Topik: Moratorium

  • Kapal Tak Bisa Jalan, Pengusaha Keluhkan Moratorium Batu Bara

    Kapal Tak Bisa Jalan, Pengusaha Keluhkan Moratorium Batu Bara

    Jakarta

    Penahanan ratusan kontainer bermuatan batu bara di sejumlah pelabuhan mulai menimbulkan efek domino bagi dunia usaha. Para pengusaha pelayaran memperingatkan, jika kondisi ini dibiarkan berlarut, rantai logistik nasional bisa terganggu serius dan menekan roda ekonomi antar daerah.

    Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), Carmelita Hartoto, mengatakan penahanan kontainer yang mengangkut batu bara telah menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan pelayaran.

    “Dampak dari kondisi yang kami dengar adalah kerugian akibat tertahannya kontainer milik perusahaan pelayaran, dan terjadi moratorium pengiriman batu bara di kontainer antar pulau,” ujar Carmelita, Rabu (15/10/2025).

    Penahanan dilakukan lantaran dugaan ketidaksesuaian antara isi muatan dengan dokumen manifest serta izin usaha pertambangan (IUP). Namun, Carmelita menilai persoalan dokumen seharusnya ditangani di pelabuhan muat, bukan saat kontainer telah sampai di pelabuhan tujuan.

    “Perihal keabsahan dokumentasi barang dan asal lokasi tambang tentu bukan kapasitas pihak pengangkut. Jika sejak awal diduga bermasalah, instansi terkait sebaiknya memberi sinyal untuk tidak diangkut,” tegasnya.

    Lebih jauh, Carmelita mengingatkan penahanan ini berpotensi mengganggu rantai pasok logistik di berbagai wilayah.

    “Jika penahanan kontainer ini terjadi lama, tentunya akan berdampak pada kegiatan pengiriman barang logistik, karena kontainer ini miliknya pelayaran untuk distribusi antar pulau,” katanya.

    Dampak serupa juga disoroti oleh Ketua Umum Kadin Jawa Timur, Adik Dwi Putranto. Ia meminta pemerintah segera turun tangan agar aktivitas logistik nasional tidak lumpuh.

    “Saat ini ada ratusan kontainer yang telah diperiksa dan ditahan pihak berwajib, sebagian besar dari Kalimantan,” ujarnya.

    Adik menambahkan, aparat perlu memperjelas standar pemeriksaan dan tanggung jawab pengangkut agar tidak menimbulkan ketidakpastian di sektor pelayaran.

    “Perusahaan angkutan tidak memiliki akses langsung untuk mengetahui isi kontainer karena pengisian dilakukan oleh pemilik komoditas di masing-masing daerah,” jelasnya.

    Kadin menilai pemerintah perlu menjembatani situasi ini agar penegakan hukum tetap berjalan tanpa menghambat aktivitas logistik yang menopang ekonomi nasional.

    (rrd/rir)

  • Lawan Operasi Imigran Trump, Pejabat LA Voting Status Darurat untuk Buka Keran Bantuan Negara

    Lawan Operasi Imigran Trump, Pejabat LA Voting Status Darurat untuk Buka Keran Bantuan Negara

    JAKARTA – Pejabat Wilayah Los Angeles (LA) yang bertindak sebagai cabang legislatif dan eksekutif akan melakukan pemungutan suara untuk menetapkan status keadaan darurat lokal sehingga dapat memberikan bantuan bagi warga LA yang menderita kerugian finansial akibat maraknya penggerebekan imigrasi federal menargetkan imigran. 

    Langkah ini akan memungkinkan Dewan Pengawas Wilayah Los Angeles memberikan keringanan sewa bagi penyewa yang menunggak pembayaran akibat tindakan keras terhadap imigran. Status keadaan darurat lokal juga membuka penyaluran dana negara untuk bantuan hukum dan layanan lainnya. 

    Kantor Pengawas Lindsey Horvath, menyebutkan jika terealisasi calon penerima manfaat keringanan dana sewa dapat menfatkan diri melalui portal daring yang akan diluncurkan dalam waktu dua bulan

    Status itu juga bisa menjadi langkah pertama menuju penangguhan sementara atau moratorium kebijakan penggusuran.

