Topik: Moratorium

  • Menanti Langkah Prabowo Evaluasi MBG Usai 6.000 Siswa Keracunan

    Menanti Langkah Prabowo Evaluasi MBG Usai 6.000 Siswa Keracunan

    Bisnis.com, JAKARTA – Program unggulan Presiden Prabowo Subianto, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG), menjadi sorotan masyarakat setelah hampir 6.000 orang siswa di berbagai provinsi mengalami keracunan. 

    Mengacu data dari Badan Gizi Nasional (BGN), tercatat 46 kasus dengan 5.080 penderita per 17 September 2025. Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat ada 60 kasus dengan 5.207 penderita per 16 September 2025.

    Adapun, BPOM melaporkan 55 kasus dengan 5.320 penderita per 10 September 2025. Di sisi lain, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) melaporkan angka 5.626 kasus keracunan makanan di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi akibat MBG. 

    Salah satu kasus keracunan massal MBG yang menimpa ratusan siswa di Kabupaten Bandung Barat (KBB) menjadi sorotan nasional. Kejadian ini terjadi serentak di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas dalam waktu yang berdekatan.

    Di Cipongkor, keracunan massal terjadi di SMK Karya Perjuangan, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) Syarif Hidayatullah. Sementara itu, puluhan siswa di SMKN 1 Cihampelas juga mengalami gejala serupa hingga harus dilarikan ke Puskesmas Cihampelas.

    Kasus keracunan massal program MBG di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat saat ini sudah menyentuh angka 631 orang pelajar. Jumlah tersebut terhitung dari dua peristiwa keracunan yang terjadi dari tanggal 22 dan 24 September 2025.

    Kasus terbaru ini terjadi dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kampung Pasirsaji, Desa Negalsari, Cipongkor dengan beberapa korban diantaranya dari siswa SMK Karya Perjuangan. Adapun jumlah sementara dari sekitar pukul 11:30-13:00 WIB berkisar 220 orang pelajar. 

    “Sampai saat ini mungkin sudah sekitar 220 yang datang. Jumlahnya terus bertambah,” kata Kepala Puskesmas Cipongkor, Yuyun Sarihotimah, Rabu (24/9/2025).

    Sementara, pada kasus keracunan awal pada Senin 22 September 2025 jumlahnya, sementara mencapai 411 orang. Para korban ada beberapa diantaranya yang sudah pulang ke rumah dan sebagian masih dalam penanganan di rumah sakit. 

    Dari jumlah tersebut, sebanyak 47 rawat Inap, dan 364 rawat jalan, sedangkan gejala-gejala yang muncul ada sebanyak 288 orang mual, 109 orang muntah, 159 orang pusing, 36 orang diare, 45 orang sakit kepala, 78 orang lemas, 100 orang sesak napas, 52 orang demam, 112 orang sakit perut, dua orang Kejang.

    Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berjanji akan mengevaluasi pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG), setelah ratusan siswa di berbagai daerah diduga mengalami keracunan. Dedi Mulyadi mengatakan pihaknya akan bertemu dengan Kepala MBG yang bertanggung jawab di wilayah Jawa Barat untuk melakukan evaluasi.
     
    “Ya kita gini deh, saya minggu depan mengundang kepala MBG yang membidangi di wilayah Jawa Barat untuk melakukan evaluasi secara paripurna, secara terbuka agar berbagai problem yang terjadi, keracunan siswa tidak terulang lagi,” katanya di Bandung, Selasa (23/9/2025). 
     
    Karena itu pihaknya belum dapat memastikan apakah dapur-dapur MBG yang menjalankan program Presiden Prabowo Subianto ini akan dihentikan sementara di Jawa Barat atau terus berlanjut. 
     
    “Ya, kita akan segera mengundang untuk bicara bersama dan kemudian bagaimana orang-orang atau penyelenggara yang kebetulan makanannya menimbulkan keracunan bagi siswa apakah akan meneruskan atau harus dievaluasi, nanti akan saya tanya pada yang menyelenggarakannya,” katanya. 

    Siswa keracunan makanan setelah menyantap MBG menjalani perawatan medis di Posko Penanganan Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025). ANTARA/Abdan Syakura
    Program MBG Jalan Terus  

    Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamen Sesneg) Juri Ardiantoro menyatakan bahwa program MBG tidak akan dihentikan, meski muncul desakan sejumlah kalangan untuk melakukan evaluasi menyeluruh pascakasus keracunan massal di Bandung Barat, Jawa Barat.

    “Memang beberapa aspirasi dari beberapa kalangan yang minta ada evaluasi total, ada pemberhentian sementara, ada juga sambil jalan kita perbaiki tapi tidak perlu menghentikan secara total,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/9/2025). 

    Menurut Juri, hingga saat ini kebijakan pemerintah adalah melanjutkan program sembari melakukan perbaikan dan evaluasi ketat terhadap rangkaian peristiwa keracunan di program MBG.

    “Masalah-masalah yang terjadi segera akan diatasi, dievaluasi cari jalan keluar,” katanya.

    Ia menambahkan Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan khusus agar pengawasan dan mitigasi risiko diperketat guna menutup ruang terjadinya masalah baru.

    “Dari MBG di sini kan sudah diarahkan oleh Pak Presiden untuk memitigasi masalah yang terjadi, juga untuk menutup ruang masalah-masalah baru yang mungkin akan terjadi, sehingga bisa dengan segera diatasi,” katanya.

    Juri memastikan komunikasi intensif sudah dilakukan dengan para menteri terkait dan pimpinan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk mengoordinasikan langkah evaluasi menyeluruh.

    Pemerintah menekankan bahwa keselamatan penerima manfaat tetap menjadi prioritas, sambil menjaga agar program strategis nasional ini terus memberi manfaat bagi anak-anak Indonesia.

    BGN Ungkap Penyebab Insiden Keracunan MBG 

    Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana meninjau langsung Posko Penanganan kasus dugaan keracunan makanan Program Makan Bergizi Gratis di Cipongkor, Bandung Barat, Jawa Barat. Dia meminta SPPG memperbaiki pola memasak.

    Dadan mengungkapkan hasil keterangan awal menunjukkan adanya kesalahan teknis dari SPPG yang memasak terlalu awal, sehingga makanan tersimpan terlalu lama sebelum didistribusikan.

