Bagaimana Cara Membuat Masyarakat Makin Waspada terhadap Bencana?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Banjir bandang Sumatera menyentak Indonesia, perlu ada peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana alam.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menegaskan bahwa masa depan pembangunan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketangguhan menghadapi bencana.
“Urusan bencana adalah urusan kita semua. Kita harus tangguh, bukan hanya manusianya, tapi juga alamnya, perusahaannya, masyarakatnya,” kata Pratikno di Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Ia menyebutkan bahwa apa yang sedang terjadi di sejumlah provinsi saat ini menjadi pengingat bahwa bencana bukan hanya peristiwa alam semata, melainkan peristiwa sosial yang berdampak luas.
Ribuan warga terdampak, akses jalan terputus, suplai beras dan logistik terganggu, hingga air bersih sulit didapat.
Pratikno menekankan pentingnya kolaborasi pentahelix, yakni pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat sipil. Model kolaborasi ini, menurutnya, menjadi fondasi untuk membangun ketangguhan nasional dalam menghadapi bencana yang semakin kompleks.
“Pemerintah butuh masukan, butuh dukungan, butuh kolaborasi. Kita harus sekuat tenaga mencegah bencana. Kalau bencana tidak bisa dihindari, kita harus punya mitigasi yang kuat,” jelas dia.
“Kita perlu kapasitas tanggap darurat yang kuat, dan kapasitas rehabilitasi serta rekonstruksi yang kuat,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa interaksi antara berbagai pihak tidak boleh terjadi hanya satu kali dalam setahun, tapi harus dilakukan secara berkelanjutan untuk memperkuat kesiapsiagaan bangsa menghadapi ancaman bencana.?
“Ini kerjaan kita bersama, bukan hanya pemerintah. Kami terus menerima masukan dari berbagai pihak untuk memperkokoh ketangguhan kita,” ujar Pratikno.
Terkait bagaimana membangun kewaspadaan atau
awareness
masyarakat, Pratikno menilai Indonesia memiliki banyak instrumen sosial yang dapat digerakkan. Salah satunya adalah lembaga pendidikan, yang ada di hampir semua desa.
Sekolah, katanya, dapat menjadi pusat edukasi kebencanaan yang efektif karena mampu menjangkau generasi muda dan komunitas lokal.
Selain itu, ia menyoroti peran besar lembaga keagamaan, yang memiliki jaringan luas dan kedekatan langsung dengan masyarakat.
“Lembaga keagamaan ada di seluruh Indonesia. Mereka memiliki forum, struktur, dan komunitas yang bisa menjadi mitra dalam membangun pemahaman kebencanaan,” jelasnya.
Forum-forum masyarakat lainnya, baik formal maupun informal juga disebut dapat berfungsi sebagai saluran edukasi dan mobilisasi. Dengan pendekatan multisektor inilah, Pratikno berharap ketangguhan masyarakat dapat ditingkatkan.
“Kami mengajak semua pihak untuk membangun masyarakat tangguh. Tidak cukup hanya pemerintah yang tangguh, tetapi masyarakat juga harus tangguh. Infrastruktur kita juga harus tangguh,” tegasnya.
Untuk meningkatkan kewaspadaan publik, Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, memastikan pihaknya juga memperkuat aksesibilitas informasi cuaca dan iklim melalui berbagai kanal komunikasi.
Peringatan dini berbasis dampak terus ditingkatkan kualitasnya agar masyarakat tidak hanya mengetahui potensi cuaca berbahaya, tetapi juga memahami kemungkinan dampak yang dapat ditimbulkan.
“Untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat, BMKG memperkuat penyampaian informasi cuaca dan iklim yang mudah diakses, meningkatkan kualitas peringatan dini berbasis dampak, serta memperluas edukasi publik melalui berbagai program literasi dan kolaborasi dengan pemerintah daerah dan lembaga terkait,” ungkap dia kepada
Kompas.com
, Rabu (3/12/2025).
BMKG juga memperluas edukasi publik melalui literasi kebencanaan, kerja sama dengan pemerintah daerah, sekolah, komunitas, hingga lembaga penanggulangan bencana.
“Informasi kami sampaikan secepat mungkin dan melalui banyak kanal, supaya masyarakat menerima peringatan tepat waktu dan mengetahui langkah antisipatif yang perlu dilakukan,” ujar Andri.
Andri mengatakan, meski informasi dan peringatan dini telah disampaikan secara rutin, kejadian banjir dan longsor masih sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian besar.
Menurut Andri, hal ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya pada penyebaran informasi, tetapi juga pada peningkatan pemahaman risiko dan kesiapsiagaan masyarakat dalam merespons peringatan tersebut.
“Faktanya, meskipun peringatan sudah keluar, masih banyak masyarakat yang belum memahami risiko atau belum melakukan langkah mitigasi yang diperlukan,” kata Andri.
