Topik: neraca perdagangan

  • Top 3: Pelabuhan Ketapang Macet, Begini Kondisi Layanan Penyeberangan – Page 3

    Top 3: Pelabuhan Ketapang Macet, Begini Kondisi Layanan Penyeberangan – Page 3

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif resiprokal untuk barang-barang impor dari negara ASEAN. Mayoritas dikenakan 19 persen, termasuk Indonesia. 

    Tak hanya Indonesia, beberapa negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Kamboja pun dikenakan tarif setara 19 persen. Namun, keputusan ini dinilai menimbulkan sisi dilematis bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menceritakan ulang, Trump awalnya berencana untuk mengenakan tarif impor sebesar 32 persen terhadap Indonesia. Sebelum pada akhirnya tarif tersebut diturunkan menjadi 19 persen setelah negosiasi pihak kedua.

    Berdasarkan kesepakatan, Indonesia berkomitmen untuk membeli produk energi dari AS senilai USD 15 miliar (sekitar Rp 244,07 triliun), produk pertanian senilai USD 4,5 miliar (sekitar Rp 73,2 triliun), serta 50 pesawat Boeing, mayoritas tipe 777. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen menerapkan tarif 0 persen untuk produk impor AS.

    “Tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0 persen, sebenarnya punya risiko tinggi bagi neraca perdagangan Indonesia,” kata Bhima, Sabtu (2/8/2025).

    Senada, Ekonom Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi mengatakan, kesepakatan dagang AS-Indonesia menempatkan RI dalam posisi yang tidak seimbang. 

    Berita selengkapnya baca di sini

  • Stimulus Disiapkan untuk Dongkrak Sektor Manufaktur Indonesia – Page 3

    Stimulus Disiapkan untuk Dongkrak Sektor Manufaktur Indonesia – Page 3

    Sementara dari sektor eksternal, kinerja ekspor terus memberikan dukungan positif terhadap perekonomian. Neraca Perdagangan Indonesia tetap solid dengan mencatatkan surplus sebesar USD 4,10 miliar pada Juni 2025.

    Kinerja positif ini didukung oleh ekspor yang tumbuh sebesar 11,29 persen (yoy), didorong sektor industri pengolahan dan pertanian. Sementara impor tumbuh moderat sebesar 4,28 persen (yoy), terutama pada barang modal seiring perbaikan kinerja manufaktur nasional.

    Ke depan, peluang ekspor Indonesia ke pasar AS tetap terbuka. Terutama dengan penandatanganan Executive Order oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 31 Juli 2025, yang menurunkan tarif resiprokal untuk Indonesia menjadi 19 persen.

    Sejumlah produk juga dikecualikan dan barang yang telah dalam pengiriman sebelum tanggal berlaku tidak terdampak. Kebijakan ini membuka ruang bagi penguatan posisi Indonesia dalam rantai pasok global melalui produk bernilai tambah dan perluasan akses pasar. 

    “Pemerintah terus mengantisipasi dengan langkah terukur untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik. Seluruh kebijakan dirancang agar aktivitas dunia usaha nasional tetap tangguh menghadapi guncangan global, dengan daya saing ekspor yang terus meningkat, disertai daya beli masyarakat yang tetap terjaga,” tutur Febrio.

     

  • AS jadi penyumbang surplus neraca perdagangan terbesar RI

    AS jadi penyumbang surplus neraca perdagangan terbesar RI

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    BPS: AS jadi penyumbang surplus neraca perdagangan terbesar RI
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 01 Agustus 2025 – 14:27 WIB

    Elshinta.com – Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut Amerika Serikat menjadi negara penyumbang surplus neraca perdagangan yang terbesar dengan nilai 9,92 miliar dolar AS pada periode Januari-Juni 2025.

    Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, tiga komoditas unggulan nonmigas yang menyumbang surplus adalah mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya 2,19 miliar dolar AS, pakaian dan aksesoris (rajutan) 1,28 miliar dolar AS, dan alas kaki 1,27 miliar dolar AS.

    “Tiga negara penyumbang surplus terbesar adalah Amerika Serikat sebesar 9,92 miliar dolar AS, kemudian India sebesar 6,64 miliar dolar AS, dan Filipina sebesar 4,36 miliar dolar AS,” ujarnya di Jakarta, Jumat.

