan migas defisit cukup dalam, mencapai US$ 1,35 miliar.

    “Surplus masih terjadi berkat ekspor bahan bakar mineral, minyak nabati, serta besi dan baja,” ujar Pudji di Kantor Pusat BPS, Jakarta Pusat, di hari yang sama.

    Dengan capaian ini, Indonesia membukukan surplus neraca perdagangan selama 60 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Namun, tren pelemahan nilai surplus ini menjadi sorotan karena kenaikan impor yang cukup agresif.

    Secara kumulatif, sepanjang Januari hingga April 2025, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus US$ 11,07 miliar. Surplus tersebut didorong oleh kinerja ekspor nonmigas senilai US$ 17,26 miliar, meskipun neraca migas tetap defisit US$ 6,19 miliar.

    Sementara itu, total ekspor pada April 2025 tercatat sebesar US$ 20,74 miliar, naik 5,76% dibanding April 2024. Komoditas utama penyumbang kenaikan berasal dari industri pengolahan seperti minyak kelapa sawit, logam dasar besi, kimia dasar organik, nikel, dan semikonduktor.

    Salah satu komoditas yang mencatat lonjakan signifikan adalah mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) yang naik hingga 59,67%, menyumbang andil sebesar 3,01% terhadap total ekspor bulan April.

    Ekspor sepanjang Januari-April 2025 juga didominasi oleh besi dan baja, batu bara, serta CPO dan turunannya. Besi dan baja naik 6,62%, CPO tumbuh 20%, namun batu bara anjlok 19,74% akibat penurunan harga global yang menyentuh titik terendah sejak Mei 2021.

    Dari sisi negara tujuan, China, Amerika Serikat, dan India menjadi tiga pasar ekspor utama, menyumbang hampir 41% dari total ekspor nonmigas selama empat bulan pertama 2025. Nilai ekspor ke Tiongkok tercatat sebesar US$ 18,87 miliar.

    Namun, tekanan besar datang dari sisi impor. Nilai impor pada April 2025 mencapai US$ 20,59 miliar, melesat 21,84%dibanding April tahun lalu. Impor nonmigas tumbuh tajam 29,86% menjadi US$ 18,07 miliar, sementara impor migas justru turun 15,57% ke US$ 2,52 miliar.

    Secara kumulatif, total impor Indonesia dari Januari hingga April 2025 mencapai US$ 76,29 miliar, naik 6,27%dibanding periode yang sama tahun lalu. Negara asal impor terbesar masih dari China, Jepang, dan negara-negara ASEAN (di luar Thailand). Sementara impor dari Thailand dan Uni Eropa tercatat mengalami penurunan.

    (hal/ara)

  • IHSG Diramal Fluktuatif hingga Akhir Pekan

    IHSG Diramal Fluktuatif hingga Akhir Pekan

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) melemah sepanjang perdagangan pada Senin (2/6/2025), seiring kekhawatiran pasar terhadap kondisi makroekonomi Indonesia. Pelemahan ini dipicu oleh sejumlah data ekonomi yang menunjukkan perlambatan.

    Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) turun dari 108,47 pada April 2025 menjadi 108,07 pada Mei 2025. Selain itu, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,37% secara bulanan (month to month) pada Mei 2025.

    Tak hanya itu, neraca perdagangan Indonesia tercatat mengalami surplus hanya sebesar US$ 160 juta, angka terendah dalam lima tahun terakhir atau 60 bulan terakhir. Kondisi ini menunjukkan pelemahan ekspor dan peningkatan impor, yang menjadi sinyal negatif bagi pasar.

    Merespons data tersebut, IHSG terkoreksi hingga 1,3% sejak sesi pembukaan. Seluruh indeks sektoral mencatatkan pelemahan, terutama sektor perbankan. Saham-saham bank BUKU IV sebagai penggerak utama IHSG, seperti BBRI dan BBTN, melemah lebih dari 3%.

    Analis Riset Ekuitas Panin Sekuritas Felix Darmawan menyatakan, IHSG berpotensi bergerak dalam tren negatif dalam jangka pendek, setidaknya hingga akhir pekan pertama Juni 2025. Namun, penurunan inflasi dinilai memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk mempertimbangkan pelonggaran kebijakan moneter.

    “Inflasi yang menurun memberi peluang bagi BI untuk menyesuaikan suku bunga. Ini bisa menjadi katalis positif bagi pasar. Namun, tekanan dari defisit ekspor dan naiknya impor perlu diwaspadai,” ujar Felix kepada Beritasatu.com, Senin (2/6/2025).

    Lebih lanjut, Felix menekankan bahwa dalam jangka menengah, pergerakan IHSG akan sangat dipengaruhi oleh arah kebijakan BI, khususnya terkait suku bunga acuan, serta dinamika ekonomi global. 
    Ia juga mencatat bahwa investor asing mulai kembali menunjukkan minat terhadap pasar domestik, tetapi keberlanjutan arus modal sangat bergantung pada stabilitas makroekonomi dan kebijakan moneter yang akomodatif.

    Senada dengan itu, Kepala Ekonom dan Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Rully Wisnubroto memperkirakan, IHSG akan berada dalam tekanan dengan potensi koreksi hingga ke level 6.940-7.065.

    “Sentimen negatif datang baik dari dalam negeri maupun global. Di antaranya adalah ancaman tarif 50% dari Amerika Serikat terhadap produk-produk asal Eropa. Ini menjadi salah satu pemicu koreksi tajam IHSG. Sampai akhir pekan, pasar kemungkinan akan bergerak fluktuatif,” ujar Rully dalam keterangannya kepada Beritasatu.com.

    Sebagai catatan, indeks saham LQ45, yang berisi saham-saham paling likuid, turut terkoreksi 2,40% pada hari ini. Saham-saham yang menjadi pemberat indeks, antara lain BRIS, BBRI, GOTO, dan BBTN. Sementara itu, beberapa saham masih mampu bertahan di zona hijau, seperti ANTM, MAPA, AMRT, dan MDKA.