Ke depan, BMKG menilai bahwa penguatan edukasi risiko, perencanaan tata ruang yang lebih adaptif, dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menjadi kunci mencegah jatuhnya korban dalam kejadian bencana hidrometeorologi yang cenderung meningkat frekuensinya.
“Tantangan ke depan tidak hanya pada aspek penyampaian informasi, tetapi juga pada peningkatan pemahaman risiko serta kesiapsiagaan masyarakat dalam merespons peringatan dini secara lebih efektif,” tegasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Topik: longsor
-
/data/photo/2025/12/04/6930bda3afe7f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bagaimana Cara Membuat Masyarakat Makin Waspada terhadap Bencana? Nasional 4 Desember 2025
-
/data/photo/2025/12/04/6930b97495dd9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana Nasional 4 Desember 2025
Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
18 tahun sebagai akademisi (dosen), konsultan, pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & sustainability (keberlanjutan). Saat ini mengemban amanah sebagai Full-time Lecturer, Associate Professor & Head of Centre Sustainability and Leadership Centre di LSPR Institute of Communication & Business, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Dewan Pakar Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT), GEKRAF & HIPMI Institute
INDONESIA
kembali memasuki musim bencana dengan luka yang belum benar-benar sembuh dari tahun-tahun sebelumnya.
Di berbagai daerah, banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem terus merenggut nyawa dan menenggelamkan harapan.
Dari Sumatera hingga Sulawesi, dari desa-desa terpencil hingga pesisir yang padat penduduk, tangisan warga sering kali lebih cepat terdengar melalui video amatir di media sosial ketimbang pernyataan resmi pemerintah.
Situasi ini bukan sekadar persoalan cuaca atau geologi, tetapi ujian bagi komunikasi kepemimpinan kita. Bencana alam setiap tahun seolah mengulang pertanyaan yang sama bagaimana pemimpin hadir, berbicara, dan memenuhi tanggung jawab moralnya?
Dalam lanskap bencana yang kompleks ini, ada satu hal yang terasa makin langka: empati yang otentik. Kita menyaksikan bukan empati yang sekadar dangkal, tetapi lebih berbahaya: nirempati, kondisi ketiadaan empati.
Nirempati dalam makna sesungguhnya berarti ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk memahami, merasakan, atau merespons perasaan dan kebutuhan emosional orang lain.
Ini adalah sikap mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain.
Kita menyaksikan pejabat berdiri di tengah puing-puing rumah yang hanyut, memegang mikrofon, diapit kamera dan perangkat dokumentasi, mengucapkan frasa-frasa seperti “kami berduka”, “kami hadir untuk rakyat”, atau “kami akan segera bergerak”.
Namun, pada saat yang sama masyarakat bertanya apa bedanya dengan tahun lalu, dan tahun sebelumnya, dan sebelumnya lagi?
Mereka menunggu bukan sekadar kata-kata yang menenangkan, tetapi jaminan bahwa hidup mereka benar-benar diperhatikan dan tidak hanya dijadikan latar belakang cuplikan berita.
Sebagai pengamat aspek kepemimpinan, saya melihat bahwa gestur-gestur superfisial itu bukanlah empati semu, melainkan manifestasi dari nirempati yang berwajah manis.
Nirempati muncul ketika pemimpin hanya menampilkan gestur empatik, tetapi tidak menindaklanjutinya dengan pendengaran yang sungguh-sungguh atau kebijakan yang berubah.
Mereka hadir, tetapi tidak betul-betul hadir, hanya memenuhi protokol visual yang steril. Mereka berbicara, tetapi tidak memasuki ruang emosional masyarakat, menjaga jarak aman dari trauma yang sebenarnya.
Empati yang diharapkan korban bencana bukanlah simpati instan yang memisahkan, melainkan kehadiran yang memahami, mengakui, dan berkomitmen untuk bertindak nyata.
Banyak penelitian tentang kepemimpinan dalam krisis menyebutkan bahwa empati yang otentik mampu menurunkan kecemasan kolektif, memperkuat kohesi sosial, dan meningkatkan kepercayaan publik.
Ketika pemimpin tidak mampu menunjukkan empati sejati, maka ruang publik terisi oleh kebingungan, frustrasi, dan kecurigaan, yang dalam konteks manajemen bencana, adalah penghambat terbesar bagi koordinasi dan pemulihan, sebuah kegagalan kepemimpinan pada tingkat moral.
Ketika bencana datang bertubi-tubi, masyarakat tidak hanya mencari pertolongan fisik, tetapi juga petunjuk moral, mereka mencari arah yang jelas dan kejujuran.
Untuk melawan nirempati yang fatal ini, pemimpin harus mengusung Komunikasi Kehadiran Moral yang menuntut pertanggungjawaban utuh.