    Dari sisi ekspor, Amerika Serikat berada pada urutan kedua terbesar dengan nilai 14,79 miliar dolar AS pada periode Januari-Juni 2025.

    Tiga komoditas penopang adalah mesin dan perlengkapan elektrik sebesar 2,80 miliar dolar AS, alas kaki sebesar 1,29 miliar dolar AS, pakaian dan aksesoris (rajutan) 1,28 miliar dolar AS.

    “Ekspor nonmigas ke Amerika Serikat untuk Juni 2025 turun 2,05 persen dibandingkan Mei 2025, namun meningkat 33,49 persen dibandingkan Juni 2024,” katanya.

    Secara kumulatif Januari hingga Juni 2025, nilai ekspor meningkat 20,71 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Selain itu, Pudji juga menyebut 10 komoditas ekspor tersebar Indonesia ke Amerika Serikat untuk Januari-Juni 2025 adalah mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS85), alas kaki (HS64), pakaian dan aksesoris (rajutan) (HS61), serta pakaian dan aksesoris bukan rajutan (HS62).

    Kemudian, lemak dan minyak hewani atau nabati (HS15), karet dan barang dari karet (HS40), perabot lampu dan alat penerangan (HS94), ikan krustasea dan molusca (HS03), mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya (HS84), dan berbagai produk kimia (HS38).

    Terkait dengan dampak tarif resiprokal sebesar 10 persen dari Amerika Serikat selama masa negosiasi beberapa waktu lalu, dia mengatakan, perlu melakukan kajian lebih lanjut karena tidak semua komoditas ekspor dikenakan tarif tersebut.

    Sementara itu, total impor nonmigas dari Amerika pada periode Januari-Juli 2025 tercatat sebesar 4,87 miliar dolar AS.

    Tiga komoditas penyumbang impor terbesar adalah mesin dan peralatan mekanis (HS84) sebesar 0,95 miliar dolar AS, mesin dan perlengkapan elektrik (HS85) sebesar 0,62 miliar dolar AS, serta biji dan buah mengandung minyak (HS12) sebesar 0,51 miliar.

    Sumber : Antara

  • Surplus Dagang RI-AS Diuji Tarif Trump, Apindo Ungkap Tantangannya

    Surplus Dagang RI-AS Diuji Tarif Trump, Apindo Ungkap Tantangannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Surplus dagang Indonesia dengan Amerika Serikat bakal mendapatkan ujian usai Presiden Donald Trump menerapkan tarif resiprokal sebesar 19%.

    Adapun, neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2025 mengantongi surplus US$4,10 miliar, meski menciut secara bulanan imbas kinerja ekspor yang turun. Pada Mei 2025, neraca perdagangan Indonesia mampu mencapai US$4,30 miliar.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, meski saat ini Indonesia masih mencatat surplus neraca perdagangan, tetapi ke depan akan semakin menantang usai diberlakukannya tarif resiprokal Trump terhadap semua negara, termasuk Indonesia.

    Tarif Trump dijadwalkan mulai berlaku dalam tujuh hari ke depan sejak dirilisnya keputusan terbaru Trump pada 1 Agustus 2025, atau akan diberlakukan mulai 7 Agustus 2025.

    “Kami tentu bersyukur kita masih bisa mempertahankan surplus perdagangan. Sejujurnya pasca adanya tarif resiprokal AS, Indonesia harus kerja keras agar bisa tetap surplus hingga akhir tahun,” kata Shinta, Jumat (1/8/2025).

    Menurut Shinta, ada sejumlah faktor yang membuat Indonesia harus bekerja keras mempertahankan surplus neraca perdagangan. Pertama, pasar global diproyeksikan mengalami kontraksi permintaan sebagai efek samping dari penyesuaian pasar global terhadap arah kebijakan perdagangan AS.

    “Ini bahkan diamini oleh institusi internasional seperti WTO yang memperkirakan demand perdagangan global akan kontraksi setidaknya 0,2%, di mana potensi kontraksi demand akan semakin besar pada negara-negara berkembang dan LDCs yang diversifikasi perdagangannya rendah seperti Indonesia,” ujarnya.

    Selain itu, Shinta menuturkan bahwa harga komoditas global juga diperkirakan turun karena perubahan iklim perdagangan global. Imbasnya, semakin menyulitkan Indonesia dan negara berkembang lain untuk meningkatkan kinerja ekspor. 