    Keresahan akan penggusuran telah dirasakan pemilik properti di LA yang disebut mengalami pukulan finansial lain setelah kenaikan sewa yang diperpanjang selama pandemi COVID-19.

    Sejak Juni 2025, wilayah Los Angeles telah menjadi medan pertempuran dalam strategi imigrasi agresif Pemerintahan Presiden AS Donal Trump yang memicu protes tetapi ditanggapi dengan pengerahan Garda Nasional dan Marinir selama lebih dari sebulan. 

    Dalam operasi imigrasi tersebut, agen federal AS secara masif menggerebek dan mengumpulkan imigran tanpa status legal untuk berada di AS dari Home Depot, tempat cuci mobil, halte bus, dan pertanian. Beberapa warga negara AS juga telah ditahan.

    Horvath dan Janice Hahn yang merupakan Anggota Dewan Pengawas Wilayah Los Angeles, mengatakan penggerebekan tersebut telah menyebarkan rasa ketakutan masyarakat LA dan mengganggu stabilitas bisnis lokal.

    “Mereka menargetkan keluarga, mengganggu ruang kelas, membungkam pekerja, dan memaksa orang untuk memilih antara tetap aman dan tetap memiliki rumah,” kata Horvath dalam sebuah pernyataan.

    Menurutnya, menetapkan status keadaan darurat lokal “adalah cara kita melawan.”

  • Cukai Rokok 2026 Tak Naik, Ekonom: Penerimaan Negara Bisa Stagnan

    Cukai Rokok 2026 Tak Naik, Ekonom: Penerimaan Negara Bisa Stagnan

    Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah untuk menahan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai dapat memicu stagnasi penerimaan negara. Apalagi, kontribusi cukai dari rokok terbilang besar dalam beberapa tahun terakhir. 

    Ekonom Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, keputusan ini memang memberikan ruang bernapas bagi pelaku industri. Sebab, utilitas produksi industri hasil tembakau tengah mengalami efisiensi produksi imbas permintaan yang melemah. 

    “Namun, tanpa kenaikan cukai, potensi penerimaan negara dari sektor ini akan stagnan sehingga manfaat fiskal yang diterima pemerintah menjadi terbatas,” kata Yusuf kepada Bisnis, Senin (6/10/2025). 

    Merujuk data Kementerian Keuangan, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2024 mencapai Rp216,9 triliun atau naik dari tahun sebelumnya Rp213,49 triliun. Namun, angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2022 lalu yang mencapai Rp218,62 triliun. 

    Sementara itu, dalam catatan Bisnis, realisasi penerimaan CHT pada periode Januari-Juli 2025 mencapai Rp121,98 triliun atau naik dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu Rp111,23 triliun. 

    Kendati demikian, Yusuf menilai kebijakan cukai rokok bukan merupakan instrumen utama pemerintah dalam mendongkrak penerimaan negara, melainkan juga berfungsi sebagai alat pengendali konsumsi, khususnya bagi kelompok usia rentan seperti anak muda. 

    “Karena itu, jika tidak ada kenaikan cukai dan tidak diiringi dengan langkah pengendalian konsumsi, kebijakan ini dapat bertolak belakang dengan semangat yang telah dibangun pemerintah sebelumnya dalam menekan prevalensi perokok,” tuturnya. 

    Namun, dia tak menampik langkah menahan kenaikan cukai juga dapat menjaga stabilitas harga sehingga menjaga daya saing dan menyerap tenaga kerja di sektor padat karya. 

    Hanya saja, kebijakan menahan kenaikan cukai juga tidak serta-merta akan menekan peredaran rokok ilegal. Menurut Yusuf, potensi rokok ilegal akan selalu ada karena konsumen cenderung mencari harga yang lebih murah. 

    Dia menilai efektivitas pengendalian rokok ilegal sangat bergantung pada pengawasan dan penegakan hukum oleh Bea dan Cukai di lapangan, bukan semata pada besaran tarif cukai.

    “Ke depan, pemerintah perlu memastikan keseimbangan antara kepentingan penerimaan negara, keberlanjutan industri, dan perlindungan kesehatan masyarakat,” jelasnya. 