    “Keterangan awal kan menunjukkan bahwa SPPG itu memasak terlalu awal sehingga masakan terlalu lama. Tadi pagi, Selasa (23/9) kita sudah koordinasi dengan seluruh SPPG yang baru yang beroperasional satu bulan terakhir, kemudian kita minta agar mereka mulai masak di atas jam 01.30 agar waktu antara proses memasak dengan pengirimannya tidak lebih dari 4 jam,” katanya.

    Menurut Dadan, pola memasak dan distribusi menjadi kunci utama agar kualitas makanan tetap terjaga. SPPG lama dinilai sudah menemukan ritme kerja, namun, SPPG yang baru kerap khawatir makanan tidak selesai tepat waktu sehingga melakukan produksi terlalu dini.  

    “Oleh sebab itu, salah satu yang saya instruksikan kepada SSPG baru itu ketika memulai, mereka sudah punya daftar penerima manfaat. Katakanlah 3.500 di 20 sekolah, saya meminta agar mereka di awal-awal melayani dua sekolah dulu, kemudian setelah terbiasa baru naik ke empat sekolah, setelah itu naik lagi ke 10 sekolah,” ujar dia.

    “Kemudian setelah bisa menguasai proses termasuk antara masak dan pengirimannya bisa tepat waktu dengan jumlah yang tertentu baru bisa memaksimalkan jumlah penerima manfaat,” imbuhnya.

    Selain itu, Dadan juga menyoroti kasus serupa yang sempat terjadi di Banggai, Sulawesi Tengah. SPPG setempat sebelumnya berjalan baik, tetapi kemudian mengganti pemasok bahan baku secara mendadak sehingga kualitas menurun.

    “Oleh sebab itu, kita instruksikan lagi bagi yang (SPPG) lama agar ketika akan mengganti pemasok harus bertahap. Jadi segala sesuatu tidak boleh berubah secara drastis. Untuk SPPG yang menjalani ini seperti yang di Banggai itu kan mengganti pemasok dalam waktu yang sangat singkat, sehingga kami minta setelah kejadian, berhenti dulu (MBG),” ungkapnya.

    Moratorium MBG 

    Sementara itu, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan sementara atau memoratorium MBG secara menyeluruh. Lebih dari 5.000 kasus keracunan makanan yang masih dialami siswa dan guru di berbagai daerah merupakan alarm yang mengindikasikan program ini perlu dievaluasi total.

    Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih mengatakan kasus keracunan akibat MBG ibarat fenomena puncak gunung es. Angka jumlah kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih banyak karena pemerintah sejauh ini belum menyediakan dasbor pelaporan yang bisa diketahui publik.

    “Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” kata Diah. 

    Beberapa peristiwa keracunan bahkan ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) karena menimpa ratusan siswa. Kegiatan belajar menjadi lumpuh karena korban mesti dirawat di puskesmas maupun rumah sakit.

    Selain itu, keracunan massal menimbulkan beban biaya tak terduga yang dibebankan pada pemerintah daerah, untuk membayar penanganan keracunan di rumah sakit daerah atau swasta setempat. Hal ini tentu memberatkan para pemerintah daerah. Terlebih, alokasi anggaran transfer ke daerah juga berkurang 24,7% dari Rp864,1 triliun pada APBN 2025 menjadi Rp650 triliun pada RAPBN 2026. 

    Selain kasus keracunan akibat makanan tidak layak atau tidak higienis, menu MBG di banyak sekolah diwarnai produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula.

    “Masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak dan remaja. Efeknya justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia,” ujar Diah.

  • 9
                    
                        Korban Keracunan MBG di Bandung Barat Tembus 842 Orang dalam 3 Hari!
                        Bandung

    9 Korban Keracunan MBG di Bandung Barat Tembus 842 Orang dalam 3 Hari! Bandung

    Korban Keracunan MBG di Bandung Barat Tembus 842 Orang dalam 3 Hari!
    Editor
    KOMPAS.com – 
    Korban keracunan makan bergizi gratis di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, tembus 842 orang.
    Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari tiga kejadian sejak Senin (22/9/2025) hingga Rabu (24/9/2025), yaitu di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas.
    “Total korban keracunan sebanyak 842 orang. Data terakhir pada pukul 16.24 WIB,” kata Plt Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat, Lia N Sukandar, saat ditemui di posko kesehatan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Rabu malam.
    Lia menjelaskan, pada Senin lalu, keracunan massal pertama terjadi di Cipongkor dengan 393 korban, mulai dari siswa PAUD hingga SMK.
    Mereka diketahui menyantap menu MBG yang disiapkan dari dapur SPPG Cipari di wilayah Kecamatan Cipongkor.
    Kasus serupa kembali terjadi pada Rabu, baik di Cipongkor maupun di Cihampelas, dengan 449 korban tambahan.
    Terkait perbedaan data yang sempat muncul dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Lia mengatakan, hal itu disebabkan oleh adanya perhitungan awal secara kasar, yang kini telah diperbarui berdasarkan laporan Dinkes.
    Lia menyebutkan, jumlah korban pada kejadian kedua lebih banyak dibandingkan hari pertama.
    Meski begitu, penanganan dilakukan lebih cepat karena banyak bantuan datang dari berbagai pihak.
    Keterbatasan fasilitas sempat menjadi kendala, terutama pasokan oksigen di posko kesehatan.
    “Petugas sempat kewalahan karena oksigen habis, tetapi tidak berlangsung lama. Banyak pihak yang memasok tabung oksigen ke posko-posko,” kata Lia.
    Korban dengan gejala berat mengalami kejang, dehidrasi, hingga penurunan kesadaran.
    Situasi sempat kritis ketika RSUD Cililin penuh. Dinas Kesehatan Bandung Barat bahkan menutup sementara akses pasien baru pukul 15.00 WIB dan mengalihkan korban ke beberapa rumah sakit lain.
     