    Kedua, Indonesia harus rela kehilangan sebagian surplus perdagangan dengan AS sebagai bentuk komitmen dalam perjanjian dagang antara Indonesia dan Negara Paman Sam.

    Ketiga, kebutuhan impor Indonesia yang terus meningkat menjadi tantangan dalam menjaga surplus perdagangan. Shinta mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa secara agresif menekan impor melalui regulasi untuk menciptakan surplus perdagangan.

    “Karena langkah ini akan sangat backfire [berdampak negatif] terhadap pertumbuhan ekonomi dan kinerja industri di dalam negeri, termasuk pertumbuhan kinerja ekspor itu sendiri,” sambungnya.

    Terlebih, Shinta menyampaikan bahwa sekitar 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang dibutuhkan industri dalam negeri agar investasi terealisasi dan bisa memproduksi barang/jasa termasuk produk ekspor untuk menjaga stabilisasi pasar domestik.

    “Jadi impor harus tetap dibuka dan dibiarkan tumbuh selama tidak merusak persaingan dagang yang sehat di dalam negeri, dengan risiko terhadap penciptaan surplus dagang,” lanjutnya.

    Menurut Shinta, ketiga hal itu bisa menciptakan kesulitan bagi Indonesia untuk mempertahankan surplus perdagangan ke depan jika hanya mengandalkan kondisi status quo.

    “Satu-satunya cara untuk mempertahankan surplus adalah dengan diversifikasi produk ekspor dan negara tujuan ekspor,” ujarnya.

    Shinta menilai bahwa idealnya perlu dilakukan dengan peningkatan investasi atau industrialisasi yang berorientasi ekspor sehingga volume ekspor, ragam ekspor, dan pasar tujuan ekspor menjadi meningkat.

    Di samping itu, Shinta menyebut untuk alternatif lain untuk mempertahankan surplus neraca perdagangan adalah dengan membuat biaya berbisnis di dalam negeri menjadi lebih efisien (cost of doing business) yang utamanya untuk industri berorientasi ekspor.

    Selain itu, sambung dia, perlu adanya dukungan terhadap eksportir berupa stimulus seperti perluasan akses, pembiayaan ekspor yang terjangkau, subsidi atau insentif untuk peningkatan kualitas produk ekspor, hingga untuk diversifikasi pasar tujuan ekspor.

    Dia menjelaskan, dengan adanya efisiensi bisnis dan insentif akan mendongkrak volume dan kinerja ekspor nasional secara eksponensial. Langkah ini juga menjadi antisipasi untuk menggantikan hilangnya surplus dari perdagangan dengan AS imbas tarif resiprokal.

    “Kalau kedua langkah ini tidak dilakukan [efisiensi bisnis dan insentif], ya akan sangat sulit bagi kita untuk memiliki surplus perdagangan ke depannya. Saat ini saja sudah sulit dipertahankan, apalagi setelah realisasi komitmen peningkatan impor dari AS,” terangnya.

    Sepanjang Januari—Juni 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tiga negara penyumbang surplus neraca dagang terbesar adalah AS sebesar US$8,57 miliar, India sebesar US$6,59 miliar, dan Filipina sebesar US$4,4 miliar.

    Di sisi lain, tiga negara penyumbang defisit terdalam adalah China sebesar US$9,73 miliar, Singapura sebesar US$3,09 miliar, dan Australia US$2,66 miliar.

  • BI: Surplus neraca perdagangan Juni 2025 perkuat ketahanan eksternal

    BI: Surplus neraca perdagangan Juni 2025 perkuat ketahanan eksternal

    Jakarta (ANTARA) – Bank Indonesia (BI) memandang, surplus neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2025 positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Jumat (1/8), neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2025 mencatat surplus sebesar 4,10 miliar dolar Amerika Serikat (AS), melanjutkan surplus pada Mei 2025 sebesar 4,30 miliar dolar AS.

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa ke depan, bank sentral terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lain.

    Hal ini dilakukan untuk meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

    Adapun surplus neraca perdagangan yang berlanjut terutama bersumber dari surplus neraca perdagangan nonmigas yang tetap baik.

    Neraca perdagangan nonmigas pada Juni 2025 mencatat surplus sebesar 5,21 miliar dolar AS, seiring dengan tetap kuatnya ekspor nonmigas sebesar 22,33 miliar dolar AS.