    Lebih lanjut, dia juga mendorong evaluasi terhadap desain kebijakan cukai harus terus dilakukan, termasuk memperkuat edukasi publik, pengawasan peredaran rokok ilegal, serta sinkronisasi lintas kementerian agar tujuan fiskal dan kesehatan dapat tercapai secara beriringan.

    Senada, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, tidak adanya kenaikan cukai rokok tahun depan menjadi terobosan yang menarik. Namun, tidak cukup untuk mendukung kinerja industri. 

    “Tetapi hal tersebut tidak cukup, harusnya juga didorong dengan tidak adanya kenaikan HJE. Jadi tidak adanya kenaikan cukai maupun tidak adanya kenaikan HJE,” tuturnya, dihubungi terpisah. 

    Untuk itu, pihaknya menilai keputusan untuk tidak menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) lokal juga penting, sekaligus dengan melakukan pemberantasan secara menyeluruh untuk rokok ilegal. 

    “Dalam hal ini, saya ingin mengingatkan bahwa dirjen bea cukai tidak hanya melakukan razia di lingkup retail saja. Menteri Keuangan harus mengerti dalam hal ini bahwa peredaran dari rokok ilegal itu sudah cukup masif,” jelasnya. 

    Bahkan, dia menilai peredaran rokok ilegal membuat potensi kerugian ke penerimaan negara cukup tinggi. Menurut Andry, pemberantasan rokok ilegal tidak hanya dari sisi hilir seperti dari sisi retail atau toko, tetapi juga harus dari sisi hulunya. 

    “Di mana keterlibatan dari industri dan juga para oknum, aparat penegak hukum terkait yang berusaha untuk melindungi industri rokok ilegal tersebut,” tambahnya. 

    Dalam hal ini, dia menekankan urgensi moratorium kenaikan cukai dan HJE yang juga diiringi dengan pemberantasan rokok ilegal yang dilakukan secara komprehensif. 

    “Jadi jika kita melakukan itu ya tentu saja kita menambal setidaknya kebocoran anggaran yang terjadi akibat excess tax avoidance dan juga tax avoidance yang dilakukan oleh para pelaku rokok ilegal tersebut,” pungkasnya. 

  • Pentolan AI Cemas Manusia di Ambang Kiamat

    Pentolan AI Cemas Manusia di Ambang Kiamat

    Jakarta

    Profesor Universitas Montreal, Yoshua Bengio, dianggap salah satu Bapak AI karena karya akademisnya jadi landasan persaingan sengit AI saat ini. Ia juga pendiri dan penasihat Mila, lembaga penelitian AI di Quebec dan baru-baru ini meluncurkan organisasi penelitian nirlaba LawZero untuk membangun model AI yang aman.

    Dalam wawancara dengan Wall Street Journal, Bengio tidak berbasa-basi yaitu bahwa pada tingkat perkembangan AI saat ini, ia yakin kita sedang menuju jalan gelap yang dapat menyebabkan semacam kiamat umat manusia.

    “Jika kita membangun mesin yang jauh lebih pintar dari kita dan memiliki tujuan pelestariannya sendiri, itu berbahaya. Itu seperti menciptakan pesaing bagi umat manusia yang lebih pintar dari kita,” katanya yang dikutip detikINET dari Futurism.

    “Masalah dengan peristiwa bencana seperti kepunahan, dan bahkan peristiwa kurang radikal namun tetap bencana seperti menghancurkan demokrasi, adalah bahwa peristiwa tersebut begitu buruk sehingga meskipun hanya ada 1% kemungkinan bisa terjadi, itu tidak dapat diterima,” lanjutnya.

    Di 2023, Bengio dan ratusan pakar AI lain menyerukan moratorium pengembangan AI lantaran komunitas riset perlu waktu menetapkan dan menstandardisasi protokol keselamatan dan etika. Hal itu tidak pernah terjadi karena para pendiri yang ambisius dan investor terus menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk mengembangkan model AI.

    Seiring AI makin kuat, Bengio khawatir AI belajar berperilaku curang karena dilatih meniru manusia yang akan berbohong dan menipu dan akan mencoba melindungi diri mereka sendiri. Ia khawatir AI bertindak demi kepentingan sendiri di atas kepentingan penciptanya.