Konsep ini menuntut pemimpin untuk menyapu bersih kabut informasi, menuntaskan kebingungan publik, dan menghadirkan kejelasan yang menenangkan.
Pemimpin harus menyampaikan informasi secara jujur apa yang sudah dilakukan, apa yang belum, apa yang salah, dan apa yang sedang diperbaiki.
Tidak ada pencitraan, tidak ada pengaburan, hanya komitmen untuk kejelasan dan tanggung jawab, yang merupakan fondasi paling kuat untuk membangun kembali kepercayaan pascabencana.
Sebaliknya, komunikasi yang berakar pada nirempati cenderung menghasilkan pesan yang rapi, tetapi steril. Pemimpin berbicara dengan kalimat normatif yang telah disusun tim komunikasi, lengkap dengan struktur yang mulus, tetapi minim substansi.
Tidak jarang bahasa yang digunakan terasa terlalu teknokratis atau defensif, alih alih humanis. Ketika masyarakat sedang trauma, kehilangan keluarga, rumah, atau masa depan, mereka tidak membutuhkan paragraf teknis tentang status tanggap darurat atau bilai logistik.
Mereka membutuhkan pengakuan bahwa penderitaan mereka dipahami, dan bahwa negara hadir bukan hanya dalam bentuk pernyataan, tetapi melalui keputusan dan tindakan yang nyata.
Komunikasi jenis ini, yang fokus pada data dan bukan jiwa, adalah kegagalan humanisme di tengah krisis dan penanda bahwa pemimpin berada pada posisi nirempati.
Salah satu masalah besar yang saya amati dalam komunikasi kepemimpinan bencana adalah kecenderungan mengalihkan fokus hanya pada respons darurat.
Kita terbiasa mendengar narasi “yang penting sekarang fokus dulu pada penanganan korban”, seolah pembahasan akar masalah hanya menambah beban emosional di tengah situasi sulit. Padahal, justru di momen genting inilah keberanian politik diuji.
Apakah pemimpin bersedia menyatakan bahwa banjir bukan hanya soal curah hujan, tetapi soal pilihan kebijakan?
Jika pemimpin hanya mengulang retorika “musibah alam” atau “takdir ilahi”, maka masyarakat dipaksa percaya bahwa mereka hidup dalam siklus bencana yang tak memiliki hubungan dengan kebijakan publik.
Retorika itu merupakan pemikiran yang menyesatkan secara intelektual dan berbahaya secara moral karena mengesankan bahwa negara tak berdaya di hadapan alam. Padahal banyak elemen kerentanan berasal dari keputusan manusia.
Nirempati dalam manajemen bencana adalah ketika masalah diulang setiap tahun tanpa ada intervensi kebijakan yang fundamental.
Di era digital seperti sekarang, tantangan semakin pelik karena bencana tidak terjadi di ruang fisik saja, melainkan juga di ruang informasi.
Saat air menggenangi rumah-rumah, linimasa kita juga dibanjiri oleh hoaks, misinformasi, dan spekulasi yang viral jauh lebih cepat dibanding klarifikasi resmi pemerintah.
Warga sering merasa lebih terhubung dengan laporan
real time
dari influencer, relawan independen, atau akun-akun warga daripada dari kanal resmi pemerintah.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya mencari informasi, tetapi mencari kehadiran yang konsisten dan otentik.
Mereka ingin merasakan bahwa suara mereka didengar, kebutuhan mereka direspons, dan pola komunikasi yang digunakan pemimpin tidak memosisikan mereka sebagai objek informasi, tetapi sebagai mitra dalam pemulihan.
Dalam manajemen bencana modern, komunikasi yang gagal menguasai ruang digital sama fatalnya dengan kegagalan distribusi logistik, dan kevakuman ini adalah ruang yang diciptakan oleh nirempati birokrasi.
Dalam situasi seperti ini, saya berpendapat komunikasi kepemimpinan harus dipahami sebagai bagian integral dari logistik darurat.
Sama pentingnya dengan perahu karet, tenda pengungsian, atau suplai makanan, komunikasi yang jernih dan empatik dapat menyelamatkan hidup.
Komunikasi yang baik mencegah kepanikan, memastikan bantuan sampai ke titik yang tepat, dan menjaga masyarakat tetap terinformasi.
Sebaliknya, komunikasi yang buruk menyebabkan kebingungan, memperlebar jarak antara pemerintah dan warga, dan memicu sentimen negatif yang menggerogoti legitimasi institusi.
Jika pada masa lalu komunikasi publik dianggap sebagai pelengkap kebijakan, kini komunikasi adalah kebijakan itu sendiri, ia adalah
action
yang harus direncanakan dan dieksekusi dengan presisi, layaknya operasi penyelamatan.
Pemimpin yang mampu melewati badai bencana dengan komunikasi yang efektif biasanya menunjukkan tiga hal penting.