    Kinerja positif ekspor nonmigas tersebut terutama didukung oleh ekspor berbasis sumber daya alam seperti lemak dan minyak hewani/nabati maupun ekspor produk manufaktur seperti berbagai produk kimia.

    Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke Tiongkok, Amerika Serikat, dan India tetap menjadi kontributor utama ekspor Indonesia.

    Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas tercatat menurun menjadi sebesar 1,11 miliar dolar AS pada Juni 2025 sejalan dengan penurunan impor migas yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan ekspor migas.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tarif Trump Berlaku 7 Agustus, Begini Respons Apindo

    Tarif Trump Berlaku 7 Agustus, Begini Respons Apindo

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia. Hal ini menyusul dengan diberlakukannya tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump mulai 7 Agustus 2025.

    Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, surplus perdagangan Indonesia diperkirakan masih bisa bertahan dengan adanya impor beberapa produk dari Negara Paman Sam, seperti minyak dan gas (migas), pesawat, hingga pangan.

    “Pasca 7 Agustus, kami meyakini surplus masih bisa bertahan hingga adanya realisasi impor migas, pesawat, dan pangan dari AS,” kata Shinta kepada Bisnis, Jumat (1/8/2025).

    Kendati demikian, Shinta menilai pasca realisasi komitmen impor tersebut potensi terjadinya surplus dagang secara nasional —berdasarkan agregat perdagangan Indonesia dengan seluruh dunia— akan semakin menyusut. Bahkan, dia menyebut penurunan surplus neraca perdagangan dengan AS diperkirakan akan mudah terlihat.

    “Surplus dagang dengan AS diperkirakan akan menjadi yang pertama-pertama terlihat jelas kontraksinya,” ujarnya.

    Di samping itu, Apindo juga meragukan apakah surplus perdagangan Indonesia—AS tetap dapat bertahan tanpa efek samping seperti retaliasi tarif dari AS seperti yang terjadi antara AS dengan Kanada dan Meksiko.

    “… karena basis kesepakatan bilateral yang diciptakan Indonesia—AS untuk penurunan tarif resiprokal ke 19% adalah penurunan atau penghilangan surplus dagang Indonesia terhadap AS,” imbuhnya.

    Dengan kata lain, sambung Shinta, Indonesia tidak bisa lagi berharap mengantongi surplus dagang dengan AS jika mau tarif perdagangan dengan AS tetap rendah atau kompetitif.

    Meski begitu, Apindo berharap agar pemerintah bisa segera merealisasikan deregulasi untuk peningkatan efisiensi dan daya saing iklim usaha/investasi di dalam negeri untuk mendorong diversifikasi ekspor.

    “Kami juga berharap ada stimulasi ekspor yang lebih signifikan untuk meningkatkan volume perdagangan Indonesia dengan berbagai negara di dunia agar potensi penciptaan surplus perdagangan kita tetap tinggi atau setidaknya stabil bila pasar AS tidak lagi memberikan surplus perdagangan yang sebesar saat ini,” tuturnya.

    Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mengumumkan neraca perdagangan Indonesia Juni 2025 surplus US$4,10 miliar. Nilainya turun jika dibandingkan Mei 2025 yang mencapai US$4,30 miliar. Adapun, ekspor US$23,44 miliar pada Juni 2025. Jumlahnya terdiri dari ekspor nonmigas senilai US$22,33 miliar dan ekspor migas senilai US$1,11 miliar.

    Sementara itu, Indonesia mencatatkan impor US$19,33 miliar pada Juni 2025. Jumlahnya terdiri dari impor nonmigas senilai US$17,11 miliar dan impor migas senilai US$2,22 miliar.

    Adapun secara kumulatif, BPS mencatat tiga negara penyumbang surplus neraca dagang terbesar adalah Amerika Serikat (AS) sebesar US$8,57 miliar, India sebesar US$6,59 miliar, dan Filipina sebesar US$4,4 miliar sepanjang Januari—Juni 2025. Sedangkan tiga negara penyumbang defisit terdalam adalah China sebesar US$9,73 miliar, Singapura sebesar US$3,09 miliar, dan Australia US$2,66 miliar.

  • Amerika Tetapkan Tarif Impor dari Indonesia 19%, Menko Airlangga: Ketidakpastian Menurun

    Amerika Tetapkan Tarif Impor dari Indonesia 19%, Menko Airlangga: Ketidakpastian Menurun

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai pengumuman tarif impor terbaru yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump pada Kamis (31/7/2025).