    “Eksperimen terbaru menunjukkan bahwa dalam beberapa keadaan di mana AI tak punya pilihan selain mempertahankan diri yang berarti jika harus melakukan sesuatu yang menyebabkan kematian manusia, mereka mungkin memilih kematian manusia untuk mempertahankan tujuan mereka,” cetusnya.

    Mungkin tidak ala film Terminator, tapi bisa berupa eskalasi lebih halus dari misinformasi dan manipulasi seperti di media sosial atau AI bisa menjadi satu alat yang digunakan manusia untuk menyakiti manusia lainnya.

    “AI bisa memengaruhi orang melalui persuasi, melalui ancaman, melalui manipulasi opini publik. Ada berbagai mereka dapat menyelesaikan berbagai hal di dunia melalui manusia. Seperti misalnya, membantu teroris mengembangkan virus yang dapat menciptakan pandemi baru yang bisa sangat berbahaya bagi kita,” ujarnya.

    (fyk/fyk)

  • Tak Setuju MBG Dimoratorium, Pengamat Tekankan Evaluasi Tata Kelola

    Tak Setuju MBG Dimoratorium, Pengamat Tekankan Evaluasi Tata Kelola

    Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menjelaskan konsekuensi bila makan bergizi gratis dimoratoriumkan. Menurutnya, satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang sudah mewujudkan makan bergizi gratis (MBG) dengan baik juga akan terdampak.

    Trubus pun mengakui tidak setuju dengan usulan moratorium. Dalam penilaiannya, pemerintah harus mengutamakan pembenahan di tata kelola dan pemulihan kepercayaan masyarakat.

    detikers, klik di sini untuk menonton video 20Detik lainnya!

  • Alasan Pemerintah Tak Moratorium MBG dan Pastikan Programnya Tetap Berjalan

    Alasan Pemerintah Tak Moratorium MBG dan Pastikan Programnya Tetap Berjalan

    Alasan Pemerintah Tak Moratorium MBG dan Pastikan Programnya Tetap Berjalan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Pangan Indonesia Zulkifli Hasan memastikan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan terus berjalan dan tidak akan diberhentikan, meskipun masih ada sejumlah tantangan dalam pelaksanaannya.
    “Pemerintah terus memastikan program MBG berjalan aman, layak sesuai SOP, dan tepat sasaran,” ujar Zulhas, di Kemenkes, Kamis (2/10/2025).
    Zulhas menegaskan, MBG merupakan hak dasar warga negara untuk mendapatkan asupan gizi yang layak, sebagai upaya membentuk generasi unggul di masa mendatang.
    “Program Presiden Prabowo Subianto ini mendasar, memberikan dampak yang luas, dan tentu tantangannya tidak ringan,” ujar dia.
    Menurut Zulhas, pemerintah telah merespons cepat setiap permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan MBG, termasuk terkait isu-isu teknis dan pengawasan di lapangan.
    “Tentu ada tantangan dan kekurangan, tapi komitmen pemerintah jelas. Respon cepat, instruksi Bapak Presiden tegas: perbaiki sistem, perkuat tata kelola MBG secara menyeluruh,” ujar dia.
    Ia menambahkan, saat ini penyempurnaan tata kelola dan regulasi program MBG tengah difinalisasi di Sekretariat Negara (Setneg) untuk memastikan seluruh proses berjalan sesuai standar yang ditetapkan.
    “Penyelenggaraan tata kelola saat ini sedang disempurnakan di Setneg,” kata Zulhas.
    Program MBG merupakan salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto, yang ditujukan untuk meningkatkan kecukupan gizi anak-anak Indonesia, terutama di jenjang pendidikan dasar.
    Senada, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menegaskan bahwa desakan moratorium atau penangguhan sementara program MBG tidak akan dilakukan.
    Meski banyak pihak mendesak adanya moratorium, Dadan tak gentar, selama presiden masih menginstruksikan percepatan dan pemerataan penerima manfaat MBG di seluruh wilayah di Indonesia.
    “Di luar perintah itu (Presiden), saya tetap melaksanakan, kecuali nanti Pak Presiden mengeluarkan perintah lain,” kata Dadan, di tempat yang sama.
    Dadan mengatakan, dirinya diperintahkan langsung untuk melakukan percepatan penerima manfaat MBG oleh Presiden Prabowo Subianto.
    Dia mengatakan, ada banyak masyarakat yang menantikan program MBG dan ingin segera menikmati makanan tersebut.
    “Terkait dengan kegiatan MBG, saya tetap diperintahkan oleh Pak Presiden untuk melakukan percepatan-percepatan karena banyak anak, banyak orangtua yang menantikan kapan menerima makan berhenti gratis,” tegas Dadan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Puan Ingin Perpres MBG Segera Diteken, Kunci Perbaikan Tata Kelola