    Kepala Staf Presiden (KSP) M Qodari di Istana, Jakarta, Senin (22/9/2025), sempat menyebut dari 5.000 kasus keracunan MBG, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus keracunan terbanyak di Indonesia. 
    Adapun kasus keracunan bukan hanya terjadi di Bandung Barat saja. Peristiwa serupa juga sempat terjadi di Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Cianjur.
    Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berjanji segera melakukan evaluasi terhadap penyelenggara maupun vendor penyedia makanan.
    Pekan depan dia akan memanggil pengelola MBG di Jabar untuk meminta penjelasan.
    Menurut mantan Bupati Purwakarta ini, salah satu penyebab keracunan adalah ketidakseimbangan antara jumlah penerima layanan dengan tenaga yang tersedia, ditambah manajemen penyajian makanan yang kurang tepat.
    Dia menilai kasus keracunan ini disebabkan manajemen penyajian yang buruk.
    “Misalnya yang dilayani ribuan orang, tetapi yang melayani sedikit. Masaknya jam 1 malam, disajikan jam 12 siang. Jarak waktunya terlalu lama, ini yang harus dievaluasi. Kalau penyelenggara tidak mampu, ya diganti dengan yang lebih mampu,” kata Dedi saat ditemui di Balai Pakuan Bogor, Rabu (24/9/2025).
    Meski tidak ada korban meninggal akibat kasus keracunan MBG, Dedi menilai kejadian tersebut menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak.
    Mereka bisa kehilangan kepercayaan untuk mengonsumsi makanan MBG, padahal makanan bergizi tersebut penting untuk tumbuh kembang.
    Menanggapi wacana moratorium program MBG di Jabar, Dedi menilai langkah yang lebih penting adalah mengevaluasi penyelenggara terlebih dahulu.
    Ia menegaskan akan memastikan penyedia makanan benar-benar mampu dan kualitas makanan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
    “Yang harus dilihat, pertama penyelenggara mampu atau tidak. Kedua, makanan yang disajikan sesuai dengan harga atau tidak. Kalau ternyata tidak mampu dan kualitasnya menurun, ya harus dievaluasi,” ujarnya.
    (Penulis: Kontributor Bandung Barat Bagus Puji Panuntun, Kontributor Bogor Afdhalul Ikhsan)
     
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Lowongan CPNS 2025 Punya Peluang Dibuka? Ini Kata BKN

    Lowongan CPNS 2025 Punya Peluang Dibuka? Ini Kata BKN

    Jakarta

    Kepastian pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2025 masih mengundang tanya oleh para pencari kerja. Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyampaikan hingga hari ini belum ada permintaan kebutuhan formasi dari instansi.

    Plt Deputi Bidang Penyelenggaraan Layanan Manajemen Aris Windiyanto mengatakan penetapan kebijakan pembukaan CPNS tahun ini berada di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Namun mengingat sisa tahun 2025 tinggal tiga bulan lagi, Aris menerangkan apabila ada pembukaan CPNS hanya akan digunakan untuk penetapan formasi saja.

    “Apakah ada penerimaan CPNS 2025 dan 2026? Kalau 2025 itu sekarang sudah bulan September akhir, jadi relatif tinggal 3 bulan. Saya tidak bisa menyatakan ada atau tidak karena itu, untuk penetapan kebijakan itu ada di PANRB,” kata Aris dalam acara Forum Tematik Bakohumas BKN, di Sentul, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025).

    Ia menerangkan usul formasi memakan waktu sekitar 15 hari. Lalu verifikasi di Kementerian PANRB sekitar 15-20 hari dan 10 hari untuk penetapan kebutuhan formasi.

    Di instansi masih membutuhkan waktu hingga 5 hari untuk memeriksa kebutuhan formasi. Melihat hal itu, ia menilai pembukaan CPNS 2025 tidak memungkinkan.

    “Kemudian untuk instansi mengumumkan dan sebagainya, rasa-rasa 2025 tidak memungkinkan untuk ada penerimaan calon ASN umum. Kalau kebijakan-kebijakan khusus kita tidak tahu, kita belum tahu. Saya belum dapat informasi itu. Apakah ada kebijakan khusus untuk kepentingan ini kepentingan itu kita belum tahu. Tapi penerimaan calon ASN secara umum belum ada informasi sama sekali tahun 2025,” jelasnya.

    “Tapi secara logika dengan waktu 3 bulan. Kalaupun ada hanya penetapan formasi. Masalahnya sampai hari ini tidak ada permintaan untuk usul rincian kebutuhan dari instansi, dari PANRB,” tambah dia.

    Untuk pendaftaran CPNS pada 2026, Aris berharap tetap diadakan. Menurutnya, pengadaan CPNS sangat penting untuk keberlangsungan organisasi di instansi.

    Ia menyebut pemerintah sempat moratorium pengadaan CPNS sekitar 5 tahun. Akibatnya, terjadi gap generasi yang memicu ketidaksiapan pada pergantian kepemimpinan. Menurutnya, setidaknya pengadaan CPNS dibuka dua tahun sekali.

    “Tapi paling tidak untuk kaderisasi calon pemimpin instansi ke depan. Kita pernah moratorium 5 tahun atau berapa tahun dan gap generasinya terlalu lebar sehingga kita selesai di bawah kita belum ada yang siap untuk menggantikan. Ini kalau dari sisi keberlangsungan organisasi. Kita berharap karena tahun ini tidak ada. Kalau 2026, ada dan umum kita berharap umum, fresh graduate, itu lebih besar,” imbuhnya.

    Tonton juga video “Mayoritas CPNS Kemendukbangga GenZ, Menteri Wihaji Minta Kreativitas dan Inovasi” di sini:

    (acd/acd)

  • Ketua Banggar Tak Setuju MBG Disetop Imbas Marak Kasus Keracunan: Lebih Baik Deteksi Dini
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 September 2025

    Ketua Banggar Tak Setuju MBG Disetop Imbas Marak Kasus Keracunan: Lebih Baik Deteksi Dini Nasional 23 September 2025