    Sebagai informasi, pada pengumuman tersebut AS resmi akan mengenakan tarif impor untuk produk Indonesia sebesar 19%, sesuai kesepakatan dagang yang telah dicapai kedua negara. Tarif tersebut akan mulai berlaku pada 7 Agustus 2025 mendatang.

    Airlangga menjelaskan, kebijakan tarif Trum menimbulkan ketidakpastian sekaligus ketidakstabilan kondisi perekonomian dunia. 

    Meski demikian, pengumuman tarif terbaru Trump terhadap 92 negara, termasuk di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia dan VIetnam, dinilai dapat menurunkan ketidakpastian tersebut

    “Angka-angka kita memang belum ideal, tetapi setidaknya ketidakpastian soal tarif kini sudah bisa kita tinggalkan. Sehingga kita bisa melangkah maju menghadapi situasi ini,” jelas Airlangga dalam IVFA Members’ Gathering & Forum di Jakarta pada Jumat (1/8/2025).

    Airlangga melanjutkan Indonesia masih mampu menjaga kestabilan ekonomi di tengah Volatilitas global. Dia mencontohkan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal I/2025 berada di kisaran 4,87%. 

    Sementara itu, laju inflasi juga masih terjaga pada kisaran 2,3% per Juli 2025. Menurutnya, laju inflasi tersebut menunjukkan bahwa permintaan mulai kembali ke pasar.

    Selain itu, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$3,3 miliar per Juli 2025. Sementara itu, peringkat utang Indonesia oleh S&P juga tetap stabil di level BBB

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana revisi tarif global dan menjadikan Suriah sebagai negara dengan pungutan terbesar, yakni 41%. Sementara itu, Laos dan Myanmar dikenakan bea masuk sebesar 40%. 

    Gedung Putih belum memberikan penjelasan terkait alasan kebijakan tersebut, sementara nilai perdagangan AS dengan ketiga negara itu relatif kecil dibandingkan mitra dagang utamanya.

    Melansir Bloomberg pada Jumat (1/8/2025) Myanmar hingga kini masih berada di bawah sanksi AS sejak kudeta militer pada 2021. Sementara itu, Laos mendapat sorotan Washington karena mempererat hubungan dengan China.  

    Adapun, Suriah sebelumnya dikenai sanksi atas pelanggaran HAM di bawah rezim Bashar Al-Assad. Pada saat yang sama, sejak penggulingan Assad tahun lalu, AS mulai melonggarkan pembatasan tersebut.

  • Surplus Dagang dengan AS Naik di Tengah Dinamika Tarif Trump, Defisit ke China Melebar

    Surplus Dagang dengan AS Naik di Tengah Dinamika Tarif Trump, Defisit ke China Melebar

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik alias BPS mencatat surplus perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat mengalami kenaikan sepanjang semester I/2025. Sebaliknya, defisit perdagangan dengan China terus meningkat.

    Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengumumkan bahwa neraca perdagangan barang bulan Januari—Juni 2025 atau semester I/2025 mencatatkan surplus sebesar US$19,4 miliar.

    “Surplus sepanjang Januari—Juni 2025 ditopang oleh surplus komoditas nonmigas yang sebesar US$28,31 miliar, sementara komoditas migas masih mengalami defisit US$8,83 miliar,” jelas Pudji dalam konferensi pers Rilis BPS, Jumat (1/8/2025).

    Dia merincikan, tiga negara penyumbang surplus neraca dagang terbesar adalah Amerika Serikat (AS) sebesar US$8,57 miliar, India sebesar US$6,59 miliar, dan Filipina sebesar US$4,4 miliar. 

    Sedangkan tiga negara penyumbang defisit terdalam adalah China sebesar US$9,73 miliar, Singapura sebesar US$3,09 miliar, kemudian Australia US$2,66 miliar.

    Untuk AS, surplus neraca perdagangan sebesar US$8,57 miliar pada Januari—Juni 2025 meningkat 32,8% dari periode yang sama tahun lalu (US$6,45 miliar).

    Tiga komoditas nonmigas penyumbang surplus perdagangan terbesar dengan AS adalah mesin dan perlengkapannya (US$2,19 miliar), pakaian dan aksesorinya (US$1,28 miliar), serta alas kaki (US$1,27 miliar).