    Puan Ingin Perpres MBG Segera Diteken, Kunci Perbaikan Tata Kelola

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua DPR RI, Puan Maharani mengatakan Peraturan Presiden (Perpres) terkait Makan Bergizi Gratis (MBG) segera diteken agar memperbaiki tata kelola program strategis itu.

    Puan menyampaikan DPR melalui komisi terkait telah melakukan pembahasan mengenai Perpres yang kemudian ditindaklanjuti ke pemerintah. Puan menyebut Perpres menjadi payung hukum dalam pelaksanaan MBG agar berjalan optimal.

    Perpres ini nantinya akan mengatur secara detail penerapan MBG dengan melibatkan lembaga, kementerian, dan stakeholder terkait, sehingga pelaksanaan MBG lebih jelas.

    “DPR RI kemarin melalui komisi sudah meminta supaya ada payung hukumnya berupa perpres dan saya sudah mendapatkan laporannya bahwa akan segera dikeluarkan Perpres terkait payung hukum, sehingga bisa melibatkan seluruh kementerian lembaga yang terkait sehingga nantinya bisa ikut membantu,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Kamis (2/10/2025).

    Selain itu, menurutnya Perpres ini juga diharapkan mampu mencegah keracunan massal akibat mengonsumsi MBG yang belakangan ini terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

    Pasalnya, dia menilai program unggulan Prabowo ini memiliki dampak positif bagi anak-anak Indonesia. Tak lepas dari itu, dia terus mendorong agar pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh khususnya di lokasi yang bermasalah.

    “Karena memang ini programnya sangat baik untuk anak Indonesia meningkatkan gizi, hanya memang prosesnya dan mekanismenya harus total dievaluasi,” ucapnya.

    Terkait moratorium atau penundaan sementara pelaksanaan MBG, Puan menyebut masyarakat memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi. 

    “Kita lihat dulu, kita evaluasi total, kemudian bagaimana kemudian nanti di lapangannya mana saja yang harus kita perbaiki, mana saja yang harus kita evaluasi, karena sekarang baru akan dilakukan,” kata Puan.

    Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menyisir SPPG yang bermasalah dengan menerapkan tim evaluasi. Di samping itu, berdasarkan temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), 17% menu MBG terkonfirmasi beberapa zat mikrobiologi seperti bakteri Salmonella.

    Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin juga akan melibatkan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di setiap satuan pendidikan untuk mengajarkan mitigasi keracunan MBG. Nantinya setiap UKS bakal memeriksa menu MBG sebelum diberikan kepada siswa. 

  • Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 September 2025

    Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara Nasional 27 September 2025

    Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    PADA
    Mei 2025 lalu, penulis telah menyoroti persoalan keracunan massal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui opini berjudul “
    Bukan Sekadar Statistik: Keracunan Massal MBG dan Alarm bagi Komitmen HAM
    ” (Kompas.com, 14/05/2025).
    Kala itu, kasus di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, menyebabkan ratusan anak dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap MBG. Peristiwa ini telah diperingatkan sebagai alarm dini atas bahaya sistemik dalam pelaksanaan program.
    Kini, peringatan itu bukan hanya terbukti, melainkan menjelma menjadi tragedi besar. Di Bandung Barat saja, lebih dari 1.300 siswa dilaporkan keracunan MBG pada September 2025, menjadikannya episentrum krisis gizi yang ironis.
    Secara nasional, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat lebih dari 4.600 kasus keracunan sejak Januari hingga September 2025, sedangkan CISDI menemukan sedikitnya 6.600 kasus melalui pemantauan media massa.  Perbedaan angka ini menunjukkan adanya persoalan transparansi, sekaligus menandakan kemungkinan besar bahwa jumlah korban sesungguhnya jauh lebih besar dari data resmi.
    Fakta bahwa program yang dirancang untuk memenuhi gizi anak justru telah mencatat lebih dari lima ribu kasus keracunan dalam sembilan bulan pertama adalah bukti kegagalan negara. Krisis ini tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah teknis distribusi pangan semata, melainkan telah beralih menjadi isu pelanggaran hak asasi manusia — khususnya hak anak atas kesehatan, keselamatan, dan hidup yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan instrumen HAM internasional.
    Dalam perspektif hukum hak asasi manusia, kasus keracunan massal MBG tidak dapat dipandang sekadar sebagai kelalaian administratif, melainkan merupakan pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya, khususnya anak-anak.
    Konstitusi Indonesia telah secara tegas memberikan jaminan. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
    Sementara itu, Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
    Namun, fakta ribuan anak justru mengalami keracunan akibat program negara memperlihatkan bahwa jaminan konstitusional tersebut telah nyata tercederai. Tidak hanya dalam tataran konstitusi, hukum nasional juga mengatur kewajiban negara untuk memastikan pelindungan hak anak dan keamanan pangan.
    UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hak setiap anak atas pelindungan, kesejahteraan, dan perawatan yang layak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014, memandatkan negara untuk menjamin kesehatan anak serta menyediakan sarana layanan kesehatan yang aman. Pun, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberikan pengakuan eksplisit atas hak setiap warga negara untuk memperoleh pangan yang aman, bermutu, dan bergizi.
    Maka, keracunan massal MBG menandakan tidak dijalankannya kewajiban hukum positif yang sudah lama berlaku di Indonesia. Kewajiban negara semakin jelas ketika dilihat dari perspektif hukum internasional.
    Konvensi Hak Anak (CRC) 1989, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, mewajibkan negara menjamin hak hidup dan standar kesehatan tertinggi bagi anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 dan 24. Demikian pula, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang telah diaksesi dengan UU No. 11 Tahun 2005, mengikat Indonesia untuk menjamin hak atas standar hidup layak, termasuk pangan yang aman dan bergizi (Pasal 11), serta hak atas kesehatan (Pasal 12).
    Prinsip
    non-retrogression
    dalam ICESCR secara tegas melarang negara mengambil kebijakan yang menyebabkan kemunduran dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Keracunan massal akibat MBG dengan sendirinya merupakan bentuk regresi yang serius, sebab program yang ditujukan untuk meningkatkan gizi anak justru menurunkan kualitas kesehatan mereka secara signifikan.
    Maka, tragedi MBG bukan hanya kesalahan teknis dalam tata kelola distribusi makanan, melainkan kegagalan struktural negara dalam memenuhi kewajiban
    to respect, to protect, and to fulfill
    hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak. Negara tidak hanya lalai dalam menyediakan makanan yang aman, tetapi juga gagal melindungi anak-anak dari bahaya yang dihasilkan oleh programnya sendiri.