    Ketua Banggar Tak Setuju MBG Disetop Imbas Marak Kasus Keracunan: Lebih Baik Deteksi Dini
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah tidak setuju program Makan Bergizi Gratis (MBG) dihentikan atau dibekukan sementara usai maraknya kasus gangguan pencernaan yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di berbagai tempat.
    Ia menilai, masalah keracunan itu sebenarnya bisa dideteksi lebih dini dan dievaluasi, alih-alih menyetop program yang belum genap setahun itu.
    Dia tidak memungkiri, banyaknya kasus keracunan perlu menjadi perhatian bersama.
    “Kalau dari sisi pemberitaan sampai Kepala Staf Kepresiden yang menyampaikan ada 5.300 sampai 5.800 yang keracunan, kita semua kan wajib prihatin. Tapi tidak berarti, tidak berarti ada konklusi harus di-setop. Jangan,” kata Said di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2025).
    “Lebih baik mari kita deteksi dini, di mana letak masalahnya,” imbuh Said.
    Ia menyebut, evaluasi ditekankan pada sejumlah aspek. Termasuk, potensi keracunan lantaran rantai pasok dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum hingga sampai ke sekolah yang terlalu panjang.
    Solusinya kata Said, bisa saja dengan membagi jangkauan SPPG ke berbagai sekolah.
    “Apakah karena rantai pasok dari SPPG ke sekolah terlalu panjang? Karena 1 SPPG melayani 3.000, apakah itu bisa diperpendek? 1 SPPG cukup 1.500. Sehingga makanan bergizi gratis yang sampai di sekolah itu masih
    fresh from the oven
    ,” ucap Said.
    Evaluasi lainnya mencakup jeda waktu masak dengan penyajian makanan.
    Jeda waktunya bisa diperpendek, dari sebelumnya memasak jam 02.00 dini hari untuk disajikan pukul 12.00 WIB.
    “Jadi perlu pola baru. Atau skema-nya diubah, setiap sekolah ada satu SPPG, sehingga itu akan lebih menarik, dan lebih mudah dari sisi pengawasan,” jelas Said.
    Sebelumnya, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta Komisi IX DPR RI agar mendesak Presiden Prabowo untuk menghentikan program MBG.
    “Ini rekomendasi dari kami, kami tujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo. Melalui forum yang sangat terhormat ini di depan Bapak Ibu anggota Komisi IX DPR RI, tolong wakilkan kami untuk sampaikan ini kepada Bapak Prabowo,” ujar Koordinator Program dan Advokasi JPPI Ari Hadianto, dalam RDPU bersama Komisi IX DPR.
    Ari Hadianto mengatakan, keselamatan anak-anak harus diutamakan dibanding ambisi politik maupun target program yang telah ditetapkan.
    “Utamakan keselamatan anak di atas ambisi politik dan target program. Jangan jadikan anak sebagai target program politik yang justru mengorbankan tumbuh kembang mereka,” ujar Ari, dalam RDPU bersama Komisi IX DPR.
    Menurut Ari, kasus keracunan massal akibat MBG di berbagai daerah bukan sekadar persoalan teknis, melainkan sistemik.
    Dalam rapat yang sama, peneliti dari Monash University Grace Wangge juga menilai, pemerintah perlu segera melakukan moratorium program.
    Menurut dia, kasus keracunan yang terus berulang membuat kepercayaan publik terhadap MBG semakin terkikis.
    “Dalam jangka pendek, kami berharap pemerintah mau legawa untuk melakukan moratorium. Karena tidak bisa ditunda lagi, ini sudah sembilan bulan,” kata Grace.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR desak penghentian aktivitas PT TPL di lahan sengketa

    Anggota DPR desak penghentian aktivitas PT TPL di lahan sengketa

    “Tidak boleh ada aktivitas terjadi atau berlangsung di lahan yang sedang bersengketa atau disengketakan untuk menghindari peristiwa serupa,”

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi VII DPR RI Bane Raja Manalu mendesak penghentian aktivitas penanaman yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di atas lahan yang masih bersengketa.

    Hal itu disampaikan Bane usai terjadinya bentrokan antara warga dan pihak pengamanan PT TPL pada Senin (22/9) di wilayah Buttu Pengaturan, Simalungun, Sumatera Utara. Adapun warga yang terlibat konflik merupakan masyarakat adat Sihaporas.

    “Tidak boleh ada aktivitas terjadi atau berlangsung di lahan yang sedang bersengketa atau disengketakan untuk menghindari peristiwa serupa,” katanya di Jakarta, Selasa.

    Bane mengungkapkan, setelah menerima laporan masyarakat, dirinya langsung mengontak Kapolres Simalungun AKBP Marganda Aritonang untuk meminta aparat kepolisian segera hadir di lokasi kejadian guna mencegah bentrokan yang lebih besar.

    “Banyak warga yang telah menjadi korban luka, ibu-ibu yang terkapar dengan luka di wajah,” ucapnya.

    Selain menyebabkan korban luka, imbuh dia, terdapat juga laporan bahwa bentrokan itu menyebabkan kerusakan terhadap rumah, gubuk, sepeda motor, dan mobil pikap.

    Legislator dari Komisi VII DPR RI yang membidangi perindustrian, UMKM, ekonomi kreatif, pariwisata, dan sarana publikasi itu juga menegaskan bahwa negara harus hadir untuk melindungi masyarakat dengan mengevaluasi penerima konsesi pengelolaan hutan.

    “Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi seluruh penerima konsesi pengelolaan hutan jika serius merawat lingkungan. Lalu, mengaudit manfaat ekonomi sesaat dan kerusakan yang ditimbulkan,” ucapnya.

    Bane menegaskan, apa yang ia suarakan sejalan dengan arahan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam Rakernas V PDI Perjuangan pada Mei 2024.

    Dalam salah satu rekomendasi Rakernas tersebut, PDI Perjuangan mendesak pemerintah untuk menghentikan deforestasi dengan moratorium alih fungsi lahan hutan dan penggundulan hutan serta mendorong reforestasi lahan hutan yang terdegradasi.

    “Negara harus hadir di sana bersama rakyat, tidak boleh ada peristiwa kekerasan,” kata Bane.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pimpinan Komisi IX DPR: Keracunan MBG Juga Terjadi di Jakarta, Korban 79 Anak
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 September 2025

    Pimpinan Komisi IX DPR: Keracunan MBG Juga Terjadi di Jakarta, Korban 79 Anak Nasional 23 September 2025