    Untuk China, defisit neraca perdagangan sebesar US$9,73 miliar pada Januari—Juni 2025 lebih dalam atau meningkat 86,3% dari periode yang sama tahun lalu (US$5,22 miliar).

    Tiga komoditas nonmigas penyumbang defisit perdagangan terbesar dengan China yaitu mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya (US$9,15 miliar), mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (US$8,09 miliar), serta kendaraan dan bagiannya (US$2,18 miliar).

    Neraca perdagangan semester I/2025. / dok BPS

    Neraca Perdagangan Segera Bergeser?

    Perkembangan neraca perdagangan Indonesia ini terjadi di tengah ketidakpastian global akibat tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan negara-negara mitra dagangnya.

    AS sendiri sempat mengancam tarif resiprokal 32% atas produk asal Indonesia. Kendati demikian, dalam perkembangan terbaru, AS menurunkannya tarif resiprokal atas produk asal Indonesia menjadi 19%.

    Senior Economist Natixis untuk kawasan Emerging Asia, Trinh Nguyen, menilai kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan AS itu sebagai manuver strategis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mendiversifikasi ketergantungan ekonomi dari China dan meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok manufaktur global.

    “Kesepakatan ini menunjukkan ambisi Indonesia untuk merebut peluang dari relokasi rantai pasok global keluar dari China,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (16/7/2025).

    Trinh menjelaskan bahwa meskipun China merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia, hubungan dagang kedua negara justru mencatatkan defisit yang kian melebar yaitu US$11,4 miliar pada tahun lalu. Sebaliknya, AS memberikan surplus dagang terbesar bagi Indonesia yaitu sekitar US$16,8 miliar pada tahun lalu.

    Dalam konteks itu, komitmen Indonesia untuk membeli US$19 miliar tambahan produk Amerika Serikat dinilai sebagai bagian dari strategi menyeimbangkan neraca sekaligus memperkuat hubungan bilateral.

    “Ekspor ke AS menyumbang 2,1% dari PDB Indonesia pada 2024, sementara impor dari AS hanya 0,7% dari PDB. Angka ini menunjukkan potensi neraca yang positif jika dimaksimalkan,” ungkapnya.

    Menurut Trinh, pergeseran arah kebijakan ini mencerminkan perbedaan pendekatan antara Presiden Prabowo Subianto dan pendahulunya, Joko Widodo. Jika era Jokowi fokus pada rantai nilai penghiliran tambang dan logam, Prabowo justru ingin mengembalikan fokus pada sektor manufaktur padat karya.

    Dengan 193 juta penduduk usia produktif dan 59% pekerja berada di sektor informal, sambungnya, Indonesia butuh mesin pertumbuhan baru yang mampu menyerap tenaga kerja. Dia melihat strategi hilirisasi mineral Jokowi belum menjawab persoalan surplus tenaga kerja itu.

    Hanya saja, kesepakatan dagang RI-AS itu bukan tanpa risiko. Trinh menyoroti keberadaan klausul penalti atas praktik transshipment atau pengalihan barang dari negara ketiga yang berpotensi tetap dikenai tarif tinggi. Dia melihat klausul transshipment itu mempersulit strategi ekspor Indonesia yang masih bergantung pada bahan baku impor, terutama dari China.

    “Transshipment akan menjadi tantangan tersendiri. Apalagi Indonesia sudah dibanjiri barang murah dari China yang menekan industri dalam negeri. Padahal ekspor ke China setara 4,2% PDB, dua kali lipat dibanding ekspor ke AS, dan relasi investasi keduanya juga dalam,” jelas Trinh.

    Untuk benar-benar menarik investasi, dia menyarankan Indonesia membenahi faktor pendukung lainnya, mulai dari regulasi ketenagakerjaan, biaya input seperti listrik, hingga infrastruktur.

  • Surplus neraca dagang semester 1 capai 19,48 miliar dolar AS

    Surplus neraca dagang semester 1 capai 19,48 miliar dolar AS

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut surplus neraca perdagangan pada semester 1 2025 atau Januari hingga Juni mencatat surplus sebesar 19,48 miliar dolar AS.

    “Surplus semester 1 ini ditopang oleh surplus komoditas non-migas yang sebesar 28,31 miliar dolar AS, sementara komoditas migas masih mengalami defisit 8,83 miliar dolar AS,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini di Jakarta, Jumat.