    Situasi ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap konstitusi, undang-undang nasional, maupun instrumen HAM internasional yang telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia.
    Alih-alih menjadi solusi atas masalah gizi anak, program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini justru dijuluki sinis sebagai “Makan Beracun Gratis” oleh sebagian masyarakat. Julukan ini bukanlah sekadar ekspresi emosional, melainkan cerminan dari krisis kepercayaan publik akibat berulangnya insiden keracunan massal.
    Program yang di atas kertas diproyeksikan untuk meningkatkan status gizi dan kualitas hidup anak-anak, dalam praktiknya berubah menjadi sumber ketakutan baru: apakah makanan yang dikonsumsi anak di sekolah benar-benar aman?
    Dalam kerangka teori legitimasi kebijakan publik, suatu program hanya dapat dipertahankan ketika tujuan normatifnya selaras dengan hasil empiris yang dirasakan masyarakat (Suchman, 1995). MBG dirancang sebagai instrumen keadilan sosial, namun kegagalan memastikan aspek keamanan pangan membuatnya kehilangan legitimasi.
    Ketika masyarakat menyebutnya “beracun”, hal itu menandakan hilangnya kepercayaan sosial (
    social trust
    ) terhadap negara sebagai penyelenggara layanan dasar. Kritik ini pun dapat dibaca melalui konsep “banalitas keburukan” (
    banality of evil
    ) ala Arendt. Bahaya bukan hanya muncul dari niat jahat, tetapi juga dari kelalaian sistemik yang dinormalisasi.
    Ketika keracunan ribuan anak direduksi menjadi “hanya sebagian kecil” atau dianggap
    acceptable risk
    dari sebuah program nasional, negara sedang melakukan banalitas terhadap penderitaan manusia—membiarkan pelanggaran hak anak berlangsung di bawah retorika keberhasilan statistik.
    Istilah “Makan Beracun Gratis” merupakan simbol perlawanan moral, yang menyuarakan bahwa setiap nyawa anak tidak boleh ditukar dengan klaim administratif tentang distribusi gizi. Negara tidak bisa menjustifikasi keracunan ribuan anak dengan narasi pencapaian angka, sebab dalam hukum hak asasi manusia, satu nyawa yang terabaikan saja sudah terlalu banyak.
    Tragedi berulang yang menimpa ribuan anak menunjukkan bahwa program MBG tidak dapat lagi dipertahankan dengan logika tambal sulam. Evaluasi parsial terhadap dapur atau sekadar pemberhentian sementara penyedia layanan tidak akan cukup. Yang dibutuhkan adalah evaluasi total terhadap desain, tata kelola, dan mekanisme implementasi program MBG.
    Hal ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian (
    precautionary principle
    ) dalam layanan publik: ketika suatu kebijakan berisiko besar menimbulkan bahaya, negara wajib menghentikan atau mengubah kebijakan tersebut hingga dapat dipastikan aman bagi penerima manfaat.
    Salah satu opsi reformasi yang patut dipertimbangkan adalah desentralisasi mekanisme penyediaan makanan, misalnya dengan mengalihkan sebagian besar anggaran MBG ke sekolah dan orang tua melalui skema yang lebih transparan dan partisipatif.
    Model distribusi terpusat yang bergantung pada ribuan dapur SPPG terbukti rawan salah kelola, tidak efisien dalam logistik, serta berulang kali menimbulkan insiden keracunan massal. Alternatifnya, dana bisa disalurkan untuk memperkuat kantin sekolah berbasis lokal atau langsung diberikan kepada keluarga dalam bentuk bantuan gizi, sehingga ada kontrol kualitas yang lebih dekat dan sesuai kebutuhan anak.
    Pun, evaluasi total juga harus mencakup aspek akuntabilitas dan transparansi. Negara perlu membuka kanal pelaporan publik, melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman, serta memastikan adanya mekanisme pengaduan yang cepat dan efektif bagi korban.
    Tanpa langkah ini, MBG akan terus menjadi sumber ancaman, bukan pelindungan. Intinya, program yang semula digadang sebagai simbol kepedulian negara terhadap gizi anak telah kehilangan legitimasi moral dan hukum akibat kegagalannya menjamin keamanan.
    Jika pemerintah sungguh ingin menjaga masa depan generasi, maka moratorium MBG untuk evaluasi total adalah keharusan, bukan pilihan. Reformasi mekanisme, partisipasi masyarakat, dan pengawasan independen harus menjadi fondasi baru agar tragedi keracunan massal tidak lagi berulang pada masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Usul Kaji Ulang Regulasi CHT Usai Cukai Rokok Tak Naik