    Pimpinan Komisi IX DPR: Keracunan MBG Juga Terjadi di Jakarta, Korban 79 Anak
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris melaporkan temuannya bahwa kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga terjadi di Jakarta.
    Menurut politikus PDI-P itu, ada 79 anak yang menjadi korban keracunan MBG di Jakarta Utara, namun kasusnya tidak pernah terpublikasikan secara luas kepada publik.
    “Karena contoh di Jakarta saja minggu yang lalu, ada kejadian di Jakarta Utara di Kelurahan Lagoa yang tidak muncul di media. Ada 79 anak yang juga menjadi korban keracunan makanan,” ujar Charles dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama ahli dan koalisi masyarakat sipil terkait evaluasi dan rekomendasi program MBG, Senin (22/9/2025).
    Hal tersebut disampaikan Charles saat menanggapi temuan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) terkait ribuan siswa yang keracunan MBG.
    Menurut dia, data keracunan yang selama ini tercatat kemungkinan besar hanya sebagian dari kasus yang benar-benar terjadi di lapangan.
    Sebab, banyak peristiwa tidak terungkap ke publik.
    “Tadi kalau dikatakan angka keracunan 6.452 ya versi JPPI dan sepertinya ini
    underreported
    . Saya kok cukup yakin ini sudah pasti
    underreported
    . Contohnya di Jakarta saja, misalnya nih apabila angka ini didapatkan melalui
    media monitoring
    , sudah pasti ini
    underreported
    ,” kata Charles.
    Dia menegaskan, pola yang sama kemungkinan terjadi di daerah lain.
    Artinya, jumlah korban keracunan bisa jauh lebih besar dibandingkan laporan yang ada.
    “Dan saya yakin di tempat-tempat lain juga serupa, mungkin di kabupaten lain, provinsi lain, kejadian keracunan tapi tidak terungkap ke media. Sehingga kalau dikatakan
    underreported
    , ya sudah pasti
    underreported
    ,” katanya.
    Charles pun khawatir kasus keracunan yang terus terjadi di berbagai daerah membuat para orangtua takut mengizinkan anaknya mengonsumsi MBG.
    “Saya jujur khawatir, saya sangat khawatir sudah atau akan muncul ketakutan di antara orangtua murid untuk mengizinkan anak-anaknya mengonsumsi MBG di sekolahnya,” kata Charles.
    Oleh karena itu, dia meminta para ahli dan perwakilan masyarakat sipil memberikan rekomendasi konkret agar program tidak terus menimbulkan korban.
    Sebab, Charles meyakini bahwa masalah utama bukan sekadar pada penyedia pangan atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), melainkan ada persoalan sistem dalam pelaksanaan program.
    “Nah, saya ingin menggarisbawahi tadi yang sudah disampaikan juga, bahwa ketika hal ini terjadi di banyak titik, maka kesalahan kemungkinan bukan ada di SPPG, tetapi masalah di sistem,” ujar dia.
    “Oleh karena itu, saya sebenarnya ingin sekali bapak-bapak ibu-ibu yang hadir di sini bisa memberikan kepada kita rekomendasi apa sih yang harus dibenahi, apa yang harus dilakukan apabila memang program ini akan terus dijalankan,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, JPPI mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan sementara dan mengevaluasi total program MBG.
    Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menegaskan, langkah itu perlu segera diambil menyusul lonjakan kasus keracunan massal yang menimpa ribuan pelajar di berbagai daerah.
    “Presiden butuh nunggu korban sampai berapa banyak lagi untuk bisa dievaluasi secara serius? Atau nunggu harus ada nyawa yang melayang? Ini angkanya ribuan, bahkan seminggu terakhir naik seribu lebih,” kata Ubaid.
    Berdasarkan data JPPI, per 14 September 2025 tercatat 5.360 kasus keracunan akibat MBG.
    Angka itu bertambah 1.092 kasus hanya dalam sepekan sehingga totalnya menembus lebih dari 6.400 kasus pada 21 September.
    Menurut Ubaid, lima provinsi dengan kasus terbanyak adalah Jawa Barat sekitar 2.012 kasus, DIY sekitar 1.047 kasus, Jawa Tengah 722 kasus, Bengkulu 539 kasus, dan Sulawesi Tengah 446 kasus.
    Peneliti dari Monash University Grace Wangge juga menilai pemerintah perlu segera melakukan moratorium program.
    Menurut dia, kasus keracunan yang terus berulang membuat kepercayaan publik terhadap MBG semakin terkikis.
    “Dalam jangka pendek, kami berharap pemerintah mau legawa untuk melakukan moratorium. Karena tidak bisa ditunda lagi, ini sudah sembilan bulan,” kata Grace.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8
                    
                        Diminta Desak Prabowo Setop MBG, Komisi IX: Prioritas Kita Selamatkan Anak dari Keracunan
                        Nasional

    8 Diminta Desak Prabowo Setop MBG, Komisi IX: Prioritas Kita Selamatkan Anak dari Keracunan Nasional

    Diminta Desak Prabowo Setop MBG, Komisi IX: Prioritas Kita Selamatkan Anak dari Keracunan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi IX DPR RI menegaskan prioritas utamanya dalam menyikapi kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah menyelamatkan anak-anak agar tidak kembali menjadi korban.
    Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris saat menanggapi desakan agar DPR RI mendesak Presiden Prabowo untuk menghentikan MBG.
    “Prioritas kita adalah bagaimana menghentikan hal serupa terjadi kembali. Bagaimana kita menyelamatkan anak-anak kita dari keracunan. Tapi, kalau sistemnya tidak diubah, maka hampir bisa dipastikan keracunan akan terus berulang,” kata Charles, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Kompleks Parlemen, Senin (22/9/2025).
    Charles menekankan, keputusan menghentikan atau melanjutkan program MBG usai maraknya kasus keracunan massal ada di tangan Prabowo.
    Komisi IX DPR, kata dia, hanya berwenang mengawasi Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana program nasional tersebut.
    “Tadi kalau saran dari JPPI untuk menghentikan program, menyampaikan kepada Presiden untuk menghentikan program, ini forumnya mungkin bukan di sini. Mitra kami adalah BGN, kami memiliki tugas untuk mengevaluasi dan mengawasi BGN, sehingga kami menginginkan ada rekomendasi untuk bisa melakukan evaluasi terhadap mereka,” ujar dia.
    Menurut Charles, selama pemerintah menilai MBG sebagai program strategis, Komisi IX tetap fokus pada pengawasan dan evaluasi.
    Hal tersebut dilakukan agar pelaksanaan program ke depan menjadi lebih baik, sekaligus memastikan kasus keracunan massal tidak terus berulang.
    “Kalau masalah dihentikan atau tidak, ya ini nanti kebijakannya Bapak Presiden. Faktanya saat ini Presiden tetap merasa ini adalah program strategis yang dijalankan dan anggarannya juga sudah disiapkan,” pungkas dia.
    Prabowo didesak hentikan MBG
    Sebelumnya, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta Komisi IX DPR RI agar mendesak Presiden Prabowo untuk menghentikan program MBG.
    “Ini rekomendasi dari kami, kami tujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo. Melalui forum yang sangat terhormat ini di depan Bapak Ibu anggota Komisi IX DPR RI, tolong wakilkan kami untuk sampaikan ini kepada Bapak Prabowo,” ujar Koordinator Program dan Advokasi JPPI Ari Hadianto, dalam RDPU bersama Komisi IX DPR.
    Ari Hadianto mengatakan, keselamatan anak-anak harus diutamakan dibanding ambisi politik maupun target program yang telah ditetapkan.
    “Utamakan keselamatan anak di atas ambisi politik dan target program. Jangan jadikan anak sebagai target program politik yang justru mengorbankan tumbuh kembang mereka,” ujar Ari, dalam RDPU bersama Komisi IX DPR.
    Menurut Ari, kasus keracunan massal akibat MBG di berbagai daerah bukan sekadar persoalan teknis, melainkan sistemik.
    Hal ini menyangkut tata kelola di Badan Gizi Nasional sebagai pelaksana program.
    “Hentikan program MBG sekarang juga. Ini bukan kesalahan teknis, tapi kesalahan sistem di BGN, karena kejadiannya menyebar di beberapa daerah,” kata Ari.
    Dalam rapat yang sama, peneliti dari Monash University Grace Wangge juga menilai, pemerintah perlu segera melakukan moratorium program.
    Menurut dia, kasus keracunan yang terus berulang membuat kepercayaan publik terhadap MBG semakin terkikis.
    “Dalam jangka pendek, kami berharap pemerintah mau legawa untuk melakukan moratorium. Karena tidak bisa ditunda lagi, ini sudah sembilan bulan,” kata Grace.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Imbas Keracunan Siswa Meningkat, JPPI Desak Evaluasi Total MBG
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 September 2025