    Surplus didorong oleh komoditas lemak dan minyak hewani atau nabati, yaitu sebesar 15,74 miliar dolar AS, bahan bakar mineral 13,28 miliar dolar AS, serta besi dan baja 9,04 miliar dolar AS.

    Sedangkan defisit utamanya berasal dari komoditas mesin dan peralatan mekanis sebesar 13,40 miliar dolar AS, kemudian mesin dan perlengkapan elektrik sebesar 5,26 miliar dolar, serta plastik dan barang dari plastik sebesar 3,72 miliar dolar AS.

    Jika dilihat berdasarkan negara mitra dagang, maka tiga negara penyumbang surplus adalah Amerika Serikat sebesar 8,57 miliar dolar AS, kemudian India sebesar 6,59 miliar dolar AS, dan Filipina sebesar 4,40 miliar dolar AS.

    BPS juga mencatat surplus neraca perdagangan sebesar 4,10 miliar dolar AS pada Juni 2025. Surplus ditopang oleh non-migas sebesar 5,22 miliar dolar AS dengan komoditas lemak dan minyak hewani, bahan bakar mineral, serta besi dan baja.

    Pada saat yang sama, neraca perdagangan komoditas migas tercatat defisit 1,11 miliar dolar AS, dengan komoditas penyumbang defisit adalah minyak mentah dan hasil minyak.

    Tiga negara penyumbang surplus terbesar adalah Amerika Serikat sebesar 9,92 miliar dolar AS, kemudian India sebesar 6,64 miliar dolar AS, dan Filipina sebesar 4,36 miliar dolar AS.

    Sedangkan tiga negara penyumbang defisit terdalam pada kelompok non-migas adalah Tiongkok sebesar 10,69 miliar dolar AS, Australia sebesar minus 2,39 miliar dolar AS, dan Brasil sebesar minus 0,83 miliar dolar AS.

    Sementara itu, nilai ekspor pada Juni 2025 mencapai 23,43 miliar dolar AS, dan impor sebesar 19,33 miliar dolar AS.

    Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Konsensus Ekonom Ramal Inflasi Juli 2025 Naik, Surplus Neraca Dagang Menyusut

    Konsensus Ekonom Ramal Inflasi Juli 2025 Naik, Surplus Neraca Dagang Menyusut

    Bisnis.com, JAKARTA — Konsensus ekonom Bloomberg menunjukkan estimasi kinerja indeks harga konsumen/IHK akan melanjutkan kenaikan Inflasi pada Juni 2025. Sementara itu, surplus neraca perdagangan barang diramal semakin susut.

    Berdasarkan proyeksi dari 29 ekonom yang Bloomberg himpun, median atau nilai tengah IHK Juli 2025 sebesar 2,26% year-on-year (YoY). Estimasi tertinggi di level 2,44% dan terendah di posisi 1,97%. 

    Secara bulanan atau month-to-month (MtM), median dari konsensus 18 ekonom meramalkan inflasi sebesar 0,23%. Melihat ramalan tersebut, seluruhnya menunjukkan bahwa inflasi akan semakin tinggi pada awal semester II/2025 ini. 

    Sebelumnya, inflasi pada Juni 2025 tercatat senilai 1,87% YoY dan 0,19% MtM. Dengan tingkat inflasi sepanjang tahun berjalan atau year-to-date (YtD) sebesar 1,38%, lebih rendah dari target pemerintah dan Bank Indonesia 2,5% ±1%. 

    Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Andry Asmoro, termasuk dalam ekonom yang disurvei Bloomberg, memperkirakan IHK tahunan akan naik menjadi 2,44% YoY, yang mencerminkan kontribusi lebih tinggi dari komponen musiman dan terkait pangan.

    Pada basis bulanan, inflasi diperkirakan akan meningkat sebesar 0,38% MtM, lebih tinggi dari 0,19% MtM yang tercatat pada bulan sebelumnya.

    “Peningkatan inflasi pada Juli terutama didorong oleh harga pangan yang lebih tinggi, dengan kenaikan signifikan pada beras, cabai rawit, bawang merah, dan daging ayam,” ujarnya, Kamis (31/7/2025). 

    Di samping itu, ada dorongan inflasi akibat efek musiman dari pengeluaran pendidikan karena pembayaran uang sekolah biasanya dilakukan pada bulan Juli.

    Komponen pendidikan diperkirakan akan naik sedikit di atas kenaikan musiman tahun lalu, berkontribusi pada kenaikan inflasi umum. 

    Sementara harga bahan bakar nonsubsidi juga mengalami penyesuaian naik pada awal Juli 2025, sejalan dengan peningkatan mobilitas selama periode sekolah. 

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memproyeksikan inflasi umum akan naik ke level 2,35% YoY yang dipengaruhi oleh efek basis rendah dari tahun sebelumnya. 

    Inflasi inti secara tahunan diproyeksi sedikit menurun menjadi 2,35% YoY, didukung oleh membaiknya kondisi global serta penguatan rupiah, namun secara bulanan meningkat akibat kenaikan musiman biaya pendidikan. 

    “Dengan meredanya ketegangan geopolitik dan risiko perang dagang, serta stabilnya nilai tukar rupiah, inflasi diprediksi tetap terkendali dalam target Bank Indonesia 1,5–3,5% hingga akhir tahun,” ungkapnya. 

    Sementara secara bulanan, Josua memandang IHK masih akan terjadi inflasi sebesar 0,29% MtM, lebih tinggi dari Juni 2025 yang sebesar 0,19%. Utamanya didorong oleh lonjakan harga komoditas pangan seperti beras, cabai rawit, dan bawang merah akibat gangguan produksi. 

    Surplus Neraca Dagang Bakal Susut

    Mengacu konsensus Bloomberg, nilai tengah dari 24 ekonom menunjukkan surplus neraca dagang akan mencapai US$3,45 miliar pada Juni 2025, lebih rendah dari Mei 2025 yang senilai US$4,30 miliar.  

    Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang melihat dari sisi eksternal, neraca perdagangan Juni 2025 diperkirakan masih melanjutkan surplus sebesar US$4,20 miliar, memperpanjang tren surplus selama 62 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. 

    Ekspor diperkirakan masih tumbuh kuat sebesar 10% YoY, ditopang oleh peningkatan pengiriman produk kelapa sawit, logam dasar, dan komponen elektronik ke AS dan China.

    Sebaliknya, impor hanya tumbuh 5% YoY, mencerminkan pelemahan permintaan domestik serta berlanjutnya kontraksi PMI manufaktur yang masih berada di bawah level 50.

    Adapun, Andry Asmoro memprediksi surplus neraca perdagangan Juni 2025 lebih rendah, yakni akan mencapai US$3,32 miliar. 

    “Hal ini sejalan dengan peningkatan impor dari China, sementara ekspor melambat akibat melemahnya permintaan dari India dan China,” tuturnya, Kamis (31/7/2025). 

    Asmo melihat hal tersebut tecermin dari data Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan dan Kpler (aplikasi pelacakan kargo komoditas global) yang menunjukkan bahwa ekspor batu bara Indonesia ke China turun sekitar 30% year on year (YoY), sementara ekspor batu bara ke India turun 14%. 

    Surplus yang susut tersebut juga sejalan dengan ekspor yang meski diperkirakan tumbuh 9,7% YoY, tetapi turun 7,1% month to month (MtM). Penurunan ekspor bulanan mencerminkan aktivitas bisnis yang melemah, seperti terlihat dari penurunan lebih lanjut dalam PMI manufaktur Indonesia. 

    Bisnis mencatat bahwa Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia mengalami kontraksi hingga ke level 46,9 pada Juni 2025, atau menurun sejak 3 bulan terakhir.

    Lebih lanjut, Asmo menyampaikan bahwa penurunan harga baja dan nikel juga diperkirakan akan membebani kinerja ekspor.

    Sementara itu, pertumbuhan ekspor tahunan didukung oleh efek dasar yang rendah dari tahun sebelumnya, serta upaya percepatan impor sebagai respons terhadap kebijakan tarif Trump. 

    Sama halnya dengan impor yang juga diperkirakan tumbuh 5,9% YoY atau kontraksi 3,8% MtM. Pertumbuhan impor tahunan didorong oleh impor mesin dan kendaraan dari China. 

    Menurut Biro Statistik Nasional China, total ekspor China ke Indonesia naik sekitar 8% YoY pada Juni-25. Secara bulanan, impor Indonesia mengalami kontraksi, sejalan dengan penurunan sekitar 30% dalam impor terkait minyak dari Singapura.

    Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan perkembangan IHK periode Juli 2025 dan kinerja ekspor, impor, serta neraca perdagangan Juni 2025 pada Jumat (1/8/2025), mulai pukul 09.00 WIB.