    DPR Usul Kaji Ulang Regulasi CHT Usai Cukai Rokok Tak Naik

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR berharap pemerintah mengkaji ulang seluruh aturan soal cukai hasil tembakau (CHT) untuk menekan praktik ilegal dan mengoptimalkan penerimaan negara.

    Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun menilai keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2026 menunjukkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memahami permasalahan fundamental di persoalan cukai hasil tembakau.

    “Menurut saya langkah Pak Purbaya untuk tidak menaikkan cukai hasil tembakau di 2026 itu adalah langkah yang tepat dan perlu diberikan dukungan,” kata Misbakhun dalam keterangannya, dikutip Sabtu (27/9/2025).

    Dia berharap keputusan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan kajian menyeluruh terhadap regulasi cukai. Evaluasi yang komprehensif juga penting untuk memastikan potensi praktik ilegal bisa ditekan, penerimaan negara tetap terjaga, dan jutaan pekerja yang bergantung pada industri tembakau terlindungi.

    Ketua Asosiasi Petani dan Pekerja Tembakau Nusantara (APPTN), Samukrah menilai moratorium kenaikan CHT dinilai bisa meredakan industri hasil tembakau (IHT) dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

    “Kami harap dengan cukai tidak naik, tekanan pabrik rokok bisa berkurang dan mereka bisa kembali menyerap tembakau petani,” kata Samukrah dalam keterangannya, Jumat (26/9/2025).

    Menurutnya, kondisi IHT tahun ini terpuruk akibat kebijakan cukai yang salah dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut membuat munculnya ancaman PHK terhadap pekerja.

    Berdasarkan catatan Bisnis.com, Purbaya telah menemui Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok lndonesia (Gappri) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat pada Jumat (26/9/2025) siang.

    Menurutnya, Gappri menyatakan tarif cukai rokok 2026 tidak perlu diubah. Sesuai jawaban pengusaha rokok itu, Purbaya memutuskan tidak akan menaikkan maupun menurunkan cukai rokok.

    “Jadi, tahun 2006 tarif cukai tidak kita naikin,” jelasnya.

    Purbaya menjelaskan bahwa Kementerian Keuangan sedang mencoba membersihkan pasar dari barang-barang ilegal terutama rokok, baik rokok ilegal dari luar negeri maupun dalam negeri.

  • Pengusaha Sawit Semringah, Implementasi EUDR Ditunda hingga 2026

    Pengusaha Sawit Semringah, Implementasi EUDR Ditunda hingga 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyambut positif penundaan implementasi aturan antideforestasi dalam European Union Deforestation Regulation (EUDR) hingga 2026.

    Ketua Umum Gapki Eddy Martono menyampaikan rentang waktu satu tahun tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengatur lebih lanjut tata kelola pengelolaan sawit, terkhusus dari sisi petani.

    “Penundaan ini bagus, paling tidak masih ada waktu 1 tahun lagi mempersiapkan sebelum EUDR benar-benar diimplementasikan, utamanya untuk petani atau smallholder,” kata Eddy saat dihubungi Bisnis, Kamis (25/9/2025).

    Dia menjelaskan, permasalahan yang terjadi saat ini adalah tidak adanya moratorium untuk petani maupun masyarakat, sementara mereka mengirim tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke perusahaan-perusahaan.

    Menurut Eddy, apabila proses ini tergolong dalam kategori deforestasi yang ditetapkan Uni Eropa, maka minyak sawit yang dihasilkan tidak dapat masuk ke Benua Biru.

    Sementara itu dari sisi perusahaan, dia memaparkan tak akan ada kendala berarti dari penerapan EUDR kelak, mengingat moratorium ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air telah dimulai sejak 2011.

    Hal ini kemudian dipertegas dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2019 yang menghentikan izin baru pembukaan perkebunan sawit, selaras dengan tenggat waktu EUDR mengenai penggunaan lahan yang termasuk deforestasi pada 31 Desember 2020.

    “Maka dalam waktu 1 tahun perpanjangan, yang harus diselesaikan adalah legalitas petani dan negosiasi kepada EU agar untuk sementara waktu petani dikecualikan,” terangnya.

    Ketika ditanya perihal pengaruh penundaan aturan tersebut terhadap nilai ekspor sawit, dia juga menjelaskan bahwa belum ada perubahan hingga saat ini. 

    “Jadi dengan ditunda tidak berarti ekspor akan naik, sebab EUDR memang belum berlaku,” pungkas Eddy.

    Berdasarkan catatan Bisnis, Uni Eropa berencana kembali menunda implementasi aturan antideforestasi dalam European Union Deforestation Regulation atau EUDR selama setahun. 

    Regulasi ini berisi larangan impor komoditas terkait alih fungsi hutan seperti minyak sawit, kedelai, kakao, kopi, daging sapi, dan kayu.

    Mengutip Reuters, Komisioner Lingkungan Komisi Eropa, Jessika Roswall pada Selasa (23/9/2025) menyampaikan bahwa untuk kedua kalinya, peluncuran aturan tersebut akan ditunda selama setahun. EUDR awalnya bakal mulai bergulir pada 30 Desember 2025 setelah sempat mengalami penundaan selama setahun pada akhir 2024.