    Imbas Keracunan Siswa Meningkat, JPPI Desak Evaluasi Total MBG Nasional 22 September 2025

    Imbas Keracunan Siswa Meningkat, JPPI Desak Evaluasi Total MBG
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan sementara dan mengevaluasi total program Makan Bergizi Gratis (MBG).
    Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan, langkah itu harus diambil oleh Prabowo menyusul lonjakan kasus keracunan massal yang menimpa ribuan pelajar di berbagai daerah.
    “Presiden butuh nunggu korban sampai berapa banyak lagi untuk bisa dievaluasi secara serius? Atau nunggu harus ada nyawa yang melayang? Ini angkanya ribuan, bahkan seminggu terakhir naik seribu lebih,” ujar Ubaid Matraji dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senin (22/9/2025).
    Ubaid menuturkan, data pemantauan JPPI menunjukkan jumlah korban keracunan akibat MBG terus meningkat tajam. Secara keseluruhan, laporan keracunan telah muncul di 18 provinsi.
    Per 14 September 2025 tercatat 5.360 kasus, lalu bertambah 1.092 kasus hanya dalam sepekan sehingga totalnya menembus lebih dari 6.400 kasus pada 21 September.
    Menurut Ubaid, lima provinsi dengan kasus terbanyak adalah Jawa Barat sekitar 2.012 kasus, DIY sekitar 1.047 kasus, Jawa Tengah 722 kasus, Bengkulu 539 kasus, dan Sulawesi Tengah 446 kasus.
    “Kalau hanya di satu daerah, mungkin teknis. Tapi kalau sudah nyebar ke hampir semua provinsi, ini masalah sistem di Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana MBG,” kata Ubaid.
    Dalam rapat tersebut, Peneliti dari Monash University Grace Wangge juga menilai pemerintah harus segera mengambil langkah tegas dengan melakukan moratorium program.
    Dia menekankan, kasus keracunan yang terus terjadi telah mengikis kepercayaan publik terhadap MBG.
    “Dalam jangka pendek, kami berharap pemerintah mau legawa untuk melakukan moratorium. Karena tidak bisa ditunda lagi, ini sudah sembilan bulan,” kata Grace.
    Dia menambahkan, perbaikan program jangka panjang harus dilakukan dengan desain yang lebih terintegrasi antara sektor pendidikan dan kesehatan, pembatasan penggunaan pangan ultra-proses, serta penyediaan kanal pelaporan yang jelas bagi masyarakat.
    Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan keracunan massal akibat menu MBG kembali terjadi di sejumlah daerah.
    Di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, ratusan pelajar keracunan usai menyantap menu MBG di sekolah pada Rabu (17/9/2025).
    Data dari RS Trikora Salakan hingga Kamis (18/9/2025) pukul 07.00 WITA mencatat, jumlah korban mencapai 251 pelajar.
    Ratusan pelajar yang terdampak berasal dari berbagai sekolah di Banggai Kepulauan, yakni SMA 1 Tinangkung, SMK 1 Tinangkung, SDN Tompudau, SDN Pembina, SDN Saiyong, dan MTs Alkhairaat Salakan.
    Kejadian serupa juga terjadi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
    Tercatat ada sekitar 90 orang siswa yang diduga keracunan makanan MBG di MTsN dan SMAN yang berada di Kecamatan Empang pada Rabu (17/9/2025).
    Di Maluku, belasan siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 19 Kota Tual diduga mengalami keracunan usai menyantap menu MBG yang disediakan di sekolah tersebut pada Kamis (18/9/2025).
    Para siswa yang menyantap makanan bergizi gratis ini mengalami mual, pusing, dan sakit kepala usai menyantap hidangan yang disediakan.
    Akibat kejadian itu, belasan siswa tersebut terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Maren di Kota Tual untuk menjalani perawatan medis.
    Sebanyak 194 pelajar dari tingkat SD, SMP, hingga SMA di Kabupaten Garut, Jawa Barat, juga dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan dari program MBG.
    Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu (17/9/2025) dan mayoritas siswa berasal dari Kecamatan Kadungora.
    Dari jumlah tersebut, 177 siswa mengalami gejala ringan, sedangkan 19 lainnya harus menjalani perawatan intensif di Puskesmas Kadungora.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi
                        Nasional