Pertama, mereka merumuskan narasi berdasarkan data akurat, bukan angka yang dibuat stabil demi menenangkan publik. Transparansi data adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap martabat warga.
Menyampaikan angka korban secara jujur, mengakui ketidakpastian, atau meminta tambahan waktu untuk verifikasi adalah bagian dari komunikasi etis.
Kedua, mereka mengakui penderitaan masyarakat tanpa meromantisasinya. “Warga kita tangguh” memang terkesan positif, tetapi sering kali frasa itu dipakai untuk menutupi kegagalan negara dalam memastikan keselamatan warganya.
Mengakui kesedihan dan trauma warga, serta menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memperbaiki sistem, jauh lebih bermakna daripada pujian kosong.
Ketiga, mereka menghubungkan komunikasi dengan tindakan. Setiap pidato, setiap konferensi pers, setiap unggahan di media sosial harus memiliki konsekuensi kebijakan, harus ada pertanggungjawaban di balik setiap janji. Komunikasi tanpa aksi hanya akan memperburuk rasa kehilangan dan ketidakpercayaan.
Dalam banyak kasus, saya melihat bagaimana pejabat lebih fokus pada gestur simbolis daripada pendengaran yang mendalam.
Mereka mengunjungi lokasi bencana, meninjau dapur umum, atau mengangkat anak kecil untuk difoto.
Tindakan ini tentu baik, tetapi jika berhenti di situ, maka itu hanya menjadi panggung estetika penderitaan, sebuah pementasan yang menunjukkan nirempati yang tersembunyi.
Pada sisi lain, korban bencana sering kali hanya ingin didengar. Mereka ingin menceritakan apa yang terjadi, bagaimana mereka kehilangan rumah, atau kegelisahan mereka tentang masa depan. Di sinilah kehadiran tanpa kamera menjadi penting.
Pemimpin yang turun tanpa protokol berlapis lapis, yang duduk bersama warga tanpa mikrofon, yang mendengar tanpa interupsi, akan lebih dipercaya daripada pemimpin yang hanya datang untuk “membuka jalur liputan”.
Tindakan humanis sederhana ini, duduk dan mendengarkan, adalah investasi kepercayaan jangka panjang.
Beberapa pemimpin dunia menunjukkan bagaimana empati otentik dapat mengubah dinamika krisis. Jacinda Ardern, misalnya, dipuji karena gaya komunikasinya yang tegas sekaligus penuh kehangatan selama krisis Covid 19 dan tragedi penembakan di Christchurch.
Ia berbicara bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai manusia yang hadir sepenuhnya. Ia mengakui ketakutan publik, tetapi menawarkan kejelasan. Ia menangis ketika masyarakat berduka, tetapi bertindak cepat dalam kebijakan.
Contoh lain adalah Presiden Korea Selatan, Moon Jae in, yang terkenal dengan kebiasaan mendengar langsung aspirasi warga tanpa perantara dalam berbagai situasi darurat.
Pemimpin seperti mereka menunjukkan bahwa empati bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan strategis dalam membangun kepercayaan dan kohesi sosial yang esensial dalam fase pemulihan.
Refleksi saya sebagai pengamat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam jiwa kearifan lokal. Kita memiliki sejarah panjang tokoh-tokoh lokal yang mempraktikkan empati otentik di masa bencana, meskipun tidak selalu mendapat sorotan media.
Banyak kepala desa, camat, lurah, dan relawan komunitas yang menghadirkan empati total secara alami. Mereka mungkin tidak memiliki kalimat retoris yang indah, tetapi mereka hadir secara fisik dan emosional.
Mereka menjaga warganya, berjalan dari rumah ke rumah, memastikan semua orang selamat. Pemimpin seperti ini mengajarkan bahwa empati sejati tidak membutuhkan mikrofon atau pencitraan.
Ia hadir dalam tindakan, dalam kejujuran, dalam komitmen, dan paling penting, dalam pengakuan bahwa penderitaan warga adalah penderitaan negara.
Dalam konteks inilah kita perlu bertanya bagaimana seharusnya model komunikasi kepemimpinan Indonesia di era bencana ke depan?
Pertama, kita perlu menyadari bahwa komunikasi harus diperlakukan sebagai bagian dari mitigasi bencana, bukan sebagai pelengkap, menuntut investasi pada sistem komunikasi risiko terpadu.
Kedua, kita perlu mendorong pemimpin untuk berani mengakui kesalahan dan ketidakpastian, sebab ini adalah tanda kematangan dan kedewasaan kepemimpinan yang humanis.
Ketiga, kita harus membangun budaya baru di mana pejabat publik tidak dihargai karena kelancaran berbicara, tetapi karena kedalaman mendengarkan dan ketepatan bertindak yang menyelamatkan nyawa dan martabat.
Akhirnya, kita sampai pada refleksi paling penting bencana alam sebenarnya hanyalah satu bagian dari cerita.
Bencana yang lebih besar bisa jadi adalah bencana komunikasi ketika pemimpin gagal memberikan kejelasan, gagal menghadirkan kehangatan, dan gagal memaknai penderitaan rakyat.
Kegagalan ini, yang berakar pada nirempati birokrasi, meruntuhkan jembatan kepercayaan antara negara dan warga.
Jembatan yang runtuh itu, sebagai seorang pengamat, saya yakini jauh lebih sulit dibangun kembali dibanding jalan yang ambles atau jembatan fisik yang putus, sebab ia melibatkan rekonsiliasi emosional dan psikologis mendalam.
Dalam dunia yang dipanaskan oleh perubahan iklim, intensitas bencana di Indonesia tidak akan menurun.
Hujan mungkin tidak bisa kita hentikan. Lempeng bumi tidak bisa kita kendalikan. Namun, bagaimana pemimpin hadir di hadapan warganya itulah yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.
Pada akhirnya, masyarakat yang berdiri di depan rumah yang hanyut tidak menilai pemimpin dari betapa indahnya kata-kata yang diucapkan, tetapi dari satu pertanyaan sederhana apakah saya merasa lebih sendiri atau lebih ditemani setelah pemimpin berbicara?
Jika jawaban publik adalah “lebih ditemani”, maka kita sedang dipimpin oleh empati yang sejati. Jika jawabannya “lebih sendiri”, maka yang hadir adalah bayangan kekuasaan yang acuh.
Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mampu menunjukkan empati total untuk memulihkan rasa percaya.
Sebab di tengah badai bencana, hal yang paling menyelamatkan bukan hanya bantuan fisik, tetapi keyakinan bahwa negara benar-benar hadir sepenuhnya, gerak cepat, utuh, dan manusiawi.
Sudah saatnya kita menuntut para pemimpin untuk keluar dari ruang kosong retorika dan mengisi kehampaan komunikasi dengan kejujuran, komitmen kebijakan, dan kehadiran yang seutuhnya.
Tanggung jawab moral ini ada di pundak kita semua. Mari bersama-sama menggugat nirempati, menuntut pemimpin untuk bertindak dengan hati nurani, sebelum bencana komunikasi meruntuhkan semua yang tersisa.
Pray for Sumatera, pray for Indonesia….
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5432093/original/064814600_1764756044-Sertu_Rio_selamat_dari_banjir_bandang_sumatra.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saya Ikhlas dengan Nyawa Saya
Liputan6.com, Jakarta – Malam tak biasa di Adian Koting, Tapanuli Utara, pada Selasa (24/11/2025). Malam yang dipenuhi keikhlasan dan drama kemanusiaan. Ketika banjir bandang Sumatra merenggut nyawa orang tercinta.
Di tengah kelelahan usai menempuh perjalanan panjang dari Medan, Sertu Rio Prasaja (42), anggota Kodim 0212/Tapsel, harus menghadapi cobaan terberat dalam hidupnya. Ketika orang tercinta direnggut hidupnya.
Malam itu, Rio bersama istri serta putra bungsunya yang berusia 1,5 tahun, dan tiga saudaranya, mencari perlindungan. Karena jalan pulang menuju Sidempuan terputus total. Beruntung, pemilik warung di Adian Koting memberinya tempat berlindung.
“Pemilik warung minta ya sudah istirahatlah di sini dulu,” kenang Rio saat berbincang dengan wartawan, Rabu (3/12/2025).
Sekitar pukul 23.00 WIB, saat sebagian besar orang telah tertidur, teriakan minta tolong membangunkannya. Dia spontan keluar warung dan bergegas membantu. Berbekal lampu mobil sebagai penerangan untuk evakuasi awal. Beberapa saat kemudian, Rio kembali untuk berganti pakaian. Ternyata alam mulai mengirimkan sinyal bahaya yang mematikan.
“Saya mendengar lima kali gemuruh, tapi tidak ada longsor saat dilihat keluar,” ujar Rio.
Firasat yang kuat membuatnya segera membangunkan semua orang di rumah itu. Gemuruh keenam datang tanpa kompromi. Rio, dengan sigap meraih putra bungsunya. Momen itu adalah pelukan terakhir ayah dan anak.
“Saya pegang anak, terus gemuruh ke-6 langsung datang. Anak saya yang saya pegang tidak tahu terlempar ke mana. Saya juga terhempas, tahu-tahu sudah setinggi leherlah tanah menimbun saya,” kenangnya dengan suara lirih.
-

Tinjau Posko Bencana di Aceh, Menteri ESDM Pastikan Bantuan dan Dukungan PLN Berjalan Optimal
Bireuen: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melakukan peninjauan Posko Penanganan Bencana di Desa Blang Panjo, Kabupaten Bireuen, Aceh, untuk memastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi.
Dalam kunjungan tersebut, Menteri ESDM juga menyerahkan bantuan logistik dari PT PLN (Persero) yang dibutuhkan untuk mendukung penanganan darurat di wilayah tersebut. Bantuan yang diberikan PLN melalui Kementerian ESDM berupa paket sembako 700 kilogram (kg) beras, 700 kg gula, dan 1.400 liter minyak goreng yang disalurkan untuk masyarakat terdampak.
Bahlil menegaskan bahwa koordinasi lintas sektor dan instansi termasuk PLN menjadi hal yang krusial agar pemenuhan kebutuhan warga dapat berlangsung lebih cepat, terutama pada tahap-tahap awal pascabencana. Ia menyampaikan bahwa seluruh instansi teknis telah diminta mempercepat pengiriman bantuan serta memperkuat dukungan di lapangan.
“Kehadiran saya bersama Dirut Pertamina, Dirut PLN, dan Dirjen Ketenagalistrikan adalah untuk memastikan dan merasakan langsung persoalan di lapangan, khususnya terkait ESDM. Listrik dan BBM adalah kebutuhan paling vital,” ujar Bahlil seperti dikutip Rabu, 3 Desember 2025.
Sebagai bagian dari upaya percepatan itu, Bahlil juga meninjau kesiapan dapur umum yang menjadi pusat suplai makanan bagi masyarakat dan petugas. Dapur umum ini merupakan fasilitas yang telah dipersiapkan oleh Pemda dan PLN.
“Saya apresiasi kepada PLN Mereka kerja sudah sangat luar biasa. Semua kekuatan nasional kita harus turunkan. Itu menyangkut dengan BBM dan listrik, menyangkut dengan apa yang hari ini saya lihat di dapur umum,” ujar Bahlil.
Semetara itu Bupati Bireuen, Mukhlis, menyampaikan apresiasi atas dukungan pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan PLN atas bantuan logistik dan dapur umum yang diberikan untuk Posko Siaga Bencana Desa Blang Panjoe.
“Kami juga mengapresiasi kehadiran Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang melihat langsung kondisi masyarakat di pengungsian. Kehadiran ini menjadi penyemangat bagi korban banjir untuk pulih dan bangkit kembali,” kata Mukhlis.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyampaikan bahwa penanganan pascabencana membutuhkan kerja bersama seluruh pihak dan tidak hanya terbatas pada pemulihan sistem kelistrikan. Ia menekankan bahwa PLN terus menjalin kolaborasi dengan pemerintah pusat, daerah, dan berbagai lembaga untuk mempercepat pemulihan dari sisi sosial maupun teknis.
Hingga saat ini, secara total bantuan yang telah disalurkan PLN melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dan Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN untuk wilayah Aceh mencakup 9,6 ton beras, 12.958 liter minyak goreng, 3.360 kg gula, 4.326 kardus mi instan, 466 kg telur, 2.250 paket makanan siap saji, 9.080 botol air minum, 4.865 perlengkapan bayi, 3.724 selimut, serta 6.603 paket obat-obatan.
Selain itu, PLN juga telah menyediakan dapur umum di 11 lokasi, terdiri dari 7 titik di Pidie, 2 di Bireuen, serta masing-masing 1 titik di Lhokseumawe dan Bener Meriah. 4 lokasi dapur umum merupakan hasil kolaborasi dengan Kodam Iskandar Muda.
“PLN berkomitmen memberikan dukungan terbaik, termasuk melalui keterlibatan dalam pembangunan dapur umum sebagai fasilitas vital selama masa pemulihan. Kolaborasi ini membuktikan bahwa percepatan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dapat dicapai ketika seluruh pihak bergerak bersama,” jelas Darmawan.
PLN terus berupaya melakukan penormalan jaringan yang terdampak banjir dan longsor di wilayah Aceh, termasuk 12 tower Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) yang roboh. Bireuen menjadi titik paling kritis setelah lima tower SUTT 150 kV Bireuen–Arun tumbang, yang selama ini menjadi jalur penting penyaluran listrik dari pembangkit Arun dan Nagan Raya ke berbagai wilayah Aceh.
“PLN mengerahkan tim siaga, peralatan berat, dan material untuk mempercepat pembangunan kembali tower serta memulihkan aliran listrik. Seluruh pekerjaan dilakukan nonstop 24 jam dengan dukungan dan kolaborasi Pemerintah, TNI, Polri, serta masyarakat demi memastikan suplai listrik di Bumi Serambi Mekah segera pulih,” imbuh Darmawan.
Ia menambahkan bahwa kolaborasi lintas sektor telah memberikan dampak nyata bagi percepatan pemulihan di Aceh. Diharapkan kerja sama ini dapat mendorong pemulihan masyarakat berlangsung lebih cepat.
Bireuen: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melakukan peninjauan Posko Penanganan Bencana di Desa Blang Panjo, Kabupaten Bireuen, Aceh, untuk memastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi.
Dalam kunjungan tersebut, Menteri ESDM juga menyerahkan bantuan logistik dari PT PLN (Persero) yang dibutuhkan untuk mendukung penanganan darurat di wilayah tersebut. Bantuan yang diberikan PLN melalui Kementerian ESDM berupa paket sembako 700 kilogram (kg) beras, 700 kg gula, dan 1.400 liter minyak goreng yang disalurkan untuk masyarakat terdampak.
Bahlil menegaskan bahwa koordinasi lintas sektor dan instansi termasuk PLN menjadi hal yang krusial agar pemenuhan kebutuhan warga dapat berlangsung lebih cepat, terutama pada tahap-tahap awal pascabencana. Ia menyampaikan bahwa seluruh instansi teknis telah diminta mempercepat pengiriman bantuan serta memperkuat dukungan di lapangan.“Kehadiran saya bersama Dirut Pertamina, Dirut PLN, dan Dirjen Ketenagalistrikan adalah untuk memastikan dan merasakan langsung persoalan di lapangan, khususnya terkait ESDM. Listrik dan BBM adalah kebutuhan paling vital,” ujar Bahlil seperti dikutip Rabu, 3 Desember 2025.
Sebagai bagian dari upaya percepatan itu, Bahlil juga meninjau kesiapan dapur umum yang menjadi pusat suplai makanan bagi masyarakat dan petugas. Dapur umum ini merupakan fasilitas yang telah dipersiapkan oleh Pemda dan PLN.
“Saya apresiasi kepada PLN Mereka kerja sudah sangat luar biasa. Semua kekuatan nasional kita harus turunkan. Itu menyangkut dengan BBM dan listrik, menyangkut dengan apa yang hari ini saya lihat di dapur umum,” ujar Bahlil.
Semetara itu Bupati Bireuen, Mukhlis, menyampaikan apresiasi atas dukungan pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan PLN atas bantuan logistik dan dapur umum yang diberikan untuk Posko Siaga Bencana Desa Blang Panjoe.
“Kami juga mengapresiasi kehadiran Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang melihat langsung kondisi masyarakat di pengungsian. Kehadiran ini menjadi penyemangat bagi korban banjir untuk pulih dan bangkit kembali,” kata Mukhlis.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyampaikan bahwa penanganan pascabencana membutuhkan kerja bersama seluruh pihak dan tidak hanya terbatas pada pemulihan sistem kelistrikan. Ia menekankan bahwa PLN terus menjalin kolaborasi dengan pemerintah pusat, daerah, dan berbagai lembaga untuk mempercepat pemulihan dari sisi sosial maupun teknis.
Hingga saat ini, secara total bantuan yang telah disalurkan PLN melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dan Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN untuk wilayah Aceh mencakup 9,6 ton beras, 12.958 liter minyak goreng, 3.360 kg gula, 4.326 kardus mi instan, 466 kg telur, 2.250 paket makanan siap saji, 9.080 botol air minum, 4.865 perlengkapan bayi, 3.724 selimut, serta 6.603 paket obat-obatan.
Selain itu, PLN juga telah menyediakan dapur umum di 11 lokasi, terdiri dari 7 titik di Pidie, 2 di Bireuen, serta masing-masing 1 titik di Lhokseumawe dan Bener Meriah. 4 lokasi dapur umum merupakan hasil kolaborasi dengan Kodam Iskandar Muda.
“PLN berkomitmen memberikan dukungan terbaik, termasuk melalui keterlibatan dalam pembangunan dapur umum sebagai fasilitas vital selama masa pemulihan. Kolaborasi ini membuktikan bahwa percepatan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dapat dicapai ketika seluruh pihak bergerak bersama,” jelas Darmawan.
PLN terus berupaya melakukan penormalan jaringan yang terdampak banjir dan longsor di wilayah Aceh, termasuk 12 tower Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) yang roboh. Bireuen menjadi titik paling kritis setelah lima tower SUTT 150 kV Bireuen–Arun tumbang, yang selama ini menjadi jalur penting penyaluran listrik dari pembangkit Arun dan Nagan Raya ke berbagai wilayah Aceh.
“PLN mengerahkan tim siaga, peralatan berat, dan material untuk mempercepat pembangunan kembali tower serta memulihkan aliran listrik. Seluruh pekerjaan dilakukan nonstop 24 jam dengan dukungan dan kolaborasi Pemerintah, TNI, Polri, serta masyarakat demi memastikan suplai listrik di Bumi Serambi Mekah segera pulih,” imbuh Darmawan.
Ia menambahkan bahwa kolaborasi lintas sektor telah memberikan dampak nyata bagi percepatan pemulihan di Aceh. Diharapkan kerja sama ini dapat mendorong pemulihan masyarakat berlangsung lebih cepat.
Cek Berita dan Artikel yang lain diGoogle News
(RUL)
-

Longsor Kembali Terjadi di Taput Sumut Usai Hujan Deras
Jakarta –
Hujan deras mengguyur sejumlah wilayah di Sumatera Utara. Longsor pun kembali terjadi di Tapanuli Utara (Taput).
Dilansir detikSumut, longsor yang baru terjadi semakin membuat jalan di Desa Parsikaman Km 38, Kecamatan Adian Koting, tertutup. Titik longsor tidak dapat diakses.
“Iya, anggota kita, personel Bid TIK Polda Sumut saat ini berada di titik longsor yang tidak dapat diakses sama sekali,” ujar Kabid Humas Polda Sumut Kombes Ferry Walintukan saat dihubungi Rabu (3/12/2025) malam.
Jalan lintas Sumatera di sekitar lokasi tidak dapat dilalui akibat longsor susulan. Warga harus menunggu petugas gabungan melakukan proses evakuasi material tanah.
“Tunggu proses evakuasi tanah longsor baru bisa dilalui,” ujarnya.
“Tim juga telah menerbangkan drone untuk melakukan pemantauan visual terhadap titik longsor yang sepenuhnya terputus dan tidak dapat dilewati,” jelasnya.
Baca selengkapnya di sini.
(dek/haf)
-

Kakorlantas Mobilisasi Jajaran, Bantu Wilayah Terdampak Bencana Demi Kemanusiaan
Jakarta –
Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Agus Suryonugroho mengeluarkan instruksi merespons bencana yang melanda wilayah di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Aceh. Di masa tanggap darurat bencana, seluruh jajaran Polantas diminta berperan sebagai pathfinder atau pembuka jalan bagi distribusi logistik serta menjadi pelayanan Kemanusiaan.
Korlantas Polri mencermati bahwa curah hujan tinggi memicu bencana seperti banjir bandang, tanah longsor, dan putusnya ruas jalan yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi logistik dan mobilitas masyarakat. Kondisi ini menimbulkan gangguan serius terhadap aktivitas warga dan layanan dasar yang harus tetap berjalan dalam situasi darurat.
Irjen Agus mengatakan, dalam keadaan force majeur, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 memberi kewenangan kepada pejabat Polri untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri demi kepentingan umum. Kewenangan ini diperkuat dengan Pasal 104, Pasal 134, dan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang mengatur tindakan pengaturan lalu lintas, pemberian prioritas bagi kendaraan darurat, serta pelaksanaan tugas pokok Polantas.
Landasan hukum tersebut menjadi dasar pelaksanaan rekayasa lalu lintas, pengamanan jalur, serta pengutamaan kendaraan kemanusiaan.
“Kewenangan tersebut menjadi dasar untuk mengubah pola rutin menjadi pola operasi kemanusiaan. Pada fase ini, Polantas diarahkan untuk berperan sebagai pathfinder atau Pembuka Jalan bagi alat berat, kendaraan logistik, dan operasi penyelamatan,” kata Irjen Agus dalam keterangannya, Rabu (3/12/2025).
Instruksi ini bertujuan memberikan perintah taktis dan teknis kepada para Direktur Lalu Lintas (Dirlantaa) Polda dan Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) di wilayah terdampak, dengan fokus pada kegiatan kemanusiaan yang memerlukan respons cepat.
Tujuan utama dari instruksi Kakorlantas ini mencakup tiga komponen penting, masing-masing:
2. Kelancaran Distribusi Logistik: Menjaga kelancaran distribusi logistik seperti pangan dan obat-obatan agar kebutuhan dasar masyarakat tetap terpenuhi.
3. Dukungan Evakuasi: Memanfaatkan aset Polantas seperti kendaraan patroli dan pos polisi sebagai dukungan evakuasi korban dan titik layanan kemanusiaan.
Penekanan pada Nilai Kemanusiaan
Irjen Agus Suryonugroho secara tegas menggarisbawahi landasan moral dari operasi ini. Selain memprioritaskan tugas kemanusiaan dan integrasi antarlembaga, Kakorlantas menegaskan bahwa setiap tindakan harus dilandasi empati.
“Seluruh pelaksanaan instruksi ini harus dilandasi nilai kemanusiaan yang menjadi inti dari tugas Polantas. Setiap personel diharapkan menunjukkan empati dan profesionalitas dalam menjalankan peran sebagai garda terdepan pada masa bencana,” tegas Irjen Agus.
Ia menambahkan, kehadiran Polantas menjadi representasi negara dalam memberikan perlindungan pada situasi sulit yang dihadapi warga. Dia berharap instruksi ini dapat mempercepat pemulihan wilayah terdampak, sehingga masyarakat dapat kembali beraktivitas dengan aman.
(hri/dek)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5432475/original/035947100_1764804311-Sukabumi.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/12/04/6930b2a06f6d4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