    10 Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi Nasional

    Keracunan Massal MBG Berulang: Segera Moratorium, Evaluasi, dan Investigasi
    Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
    PROGRAM
    Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dirancang sebagai ikon politik sekaligus kebijakan unggulan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
    Saat kampanye, program ini digadang-gadang sebagai jawaban atas problem klasik gizi buruk, stunting, serta ketidakmerataan akses pangan di kalangan anak sekolah.
    Namun, beberapa bulan setelah implementasi, alih-alih menjadi kebanggaan, MBG justru berubah menjadi sumber krisis nasional.
    Tagar
    #MakanBeracunGratis
    yang viral di media sosial menjadi simbol runtuhnya kepercayaan publik terhadap program ini.
    Tidak ada yang meragukan besarnya skala dan niat baik program MBG. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp 71 triliun, pemerintah berupaya memastikan jutaan pelajar Indonesia mendapat asupan gizi layak setiap hari.
    Namun, fakta di lapangan menunjukkan kontras yang tajam, di mana lebih dari 5.360 anak menjadi korban keracunan hingga September 2025. Beberapa kasus mencatat angka korban yang mencengangkan, seperti 569 pelajar di Garut dan 277 pelajar di Banggai Kepulauan.
    Jika program dengan dana raksasa justru menghasilkan derita massal, pertanyaan mendasar harus diajukan; di mana letak kesalahannya?
    Apakah pada strategi desain kebijakan, lemahnya implementasi, atau ada faktor sabotase yang sengaja dimainkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab?
    Analisis data menunjukkan bahwa akar persoalan dalam Program MBG bukan sekadar insiden teknis, melainkan kegagalan sistemik yang menyentuh hampir seluruh aspek tata kelola.
    Kegagalan ini bisa dilihat dari empat dimensi utama yang saling berkaitan, yaitu kecepatan pelaksanaan, integritas kelembagaan, manajemen rantai pasok, serta krisis kepercayaan publik.
    Pertama, pelaksanaan program dilakukan secara tergesa-gesa dalam skala nasional tanpa infrastruktur pengawasan memadai.
    Orientasi pemerintah tampaknya lebih berat pada aspek kuantitas, seperti hanya menghitung berapa banyak dapur yang dibangun, dan berapa banyak anak yang terlayani.
    Sementara dimensi kualitas pangan dan keamanan konsumsi terabaikan. Akibatnya, makanan yang seharusnya menjadi penopang gizi justru berulang kali memicu keracunan massal pada anak-anak, kelompok yang seharusnya paling dilindungi.
    Kedua, terdapat masalah serius terkait dapur fiktif dan dugaan korupsi. DPR mengungkapkan adanya sekitar 5.000 dapur MBG yang ternyata tidak benar-benar ada.
    Fakta ini membuka indikasi kuat bahwa sebagian dana program menguap tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
    Jika temuan ini benar, maka persoalannya bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan praktik korupsi terstruktur yang merampas hak anak-anak Indonesia untuk memperoleh makanan bergizi dengan aman.
    Ketiga, kelemahan juga tampak dalam rantai pasok dan sistem logistik. Kasus keracunan massal akibat pergantian pemasok ikan menegaskan bahwa mekanisme verifikasi dan kontrol kualitas sangat rapuh.
    Tidak hanya itu, laporan tentang makanan basi, menu berbelatung, hingga kontroversi penggunaan wadah makanan (
    food tray
    ) yang dituding mengandung minyak babi memperburuk citra program di mata publik.
    Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa aspek teknis – mulai dari penyimpanan, distribusi, hingga standar kebersihan – tidak dikelola secara profesional.
    Keempat, krisis semakin dalam akibat defisit kepercayaan publik. Alih-alih mengakui kesalahan dan membuka ruang transparansi, pemerintah justru menerbitkan surat pernyataan yang meminta orangtua murid untuk tidak menuntut apabila terjadi keracunan.
    Langkah ini bukan hanya gagal meredakan keresahan, melainkan semakin memperkuat persepsi bahwa negara berupaya lepas dari tanggung jawab moral dan hukum.
    Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap program MBG kian merosot, bahkan berpotensi bergeser menjadi penolakan terbuka.
    Dengan demikian, jelas bahwa masalah MBG tidak berhenti pada level teknis, melainkan mencerminkan cacat desain kebijakan dan lemahnya tata kelola.
    Jika tidak segera diperbaiki melalui evaluasi menyeluruh dan investigasi transparan, program yang semula digadang-gadang sebagai ikon kepedulian sosial justru berisiko tercatat sebagai kegagalan monumental dalam sejarah kebijakan publik Indonesia.
    Tidak sedikit yang menduga adanya unsur sabotase terhadap MBG. Dugaan ini muncul karena banyaknya insiden terjadi serentak di berbagai daerah dengan pola mirip, seperti keracunan massal, pasokan bahan pangan rusak, hingga isu sensitif soal halal.
    Namun, tanpa bukti empiris yang kuat, asumsi ini masih spekulatif.
    Yang lebih nyata adalah indikasi inkompetensi dan tata kelola yang buruk. Jika Badan Gizi Nasional (BGN) gagal memverifikasi dapur, mengawasi rantai pasok, serta menjaga standar kebersihan, maka tanggung jawab utama tetap berada di pundak pemerintah.
    Sabotase mungkin ada, tetapi kelemahan sistem yang membuka celah terjadinya sabotase itu.
    Persoalannya, dampak krisis MBG melampaui aspek kesehatan. Ia kini menjelma menjadi liabilitas politik bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
    Kegagalan dalam mengelola program unggulan bisa menjadi preseden buruk, yakni rakyat kehilangan kepercayaan pada janji-janji politik.
    Situasi semakin sensitif karena korbannya adalah pelajar sekolah, mayoritas Generasi Z, kelompok yang sangat aktif di media sosial dan memiliki kemampuan mobilisasi opini.
    Jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi fundamental, isu MBG bisa bergulir menjadi gerakan massa yang lebih besar, apalagi di tengah polarisasi politik pasca-pemilu.
    Dalam situasi krisis seperti saat ini, langkah paling rasional yang dapat ditempuh pemerintah adalah moratorium sementara terhadap Program MBG, khususnya di daerah-daerah yang mencatat kasus keracunan massal dengan korban terbanyak.
    Moratorium bukan berarti membatalkan niat mulia untuk memberi makan anak bangsa, melainkan langkah darurat untuk menghentikan jatuhnya korban baru sambil melakukan evaluasi mendalam.
    Setelah moratorium, yang diperlukan adalah investigasi independen yang transparan. Tim investigasi ini idealnya melibatkan berbagai pihak, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta perwakilan orangtua murid.
    Dengan komposisi lintas sektor, investigasi diharapkan mampu menyentuh akar persoalan, bukan sekadar menutup permukaan masalah.
    Fokus utama harus mencakup verifikasi ulang terhadap lebih dari 8.000 dapur MBG untuk memastikan apakah benar-benar ada atau fiktif; audit forensik alur anggaran guna mencegah kebocoran dana; uji laboratorium acak terhadap menu yang disajikan di sekolah; serta pemeriksaan menyeluruh atas rantai pasok bahan makanan, mulai dari pemasok hingga distribusi terakhir.
    Langkah berikutnya adalah desain ulang mekanisme program. Pengalaman menunjukkan bahwa model yang terlalu sentralistik sangat rentan menimbulkan masalah.
    Karena itu, desentralisasi menjadi pilihan logis dengan memberdayakan kantin sekolah dan UMKM katering lokal yang sudah terverifikasi.
    Dengan memotong rantai distribusi, risiko makanan basi, rusak, atau terkontaminasi bisa ditekan secara signifikan.
    Di sisi lain, desentralisasi juga membuka peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal sehingga manfaat program terasa lebih luas.
    Pengawasan terhadap program pun perlu ditransformasikan secara partisipatif dan berbasis digital. Orangtua murid bisa dilibatkan melalui komite sekolah untuk memastikan kualitas makanan, sementara data distribusi, hasil uji sampel, serta laporan keluhan harus dipublikasikan secara transparan dalam
    dashboard
    daring
    real-time
    .
    Dengan mekanisme ini, pengawasan publik tidak hanya menjadi formalitas, melainkan benar-benar hidup dan responsif.
    Namun, semua reformasi itu akan kehilangan makna bila pemerintah kembali terjebak pada pola komunikasi lama yang defensif dan tertutup. Komunikasi krisis yang beradab menjadi kunci.
    Membungkam keluhan publik atau menggulirkan narasi propagandis hanya akan memperburuk luka kepercayaan masyarakat. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah komunikasi yang jujur, terbuka, dan empatik.
    Presiden Prabowo harus tampil di depan publik, tidak sekadar menyampaikan permintaan maaf, tetapi juga menunjukkan rencana konkret perbaikan dengan langkah yang terukur.
    Dengan cara itu, kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan, dan program MBG bisa kembali menempati posisi semula sebagai kebijakan pro-rakyat yang membanggakan.
    Program MBG adalah kebijakan dengan niat luhur, tetapi implementasi yang buruk telah mengubahnya menjadi bencana politik dan sosial.
    Oleh karena itu, dibutuhkan langkah drastis, yaitu moratorium, evaluasi menyeluruh, dan investigasi independen.
    Jika reformasi dilakukan dengan transparan, MBG masih bisa diselamatkan sebagai program strategis yang membanggakan.
    Namun, jika pemerintah memilih jalan pintas dengan retorika kosong dan perbaikan kosmetik, MBG berpotensi tercatat sebagai kegagalan monumental dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia.
    Dan bagi Presiden Prabowo, kegagalan ini bisa berbalik menjadi bom waktu politik yang merusak legitimasi kepemimpinannya sejak tahun pertama berkuasa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Koalisi Masyarakat Sipil Rekomendasikan Prabowo dan DPR Pecat Anggota KPU

    Koalisi Masyarakat Sipil Rekomendasikan Prabowo dan DPR Pecat Anggota KPU

    Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas berbagai lembaga demokrasi dan politik, mendesak kepada Presiden Prabowo Subianto dan DPR untuk mengeluarkan rekomendasi pemberhentian atau pemecatan terhadap seluruh Anggota KPU RI periode 2022-2027 kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

    Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati yang mewakili koalisi itu, menilai keputusan dan kebijakan buruk yang dikeluarkan oleh KPU, termasuk kebijakan terbaru soal dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang sempat ingin dirahasiakan, tak terlepas dari etika anggotanya yang bermasalah.

    “Kami dari koalisi ini juga merasakan penting buat pemerintah, dalam hal ini Presiden untuk melihat kembali kinerja dari KPU periode 2022-2027 untuk dilaporkan kepada DKPP,” kata Mike dikutip dari Antara, Minggu (21/9/2025).

    Dia mengatakan permasalahan mendasar pada kelembagaan KPU menjadi salah satu penyebab banyaknya persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024.

    Dia menambahkan, Ketua KPU yang dilantik pada 2022 tersandung kasus yang berkaitan dengan kesusilaan dan kekerasan seksual. Di sisi lain, kata dia, perilaku Anggota KPU juga disorot karena adanya sejumlah penggunaan jet pribadi yang dinilai sebagai praktik pemborosan.

    Selain itu, dia juga mendorong kepada DPR sebagai pembentuk undang-undang agar melakukan penataan ulang secara menyeluruh terhadap kelembagaan KPU, membentuk tim seleksi dan mekanisme rekrutmen anggota KPU, dengan merevisi UU Pemilu.

    “Kami harap revisi UU Pemilu ini disegerakan,” kata dia.

    Dalam hal itu, dia pun mendorong nantinya pemerintah melakukan moratorium pengisian jabatan Anggota KPU hingga disahkannya UU Pemilu yang baru, guna menata ulang seluruh sistem kelembagaan penyelenggaraan pemilu yang selama ini bermasalah.

    Sementara itu, Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah dan DPR berbenah diri dan mengevaluasi proses seleksi anggota KPU atau penyelenggara pemilu.

    Dia mengatakan bahwa desakan pemecatan itu sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-XX-2022 yang salah satu poinnya memutuskan bahwa proses rekrutmen anggota KPU harus selesai sebelum tahapan pemilu dimulai.

    Artinya, kata dia, proses rekrutmen tidak boleh berlangsung di tengah tahapan pemilu. Maka dari itu, menurut dia, pemerintah perlu menjadikan momen ini sebagai pembenahan bagi masa jabatan penyelenggara pemilu.

    Menurut dia, penyelenggara yang bermasalah adalah buah dari proses seleksi yang memiliki problematik. Pemerintah dan DPR harus bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi pada penyelenggara pemilu.

    “Mau tak mau harus ada penataan akhir masa jabatan, dan ini momentumnya, makanya tadi tuntutan teman-teman menjadi sangat relevan,” kata Titi.

    Dia mengatakan seluruh pihak perlu merekonstruksi model seleksi yang tidak membuat KPU, Bawaslu, DKPP, sebagai bancakan kepentingan politik pragmatis partisan.

    “Kita tidak ingin KPU menjadi komisi permasalahan umat,” kata dia.

    Adapun koalisi tersebut terdiri dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia, Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas.